(Manusia-Manusia Istimewa, seri 67)
Pembahasan lanjutan mengenai seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr), Hadhrat Muhammad bin Maslamah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Peran pengkhidmatan beliau.
Penjelasan lebih rinci dari Hadhrat Masih Mau’ud (as) – dalam rangka menjawab tuduhan seorang Kristen – mengenai apa itu Tauriyah (makna ganda dalam ucapan) dan perbedaannya dengan berdusta. Meskipun Tauriyah dibolehkan dalam beberapa kasus bagi orang-orang awam yang dalam keadaan genting, namun orang-orang berderajat tinggi dalam hal keimanan dan ketakwaan akan menjauhi Tauriyah.
Nabi Muhammad (saw) mengutus Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) kepada kaum Yahudi Banu Nadhir yang telah mengkhianati perjanjian damai dengan berkomplot untuk membunuh Nabi (saw) walaupun gagal. Hukuman atas mereka ialah pengusiran dari kota Madinah.
Kemuliaan Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) dalam peristiwa pengepungan kaum Yahudi Banu Quraizhah setelah perang Khandaq (perang Parit) dengan mempersilakan pergi salah seorang Yahudi yang menyesali pengkhianatan kaumnya. Sebuah doa beliau agar tidak luput menutupi kelemahan orang-orang yang beradab. Rujukan penjelasan dari Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) dalam buku Debacah Tafsirul Qur’an.
Menjawab berbagai tuduhan kepada Nabi Muhammad (saw) terkait jatuhnya hukuman mati kepada Abu Rafi Sallam bin Abul Huqaiq, seorang pemimpin Yahudi yang menghasut kabilah-kabilah Arab untuk bersama-sama menyerang Madinah. Kondisi pengepungan Madinah oleh pasukan musuh yang jumlahnya berkali lipat telah terjadi sebelumnya pada perang Ahzab (perang Khandaq).
Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) ialah salah seorang dari empat orang yang diutus Nabi Muhammad (saw) untuk memastikan eksekusi terhadap Abu Rafi.
Rujukan penjelasan dari Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) dalam buku Sirah Khataman Nabiyyin.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 14 Februari 2020 (Tabligh 1399 Hijriyah Syamsiyah/Jumadil Akhir 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada khotbah yang lalu telah dijelaskan berkenaan dengan riwayat Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra). Namun masih ada beberapa hal yang tersisa dan akan saya sampaikan pada hari ini. Berkenaan dengan eksekusi Ka’b bin Asyraf telah diterangkan Hadhrat Muhammad bin Maslamah mencari alasan untuk dapat memancing supaya Ka’b mau keluar dari rumahnya lalu dieksekusi. Apakah hal tersebut dinamakan dusta? Telah dijelaskan pula sebagian ulama berpendapat dengan merujuk pada suatu Hadits bahwa berdusta diizinkan pada tiga kesempatan.1 Pada hakikatnya pendapat yang seperti itu adalah keliru atau keliru dalam menjelaskan Hadits. Alhasil telah saya terangkan pada saat itu dengan merujuk pada buku Sirat Khataman Nabiyyin. Akan tetapi, berkenaan dengan hal tersebut Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga menjelaskan dengan jelas di buku karya beliau bernama Nurul Quran sebagai jawaban atas keberatan yang dilontarkan oleh seorang penganut Kristen. Sebagiannya akan saya sampaikan yang darinya akan jelas sekali bahwa Islam sama sekali tidak mengizinkan berdusta.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Seorang Kristen melontarkan keberatan dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad (saw) telah mengizinkan untuk berdusta pada tiga kesempatan dan Al-Quran pun dengan jelas memerintahkan untuk menyembunyikan keimanan. Ia berkata, ‘Injil saja tidak mengizinkan untuk menyembunyikan keimanan.’”
Sebagai jawabannya Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Perlu diketahui bahwa Al-Qur’an sedemikian rupa menekankan untuk komitmen dalam kejujuran. Saya tidak yakin hal tersebut ditemukan dalam Injil walaupun hanya sepersepuluhnya sekalipun.
Kitab Suci Al-Qur’an telah menyamakan kedustaan dengan penyembahan berhala sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ ‘…maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’ (Surah al-Hajj)
Dia lalu berfirman lagi: ۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ‘Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun berlawanan terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda kepada orang tersebut, “Wahai orang yang tidak takut kepada Tuhan! Bukalah Injil sebentar lalu beritahukan kepada kami, dimanakah terdapat penekanan yang sedemikian rupa dalam Injil berkenaan dengan kejujuran?”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda lagi kepada orang Kristen tersebut yang bernama Fateh Masih, “Anda keliru dan ini disebabkan ketidaktahuan Anda sehingga menyimpulkan RasuluLlah (saw) telah mengizinkan untuk berdusta pada tiga kesempatan. Sebenarnya sama sekali tidak ditemukan izin untuk berdusta dalam Hadits manapun. Bahkan dikatakan di dalam hadits وَإِنْ قُتِلْتَ وَحُرِّقْتَ in qutilta wa hurriqta artinya sekalipun kalian dibunuh atau dibakar jangan pernah tinggalkan kejujuran. Begitu pula diperintahkan dalam Al-Quran untuk tidak meninggalkan keadilan dan kejujuran sekalipun jiwamu akan melayang. Hadits pun memerintahkan, jangan pernah tinggalkan kejujuran sekalipun kalian dibunuh atau dibakar.2
Lantas seandainya anggap saja ada suatu Hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Sahih lainnya maka Hadits seperti itu tidak layak untuk dirujuk (diperhatikan dan diterima) karena kami hanya akan menerima Hadits yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Sahih lainnya.”
Beliau (as) bersabda, “Memang benar, di dalam beberapa Hadits dijumpai isyarat yang mengizinkan untuk bertauriyah (yaitu mengucapkan kalimat yang mengandung makna ganda demi kebaikan). Hal inilah yang demi tujuan menciptakan kebencian (kepada Islam) diistilahkan oleh para penentang Islam dengan sebutan dusta.”
Beliau (as) bersabda, “Ketika seorang yang tidak tahu atau bodoh mendapati suatu kata dalam suatu Hadits bahasan mengenai tasamuh (memilih kata-kata yang mudah dipahami supaya dapat dimengerti) mungkin orang yang jahil tersebut malah memaknainya sebagai benar-benar kedustaan, karena orang tersebut tidak mengetahui keputusan jelas di dalam Islam bahwa kedustaan hakiki disamakan dengan najis, haram dan disamakan dengan Syirk.
Sementata itu, tauriyah pada hakikatnya bukan dusta. Meskipun Tauriyah seolah-olah seperti dusta dan dalam Hadits-Hadits diizinkan untuk orang awam lakukan ketika menghadapi keadaan genting, tetap saja tertulis bahwa mereka yang lebih mulia keimanan dan ketakwaannya bahkan menjauhi Tauriyah.
Tauriyah dalam peristilahan Islam ialah suatu ucapan yang diucapkan untuk menyembunyikan sesuatu disebabkan khawatir dapat terjadi kekisruhan atau menerangkan sesuatu dengan permisalan untuk merahasiakannya demi suatu kebaikan sehingga hal itu dapat dipahami oleh orang berakal namun tidak dipahami oleh orang bodoh. Pemikiran orang yang tidak paham tertuju ke arah yang bukan dimaksud oleh si pengucap. Setelah merenungkannya dapat dipahami bahwa apapun yang dikatakan oleh si pengucap bukanlah kedustaan melainkan kebenaran. Di dalam ucapannya tidak ada sedikit pun campuran kedustaan, tidak juga sedikit pun hati mencondongkannya ke arah kedustaan, sebagaimana dalam sebagian hadits beliau (saw) dijumpai terdapat izin untuk melakukan tauriyah demi mendamaikan dua orang Muslim, menyelamatkan istri dari suatu kekacauan atau perseteruan dalam rumah tangga atau untuk merahasiakan sesuatu dari musuh demi suatu kebaikan atau dengan niat untuk mengecoh musuh ke arah lain.
Meskipun demikian banyak sekali hadits lainnya juga yang darinya dapat diketahui bahwa tauriyah bertentangan dengan derajat ketakwaan yang tinggi. Bagaimanapun kejujuran yang terang-terangan adalah lebih baik sekalipun karena itu kita akan dibunuh atau dibakar.”
Beliau (as) bersabda, “RasuluLlah (saw) memerintahkan untuk sedapat mungkin menjauhinya supaya dalam corak lahiriah pemahaman ucapan tersebut tidak serupa dengan dusta.”
