Apakah Napoleon Bonaparte seorang Muslim?

Napoleon Islam

Jawaban Hadhrat Khalifatul Masih V (ayyadahullahu ta’ala bi nashrihil ‘aziz, atba) mengenai apakah Napoleon Bonaparte raja Prancis pernah masuk Islam?

Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V (ayyadahullahu ta’ala bi nashrihil ‘aziz, atba) mengunjungi Prancis pada Oktober 2008. Dilaporkan bahwa pada 9 Oktober 2008, selama pertemuan dengan para anggota baru Jamaat, seorang anggota menyatakan bahwa ia mendengar Napoleon Bonaparte menerima Islam dan menjadi seorang Muslim pada tahun 1798. Ia bertanya apakah Hudhur (atba) dapat mengonfirmasi hal ini. Sebagai tanggapan, Hudhur (atba) berkata:

“Saya juga pernah mendengar hal ini; namun, saya tidak tahu pasti apakah ini benar atau tidak. Namun tampaknya tidak demikian [tidak mungkin].” (Al Fazl, 18 Oktober 2008, hal. 6)

Uraian mengenai tema ini

Napoleon Bonaparte, pemimpin militer dan penakluk Prancis yang terkenal yang kemudian menjadi penguasa Prancis, menduduki peringkat ke-34 dalam daftar orang paling berpengaruh dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H Hart.

Napoleon lahir pada tanggal 15 Agustus 1769 di Ajaccio, Corsica, Prancis. Catatan kematiannya menunjukkan bahwa ia meninggal pada tanggal 5 Mei 1821 di Saint Helena, sebuah pulau kecil di Atlantik Selatan. Setelah kekalahan dalam Pertempuran Waterloo, Napoleon Bonaparte dipenjara oleh penguasa Inggris dan meninggal di sana, diduga karena kanker. Akan tetapi, sekitar waktu yang sama, terbukti bahwa kematian Napoleon bukan karena kanker atau penyakit lainnya, melainkan akibat keracunan.

Jika kita cermati referensi dan catatan tentang anggapan Napoleon Bonaparte tentang penerimaan Islam dan kepatuhannya pada agama tersebut, kita akan menemukan pendapat yang mendukung dan menentangnya.

Sebuah studi tentang kehidupan Napoleon menunjukkan bahwa ia adalah seorang penguasa yang berani, cerdas, dan sukses serta memiliki keterampilan khusus dalam mengadopsi kebijakan sesuai dengan situasi. Ia memiliki kemampuan untuk beradaptasi sesuai dengan situasi apa pun.

Misalnya, wilayah Corsica dianeksasi (dimasukkan paksa) ke dalam wilayah Kekaisaran Prancis hanya 15 bulan sebelum kelahiran Napoleon Bonaparte. Dan Prancis yang diperintah Napoleon adalah Prancis yang sama yang dianggap Napoleon sebagai kekuatan penindas dan penjajah di tahun-tahun awal hidupnya, ketika ia lebih suka menyebut dirinya orang Korsika.

Terlepas dari semua ini, ia menyelesaikan pendidikannya di lembaga pelatihan militer Prancis, di mana ia bergabung dengan Angkatan Darat Prancis sebagai letnan dua setelah lulus pada tahun 1785. Hanya empat tahun kemudian, Revolusi Prancis yang terkenal dimulai.

Napoleon pertama kali mendapatkan ketenaran ketika Prancis merebut kembali kota Toulon, Prancis dari pasukan Inggris pada tahun 1793. Dalam pertempuran ini, yang dikenal sebagai Pengepungan Toulon, Napoleon bertanggung jawab atas artileri. Dari sini, ia dipromosikan ke pangkat brigadir jenderal. Dan kemudian pada tahun 1796, Napoleon diberi komando pasukan Prancis di Italia di mana ia mencapai kesuksesan berkelanjutan karena taktik militer dan keberaniannya yang unggul.

