Umat Muslim memiliki tiga sumber pedoman guna memastikan kebenaran tuntunan agama Islam. Al-Quran, Hadits dan Sunnah.
Narasumber Bimbingan Islam
Pertama, adalah Kitab Suci Al-Quran yang merupakan Kitab Allah yang menjadi bukti terakhir yang paling konklusif. Kitab ini merupakan Firman Tuhan yang bebas dari segala keraguan dan perkiraan.
Kedua, adalah praktek kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang disebut sebagai Sunnah. Kami tidak menganggap bahwa Hadits dan Sunnah adalah sama atau menjadi satu kesatuan. Hadits berbeda dengan yang dikenal sebagai Sunnah. Yang dimaksud dengan Sunnah adalah praktek kebiasaan yang dilakukan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang kita ikuti dan muncul bersamaan dengan Al-Quran dan berjalan paralel. Dengan kata lain, Al-Quran adalah firman dari Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan Sunnah adalah tindakan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Sudah menjadi Sunnatullah (kebiasaan bagi Allah) bahwa para Nabi yang membawakan firman Tuhan sebagai pedoman bagi umat manusia dimana mereka menggambarkan pelaksanaannya melalui tindakan mereka sehingga tidak ada keraguan dalam fikiran manusia berkaitan dengan perintah Tuhan. Para Nabi melaksanakan firman tersebut dan mengajak serta mendorong umatnya untuk melakukan hal yang sama.
Sumber ketiga yang merupakan tuntunan bagi manusia adalah Hadits yaitu riwayat atau kisah yang dikompilasi dari pernyataan berbagai perawi kurang lebih sekitar satu abad setengah setelah Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Perbedaan di antara Sunnah dan Hadits ialah Sunnah itu merupakan praktek berkelanjutan yang dimulai oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam). Kedudukan Sunnah dalam kepastian ajaran adalah kedua setelah Al-Quran. Sebagaimana Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) ditugaskan untuk penyiaran Al-Quran, beliau juga ditugaskan untuk menetapkan Sunnahnya. Sebagaimana Al-Quran bersifat penuh kepastian maka begitu juga dengan Sunnah yang berkelanjutan. Kedua tugas tersebut dilaksanakan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai kewajiban beliau.
Sebagai contoh, ketika shalat dijadikan sebagai suatu kewajiban maka Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan contoh melalui tindakan beliau berapa jumlah rakaat yang harus dilakukan dalam setiap shalat. Dengan cara sama beliau memperagakan pelaksanaan ibadah haji. Beliau mendidik ribuan dari para sahabat tentang praktek pelaksanaan ibadah. Ilustrasi praktek yang bersifat berkesinambungan di antara umat Muslim tersebut disebut sebagai Sunnah.
Di sisi lain Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak pernah mengatur untuk mencatat atau mengkompilasi Hadits di hadapan atau di masa hidup beliau. Hadhrat Abu Bakar r.a. pernah mengumpulkan beberapa Hadits tetapi karena sifat kehati-hatian, beliau kemudian membakarnya karena beliau sendiri belum pernah mendengar isinya dari Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sehingga tidak meyakini kebenarannya. Saat para sahabat Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sudah sama berpulang, maka beberapa penerus mereka berpikir untuk mengkompilasi Hadits. Tidak ada yang meragukan bahwa para penghimpun Hadits adalah orang-orang yang saleh dan bertakwa. Mereka telah menguji kebenaran dari Hadits sejauh dimungkinkan dan menghindari hal-hal yang diperkirakan sebagai tidak asli, serta menolak Hadits atau pun perawi yang mereka ragukan kejujurannya.
Mengingat semua kegiatan tersebut bersifat ex-post factum (sesuatu yang terjadi setelah fakta kenyataannya) maka jadinya tidak lebih merupakan dugaan semata. Hanya saja amat tidak adil untuk mengatakan bahwa Hadits adalah suatu kesia-siaan yang tidak berguna. Sudah demikian banyak kehati-hatian yang dicurahkan dalam upaya kompilasi Hadits dan begitu banyak penelitian dan kritikan yang diterapkan dalam upaya tersebut sehingga tidak ada padanannya dalam agama-agama lain.
