Bagaimana Berdiskusi dengan Ateis, Berikut 7 Prinsipnya
Sabahat Ali Rajput, Missionary, Mexico
1. Perlihatkan Akhlak
Hal terpenting ketika membahas pandangan yang berlawanan – khususnya ketika membahas Tuhan Yang Maha Esa – adalah mengingat jika kita mencoba menawarkan kepada seseorang versi Tuhan dengan sifat-sifat tertentu – belas kasihan, kasih sayang, pengampunan, kebajikan – maka sifat-sifat ini harus terlihat oleh orang ateis dalam diri kita terlebih dahulu.
Empat hal yang perlu diperhatikan secara khusus adalah:
- Cara kita berperilaku
- Cara kita berbicara
- Cara kita menanggapi
- Cara kita mendengarkan
Di dunia yang penuh dengan para pembicara yang disesatkan oleh penekanan budaya yang sangat tidak proporsional untuk kepentingan diri sendiri, terkadang, permata yang paling langka adalah mereka yang menguasai seni mendengarkan. Menjadi cerdas dan anggun dalam percakapan apa pun menuntut banyaknya mendengarkan dan begitu pula sikap simpati seorang Muslim terhadap sesamanya.
Perhatikanlah bahwa kadang-kadang hal-hal yang tidak kita katakan – diam pada tempat dan waktu yang tepat – dapat membawa kita melampaui kata-kata yang kita buat sendiri.
Mendengarkan dengan baik tidak hanya akan menunjukkan bahwa Anda benar-benar peduli dengan orang tersebut, tetapi juga akan memberi Anda kesempatan untuk berbicara tanpa diganggu saat giliran Anda tiba.
2. Jenis ateisme apa mereka?
Jika Anda pernah berdiri di depan tembok bata, merasakan permukaannya yang tajam di kulit Anda, melihat batu yang dingin itu menatap balik ke arah Anda dengan segala kekokohannya yang sangat tajam, Anda tahu betapa bijaksananya untuk menghadapinya dengan kepalan tangan. Saat berdialog dengan ateis, jika Anda merasa seperti berbicara dengan tembok bata, mundurlah selangkah.
Tanyakan kepada mereka, “Apakah Anda seorang ateis karena Anda membenci versi agama yang diajarkan kepada Anda atau karena Anda benar-benar tahu tanpa keraguan sedikitpun bahwa Tuhan tidak ada?”
Kemungkinannya adalah jika Anda bersikap hangat dan ramah, orang tersebut akan terbuka tentang pertentangan mereka dan mungkin bahkan tentang perjalanan emosional mereka dalam menolak konsep agama/Tuhan.
3. Buka pintu secara perlahan
Sebagian besar teman ateis kita lahir dari kebencian terhadap kesalahpahaman yang menyimpang atau versi agama yang salah. Sering kali, hal ini bersifat emosional dan bukan akademis.
Seorang teman saya dengan penuh semangat dididik di Amerika Selatan untuk menjadi pendeta dan merupakan salah satu favorit uskup agung di wilayah tersebut. Ia pernah bercerita kepada saya bahwa ketika ia mengetahui salah satu gurunya terjerat skandal pelecehan seksual, ia menjadi sangat takut sehingga membuatnya membenci konsep agama secara umum.
Sebaliknya, dalam Islam, banyak di antara mantan ateis Muslim merupakan orang-orang yang mengikuti kebiasaan budaya yang terbelakang (dan tidak Islami) selama bertahun-tahun, yang mereka kira sebagai agama. Sampai kami membicarakannya selayaknya teman dan ia menyaksikan sendiri bagaimana saya memperlakukan putri dan istri saya, teman saya yang lain terpana pada gagasan yang keliaru bahwa Islam menindas wanita dan menolak Tuhan yang – menurut pandangannya – mendukung hal itu.
Bersikaplah lembah lebut, kita harus menyelidiki kesediaan teman-teman ateis kita untuk menerima versi lain dari suatu peristiwa.
Tanyakan kepada teman Anda: “Apakah Anda bersedia membahas fakta bahwa mungkin versi atau narasi agama yang Anda ketahui bukanlah satu-satunya?”
4. Temukan titik temu
Jika dia berpendapat bahwa di dalam agamamu juga ada versi lain yang berbahaya, maka itu bagus!
Anda berdua dapat sepakat dalam ketidaksetujuan dan kecaman Anda terhadap pandangan ini.
Anda mungkin terkejut mengetahui bahwa syahadat Islam mensyaratkan ‘A’ teisme (menolak tuhan-tuhan). Ketika umat Islam mendeklarasikan kata-kata suci yang dikenal sebagai Kalimah, bahkan sebelum menyatakan keyakinan mereka kepada Tuhan, mereka terlebih dahulu dengan tegas mencela setiap sembahan atau bentuk Tuhan lainnya – “Tidak ada yang lain yang layak disembah…”
Bagaimanapun, ini adalah hal yang tampak aneh.