Ia kembali ke Prancis sebagai pahlawan. Sebelum berangkat untuk ekspedisinya ke Mesir, Napoleon memerintahkan sekretarisnya, Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne, untuk menyusun sebuah perpustakaan (dengan tujuan mempelajari lebih lanjut tentang Mesir dan wilayah sekitarnya). Perpustakaan ini dibagi dan diurutkan ke dalam enam kategori:

(i) Seni dan sains

(ii) Geografi dan perjalanan

(iii) Sejarah

(iv) Puisi

(v) Romansa

(vi) Politik dan moral

Dalam kategori terakhir, Napoleon memiliki koleksi Al-Quran, Weda, Taurat, dan Alkitab.[1]

Dalam kisah ekspedisi militer Napoleon ke Mesir, tertulis bahwa Napoleon menghabiskan waktunya untuk mengelola Mesir dan mengubah kekaisaran serta mengatur urusan Mesir sedemikian rupa sehingga penduduknya segera mendapatkan kedamaian dan kenyamanan yang tidak pernah dirasakan oleh penduduk untuk waktu yang lama. Napoleon mengadopsi pakaian Turki untuk memenangkan hati penduduk Mesir, tetapi kemudian, melihat bahwa para komandannya menuruti tindakannya, ia akhirnya meninggalkannya. Napoleon mengadopsi pakaian kaum Muslim dan mendukung mereka. Kemudian, ketika ia tiba di St Helena, ia mengatakan bahwa Mesir dalam segala hal layak baginya untuk mengenakan pakaian yang dianut oleh kaum Muslim.[2]

Hampir semua sejarawan yakin akan kejeniusan dan kecerdasan Napoleon Bonaparte selama kampanye militer yang penuh ujian dan sulit di Mesir, masa tinggalnya di sana, dan perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan negara. Di sana, Napoleon mengaitkan alasan di balik adopsinya pakaian Muslim dengan kondisi di Mesir dan bukan karena dirinya sendiri yang masuk Islam atau memiliki hubungan apa pun dengan agama tersebut.

Terkait dengan masuknya Napoleon ke Mesir, kita mengetahui bahwa ia memasuki Kairo, Mesir pada suatu pagi di bulan Juni tahun 1798. Ia ditemani oleh 36.000 tentara. Napoleon telah mempelajari sejarah Islam secara mendalam sebelum kampanyenya di Mesir dan tahu bagaimana menyalurkan emosi kaum Muslim yang tinggal di sana dan juga mempelajari beberapa kata dasar bahasa Arab agar lebih disukai penduduk setempat. Napoleon memerintahkan para jenderalnya untuk melawan apa yang disebutnya sebagai militansi kaum Muslim. Saat berada di Mesir, ia juga mengundang sekitar 60 ulama Jamia Al-Azhar ke markas militernya untuk makan. Setelah makan, Napoleon memulai pidatonya yang konon katanya menyebutkan kebesaran Islam, kebenarannya, dan berbagai aspek kepribadian Nabi Muhammad (saw). Selama pidatonya, setiap kali ia menyebut nama Nabi Muhammad (saw), ia akan sedikit membungkuk.[3]

Terkait:   Benturan Peradaban Islam dan Eropa?

Sebelum Napoleon kembali dari Mesir dan menjadi penguasa Prancis, tercatat bahwa setiap kali ia keluar, orang-orang akan sangat ingin melihatnya. Napoleon sangat pandai menarik orang ke pihaknya.[4]

Tercatat pula bahwa Napoleon tahu bahwa tujuannya dapat dicapai dengan menarik perasaan orang-orang: “Napoleon juga sangat menyadari pentingnya propaganda, jadi ia mempublikasikan prestasinya ke dunia untuk membuat dirinya tampak luar biasa. Opini publik dimanipulasi demi kepentingan Napoleon sedemikian rupa untuk memperkuat pikiran orang-orang bahwa Napoleon adalah penyelamat mereka.”[5]

Di sisi lain, banyak kampanye militer Napoleon, setelah ia kembali dari Mesir, dan kemudian sebagai Raja Prancis, dengan jelas menentang gagasan bahwa ia menerima Islam dan menjadi seorang Muslim. Keputusan dan tindakan pribadinya tampak bertolak belakang dengan gaya hidup seorang Muslim sejati. Tanpa membahas rinciannya di sini, hanya beberapa isu dari ekspedisi Napoleon Bonaparte yang disebutkan sebagai contoh. Setelah invasi Mesir dan mendapatkan sedikit pijakan di sana, Napoleon berangkat menuju Suriah.

