Ied, Kebahagiaan dan Tuntutan Keimanan
Khotbah Idul Fitri
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz 19 Juli 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Hari ini, kita semua, tua-muda, laki-laki-perempuan, berkumpul di sini karena hari ini merupakan suatu hari yang membawa keistimewaan. Keistimewaan itu adalah, dengan memperhatikan fitrat kemanusiaan, Islam telah menetapkan hari Ied bagi kaum Muslimin untuk berkumpul bersama dengan sesamanya dan handai taulannya guna merayakan hari bahagia. Bagi orang yang berdiri tegak diatas agama, orang yang mengakui agama Islam, yang berjanji akan mendahulukan agama daripada dunia, hari ini menjadi sebab kian bertambahnya kebahagiaan.
Mereka menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan demi Allah Ta’ala selama satu bulan sesuai dengan perintah-Nya, menerapkan disiplin keras atas dirinya, menanamkan kebiasaan untuk mengendalikan dirinya demi memperoleh ridha Allah Ta’ala. Hari ini, dengan perintah Allah Ta’ala juga mereka merayakan Ied. Dalam kondisi demikian, rasa syukur mereka kepada Allah Taala kian bertambah, karena Allah Ta’ala tidak hanya memerintahkan kewajiban-kewajiban semata, tetapi, dengan memperhatikan tuntutan fitrah, Dia juga telah menetapkan bagi kita hari untuk merayakan kebahagiaan dengan berkumpul bersama-sama.
Namun demikian, di hari yang berbahagia ini, perlu juga kita memperhatikan, bahwa manakala Allah Ta’ala menyediakan sarana untuk merayakan kebahagiaan sesuai dengan fitrat manusia bagi kaum Muslimin maka Dia juga telah menetapkan batasan-batasan bagi kebahagiaan tersebut. Di satu sisi, dia memberi sarana untuk merayakan kebahagiaan dengan berkumpul bersama karena tuntutan fitrah. Di sisi lain sesuai dengan tuntutan penghambaan, Dia juga menetapkan batasan-batasan dan petunjuk mengenai tujuan kehidupan.
Bangsa-bangsa dan agama-agama yang lain juga menetapkan hari untuk merayakan kebahagiaan. Tetapi hari yang mereka tetapkan itu tidak sesuai dengan hukum syariat sebagaimana Ied kaum Muslimin. Di dalamnya tidak pula ada pertemuan yang sama coraknya sebagaimana yang telah Islam tetapkan pada hari Ied.
Tidak hanya Ied kaum Muslimin ini sesuai dengan Syariat, bahkan sebagaimana telah saya katakan, Ied ini membawa beberapa keharusan, dan kita merayakan kebahagiaan ini seraya mengedepankan tujuan hakiki kehidupan manusia. Karena itulah Ied kita ini memiliki satu keistimewaan, telah pula ditetapkan shalat Ied dan khotbah sebagai bagian yang harus disertakan di dalamnya. Maksud dari shalat dan khotbah Ied adalah, ketika untuk merayakan kebahagiaan pada hari Ied orang-orang berkumpul dan hiruk-pikuk membuat rencana masing-masing, maka mereka juga berkumpul untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan mendengarkan perintah-perintah-Nya. Jadi, Ied pada kaum yang lain hanya Ied untuk makan-minum, dan kesenangan semata. Tetapi di dalam ied-ied kita terdapat bagian untuk mengingat Allah bahkan lebih dari pada hari-hari yang lain. Mendirikan shalat pada hari Ied juga wajib, melaksanakan shalat Ied dan mendengar khotbah juga harus.
Jadi, ketika seorang Muslim hakiki merayakan Ied, hendaklah ia ingat Ied-nya bukan hanya untuk makan-minum dan kesenangan belaka, melainkan, ketika ia berkumpul dan membuat rencana-rencana serta memberi izin untuk merayakan kebahagiaan, ia juga diingatkan bahwa ia harus berusaha untuk menunaikan hak-hak Allah dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Janganlah setelah pelaksanaan shalat Ied, dalam kesibukan Ied yang lain dan saling menemui satu sama lain sampai terlupa shalat dzuhur dan ashar, dan manusia melupakan tujuan sebenarnya ia diciptakan. Kita sebagai Ahmadi harus memperhatikan hal ini lebih dari orang Muslim pada umumnya, yaitu janganlah karena kebahagiaan Ied, kita melupakan hak Allah. Jangan pula melupakan hak-hak makhluk Allah. Jadi, Ied kita bukanlah Ied yang hanya kesenangan belaka, melainkan Ia adalah Ied hakiki yang mempertemukan kita dengan Allah Ta’ala.
