Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 82)
Pembahasan seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr). Bahasan lanjutan mengenai Hadhrat Sa’d bin Malik (Abu Waqqash) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 14 Agustus 2020 (Zhuhur 1399 Hijriyah Syamsiyah/Dzulhijjah 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada hari Jumat dua pekan lalu, saya menyampaikan tentang seorang sahabat Nabi Muhammad (saw) bernama Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra. Pada Jumat hari ini pun saya hendak melanjutkan bahasan lebih rinci tentang beliau ra. Sebelumnya telah saya sampaikan tentang perang [melawan Persia]. Pada saat perang sedang berlangsung, istri Hadhrat Sa’d, Hadhrat Salma binti Hafshah (سلمى بنت حفصة) melihat seorang tahanan yang diikat dengan rantai.[1] Dia sangat ingin ikut dalam perang itu. Namanya Abu Mihjan ats-Tsaqafi (أبو مِحْجَن الثّقفي).[2] Hadhrat Umar (ra) memberikan hukuman pengusiran [dari kota Madinah] padanya karena dia minum minuman keras sehingga dia sampai di sana [di perbatasan]. Sesampainya di sini pun dia kembali minum minuman keras sehingga Hadhrat Sa’d memberi hukuman cambuk padanya dan dia diikat dengan rantai.
Abu Mihjan meminta wanita pembantu Hadhrat Sa’d, bernama Zabra (زَبْرَاءُ), untuk membuka rantai yang mengikatnya supaya dia bisa ikut perang. Dia berkata, يَا زَبْرَاءُ، أَطْلِقِينِي وَلَكِ عَلَيَّ عَهْدُ اللَّهِ وَمِيثَاقُهُ، لَئِنْ لَمْ أُقْتَلْ لأَرْجِعَنَّ إِلَيْكِ حَتَّى تَجْعَلِي الْحَدِيدَ فِي رِجْلِي “Demi Allah jika saya selamat maka saya akan kembali dan memakai belenggu lagi.”[3]
Wanita itu setuju dan dia membuka rantainya. Abu Mihjan menuju medan perang dengan menunggangi kuda Hadhrat Sa’d lalu masuk menusuk ke barisan musuh dan langsung menyerang gajah putih besar. Hadhrat Sa’d melihat semua ini. Beliau berkata, itu kuda saya, tapi yang menungganginya Abu Mihjan Tsaqafi. Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, Hadhrat Sa’d tidak bisa terjun langsung ke medan perang karena sakit. Beliau memandu dari jarak jauh. Bagaimanapun juga perang itu berlangsung selama tiga hari.
Ketika perang selesai maka Abu Mihjan kembali dan memasang rantainya. Hadhrat Sa’d membebaskan Abu Mihjan seraya berkata, “Jika kamu minum minuman keras lagi maka saya akan memberikan hukuman yang sangat berat padamu.” Abu Mihjan berjanji bahwa dia tidak akan pernah lagi meminum minuman keras.
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Hadhrat Sa’d menyampaikan hal ini kepada Hadhrat Umar (ra) dan Hadhrat Umar (ra) bersabda, “Jika dia bertobat dari minum minuman keras maka jangan hukum dia.” Dengan demikian, Abu Mihjan bersumpah untuk tidak akan minum minuman keras lagi sehingga Hadhrat Sa’d membebaskannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) juga menjelaskan berkaitan dengan peristiwa ini. Sebelumnya, saya sampaikan bahwa yang melepaskan Abu Mihjan adalah pembantu wanita.[4] Namun, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) adalah salah satu diantara sahabat istimewa Rasulullah (saw). Di zaman kekhalifahannya, Hadhrat Umar (ra) menunjuk beliau sebagai panglima perang pasukan Islam untuk menghadapi pasukan Iran. Kebetulan saat itu di paha beliau keluar bisul yang di bahasa kita (Urdu atau orang-orang India) biasa menyebutnya ghambiir.