Umat Yahudi juga memiliki kumpulan Hadits dan Yesus dimusuhi oleh sekte bangsa Yahudi yang menganut Hadits tersebut. Hanya saja tidak ada dibuktikan kalau para penghimpun Hadits Yahudi telah sedemikian hati-hatinya dalam mengkompilasi Hadits sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun Hadits dari umat Muslim. Tetapi salah besar jika kemudian membayangkan bahwa sebelum Hadits selesai dikompilasi bahwa umat Muslim tidak mengetahui rincian ibadah shalat atau memahami cara terbaik melaksanakan ibadah haji. Ilustrasi dari Sunnah telah mengajarkan kepada mereka seluruh batasan dan kewajiban yang ditetapkan oleh agama Islam.
Namun benar juga jika dikatakan bahwa bila Hadits yang dikumpulkan jauh setelah masa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bila tidak dikompilasi pun tetap saja tidak akan mengurangi hakikat ajaran Islam karena Al-Quran dan Sunnah telah memenuhi keperluan tersebut. Hadits merupakan nur pelengkap dan Islam menjadi Nur di atas Nur dimana Hadits menjadi bukti kesaksian dari Al-Quran dan Sunnah.
Dari sekian banyak sekte atau mazhab yang kemudian muncul di antara umat Muslim, sekte yang benar memperoleh manfaat akbar dari Hadits hakiki. Pandangan yang benar ialah jangan memperlakukan Hadits sebagai suatu hal yang lebih berwenang daripada Al-Quran sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Ahli-Hadits1 di zaman ini atau lebih memilih pernyataan Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran dibanding Al-Quran itu sendiri, tetapi juga jangan menganggap Hadits sebagai suatu yang siasia dan dusta sebagaimana keyakinan dari Maulvi Abdullah Chakralvi.
Jadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai batu penguji suatu Hadits dan yang tidak bertentangan dengan keduanya itu, sewajarnya diterima dengan baik. Inilah jalan yang lurus dan berberkatlah mereka yang mengikutinya. Sangat tuna ilmu dan sial orang yang serta merta menolak Hadits tanpa melalui uji coba sebagaimana kami usulkan di atas. Menjadi kewajiban bagi para anggota Jemaat kami bahwa Hadits yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, harus diterima dan dipatuhi, betapa lemahnya pun tingkat keshahihannya, dan diperlakukan lebih tinggi dari peraturan yang ditetapkan para ahli fiqih.
(Review on the Debate between Batalwi and Chakralvi, Qadian, 1902; Ruhani Khazain, vol. 19, hal. 209-212, London, 1984)
Kitab-kitab Yang Menjadi Pedoman
Kitab-kitab yang kami akui dan yakini serta dianggap sebagai bisa dipercaya terdiri dari beberapa sebagai berikut.
Pertama, adalah Kitab Suci Al-Quran. Hanya saja harus selalu diingat bahwa penafsiran suatu ayat dari Al-Quran dianggap benar dan bisa dipercaya jika dibenarkan oleh ayat lain di dalam Al-Quran itu sendiri, karena beberapa ayat bersifat penjelasan dari ayat lainnya. Dalam hal kepastian pengertian tidak dijamin oleh ayat lain dalam Al-Quran, maka pengertiannya harus bisa dikonfirmasi oleh beberapa Hadits shahih yang dapat dipercaya. Dalam pandangan kami, penafsiran semata-mata berdasarkan opini seseorang tidak bisa diterima. Siapa pun yang merasa berkeberatan terhadap petunjuk dari Al-Quran agar selalu memperhatikan ketentuan ini.
