Tariq Mahmood
Penerjemah: Mln. Dildaar Ahmad Dartono
Para ateis baru mengklaim sejarah yang kaya. Tanyakan kepada salah satu dari mereka dan mereka mungkin akan menjelaskan bahwa munculnya ateisme muncul dari evolusi ideologis kita. Mereka suka mengklaim bahwa manusia kuno percaya dan menyembah banyak dewa hingga ia berevolusi ke titik di mana ia mulai meragukan kepercayaan kunonya, setelah itu sifat agama yang keliru menjadi nyata. Evolusi pemikiran ini memuncak dalam munculnya ateisme baru, sebuah kiamat ideologis bagi para penganut agama atau kepercayaan.
Dari para ateis kuno modern, Daniel Dennett mempromosikan retorika ini mungkin dengan paling percaya diri. Ia menyatakan: Kita tidak perlu lagi melestarikan mitos tentang Tuhan untuk melestarikan masyarakat yang adil dan stabil, sebagaimana kita tidak perlu lagi berpegang teguh pada Standar Emas untuk menjaga mata uang kita tetap stabil. Itu adalah tongkat penyangga yang berguna, tetapi kita sudah melampauinya.[1]
Sam Harris juga mencoba menggambarkan gambaran yang sama. Meskipun keliru mengaitkan Tuhan dengan teori konspirasi, ia berpendapat: ‘ateisme tidak lebih dari sekadar suara-suara yang dibuat orang-orang yang berakal sehat di hadapan kepercayaan agama yang tidak dapat dibenarkan.‘[2]
Dawkins melanjutkan apa yang dikatakan rekannya dalam bukunya, The God Delusion, dan menyatakan, “Saya tidak dapat memikirkan perang apa pun yang telah dilakukan atas nama ateisme. Mengapa harus demikian? “[3]
Pernyataan yang begitu luas dan tidak akurat secara historis ini menimbulkan masalah yang sangat serius. Yang pertama adalah mereka yang berada di garis depan ateisme baru, seperti Dennett atau Dawkins, mengiklankan Pencerahan Eropa sebagai tahun-tahun pembentukan untuk melampaui Tuhan, yang tentu saja tidak demikian. Ateisme ditemukan dalam pemikiran Yunani Kuno, bahkan sejak zaman Epicurus (341-270 SM).[4] Kita kemudian menemukan Al-Qur’an, sebuah kitab berusia 1400 tahun, yang penuh dengan ayat-ayat yang membahas pemikiran ateistik. Perdebatan ini juga ditemukan tersebar di seluruh sejarah Islam yang dilakukan di antara para ulama terkemuka seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dengan para ateis di Baghdad dan Mesir.[5] [6]
Analisis terhadap pemikiran ateistik membawa kita pada kesimpulan bahwa pemikiran ini telah menjadi ide yang telah berkembang, jauh sebelum menjadi arus utama di Eropa. Ateisme bukanlah fenomena Pencerahan Eropa; ia telah ada sejak lama bersamaan dengan agama.
Namun, yang kita temukan adalah peningkatan ateisme yang tiba-tiba di Eropa sebelum pencerahan. Eropa penuh dengan contoh-contoh ateisme pra-Pencerahan seperti itu. Tentang Italia, Voltaire menulis, ‘Italia, pada abad kelima belas, penuh dengan ateis ‘.[7] Teolog dan matematikawan Prancis Marin Mersenne mengklaim bahwa ada sebanyak 50.000 ateis di Prancis pada awal abad ke-17.[8] Di Jerman, sejarawan terkenal Jakob Friedrich Reimann menulis pada tahun 1713 bahwa ateisme telah ada di Jerman sejak abad kedua belas ketika muncul karena Averroisme dan Kaisar Friedrich II.[9] Sebuah laporan tahun 1572 yang disampaikan kepada Lord Burleigh di Inggris membuat pernyataan serupa, yang mengungkapkan bahwa ‘kerajaan itu terbagi menjadi tiga kelompok, kaum Papis, kaum Ateis, dan kaum Protestan. Bahkan Earl of Essex juga mengklaim pada tahun 1576 bahwa ‘tidak ada apa pun kecuali ketidakpercayaan, ketidakpercayaan, ketidakpercayaan, ateisme, ateisme, ateisme ‘.[10]
Penting untuk dicatat hal ini karena sains tidak menjadi motivator signifikan [pendorong berarti] yang mendorong orang menjadi ateis sebelum masa Pencerahan, yang memberikan bukti deduktif yang kuat bahwa ada faktor lain – yang jauh lebih sedikit akademis – yang berperan. Jadi, apa sebenarnya yang menjadi inti dari fenomena yang menamakan dirinya sendiri sebagai ‘intelektual’ yang disebut-sebut saat ini sebagai ateisme pasca-pencerahan?