Selanjutnya bersabda, “Ketika saya merenungkan keadaan Hadhrat RasuluLlah (saw) tengah sendirian di tengah peperangan yang sedang berkecamuk pada perang Uhud, beliau bersabda, ‘Aku Muhammad! Aku Nabi Allah! Aku putra Abdul Muthalib.’”
Perlu saya (Hadhrat Khalifatul Masih V atba) sampaikan klarifikasi dalam hal telah tertulis pada catatan kaki cetakan buku tersebut, ‘Sahwi he yeh waqi’ah Hunain ka he. Syams.’ – “Terdapat kekeliruan atau kelupaan dalam penulisan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada perang Hunain. Bukan perang Uhud. Catatan kaki oleh Syams.”3
Pihak Research Cell (Bagian Penelitian) telah mengirimkan rujukannya kepada saya dari kitab Sirah al-Halbiyah yang di dalamnya tertulis, وقال صلى الله عليه وسلم في بعض غزواته أي في غزوة حنين وفي غزوة أحد أنا النبي لا كذب أنا ابن عبد المطلب “Ucapan tersebut (أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ ana an-Nabiyyu laa kadzib ana bnu ‘Abdil Muththalib.’) disabdakan Nabi Muhammad (saw) pada beberapa kesempatan perang yaitu pada perang Hunain dan perang Uhud.”4
Maka dari itu, Departeman atau Nazarat Isyaat (penerbitan) hendaknya membuang catatan kaki tersebut. Seringkali saya perhatikan, terkadang disebabkan oleh ketergesa-gesaan, pihak penerbit langsung memberikan catatan kaki pada sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan menulis “keliru” atau “terlupa” untuk menerangkan maksud atau memudahkan pemahaman padahal diperlukan penyelidikan yang mendalam untuk itu. Perlu adanya keseriusan menanganinya. Alhasil, saya sudah menerima rujukannya didalamnya tertulis dengan jelas bahwa ucapan tersebut disabdakan oleh Nabi Muhammad (saw) pada perang Hunain dan juga pada perang Uhud. Sudah ada klarifikasinya.
Sekarang lebih lanjut Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Suatu kebodohan yang sangat jika seseorang menganggap Tauriyah sebagai dusta. Bahkan, meskipun Tauriyah itu dalam Hadits disifatkan sebagai dusta dibolehkan.” (Yakni menggunakan kalimat dusta dengan maksud untuk memudahkan kata-kata dan supaya dapat dimengerti dengan mudah). Sebab, Al-Qur’an dan hadits sepakat menyatakan dengan jelas bahwa kedustaan hakiki itu sangat haram dan najis. Hadits-hadits yang berderajat tinggi telah menjelaskan perihal Tauriyah secara gamblang. Lantas anggap saja, jika ada Hadits yang menggunakan kata ‘dusta’ daripada Tauriyah, maka – naudzubillah – bagaimana bisa diartikan sebagai kedustaan hakiki. Melainkan menjadi suatu tanda betapa tipisnya ketakwaan orang yang menganggap kata Tauriyah sebagai kedustaan meskipun dalam kalimat tersebut dipakai kata al-kidzb (kedustaan) sebagai sebuah kebolehan. Perlu bagi kita untuk mengikuti Al-Qur’an dan Hadits-Hadits shahih. Jika ada perkara yang bertentangan dengan keduanya, kita sekali-kali tidak akan menerima maknanya yang bertentangan dengan keduanya.”
Selanjutnya beliau (as) bersabda, “Al-Quran telah melaknat para pendusta, pendusta adalah sahabat syaitan, seorang pendusta kosong dari keimanan dan syaitan-syaitan turun atas para pendusta.”
Beliau tidak hanya bersabda bahwa janganlah berdusta bahkan bersabda juga, “Tinggalkanlah persahabatan dengan para pendusta, jangan jadikan mereka sebagai kawan, takutlah kepada Tuhan, bergaullah dengan orang-orang yang jujur. Ketika kamu tengah berbicara, ucapan yang keluar harus semata-mata kebenaran. Sebagai olok-olokan atau tertawaan pun jangan sampai ada kedustaan di dalamnya.”5
Saya akan lanjutkan perihal sisi kehidupan lainnya dari sahabat Hadhrat Muhammad bin Maslamah. Ketika Banu Nadhir (بنو النضير) berusaha dengan mengelabui untuk membunuh RasuluLlah (saw) dengan cara menjatuhkan batu penggilingan ke atas RasuluLlah (saw), Allah Ta’ala mengabarkan kepada RasuluLlah (saw) melalui wahyu. Dengan sigap RasuluLlah (saw) bangkit seolah-olah untuk suatu keperluan. RasuluLlah (saw) lalu berangkat ke Madinah.6
Setelah RasuluLlah (saw) berangkat, para sahabat pun setelah tidak lama menunggu kemudian mengikuti RasuluLlah (saw) ke Madinah. Ketika para sahabat tiba di Madinah, mereka mendapatkan kabar RasuluLlah (saw) memanggil Hadhrat Muhammad bin Maslamah. Hadhrat Abu Bakar berkata, يَا رَسُولَ اللّهِ قُمْت وَلَمْ نَشْعُرْ “Wahai Rasulullah! Kami tidak menyadari bahwa tuan telah berangkat.”
RasuluLlah (saw) bersabda, هَمَّتْ يَهُودُ بِالْغَدْرِ فَأَخْبَرَنِي اللَّهُ بِذَلِكَ فَقُمْتُ “Orang-orang Yahudi ingin mengelabui saya, namun Allah Ta’ala mengabarkan kepada saya lalu saya bangkit dan pergi.”
Berkenaan dengan ini Allah Ta’ala menurunkan ayat: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ ‘Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.’
Nabi (saw) mengutus Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) kepada orang-orang Yahudi, dijelaskan sbb: ketika Hadhrat Muhammad bin Maslamah hadir di depan RasuluLlah (saw), RasuluLlah (saw) bersabda, اذْهَبْ إلَى يَهُودِ بَنِي النّضِيرِ فَقُلْ لَهُمْ إنّ رَسُولَ اللّهِ أَرْسَلَنِي إلَيْكُمْ أَنْ اُخْرُجُوا مِنْ بَلَدِه “Pergilah kepada kaum Yahudi Banu Nadhir dan katakan kepada mereka, ‘Saya diutus oleh RasuluLlah (saw) kepada kalian untuk mengatakan agar kalian meninggalkan kota beliau (saw) ini.”
Berangkatlah beliau kepada orang-orang Yahudi. Perintah ini dilatarbelakangi karena orang-orang Yahudi telah melakukan rencana pembunuhan dan melangar perjanjian yang telah mereka ikrarkan. Karena itu, hukuman bagi mereka adalah harus meninggalkan kota.
Berangkatlah Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) kepada orang-orang Yahudi dan berkata, إنّ رَسُولَ اللّهِ أَرْسَلَنِي إلَيْكُمْ بِرِسَالَةٍ وَلَسْت أَذْكُرُهَا لَكُمْ حَتّى أُعَرّفَكُمْ شَيْئًا تَعْرِفُونَهُ “RasuluLlah (saw) mengirim saya kepada kalian untuk menyampaikan pesan, namun saya belum akan sampaikan itu sebelum saya ingatkan kalian akan suatu hal yang biasa kalian sampaikan dalam majlis-majlis kalian dahulu.”
Orang-orang Yahudi bertanya, “Apa itu?”
Beliau (ra) menjawab, أَنْشُدُكُمْ بِالتّوْرَاةِ الّتِي أَنَزَلَ اللّهُ عَلَى مُوسَى ، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنّي جِئْتُكُمْ قَبْلَ أَنْ يُبْعَثَ مُحَمّدٌ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَكُمْ التّوْرَاةُ ، فَقُلْتُمْ لِي فِي مَجْلِسِكُمْ هَذَا : “Saya bersumpah kepada kalian demi Kitab Suci Taurat yang telah Allah turunkan kepada Musa. Tahukah kalian bahwa sebelum diutusnya Hadhrat Muhammad (saw) saya pernah datang kepada kalian lalu kalian membuka Taurat. Kalian mengatakan di peristiwa tersebut, يا ابن مسلمة إن شئت أن غديناك، وإن شئت أن نهودك هوّدناك ‘Wahai Ibnu Maslamah (putra Maslamah)! Jika kamu ingin kami berikan kamu makan maka kami akan beri kamu makan. Jika kamu ingin supaya kami jadikan kamu Yahudi maka akan kami jadikan kamu Yahudi.’
