Hari Raya Id: Faktor Pendorong terus berbuat baik dan meningkatkannya
Khotbah Idul Fithri
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 Juni 2018/ Syawal 1439 H di Masjid Baitul Futuh, Morden UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Hari Raya Id ini seharusnya menjadi faktor pendorong untuk mengarahkan perhatian kita agar terus-menerus berada dalam kebaikan-kebaikan yang kita nikmati selama satu bulan lalu. Hal-hal yang biasanya membuat manusia mengarahkan perhatiannya pada bulan Ramadhan, di antaranya adalah ibadah-ibadah, sedekah-sedekah, pengorbanan-pengorbanan harta dan menunaikan huqūqul-‘ibād (penunaian kewajiban terhadap sesama makhluk). Hari-hari Ramadhan sudah berlalu seiring kita berada di dalam suasana-suasana istimewa. Tetapi, seorang beriman itu seharusnya tidak hanya terus dalam kebaikan-kebaikan, bahkan ia harus maju dalam melakukan kebaikan-kebaikan.
Kemarin, hari-hari puasa Ramadhan di tahun ini sudah lewat dan di hari-hari tersebut kita menjalankan ibadah-ibadah dan juga nawāfil (hal-hal nafal), adapun ibadah-ibadah lainnya dan menunaikan huqūqul-‘ibād yang telah kita amalkan di bulan Ramadhan harus kita teruskan. Sebagai contoh, apabila kita memfokuskan pada nawāfil, hendaknya kita sungguh-sungguh mengupayakan untuk melanjutkannya; apabila kita mengarahkan perhatian pada shalat secara berjamaah, nah kita juga harus meneruskannya; apabila kita membiasakan diri untuk menahan nafsu maka kita pun hendaknya berupaya untuk meneruskan hal tersebut; serta apabila kita mengarahkan perhatian kita pada menolong sesama makhluk, hendaknya rasa welas asih ini selalu ada pada kita.
Sebagian orang mengatakan, “Kami tengah mengupayakan selalu rutin shalat berjamaah”, namun apabila mereka memeriksa dirinya, mereka akan mendapati diri mereka tengah menipu diri sendiri saja. Mereka tidak sedang berusaha dan tidak memahami tanggung jawab mereka mengenai kedudukan shalat berjamaah tersebut. Andai saja mereka memahami, tentu usaha-usaha mereka itu tidak gagal. Sungguh keadaan mereka akan menjadi lebih baik di bulan Ramadhan dengan hal tersebut, mengapa? Karena di hari-hari ini, mereka menjalankan upaya sungguh-sungguh, mereka benar-benar ingin bangun, tidak terkecuali seorang yang benar-benar keras kepala lagi tidak punya rasa malu pun memperhitungkan suasana-suasana Ramadhan yang tengah meliputinya juga. Dalam hal ini, dia akan bangun untuk makan sahur sekalipun ikut-ikutan saja dengan yang lain. Orang-orang yang malas dari antara mereka juga berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan shalat shubuh tepat pada waktunya. Inilah upaya sejati yang hasil-hasilnya akan kita saksikan mutunya benar-benar naik. Karena itu, kalian harus selalu ingat, selama belum memberikan hasil-hasilnya hingga 70 atau 80 persen, tidaklah upaya yang diusahakan itu merupakan keadaan yang sesuai dengan yang diharapkan.
Maka hari ini, kita harus meneguhkan niat tulus kita supaya kita benar-benar mengupayakannya secara sungguh-sungguh untuk meraih semua kebaikan dan kita sekali-kali tidak akan menipu diri kita dengan menganggap kita tengah mengupayakan maksud ini. Apabila kita mengamalkan itu, saat itulah id kita merupakan id hakiki, dan ketika itu kebahagiaan kita akan meliputi semua orang. Inilah tujuan sebenarnya id, dan jika tujuan ini tidak terpenuhi, maka secara khusus tidak ada faedahnya sama sekali mengenakan pakaian baru, menikmati makanan-makanan lezat, saling mengunjungi dan serangkaian kegiatan-kegiatan lainnya di hari ini.
Inti sejati di balik kegembiraan-kegembiraan ini adalah kita selama sebulan penuh demi perintah dari Allah Ta’ala menahan diri dari beberapa perkara yang diperbolehkan juga [yang tujuannya] untuk tarbiyat diri kita. Kita menjalankan itu dengan ketulusan hati kita. Hari Id ini kita tengah merayakan kegembiraan yang juga merupakan perintah Allah Ta’ala bahwa kita telah melewati masa sebulan penuh demi tujuan tersebut. Di samping itu, kita juga berjanji akan selalu menaruh perhatian untuk menunaikan huqūqullāh (penunaian kewajiban terhadap Allah) dan huqūqul-‘ibād sebagai buah tarbiyat yang kita terima di bulan Ramadhan. Dengan demikian, setiap kita harus merenungkan bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menunaikan hak-hak Allah swt untuk satu bulan saja setiap tahun pun tidak akan memenuhi tujuan hidup kita, begitu pun maksud kita untuk menunaikan huqūqul-‘ibād tidak akan terwujud hanya dalam satu bulan. Tujuan kita justru akan menjadi sempurna apabila kita meneruskan hal-hal tersebut, dan kita melepaskan diri dari segala macam kemalasan yang di dalam bulan Ramadhan kita telah berlepas diri dari itu.