Tertulis bahwa Napoleon meninggalkan Mesir dan menyerang Suriah hanya untuk meraih kemenangan militer. Di sana, untuk menyemangati pasukannya sebelum serangan yang sulit, ia meminta Alkitab, dan, dengan membaca bagian-bagian dari kitab Yosua, ia membangkitkan semangat pasukannya yang lelah dan putus asa dan menghasut mereka untuk bertempur dengan sengit. Selama ekspedisinya ke Suriah, ia memerintahkan eksekusi semua tawanan Jaffa. 3.000 prajurit berkuda telah menyerahkan diri kepada jenderal-jenderal Napoleon di Alania, dengan syarat nyawa mereka diampuni. Namun, meskipun mengetahui janji ini, Napoleon memerintahkan agar mereka semua dieksekusi. Para tawanan yang malang ini dihujani peluru di tepi sungai; tulang-tulang mereka tergeletak di tanah selama beberapa hari. Pembantaian Jaffa terbukti merusak reputasi Napoleon di seluruh Eropa saat itu.

Dengan meningkatnya perlawanan di Suriah dan Mesir, Napoleon memerintahkan pencabutan pengepungan di Suriah. Akibatnya, tentara Napoleon melakukan banyak kekejaman. Mereka membakar tanaman yang sudah siap panen dan melakukan kekejaman yang pasti diketahui Napoleon dan bahkan jika dia tidak menyadarinya, itu adalah kekurangannya sebagai panglima tentara.

Di Mesir, Napoleon meninggalkan jenderal-jenderalnya yang terluka dan prajurit yang kelelahan untuk mati di padang pasir dan tidak menunjukkan simpati kepada mereka meskipun mereka berulang kali memohon. Mengenai kepala pasukan yang terluka yang awalnya digendong oleh para prajurit, Napoleon memerintahkan mereka untuk dilemparkan ke tanah.

Dalam satu kasus, selama perjalanan kembali ke Kairo, sebuah epidemi menyerang tentara Prancis. Napoleon memerintahkan pembunuhan prajuritnya yang sedang dirawat di rumah sakit Jaffa. Langkah drastis seperti itu tidak mencerminkan pemimpin Muslim sejati.

Para sejarawan menduga bahwa setelah menyaksikan melemahnya pemerintahan di Prancis, Napoleon diam-diam meninggalkan Mesir dengan maksud untuk merebut takhta Prancis. Meninggalkan pasukannya dalam keadaan hancur, ia mundur secara diam-diam bersama beberapa orang.

Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa Napoleon tidak mungkin masuk Islam karena tindakannya jauh dari ajaran Islam. Mereka yang percaya bahwa Napoleon masuk Islam selama kampanye militernya di Mesir berpendapat bahwa dalam buku David Pidcock Satanic Voices – Ancient and Modern (1992, hlm. 61) tertulis bahwa surat kabar pemerintah, Le Moniteur, telah menerbitkan bahwa Napoleon masuk Islam pada tahun 1798.

Surat kabar itu mengatakan bahwa nama Islam barunya adalah Ali Napoleon Bonaparte. Dikatakan bahwa Napoleon juga memberi tahu komandannya, Jacques-François de Menou, tentang hal ini dan ia juga masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Abdallah de Menou. Jenderal yang sama kemudian menikahi seorang wanita Mesir, Siti Zubaydah, yang dikatakan berasal dari keluarga Nabi Islam. Surat kabar itu menyatakan bahwa Napoleon tidak hanya mengakui keutamaan Syariah Islam sendiri tetapi juga bersedia menerapkannya di seluruh kekaisarannya nanti.