Saya katakan kepada mereka, غَدّونِي وَلَا تُهَوّدُونِي ، فَإِنّي وَاَللّهِ لَا أَتَهَوّدُ أَبَدًا فَغَدّيْتُمُونِي فِي صَحْفَةٍ لَكُمْ وَاَللّهِ لَكَأَنّي أَنْظُرُ إلَيْهَا كَأَنّهَا جَزْعَةٌ فَقُلْتُمْ لِي : ‘Saat ini berikan saja saya makanan. Jangan jadikan saya Yahudi. Demi Tuhan! Saya tidak akan pernah mau menjadi Yahudi.’
Kalian lalu memberi saya makanan dalam sebuah wadah. Selanjutnya kalian berkata kepada saya, مَا يَمْنَعُك مِنْ دِينِنَا إلّا أَنّهُ دِينُ يَهُودَ . كَأَنّك تُرِيدُ الْحَنِيفِيّةَ الّتِي سَمِعْت بِهَا ، أَمَا إنّ أَبَا عَامِرٍ قَدْ سَخِطَهَا وَلَيْسَ عَلَيْهَا ، أَتَاكُمْ صَاحِبُهَا الضّحُوكُ الْقَتّالُ فِي عَيْنَيْهِ حُمْرَةٌ يَأْتِي مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ ، يَرْكَبُ الْبَعِيرَ وَيَلْبَسُ الشّمْلَةَ وَيَجْتَزِئُ بِالْكِسْرَةِ سَيْفُهُ عَلَى عَاتِقِهِ لَيْسَتْ مَعَهُ آيَةٌ هُوَ يَنْطِقُ بِالْحِكْمَةِ كَأَنّهُ وَشِيجَتُكُمْ هَذِهِ وَاَللّهِ لَيَكُونَنّ بِقَرْيَتِكُمْ هَذِهِ سَلَبٌ وَقَتْلٌ وَمَثْلٌ ق ‘Kamu semata-mata tidak memilih agama ini karena ini adalah agama orang-orang Yahudi. Sepertinya kamu menginginkan Hanifiyyat yang mengenainya telah kamu dengarkan. Abu Aamir sang Rahib adalah bukan penggenapannya.’ (maksudnya, “Apa yang kamu dengar bahwa seorang Nabi akan datang, Abu Amir tidak dapat menjadi penggenapan kedatangan Nabi tersebut.) ‘Saat ini pribadi itu akan datang padamu. Ia orang yang biasa tersenyum. Ia berperang. Ia terdapat warna merah pada matanya. Ia akan datang dari arah Yaman. Ia akan mengendarai unta. Ia akan mengenakan kain cadar. Ia akan bersifat qana’ah. Pedangnya akan berada di pundaknya. Ia akan berbicara dengan bijak seolah-olah ia merupakan kerabat satu kampungmu. Demi Tuhan kekisruhan akan terjadi di kampungmu, pembunuhan, dan pertumpahan darah.’
Mereka berkata, اللّهُمّ نَعَمْ قَدْ قُلْنَاهُ لَك وَلَكِنْ لَيْسَ بِهِ ‘Ya Allah, benar kami pernah mengatakan demikian. Namun, bukan begitu.’ Maksudnya, “Kami telah mengatakan itu semua, namun Nabi yang kami maksud bukanlah Muhammad.”
Hadhrat Muhammad Maslamah berkata, قَدْ فَرَغْت ، إنّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَرْسَلَنِي إلَيْكُمْ يَقُولُ لَكُمْ قَدْ نَقَضْتُمْ الْعَهْدَ الّذِي جَعَلْت لَكُمْ بِمَا هَمَمْتُمْ بِهِ مِنْ الْغَدْرِ بِي وَأَخْبَرَهُمْ بِمَا كَانُوا ارْتَأَوْا مِنْ الرّأْيِ وَظُهُورِ عَمْرِو بْنِ جَحّاشٍ عَلَى الْبَيْتِ يَطْرَحُ الصّخْرَةَ فَأَسْكَتُوا فَلَمْ يَقُولُوا حَرْفًا. ”Telah saya sampaikan pada kalian apa yang ingin saya sampaikan. RasuluLlah (saw) telah mengutus saya untuk mengatakan bahwa kalian (Yahudi) telah melanggar perjanjian yang telah dibuat untuk kalian dan kalian juga berusaha untuk mengelabui beliau (saw).”
Hadhrat Muhammad bin Maslamah memberitahukan rencana jahat Yahudi terhadap RasuluLlah (saw) yakni bagaimana Amru bin Jihasy (عَمْرُو بْنُ جِحَاشِ بْنِ كَعْبِ بْنِ بَسِيلٍ النَّضْرِيُّ) naik ke atap untuk menjatuhkan batu penggilingan dari atas kepada Rasulullah. Mendengar hal itu orang Yahudi bungkam.
Hadhrat Muhammad bin Maslamah berkata kepada mereka, أَنِ اخْرُجُوا مِنْ بَلَدِي فَلَا تُسَاكِنُونِي بِهَا وَقَدْ هَمَمْتُمْ بِمَا هَمَمْتُمْ بِهِ مِنَ الْغَدْرِ وَقَدْ أَجَّلْتُكُمْ عَشْرًا فَمَنْ رُئِيَ بَعْدَ ذَلِكَ ضَرَبْتُ عُنُقَهُ “Nabi (saw) memerintahkan kalian untuk meninggalkan kota ini dan beliau memberikan tenggang waktu 10 hari kepada kalian. Siapa saja dari antara kalian yang masih terlihat di kota ini maka akan aku bunuh.” 7
Orang-orang Yahudi mengatakan, يَا مُحَمّدُ مَا كُنّا نَرَى أَنْ يَأْتِيَ بِهَذَا رَجُلٌ مِنْ الْأَوْسِ “Wahai Ibnu Maslamah! Tidak pernah kami sangka bahwa pesan seperti ini dibawa oleh anggota kabilah Aus.”
Hadhrat Muhammad bin Maslamah berkata, تَغَيّرَتْ الْقُلُوبُ “Sekarang hati sudah berubah.”
Orang-orang Yahudi lalu melakukan persiapan untuk beberapa hari. Kendaraan mereka dibawa dari Dzu Jaddar yakni kawasan tempat makan ternak yang berjarak 6 mil dari Madinah ke arah Qaba. Ternak mereka biasa diberi makan di sana. Mereka menyewa unta dari Banu Asyja’ (أَشْجَعَ) dan melakukan persiapan lengkap untuk keberangkatan. Dirujuk dari buku sejarah.8
Bagaimanakah perilaku orang-orang Yahudi? Hadhrat Khalifatul Masih Tsani radhiyAllahu Ta’ala ‘anhu menjelaskan mengenai hal itu pada saat menerangkan mengenai pemberontakan Banu Quraidhah. Meskipun ini pernah dijelaskan pada topik Hadhrat Ammar bin Yasir, namun dari sisi sejarah perlu saya sampaikan di sini. Beliau (ra) menulis, “Masih harus dibuat perhitungan perihal Banu Quraizhah. Pemberontakan mereka tak dapat dibiarkan begitu saja. Setelah sampai [ke rumah] Hadhrat RasuluLlah (saw) bersabda kepada para sahabat, ‘Jangan beristirahat dulu, sebelum matahari terbenam kalian harus sampai di benteng Banu Quraizhah.’
Kemudian, beliau mengutus Hadhrat Ali (ra) ke sana untuk menanyakan kenapa Banu Quraizhah telah melanggar perjanjian.
Banu Quraizhah tidak menunjukkan penyesalan atau kecenderungan untuk minta maaf. Sebaliknya, mereka menghina dan mengejek Hadhrat Ali dan anggota-anggota delegasi lainnya serta mulai melemparkan cacian dan makian terhadap Hadhrat RasuluLlah (saw) dan para wanita keluarga beliau. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak ambil peduli akan Muhammad (saw) dan tak pernah mengadakan perjanjian dengan beliau.
Ketika Ali kembali memberi laporan tentang jawaban kaum Yahudi itu, ia menyaksikan Hadhrat RasuluLlah (saw) dan para Sahabat tengah bergerak menuju perbentengan Yahudi itu. Kaum Yahudi tengah mencaci-maki Hadhrat RasuluLlah (saw), istri-istri dan anak-anak beliau.