Merupakan ihsaan Allah yang teramat besar bagi kita bahwa Dia telah mengutus Imam Zaman untuk perbaikan/ishlaah kita. Telah mengutus orang yang dalam pengharapan untuk kedatangannya, untuk melihatnya, dan untuk menerimanya, orang-orang berfitrat baik telah berlalu dari dunia. Allah Ta’ala telah memberikan karunia dan ihsaan yang teramat besar kepada kita bahwa Allah Ta’ala tidak hanya telah menciptakan kita pada zamannya, tetapi telah juga memberikan taufik kepada kita untuk menerimanya. Maka taufik yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita ini, yakni kita telah beriman kepada Imam Zaman, menuntut beberapa hal dari kita, yang hendaknya kita perhatikan benar.
Tidak cukup bagi kita hanya sekedar menerima utusan yang datang dari-Nya sesuai dengan janji-Nya, melainkan penting bagi kita untuk memperindah iman kita dan merayakan Ied hakiki ini dengan memenuhi harapan-harapan yang Imam Zaman -Masih Mau’ud- telah harapkan dari kita. Barulah Ied kita akan menjadi Ied yang hakiki dan dapat menjadi orang yang memperoleh karunia-karunia Allah Ta’ala. barulah kita dapat menerima perintah Rasulullah (saw), “Berimanlah kepada Mahdi-ku!” [1]
Hanya ikrar beriman melalui mulut belumlah menunaikan tuntutan keimanan, selama kita tidak menjadi contoh ketaatan melalui amalan. Memperlihatkan contoh ketaatan juga suatu keharusan karena dalam janji baiat, Hadhrat Masih Mau’ud telah mengambil janji dari kita bahwa kita akan senantiasa taat selama kehidupan kita. Kita akan berusaha sepenuhnya untuk taat pada hal yang maruf. [2]
Saat ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang diharapkah oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dari kita. Pada suatu tempat beliau bersabda : “Jemaatku, jika mereka ingin menjadi Jemaat [sejati] maka hendaklah mereka menempuh suatu maut. Menghindar dari perkara-perkara nafsu dan kehendak-kehendak nafsu, dan mendahulukan Allah Ta’ala dari segala sesuatu. Banyak sekali orang hancur karena riya dan hal yang sia-sia.”[3]
Jadi, menghindari tuntutan dan kehendak nafsu pun [berarti] mendahulukan Allah Ta’ala. tidak diragukan lagi, bahwa Allah Ta’ala juga memberikan hak bagi tiap orang atas dirinya, memberikan juga hak bagi istri dan anaknya. Allah taala tidak mengatakan,jangalah kalian memenuhihak diri kalian, melainkan Allah Ta’ala berfirman,pergunakanlah nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah Ta’ala sebagai cara mensyukurinya.
Ketika Hadhrat Masih Mauud as berfirman, “Hindarilah kehendak-kehendak nafsu”, maka maksudnya adalah,untuk faidah diri kalian, janganlah kalian berjalan sehingga untuk memperoleh keuntungan yang tidak jaiz, kalian meninggalkan kebenaran dan mulai menghalalkan yang haram.Bahkan dia memerintahkan, hendaklah kalian memperhatikan batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Sebagai contoh : Bagi seseorang yang kaya dan Allah Ta’ala memberikan kepadanya kelimpahan harta, jika ia menginginkan sesuatu dapat ia peroleh dengan mudah, dan itu halal, maka tidak diragukan, dapatkalah itu dengan mudah. Tetapi jika ada seseorang yang tidak mendapatkan taufik atau pendapatannya tidak mengizinkannya untuk memperoleh sesuatu itu, tetapi karena ketamakannya ia tetap memaksa untuk memperolehnya dengan mencari pendapatan dengan cara yang salah, atau untuk memenuhi keinginan-keinginannya yang keliru dalam keadaan misikinnya ia mengambil pinjaman, ia tetap menginginkan sesuatu itu meski dengan membebani dirinya dan sepanjang umur tenggelam dalam hutang, maka ini artinya, ia dikuasai oleh kehendak-kehendak nafsu.