Kenyataannya, ateisme tidak hanya tumbuh dari pemeriksaan kritis dan penolakan terhadap Tuhan. Ateisme lebih berkaitan dengan faktor politik dan sosial. Oleh karena itu, di banyak masyarakat barat, ateisme tidak lebih dari sekadar tanggapan sosial-politik lainnya terhadap lembaga-lembaga saat itu. Pada intinya, ateisme adalah kepercayaan yang mendefinisikan dirinya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa. Ateisme tidak – seperti yang diyakini banyak orang – didirikan atas dasar pembunuhan Tuhan dengan pedang akal budi yang mulia. Ateisme sebenarnya dipicu oleh pemberontakan sosial-politik terhadap gereja-gereja yang menganiaya filsafat dan sains.
Sejarah dipenuhi dengan kesaksian dari para sejarawan tentang hal ini. Dalam bukunya, Atheists: The Origin of the Species, Nick Spencer menulis:
Ateisme modern pada dasarnya adalah disebabkan politik dan sosial, perkembangannya di Eropa lebih berkaitan dengan (penyalahgunaan) otoritas (kewenangan) politik yang dilegitimasi [diresmikan] secara teologis [dalil-dalil keagamaan] daripada dengan perkembangan dalam sains atau filsafat…. Ke mana pun Anda pergi, menyangkal Tuhan bukan sekadar menyangkal Tuhan. Itu berarti menyangkal kaisar atau raja yang memerintah Anda, struktur sosial yang mengatur hidup Anda, ikatan etika yang mengaturnya, harapan yang mengilhaminya, dan penilaian yang meyakinkannya.[11]
Para sejarawan telah menemukan bahwa banyak ateisme selama masa pencerahan merupakan pernyataan frustrasi politik. Contoh seperti Prancis, di mana ‘ Rezim Katolik kuno yang sangat otoriter…menciptakan sumber kemarahan moral yang dalam yang dapat dimanfaatkan oleh para ateis ‘[12] menjadi pusat perhatian. Revolusi yang dihasilkan sangat memusuhi agama, seperti yang diilustrasikan lebih lanjut oleh Nick Spencer: Para pendeta dijadikan pegawai negara, dan mereka dipaksa untuk bersumpah setia. Kecaman Paus atas hal ini menegaskan kecurigaan bahwa, apa pun yang mereka katakan, para pendeta hanyalah kekuatan pengkhianat dan kontra-revolusioner. Pada tahun 1792, massa menghakimi para pendeta di Paris dan, tahun berikutnya, kekerasan terjadi di seluruh negeri, meskipun tidak sistematis. Gereja-gereja dirobohkan, patung-patung mereka dinodai, lukisan-lukisan mereka dicuri, dan piring mereka dijual. Para pendeta yang tidak mau bersumpah dijatuhi hukuman mati, seperti halnya siapa pun yang ditemukan menyembunyikan mereka .[13]
Inggris juga menyaksikan narasi yang sangat mirip. Thomas Hobbes berdiri sebagai contoh ideal penganiayaan pra-pencerahan dan menunjukkan hubungan langsung antara penganiayaan gereja dan politik. Hobbes dianiaya berat karena menulis Leviathan, sebuah kritik terhadap ortodoksi Anglikan [Gereja Inggris]. Para bapa gereja mengejeknya,[14] Earl mengecam tulisan-tulisannya,[15] dan pada akhir abad ke-17, Hobbisme hampir sepenuhnya identik dengan ateisme.[16] Kehidupannya menunjukkan reaksi [tindakan tanggapan] pemerintah yang sensitif [baper, peka, gampang tersinggung], membuktikan bahwa agama secara intrinsik terkait dengan pemerintahan di Inggris, dan setiap permusuhan terhadap agama pemerintah tertentu membuat orang seperti itu juga menjadi sasaran agama tersebut. Hobbes memang mengklaim bahwa dia seorang Kristen, tetapi tidak banyak berhasil.