Khawatir kalau-kalau hal itu akan menyakiti hati Hadhrat RasuluLlah (saw), Hadhrat Ali (ra) mengemukakan Hadhrat RasuluLlah (saw) sendiri tidak perlu ikut karena kaum Muslimin sendiri sanggup menghadapi kaum Yahudi itu. Hadhrat RasuluLlah (saw) mengerti maksud Hadhrat Ali (ra) dan bersabda, ‘Anda menghendaki saya tidak mendengar caci-maki mereka, hai Ali?’
‘Ya, tepat sekali,’ ujar Hadhrat Ali (ra).
‘Tetapi mengapa?’ Sabda Hadhrat RasuluLlah (saw), ‘Musa adalah dari sanak-saudara mereka sendiri. Meski demikian, mereka telah menimpakan penderitaan kepada beliau, lebih daripada kepada saya.’
Hadhrat RasuluLlah (saw) terus maju. Orang Yahudi mengatur pertahanan dan memulai pertempuran. Wanita-wanita mereka pun ikut. Beberapa prajurit Muslim sedang duduk di kaki dinding benteng. Seorang wanita Yahudi yang melihat kesempatan itu menjatuhkan batu ke atas mereka dan menewaskan seorang Muslim yang bernama Khallad.
Pengepungan benteng itu terjadi beberapa hari. Akhirnya, kaum Yahudi merasa tak dapat bertahan lama lagi. Maka para pemimpin mereka mengirimkan permohonan kepada Hadhrat RasuluLlah (saw) untuk mengutus Abu Lubabah, seorang pemimpin Anshar dari suku Aus yang baik perhubungannya dengan kaum Yahudi. Mereka ingin meminta nasihatnya untuk mencapai suatu penyelesaian.
Hadhrat RasuluLlah (saw) menyuruh Abu Lubabah pergi kepada orang-orang Yahudi yang kemudian menanyakan kepada mereka, ‘Bukankah kalian sebaiknya menghentikan pertempuran dan menerima syarat-syarat perdamaian dari Muhammad (saw)?’
Abu Lubabah mengatakan hal itu merupakan syarat mutlak. Tetapi, pada saat itu juga ia mengisyaratkan dengan tangan memotong leher, isyarat kematian dengan pembunuhan.
Hadhrat RasuluLlah (saw) pada waktu itu tidak menyatakan keputusan apa pun kepada siapa juga tentang perkara itu. Tetapi Abu Lubabah yang beranggapan bahwa atas kejahatan itu tak ada balasan lain kecuali ‘hukuman mati’ tanpa disengaja telah membuat gerakan isyarat itu, yang ternyata menjadi malapetaka bagi kaum Yahudi.
Mereka menolak nasihat Abu Lubabah untuk menyerahkan nasib kepada keputusan Hadhrat RasuluLlah (saw). Andai kata mereka menerimanya, maka hukuman paling berat yang akan mereka terima ialah pengusiran dari Medinah sebagaimana kabilah-kabilah Yahudi lain sebelumnya. Tetapi, nasib buruk mereka membuat mereka menolak putusan Hadhrat RasuluLlah (saw).
Daripada bersedia menerima keputusan Hadhrat RasuluLlah (saw), mereka lebih suka menerima keputusan Sa’d bin Mu’adz pemimpin sekutu mereka, suku Aus. Mereka bersedia menerima apa pun yang diusulkannya.
Suatu pertengkaran timbul di antara orang-orang Yahudi. Beberapa dari mereka mulai mengatakan bahwa kaum mereka sesungguhnya telah mencabut persetujuan dengan kaum Muslimin. Di pihak lain, sikap dan perilaku kaum Muslimin menunjukkan kebenaran serta kejujuran, dan bahwa agama mereka pun agama yang benar. Mereka yang beranggapan demikian terus masuk Islam.
Amru bin Su’da (عَمْرُو بْنُ سُعْدَى), salah seorang pemimpin Yahudi, menyesali kaumnya dan berkata, ‘Kamu telah melanggar kepercayaan dan telah mengkhianati janji yang telah kamu berikan. Jalan satu-satunya yang masih terbuka untuk kamu ialah masuk Islam atau membayar jizyah.’
Mereka berkata, ‘Kami tak mau masuk Islam dan tidak mau membayar jizyah, sebab mati adalah lebih baik daripada membayar jizyah.’ Amru menjawab bahwa dalam keadaan demikian ia cuci tangan, dan sambil berkata demikian ia meninggalkan benteng itu.
Ia terlihat oleh Muhammad bin Maslamah (مُحَمّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ), panglima pasukan Muslim, yang bertanya siapa dia. Setelah diketahui asal-usulnya, dikatakan kepadanya bahwa ia boleh pergi dengan aman dan Muhammad bin Maslamah sendiri berdoa keras: اللَّهمّ لَا تَحْرِمْنِي إقَالَةَ عَثَرَاتِ الْكِرَامِ ‘Allahumma laa tahrimnii iqaalata ‘atsaraatil kiraam.’ – ‘Ya Tuhan, berilah hamba selalu kekuatan untuk menutupi kesalahan-kesalahan orang-orang yang beradab.’9
Artinya, ‘Karena orang ini menyesali perbuatannya dan perbuatan kaumnya maka telah menjadi kewajiban kaum Muslimin memaafkan orang-orang semacam itu. Untuk itu saya tidak menangkapnya dan mendoa semoga Allah taala senantiasa memberikan saya taufik untuk selalu mengerjakan amal baik serupa itu.’
Ketika Hadhrat RasuluLlah (saw) mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah, yaitu melepaskan seorang pemimpin Yahudi itu, beliau tidak memarahinya. Bahkan sebaliknya, beliau membenarkan tindakannya itu.”10
Alhasil, umat Islam senantiasa memperlakukan dengan adil sesuai dengan ajaran dan tarbiyat Rasulullah. Setelah penduduk Khaibar melakukan kejahatannya yang memuncak lalu umat Muslim membunuh Abu Rafi’ seorang Yahudi karenanya. Kisahnya sebagai berikut. Kelompok sahabat yang diutus untuk mengeksekusinya diantaranya adalah Hadhrat Muhammad bin Maslamah. Pembunuhan dilakukan oleh orang lain namun beliau termasuk kelompok sahabat yang diutus.
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib menjelaskan kisah tersebut secara jelas yang dirujuk dari berbagai sumber sejarah: “Disebabkan hasutan para pemuka Yahudi pada akhir tahun ke-5 Hijriyah terjadi konflik yang berbahaya dalam bentuk perang Ahzab terhadap umat Muslim. Diantara para pemuka Yahudi tersebut adalah Huyyay bin Akhtab yang bersama kawan-kawannya dari Banu Quraizhah telah mendapatkan hukuman atas kejahatannya. Namun, Sallam bin Abil Huqaiq yang dipanggil Abu Rafi masih dengan bebasnya sibuk di daerah Khaibar menciptakan kekisruhan sebagaimana sebelumnya. Bahkan, kegagalan yang penuh dengan kehinaan pada perang Ahzab dan akhir mengerikan yang dirasakan oleh Banu Quraizhah semakin menyulut api permusuhannya. Dikarenakan tempat peristirahatan Kabilah Ghatfaan ada di dekat Khaibar sedangkan Yahudi Khaibar seperti tetangga kabilah Najd sehingga dengan alasan ini saat itu Abu Rafi, yang merupakan seorang pedagang kaya dan berpengaruh membuat strategi untuk menghasut kabilah Najd yang garang dan gemar berperang untuk menentang umat Muslim. Dalam hal permusuhannya terhadap RasuluLlah (saw) ia memiliki kesamaan penuh dengan Ka’b bin Asyraf.11
Sallam bin Abil Huqaiq Abu Rafi’ lalu memberi bantuan harta yang banyak kepada penduduk Ghathfan untuk menyerang RasuluLlah (saw).12 Lebih lanjut lagi, terbukti dari sejarah bahwa pada bulan Sya’ban timbul ancaman bahaya dari pihak Banu Sa’d terhadap umat Muslim yang untuk menghadapinya dikirimlah pasukan dibawah pimpinan Hadhrat Ali dari Madinah.13 Di balik ancaman dari Banu Sa’d tersebut terdapat kaum Yahudi Khaibar yang dipimpin oleh Abu Rafi. Namun, Abu Rafi tidak hanya puas sampai di sana. Api permusuhannya haus akan darah umat Muslim dan di matanya keberadaan RasuluLlah (saw) seperti duri yang selalu melukai. Maka dari itu, pada akhirnya ia menempuh cara-cara dengan mendatangi kabilah Najd, Ghathfaan dan kabilah-kabilah lainnya serta mulai mengumpulkan mereka dalam bentuk lasykar besar untuk menghancurkan umat Muslim. Ketika keadaan sudah demikian dan di depan orang-orang Muslim mulai terulang lagi pemandangan pada perang Ahzab lalu beberapa Anshar dari Kabilah Khazraj menemui RasuluLlah (saw) dan bertanya, ‘Apakah solusi untuk mengatasi keributan kali ini masih ada selain menghabisi sang mastermind (otak penggerak, biang keladi atau dalangnya) yaitu Abu Rafi?’ 14
RasuluLlah (saw) berpikiran daripada terjadi pertumpahan darah yang luas di dalam negeri, lebih baik menghabisi biang kekisruhan. Beliau (saw) mengizinkan para sahabat. RasuluLlah (saw) mengutus empat sahabat Khazraj di bawah komandan Abdullah bin Atik kepada Abu Rafi. Namun ketika berangkat RasuluLlah (saw) menegaskan untuk sekali-kali tidak membunuh wanita atau anak-anak.15 Pada tahun ke-6 Hijriyyah bulan Ramadhan berangkatlah kelompok tersebut lalu kembali setelah mengerjakan tugasnya dengan penuh kehati-hatian.16 Dengan demikian Madinah terhindar dari kabut musibah tersebut.