Kitab-kitab lainnya yang kami terima dan yakini, pertama dari segalanya adalah Shahih Bukhari. Semua Hadits di dalamnya yang tidak bertentangan dengan Al-Quran menurut hemat kami mempunyai kekuatan. Berikutnya adalah Shahih Muslim, dimana kami menerima kebenaran Hadits yang dikemukakannya sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Shahih Bukhari. Berikutnya adalah kompilasi dari Tirmidzi, Ibnu Majah, Muwaththa dari Imam Malik, Nisai, Abu Daud dan Darul Qutni yang kami anggap mempunyai kekuatan sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Quran, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Semua itu menjadi kitab-kitab keagamaan yang kami yakini berdasarkan persyaratan tersebut di atas. Mereka yang akan mengajukan kritik agar membatasi diri pada kitab-kitab tersebut berikut persyaratan di atas. (Arya Dharam, Qadian, Ziaul Islam Press, 1903; Ruhani Khazain, vol. 10, hal. 86-87, London, 1984)
Kitab Allah (Al-Quran) di Sunnah dan Hadits
Berkaitan dengan Kitab dan Sunnah sebagai pegangan, aku meyakini bahwa Kitab Allah berada di atas segalanya. Jika kandungan suatu Hadits tidak bertentangan dengan Kitab Allah maka Hadits tersebut dianggap sebagai berwenang, namun kami tidak bisa menerima penafsiran suatu Hadits yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. Sepanjang memungkinkan kami akan mencoba menafsirkan suatu Hadits sejalan dengan ayat-ayat dalam Kitab Allah, namun jika ternyata ada Hadits yang bertentangan dan tidak bisa diartikan lain, maka kami akan menolaknya segera sebagaimana pedoman yang diberikan Allah Ta’ala bahwa:
فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَ اللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ يُؤْمِنُوْنَ
“Kemudian kepada perkataan manakah setelah menolak firman Allah dan tanda-tanda-Nya mereka akan beriman.” (QS. 45, Al-Jatsiyah: 7)
Berarti, jika ketentuan Al-Quran sudah bersifat konklusif (lengkap) dan positif tentang suatu masalah dan artinya sudah cukup jelas, seorang mukminin seharusnya menolak suatu Hadits yang bertentangan dengan hal tersebut. Begitu juga telah dinyatakan bahwa:
فَبِاَيِّ حَدِيْثٍۢ بَعْدَهٗ يُؤْمِنُوْنَ
“Maka kepada hal apa lagi mereka akan percaya sesudah ini?” (QS. 7, Al-Araf: 186)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka seorang mu’min harus menerima Kitab Allah tanpa syarat, sedangkan menerima Hadits dengan persyaratan. Inilah sikap diriku. (Al-Haqq, Mubahisa Ludhiana, Qadian, 1903; Ruhani Khazain, vol. 4, hal. 11-12, London, 1984).
Seseorang yang dikaruniai berkat pemahaman oleh Allah Ta’ala mengenai Kitab Suci Al-Quran, kemudian menemukan suatu Hadits yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, sewajarnya demi kepantasan untuk menafsirkan Hadits tersebut sejalan dengan Al-Quran. Jika hal ini tidak bisa dilakukannya maka yang terbaik adalah menganggap Hadits tersebut sebagai lancung. Hal demikian itu lebih baik bagi kita semua.
Kita memang harus mencari penafsiran suatu Hadits yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, tetapi jika tidak mungkin maka akan menjadi bid’ah dan kekafiran jika kita harus mengalahkan Al-Quran terhadap Hadits, dimana diketahui bahwa Hadits sampai kepada kita melalui tangan manusia yang sedikit banyak sudah tercampur perkataan manusia.
(Al-Haqq, Mubahisa Ludhiana, Qadian, 1903; Ruhani Khazain, vol. 4, hal. 21, London, 1984).
Keshahihan Suatu Hadits
Hadits terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah yang dikuatkan sepenuhnya dengan Sunnah, dengan pengertian bahwa Hadits tersebut diperkuat dan membawa kepastian melalui metoda pelaksanaan Sunnah yang pasti serta mencakup seluruh kebutuhan agama, peribadatan, perjanjian dan pengaturan syariah. Hadits demikian bersifat pasti tanpa diragukan dan telah terbukti. Kekuatan Hadits tersebut bukan karena metoda kompilasinya, bukan karena daya inherennya, bukan juga karena keyakinan atas kehandalan perawinya, melainkan karena berkat Sunnah pelaksanaannya. Aku meyakini Hadits seperti ini sepanjang didukung oleh Sunnah sampai suatu tingkat kehandalan tertentu.
Adapun Hadits lainnya yang tidak terkait pada Sunnah dan yang diyakini karena kejujuran para perawinya, menurutku masih belum terbebas dari duga-dugaan saja. Paling mungkin adalah menganggapnya sebagai dugaan yang bermanfaat jika diketahui bahwa kompilasinya kurang meyakinkan atau konklusif sehingga meninggalkan ruang bagi penyimpangan. (Al-Haqq, Mubahisa Ludhiana, Qadian, 1903; Ruhani Khazain, vol. 4, hal. 35, London, 1984).