Para ilmuwan memang berupaya untuk mendamaikan Tuhan dan sains. Misalnya, The Royal Society, yang didirikan untuk mengeksplorasi sains dan filsafat, menulis dalam piagam keduanya bahwa penerus klub ini adalah mereka yang ‘studinya akan diterapkan untuk lebih jauh memajukan sains tentang hal-hal alamiah dan seni yang bermanfaat melalui eksperimen, demi kemuliaan Tuhan sang pencipta ‘.[17] Berbagai gereja di Eropa mencela jalan menuju kepercayaan ini, yang akibatnya menjauhkan para ilmuwan dari kepercayaan kepada Tuhan, dan mengakibatkan budaya ateis dalam sains Eropa. Penting untuk dicatat bahwa ini adalah penyangkalan terhadap gagasan Kristen tentang Tuhan, bukan gagasan Islam.
Menariknya, filsafat Marxis di Rusia juga berakar dalam kebencian yang membara terhadap rezim agama. Mengenai hal ini, sejarawan Victoria Frede mencatat munculnya Atheisme dari tahun 1820-an hingga 1860-an: Di Rusia, hal ini bukan merupakan pernyataan tentang status Tuhan, melainkan lebih merupakan komentar tentang status orang-orang terpelajar di negara otoriter yang semakin berusaha mengatur pendapat dan keyakinan rakyatnya.[18]
Nick Spencer sependapat dengan hal ini: ‘Ortodoksilah yang merasuki masyarakat Rusia, dari Tsar sampai petani, dan Gereja Ortodokslah yang menjadi ancaman, bagi politik, kemajuan dan bagi rakyat.‘[19]
Dokter Gavin Hyman, seorang sejarawan agama terkemuka dan dosen di Universitas Lancaster, menguatkan pandangan ini. Ia berkata, ‘ Marx telah menanamkan hubungan yang tak terhapuskan antara revolusi sayap kiri dan ateisme (benih-benihnya telah ditabur dalam kesadaran manusia oleh revolusi Prancis).‘[20]
Bertentangan dengan pemasaran ateisme yang mengklaim bahwa ia muncul dari evolusi pemikiran ilmiah, cukup jelas bahwa Rusia menggunakan filsafat dan politik sebagai bahan bakarnya untuk komunisme, bukan sains. Semangat Vladimir Lenin ‘ muncul dari kebencian mendalam terhadap fondasi Ortodoks negara Tsar. Agama bukanlah masalah teoritis baginya. Satu-satunya pertanyaan yang relevan adalah apa yang dapat dilakukan untuk membantu kehancurannya yang tak terelakkan. ‘[21]
Dengan demikian, kita melihat adanya hubungan yang kuat antara munculnya ateisme di banyak wilayah di dunia dan nafsu politik untuk mendapatkan kekuasaan atau keinginan untuk menggantikan mereka yang ada di dalamnya. Ateisme ini jelas anti kemapanan dan dengan demikian menentang semua bentuk teisme untuk mencapai tujuannya. Contoh seperti ini menunjukkan validitas pepatah Eropa yang terkenal Cuius regio eius religio , ‘siapa yang dapat wilayahnya, agamanya juga’.
