Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) sama sekali bukanlah sosok penganiaya. Sebaliknya, beliau merupakan teladan dari sifat kasih sayang yang begitu tinggi hingga musuh terberat beliau sekalipun mengakui bahwa beliau bukanlah seorang yang kejam.
Ibnu Ishak mencatat latar belakang peristiwa yang terjadi di balik munculnya tuduhan tersebut, yaitu:
“Ketika orang-orang Quraisy kesal sekaligus khawatir atas masalah yang disebabkan oleh permusuhan antara mereka dengan Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan para pengikut beliau. Orang-orang bodoh dihasut agar memanggil beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) pendusta, lalu mencaci beliau, menjuluki beliau sebagai seorang penyair, tukang sihir, peramal bahkan orang kesurupan. Namun, beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) tetap terus menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang sebagaimana perintah Allah Ta’ala kepada beliau. Tanpa menyembunyikan apapun. Memancing ketidaksukaan mereka dengan mengecam agama yang mereka percayai agar meninggalkan sembahan lama mereka dan meninggalkan mereka dalam kebimbangan.” [1]
Kita bisa melihat bahwa satu-satunya “kejahatan” Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) hanyalah karena menyebarkan akidah beliau. Tidak ada keluhan yang ditujukan kepada beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) disebabkan perilaku kejam atau menganjurkan kekerasan, tetapi keluhan dan permusuhan muncul karena Nabi Muhammad menolak penyembahan berhala.
Ibnu Ishak menulis bahwa “orang-orang bodoh” dihasut agar memanggil beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai pembohong – jelas menunjukkan bahwa orang-orang bijak dan terpelajar di antara mereka justru mengganggap Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) sosok yang sebaliknya.
Yahya bin Urwah dari ayahnya Abdullah bin Amr bin Al-Ash meriwayatkan:
“Saat mereka [Penduduk Mekkah… sedang membicarakan tentang Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) di Ka’bah, kebetulan Beliau datang dan langsung mencium hajar aswad. Kemudian beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) melanjutkan beribadah dengan mengelilingi Ka’bah dan lewat di depan kumpulan orang-orang Mekkah tersebut. Ketika beliau lewat, mereka mengatakan beberapa hal yang menyakitkan tentang Beliau. Aku bisa melihat dari raut wajah beliau. Kemudian untuk kedua kalinya beliau melanjutkan ibadah dan ketika lewat di hadapan mereka, maka ketika itu juga mereka mencela beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan cara yang sama. Aku bisa melihat dari ratu wajah beliau. Kemudian beliau lewat lagi untuk ketiga kalinya, mereka melakukan hal yang sama. Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian berhenti dan bersabda, ‘Wahai kaum Quraisy, apakah kalian berkenan mendengarkanku? Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan tumpahkan darah kalian [Dzabhu].’ Ucapan ini sungguh membuat orang-orang Quraisy yang ada di tempat tersebut tak dapat berkata-kata. Salah seorang di antara mereka yang terkenal paling kejam kemudian berkata dengan sangat sopan, ‘Pergilah, wahai Abul Qasim [2]. Demi tuhan, Engkau bukanlah orang yang kejam’. Lalu Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) pergi…”[3]
Fakta-fakta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) berulang kali dengan sabar menahan hinaan dikala beliau sedang beribadah dengan khusyuk. Pernyataan beliau yang dianggap sebagai pernyataan keras tidak lain sebagai bentuk reaksi beliau. Selain itu, pernyataan beliau tersebut tidak ubahnya seperti tindakan yang dilakukan oleh para nabi untuk memperingatkan kaum mereka supaya berhenti menghinanya. Sebagaimana nabi Musa (alaihi salam) bersabda:
Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN. (Keluaran 12:12)
Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam sabda Yesus:
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” (Matius: 10:34)
Hal yang paling penting yang harus diperhatikan adalah pernyataan para penghina Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang mengatakan, ‘Wahai [Muhammad], demi Tuhan, Engkau bukanlah orang yang kejam!”
Sungguh itu adalah kesaksian yang luar biasa! Pihak yang sama – yang para pengkritik katakan telah menjadi korban kekerasan Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) – tidak saja menghina Nabi Muhammad secara terang-terangan tanpa takut adanya tindakan balasan, tetapi mereka mengetahui apa maksud kata ‘menumpahkan darah’ yang diutarakan Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), bahwa demi Tuhan, Nabi Muhammad bukan orang yang kejam.