Demikian pula keburukan-keburukan yang lain. Baik itu keburukan yang biasa-biasa ataupun yang besar, jika manusia melakukan hal ini dan melupakan Allah Ta’ala, maka ini juga disebut sebagai dikuasai oleh kehendak-kehendak nafsu. Memperlihatkan hal itu [berarti] tidak mendahulukan Allah Ta’ala dari kehendak nafsu. Sabda Hadhrat Masih Mau’ud ini, “Jika Jemaatku ingin menjadi Jemaat [yang sejati] maka hendaklah ia menempuh suatu maut”, menuntut perhatian dari setiap anggota Jemaat. Jemaat terdiri dari orang per orang, selama ishlaah perorangan dalam Jemaat tidak terjadi, maka Jemaat juga sebagai suatu kesatuan tidak dapat dikatakan memperoleh ishlaah secara sempurna. Dalam Jemaat pun nampak kekosongan.
Maka kita juga tidak bisa merasa gembira dikarenakan kebanyakan orang dari kita mendahulukan Allah Ta’ala dari kehendak-kehendak nafsunya. Ada sebuah ungkapan, seekor lalat kotor menjadikan seluruh gentong air menjadi kotor. Keburukan-keburukan beberapa orang terkadang juga membuat kedudukan dan nama baik Jemaat secara keseluruhan menjadi buruk. Bahkan Hadhrat Masih Mau’ud bersabda, “setelah mengaitkan diri dengan saya, janganlah mengotori nama baik saya atau menjadi penyebab keburukan bagi saya.” [4]
Jika terdapat keburukan pribadi seseorang, bagaimana bisa hal itu menjadikan buruk nama baik Hadhrat Masih mau’ud as? Jika diperhatikan dengan seksama maka keburukan pribadi kita dapat menjadi sebab jatuhnya nama baik Hadrat Masih Mau’ud as. Para penentang kita mencela kita, “Kalian menyatakan bahwa kalian telah meyakini dan memperlihatkan keimanan kepada Imam zaman, tetapi keburukan-keburakan mendasar ini masih ada dalam diri kalian. Kebohongan, penipuan, dan ketidakjujuran. Mahdi datang tentu membawa perubahan, menyucikan jiwa-jiwa, katakan kepada kami, perubahan apa yang telah diciptakan oleh baiat kalian itu?” Maka dari itu, perbuatan keliru dan buruk seorang anggota Jemaat tidak hanya menimpakan bala bencana bagi pondasi Jemaat bahkan menimbulkan tuduhan-tuduhan buruk bagi ta’lim (ajaran) Hadhrat Masih Mau’ud as.
Sebelumnyapun saya telah beberapa kali menerangkan beberapa orang secara terbuka mengajukan keberatan kepada beberapa Ahmadi yang karena keburukan-keburukan mereka (para Ahmadi itu) yang ini dan yang itu telah menghambat mereka untuk bergabung ke dalam Jemaat. Jadi, Jemaat yang hendak dibangun oleh Hadhrat Masih Mau’ud merupakan Jemaat yang tiangnya/bergantung kepada Tuhan. Ia adalah Jemaat yang mendahulukan Tuhan, Jemaat yang mendahulukan agama daripada dunia. Pada suatu kesempatan, dalam sebuah majlis Hadhrat Masih Mau’ud bersabda : “Ikrar baiat melalui mulut engkau bukanlah sesuatu, melainkan berusahalah dan berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan kalian benar. Janganlah ada kelalaian dan kemalasan di dalamnya, melainkan hendaklah bersiap siaga.”
Beliau as memberikan contoh Hadhrat Sahibzada Abdullatif, “Hendaklah senantiasa memperhatikan contoh dari Abdullatif, darinya sedemikian rupa terlihat tanda bukti kebenaran dan kesetiaan.” Jadi, tuntutan kebenaran dan kesetiaan adalah, kalaupun harus jiwa melayang, biarkanlah melayang asalkan ridha Allah Ta’ala senantiasa didahulukan.
Memperlihatkan keimanan, berdiri di depan musuh lalu tertembak senapan itu memang baik. Memang itu merupakan pengorbanan. Nyawa pun melayang, tetapi pengorbanan yang sesungguhnya adalah secara terus-menerus mengorbankan nafsu kita dan menyempurnakan dengan setia apa-apa yang mana kita telah berjanji kepada Allah Ta’ala. Orang yang memperlihatkan contoh yang buruk di hadapan orang lain tidak akan pernah bisa menjadi orang yang benar dan setia, melainkan bersabda, “Orang yang menasehati orang lain sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya bukanlah orang beriman.” Hendaklah merasa takut.