Ada seorang penentang yang mendengar dari orang lain bahwa terdapat Hadits yang tidak bisa diandalkan, lalu ia serta merta menyimpulkan bahwa selain Al-Quran maka semua pedoman atau tuntunan dalam Islam dianggap sebagai tidak berdasar dan meragukan serta kurang bisa diyakini atau tidak bersifat meyakinkan. Hal seperti ini merupakan kesalahan besar karena bisa membawa kemudharatan pada keimanan dan agama karena jika benar bahwa dengan mengecualikan Al-Quran dimana semua sumber lainnya dianggap palsu, dugaan atau imajinasi, maka dengan sendirinya Islam akan kehilangan semua detil dari pedoman keruhanian yang selama ini kita ketahui melalui hadis.
Kewajiban shalat memang diperintahkan oleh Al-Quran, namun tidak ada diatur di mana pun dalam Al-Quran bahwa shalat Subuh terdiri dari dua rakaat fardhu dan dua rakaat shalat sunnah, atau shalat Dhuhur terdiri dari empat rakaat fardhu dengan empat dan dua rakaat shalat sunnah, atau shalat Maghrib terdiri dari tiga rakaat fardhu dan shalat Isha terdiri dari empat rakaat fardhu. Begitu pula kita harus bergantung kepada Hadits untuk mengetahui detil dari kewajiban Zakat.
Masih beribu-ribu banyaknya rincian cara melakukan ibadah, urusan atau akad yang bersumber pada hadits. Disamping itu, sumber utama dari sejarah Islam pun adalah hadits. Jika Hadits dianggap tidak boleh dipedomani maka kalian tidak akan pernah bisa meyakini bahwa Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (semoga Allah meridhai mereka) adalah para sahabat Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang kemudian menjadi penerus beliau dalam urutan tersebut dan wafat pun dalam urutan yang sama. Bila Hadits diluputkan maka kita tidak akan pernah tahu mengenai eksistensi pribadi-pribadi agung tersebut dan menganggap bisa jadi nama-nama mereka hanyalah karangan fiktif belaka.
Begitu pula maka kita akan mungkin menyangkal bahwa nama ayahanda Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah Abdullah dan nama ibunda beliau adalah Aminah dan nama kakek beliau itu Abdul Muthalib, serta isteri-isteri beliau ada yang bernama Khadijah, Aisyah atau Hafsah (semoga Allah meridhai mereka) atau pun nama ibu-susu beliau adalah Halimah. Kita pun tidak akan mengetahui bahwa beliau biasa bertafakur di gua Hira atau ada beberapa sahabat yang terpaksa harus hijrah ke Abisinia, bahwa selama sepuluh tahun sejak diutus beliau itu bermukim di Mekah dan setelah itu terjadi sekian banyak peperangan yang bahkan tidak ada disebut dalam Al-Quran. Semua fakta tersebut diteguhkan oleh hadits, lalu apakah kita akan menganggap Hadits sebagai tidak berguna? Jika demikian halnya maka tidak ada umat Muslim yang bisa menceritakan riwayat hidup Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Patut diperhatikan bahwa kejadian-kejadian dalam masa hidup Penghulu dan Junjungan kita, bentuk kehidupan beliau di Mekah sebelum diutus sebagai Rasul, kapan saatnya beliau mulai memanggil umat kepada Kenabian beliau, dalam urut-urutan bagaimana orang-orang mulai memeluk Islam, bagaimana mereka dianiaya oleh kaum kafir selama sepuluh tahun di Mekah, kapan mulai terjadi peperangan-peperangan dan dalam perang mana saja beliau mengambil bagian, sampai ke daerah mana saja Islam berkembang di masa hidup beliau, apakah benar beliau menulis surat-surat ajakan kepada para raja penguasa di zaman tersebut dan bagaimana tanggapan mereka, lalu setelah wafatnya beliau kemenangan apa saja yang telah dicapai Hadhrat Abu Bakar r.a. serta kesulitan apa saja yang dihadapinya, negeri-negeri mana saja yang kemudian takluk dalam masa khalifah Umar r.a., karena semua hal tersebut di atas hanya bisa diketahui dari Hadits dan pernyataan para sahabat Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Jika Hadits kemudian dianggap suatu yang tidak berguna, tidak saja sulit bahkan tidak mungkin mengetahui kejadian-kejadian di masa itu, sehingga para musuh Islam bisa saja mengarang apa saja mengenai peri kehidupan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan para sahabat beliau. Jadinya kita memberikan kesempatan yang amat luas bagi para musuh Islam untuk melancarkan serangan-serangan tidak berdasar sedangkan kita harus mengakui bahwa semua kejadian yang diuraikan dalam Hadits adalah tanpa dasar dan khayalan belaka, sedemikian rupa sehingga nama-nama para sahabat tersebut juga tidak diketahui secara pasti. Jadi jika ada yang menyimpulkan bahwa kita tidak bisa menarik kebenaran konklusif dari hadits, maka sama saja yang bersangkutan telah menghancurkan sendiri sebagian besar dari hakikat Islam.