Orang yang takut terhadap seorang yang kejam tentu tidak akan berkali-kali melontarkan hinaan secara langsung. Mereka tentunya tidak akan bersumpah demi Tuhannya bahwa orang yang kejam itu bukanlah sosok yang kejam. Namun, kita melihat bahwa orang-orang yang secara agresif berkali-kali mencaci beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) malahan menganggap beliau sebagai orang yang damai.
Yahya bin Urwh bin Al-Zubair lebih jauh meriwayatkan bahwa setelah Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan tenang meninggalkan kumpulan orang-orang Qurays yang menghina Beliau, di hari selanjutnya para penyembah berhala Mekah tersebut – tanpa diprovokasi berusaha membunuh Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam).
“… [Para pemimpin Quraisy] berkumpul di Hijr, aku juga berada di sana dan mereka bertanya satu sama lain, apakah mereka ingat tentang peristiwa yang terjadi di antara mereka dengan Rasulullah, yang mana ketika Beliau mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan mereka membiarkan beliau pergi.
Saat mereka sedang berbincang, tiba-tiba nabi (shallallahuh ‘alaihi wasallam) muncul. Maka mereka bergegas menghampiri dan mengerumuni Rasulullah. Mereka lalu bertanya, “Apakah engkau orangnya yang mengatakan ini dan itu tentang sembahan-sembahan dan agama kami?” Rasulullah (shallallahuh ‘alaihi wasallam) menjawab, “Ya, aku yang mengatakannya.” Dan salah seorang di antara mereka menarik jubah beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) . Abu Bakar (rodhiyallahu ‘anhu) kemudian berusaha menghalangi dan mengatakan, ‘Apakah kalian akan membunuh seseorang hanya karena menyatakan bahwa ‘Allah adalah Tuhanku?’ Akhirnya mereka pergi meninggalkan beliau… Hari itu, Abu Bakar (rhadiyallahu ‘anhu) kembali dengan kepala yang pitak [sebab] orang-orang Quraisy tersebut juga menarik rambut dan janggut beliau”
Orang-orang Mekkah tanpa diprovokasi – menyerang dan berusaha membunuh Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), meskipun mereka telah bersumpah bahwa demi Tuhan, Beliau bukanlah orang yang kejam. Serangan itu begitu ganas sehingga Abu Bakar (rhadiyallahu ‘anhu), sahabat sekaligus Khalifah pertama beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) harus kehilangan rambut dan janggutnya yang tercabut karena berusaha melindungi Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dari maut.
Menjadi semakin jelas di sini bahwa Abu Bakar (rhadiyallahu ‘anhu) menyatakan bahwa “kejahatan” Nabi Muhammad, yang karenanya beliau mengalami percobaan pembunuhan, hanyalah karena menyatakan Allah sebagai Tuhannya. Jadi kesalahan nabi Muhammad yang membuat orang-orang Mekkah ingin membunuh beliau hanyalah karena mengekspresikan kebebasan berpendapat. Para musuh Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak sekalipun menyatakan bahwa sebab mereka ingin membunuh beliau adalah karena ketidakadilan atau kesalahan yang beliau lakukan atau karena seseorang yang beliau pernah sakiti.
Nabi Muhammad (shalallahu ‘alaihi wasallam) sama sekali bukanlah sosok penganiaya. Sebaliknya, beliau adalah teladan sifat kasih sayang yang begitu tinggi sehingga musuh terberat beliau pun mengakui bahwa beliau bukanlah seorang yang kejam. Orang-orang yang hidup semasa dengan beliau baik lawan maupun kawan tanpa ragu mengungkapkan fakta ini.
Sumber : MuhammadFactCheck.org – Did Muhammad demand slaughter of the Pluralistic Meccans?
Penerjemah : Syafia Tahera
Editor : Yadli Rozali
Footnote:
[1] Alfred Guillaume, The Life of Muhammad – terjemahan dari buku karangan Ishaq berjudul Sirat Rasul Allah 131 (Oxford University Press, 1995).
[2] Tradisi Arab bahwa seseorang dipanggil dengan nama anak laki-lakinya. Muhammad dipanggil Abu Al-Qasim atau Ayahnya Qasim karena beliau memiliki anak laki-laki bernama Qasim yang meninggal ketika masih bayi.
[3] Alfred Guillaume, The Life of Muhammad – terjemahan dari buku karangan Ishaq berjudul Sirat Rasul Allah 131 (Oxford University Press, 1995).
[6] Alfred Guillaume, The Life of Muhammad – terjemahan dari buku karangan Ishaq berjudul Sirat Rasul Allah 131 (Oxford University Press, 1995).