Lebih jauh, tercatat bahwa Napoleon menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya sebagai tawanan di St. Helena, di mana ia mengungkapkan pikiran dan pandangannya tentang kehidupan. Sebuah buku berjudul The Thoughts of the Prisoner of the Island of St. Helena diterbitkan setelah kematiannya. Ini adalah periode ketika Napoleon, setelah mencapai semua kejayaannya sebagai seorang komandan, menjalani kehidupan sebagai seorang tahanan belaka. Tercatat bahwa di sini, Napoleon mengatakan keberadaan Satu Tuhan itu pasti tetapi semua agama adalah ciptaan manusia. Demikian pula, ditemukan ucapan-ucapan Napoleon berikut yang darinya sebagian orang menyimpulkan bahwa ia adalah seorang Muslim. Tercatat bahwa Napoleon berkata: “Musa telah mengungkapkan keberadaan Tuhan kepada bangsanya. Yesus Kristus kepada dunia Romawi, Muhammad kepada benua lama […] “Arab adalah penyembah berhala ketika, enam abad setelah Yesus, Muhammad memperkenalkan penyembahan kepada Tuhan Abraham, Ismail, Musa, dan Yesus. Kaum Aria dan beberapa sekte lainnya telah mengganggu ketenangan timur dengan mempermasalahkan hakikat Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Muhammad menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain satu yang tidak memiliki ayah, tidak memiliki anak dan bahwa trinitas mengimpor gagasan penyembahan berhala […]

Terkait:   Rasulullah, Kebebasan Berbicara dan Kontroversi Kartun

“Saya berharap waktunya tidak lama lagi ketika saya akan dapat menyatukan semua orang bijak dan terpelajar dari semua negara dan membangun rezim yang seragam berdasarkan prinsip-prinsip Al-Quran yang merupakan satu-satunya kebenaran dan satu-satunya yang dapat menuntun manusia menuju kebahagiaan.”[6]

Peneliti dan penulis terkemuka, Allama Abul Kalam Azad, telah menulis sebagai berikut dalam Jami al-Shawahd fi Dakhool Ghair al-Muslim fi al-Masjid:

“Ketika Napoleon Bonaparte menyerbu Mesir dan menaklukkannya, dan diduduki oleh Prancis selama dua setengah tahun, Napoleon sendiri dan sebagian besar perwira tentara menerima Islam di Masjid Azhar, berpartisipasi dalam salat Jumat dan juga mengadopsi nama-nama Islam. Namun, tentara Prancis dianggap sebagai orang Kristen dan sering memasuki masjid. Sebuah diskusi dimulai tentang apakah non-Muslim boleh datang ke masjid atau tidak. Beberapa ulama Maliki di Al-Azhar mengatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi, Syekh Abd al-Rahman al-Jabarti, dalam Tarikh Ajaa’ib al-Asar, telah menulis sebuah majalah khusus dan menegaskan bahwa dalam Mazhab Maliki, izin [bagi seorang non-Muslim untuk memasuki masjid] dapat diberikan jika seorang Muslim mengizinkan seorang non-Muslim. Oleh karena itu, orang Kristen tidak boleh masuk tanpa izin dari umat Muslim. Mereka dapat memasuki masjid dengan syarat menghormati dan menghargai. Seluruh kejadian ini ditulis oleh Syekh Abdullah al-Sharqawi dalam Tuhfat al-Nazareen, yang saat itu menjabat sebagai Syekh Al-Azhar. Akan tetapi, saat ini saya tidak memiliki buku tersebut.”[7]

Hazrat Masih Mau’ud  (as) menguraikan keistimewaan dan keunggulan Islam serta mengatakan bahwa rahasia keberhasilan dan kemajuan Islam adalah bahwa orang-orang secara alami akan tertarik pada kata-kata dan pesan Nabi Muhammad (saw) karena pesannya sangat sederhana dan jelas, sedemikian rupa sehingga bahkan Napoleon diklaim (diaku) oleh beberapa penulis telah bersaksi tentang kesederhanaannya dan menerima Islam.[8] Akan tetapi, ketika kita menelaah lebih dalam tentang dugaan masuk Islamnya Napoleon, kita dapat memahami mengapa beberapa penulis tersebut mungkin telah membuat klaim tentang masuk Islamnya Napoleon.

Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne, seorang diplomat Prancis, terkenal dengan Memoirs of Napoleon Bonaparte, sebuah karya yang didasarkan pada persahabatan dekat dan hubungan profesional selama bertahun-tahun. Dalam karya tersebut, ia menulis:

“Telah dikatakan bahwa Bonaparte, ketika berada di Mesir, ikut serta dalam upacara keagamaan dan ibadah umat Islam; tetapi tidak dapat dikatakan bahwa ia merayakan hari raya meluapnya Sungai Nil dan hari peringatan Nabi. Orang-orang Turki mengundangnya ke acara-acara ini hanya sebagai penonton; dan kehadiran tuan baru mereka menyenangkan hati orang-orang. Namun, ia tidak pernah melakukan kebodohan dengan memerintahkan upacara-upacara khidmat apa pun. Ia tidak mempelajari atau mengulang doa apa pun dari Al-Quran, seperti yang telah ditegaskan banyak orang; ia juga tidak menganjurkan poligami, fatalisme, atau doktrin Al-Quran lainnya. Bonaparte menyibukkan dirinya dengan berdiskusi dengan para Imam tentang teologi anak-anak Ismail. Upacara-upacara, yang menurut kebijakannya harus dihadiri, baginya, dan bagi semua orang yang menyertainya, hanyalah sekadar hal-hal yang bersifat keingintahuan. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di masjid; dan hanya pada satu kesempatan, yang akan saya sebutkan di bawah ini, mengenakan pakaian orang Muslim. Ia menghadiri hari-hari raya yang mengundangnya mengenakan serban hijau. Toleransi beragama yang dimilikinya merupakan konsekuensi alami dari jiwa filosofisnya. […]

“Tidak diragukan lagi Bonaparte menunjukkan rasa hormat terhadap agama negaranya, sebagaimana yang harus dilakukannya; dan ia merasa perlu untuk bertindak lebih seperti seorang Muslim daripada seorang Katolik. Seorang penakluk yang bijaksana mendukung kemenangannya dengan melindungi dan bahkan mengangkat agama rakyat yang ditaklukkannya.

Terkait:   Pentingnya seorang Pembaharu - Juru Selamat

Prinsip Bonaparte adalah, sebagaimana yang sering ia katakan kepada saya, memandang agama sebagai karya manusia, tetapi menghormatinya di mana pun sebagai mesin pemerintahan yang kuat. Akan tetapi, saya tidak akan mengatakan bahwa ia tidak akan mengubah agamanya seandainya penaklukan Timur menjadi harga dari perubahan itu.

Semua yang ia katakan tentang Muhammad, Islamisme, dan Al-Quran kepada orang-orang besar di negaranya, ia menertawakan dirinya sendiri. Ia menikmati kepuasan karena semua ucapannya yang bagus tentang agama diterjemahkan ke dalam puisi Arab, dan diulang-ulang dari mulut ke mulut. Hal ini tentu saja cenderung mendamaikan rakyat.

“Saya akui bahwa Bonaparte sering berbincang-bincang dengan para pemimpin agama Muslim tentang masalah pertobatannya; tetapi hanya untuk hiburan. Para ulama ahli Al-Quran, yang mungkin akan senang untuk mengubah agama kita, menawarkan konsesi yang paling berlimpah kepada kita. Namun percakapan ini hanya dimulai sebagai hiburan, dan tidak pernah dapat menjamin anggapan bahwa percakapan tersebut akan menghasilkan hasil yang serius. Jika Bonaparte berbicara sebagai seorang Muslim, itu hanya sesuai dengan karakternya sebagai seorang kepala militer dan politik di negara Muslim. Melakukan hal itu sangat penting bagi keberhasilannya, bagi keselamatan pasukannya, dan, akibatnya, bagi kejayaannya. Di setiap negara ia akan menyusun proklamasi dan menyampaikan pidato dengan prinsip yang sama. Di India ia akan mendukung Ali, di Tibet mendukung Dalai Lama, dan di Cina mendukung Konfusius.”[9]