Rincian peristiwa tersebut dijelaskan di dalam Shahih al-Bukhari sebagai berikut: ‘Bara bin Azib meriwayatkan bahwa (عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ), بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي رَافِعٍ الْيَهُودِيِّ رِجَالًا مِنْ الْأَنْصَارِ فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُعِينُ عَلَيْهِ وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الْحِجَازِ فَلَمَّا دَنَوْا مِنْهُ وَقَدْ غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَرَاحَ النَّاسُ بِسَرْحِهِمْ Hadhrat RasuluLlah (saw) mengutus sekelompok sahabat kepada Abu Rafi dan menetapkan Abdullah bin Atik sebagai komandan. Abu Rafi adalah orang yang sering menyakiti RasuluLlah (saw) dan menghasut orang-orang untuk menentang RasuluLlah (saw) dan juga memberikan bantuan pada orang-orangnya. Ketika Abdullah bin Atik dan kawan-kawannya tiba di dekat gerbang rumah Abu Rafi, matahari telah terbenam [sudah waktu malam dan orang-orang tengah istirahat]. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لِأَصْحَابِهِ اجْلِسُوا مَكَانَكُمْ فَإِنِّي مُنْطَلِقٌ وَمُتَلَطِّفٌ لِلْبَوَّابِ لَعَلِّي أَنْ أَدْخُلَ فَأَقْبَلَ حَتَّى دَنَا مِنْ الْبَابِ ثُمَّ تَقَنَّعَ بِثَوْبِهِ كَأَنَّهُ يَقْضِي حَاجَةً وَقَدْ دَخَلَ النَّاسُ فَهَتَفَ بِهِ الْبَوَّابُ Abdullah bin Atik meninggalkan kawan-kawannya di belakang lalu menuju pintu gerbang. Ia menutupi tubuh dengan kain dan duduk seperti orang yang akan mengemis. Ketika petugas penutup gerbang datang, ia melihat ke arah Abdullah lalu bertanya: يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ أَنْ تَدْخُلَ فَادْخُلْ فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُغْلِقَ الْبَابَ “Wahai hamba Allah! Saya datang untuk menutup pintu gerbang, jika kamu mau masuk, cepatlah masuk.” فَدَخَلْتُ فَكَمَنْتُ فَلَمَّا دَخَلَ النَّاسُ أَغْلَقَ الْبَابَ ثُمَّ عَلَّقَ الْأَغَالِيقَ عَلَى وَتَدٍ Abdullah pun segera masuk dan bersembunyi di suatu pojok. Penjaga tadi menutup pintu dan menggantungkan kuncinya di dinding lalu pergi.’
Abdullah menuturkan, فَقُمْتُ إِلَى الْأَقَالِيدِ فَأَخَذْتُهَا فَفَتَحْتُ الْبَابَ وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ يُسْمَرُ عِنْدَهُ وَكَانَ فِي عَلَالِيَّ لَهُ فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْهُ أَهْلُ سَمَرِهِ صَعِدْتُ إِلَيْهِ فَجَعَلْتُ كُلَّمَا فَتَحْتُ بَابًا أَغْلَقْتُ عَلَيَّ مِنْ دَاخِلٍ قُلْتُ إِنْ الْقَوْمُ نَذِرُوا بِي لَمْ يَخْلُصُوا إِلَيَّ حَتَّى أَقْتُلَهُ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ فَإِذَا هُوَ فِي بَيْتٍ مُظْلِمٍ وَسْطَ عِيَالِهِ لَا أَدْرِي أَيْنَ هُوَ مِنْ الْبَيْتِ فَقُلْتُ يَا أَبَا رَافِعٍ قَالَ مَنْ هَذَا فَأَهْوَيْتُ نَحْوَ الصَّوْتِ فَأَضْرِبُهُ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ وَأَنَا دَهِشٌ فَمَا أَغْنَيْتُ شَيْئًا وَصَاحَ فَخَرَجْتُ مِنْ الْبَيْتِ فَأَمْكُثُ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ دَخَلْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ مَا هَذَا الصَّوْتُ يَا أَبَا رَافِعٍ فَقَالَ لِأُمِّكَ الْوَيْلُ إِنَّ رَجُلًا فِي الْبَيْتِ ضَرَبَنِي قَبْلُ بِالسَّيْفِ “Setelah itu saya meninggalkan tempat dan pertama tama saya membuka gembok pintu gerbang benteng, supaya ketika diperlukan dapat keluar dengan cepat dan mudah. Saat itu Abu Rafi tengah tengah duduk di suatu ruangan bersama dengan orang-orang. Ketika orang-orang telah meninggalkan majlis dan suasana menjadi sunyi lalu saya meniki tangga yang menuju ke rumah Abu Rafi. Setiap pintu yang saya lewati saya tutup kembali dengan hati hati.
Sesampainya di ruangan Abu Rafi, saat itu ia tengah memadamkan lentera untuk bersiap tidur. Kamarnya benar-benar gelap. Saya bersuara menyebut nama Abu Rafi. Lalu ia menyaut, siapa? Lalu saya memperkirakan arah suara itu berasal kemudian menuju kearah itu dan menebaskan pedang ke arah itu. Namun karena sangat gelap dan hati saya diliputi rasa risau karenanya tebasan pedang tidak mengenainya.
Abu Rafi berteriak lalu saya keluar ruangan. Tidak lama kemudian saya masuk lagi ke ruangannya lalu merubah suara dan bertanya padanya, ‘Kenapa kamu teriak Abu Rafi’?’
Ia tidak mengenali suara saya yang telah dirubah dan menjawab, ‘Celakalah ibumu! Baru saja ada seseorang yang menebaskan pedang kepadaku.’
فَأَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أَثْخَنَتْهُ وَلَمْ أَقْتُلْهُ ثُمَّ وَضَعْتُ ظِبَةَ السَّيْفِ فِي بَطْنِهِ حَتَّى أَخَذَ فِي ظَهْرِهِ فَعَرَفْتُ أَنِّي قَتَلْتُهُ فَجَعَلْتُ أَفْتَحُ الْأَبْوَابَ بَابًا بَابًا حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى دَرَجَةٍ لَهُ فَوَضَعْتُ رِجْلِي وَأَنَا أُرَى أَنِّي قَدْ انْتَهَيْتُ إِلَى الْأَرْضِ فَوَقَعْتُ فِي لَيْلَةٍ مُقْمِرَةٍ فَانْكَسَرَتْ سَاقِي فَعَصَبْتُهَا بِعِمَامَةٍ Mendengar suara ini saya melompat ke arahnya dan menebaskan pedang. Kali ini tebasan pedang mengenai sasaran namun ia belum mati, oleh karena itu saya menebasnya lagi untuk yang ketiga kalinya dan membunuhnya. Setelah itu saya cepat-cepat membuka pintu dan keluar dari rumah. Namun ketika saya turun melewati tangga, masih tersisa beberapa beberapa anak tangga lagi, namun saya menyangka sudah habis, karenanya saya jatuh di kegelapan dan betis saya patah, – dalam satu riwayat lain dikatakan sendi betisnya bergeser – maka saya mengikatnya dengan sorban saya.
