Jihad Dengan Pena

Banyak orang yang mengangkat Pena (menulis, edit.), akan tetapi sedikit yang dianugerahi semangat untuk melakukan Jihad dengan cara yang paling dapat diterima.  Banyak orang yang berkeinginan untuk mengangkat pena, namun keyakinan-keyakinan yang keliru dan kurangnya ilmu pengetahuan, menghalangi mereka untuk melakukannya dan akhirnya usaha mereka untuk menulis terhenti secara tidak sadar. Hanya Jemaat Ahmadiyah yang tidak pernah berhenti dalam perjuangan hebat ini dari masa awalnya,  dan telah menjadi satu-satunya sarana untuk mengantarkan kebangkitan Islam secara damai melalui proses intelektual yang tekun yang diprakarsai dari seabad yang lalu oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi dan Al Masih Yang Dijanjikan dalam Islam.

Upaya untuk menghidupkan kembali Islam telah dimulai menjelang akhir abad 19, dan perkembangannya semakin diperhatikan oleh umat Muslim yang pada saat itu sudah putus asa dengan keadaan Islam. Hal ini merupakan akibat langsung dari perjuangan yang diprakarsai oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al Masih Yang Dijanjikan dan Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Ini adalah kebenaran mendasar yang baik untuk diperhatikan oleh semuanya.  Tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim bahwa (kebangkitan Islam) merupakan hasil upayanya sendiri atau upaya beberapa orang yang dianggap sebagai pembela Islam.  Allah tidak memerlukan pembela. Meskipun berjuang demi agama memiliki ganjarannya di sisi Allah tergantung dari tingkat kepastian pengetahuan yang benar dan ketulusan dari tujuan perjuangannya.  Mengharapkan bahwa Allah akan memberkati sesorang yang berjuang dengan gegabah, itu persoalan lain. Ketika Jemaat Ilahi telah didirikan, hanya upaya-upaya tulus dari Jamaat ini yang telah ditakdirkan akan diberkati oleh Allah. Kemungkinan bagi yang lainnya untuk diberkati oleh Allah ibarat sebuah sungai kecil yang mencoba mencapai laut, yang mengumpulkan air dari pegunungan, namun berbelok arah menjauh dari sungai yang utama. Sungai kecil itu tidak kekurangan hujan, akan tetapi sungai tersebut tidak akan sampai ke laut.

Lihatlah bagaimana hujan wahyu Ilahi telah mengantarkan Islam menjadi sungai yang sangat besar melalui sosok Baginda Nabi Muhammad saw. Dengan hujan yang sama, Islam telah dihidupkan kembali melalui sosok Imam Mahdi dan Al Masih Yang Dijanjikan di zaman ini.

Kini kita akan melihat pihak-pihak yang mengaku sebagai pejuang Islam, walau menyadari fenomena yang dibahas diatas, tetap menyangkal hal itu dan pada akhirnya hanya berkutat dengan seruan yang sia-sia, menyanjung diri sendiri atau bahkan dusta. Maksud kami disini bukanlah untuk mengecilkan hati siapapun yang menulis ataupun berbicara mengenai apapun yang dia pilih, karena tidak ada paksaan di dalam agama, namun untuk memberikan pujian yang selayaknya diberikan kepada yang berhak dan meluruskan sejarah dengan cara memberikan peringatan kepada pembaca yang belum mengetahui. Tidak ada larangan sama sekali untuk mengambil ide-ide dari Al Masih Yang Dijanjikan, karena itu merupakan tanda dari keberhasilan misi-misinya. Namun ketika para penentangnya mulai menjiplak tulisan-tulisan dan ajaran-ajaran beliau (as), menjadi tugas kami untuk memperingatkan orang-orang mengenai karya-karya mereka (para penentang).

Kami mulai dengan fakta yang tak terbantahkan bahwa semua lembaga, kelompok masyarakat, perkumpulan, komunitas, perserikatan, dewan, persaudaraan ataupun kelompok yang berorientasi Islam yang mempublikasikan pandangannya (tentang jihad dengan pena) ataupun mereka yang memegang keyakinan yang serupa tentang Islam, harus dianggap secara aktif terlibat dalam Jihad dengan pena (Jihad dengan Karya Tulis, edit.).

Dan sesungguhnya Kami telah menjelaskan Alquran  ini dengan berbagai cara diantara mereka, supaya mereka mendapat pelajaran tetapi kebanyakan manusia menolak kecuali kekufuran. Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami bangkitkan di tiap-tiap negeri seorang pemberi ingat. Maka janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran ini, jihad yang besar. (25: 51-53)

Alasan kami memilih ayat diatas adalah untuk menggambarkan satu poin bahwa kebangkitan Islam harus sepenuhnya datang dari prinsip-prinsip pertama, yaitu; pemaparan dari Al Quran dan prinsip-prinsip asli dari agama ini. Jadi seseorang yang mengangkat pena demi Islam sungguh-sungguh berjuang keras dan melakukan Jihad dengan pena.