Bisul ini bertahan sangat lama. Sudah dilakukan berbagai pengobatan tapi tidak kunjung baik. Akhirnya beliau berfikir, ‘Jika saya terbaring di tempat tidur lalu pasukan Islam melihatnya – sedangkan saya panglima perang muda tapi tidak menyertai mereka – maka mereka akan putus asa.’
Dengan demikian beliau memerintahkan untuk membuat tempat duduk di atas sebuah pohon – biasanya di kita dibuat untuk menjaga kebun. Beliau duduk di atas tempat duduk itu dengan bantuan orang-orang supaya pasukan Islam melihatnya dan membayangkan bahwa panglima mereka bersama mereka. Dalam hari-hari itu beliau mendapat laporan bahwa seorang pemimpin Arab minum minuman keras.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Meskipun minuman keras dilarang dalam Islam, tapi orang-orang Arab sudah sangat kecanduan. Sesuatu yang sudah kecanduan (addicted) maka sangat sulit untuk meninggalkannya. Orang itu masuk Islam baru juga antara dua atau tiga tahun. Suatu kebiasaan yang sudah lama melekat, tidak hilang dalam masa dua atau tiga tahun. Bagaimanapun juga ketika Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) mendapat laporan mengenai pemimpin Arab ini meminum minuman keras, maka beliau memenjarakannya. Pada saat itu tidak ada penjara tetap. Jika ada yang harus dipenjarakan maka dia dikurung dalam sebuah ruangan tertutup dan ditetapkan penjaga. Dengan demikian pemimpin arab itu juga dikurung dalam sebuah ruangan dan pintunya dijaga seseorang yang ditugaskan.”
Kemudian Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Dalam sejarah Islam tahun ketika perang itu terjadi adalah tahun musibah. Karena umat Muslim mengalami banyak kerugian dalam perang itu. Di suatu tempat kuda-kuda pasukan Islam lari menghindari gajah-gajah musuh, ternyata di sana ada sebuah sungai kecil. Kuda-kuda itu melompat ke dalam sungai dan karena orang-orang Arab saat itu tidak bisa berenang maka ratusan pasukan Islam tenggelam dan wafat. Itulah sebabnya tahun itu disebut tahun musibah.
Bagaimanapun juga, pemimpin Arab Muslim tadi dikurung di sebuah ruangan. Ketika pasukan Islam pulang dari perang mereka duduk-duduk dekat ruangan itu sambil berbicara tentang besarnya kerugian yang diderita umat Muslim dalam perang. Dia begitu menderita dan merasa sedih karena pada saaat itu tidak bisa ambil bagian dalam perang. Meskipun di dalam dirinya terdapat kelemahan bahwa dia minum minuman keras, tapi dia adalah seorang yang sangat pemberani. Di dalam dirinya terdapat suatu gejolak semangat.
Mendengar pembicaraan tentang kerugian yang diderita pasukan Islam dia mondar-mandir di dalam ruangan seoalah-olah dalam ruangan itu singa yang mondar mandir. Sambil mondar-mandir dia membaca bait-bait syair (sajak) yang artinya, ‘Hari inilah kesempatan kamu menyelamatkan Islam dan memperlihatkan keberanianmu, tapi kamu dipenjara.’[5]
Istri Hadhrat Sa’d (ra) seorang wanita yang sangat pemberani. Suatu hari beliau lewat dekat ruangan itu dan beliau mendengar bait syair (sajak) itu. Beliau melihat tidak ada penjaga di sana. Beliau pergi ke pintu dan berkata pada tahanan itu, ‘Kamu tahu bahwa Sa’d memenjarakanmu. Jika dia tahu bahwa saya melepaskanmu dari penjara maka dia tidak akan memaafkan saya. Tapi hatiku ingin supaya saya melepaskanmu supaya kamu bisa berguna untuk Islam sesuai keinginanmu.’
Dia berkata, ‘Lepaskanlah saya untuk perang ini. Saya berjanji, begitu perang usai, akan segera kembali dan masuk ke dalam ruangan tahanan ini.’
Dalam hati wanita itu juga terdapat rasa empati terhadap Islam dan gejolak untuk melindunginya. Itulah sebabnya beliau mengeluarkannya dari penjara. Dengan demikian dia ikut perang dan dia berperang tanpa kenal rasa takut sehingga karena keberaniannya pasukan Islam bukannya mundur, malah terus berderap maju.