Ketika para sahabat Nabi Muhammad (saw) menyatakan Kalimah syahadat, mereka pada dasarnya mengumumkan penolakan mereka terhadap 360 sembahan palsu terlebih dahulu yang ada di Ka’bah saat itu, kemudian menyatakan keyakinan mereka pada Keesaan Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, di luar perkiraan, kita memiliki lebih banyak kesamaan dengan teman-teman ateis. Kita menolak semua bayangan palsu dan rusak yang secara keliru dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan menerima Realitas Tertinggi.
5. Biarkan ia bernapas dan terpengaruh
Jika Anda pernah berlari maraton, half maraton, atau bahkan lari 5 KM, Anda tahu betapa pentingnya mengatur kecepatan. Langsung berlari kencang akan membuat Anda kelelahan. Buang-buang waktu dengan bermalas-malasan atau berjalan santai di sepanjang rute tidak akan berhasil.
Banyak orang ateis, karena jauh dari iman dan spiritualitas (keruhanian), tidak memiliki cukup tenaga untuk mencerna banyak hal tentang agama sekaligus. Seperti burung pegar kecil yang hanya bisa makan sedikit, tidak peduli seberapa lezatnya hidangan yang disajikan di hadapannya – ia hanya akan memakan apa yang bisa ia makan.
Ketika kita berbicara dengan teman-teman ateis, kita harus memberi mereka waktu dalam diskusi. Jangan selalu membahas agama – biarkan perbuatan Anda berbicara. Perilaku dan tingkah laku kita – mulai dari cara kita menanggapi pengemis di jalan hingga apakah kita menahan pintu agar tetap terbuka, tersenyum kepada kasir, mengucapkan tolong dan terima kasih – semua itu memberi tahu orang lain lebih banyak tentang kita daripada pidato panjang lebar yang mungkin diucapkan sambil minum kopi.
Kita semua manusia – bicarakan tentang olahraga, serial Netflix apa yang sedang mereka tonton, tanyakan kabar keluarga mereka, tawarkan bantuan dalam hal apa pun yang Anda bisa. Sangat penting bagi mereka untuk melihat bahwa kita tidak hanya mengaku sebagai orang yang moderat dan seimbang – kita memang benar-benar orang yang moderat dan seimbang.
6. Tidak ada salahnya menjadi periang
Jangan takut bercanda dan tertawa. Hanya karena kita memiliki pandangan yang berbeda, bukan berarti kita tidak pantas mendapatkan yang terbaik dari satu sama lain. Seorang ateis mungkin akan mengatakan hal-hal yang kita rasa menyakitkan, tetapi bayangkan betapa sakitnya hati seorang ateis – lagipula, Tuhannya sudah mati.
Sering kali, ketika orang mengatakan hal-hal yang merendahkan, hal itu berasal dari luka yang dalam di alam bawah sadar mereka. Adalah tugas seorang Muslim, yang tentangnya Nabi Muhammad saw bersabda, “Waspadalah terhadap ketajaman wawasan (firasat) orang mukmin,” untuk menggunakan instrumen kasih sayang sejati dan kasih hikmah yang mendalam untuk sampai ke inti masalah dan melihat apakah ia dapat membantu saudara/saudarinya di antara umat manusia untuk melihat wajah sejati Tuhan Yang Maha Esa.
7. Berdoa, berdoa dan berdoa
Bahkan sebelum berkumpul untuk berdialog, menanggapi komentar-komentar yang menyinggung yang ditinggalkan seseorang di artikel Jamaat atau dengan hormat menyela percakapan yang Anda dengar di bus, luangkan waktu sejenak untuk mengangkat tangan dan berdoa terlebih dahulu. Setelah membaca Surah al-Fatihah dan shalawat, yang merupakan cara berdoa, luangkan waktu sejenak untuk berdoa bagi orang tersebut.
Nyalakan lilin kasih sayang di hati Anda untuk orang tersebut – saat Anda berbicara kepada mereka setelah itu, benih kasih sayang dan cinta yang Anda tanam akan muncul dalam perilaku dan diskusi Anda.
Luangkan waktu sejenak untuk berdoa dengan kata-kata Anda sendiri dan ingatlah bahwa Nabi Suci Muhammad saw sekalipun tidak diberi kekuatan untuk mengubah hati. Tindakannya bersinar begitu cemerlang dengan obor cinta sehingga seiring berjalannya waktu, musuh-musuhnya yang paling keras pun sekalipun tidak dapat menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan ke arah beliau.
Terakhir, jika Anda menjadi teman dan berhubungan baik, tulislah surat kepada Hazrat Khalifatul Masih (atba) tentang dia. Jika mereka sedang mengalami beberapa keadaan yang sangat sulit, mintalah doa dari sosok suci dari Allah ini yang doanya merupakan tanda agung keberadaan-Nya. Jika Anda menerima surat tanggapan dari beliau, berikan salinannya kepada teman Anda. Ada begitu banyak berkah dalam surat itu sehingga meskipun usaha kita yang sederhana tidak membuahkan hasil, usaha itu akan menerangi jalan.
(Ini merupakan bagian pertama dari rangkaian artikel yang sedang berlangsung yang disebut “Atheisme dalam Penilaian”)
Sumber: Alislam.org
Penerjemah: Mln. Dildaar Ahmad Dartono