Oleh karena itu, orang-orang yang terlibat dengan ini, memikul tanggung jawab yang berat untuk memastikan ketepatan tulisan dan menjaga agar tidak ada kontradiksi dalam karya tulis mereka. Tanpa keseriusan seperti ini, apa yang mereka sebut Jihad ataupun perjuangan sesungguhnya hanya akan menjadi sumber ketidaksukaan bagi non Muslim yang tertarik (dengan Islam), menjadi bimbingan yang salah bagi para mualaf, atau menjadi alasan bertambahnya kesimpangsiuran dan keraguan bagi seluruh muslim.

Sekarang kita kaji dua buku yang diterbitkan oleh The Islamic Foundation atas nama Islamic  Council of Europe (Majelis Islam Eropa), yang mengklaim kedudukan sebagai Badan Koordinasi Tertinggi untuk Pusat-pusat dan organisasi-organisasi Islam di Eropa. Buku-buku tersebut adalah:

Islam – its Meaning and Message (Islam- Makna dan Pesannya) (1975, 1983) dan

Towards Understanding ISLAM (Menuju Pemahamam tentang Islam) (1980, 1983)

Buku yang pertama, pada halaman 229, menyesalkan para pemikir Islam masa kini yang telah melupakan semua hadits yang menyinggung tentang akhir zaman dan kedatangan Imam Mahdi; atau menyalahartikan atau mengesampingkan, entah karena alasan ketidaktahuan atau kesengajaan. Buku yang kedua mengungkapkan keyakinan yang bertentangan dengan buku pertama, yaitu pada halaman 79 yang menyebutkan: Menolak kedatangan siapapun (pent. sebagai Imam Mahdi) yang wajib diikuti oleh umat Muslim. Dua keyakinan yang bertentangan ini tidak dapat direkonsiliasi dan sayangnya keduanya berkaitan dengan apa yang didoakan oleh umat Muslim terus menerus yaitu pengambilan Jalan Yang Lurus (shirathal mustaqim). Keyakinan yang satu menghapuskan keyakinan yang lainnya. Sebuah kontradiksi yang sangat mencolok, terutama karena buku Towards Understanding ISLAM sama sekali tidak menyebutkan tentang Imam Mahdi di Akhir Zaman! Hal ini mengakibatkan suatu penghapusan/peniadaan secara terencana satu aspek yang penting di masa ini. Menjelang akhir abad ke 13 dalam sejarah Islam, dan awal abad ke 14, ada ekspektasi di kalangan umum tentang seorang Reformer (Mujaddid) Yang Dijanjikan, yang kedatangannya sudah dinubuatkan oleh Rasulullah saw sendiri. Baik umat Muslim maupun Nasrani, sedang menunggu kedatangan Nabi Isa as yang kedua kali. Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mendakwakan diri dan memenuhi nubuat tersebut, mereka yang menolak beliau kemudian menentang pemikiran mengenai segala bentuk kedatangan seseorang yang bercorak demikian diantara umat Muslim. Penolakan ini kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa dalam jangka waktu yang dinubuatkan (abad Islam ke 14) tidak ada orang lain yang menda’wakan diri, sehingga pilihan yang ada hanya menerima klaim ini (dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as) atau mengabaikan hal ini. Oleh karena itu, kontradiksinya bisa dilihat oleh siapapun dengan sangat jelas.

Di bab kesepuluh dari buku yang pertama dan kedua ada bagian-bagian yang secara esensi mengarah ke anti-Sufisme. Usaha penyucian/perbaikan kondisi moral seseorang yang dilakukan secara sadar ditafsirkan secara dangkal. Namun di buku pertama, pada halaman 233, diakui bahwa nihilisme dan ateisme yang merupakan tantangan besar bagi teologi Islam hanya dapat dijawab melalui sumber-sumber (keilmuan) yang sebagian besar merupakan Sufisme. Apa yang dicoba dijelaskan oleh para ulama terpelajar dari Islamic Foundation tersebut kepada dunia? Apapun itu, sungguh sangat tidak jelas. Harus diingat, bahwa pencari kebenaran sangat ingin mencari filosofi yang rasional, yang sepenuhnya masuk akal, dan sebuah keyakinan yang menarik untuk intelektualitas mereka. Hal terakhir yang mereka harapkan adalah ketidakselarasan. Pikirannya mau menerimanya, namun tetap kritis. Dia baru bisa menunjukkan kontradiksi kecil karena keterbatasan pengetahuannya. Namun, kontradiksi yang telah ditunjukkan di atas (dalam dua buku diatas) adalah sebuah kontradiksi yang besar, karena hal itu berhubungan dengan keyakinan-keyakinan dan sikap mendasar.

Tujuan penerbitan buku-buku dan artikel-artikel tentang permasalahan agama adalah untuk mengungkapkan sesuatu yang belum pernah dibahas sebelumnya; atau untuk menguatkan apa yang telah ada dalam cara yang baru; atau untuk menolak apa yang telah diungkapkan sebelumnya dan karena itu berupaya untuk mengkoreksi kesalahan informasi tersebut. Akan tetapi penerbitan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif dari seseorang dan organisasi yang sama adalah sebuah sebuah pekerjaan yang tidak ada artinya. Tujuan Islamic Foundation, sebagaimana tertulis di sampul belakang dari buku tersebut adalah,

… membangun pemahaman yang lebih baik tentang Islam diantara masyarakat di seluruh dunia, baik Muslim maupun non Muslim. Bertujuan untuk memperbaiki hubungan manusia sehingga dapat menguatkan manusia menuju pesan dan pemikiran mengenai Tuhan yang Esa dan kesatuan dari umat manusia, sebagaimana telah dibawa oleh seluruh Nabi-nabi Tuhan dari masa ke masa.