Kita senantiasa mengerjakan setiap kebaikan yang mana kita diberi taufik untuk melaksanakannya demi meraih ridha Allah Ta’ala agar setiap hari memiliki kedudukan hari Id dan supaya di tiap terbitnya matahari di hari yang baru kita berhasil meraih ridha Allah Ta’ala. Apabila kita menghendaki hal demikian, kita harus menampilkan keteladanan di dalam ibadah-ibadah dan perilaku kita menuju gerbang-gerbang ketakwaan, sebagaimana seyogianya kita memberikan pertolongan kepada orang-orang fakir dengan menunaikan huqūqul-‘ibād, berlaku baik kepada kerabat dan tetangga, menyucikan kalbu kita dari egoisme serta sifat keakuan supaya kita menampilkan contoh-contoh yang luhur dalam bersikap simpati (memberikan pertolongan) kepada sesama makhluk.
Hari ini, secara khusus saya ingin menarik perhatian-perhatian Anda sekalian terhadap sikap simpati (memberikan bantuan) terhadap sesama makhluk dan huqūqul-‘ibād dari sudut pandang Id. Menunaikan huqūqul-‘ibād juga adalah ibadah sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah ajarkan kita dengan sangat jelas. Dengan demikian, ketika hari ini kita tengah merayakan Id, terutama para Ahmadi yang tinggal di negara-negara maju, demikian pula mereka yang tengah menikmati keadaan-keadaan yang lebih baik, mereka harus memperhatikan sejumlah besar orang di dunia yang tengah hidup dalam keadaan-keadaan sangat buruk hingga tingkat sebagian survey mengatakan 815 juta dari mereka tidak mendapatkan makanan harian, bahkan menderita kelaparan. Satu dari sembilan orang di dunia tidur dalam keadaan lapar setiap hari. Satu dari tiga orang, terutama anak-anak kecil, menderita kekurangan makanan atau buruk makanannya.
Namun, saya katakan survey-survey yang dikemukakan itu kurang tepat, bahkan terdapat sejumlah orang yang lebih banyak lagi daripada yang disebutkan dalam taksiran-taksiran ini, mereka tengah menderita kelaparan. Dikarenakan peperangan-peperangan yang meletus, di Irak, Suriah, Yaman, Libya dan yang di tempat lainnya telah meluputkan anak-anak kecil dari makanan dan pengobatan. Jumlah itu terus bertambah.
Beberapa hari sebelumnya ada sebuah potret seorang anak yang viral di media sosial, tertulis padanya bahwa ada seorang dokter memberikan kepada seorang anak sepotong roti, anak itu berkata kepadanya, “Maukah Anda memberikan saya obat yang selamanya saya tidak akan merasa lapar lagi setelah memakannya?” Perkataan anak ini membuat dokter itu menangis. Terkadang gambaran ini riil atau bohong, namun inilah keadaan anak-anak di dunia dikarenakan lapar. Tapi orang-orang yang senang hingga gila dengan perang tidak memikirkan hal-hal ini. Anak-anak itu kehilangan bapak-bapaknya, dan bukan hanya itu saja, bahkan setelahnya, mereka akan menderita kelaparan.
Pendek kata, harusnya kita yang tengah memenuhi perut kita dengan makan beraneka makanan lezat, di hari Id ini kita merasakan perasaan [simpati] ini lebih dari sebelumnya dan lebih membantu orang-orang yang tidak memperolehnya. Bahkan pada kenyataannya, terdapat pula orang-orang di dunia yang tidak mendapatkan air yang memadai untuk minum – kesampingkan dulu makanan – dan air yang mereka dapatkan pun kotor. Melihatnya pun kebanyakan dari antara kita tidak akan tahan.
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an untuk mengarahkan perhatian kita kepada hal ini dan menerangkan sifat-sifat orang-orang beriman: وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا () “… dan atas dasar rasa cintanya mereka memberi makan kepada orang miskin, fakir dan tawanan; Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian karena Allah, bukan mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih dari kalian.” (Surah Al-Insān : 9-10) Hadhrat Masih Mau’ud (as) menafsirkan kedua ayat berikut ini dengan suatu penjelasan, beliau (as) bersabda, “Maksud kedua ayat tersebut adalah tanda-tanda orang-orang yang mengerjakan kebaikan hakiki ialah, semata-mata karena kecintaan Ilahi mereka memberi makanan yang mereka sendiri sukai kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim dan para tawanan, seraya mengatakan, ‘Kami tidak berbuat ihsaan (kebajikan) atas kalian, melainkan kami lakukan ini agar Tuhan ridha kepada kami, dan pengkhidmatan kami ini adalah untuk Wajah-Nya (untuk menarik perhatian-Nya). Kami tidak menghendaki sesuatu imbalan dan pula tidak menghendaki agar kamu ke sana ke mari berterima-kasih kepada kami.’”[1]
Beliau (as) juga menjelaskan bahwa kebaikan itu adalah seseorang yang menginfakkan apa-apa yang dia sukai. Seseorang yang menginfakkan sesuatu yang rusak dan buruk, maka pengakuannya itu tidak membuatnya sudah meraih suatu kebaikan. Kalaulah demikian, maka kebaikan hakiki itu adalah seseorang berkorban apa yang dia sukai dan mementingkan orang lain sampai-sampai ia menanggung sesuatu penderitaan. Jadi, mementingkan orang-orang miskin dengan berkorban untuk mereka dan dengan menanggung kebutuhan-kebutuhan mereka demi meraih keridhaan dan wajah Allah Ta’ala, hal itu akan mengupayakan seseorang dekat dengan Allah Ta’ala.