ثُمَّ انْطَلَقْتُ حَتَّى جَلَسْتُ عَلَى الْبَابِ فَقُلْتُ لَا أَخْرُجُ اللَّيْلَةَ حَتَّى أَعْلَمَ أَقَتَلْتُهُ فَلَمَّا صَاحَ الدِّيكُ قَامَ النَّاعِي عَلَى السُّورِ فَقَالَ أَنْعَى أَبَا رَافِعٍ تَاجِرَ أَهْلِ الْحِجَازِ Saya pun pergi keluar. Tetapi, di dalam hati saya mengatakan bahwa selama saya belum benar-benar yakin Abu Rafi’ telah terbunuh saya tidak akan pergi dari sini. Oleh karena itu saya duduk bersembunyi di suatu tempat dekat benteng. Ketika pagi hari tiba saya mendengar suara seseorang dari dalam benteng mengumumkan bahwa Abu Rafi’ sang pedagang Hijaz telah tewas.
فَانْطَلَقْتُ إِلَى أَصْحَابِي فَقُلْتُ النَّجَاءَ فَقَدْ قَتَلَ اللَّهُ أَبَا رَافِعٍ فَانْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ Setelah itu saya bangun dan pelan-pelan bergabung dengan rekan-rekan saya. Setibanya di Madinah kami menyampaikan kabar mengenai terbunuhnya Abu Rafi’ kepada Hadhrat RasuluLlah (saw). Setelah mendengar keseluruhan kisahnya beliau (saw) memerintahkan kepada saya, ابْسُطْ رِجْلَكَ ‘bentangkanlah kakimu!’
فَبَسَطْتُ رِجْلِي فَمَسَحَهَا فَكَأَنَّهَا لَمْ أَشْتَكِهَا قَطُّ Saya membentangkan kaki saya lalu beliau (saw) mengusapkan tangan berberkat beliau (saw) sambil berdoa, yang mana setelahnya saya merasakan seolah saya tidak mengalami sakit apa pun sebelumnya.”’17
Di dalam satu riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abdullah bin ‘Atik menyerang Abu Rafi’, istri Abu Rafi‘ mulai berteriak dengan sangat keras, yang karenanya ia berpikir jangan sampai orang-orang mendengar suara teriakannya dan menyadari apa yang terjadi. Karena itu ia mengangkat pedang ke arah istri Abu Rafi’, namun kemudian iaa ingat Nabi (saw) melarang membunuh kaum wanita dan ia mengurungkan niatnya tersebut.”18
Kemudian dalam Sirah Khataman Nabiyyin tertulis, “Dalam hal ini kita tidak perlu masuk dalam pembahasan mengenai legalitas pembunuhan Abu Rafi’. Rangkaian kekejaman Abu Rafi’ merupakan satu lembaran sejarah yang terbuka. Satu penjelasan terperinci telah dibahas dalam peristiwa yang serupa dengannya pada pembahasan pembunuhan Ka’b bin Asyraf.
Pada saat itu orang-orang Islam dalam keadaan yang sangat lemah terkepung permusuhan dari segala arah. Seluruh negeri bersatu untuk menghapuskan orang-orang Islam. Di masa yang rawan seperti itu Abu Rafi’ menghasut kabilah-kabilah Arab untuk memerangi Islam.”
Saya jelaskan ini secara ringkas, saya tidak jelaskan keseluruhan rincian sejarahnya mengenai mengapa membunuhnya adalah jaiz.
“Abu Rafi’ tengah melakukan persiapan supaya kabilah-kabilah primitif Arab bersatu melakukan serangan besar ke Madinah sebagaimana telah terjadi pada perang Ahzab.
Pada saat itu di Arab tidak ada suatu pemerintahan yang melaluinya diharapkan tercipta keadilan, bahkan setiap kabilah merdeka dan independen di wilayahnya masing-masing. Jadi, untuk melindungi diri sendiri tidak ada cara lain kecuali melakukan upaya sendiri.”
Di dalam khotbah yang lalu juga telah saya sampaikan penjelasan mengenai sebab-sebab harus dilakukan pembunuhan itu. Saat itu tidak ada di sana sistem pemerintahan yang telah teratur.
“Pendek kata, dalam situasi seperti itu apa yang dilakukan para sahabat adalah sangat tepat dan wajar. Dalam keadaan peperangan, ketika suatu kaum menghadapi situasi antara hidup dan mati, upaya-upaya seperti itu sangat dianggap jaiz (legal).” 19
Hadhrat Umar (ra) dalam masa kekhalifahan beliau (ra) menugaskan Hadhrat Muhammad bin Maslamah untuk memungut zakat dari kabilah Juhainah. Ketika suatu kali di singgasana Khilafat diterima pengaduan mengenai seorang amil, maka Hadhrat Umar mengutus beliau untuk melakukan investigasi. Hadhrat Umar mempercayai beliau, oleh karena itu beliau juga diutus untuk mengumpulkan pajak. Hadhrat Umar menugaskan beliau ke berbagai wilayah untuk menyelesaikan urusan-urusan yang sulit. Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash membangun istana di Kufah, maka beliau menjadi utusan Hadhrat Umar untuk menyelidiki hal tersebut.
Mengenai hal itu didapati riwayat sebagai berikut, Hadhrat Khalifah Umar (ra) mendapatkan laporan bahwa Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (yang saat itu sebagai Amir di Kufah) membangun satu istana dan dipasangi pintu. Pintu itu sering ia kunci yang karenanya menjadi kedap suara. Akibatnya, suara orang-orang di luar tidak dapat terdengar dari dalam rumah. Hadhrat Khalifah Umar (ra) mengutus Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra). Kebiasaan Hadhrat Umar adalah, ketika beliau ingin mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki maka beliau menugaskan Muhammad bin Maslamah. Hadhrat Umar bersabda kepada beliau, “Pergilah kepada Sa’d dan bakarlah pintu rumahnya.” Maka ketika beliau sampai di Kufah dan tiba di depan pintu, beliau mengeluarkan batu api dan menyalakannya, kemudian membakar pintu. Ketika Hadhrat Sa’d mengetahui hal ini, beliau lalu keluar dan Hadhrat Muhammad bin Maslamah menjelaskan semuanya mengenai mengapa beliau membakarnya.20
Setelah kesyahidan Hadhrat Utsman, Hadhrat Muhammad bin Maslamah memilih mengasingkan diri dan membuat pedang dari kayu. Hadhrat Muhammad bin Maslamah meriwayatkan, أَعْطَانِي رَسُولُ اللَّه – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَيْفًا فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ جَاهِدْ بِهَذَا السَّيْفِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِئَتَيْنِ تَقْتَتِلانِ فَاضْرِبْ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى تَكْسِرَهُ ثُمَّ كُفَّ لِسَانَكَ وَيَدَكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ مَنِيَّةٌ قَاضِيَةٌ أَوْ يَدٌ خَاطِئَةٌ “Hadhrat RasuluLlah (saw) memberikan saya sebilah pedang sebagai hadiah dan bersabda, ‘Wahai Muhammad putra Maslamah! Berjihadlah melawan orang-orang Musyrik dengan itu selama mereka memerangi kamu. Ketika kamu melihat orang-orang Islam mulai saling berperang satu sama lain, bawalah pedang itu ke satu batu karang dan tebaskanlah pedang itu hingga patah. Kemudian duduklah di rumahmu hingga tangan seorang yang jahat mencapaimu atau maut merenggutmu.’”21
Pendek kata, beliau melakukan hal itu, beliau menghindarkan diri dari fitnah dan tidak ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin (dua perang sipil sesama umat Muslim di masa Khalifah Ali ra).
Dhubai’ah bin Hushain ats-Tsa’labi (ضُبَيْعَةَ بْنِ حُصَيْنٍ الثَّعْلَبِيِّ) meriwayatkan, كُنَّا جُلُوسًا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقَالَ: “Kami duduk di dekat Hadhrat Hudzaifah, beliau mengatakan, إِنِّي لأَعْلَمُ رَجُلا لا تَنْقُصُهُ الْفِتْنَةُ شَيْئًا ‘Saya mengetahui satu orang yang fitnah tidak bisa mendatangkan kerugian kepadanya.’
Kami bertanya, مَنْ هُوَ؟ ‘Siapa dia?’
Hadhrat Hudzaifah berkata, مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الأَنْصَارِيُّ ‘Dia adalah Muhammad bin Maslamah al-Anshari.’