Terkait:   Benarkah Pendiri Ahmadiyah Menghapus Hukum Jihad?

Dalam konteks dari tujuan organisasi, kontradiksi yang telah kami tunjukkan di dalam terbitan-terbitan mereka (Islamic Foundation), menjadikan pernyataan tujuan tersebut sia-sia, karena tidak adanya kesesuaian isi di buku-buku tersebut dengan tujuan organisasinya.

Kita beralih ke bab 3 dari buku yang pertama untuk melihat bagaimana penulis telah mencoba meraih reputasi karena merasa mempunyai andil dalam menggambarkan semangat yang benar dari Islam, padahal ajaran-ajaran tersebut telah dijelaskan oleh Masih Mau’ud as satu abad yang lalu. Penulis mengatakan:

Hal ini, saya kira merupakan pemikiran dibalik bentuk istimewa dari shalat/ibadah dalam Islam dimana konsentrasi spiritual dan gerakan badan tertentu terkoordinasi satu dengan yang lainnya… Aku tidaklah menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku (Al Quran, 51: 56). Dengan demikian, konsep ibadah dalam Islam berbeda dari semua agama lain. Ibadah dalam Islam, tidak terbatas pada praktek-praktek ibadah (ritual), seperti shalat atau puasa, tapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Jika tujuan dari kehidupan kita secara keseluruhan adalah untuk beribadah kepada Tuhan, kita harus selalu menggangap kehidupan, dalam keseluruhan aspek-aspeknya, sebagai satu tanggung jawab moral yang kompleks. Dengan demikian, semua tindakan kita termasuk yang kelihatannya sepele, harus dilakukan sebagai bagian dari rencana universal Tuhan. Keadaan seperti ini, bagi manusia dengan kemampuan rata-rata (manusia pada umumnya) adalah suatu keadaan ideal yang sulit tercapai; akan tetapi bukankah tujuan dari agama adalah untuk membawa keadaan-keadaan ideal menjadi nyata dalam kehidupan?… Dan hanya konsepsi ini yang menunjukkan adanya kemungkinan manusia untuk meraih kesempurnaan dalam kehidupan dunianya. Dari semua agama-agama yang ada, hanya Islam yang menyatakan bahwa kesempurnaan individu bisa diraih dalam kehidupan kita di dunia.

Pertanyaan yang dikemukakan oleh penulis, kemungkinan ditujukan bagi mereka yang meyakini pendekatan militan dibanding pendekatan spiritual. Pernyataan dalam penggalan diatas sangat berbeda dengan praktek pendekatan agama ritualistik yang lazim seratus tahun yang lalu.  Semua pecinta Islam sejati pastinya sangat senang dengan adanya perkembangan ini, kecuali mereka yang berhati keras. Akan tetapi, kita harus menekankan disini bahwa penghargaan seharusnya diberikan kepada yang berhak menerimanya, dan dalam hal ini penghargaan tersebut adalah milik Masih Mau’ud as untuk karyanya yang diilhami bimbingan Ilahi, Filosofi Ajaran Islam yang disajikan dalam Konferensi Agama-agama besar yang diadakan di Balai Kota Lahore tahun 1896.

Hendaklah diingat bahwa pada masa itu adalah masa dimana terjadi kontroversi hebat dan perdebatan-perdebatan berkenaan dengan semua agama.  Umat Kristen dari seluruh dunia benar-benar memusatkan perhatian ke India, dan dibantu secara aktif oleh Non Muslim yang lain untuk menentang Islam.  Tidak menghiraukan keadaan yang tidak seimbang, Masih Mau’ud as mengumumkan sebelum konferensi dilaksanakan bahwa risalahnya akan mengungguli semua yang lain.  Dan tepat seperti yang dinubuwatkan oleh beliau as, semua peserta konferensi mengakui keunggulan dari risalah yang beliau bawakan.  Beliau as juga menyatakan bahwa ada bantuan Ilahi dalam penyusunan risalah ini disertai dengan ilham yang berkenaan dengan kesuksesannya. Dalam konteks ini, menjadi sangat penting untuk setiap orang yang takut akan Tuhan untuk membacanya dan kemudian membentuk opininya sendiri. Secara kebetulan, syarat utama dari debat dalam konferensi tersebut adalah risalah harus dibuat berdasarkan kitab suci dari masing-masing penulis; oleh karena itu risalah ini ditulis berdasarkan hanya kepada Al-Quran, petunjuk terhebat yang diturunkan kepada umat manusia lebih dari 14 abad yang lalu.

Kami kemudian mengkaji terbitan lain dari The Islamic Foundation, yang penulisnya – menurut penerbit – merupakan salah satu dari arsitek utama dan pemimpin dari Kebangkitan Islam Kontemporer, pemikir Islam yang paling luar biasa, dan penulis (terbaik) di zaman ini, yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menguraikan makna dan pesan Islam, mengajak khalayak untuk memperbaharui komitmen mereka kepada Sang Pencipta, dan mengorganisir sebuah pergerakan untuk menegakkan Islam sepenuhnya, … dijatuhi hukuman mati karena menulis selebaran yang menghasut.