Beliau menerangkan tentang orang yang memperlihatkan contoh salah, “Contoh-contoh [buruk] seperti demikian, banyak menimpakan kerugian bagi dunia. Hendaklah setiap anggota Jemaatku menghindarkan diri dari hal seperti itu. Janganlah kalian menjadi demikian, hendaklah kalian menghindarkan diri dari segala jenis dorongan nafsu. Setiap orang asing yang menemui kalian, ia memperhatikan wajah kalian, dan melihat bagaimana akhlak, kebiasaan, dan kedisiplinan kalian pada perintah Ilahi. jika tidak baik, maka mereka tersandung karena kalian.[5]
Kita dapat mendahulukan Allah Ta’ala manakala setiap saat merasa Allah Ta’ala sedang melihat kita. Hadhrat Masih Mau’d menerangkan mengenai standar yang ingin beliau lihat ada pada diri kita: “Saat ini dengan mengutus seorang Shadiq (yang benar) Allah Ta’ala hendak mempersiapkan suatu Jemaat yang mencintai Allah Ta’ala.”[6]
Jadi, cinta kepada Allah Ta’ala bukanlah hal sepele. Untuk itu, usaha yang terus menerus dan doa serta menjalankan amal kalian sesuai dengan perintah-perintah Allah Ta’ala akan membawa kepada kecintaan sejati pada Allah Ta’ala. Ambilah nasehat Hadhrat Masih Mau’ud di atas. Nasehat itu berakhir dengan [kalimat] “Hendaklah mendahulukan Allah Ta’ala. Timbulkanlah kecintaan sejati pada-Nya, laksanakanlah perintah-perintah-Nya.” Kemudian beliau bersabda, “Inilah maksud kedatanganku. Barangsiapa yang memahami tujuan itu dan berusaha untuk menyempurnakannya maka ia adalah dari antara [Jemaat] ku.”
Kemudian, dalam memberikan sebuah nasehat beliau as bersabda : “Ingatlah, Jemaat ini bukan untuk meraih kemajuan dalam harta dan dunia serta melewati kehidupan yang tenang. Allah Ta’ala tidak senang terhadap orang seperti itu. Hendaklah kalian memperhatikan peri kehidupan para sahabat radhiyallohu ‘anhum.”[7]
Bagaimana kehidupan para sahabat? Dalam peribadahan mereka memperlihatkan standar yang dapat menjadi contoh bagi kita. Mereka tidak hanya merupakan orang-orang yang menjalankan ibadah-ibadah wajib, bahkan sangat memperhatikan ibadah-ibadah nafal juga. Dalam kondisi bersyukur kepada Allah Ta’ala, mereka menunjukkan standar yang membuat orang-orang terheran-heran.
Tedapat riwayat mengenai Hadhrat Abdurrahman bin Auf, bahwa beliau telah memulai perniagaan, maka sedemikian rupa turun berkat di dalamnya sehingga beliau sendiri mengatakan, barang apa saja yang beliau pegang, sedemikian rupa Allah Ta’ala menurunkan berkat di dalamnya, yang tidak dapat diragukan oleh orang-orang. Seolah-olah tanah pun menjadi emas.[8]
Allah Ta’ala menganugerahkan kekayaan yang berlimpah kepada beliau tetapi dengan harta itu apakah beliau tampak seperti orang yang mengejar dunia? Suatu hari beliau berpuasa. Pada saat berbuka dihamparkan taplak meja berisi hidangan makanan lezat. Setelah melihat betapa banyaknya nikmat duniawi, beliau menangis. Beliau mulai teringat pada masa awal Islam ketika kaum Muslimin menjalani rasa lapar sampai berhari-hari, demikian juga keadaan beliau pada masa itu.