Pengkhidmatan kepada sesama makhluk ini merupakan sebuah ibadah apabila diwujudkan demi Allah Ta’ala. Perlu diperhatikan di bulan Ramadhan orang-orang memberikan perhatian pada mengeluarkan sedekah-sedekah dan memberikan bantuan kepada orang-orang sesuai kesanggupannya. Seyogianya itu sifatnya tidak sementara, justru seharusnya berkelanjutan sepanjang tahun. Apabila orang memikirkan dari segi ini sepanjang tahun dan mementingkan membantu orang-orang fakir demi ridha Allah Ta’ala, maka setiap hari merupakan Id baginya dan akan memberikan kebahagian kepadanya.
Rencana-rencana tengah dilakukan orang-orang duniawi, baik perorangan maupun organisasi-organisasi, untuk membantu orang-orang miskin di negara-negara miskin menurut pandangan mereka sendiri. Hal itu untuk mengatasi kelaparan mereka. Sekalipun demikian, mereka menyediakan kira-kira 70 atau 80 persen dari sumbangan-sumbangan untuk pengeluaran administrasi. Hal itu karena mereka tidak melakukan amal-amal tersebut demi Allah dan meraih keridhaan-Nya. Mereka melaksanakannya supaya menjadikan diri mereka sebagai orang-orang yang mendapatkan balasan untuk kebaikan mereka. Yang termasuk keistimewaan orang-orang beriman adalah, mereka mempersembahkan pengkhidmatan kepada makhluk dengan pertimbangan hal itu merupakan ibadah, dan di hari-hari bahagia kebahagiaan hakiki akan menjadi mudah bagi mereka manakala mereka mendahulukan kepentingan orang lain.
Di dalam Nizam Jemaat, dalam hal ini terdapat pos-pos untuk berinfak (pengorbanan harta) kepada para yatim, memperhatikan penyediaan makanan dan pendidikan bagi anak-anak yatim. Seyogyanya kewajiban orang-orang yang menetap di negara-negara yang kaya dan keadaannya berada supaya mendermakan untuk pos-pos ini dan mereka menyediakan bagian untuk orang-orang fakir di setiap kesempatan berbahagia. Kemudian, Jemaat berderma untuk mengobati orang-orang secara cuma-cuma bagi orang-orang sakit yang miskin. Demikian pula, terdapat Nizam (pengaturan) di dalam Jemaat untuk membuat program penyediaan air dan makanan bagi orang yang membutuhkan, dalam hal ini ada Nizam untuk menolong orang-orang yang memerlukan lagi miskin.
Apabila saudara-saudara yang menginfakkan secara pribadi untuk orang-orang miskin, seharusnya mereka berderma sesuai dengan kemampuan mereka pastinya pada pos-pos yang terbuka di dalam Nizam Jemaat sebagai contoh membantu orang-orang miskin dan menolong orang-orang sakit atau pada pos anak-anak yatim. Contoh tersebut dalam hal ini, di dalam Jemaat terdapat beberapa organisasi cabang dari Jemaat dan di antaranya adalah organisasi para ahli teknik Ahmadi (IAAAE = The International Association of Ahmadi Architects and Engineers). Mereka menyediakan air tawar bersih di Afrika dengan mendirikan pompa-pompa air di banyak negara Afrika dan mereka juga menyiapkan energi matahari. Ketika air bersih tersedia bagi orang-orang di depan rumah-rumah mereka, kebahagiaan tampak pada mata mereka karena pantas disaksikan. Banyak dari antara kita ketika membelikan pakaian atau mainan yang disukai untuk anak-anaknya, kebahagiaan akan tampak pada wajah mereka. Saya melihat kebahagiaan itu berlipat-lipat pada wajah anak-anak yang miskin di negeri yang jauh itu ketika mendapati air minum bersih di hadapan rumah mereka.
Demikian pula organisasi Humanity First membuat amal-amal baik menjadi lebih lengkap dan sempurna, diantaranya menyediakan makanan dan air, pengajaran, pengobatan dan yang lainnya; atau memberikan bantuan kepada korban bencana alam seperti gempa-gempa dan juga banjir. Di dalam Humanity First, saudara-saudara bekerja dengan penuh semangat. Para Ahmadi dengan sukarela melakukan pekerjaan-pekerjaan amal yang semangat dan kecintaan terhadap amal itu melebihi apa yang telah dilaksanakan ratusan ribu organisasi atau badan-badan amal lainnya. Beberapa anggota Jemaat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan ini dengan mendermakan harta dan mempersembahkan pengkhidmatan secara sukarela juga.