Apa yang dibuktikan oleh hal ini? Atheisme Eropa bermula sebagai sebuah gagasan yang hampir tidak memiliki pemikiran ilmiah dan berkembang sebagai bentuk pertentangan terhadap pemikiran Kristen. Filsuf Kristen ternama Francis Bacon sendiri mengakui bahwa empat penyebab utama ateisme adalah ‘ perpecahan dalam agama ‘, ‘ skandal [perbuatan aib] para pendeta ‘, ‘ kebiasaan mengejek hal-hal suci ‘, dan ‘ zaman terpelajar ‘.[22] Dari pilar-pilar Atheisme ini, dua di antaranya secara langsung berkorelasi dengan tindakan gereja-gereja Kristen yang sangat tidak religius dan dengan demikian kebijakan pemerintah mereka. Dua alasan lainnya bersifat reaksioner, dan merupakan akibat tidak langsung dari skeptisisme Kristen terhadap sains selama masa pencerahan.
Meskipun sains memang berperan dalam kebangkitan ateisme di Eropa, hal itu (ateisme) sebagian besar merupakan reaksi yang bermotif politik. Sejarah memang mendikte penyebab-penyebab ateisme lainnya, tetapi hal-hal ini bertentangan dengan gagasan Kristen tentang Tuhan, bukan agama secara umum, serta pemerintahan yang didirikan atas dasar klaim dukungan Tuhan. Stephen LeDrew menguraikan hal ini dalam bukunya The Evolution of Atheism : Hal ini hanyalah manifestasi paling akhir dari sebuah ‘revolusi sekuler’ yang dimulai pada masa itu, yang menghubungkan kritik agama dengan proyek politik untuk memajukan otoritas ilmu pengetahuan dan ilmuwan, khususnya dalam lembaga pendidikan.[23]
Para Ateis Baru dapat menunjuk apa pun yang mereka inginkan. Mereka dapat menggunakan tindakan pemerintah Eropa sebagai bahan bakar, dengan menyatakan seperti halnya seorang revolusioner Rusia, Father Gapon, bahwa ‘ Tidak ada Tuhan ‘ karena ‘ tidak ada Tsar ‘ ketika berhadapan dengan korupsi Tsar.[24] Mereka mungkin mengklaim bahwa hal itu berasal dari perlakuan terhadap ide-ide nonkonformis, seperti yang ditunjukkan oleh Francis Bacon, atau mungkin menyatakan kredo Kristen tidak murni. Mereka mungkin mendasarkan kepercayaan mereka pada ide-ide filosofis yang menentang pemikiran Kristen pada masa itu.
Apa pun masalahnya, Ateis Baru tidak dapat mendasarkan keyakinan mereka, atau ketiadaan keyakinan, semata-mata pada proses pencerahan ilmiah dan filosofis. Apa yang diklaim oleh para ateis baru tentang para pendiri agama (bahwa mereka menggunakan agama mereka sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan geopolitik) juga ditemukan dalam sejarah mereka. Inilah ironi besar dalam pernyataan Dawkins yang disebutkan sebelumnya. Pernyataan itu tidak hanya keliru, tetapi juga merupakan kedok untuk pasir waktu.
Sejarah ateisme Eropa berakar pada tindakan kelompok-kelompok yang mencoba untuk tidak setuju dengan negara-negara Kristen, bukan untuk menolak Pencipta alam semesta, tetapi untuk mendapatkan kekuasaan, baik itu ortodoksi Rusia, Katolik, atau Kristen Anglikan. Ateis yang mengklaim sebaliknya harus meninggalkan sejarah mereka dalam proses tersebut, dan banyak yang melakukannya dengan mudah.
Ateisme tidak didasarkan pada gagasan akal budi dalam menangani Tuhan; sebaliknya, ia dipicu oleh penyangkalan terhadap lembaga buatan manusia yang mengaku suci.