Tetapi saat ini begitu banyak nikmat duniawi yang terhampar di atas meja beliau. Hal itu membuat beliau menangis. Beliau teringat akan pengorbanan para sahabat yang syahid pada saat peperangan dan untuk mereka kain kafan pun tidak dapat tersedia. Kain yang tersedia sangat kecil sehingga jika kepala ditutup, maka kaki tidak dapat tertutup. Dan jika kaki ditutup, maka kepala menjadi tidak tertutup. [9]
Inilah contoh. Berapa banyakkah di antara kita yang setelah tercipta kelapangan kemudian teringat pada waktu sebelumnya seperti demikian? berapa banyak yang sambil bersyukur kepada Allah Ta’ala atas terciptanya kelapangan, menaruh perhatian yang lebih besar dari sebelumnya terhadap pelaksanaan hak-hak ibadah? Jika standar hidup dan kondisi ekonomi kita yang lebih baik tidak menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan hamba Allah Ta’ala yang sejati, maka Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, ‘setelah baiat kepadaku kalian tidak menyempurnakan tujuan yang diharapkan dari kalian.’
Saya telah menyampaikan contoh dari Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra. Kekayaan dan nikmat-nikmat Allah tidak hanya menjadikannya orang yang begitu bersyukur, bahkan beliau demikian semangat untuk mengorbankan harta beliau tersebut di jalan Allah Ta’ala dan sedemikian rupa beliau membuktikan hal ini dengan amalan beliau. Ini adalah satu contoh dari beliau. Banyak lagi contoh-contoh lain. Dikatakan bahwa suatu kali kafilah dengan 700 unta yang memuat biji-bijian dan barang-barang lain datang ke Madinah, maka beliau memberikan seluruh barang-barang itu beserta untanya di jalan Allah Ta’ala. [10]
Tetapi, apakah pengorbanan itu menjadikan harta beliau berkurang? Apakah setelah berkorban dalam jumlah demikian banyak menjadikan beliau merasa cukup dengan semua itu? Tidak. Bahkan tetap saja beliau terus berkorban dan harta beliau semakin bertambah. Inilah kondisi ketika [berkorban] untuk agama Allah, diceritakan bahwa ketika beliau wafat, beliau memiliki jaidad dan harta ratusan ribu [sangat banyak].[11]
Jadi, beliau ini hidup di dunia, melakukan bisnis dunia, tetapi dalam setiap perkara senantiasa mendahulukan Allah Ta’ala. Dalam shalat-shalat dan nafal-nafal beliau memperlihatkan kekhusyuan yang istimewa. Diceritakan, sebelum shalat dzuhur pun beliau senantiasa melaksanakan shalat nafal, kemudian setelah mendengar suara adzan beliau berangkat ke masjid. Untuk seorang pebisnis, ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit karena bagian hari tersebut pada umumnya digunakan untuk berbisnis. Tetapi beliau tidak membiarkan kehendak-kehendak duniawi dan pekerjaan mengungguli shalat nafal malam dan siang beliau. Sekarang ini, jika ada dalam Jemaat orang yang memiliki tingkat kekayaan seperti itu, atau bahkan yang dibawah itu, jangankan shalat nafal, untuk shalat dzuhur saja sulit mengorbankan waktu. Dan jikapun ada yang mengerjakan shalat, sedemikian rupa mengerjakannya seperti tertimpa suatu beban.
Jadi, siapa saja di antara kita yang memiliki kekayaan, kelapangan, orang yang kaya dan para pebisnis, pekerja dan orang yang tenggelam dalam kesibukan duniawi hendaklah ingat bahwa Hadhrat Masih Mau’ud menginginkan hal ini dari kita supaya kita mendahulukan Allah Ta’ala di atas setiap pekerjaan, dan di hadapan kita terdapat contoh para sahabat.
Memberi penekanan kepada hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Jemaatku janganlah hendaknya hanya membatasi diri pada ucapan dan kata-kata semata.” Jangan hanya sekedar kata-kata. “Ini bukan tujuan sebenarnya. Penyucian jiwa dan perbaikan adalah perlu, yang untuk itu Allah Ta’ala telah mengutusku.” Kemudian di tempat lain beliau memberi nasehat, “Untuk memelihara dan memperlihatkan kebenaran Islam, aspek yang paling pertama adalah perlihatkan oleh kalian contoh Muslim yang sejati. Aspek kedua adalah sebarkanlah keindahan dan kesempurnaannya ke seluruh dunia.”[12]
Jadi, ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar, yang diletakkan oleh beliau atas kita. Pertama, untuk menyucikan diri kita menghendaki adanya suatu mujahadah (usaha keras). Di dunia sekarang ini banyak sekali terdapat berbagai macam hal yang keliru, yang tanpa karunia Allah Ta’ala tidak dapat selamat darinya. Jadi, untuk mensucikan diri kalian perlu adanya usaha keras dan pertolongan Allah Ta’ala. ketika kita membersihkan diri kita dari kekotoran, ketika kita pertama tama tidak menjadikan salah seorang tokoh dunia sebagai contoh, melainkan para sahabat ridhwanallah, maka kita akan menjadi orang yang menyempurnakan tujuan yang untuk itu Hadhrat Masih Mau’ud as diutus oleh Tuhan. Dan [beliau] bersabda bahwa Islam adalah sebuah pohon. Tetapi kebaikan pohon baru dapat [terlihat] baik manakala tunas-tunasnya hijau dan elok.