فَلَمَّا مَاتَ حُذَيْفَةُ وَكَانَتِ الْفِتْنَةُ خَرَجْتُ فِيمَنْ خَرَجَ مِنَ النَّاسِ فَأَتَيْتُ أَهْلَ مَاءٍ فَإِذَا أَنَا بِفُسْطَاطٍ مَضْرُوبٍ مُتَنَحًّى تَضْرِبُهُ الرِّيَاحُ فَقُلْتُ: Kemudian ketika Hadhrat Hudzaifah wafat dan fitnah telah muncul maka saya keluar bersama orang-orang yang keluar dari Madinah. Saya sampai ke satu tempat air. Tersedia air di sana. Di sana saya melihat satu kemah usang yang condong ke satu arah karena terkena hembusan angin. Saya bertanya, لمن هذه الفسطاط؟ ‘Liman haadzal fusthaath?’ – ‘Kemah siapakah ini?’
قَالُوا: لِمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ. فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا هُوَ شَيْخٌ فَقُلْتُ لَهُ: Orang-orang memberitahu bahwa ini adalah kemah Hadhrat Muhammad bin Maslamah. Saya datang menemui beliau. Saya melihat beliau sudah berusia lanjut. Saya berkata kepada beliau, يَرْحَمُكُ اللَّهُ أَرَاكَ رَجُلا مِنْ خِيَارِ الْمُسْلِمِينَ تَرَكْتَ بَلَدَكَ وَدَارَكَ وَأَهْلَكَ وَجِيرَتَكَ ‘Semoga Allah Ta’ala mengasihi anda. Saya melihat bahwa anda adalah termasuk diantara orang-orang Islam yang terbaik. Anda meninggalkan kota Anda, rumah Anda, sanak keluarga Anda dan tetangga Anda.’
Beliau berkata, تَرَكْتُهُ كَرَاهِيَةَ الشَّرِّ. مَا فِي نَفْسِي أَنْ تَشْتَمِلَ عَلَى مِصْرَ مِنْ أَمْصَارِهِمْ حَتَّى تَنْجَلِيَ عَمَّا انْجَلَتْ. ‘Saya meninggalkan semuanya dikarenakan kebencian saya terhadap keburukan…’”22
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan beliau wafat. Berdasarkan berbagai riwayat, beliau wafat di Madinah pada tahun 43 atau 46 atau 47 Hijriah, dan pada saat itu beliau berusia 77 tahun. Marwan bin Hakam yang pada saat itu menjadi Amir Madinah mengimami shalat jenazah beliau. Dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa seseorang telah mensyahidkan beliau.
Sekarang riwayat mengenai beliau telah selesai. Setelah shalat Jum’at saya akan memimpin satu shalat jenazah hadir, yang terhormat Tn. Taj Din, putera Tn. Sadr Din. Beliau wafat pada 10 Februari di usia 84 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala almarhum seorang mushi. Beliau lahir di Uganda dan pada tahun 1967 beliau pindah ke UK. Pada tahun 1984, ketika tanah Islamabad dibeli, almarhum memberikan pengkhidmatannya untuk Islamabad ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh). Hingga 22 tahun beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat di Islamabad dengan tulus dan tanpa pamrih. Di Islamabad beliau bekerja tanpa mengenal lelah sejak pelaksanaan Jalsah yang pertama hingga Jalsah terakhir dan senantiasa berusaha sedapat mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi para tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Beliau bisa mengerjakan segala macam pekerjaan teknis, oleh karena itu beliau siang malam mendapatkan taufik mengerjakan segala macam pekerjaan di Islamabad, tercakup di dalamnya bidang-bidang pekerjaan seperti perlistrikan, pipa saluran air, sanitasi, perkayuan, dsb. Almarhum seorang yang sangat disiplin dalam shalat dan puasa, seorang yang soleh, berakhlak baik, seorang yang taat dan pendiam. Beliau memiliki hubungan yang mendalam, penuh keikhlasan dan kesetiaan dengan Khilafat.
Cucu beliau, Tn. Mudabbar Din adalah seorang mubaligh yang telah lulus dari Jamiah UK dan saat ini berkhidmat di MTA. Beliau menulis, “Banyak orang yang tinggal di Islamabad mengatakan bahwa beliau seorang yang sangat rajin. Kakek saya menceritakan, ketika beliau datang ke Islamabad, beliau betul-betul sendiri. Di masa-masa awal tidak ada listrik, tidak ada pemanas, merupakan masa-masa yang sangat sulit, namun beliau merasa senang mendapatkan taufik untuk berkorban bagi Jemaatdan Khalifah-e-waqt. Shalat tepat waktu, bekerja dengan tangan sendiri, mengkhidmati tamu dan sabar adalah beberapa sifat istimewa beliau.”
Orang-orang juga menuliskan mengenai kebaikan-kebaikan beliau. Tn. Mujib Sialkoti juga menuturkan bahwa beliau membuat bengkel (workshop) di Islamabad. Beliau ahli dibidang permesinan. Beliau menghubungi berbagai perusahaan. Beliau secara bergilir meninggali setiap barak di Islamabad dan membuatnya layak untuk ditinggali. Baik di musim dingin maupun musim panas beliau senantiasa sibuk karena banyak barang-barang lama yang beliau perbaiki dan menjadikannya seperti benar-benar baru. Ini beliau kerjakan dengan penuh kerja keras, dan selalu ceria. Beliau biasa mengatakan, “Mohon doa, mohon doa”. Terkadang ketika bekerja di Islamabad, siang malam beliau tinggal di kamar yang kecil tanpa memperdulikan anak dan istri beliau yang tinggal di London. Terkadang mereka datang mengunjungi beliau.
Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada almarhum dan meningkatkan keikhlasan dan kesetiaan anak keturunan beliau seperti halnya beliau, dan menganugerahkan kesabaran dan ketabahan kepada mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
1 Sunan Abu Dawud no. 4921: Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha meriwayatkan, مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ‘Saya mendengar Rasulullah (saw) mengizinkan hanya pada 3 kesempatan menyampaikan perkara-perkara seperti ini. Ia pada hakikatnya bukanlah kebohongan, namun orang awam bisa dengan keliru menganggapnya sebagai kebohongan. لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَاYang pertama, pada saat perang. Yang kedua, pada saat mendamaikan orang-orang yang bertengkar. Dan yang ketiga, ketika suami mengatakan kepada istrinya atau istri mengatakan kepada suaminya hal yang di dalamnya bertujuan untuk saling menyenangkan satu sama lain.’