Terbitannya berjudul The Islamic Way of Life  (Cara hidup yang Islami) 1986, yang merupakan terjemahan yang direvisi dan ditambah isinya dari edisi tahun 1948; diedit bersama oleh dua orang editor. Tujuan kami menyoroti revisi, penambahan isi dan pekerjaan editing tersebut adalah untuk menekankan bahwa upaya yang sungguh-sungguh telah dilakukan terhadap terbitan ini, belum lagi kerja keras dari penulis aslinya.  Meski penuh dengan perjuangan, tulisan ini kurang mempunyai kemampuan untuk menerangkan jalan yang benar. Di dalam tulisan ini dinyatakan bahwa tingkat kerohanian yang paling akhir dan tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah Ihsan (kebaikan). Pemahaman ini tidak sesuai dengan apa yang diterangkan dalam Al-Quran.  Entah karena ketidaktahuan penulis mengenai standar kesempurnaan yang diterangkan dalam Al-Quran atau penulis dengan sengaja dan semaunya sendiri membuat batasan tanpa memberikan penjelasan mengenai maksudnya.  Pemahaman ini sangat tidak memadai dan membatasi kemajuan spiritual siapapun yang mengikuti keyakinan ini.

Dalam buku yang sama, kami mengamati ketidaktahuan penulis tentang keburukan tertinggi, yang dia sebut ‘munkarat’. Kami tidak dapat memahami pembatasan semena-mena yang disematkan pada definisi tentang keburukan dan kebaikan dalam Al-Quran.  Konsep pemahaman seperti itu akan menemui kegagalan dalam kaitan dengan Jihad dengan Pena.  Setelah seumur hidup dihabiskan untuk mempelajari Al-Quran, penulis buku tersebut tidak bisa menyertakan pemahaman dasar tentang kebaikan dan keburukan dalam tulisannya, meskipun pemahaman itu secara mengagumkan dijelaskan hanya  dalam sebuah ayat Al-Quran:

Sesungguhnya, Allah telah memerintahkan untuk berbuat adil dan melakukan kebaikan kepada yang lain, dan memberi seperti kepada keluarga; dan melarang berbuat tidak senonoh dan keburukan yang nyata serta perbuatan melampaui batas. Dia memperingatkanmu supaya kamu memperhatikan. (Q.S. 16:91)

Tingkatan pertama yang disebutkan di buku tersebut adalah ‘Adl (Keadilan). Seseorang yang melakukan hal yang sama terhadap suatu perlakuan yang dia terima dari orang lain, berarti ia sedang berbuat adil. Dia telah memulai perjalanan spiritualitas, namun perjalanan itu baru dimulai. Jika seseorang membalas kebaikan orang lain dengan porsi yang lebih besar dari apa yang telah dia terima, hal itu dinamakan Ihsan (kebaikan, atau berbuat kebaikan kepada orang lain). Ini adalah tingkatan yang kedua dari perjalanan ini. Tanpa keraguan, ini adalah satu tingkatan yang baik bagi manusia, akan tetapi dia masih belum memiliki tingkatan kebaikan yang tertinggi, karena dia masih mengingat-ingat kebaikannya. Meskipun dia tidak mengharapkan imbalan atau balasan, akan tetapi kesadaran bahwa dia adalah orang yang penuh dengan kabaikan, cukup untuk membuatnya ternoda dalam artian dia bisa saja menganggap penerima kebaikannya tidak tahu berterimakasih jika si penerima kebaikan menyangkal atau melupakan kebaikan itu. Tingkatan terakhir dan tertinggi dari perkembangan akhlak dianalogikan dengan ‘ita izil qurba’ (memberi seperti kepada keluarga sendiri) seperti dijelaskan di ayat diatas. Kebaikan seperti ini adalah murni, tanpa sedikitpun mengharapkan balasan, tanpa memandang terimakasih atau apapun dari penerima kebaikan. Ini seperti kasih sayang kepada keluarga karena kebaikan apapun yang seseorang lakukan untuk saudara sedarahnya merupakan benar-benar amalan yang murni yang sepenuhnya terbebas dari niat apapun kecuali untuk berbuat kebaikan. Allah menjanjikan surga langsung di dunia bagi orang-orang yang mencapai tingkatan ini, yang tidak berhenti pada tingkatan Ihsan saja. Ini adalah konsep yang benar tentang akhlak yang tertinggi, menurut Al-Quran Suci, jika diterapkan pada waktu dan kondisi yang tepat.

Di ayat yang sama, Allah memperingatkan kita pada tiga kondisi keburukan. Yang pertama adalah Fahsya (Ketidaksenonohan) yaitu hanya hati pelaku yang mengetahui tentang keadaan atau tindakannya. Tindakan atau niat buruk pelaku tidak diketahui oleh orang lain.  Tingkatan keburukan yang lebih tinggi adalah munkar (keburukan/kejahatan yang nyata), dimana keburukan seseorang mungkin bisa dibuktikan, atau bahkan disaksikan langsung orang lain.  Tingkat keadaan yang paling buruk adalah baghy (hal-hal yang melampaui batas) yang meliputi segala keburukan termasuk yang mencelakakan fisik orang lain maupun pelaku itu sendiri. Penjelasan terperinci mengenai keadaan akhlak dan ruhani manusia, sarana-sarana untuk pencapaiannya, dan sumber-sumber dari pengetahuan Ilahiah berdasarkan Al Quran Suci dapat ditemukan di buku Al Masih Yang Dijanjikan, Filsafat Ajaran Islam.