Mengenai dugaan perpindahan agama Napoleon ke Islam, Bourrienne juga mengutip Bonaparte dari bukunya Voices from St. Helena yang ditulisnya, “Saya tidak pernah mengikuti ajaran agama itu [Islam]. Saya tidak pernah salat di masjid. Saya tidak pernah menjauhi anggur, atau disunat, dan saya juga tidak pernah mengakuinya. Saya hanya mengatakan bahwa kami adalah sahabat Muslim, dan bahwa saya menghormati Muhammad, nabi mereka, yang memang benar; saya menghormatinya sekarang. Saya ingin para Imam memerintahkan doa di masjid untuk saya, agar orang-orang lebih menghormati saya daripada yang sebenarnya mereka lakukan, dan lebih mudah menaati saya.”

Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia bertanya kepada para ulama Muslim apakah ia bisa menjadi seorang Muslim tanpa mengikuti ajaran Islam apa pun. Para ulama tersebut berunding selama berbulan-bulan dan hanya ketika mereka setuju untuk menjadi seorang “Muslim” tanpa harus benar-benar mengaku atau mengikuti Islam, ia berkata, “Saya kemudian mengatakan kepada mereka bahwa kami semua adalah Muslim dan sahabat Nabi, yang benar-benar mereka yakini. […]” (Ibid.)

Jadi, sebagaimana banyak cendekiawan terkenal seperti Sir George Bernard Shaw, Bertrand Russel, Dr William Draper, Thomas Carlyle, Phillip Hitti, memuji Islam dan pendiri Islam; demikian pula, kita menemukan beberapa frasa pujian oleh Napoleon Bonaparte yang memuji Islam. Namun, lebih masuk akal untuk berasumsi bahwa “pertobatannya” mungkin tidak lebih dari sekadar strategi politik.

Daftar orang-orang yang menjadi saksi dan memuji kebesaran pendiri Islam, Nabi Muhammad (saw) terlalu banyak untuk dihitung; Sebagaimana tertulis bahwa pada masa hidup Nabi Muhammad (saw) sendiri, Kaisar Romawi, Caesar berkata: “Jika aku bisa menemuinya [Nabi Suci Muhammad saw], tentu saja aku akan segera menemuinya dan jika aku bersamanya, tentu saja aku akan membasuh kakinya.” (Sahih Bukhari, Kitab Bada’u al-Wahi, Hadits no. 7)

Jadi, setelah meneliti berbagai buku dan referensi beserta bukti-bukti lain yang tersedia, kita sekali lagi mengingat perkataan Hazrat Khalifatul Masih V (ayyadahullahu ta’ala bi nashrihil ‘aziz, atba) tentang Napoleon sebagai seorang Muslim – diklaim bahwa ia adalah seorang Muslim, namun, “tampaknya tidak mungkin.”

Sumber: Alhakam.org
Penerjemah: Mln. Dildaar Ahmad Dartono


[1] (Revolusi Prancis dan Napoleon Bonaparte [terjemahan bahasa Urdu], hlm. 56)

[2] (Revolusi Prancis dan Napoleon Bonaparte [terjemahan bahasa Urdu], hlm. 65)

[3] (Daily Express Faisalabad, 19 Oktober 2008, hlm. 2)

[4] (Revolusi Prancis dan Napoleon Bonaparte [terjemahan bahasa Urdu], hlm. 80)

[5] (Napoleon Bonaparte, Rubine Naz, hlm. 8-9)

[6]  (Bonaparte et l’Islam, d’Après les Documents Français et Arabes, Christian Cherfils, Ed., Paris, Prancis, 1914, hlm. 105-125. Referensi Asli: Correspondance de Napoléon Ier. Tome 5)

[7]  (Jami al-Shawahd fi Dakhool Ghair al-Muslim fi al-Masjid, hlm. 90-91)

[8] (Malfuzat, Vol. 2, (1988), hlm. 60)

[9] (Memoirs of Napoleon Bonaparte, Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne, disunting oleh R W Phipps, Vol. 1, New York: Charles Scribner’s Sons, 1889, hlm. 168-170)

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.