Karena itu, hendaklah setiap Ahmadi menimbulkan perasaan ini di dalam diri mereka, yaitu harus menjadi dahan yang menghijau dari pohon Islam. Dahan yang menghijau ini dapat dibuat ketika tercipta keistimewaan-keistimewaan yang diperlukan oleh suatu pohon agar dahannya menghijau. Keistimewaan pohon Islam adalah ajaran yang telah diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasulullah (saw). Jadi, memelihara pohon Islam dengan menjadikan talim itu tertanam dalam diri dan menegakkan standar yang telah dicontohkan merupakan kewajiban setiap Ahmadi. Dan jika contoh ini telah tegak, ketika kehijauan dan keelokan pohon itu mulai memperlihatkan kebaikannya maka selanjutnya sampaikanlah ajaran suci ini kepada dunia. Sampaikanlah faedah kepada orang-orang lain karena saat ini dunia sedang gelisah untuknya.
Sebagaimana sebelumnya pun telah disampaikan bahwa kita tidak akan dapat memberi faedah kepada dunia tanpa adanya contoh nyata. Sekarang, dunia juga memerlukan contoh Muslim seperti itu, karena saling menganiaya di antara Islam sendiri telah menjatuhkan nama baik Islam, bahkan kehormatan mendasar manusia pun menjadi rusak. Di kalangan Muslim dunia tengah terjadi keaniayaan atas kemanusiaan yang dengan melihatnya bulu roma menjadi berdiri. Ied yang telah ditetapkan Allah Ta’ala bagi kaum Muslimin untuk berkumpul guna merayakan kebahagiaan, pada hari ini kaum Muslimin, menumpahkan darah kaum Muslimin lain, mencabut nyawa anak-anak yang tiada berdosa.
Mereka menjadikan hari [Ied] ini sebagai hari kesedihan dan merasa gembira dengan hal itu seolah telah melakukan perbuatan baik. Mereka tidak memiliki perasaan. Mereka membunuh hanya karena yang dibunuh itu bukan dari golongan mereka dan tidak sejalan dengan mereka atau pemerintah melakukan penganiayaan hanya agar kursi kedudukan mereka tetap kokoh. Dan para penentang pemerintah melakukan tindakan lalim karena berpikir harus menjatuhkan pemerintahan disebabkan pemerintah juga mengambil nyawa orang tidak berdosa, karena itu tidak apa-apa melakukan demikian. Yang terkejam, semua perbuatan dzalim ini dilakukan dengan mengatasnamakan Allah Ta’ala, Rasul, dan Islam. Apa lagi yang bisa dikatakan selain “إنا لله وإنا إليه راجعون” innaa lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidak diragukan lagi, contoh dan tablig kita adalah penting, tetapi dalam kondisi sekarang ini, berdoa demi mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala juga sangatlah perlu, dan ini teramat penting. Contoh-contoh yang benar, contoh-contoh yang secara kontinyu juga saat ini ada, maka di dalamnya keberhasilan bisa diperoleh tatkala besertanya ada juga doa-doa.[13]
Ketika Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan, “Sebarkanlah kesempurnaan-kesempurnaan!”, maka di tempat lain beliau juga menyampaikan bahwa doa-doa juga amat diperlukan demi kemajuan dan kemenangan Islam. Karena itu, kita harus benar-benar memberikan perhatian kepada doa. Hari ini, jika kita sebagai Ahmadi hendak merayakan Ied yang hakiki, maka ketika kita memperoleh karunia Ied yang hakiki dengan mengistrospeksi keadaan kita dan menciptakan perubahan-perubahan suci, maka seberapa besar usaha yang dapat kita lakukan untuk melenyapkan kedzaliman dari dunia, lakukanlah usaha itu. Bantulah kaum Muslimin yang berada dalam penderitaan, kesedihan, dan teraniaya melalui doa-doa. Rayakanlah Ied sambil memanjatkan doa dengan penuh rintih pilu agar mereka dapat keluar dari kezaliman itu.