Terkait:   Terorisme di Perancis, Bagaimana Umat Islam Menanggapinya?

Demikianlah, Jihad dengan pena mengajarkan kepada kita bahwa kita harus kembali kepada Al-Quran Suci dan menghindari semua konsep yang lain. Ini adalah bukti dari kebenaran Al-Masih Yang Dijanjikan yang telah muncul diantara umat Muslim. Al-Quran Suci membuka pintu kemajuan ruhani bagi umat Muslim, yang tanpa itu sebuah agama layak dianggap sudah mati:

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Utusannya akan termasuk diantara mereka yang Allah telah anugrahkan berkat-berkat Nya… Nabi-Nabi, Shiddiq, Syuhada, dan Shalih. Dan merekalah sebaik-baik kawan. (Q.S. 4: 70)

Keberkatan-keberkatan selamanya akan sepadan dengan tingkatan akhlak yang diraih. Bertentangan dengan sifat Maha adil Tuhan, jika seseorang dengan tingkatan (akhlak) yang rendah dapat dimasukan ke dalam kategori orang-orang dengan tingkatan rohani tinggi; atau tingkatan-tingkatan akhlak yang tinggi ini hanyalah fatamorgana yang tak mungkin diraih, yang Allah sebutkan hanya sebagai insentif saja; atau seseorang hanya bisa meraih beberapa tingkatan saja dan bukan seluruhnya. Seluruh umat Muslim berdoa untuk mendapat berkat-berkat-Nya dalam sholat-sholat setiap harinya. Apakah doa-doa ini adalah sebuah ritual yang tak bermanfaat? Bukankah mereka sungguh-sungguh dalam doa-doanya? Apakah manfaat dari doa jika orang yang berdoa tidak dapat meraih apa yang dia panjatkan dalam doanya? Ayat yang di atas sesungguhnya bermakna bahwa umat Muslim dapat meraih derajat shalih (saleh), syahid, shiddiq (kebenaran), dan ‘kenabian’ dengan cara mentaati Allah dan utusan-Nya. Dan tentunya, seseorang tidak akan bisa melampaui derajat dari Utusan (Muhammad Saw) yang telah menunjukkan kita jalan yang lurus. Hanya dengan mengikuti Nabi Suci Muhammad Saw, seorang Muslim akan dapat meraih derajat-derajat mulia yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Beliau (saw) adalah Materai dari para Nabi, derajat tertinggi yang dapat diraih seorang manusia dari semenjak penciptaan sampai Hari Kiamat:

Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki diantara mu, akan tetapi dia adalah Utusan Allah dan Khaataman Nabiyyin (materai para nabi) dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. (33:41)

Khaataman Nabiyyin (materai para nabi) adalah sebuah kehormatan yang meliputi segalanya. Sangat keliru untuk mengimani bahwa beliau (saw) sebagai Nabi terakhir secara kronologis. Ditambah lagi, secara harfiah hal itu bertentangan dengan makna yang sebenarnya dari kata “Khatam”, yang artinya adalah stempel di dalam bahasa Arab. Di tempat lain dalam Al-Quran Suci kata tersebut juga telah digunakan dengan makna stempel. Tidak pernah sebelumnya para Ulama Islam mengartikan kata ini sebagai sinonim dari kata Akhir (terakhir secara kronologis). Hanya ulama-ulama abad ini saja yang secara sepihak (mengartikan Khatam sebagai Akhir) untuk mendukung tujuan dan filosofi mereka, dan oleh karena itu seperti tertera di halaman 59 pada buku kedua “Khatamun Nabiyyin” (rangkaian terakhir dari para Nabi yang benar) dan pada catatan kaki halaman yang sama, berbunyi: Al-Quran mengatakan: ‘Muhammad adalah Utusan Allah dan yang terakhir dari para Nabi. Dengan demikian, kita telah melihat di atas bagaimana beberapa ulama membatasi kemajuan ruhani dalam bentuk penghentian segala macam kenabian, yang didalamnya boleh jadi terdapat pembatasan yang paling melumpuhkan.’

Perbedaan dogmatis dalam sebuah agama yang berasal dari Tuhan tidak akan pernah bisa direkonsiliasi melalui saling kompromi. Jika para Ulama dan Ahli Tafsir dari suatu agama mulai meyakini bahwa wahyu ilahi sekarang telah tertutup selamanya, (meskipun wahyu yang diturunkan hanya dengan tujuan untuk memberikan petunjuk, dengan kata lain: tidak ada Nabi meskipun diantara para pengikutnya), maka pertanyaan ini langsung muncul, siapa yang akan memutuskan segala perbedaan dan apakah penafsiran orisinil yang pada akhirnya dapat menyelesaikan segala perbedaan ini? Seseorang yang percaya pada penghentian dari segala bentuk kenabian, tapi tetap berusaha untuk menjawab pertanyaan tadi akan sampai pada kesimpulan yang kami kutip berikut ini:

Dalam kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa Sunni dan Syiah adalah dua dimensi orthodox dalam Islam yang sudah ditakdirkan untuk ditempatkan secara tradisi untuk memungkinkan sekumpulan tabiat ruhani dan psikologi yang berbeda menjadi terintegrasi dalam komunitas Islam. Mereka tidak menghancurkan persatuan dalam Islam karena apapun perbedaan mendasar dari mereka, masing-masing menegaskan tentang doktrin persatuan.  Mereka adalah dua jalan yang menegaskan kebenaran dari kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah”. Mereka adalah dua aliran sungai yang berasal dari mata air yang sama, yang merupakan sumber yang unik, yang bernama wahyu Al-Quran. Dan pada akhirnya mereka bermuara pada satu samudera yang disebut Tauhid, yang manivestasinya ada di kedua aliran ini (Sunni dan Syiah). Hidup dengan menjalani salah satu dari dua jalan ini merupakan hidup seorang Muslim dan hidup dengan memahami kebenaran wahyu Al-Quran yang disampaikan bagi manusia melalui Nabi Islam (saw).

(Ideals and Realities of Islam, 1966, 75, 79, 85 George, Allen & Unwin by Seyyed Hossein Nasr.)

Setelah panjang lebar menguraikan tentang keadaan-keadaan ideal spiritual dalam enam Bab di bukunya, penulis membuat kompromi yang sangat sederhana ketika dihadapkan pada kenyataan suram mengenai perbedaan-perbedaan yang ada diantara para pengikut agama besar ini, yang pada intinya, bagiku adalah agamaku, dan bagimu adalah agamamu, dan keduanya adalah benar. Demikianlah upaya-upaya manusiawi untuk merekonsiliasi konflik hati nurani yang mendalam, yang merupakan akibat dari tidak bergantung kepada wahyu Allah yaitu wahyu yang mengkonfirmasi wahyu pertama (wahyu yang tidak membawa hukum baru, akan tetapi memperkuat yang sebelumnya) tidak berlaku dikarenakan batasan yang dipaksakan sendiri sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya. Menariknya, dalam upaya untuk menjawab pertanyaan siapa yang akan memutuskan segala perbedaan dan siapa yang dianggap sebagai wakil dari Allah yang sebenarnya, beberapa ulama ini memegang pemahaman yang tanpa kompromi (garis keras)! Jika tidak ada yang hendak memperbaiki mereka, apakah tidak masuk akal untuk mengambil alih kekuasaan di bumi dan menerapkan hukum-hukum Islam, apapun yang terjadi? Di dalam buku Islam – Its Meaning and Message,  kami takjub membaca bahwa untuk mengambil alih kekuasaan dan menerapkan Islam dalam rangka gairah keagamaan, penulis bahkan mengesampingkan konsep kebenaran yang merupakan karakter dan prinsip yang sangat penting yang harus ditekankan dalam segala bentuk pemerintahan di dalam Islam. Kami mengutip kata-kata dari penulis, namun menyarankan agar membacanya dengan hati-hati untuk menyaring kebenaran dari kekeliruan:

Sekarang saya akan mencoba untuk memberikan penjelasan singkat mengenai komposisi dan struktur dari negara Islam. Saya telah menetapkan sebelumnya bahwa dalam Islam, hanya Allah sendiri yang merupakan Penguasa Yang Sejati. Berpedoman kepada prinsip pokok ini, jika kita memikirkan posisi dari orang-orang yang telah ditetapkan/ditugaskan untuk menegakkan hukum Tuhan di bumi, sangat wajar untuk menganggap mereka sebagai wakil-wakil dari Penguasa Yang Tertinggi. Islam telah menetapkan dengan seksama posisi ini untuk mereka. Berkenaan dengan itu, Al Quran mengatakan:

Allah telah menjanjikan kepada mereka diatara kamu yang beriman dan melakukan amal shaleh, bahwa Dia akan menjadikan mereka berhasil secara pasti (penguasa-penguasa yang sekarang) dan menganugerahkan kepada mereka Khalifah di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan mereka sebelumnya untuk menggantikan yang lain.

Ayat tersebut mengilustraikan dengan sangat jelas teori negara dalam Islam. Dua poin yang sangat penting dari ayat ini adalah:

  1. Poin pertama adalah bahwa Islam menggunakan istilah Khilafat bukan kedaulatan/kekuasaan. Karena menurut Islam, kedaulatan/kekuasaan adalah milik Tuhan semata, siapa pun yang memegang kekuasaan dan aturan sesuai dengan hukum-hukum Tuhan, tidak syak lagi merupakan Khalifah dari Penguasa Tertinggi dan tidak akan diizinkan untuk menjalankan kekuasaan apapun selain dari apa yang didelegasikan kepadanya.
  2. Poin yang kedua disebutkan dalam ayat tersebut bahwa kekuasaan untuk memerintah di bumi telah dijanjikan kepada seluruh komunitas orang-orang yang beriman; disini tidak dinyatakan bahwa seseorang atau golongan tertentu akan diangkat untuk posisi tersebut. Karena itu, semua orang yang beriman adalah khalifah. Kekhalifahan yang dianugerahkan Allah bukan sesuatu yang terbatas. Tidak ada persyaratan yang menguntungkan bagi suatu keluarga, golongan atau Setiap orang yang beriman adalah seorang Khalifah Tuhan di dalam kapasitas pribadinya. Berdasarkan posisi ini, setiap orang masing-masing bertanggung jawab kepada Tuhan. Rasulullah (saw) bersabda: … setiap orang dari antara kalian adalah seorang pemimpin dan setiap orang diantara kalian akan bertanggung jawab atas apa yang mereka pimpin … Jadi seorang Khalifah tidaklah lebih rendah dari yang lain.
Terkait:   Bagaimana Pandangan Islam tentang Ketaatan pada Hukum Negara?