Hadhrat Sa’d mengenalinya kemudian berkata, ‘Hari ini orang yang saya penjarakan karena minum minuman keras berada di dalam peperangan. Meskipun dia menutupi wajahnya dengan niqab, tapi saya mengenali cara dia menyerang dan postur tubuhnya. Saya akan mencari orang yang mengeluarkannya dari penjara dan akan memberikan hukuman berat padanya. Yakni orang yang mengeluarkannya dari penjara, yang membukakan rantai dan belenggunya, akan saya berikan hukuman yang berat padanya.’
Ketika Hadhrat Sa’d mengucapkan ini maka istri beliau yang mendengarnya pun marah dan berkata, ‘Apa engkau tidak malu, engkau duduk di tempat duduk di atas pohon, sedangkan orang yang menerobos kedalam pasukan musuh tanpa rasa takut tanpa memperdulikan nyawanya engkau penjarakan. Saya yang membebaskannya dari penjara. Lakukanlah apa yang engkau inginkan. Saya yang membuka belenggunya, lakukanlah apa yang kau mau.’”
Hal ini disampaikan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam sebuah pidato beliau kepada para anggota Lajnah Imaillah (para wanita Ahmadi). Beliau menyampaikan bahwa para wanita Muslim dalam sejarah terbukti melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam Islam. Beliau bersabda, “Jadi, sekarang pun para wanita Ahmadi hendaknya menjadikan contoh-contoh tersebut sebagai pedoman dan bahan perhatian.”
Sekarang saya ingin menjelaskan kisah pengorbanan para wanita yang lain dalam narasi Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) sebagai berikut: “Hadhrat Khansa (الخنساء) ialah seorang wanita penyair terkenal dan Sahabiyah dari kabilah Anshar Banu Sulaim. Beliau mengorbankan empat putranya di jalan Allah dalam satu perang itu. Suami dan saudara Hadhrat Khansa wafat saat Hadhrat Khansa masih muda. Hadhrat Khansa membesarkan anak-anaknya dengan kerja keras.
Pada pagi hari di hari terakhir perang Qadisiyah, sebelum berangkat perang Hadhrat Khansa bersabda pada putra-putranya, يا بَنيّ إنّكم أسْلَمتُم وهَاجَرتُم مُختَارِين، والله الذي لا إله غيره إنّكم لَبَنُو رجلٍ واحد، كما أنّكم بَنو امرأةٍ واحدة، ما خُنتُ أباكم ولا فَضَحتُ خَالكُم، ولا هَجّنتُ حَسَبكُم ولا غَيّرتُ نَسَبكُم. وقد تعلمون ما أعَدَّ الله للمسلمين من الثَّوابِ الجَزيل في حرب الكافرين. ‘Anak-anakku! Kalian menerima Islam dengan senang hati dan hijrah sesuai dengan keinginan sendiri. Demi Dzat yang tiada sembahan selain Dia, aku tidak pernah membiarkan kehormatan keluarga dan leluhur kalian jatuh.
واعلموا أنَّ الدّار الباقية خير من الدار الفانية يقول الله: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران]. فإذا أصبحتم غداً إنْ شاء الله سالمين، فاغدُوا إلى قتال عَدوّكِم مُستَبصِرِين، وبالله على أعدَائهِ مُستَنصِرين. وإذا رأيتُم الحرب قد شَمَّرت عن سَاقِها، واضْطَرَمت لظىً على سيَاقهَا، وجَلّلَت ناراً على أوراقِهَا، فَتيَمَّمُوا وطَيسهَا، وجَالِدُوا رَئيسهَا عند احتِدَامِ خَمِيسهَا؛ تَظفَرُوا بالغُنمِ والكرامة في دار الخُلد والمُقَامة”. Ingatlah! Rumah di akhirat lebih baik dari dunia yang fana ini. Anak-anakku! Bersiaplah untuk perang! Teguhkanlah langkah kalian! Berperanglah bahu-membahu satu sama lain! Bertakwalah pada Allah. Jika kalian telah menyaksikan bahwa perang sedang berlangsung dan berkecamuk sepenuh kekuatan, sementara para penunggang kuda pun sudah siap maka terjunlah ke medan perang itu untuk menghiasi akhirat kalian.’