Secara umum, dunia terus tenggelam dalam ketidakbermaluan dan dosa-dosa atas nama kebebasan, dan sedang mengundang azab Allah, sambil memenuhi tuntutan rasa simpati, banyak lah berdoa [bagi mereka]. Saat ini, kitalah yang dapat memberikan pemahaman tentang kebahagiaan hakiki kepada orang-orang. Karena itu, kita harus memanjatkan doa dengan penuh rintih pilu untuk kaum Muslimin dan juga bukan Muslimin semuanya.
Pada hari Ied ini, jika kita larut dalam doa bagi orang-orang yang teraniaya dan ada dalam kesedihan, dan berusaha mengeluarkan mereka darinya, maka ini akan menjadi Ied hakiki kita. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita mampu menjalankan tanggung jawab ini pada hari ini, esok hari, dan selamanya. Berdoalah juga untuk orang-orang Ahmadi Pakistan yang sedang teraniaya. Berdoalah juga agar mereka yang terpenjara segera dapat dibebaskan. Berdoalah juga untuk orang-orang Ahmadi yang tinggal di daerah-daerah yang sedang dilanda bencana dan peperangan. Berdoalah juga untuk para Ahmadi yang terhimpit kesulitan dalam segi apapun. Semoga Allah Ta’ala mengeluarkan mereka semua dari kegelisahan dan semoga mereka juga dapat ikut serta dalam kebahagiaan Ied yang hakiki.
Saya juga mengucapkan Ied Mubarak untuk para Ahmadi di seluruh dunia. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memperlihatkan kepada kita kebahagiaan yang hakiki.
Setelah khotbah kedua, Hudhur Anwar Ayadahullahu Ta’ala mengangkat tangan dan memimpin doa bersama, dimana tidak hanya saudara dan saudari yang hadir di Baitul Futuh, bahkan jutaan orang yang menyaksikan melalui MTA di seluruh dunia pun ikut berdoa.
[1] Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan Bab Khurujul Mahdi hadis no 4084. فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ
[2] Izalah Auham, Ruhani Khazain jilid 3 hal 564
[3] Malfuzat jilid 6, hal. 177, terbitan 1986, Cetakan Inggris
[4] Malfuzat jilid 7, hal. 188 Edisi 1985, cetakan Inggris
[5] Malfuzat, jilid 6, hal 263-265, Edisi 1985, Terbitan Inggris
[6] Malfuzat jilid 8, hal 60, Edisi 1985, Terbitan Inggris
[7] Malfuzat jilid 6, hal. 185, Edisi 1985, Terbitan Inggris
[8] Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 4, hal. 690, Musnad Ahmad bin Malik, hadis 13899, ‘Alamul Kutub, Beirut, 1998
[9] Sahih Bukhari, Kitab al-maghazi (peperangan), Bab Ghazwah Uhud, hadis no 4045. Ucapan Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra suatu kali ketika dihidangkan makanan lezat saat berbuka, “Mush’ab bin Umair telah terbunuh, sedangkan ia lebih baik dariku. Ia hanya dikafani dengan sebuah kain pendek dari bulu domba. Jika kepalanya ditutupi dengan kain itu, maka kedua kakinya nampak terlihat dan jika kedua kakinya ditutup maka kepalanya nampak terlihat. Hamzah bin Abdul Muthalib juga telah terbunuh dan ia lebih baik dariku. Lalu kenikmatan dunia dibukakan lebar-lebar kepada kita. Kami khawatir pahala amal-amal kebaikan kami telah disegerakan kepada kami di dunia.” Abdurrahman bin Auf kemudian menangis tersedu-sedu dan meninggalkan makanan lezat tersebut.
[10] Usdul Ghobah, jilid 3, hal. 378, Abdurrahman bin Auf, Darul Fikr Beirut, 2003.
[11] Usdul Ghobah, jilid 3, hal. 378, Abdurrahman bin Auf, Darul Fikr Beirut, 2003.
[12] Malfuzat jilid 8, hal. 323, Edisi 1985, terbitan Inggris
[13] Dikutip dari Malfuzat, jilid 9, hal. 58, edisi 1985, Terbitan Inggris