Dalam hal ini, banyak yang belum turut ambil bagian di dalam pekerjaan-pekerjaan ini. Mereka juga harus maju sehubungan dengan kegembiraan itu untuk turut serta dalam amal-amal baik demi mencari ridha Allah. Kebahagian yang akan kalian raih itu merupakan perbuatan-perbuatan terpuji yang akan menjadikan kalian terbiasa atas amal-amal ini yaitu amal-amal yang pada hakikatnya lebih banyak lagi dibandingkan kebahagiaan materi yang sifatnya sementara. Demikianlah, kalian seyogyanya membuat anak-anak kalian juga terbiasa mendermakan sesuatu untuk anak-anak miskin di dunia dalam bentuk ‘īdiyyah (hadiah-hadiah Id) yang diberikan untuk mereka dari orang-orang dewasa. Kalau kalian membiasakan mereka atas hal itu sekarang, maka kebiasaan ini jika terdapat pada mereka, maka di masa mendatang kalian membuat mereka tetap dalam berkhidmat pada sesama makhluk dan berinfak di jalan Allah. Hal tersebut dari satu segi menolong orang; sementara dari sisi yang lain akan mengupayakan mereka memperoleh karunia-karunia Allah, menyelamatkan mereka dari kesulitan-kesulitan dalam hidup dan memberikan mereka taufik untuk senantiasa dawam dalam kebaikan-kebaikan. Kalau sudah demikian, kebiaasan ini harus tetap berlanjut pada generasi-generasi yang akan datang juga. Inilah kebahagiaan Id hakiki.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menarik perhatian kita berkali-kali dan secara berulang-ulang akan pentingnya memberikan perhatian terhadap huqūqul-‘ibād dan perasaan-perasaan simpati yang baik terhadap orang lain, beliau bersabda, “Syariat memiliki dua segi yang seseorang harus tetap pelihara. Pertama adalah haqqullāh (حق الله, hak Allah) dan segi yang lainnya adalah haqqul-‘ibād (حق العباد, hak hamba-hamba atau para makhluk-Nya). Hak Allah yaitu cinta kepada Allah, menaati-Nya, ibadah kepada-Nya, menunggalkan-Nya (mengesakan-Nya) dan tidak mempersekutukan-Nya dengan seorang pun pada Dzat dan Sifat-Nya.” (maksudnya merupakan hak Allah Ta’ala bahwa Dia disembah, dicintai dan dari kita muncul pernyataan keesaan semata, bahkan seharusnya pernyataan Tauhid (menunggalkan) itu terlihat dari setiap amal perbuatan kita dan kita meyakini Dia tidak ada sekutu-Nya pada sifat mana pun yang dimiliki-Nya); “..dan hak hamba-hamba ialah seseorang tidak memperlakukan sesamanya dengan berbagai jenis ketakaburan, khianat dan aniaya, maksudnya dalam hal ini memperlakukan sesamanya dengan tidak terdapat kelemahan pada akhlak.
Kedua hal itu merupakan kata-kata yang ringan dari segi ucapan, tapi mengamalkannya sangatlah sulit. Manusia tidak akan mampu tetap menjalankan kedua segi hak ini, terkecuali apabila karunia Allah Ta’ala yang besar menyertainya.” (Kalau demikian, seharusnya kita mencari karunia-karunia Allah dan kita berupaya supaya seorang pun dari antara kita tidak berada dalam keadaan luput dari hal itu) “…. dalam hal ini ada orang-orang yang memiliki daya marah, ketika kekuatan ini berkobar dan seseorang tengah marah, dia tidak menjaga kalbu dan lidahnya dalam keadaan suci. Oleh karena itu, marah akan menghidupkan di dalam kalbunya upaya-upaya jahat menentang sesamanya dan akan menyakiti mereka dengan perantaraan ucapannya.
Seseorang itu harus berupaya dengan gigih siang dan malam untuk memperbaiki akhlaknya setelah kedudukannya sebagai muwahhid sejati. (maksudnya setelah berpegang teguh dengan tauhid, kalian harus memperbaiki akhlak kalian)… Saya melihat banyak yang tidak menunaikan untuk membantu saudaranya (sesama manusia). Apabila saudara-saudara mereka menggeliat kelaparan, yang lain tidak menaruh perhatian dan tidak memperhatikan keadaan-keadaan tersebut. Atau jika menghadapi kesulitan-kesulitan yang lainnya, ia tidak mengorbankan sedikit pun dari hartanya untuk hal itu. Terdapat di dalam Hadis, إِذَا طَبَخْتُمُ اللَّحْمَ، فَأَكْثِرُوا الْمَرَقَ، أَوِ الْمَاءَ، فَإِنَّهُ أَوْسَعُ أَوْ أَبْلَغُ لِلْجِيرَانِ ‘Idza thabakhtumul lahma faktsirul maraqa awil maa-a, fa-innahu ausa’a aw ablaghu lil jiiraan.’ – ‘apabila kalian memasak daging, perbanyaklah kuah atau airnya, sesungguhnya hal itu lebih menjangkau luas dan lebih mencapai tetangga.’ [2]
Namun, yang terjadi sekarang semua orang tidak menaruh perhatian selain kenyangnya perut sendiri tanpa memperhatikan lainnya. Janganlah kalian menyangka makna tetangga adalah orang yang tinggal di dekat rumah kalian, malahan saudara-saudara kalian seagama pun tetangga kalian juga sekalipun mereka berada ratusan mil jauhnya.”
Inilah standar-standar untuk orang-orang beriman, bagaimana kita harus memberikan bantuan dan bagaimana kita harus mengerahkan kemampuan kita dan memperhatikan untuk memberi makan pada orang lain.
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Setiap orang harus muhāsabah atau instropeksi dirinya setiap hari sampai batas mana memberi perhatian terhadap hal-hal ini dan hingga batas mana membantu saudara-saudaranya dan berbuat ihsān kepadanya. Inilah tanggung jawab besar yang ada pada insan.”
Terdapat di dalam sebuah Hadis Sahih sebagai berikut, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي “Allah Ta’ala akan berfirman pada hari Kiamat, ‘Aku dalam keadaan lapar, tapi kalian tidak memberi-Ku makan; Aku merasa haus, namun kalian tidak memberiku minum; Aku dalam keadaan sakit, tapi kalian tidak menjenguk Aku.’
Maka, orang yang dimintai pertanggung-jawaban itu berkata, ‘Wahai Tuhan kami! Kapan (bilakah) Engkau merasa lapar dan kami tidak memberi-Mu makan? Kapan Engkau merasa haus dan kami tidak memberi-Mu minum? Kapan Engkau dalam keadaan sakit serta kami tidak menjenguk-Mu?’
Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku, si Fulān memerlukan sesuatu ini lalu kalian tidak menolongnya. Sekiranya kalian menolongnya berarti kalian seakan-akan menolong Aku.’