Putra-putra Hadhrat Khansa mengamalkan wasiyat mereka lalu memacu kuda masing-masing sembari membaca bait-bait syair yang biasa dikutip dalam rangka terjun ke medan perang [demi menaikkan semangat tempur]. Mereka berperang dengan gagah berani dan syahid dalam perang itu. Hari itu bendera Islam berkibar di Qadisiyah sebelum petang.
Hadhrat Khansa diberitahu bahwa keempat putra beliau syahid. Beliau bersabda, “الحمد لله الذي شَرَّفَنِي باستشهادهم، وأرجو من ربي أن يَجمَعني بهم في مُستَقرِّ رحمته“. ‘Saya bersyukur kepada Allah karena Dia telah menganugrahi mereka kesyahidan. Suatu kehormatan bagi saya bahwa mereka berkurban di jalan kebenaran. Saya berharap bahwa Allah Taala pasti akan mengumpulkan kami dalam naungan rahmat-Nya.’”[6]
Setelah memperoleh kemenangan di Qadisiyah, pasukan Islam memenangkan perang lagi di Babil (Babylon) dan menguasainya. Babil adalah kota lama Irak sekarang dan tentangnya disebutkan dalam Al-Quran dalam pembahasan Harut dan Marut. Kufah sekarang terletak di wilayah Babil. Demikianlah yang tercantum dalam Kitab Mu’jamul Buldaan (Ta’aruf atau Perkenalan megenai Kota-Kota).[7] Disebutkan juga di sana bahwa lasykar Islam melanjutkan ke daerah Kosah (Kusa) dan menguasainya. Ini adalah tempat Hadhrat Ibrahim (as) dulu pernah dipenjara oleh Namrud. Penjara itu masih terjaga sampai saat itu yaitu saat Hadhrat Sa’d (ra) sampai di sana. Sesampainya di sana, Hadhrat Sa’d melihat penjara itu lalu menilawatkan ayat Quran, وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ Artinya, ‘Hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia supaya mereka mendapat nasihat.’ (Surah Aali Imran, 3:141) Kemudian mereka terus bergerak maju dari Kosah dan sampailah di kota yang bernama Bahrah Syer.
Menurut Mu’jamul Buldaan – yang merupakan tulisan mengenai mu’jam atau kumpulan pengetahuan mengenai kota-kota – kota itu bernama Bahurasir (بَهُرَسِيرَ). Bahurasir adalah nama salah satu daerah yang terletak di sekitar Baghdad dekat kota Madain di Iraq di sebelah barat sungai Dajlah. Di sini singa pemburu milik Kisra ditempatkan. Ketika lasykar Hadhrat Sa’d mendekati tempat itu maka singa itu dilepaskan pihak Persia untuk menyerang mereka. Singa itu mengaum dan menyerang lasykar. Hasyim bin Abi Waqqash, saudara Hadhrat Sa’d adalah pimpinan barisan depan lasykar. Beliau menebas singa itu dengan pedang sedemikian rupa sehingga singa itu langsung tergelelak di situ.[8]
Kemudian dalam perang itu juga terjadi pertempuran Madain. Madain (المدائن) adalah pusat kerajaan Kisra dan di situ terdapat istana-istana putihnya. Antara umat Islam dan Madain dipisahkan oleh sungai Dajlah. Pasukan Iran menghancurkan semua jembatan sungai itu. Hadhrat Sa’d berkata, “Wahai umat Islam! Musuh berlindung dengan sungai. Ayo kita renangi dan seberangi sungai itu.”