(Islam – Its Meaning and Message, hal. 168)

Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa tujuan dari penulis adalah untuk mendesak umat Muslim untuk mengambil alih kekuasaan dan menegakkan Islam. Melakukan perbuatan baik sepertinya bukan menjadi hal yang penting. Kekuasaan di bumi secara arogan harus diambil alih berdasarkan penafsiran dari ayat Al Quran di atas.

Meskipun Allah menjanjikan Khilafat bagi orang-orang beriman yang mengerjakan amal shaleh, namun kami melihat kekeliruan total dari penafsiran tersebut. Bahkan konsep dasar Khilafat telah sengaja didistorsi untuk menyesuaikan dengan filosofi buatan manusia.

Manusia adalah Khalifah Allah dari sejak permulaan kehidupan, dimana Allah telah menjadikannya sebagai khalifah/wakilnya di bumi sejak penciptaan. Namun pengertian khalifah seperti ini tidak boleh dicampuradukkan dengan pengertian khalifah dalam Khulafaur Rasyidin; yakni Khalifah yang diberi petunjuk yang benar, yang secara umum diterima oleh umat Muslim sebagai masa dari empat Khalifah pertama setelah kewafatan Rasulullah (saw). Mereka adalah para Khalifah dari Nabi (saw) dalam makna yang khusus dan para Khalifah Allah dalam makna umum sebagaimana manusia mewakili Tuhan di bumi.

Dalam upaya untuk mengatasi kurangnya petunjuk yang benar (meski memegang harta karun dari Al Quran suci di tangannya), dan bertujuan untuk mendukung pemahaman bahwa wahyu Ilahi tidak akan turun lagi (meski hanya untuk mereformasi ataupun menghidupkan Islam), penulis dengan cerdik menempatkan beban petunjuk yang benar kepada masing-masing individu. Oleh karena itu semua Muslim adalah Khalifah.

Namun, konsep yang berbahaya yang bisa muncul akibat penafsiran seperti ini adalah penurunan pentingnya untuk berbuat kebajikan itu sendiri! Penulis hanya berasumsi bahwa Khilafat telah dijanjikan kepada seluruh orang-orang yang beriman dan bukan atas satu golongan dari antara mereka ... Penafsiran seperti ini bisa masuk dalam kategori dusta.

Biarlah hal ini menjadi jelas kepada semuanya, bahwa Allah tidak menjanjikan hal yang demikian. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan Khilafat, akan tetapi hanya untuk orang-orang beriman yang beramal saleh, begitulah seharusnya seseorang membaca ayat tersebut dengan seksama. Biarlah menjadi jelas kepada semuanya bahwa konsep kekuasaan di bumi, dimana setiap orang yang beriman adalah Khalifah, sama sekali asing di dalam ruh Islam, dan ketika hal itu dikaitkan dengan sikap ‘kekuasaan adalah nomor satu, kebajikan adalah hal yang sekunder’, konsep ini menjelma menjadi satu konsep yang sangat militan dan memberontak di era kita.

Ini adalah sebuah resep yang sesungguhnya akan mengadu Muslim dengan Muslim, sebab jika tidak 72, maka sedikitnya akan muncul selusin Khalifah dari sekian banyak Muslim, yang terang-terang bertentangan antara satu dengan lainnya. (Semoga Allah melindungi kita).

Kami telah menguraikan tentang kesalahan penafsiran dari penulis dengan tujuan untuk menekankan bahwa Islam adalah agama yang damai dan penuh dengan semangat penyerahan diri kepada Allah, oleh karena itu militansi dan pemberontakan bukan hal yang terpenting, malah sikap-sikap yang demikian bertentangan dengan Islam sepenuhnya. Khalifah dalam Islam, jika dia adalah yang diberikan petunjuk dengan benar haruslah ditunjuk oleh Allah dan pencalonan dan penunjukkannya di luar dari wewenang manusia. Oleh karena itu Khalifah dalam Islam haruslah seorang khalifah yang merupakan sosok yang ditunjuk Tuhan. Jemaat Ahmadiyah adalah satu-satunya Jemaat yang berawal dari sosok seperti tersebut diatas. Ini adalah Jemaat yang diberi petunjuk dengan benar di masa kini. Hanya Jihad yang ditahbiskan dan diemban oleh Jemaat ini, yang benar-benar bebas dari kontradiksi dan ditakdirkan untuk diberkati oleh Allah, sebagaimana yang telah terjadi sepanjang satu abad dan akan terus berlanjut demikian.

Sifat damai dari Jihad untuk menghidupkan Islam kembali dapat dipastikan dalam aspek yang lain juga. Segala upaya menghidupkan Islam harus berasal dari prinsip-prinsip dasar dari agama ini. Tanpa pendekatan kembali ke asal seperti ini, seluruh upaya untuk menegakkan Islam menjadi sia-sia.