Demikian pula, Allah berkata pada jamaah yang lain, ‘Aduhai baik sekali kalian, oleh karena kalian sudah menolong Aku, dimana Aku dalam keadaan lapar, maka kalian telah memberi Aku makan; Aku dalam keadaan haus, maka kalian telah memberi Aku minum begitu selanjutnya.’
Jamaah ini mengatakan, ‘Kapan kami memperlakukan-Mu dengan demikian itu?’
Allah akan mengatakan, ‘Sesungguhnya pertolonganmu terhadap hamba-Ku, si Fulān berarti pertolongan itu untuk-Ku.’”[3]
Pada hakikatnya menolong sesama makhluk Allah adalah amal perbuatan yang agung dan Allah sangat menyukai itu. Adakah sanjungan yang lebih besar daripada bahwa Allah Ta’ala menghitung bantuan yang diberikan itu – maksudnya membantu hamba-Nya atau membantu orang miskin – sebagai pemberian bantuan demi Allah Ta’ala? (maksudnya seakan-akan ia memberikan bantuan pada Allah Ta’ala), lalu beliau (as) mengemukakan contoh dan bersabda, “Di dunia juga terjadi suatu kebiasaan bahwa apabila seorang pelayan dari seorang majikan pergi kepada teman majikannya dan teman majikannya itu tidak memuliakannya, maka apakah majikan itu akan merasa senang dengan perlakuan yang didapatkan oleh pelayannya itu ketika berada dengan temannya? Sekali-kali tidak, meskipun temannya itu tidak menyakiti pelayannya.”
(maksudnya sekiranya seorang pelayan pergi kepada seorang teman dan teman majikannya itu tidak memperhatikannya, maka tentu majikan itu akan menyesalkan temannya tersebut dikarenakan pelayannya dan selamanya tidak akan merasa senang) “Pada hakikatnya menghormati si pelayan dan memberikan perlakuan yang baik kepadanya adalah sesuai dengan kedudukan rasa perlakuan terhadap majikannya. Demikianlah, Allah Ta’ala juga tidak suka bila seseorang memperlakukan makhluk-Nya dengan acuh (tidak memberikan perhatian pada mereka dan tidak menolongnya ketika ada keperluan), karena Allah Ta’ala sangat mencintai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang yang menolong makhluk-Nya maka seakan-akan ia diridhai oleh Tuhannya.”
Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Pendek kata, akhlak itu merupakan tangga bagi segala jenis kemajuan. Saya melihat huqūqul-‘ibād menguatkan huqūqullāh. (maksudnya satu segi dari huqūqul-‘ibād ini yakni “memberikan bantuan” sesungguhnya akan membuat huqūqullāh menjadi lebih kuat, maka jika hubungan kalian dengan makhluk Allah Ta’ala kuat, demikian pula hubungan kalian dengan Allah Ta’ala pun akan kuat).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sesungguhnya dia yang memperlakukan orang lain dengan akhlak fadhilah, Allah tidak akan menyia-nyiakan imannya.”
Ketika seorang insan melakukan sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan menolong saudaranya yang lemah, imannya akan menjadi bertambah kuat disebabkan keikhlasan ini. Namun perlu diingat, akhlak yang seseorang tampakkan karena riya (pamer) semata, tidak akan menjadi karena Allah dan sedikit pun tidak akan memberikan faedah. Hal demikian karena hilangnya keikhlasan. (seharusnya pengurbanan-pengurbanan dan candah-candah juga adalah demi meraih keridhaan Allah Ta’ala. Suatu kebiasaan berlaku di dalam Jemaat bahwa amal-amal yang kita laksanakan di dalam bulan Ramadhan dihitung untuk doa, tidak ada kekurangan dalam persiapannya tapi tidak seharusnya hal itu untuk riya), sebagai contoh banyak orang yang membangun khānah–khānah (tempat-tempat) atau yang serupa dengan itu dan tujuan mereka adalah mendapatkan popularitas dan reputasi. (mereka membangun tempat-tempat bermalam atau tempat-tempat bermukim bagi para musafir dan menyediakan di dalamnya tempat dan juga air minum secara cuma-cuma karena mereka memiliki harta, namun maksud mereka adalah mencari reputasi dan tidak melakukan itu demi wajah Allah Ta’ala sebagaimana saya beritahukan kebanyakan dari negara-negara kaya membantu negara-negara miskin untuk melaksanakan maksud-maksudnya tersebut).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Apabila seseorang beramal sesuatu demi wajah Allah bagaimana pun sederhananya, maka Allah tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan Allah akan memberikan ganjaran baginya. Saya pernah membaca dalam Tadzkiratul Aulia (تذكرة الأولياء) bahwa pada zaman dulu ada seorang tua berusia 90 tahun. Ia seorang penyembah api. Tidak biasanya hujan turun terus-menerus dalam beberapa hari. Orang tua itu memanjat atap rumahnya dan melemparkan biji-bijian di atap rumahnya itu untuk memberi makan kepada burung-burung.[4]
Seorang dari kalangan umat Muslim yang adalah seorang Wali (orang saleh) melihat kelakuannya. Orang Muslim itu berkata: ‘Pak tua! Apa yang Anda lakukan?’ Orang beragama Majusi itu menjawab: ‘Saudara! Hujan terus turun selama enam hingga tujuh hari. Saya melemparkan biji-biji ini kepada burung-burung tersebut agar mereka memakannya.’
Orang saleh Muslim itu berkata pada diri sendiri bahwa amal-amal orang-orang kafir akan sia-sia. Lalu ia berkata kepadanya, “Apa pahala (faedah) yang akan Anda dapatkan atas perbuatan itu?’ Orang tua itu menjawab: ‘Saya yakin pasti akan diberikan ganjaran (manfaat) atas hal ini.”