Setelah mengucapkan ini beliau memasukkan kudanya ke sungai. Tentara Hadhrat Sa’d mengikuti pemimpinnya dan memasukkan kuda-kuda mereka ke sungai sehingga pasukan Islam sampai di seberang sungai. Ketika pasukan Iran melihat pemandangan menakjubkan ini mereka kabur dan berteriak ketakutan, “Hantu (دیو) datang! Hantu datang!”[9]
Pasukan Islam terus berderap maju sampai mereka menguasai kota dan istana-istana Kisra. Dengan demikian, terjadilah nubuatan Rasulullah (saw) yang beliau sampaikan pada saat perang Ahzab, ketika menghantam batu besar, beliau bersabda, فَإِنِّي حِينَ ضَرَبْتُ الضَّرْبَةَ الأُولَى رُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ كِسْرَى وَمَا حَوْلَهَا وَمَدَائِنُ كَثِيرَةٌ حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَىَّ “Ditampakkan kepada saya pemandangan istana-istana putih di Madain (ibukota Persia atau Iran) pecah.”[10]
Melihat istana-istana itu dalam keadaan sunyi, Hadhrat Sa’d membacakan ayat berikut dari surat Ad Dukhan (44:26-29): كَمْ تَرَكُوا مِنْ جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ () وَزُرُوعٍ وَمَقَامٍ كَرِيمٍ () وَنَعْمَةٍ كَانُوا فِيهَا فَاكِهِينَ () كَذَلِكَ وَأَوْرَثْنَاهَا قَوْمًا آخَرِينَ () ”Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah, dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya, demikianlah. Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.”
Alhasil, setelah itu Hadhrat Sa’d menulis surat kepada Hadhrat Umar untuk memohon izin agar dapat melanjutkan lagi. Hadhrat Umar bersabda kepada beliau, “Cukuplah sampai di situ, berikanlah perhatian pada daerah-daerah yang sudah dikuasai dan tegakkanlah tata tertib dan peraturan di sana.”
Hadhrat Sa’d lalu menjadikan Madain sebagai markas dan mulai berusaha untuk memperkuat pengaturannya dan mengerjakan tugas tersebut dengan sangat baik. Beliau melakukan sensus di Iraq dan melakukan pengukuran. Beliau mengatur kesejahteraan dan membuktikan dengan fikiran dan langkah beliau yang sangat baik bahwa selain dari kemahiran dalam berperang, Allah Ta’ala pun memberikan keahlian dalam hal mengelola kepada beliau. Orang-orang beranggapan bahwa setelah menguasai suatu daerah, umat Muslim tidak tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Namun setelah pasukan Muslim menguasai kota, pendudukanya lebih diperhatikan kesejahteraannya lebih dari sebelumnya.
Selanjutnya pembangunan kota Kufah, setelah mengetahui bahwa air dan udara Madain tidak cocok untuk tabiat orang Arab, Hadhrat Sa’d dengan seizin Hadhrat Umar membawa orang-orang Arab untuk menghuni kota baru. Di dalam kota itu berbagai kabilah Arab dipisah-pisah dan menghuni area-area yang terpisah. Mereka membuat masjid besar di pusat kota yang dapat menampung 40 ribu jamaah dalam satu waktu. Kufah sebetulnya merupakan markas tentara dan di dalamnya dihuni oleh 100 ribu lasykar.
Rincian selengkapnya adalah sebagai berikut: Setelah tinggal sekian lama di Madain, Hadhrat Sa’d merasa bahwa udara di sini telah sama sekali merubah warna dan tampilan orang Arab. Beliau mengabarkan hal itu kepada Hadhrat Umar lalu mendapat perintah untuk mencari lahan yang cocok di perbatasan Arab dan menempati kota baru lalu menetapkannya sebagai pusat pemerintahan setelah kabilah-kabilah Arab menempatinya.
Sesuai dengan perintah tersebut, Hadhrat Sa’d (ra) keluar dari Madain lalu memilih tempat yang cocok di perbatasan. Beliau kemudian meletakkan pondasi kota yang luas dengan nama Kufah. Kabilah-kabilah Arab yang berbeda menghuni area yang berbeda. Di tengah-tengah kota itu dibangun sebuah masjid megah yang dapat menampung jamaah shalat 40 ribu jamaah dalam satu waktu. Di dekat masjid Hadhrat Sa’d (ra) dirikan bangunan Baitul Maal (Rumah Perbendaharaan) dan membangun istananya yang dikenal dengan Qasr e Sa’d.