2 Mirqaatul Mafaatih (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح – ج 1 – الإيمان – العلم – 1 – 280); Musnad Ahmad bin Hanbal
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : أَوْصَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَشْرِ كَلِمَاتٍ قَالَ : لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ شَيْئًا وَإِنْ قُتِلْتَ وَحُرِّقْتَ ، وَلَا تَعُقَّنَّ وَالِدَيْكَ ، وَإِنْ أَمَرَاكَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، وَلَا تَتْرُكَنَّ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا ؛ فَإِنَّ مَنْ تَرَكَ صَلَاةً مَكْتُوبَةً مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ ، وَلَا تَشْرَبَنَّ خَمْرًا ؛ فَإِنَّهُ رَأْسُ كُلِّ فَاحِشَةٍ ، وَإِيَّاكَ وَالْمَعْصِيَةَ ؛ فَإِنَّ بِالْمَعْصِيَةِ حَلَّ سَخَطُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَإِيَّاكَ وَالْفِرَارَ مِنَ الزَّحْفِ وَإِنْ هَلَكَ النَّاسُ ، وَإِذَا أَصَابَ النَّاسَ مُوتَانٌ وَأَنْتَ فِيهِمْ فَاثْبُتْ ، وَأَنْفِقْ عَلَى عِيَالِكَ مِنْ طَوْلِكَ ، وَلَا تَرْفَعْ عَنْهُمْ عَصَاكَ أَدَبًا وَأَخِفْهُمْ فِي اللَّهِ
3 Ruhani Khazain jilid 9, Nurul Qur’an number 2, halaman 406, bagian hasyiyyah atau footnote (catatan kaki), current computerized edition, terbitan Rabwah, Pakistan, 2008. Di dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى) bab (بَابُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ} إِلَى قَوْلِهِ: {غَفُورٌ رَحِيمٌ}) hanya menyebut perang Hunain. Di dalam al-Bidayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir bab (الوقعة وما كان أول الأمر من الفرار ثم العاقبة للمتقين) tercantum, «أين أيها الناس هلموا إلي، أنا رسول الله، أنا رسول الله، أنا محمد بن عبد الله، أنا محمد بن عبد الله»;
4 As-Sirah al-Halabiyyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ١ – الصفحة ٦٧) atau Insanul ‘Uyuun fi Sirah al-Amin al-Ma-mun (إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون) artinya Laporan Pandangan Mata atas Sejarah Hidup dia yang Tepercaya lagi Dipercayai, yaitu Nabi saw. Buku ini karya Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi, Abu al-Faraj, Nuruddin bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن إبراهيم بن أحمد الحلبي، أبو الفرج، نور الدين ابن برهان الدين). Beliau seorang Sejarawan dan Adib (Sastrawan). Asal dari Halb (Aleppo, Suriah) dan wafat di Mesir pada 1044 Hijriyah. Tercantum juga dalam Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال): 35503- عن قتادة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في بعض مغازيه: أنا النبي لا كذب، أنا ابن عبد المطلب، أنا ابن العوانك (Dari Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi saw di beberapa peperangan berseru, “Aku Nabi, bukan pendusta. Aku putra Abdul Muththalib.”); Tercantum juga hal serupa dalam Mukhtashar Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir (مختصر تاريخ دمشق لابن عساكر) karya Muhammad bin Mukarram bin Ali Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshaari (محمد بن مكرم بن على، أبو الفضل، جمال الدين ابن منظور الانصاري الرويفعى الإفريقى (المتوفى: 711هـ)), harf Alif (حرف الألف), mereka yang bernama Ahmad (ذكر من اسمه أحمد), Ahmad junjungan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam (أحمد سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم), (معرفة أمه وجداته وعمومته و وعماته); Tercantum juga dalam Kitab Imta’ul Asma (إمتاع الأسماع بما للنبي من الأحوال والأموال والحفدة والمتاع) karya al-Maqrizi (أحمد بن علي بن عبد القادر، أبو العباس الحسيني العبيدي، تقي الدين المقريزي (المتوفى: 845هـ)), bab mengenai perang Uhud (غزوة أحد), sub bab yang awal masuk Madinah seteleh penyerangan (أول من دخل المدينة بعد الهزيمة): وقال النبي صلّى اللَّه عليه وسلّم يومئذ: أنا ابن العواتك. وقال أيضا: أنا النبي لا كذب … أنا ابن عبد المطلب. Al-Maqrizi atau ditulis Al-Maqrīzī atau Makrīzī ((1364–1442)) nama lengkapnya Taqī al-Dīn Abū al-Abbās Ahmad bin Alī bin Abdul al-Qādir bin Muhammad al-Maqrīzī adalah sejarawan terkemuka Mesir pada abadpertengahan yang aktif selama era Mamluk, karena minatnya yang luar biasa dalam menelusuri sejarah mazhab Ismailiyah. Al-Maqrīzī lahir di Fatimiyah, Kairo dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Mesir.
5 Ruhani Khazain jilid 9, Nurul Qur’an number 2, halaman 406-408, current computerized edition, terbitan Rabwah, Pakistan, 2008.
6 Peristiwa tersebut terjadi di Quba yang terletak beberapa mil dari Madinah ke arah Makkah.
7 Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٢ – الصفحة ٥٧).
8 Kitab Maghaazi (مغازي الواقدي) karya Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Waqid al-Waqidi (أبو عبد الله محمد بن عمر بن واقد الواقدي, w. 207 Hijriyah); Subulul Huda war Rasyaad fi sirah khairil ‘ibaad (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد – الصالحي الشامي – ج ٤ – الصفحة ٣٢٠ ) karya Muhammad ibn Yusuf ibn Shalihi asy-Syami, w. 942 H.
9 Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Hisyam dan Tafsir ath-Thabari (تفسير الطبري), Surah al-Ahzaab (سورة الأحزاب); as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (السنن الكبير للبيهقي), Kitab tentang Jizyah (كِتَابُ الْجِزْيَةِ ), (جِمَاعُ أَبْوَابِ الشَّرَائِطِ الَّتِي يَأْخُذُهَا الْإِمَامُ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ , وَمَا ), bab (بَابُ نَقْضِ أَهْلٍ الْعَهْدَ أَوْ بَعْضِهِمُ الْعَهْدَ).
10 Debacah Tafsirul Qur’an (Pengantar Mempelajari Al-Qur’an), Anwarul ‘Uluum jilid 20, 282-284.
11 As-Sīratun Nabawiyyah, By Abū Muhammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, pp. 659-660, Maqtalu Sallām ibni Abil Huqaiq, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
12 Fathul Bārī Sharhu Shahīhil Bukhārī, By Al-Imām Ahmad bin Hajar Al-‘Asqalānī, Volume 7, p 435, Kitābul-Maghāzī, Bābu Qatli Abī Rāfi‘ bin ‘Abdillāh-ibni Abil-Huqaiqi, Qadīmī Kutub Khānah, Ārām Bāgh, Karachi
13 Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 294, Sariyyatu ‘Aliyy-ibni Abī Thālibin Ilā Banī Sa‘d-ibni Bakrin Bi-Fadak, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
14 As-Sīratun Nabawiyyah, By Abū Muhammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, pp. 659-660, Maqtalu Sallām ibni Abil Huqaiq, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
15 Al-Muwathā karya Imām Mālik bin Anas (موطأ الإمام مالك), Kitābul-Jihād (كتاب الجهاد), bab An-Nahyu ‘An Qatlin-Nisā’i Wal-Wildāni Fil-Ghazwi (باب النهي عن قتل النساء والولدان في الغزو), Hadīth No. 963.
16 Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 294, Volume 2, p. 295, Sariyyatu ‘Abdillāh-ibni ‘Atīqin Ilā Abī Rāfi‘, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); As-Sīratun Nabawiyyah, By Abū Muhammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām; Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qasthaalānī, Volume 3, p. 141, Qatlu Abī Rāfi‘in, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
17 Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Qatli Abī Rāfi‘ ‘Abdillāh-ibni Abil-Ḥuqaiq (بَاب قَتْلِ أَبِي رَافِعٍ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ وَيُقَالُ سَلَّامُ بْنُ أَبِي الْحُقَيْقِ كَانَ بِخَيْبَرَ وَيُقَالُ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الْحِجَازِ وَقَالَ الزُّهْرِيُّ هُوَ بَعْدَ كَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ), Ḥadīth No. 4039
18 Sirah Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume III) karya Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), Mischief of the People of Khaibar & the Killing of Abū Rāfi‘ the Jew – Ramadhān 6 A.H. (January 628 A.D.); dikutip dari Al-Muwathā karya Imām Mālik bin Anas (موطأ الإمام مالك), Kitābul-Jihād (كتاب الجهاد), bab An-Nahyu ‘An Qatlin-Nisā’i Wal-Wildāni Fil-Ghazwi (باب النهي عن قتل النساء والولدان في الغزو), Hadīth No. 963: عن مالك عن بن شهاب عن بن لكعب بن مالك قال حسبت انه قال عن عبد الرحمن بن كعب انه قال نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم الذين قتلوا بن أبي الحقيق عن قتل النساء والولدان قال فكان رجل منهم يقول برحت بنا امرأة بن أبي الحقيق بالصياح فأرفع السيف عليها ثم أذكر نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأكف ولولا ذلك استرحنا منها
19 Sirah Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume III) karya Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), Mischief of the People of Khaibar & the Killing of Abū Rāfi‘ the Jew – Ramadhān 6 A.H. (January 628 A.D.)
20 Al-Fath ar-Rabbani li-Tartib Musnadil Imam Ahmad ibni Hanbal asy-Syaibani (الفتح الرباني لترتيب مسند الإمام أحمد بن حنبل الشيباني ج22); Al-Ishabah karya Ibnu Hajar (الإصابة – ابن حجر – ج ٦ – الصفحة ٢٩): بلغ عمر بن الخطاب أن سعد بن أبي وقاص اتخذ قصرا وجعل عليه بابا وقال انقطع الصوت فأرسل محمد بن مسلمة وكان عمر إذا أحب أن يؤتى بالامر كما يريد بعثه فقال له ائت سعدا فأحرق عليه بابه فقدم الكوفة فلما وصل إلى الباب أخرج زنده فاستورى نارا ثم أحرق الباب فأخبر سعد فخرج إليه فذكر القصة
21 Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d.
22 Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d.