Kemudian waliullah itu berkata pada dirinya, “Ketika saya melaksanakan Ibadah haji, saya melihat orang tua tersebut sedang melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. (orang tua penyembah api yang biasa memberi makan biji-bijian kepada burung-burun itu tengah bertawaf di Ka’bah. Ia berhajji) Saya heran melihatnya. Saya pun menghampirinya. Sebelum saya sempat berkata sesuatu, ia langsung membuka percakapan, ‘Apakah perbuatan saya melemparkan biji-bijian kepada burung-burung adalah tindakan sia-sia? Atau apakah saya tidak menerima ganjaran untuk perbuatanku tersebut?’ Maksudnya, biji-biji yang telah aku taburkan untuk burung-burung yang menjadi sebab keislamanku.” (laki-laki penyembah api itu tidak menganggap kebaikannya menjadi wasilah keuntungan dunia, justru ia menganggapnya sebagai wasilah keislamannya dan wasilah meraih ridha Allah Ta’ala dan ia mendapatkan kebahagiaan dengan perantaraan itu).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda : “Terdapat pula di dalam Hadits mengenai seorang sahabat Rasulullah (saw) saat ia bertanya, ‘Ya Rasul Allah! Ketika saya masih kafir dahulu saya banyak sekali melakukan derma (ia berinfak (derma) bukan karena pamer tapi untuk membantu makhluk Allah). Apakah saya akan menerima ganjaran atas amal perbuatan saya tersebut?’ (Artinya, ‘Saya biasa banyak berderma saat saya masih belum masuk Islam dan saya berusaha melakukan kebaikan-kebaikan. Apakah bagi saya ada pahala atasnya?’) Rasulullah (saw) menjawab: ‘Sedekah-sedekah itulah yang menyebabkan Anda masuk Islam.’”[5] (Maknanya, “Engkau tengah memakan buah kebaikan-kebaikan itu ketika Allah Ta’ala memberikan taufik untuk menerima Islam.”).
Beliau (as) bersabda, “Dari hal itu nyatalah bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan sekecil apa pun amal seseorang yang ia lakukan dengan ikhlas. Jelas juga bahwa membantu sesama dan mementingkan mereka akan menjadi sarana atau wasilah untuk menjaga huqūqullāh.”
(Seyogyanya tujuan kita beramal makruf itu bukanlah karena dibalik itu terdapat keuntungan duniawi, justru itu kita lakukan demi keridhaan Allah Ta’ala, sekiranya kita melakukan hal itu tentu akan menjadi sarana untuk menjaga pemenuhan kita terhadap hak Allah Ta’ala).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Menolong (simpati) terhadap sesama makhluk Allah Ta’ala itu merupakan suatu sifat yang jika seseorang meninggalkan dan melepaskannya, maka setahap demi setahap ia akan menjadi binatang buas. Inilah dasar sisi kemanusiaan seorang manusia. Seseorang hanya akan menjadi seorang manusia selama ia memperlakukan saudaranya dengan rasa cinta, kasih sayang, murah hati, belas kasih serta berlaku ihsān, dan dia melakukan hal itu dengan tanpa membeda-bedakan, tanpa pandang bulu (diskriminasi). Sebagaimana Sa’di (Penyair Persia abad 13) berkata, بنیآدم اعضای یکدیگرند – Bani Adame a’zaa-yi yek digarand – [اَلنَّاسُ كَأَعْضَاءِ الْجَسَدِ] – manusia itu seperti satu tubuh –.[6]
“Ingatlah, menurut taksiran saya, ruang lingkup sikap simpati sangat luas. Jangan memisahkan kaum mana pun dan siapa saja secara individu.” (Tidaklah mesti bantuan kita itu terbatas untuk suatu kaum, bahkan seharusnya untuk semua tanpa kecuali) “Saya tidak ingin mengatakan seperti orang-orang jahil di zaman ini, ‘Khususkanlah simpati kamu hanya terhadap orang-orang Islam’. Tidak! Justru saya katakan, bersimpatilah kepada segenap makhluk Allah. Siapa pun dia, baik dia seorang penganut Hindu ataupun Islam atau siapa saja yang lainnya. Saya tidak menyukai perkataan orang-orang seperti itu yang ingin mengkhususkan rasa simpati hanya terhadap kaum (bangsa dan kelompok)nya saja.”[7]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengemukakan contoh mereka yang menerapkan pemikiran-pemikiran seperti ini [kebolehan menipu atau merugikan orang-orang (bangsa) selain mereka], ketika mereka menyatakan, “Kalian dapat mencelupkan tangan kalian pada sebuah bejana yang berisi sirup atau madu, lalu masukkanlah tangan itu ke dalam kantong (wadah) milik orang lain yang penuh dengan biji-biji wijen (semsem), kemudian kalian bisa menipu orang lain dengan jumlah biji wijen yang menempel pada tangan kalian.” Maksudnya, mereka telah mengada-adakan contoh-contoh seperti ini untuk membebaskan kebohongan-kebehongan dan tipuan-tipuan mereka ketika mereka mengatakan pada kalian, “Dengan mencelupkan tangan pada sirup atau madu, lalu kalian harus mencelupkannya pada biji-biji wijen milik orang lain, maka mesti sejumlah besar biji-biji itu melekat pada tangan kalian.”