Dalam rangka melakukan pendekatan kembali ke asal, seseorang harus menganalisis semangat dibalik periode Islam di Mekah. Kami menemukan bahwa semangat pada saat itu, adalah semangat untuk berjalan di jalan yang benar. Ini adalah semangat yang membersihkan, yang bertujuan kepada peningkatan akhlak sebelum hal lain. Kesabaran dan kerendahan hati adalah kualitas umum yang biasa ditemukan dalam kelompok kecil pengikut yang setia. Singkatnya, Islam lahir dalam semangat non-militan. Kita juga mempelajari bahwa peristiwa-peristiwa di masa Madinah tidak mungkin dicapai tanpa konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan awal. Orang-orang yang konon disebut Muslim saat ini harus terlebih dahulu menjadi orang beriman yang berjalan di jalan yang benar, untuk mencapai keadaan moral dan ruhani yang layak untuk mendapatkan berkat-berkat dan perlindungan Allah. Jika seseorang berpikir bahwa Islam dapat ditegakkan dengan atau tanpa melakukan amal shaleh, maka dia benar-benar tidak mengetahui keadilan Ilahi. (Haruslah diingat bahwa menjadi seorang beriman hanya dalam nama saja, belum bisa dianggap sebagai orang-orang saleh) Oleh karena itu pemenuhan tujuan Islam dalam masa kehidupan Rasulullah saw di Mekkah, sebagaimana diterapkan pada masa kini, harus sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan. Berbicara mengenai kebangkitan Islam tanpa konsep ini, menyandang benih-benih pemaksaan dan kehilangan prinsip-prinsip asli dari agama yang luar biasa ini. Ini ibarat menempatkan/mengadakan kereta didepan kuda, tidak akan pernah ada pergerakan atau kemajuan.

Pendekatan secara damai dari Jemaat Ahmadiyah terkait Jihad dengan pena berakar pada konsep-kosep yang ada di Al Quran Suci dan Sunnah. Ini bukanlah sebuah konsep yang lemah dalam standar akhlak, keadilan, filosofi, agama, hikmah, ataupun akal sehat di masa kini. Keangkuhan dan pemborantakan dilarang. Memang benar hijrah diperbolehkan untuk melindungi keimanan seseorang. Oleh karena itu kita mengatakan bahwa penerapan (hukum) Islam secara paksa adalah konsep yang keliru yang sebaiknya dihindari setiap saat.  Pastinya, saat kata-kata ini ditulis, 700 Ulama Islam dari seluruh penjuru dunia, yang kebanyakan dari mereka dulunya percaya pada pengambil alihan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Islam, telah berbalik haluan dan mengutuk kelompok Ulama-ulama lain, yang juga dari Islam, dalam upaya menghentikan sebuah konflik militer yang berkepanjangan diantara dua negara Muslim. Seruan ini, sedikitnya, merupakan pengakuan secara de facto bahwa adalah tidak pantas dan bertentangan dengan agama, menggunakan perang sebagai alat untuk menegakkan ajaran-ajaran dan gagasan pemikiran.

Al Masih Yang Dijanjikan telah mengatakan tentang hal ini seratus tahun yang lalu, tapi orang yang keras hatinya kemudian menuduh beliau (as) merubah konsep Jihad dalam Islam. Tercatat dalam sejarah, bahwa kedua militan ini telah menyebut upaya-upaya perang mereka sebagai sebuah Jihad terhadap kekuatan anti Islam yang lain. Ini adalah hasil dari penolakan terhadap panggilan dari Al Masih Yang Dijanjikan. Jihad yang utama di zaman ini adalah Jihad yang menanamkan kesucian diri sendiri dan orang lain. (Jihad Kabir, Jihad yang lebih besar yang melakukan perjuangan dengan positif), dan bukanlah Jihad dengan pedang, (Jihad Saghir, Jihad yang lebih kecil) yang mengangkat pedang semata-mata demi upaya pembelaan diri dan dengan tujuan perlindungan diri.  Rasulullah saw sendiri dan Al Quran Suci keduanya merupakan saksi atas kebenaran dari definisi Jihad di atas.

Era kita adalah satu era penyebaran buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, dan media yang lain. Ini adalah zaman informasi. Namun, ironisnya hanya sedikit yang tertarik pada informasi mengenai agama dan peningkatan akhlak. Dalam kondisi yang seperti ini, seorang penyeru Jihad untuk kemenangan Islam yang menyadari hal ini, haruslah mengarahkan perjuangannya ke tempat yang paling membutuhkan. Tapi harus diingat bahwa kekuatan dari pertimbangan akal sehat dan kecerdasan di zaman ini semakin maju. Budaya menimba ilmu telah begitu marak. Kekuatan dari semua media informasi telah diperkuat, dengan maksud untuk mempengaruhi individu ke arah yang telah ditentukan. Oleh karena itu tanggung jawab dari Jihad dengan pena tidak seharusnya dianggap enteng.

Kedamaian bagi mereka yang diberi petunjuk dengan benar.


Penerjemah: Mln. Muhammad Idris (Funafuti-Tuvalu)

Sumber        : Alislam.org

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.