Mengapa ini penting? Jika sejarah suatu bangsa ditulis di atas kebohongan tanpa koreksi (perbaikan) yang semestinya, maka masa kini pasti akan tercemari oleh kebohongan itu juga, dan masa depan pun tidak akan kurang aman. Filsuf dan sejarawan terkenal RG Collingwood mengungkapkannya dengan indah ketika ia berkata, ‘ Nilai sejarah, oleh karena itu, adalah bahwa ia mengajarkan kita apa yang telah dilakukan manusia dan dengan demikian apa adanya manusia.’[25]
Tentang Penulis: Tariq Mahmood adalah seorang mahasiswa di Institut Bahasa dan Teologi Ahmadiyah (Jamiah Ahmadiyah) di Kanada dan anggota resmi Tim Proyek Eksistensi [satu kelompok para Ahmadi yang mendapat tugas melakukan penelitian dan penulisan mengenai keberadaan Tuhan untuk menghadapi pemikiran Ateistik].
Sumber: ReviewofReligions.org
[1] Danial Dennett the Folly of Pretence, https://www.theguardian.com/commentisfree/belief/2009/jul/16/daniel-dennett-belief-atheism
[2] Harris, Sam. “Letter to a Christian Nation”. Dalam Letter To A Christian Nation, 17. London: Transworld Digital, 2011
[3] Dawkins, Richard, ed. “The ‘Good’ Book and the Changing Moral Zeitgeist.” Esai. Dalam The God Delusion , 278. London: Bantam Press, 2006
[4] Hume, David. “Part 10.” Dalam Hume: Dialogues Concerning Natural Religion, disunting oleh Dorothy Coleman, 74. New York: Cambridge University Press, 2007
[5] https://haqislam.org/imam-abu-hanifah-and-the-atheist/
[6] Abdul Malik Majuhid, Gems and Jewels, halaman 71
[7] Voltaire, Oeuvres complètes des Voltaire, Vol. 8, Histoire de Jenni, hal. 366, dikutip di Blom, Wicked Company: Freethinkers and Friendship in pra-Revolusioner Paris, hal. 89
[8] Marin Mersene, Quaestiones celeberrimae in Genesim … In hoc volumine athei, et deistae impugnatur, et expugnatur , dikutip dalam Alan Charles Kors, Atheism in France, 1650–1729: Vol. 1. Sumber Ketidakpercayaan Ortodoks , hal. 30.
[9] Jonathan Israel, Enlightenment Contested: Philosophy, Modernity, and the Emancipation of Man, 1670–1752, hlm. 164
[10] Michael J. Buckley, At the Origins of Modern Atheism, hlm. 10
[11] Nick Spencer, Atheists: The Origin of the Species. Apple Books, Hal. 15, 18
[12] Ibid, Hal 23
[13] Ibid, Hal 221
[14] Richard Tuck, “The “Christian Atheism” Thomas Hobbes, dalam Hunter dan Wootton, Atheism, hal. 111
[15] Edward, Earl of Clarendon, A Brief View and Survey of the Dangerous and Pernicious Errors to Church and State, dalam Buku Tuan Hobbes, Berjudul ‘Leviathan’ , hlm. 72–3
[16] Nick Spencer, Atheists: The Origin of the Species. Apple Books, Hal. 99
[17] Charles the Second. ““Translation of Second Charter, A.D 1663.” Royalsociety.org , The Royal Society, royalsociety.org/-/media/Royal_Society_Content/about-us/history/Charter2_English.pdf?la=en-GB&hash=A5C7F60AAF0B7D5CDA4200756AFD32D8
[18] Victoria Frede, Doubt, Atheism, and the Nineteenth-century Russian Intelligentsia, hlm. 15
[19] Nick Spencer, Atheists: The Origin of the Species. Apple Books, Hal. 341
[20] Hyman, Gavin. “Atheism in Modern History.” Esai. Dalam The Cambridge Companion to Atheism , disunting oleh Micheal Martin, 31. New York City, New York: Cambridge University Press, 2007
[21] Ibid., hal 342
[22] Francis Bacon, Of Atheism, diambil dari Francis Bacon: The Major Works , hlm. 371–2
[23] LeDrew, Stephen. Esai. Dalam In The Evolution of Atheism: the Politics of a Modern Movement , 4. New York, New York: Oxford University Press, 2016
[24] Simon Sebag Montefiore, Young Stalin, hal. 130
[25] RG Collingwood, diambil dari https://www.memphis.edu/history/about/history_is.php