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa menipu orang lain itu jaiz (boleh saja) bagi mereka sebatas biji-biji wijen yang menempel pada tangan mereka. Inilah perihal mereka yang menjadikan ajaran Islam menjadi buruk. Alangkah agungnya karunia Allah Ta’ala pada kita ketika kita dibimbing pada Islam dengan perantaraan Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Contoh pemikiran nan rusak dan buruk seperti ini bagaimana pun telah benar-benar merugikan (membahayakan) orang-orang Muslim. Pemikiran inilah yang membuat keadaan mereka mendekati seperti makhluk buas nan kejam. Namun, saya menasehati kalian berkali-kali bahwa janganlah mempersempit ruang lingkup rasa belas kasih kalian bahkan amalkanlah mengenai belas kasih dengan ajaran yang telah Allah Ta’ala wahyukan, إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ ‘Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat ‘adl (adil), ihsaan dan Īta-‘i dzil qurbā’ (memberi kepada kerabat).’ (Surah An-Nahl, 16:91)
Itu artinya: Tahap pertama berbuat kebajikan adalah melaksanakan keadilan, yaitu ketika seseorang melakukan kebaikan terhadap kalian, maka kalian pun harus membalas kebaikan tersebut. Tahap kedua adalah yaitu saat seseorang berbuat baik kepada kalian, maka kalian membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar. Ini disebut ihsan. Meskipun tahap Ihsan ini lebih tinggi dari pada tahap Adil tapi ada kemungkinan orang yang berbuat Ihsan tersebut akan menagih (mengungkit-ungkit) kebaikan yang telah ia berikan kepada orang tersebut.
Oleh karena itu ada tahap paling besar (tinggi) dari dua tahap itu dan itu adalah kebaikan yang lahir dari rasa belas kasih pribadinya (kecintaan pribadi) terhadap orang lain, dan bukan karena niat untuk secara tercela menyebut-nyebut kebaikan sendiri melainkan demi berbelas kasih seperti kasih seorang ibu saat mengasuh anaknya. Seorang ibu tidak mencari imbalan atau hadiah apapun dalam membesarkan anaknya, tapi hal tersebut merupakan dorongan alami yang karenanya ia siap mengorbankan dirinya, kenyamanan dan kebahagiaannya demi mengasuh anaknya tersebut.”
Seorang ibu berbuat baik terhadap anaknya hingga tingkat fana. Kebaikan ini menempati tingkatan yang ketiga, yaitu melakukan pengabdian yang berada pada martabat atau derajat Īta-‘i dzil qurbā’. Contoh terbesar tingkatan ini adalah apa-apa yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya, tiadalah mungkin orang-orang duniawi dapat berhiaskan kebaikan seperti ini ketika tidak melampaui derajat ihsān, justru pada derajat Īta-‘i dzil qurbā’ inilah ia tidak melakukan mannu (menyebut-nyebut kebaikan).
Jika Negara-negara miskin tidak melaksanakan program-program dan tujuan-tujuan mereka ini (negara-negara besar) maka mereka (negara-negara besar) akan menarik tangan mereka dari program-program yang telah mereka buka untuk negara-negara miskin, malahan dalam keadaan ini mereka punya alasan untuk menghukum (memberi sanksi) kepada mereka (negara-negara kecil atau lebih miskin). Penyebabnya sendiri adalah intervensi beberapa Negara untuk membuat kegaduhan. Beberapa Negara Islam mengikuti politik ini, termasuk juga sebagian Negara Islam yang besar. Karena alasan itulah hari ini Negara Yaman menghadapi kerusakan karena mereka tidak mengikuti secara penuh Negara Islam yang besar yaitu Kerajaan Saudi Arabia. Mereka (Yaman) tidak melaksanakan rencana-rencana Saudi Arabia sehingga negara besar ini (Saudi) mengatakan, “Hukumlah orang-orang miskin di negara ini (Yaman) dan penduduk negaranya yang tidak bersalah, anak-anak, kaum wanita, orang-orang lemah dan setiap negara yang berdamai dengan mereka.”
Ketahuilah! Perjumpaan dengan Allah tidak tersedia bagi orang yang memiliki pemikiran-pemikiran seperti ini. Amalan-amalan seperti ini tidak bisa dianggap sebagai sebab atau sarana untuk meraih keridhaan Allah dan tidak mungkin mendapatkan Allah sebagai buah dari amalan-amalan ini.
Sepatutnya para Ahmadi di hari ini beramal dengan segala keikhlasan dan dengan menolak hal itu, begitu pun seharusnya mereka memperbanyak doa supaya Allah Ta’ala mengikat tangan orang-orang zalim ini. Dengan menjelaskan hal ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Seharusnya kebaikan itu mencapai tingkat natural (secara alami), karena ketika sesuatu itu di dalam perkembangannya mencapai tahap kesempurnaannya yang alami, ketika itulah hal itu menjadi sempurna.”
Hudhur (as) menjelaskan perkara ini, “Simpati (belas kasih dan menolong) terhadap umat manusia muncul akibat dorongan alami dikenal sebagai إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ Iytaa-i dzil Qurba (memberi seperti kepada kerabat). Dengan menyebutkan urutan ini, Tuhan Yang Maha Kuasa menginginkan agar kalian meningkatkan mutu amal saleh kalian ke tahap إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ, yaitu derajat hal itu menjadi dorongan alami. Jika suatu amal tidak mencapai tahap di mana ia menjadi dorongan alami, maka amalan tersebut tidak akan dapat meraih keadaan yang sempurna.”[8]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Ingatlah! Allah Ta’ala amat senang dengan kebaikan dan Dia menghendaki agar kita senantiasa memperlihatkan belas kasih kita kepada makhluk ciptaan-Nya. Jika Dia menghendaki amal keburukan maka Dia akan mendesak kita melakukannya, tapi Allah Ta’ala jauh lebih luhur dari yang seperti itu. (سبحانه وتعالى شأنه, subhānallāhu wa Ta‘ālā’ sya’nuhū) – Dia Maha suci dan kedudukan-Nya Maha Tinggi. (subhaanahu wa ta’ala)”[9]
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik pada kita untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan, mewujudkan standar tertingginya, meraih keridhaan Allah Ta’ala, menunaikan huqūqul-‘ibād dan memberikan pengkhidmatan kemanusiaan sebagaimana mestinya sehingga kita meraih kebahagiaan sejati secara kontinu.