Posisi hakiki yang tepat adalah kita harus mengakui apa pun yang dinyatakan dalam hadits, kecuali bila bertentangan secara nyata dengan isi Al-Quran. Perlu dihayati bahwa fitrat manusia adalah mengemukakan kebenaran meskipun karena dorongan nafsu kadang jadi berdusta karena kedustaan sebenarnya tidak alamiah. Meragukan ketepatan dan kesahihan hadits yang melalui Sunnah pelaksanaan telah menjadi ciri karakteristik dari berbagai kelompok Muslim, sama saja dengan tindak kegilaan.
Sebagai contoh, jika ada yang mempermasalahkan bahwa jumlah rakaat shalat yang dilakukan umat Muslim setiap harinya patut dipertanyakan mengingat Al-Quran tidak ada mengatur bahwa shalat Subuh itu dua rakaat sama seperti shalat Jumat atau pun shalat dua Ied, apakah orang seperti itu bukannya bisa dibenarkan? Dengan demikian pendapat yang meluputkan hadis sama saja dengan menghapus kewajiban shalat berdasarkan pertimbangan bahwa Al-Quran tidak ada mengatur metode pelaksanaannya.
Tindakan seperti itu merupakan kesalahan besar yang di zaman ini telah mengakibatkan para pengikut kebatinan menjauh dari Islam hakiki. Mereka membayangkan bahwa praktek-praktek ibadah, ritual, biografi dan sejarah yang berkaitan dengan hadis hanya ditegakkan oleh beberapa ahli Hadits saja. Jelas ini merupakan kesalahan nyata.
Sunnah yang dilakukan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan tangan beliau sendiri merupakan suatu hal diketahui secara umum di kalangan berjuta-juta umat, sehingga misalnya pun sanad hadits tersebut tidak diketahui maka hal itu tidak menjadi masalah. Semuanya meyakini bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai Guru Agung yang Suci tidak ada membatasi ajaran beliau hanya kepada beberapa orang saja dimana yang lainnya tidak mengetahui. Kalau memang demikian keadaannya maka Islam sudah akan membusuk sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi diperbaharui melalui upaya beberapa penghimpunan hadits.
Para penghimpunan Hadis tersebut telah mengumpulkan ribuan Hadis berkenaan dengan pedoman keagamaan namun semua orang di dunia mengetahui bahwa tidak ada Hadis yang tidak diteliti sebagaimana mestinya terlebih dahulu sebelum kemudian dicatat. Bila kemudian terbukti bahwa terdapat ajaran, peristiwa atau akidah yang dasarnya diletakkan oleh perawi hadis berdasarkan suatu laporan yang tanda-tandanya tidak ada dalam praktek Sunnah atau pun dikemukakan dalam Al-Quran, maka dengan sendirinya laporan seperti itu yang keberadaannya muncul seratus lima puluh tahun kemudian bisa dianggap tidak memiliki kepastian dan bisa saja dianggap apa pun. Hadis seperti itu tidak mempunyai keterkaitan dengan keimanan manusia dalam sejarah Islam.
Jika kalian memperhatikan secara teliti maka kalian akan menemukan bahwa para Imam Hadits tersebut sangat jarang sekali mengemukakan suatu hadis yang tidak ada jejak lintasannya dalam praktek Sunnah. Jadi tidak benar perkataan beberapa orang tuna ilmu yang mengatakan bahwa dunia mengetahui ratusan permasalahan keimanan, bahkan termasuk cara berpuasa dan shalat, semata-mata hanya dari hadis yang dikompilasi oleh Bukhari, Muslim atau pun yang lainnya. Apakah berarti umat Muslim tanpa keimanan selama satu setengah abad sebelum kemunculan para ahli hadis tersebut? Apakah mereka tidak melakukan shalat, membayar zakat, ibadah haji atau buta terhadap akidah-akidah Islam? Jelas tidak!
(Shahadatul Quran, Panjab Press, Sialkot, Ruhani Khazain, vol. 6, hal. 298-303, London, 1984).
Sumber: Inti Ajaran Islam