Sekarang kita akan berdoa dan seyogianya kita mengingat di dalam doa-doa kita untuk saudara-saudara kita yang fakir, berkekurangan dan sedang membutuhkan; kita harus mengingat mereka yang tengah menunaikan huqūqul-‘ibād dengan segala keikhlasan sembari mengabaikan dirinya sendiri; ingatlah juga semua orang yang mewakafkan diri; ingatlah juga semua orang yang tengah mengkhidmati Jemaat di berbagai bidang. Doakanlah untuk orang-orang yang menunaikan pengorbanan-pengorbanan harta untuk pekerjaan-pekerjaan Jemaat dalam cakupan luas.
Doakanlah umat Islam supaya Allah Ta’ala menahan tangan-tangan umat Islam dari menumpahkan darah satu sama lain. Pada waktu mereka (Kerajaan Saudi Arabia) mengebom Yaman pada bulan Ramadhan beberapa hari belakangan ini. Hal itu telah membuat banyak dari anak-anak kecil menjadi yatim, menjadikan sejumlah wanita menjadi janda dan membuat takut banyak orang. Banyak jiwa termasuk wanita, anak-anak, orang-orang tua binasa secara aniaya tanpa pandang bulu. Semoga Allah Ta’ala menahan tangan orang-orang penganiaya ini.
Kita berdoa untuk para Ahmadi di Pakistan tempat sehari-hari bumi membuat mereka merasa sempit. Doakanlah para Ahmadi di Indonesia yang tengah mendapatkan keaniayaan di beberapa tempat belakangan ini. Demikian pula doakanlah para Ahmadi di Aljazair yang mana putusan-putusan dari pihak penguasa ditimpakan pada mereka dan pihak penguasa terus-menerus memberikan sanksi-sanksi.
Semoga Allah Ta’ala memelihara para Ahmadi dari kejahatan-kejahatan orang-orang ini dan semoga Id ini akan menjadi Id hakiki bagi orang-orang Ahmadi ini dan mereka akan meraih kebahagian hakiki. [Aamiin].
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Abkari Munwanna 1-9 Februari 2019; Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan komparasi pemeriksaan naskah: www.IslamAhmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Islami Ushul ki Filasafi (Falsafah Ajaran Islam).
[2] Al-Maqshud al-‘Aliy fi Zawaid Musnad Abi Ya’la al-Maushili (المقصد العلي في زوائد مسند أبي يعلى الموصلي), Bab memperbanyak kuah masakan untuk didermakan ke tetangga (باب إكثار المرق)
[3] Shahih Muslim, Kitab kebaikan dan silaturrahmi (كتاب البر والصلة والآداب), bab keutamaan menjenguk orang sakit (باب فَضْلِ عِيَادَةِ الْمَرِيضِ). عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي ، قَالَ : يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ، قَالَ : أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ ؟ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي ، قَالَ : يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ، قَالَ : أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ ، فَلَمْ تُطْعِمْهُ ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي ، يَا ابْنَ آدَمَاسْتَسْقَيْتُكَ ، فَلَمْ تَسْقِنِي ، قَالَ : يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ ؟ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ، قَالَ : اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ ، أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي
[4] Tadzkiratul Auliya (Kenangan atau Pelajaran dari para Wali). Kitab ini ditulis oleh Fariduddin Aththar di dalam bahasa Persia. Kitab ini berisi biografi para Wali. Karya ini dimulai dengan kisah tentang Ja’far ash-shadiq, Imam keenam kaum Syi’ah dan seorang syekh sufi besar abad 2 H/ 9 M serta diakhiri dengan biografi al-Hallaj. Aththar lahir di Nisyapur, Persia (Iran sekarang) pada 1136. Ia menulis sekitar 200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Mantiq ath-Thayr atau Musyawarah Burung. Ia diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1230, di usia 110 tahun. Ia dikabarkan wafat di tangan tentara Jenghis Khan, setelah membubarkan murid-muridnya—dengan mengirim mereka ke tempat-tempat aman—ketika telah memperkirakan akan datangnya invasi (penyerbuan) Mongol pada abad ke-13.
[5] Malfuzhat jilid 1, h. 74-75, edisi 1985, UK
[6] Gulistan karya Sa’di (گلستان سعدی). Bagian pertama (باب اول: در سیرت پادشاهان). Abu Muhammad Sheikh Muslihuddin Sa’di adalah seorang penyair sufi kelahiran Shiraz, Persia (1200-1291) yang menulis literatur klasik berjudul Bustan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para penyair Barat berjudul “The Orchard” dan buku lainnya Gulistan “The Rose Garden”. Karyanya mengandung ajaran-ajaran dan kisah-kisah cinta, agama, kebijaksanaan, anekdot-anekdot dan aspek kehidupan lainnya. Selain Sa’di, Pendiri Jemaat juga terkadang mengutip sajak Hafiz Shirazi, penyair Persia lainnya (1316-1390).
[7] Malfuzhat jilid 4 hal 448 Cetakan Baru
[8] Malfuzhat jilid 7, h. 283, edisi 1985, UK
[9] Malfuzhat jilid 7, h. 284, edisi 1985, UK