Selanjutnya adalah peperangan Nahawand yang terjadi pada tahun ke-21 Hijriyyah. Pada tahun itu Iran melakukan persiapan perang menghadapi umat Muslim yang berada di Iraq ‘Ajam. Iraq ‘Ajam ialah bagian wilayah Iraq yang ditempati bangsa Farsi (Persia atau Iran). Bangsa Persia bertujuan merebut kembali daerah yang dikuasai oleh Muslim. Pasukan Iran sejumlah 150 ribu membuat barak perkemahan di daerah Nahawand. Hadhrat Sa’d mengabarkan hal ini kepada Hadhrat Umar. Atas saran dari para pemikir, Hadhrat Umar menetapkan seorang Iraq, Hadhrat Nu’man bin Muqarrin (النُّعْمَانِ بْنِ مُقَرِّنٍ) al-Mazini sebagai komandan pasukan Muslim. Saat itu Hadhrat Numan tengah berada di Kaskar. Kaskar merupakan area yang terletak diantara Nahawand dan sungai Dajlah dekat Bashrah yang di sana terdapat puluhan kota dan desa. Hadhrat Umar (ra) lalu memerintahkan Hadhrat Nu’man (ra) untuk segera berangkat ke Nahawand. Sebagai perbandingan, jumlah pasukan Muslim 30 ribu menghadapi 150 ribu pasukan Iran.
Hadhrat Numan mengitari barisan dan memberikan petunjuk lalu berkata, وإن قتلت فالأمير بعدي حذيفة، فإن قتل ففلان، حتى عد سبعة آخرهم المغيرة “Jika aku syahid, yang akan menjadi komandan berikutnya adalah Hudzaifah. Jika ia syahid, yang akan menjadi komandan berikutnya adalah si Fulan.” Seperti itulah satu per satu beliau menyebut tujuh nama.
Setelah itu memanjatkan doa kepada Allah Taala, اللهم أعزز دينك، وانصر عبادك، واجعل النعمان أول شهيد اليوم على إعزاز دينك ونصر عبادك “Ya Allah! Muliakanlah agama Engkau! Tolonglah hamba hambaMu, anugerahkanlah kepada Nu’man mati syahid paling pertama.”
Berdasarkan riwayat lain, beliau berdoa, اللهم إني أسألك أن تقر عيني اليوم بفتح يكون فيه عز الإسلام واقبضني شهيداً “Ya Allah! Aku berdoa kepadaMu, sejukkanlah mataku pada hari ini melalui kemenangan yang didalamnya terdapat kemuliaan Islam dan anugerahkan aku mati syahid.”
Mulailah peperangan dan pasukan Muslim bertempur dengan gagah berani sehingga sebelum terbenam matahari medan peperangan dikuasai oleh pasukan Muslim dan dalam perang tersebut Hadhrat Numan syahid.
Feroz Abu Lulu [tokoh Persia] tertawan dalam perang tersebut lalu menjadi budak dan menjadi milik Hadhrat Mughirah Bin Syubah. Dialah orang yang di kemudian hari menyerang Hadhrat Umar dan mensyahidkan beliau. Hadhrat Umar menulis surat kepada pemimpin Nahawand, ”Jika Allah Ta’ala menganugerahkan kemenangan kepada umat Muslim maka seperlima dari harta rampasan akan diperuntukkan bagi Baitul Maal sedangkan sisanya dibagikan kepada umat Muslim. Tetapi, jika lasykar ini hancur dan tidak akan tersisa lagi maka perut bumi adalah lebih baik, maksudnya kuburannya lebih baik dari permukaan bumi.”
Pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar, suatu ketika orang-orang kabilah banu Asad mengeluhkan kepada Hadhrat Umar perihal shalatnya Hadhrat Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash bahwa beliau tidak mengimami shalat dengan benar.[11] Lalu Hadhrat umar mengutus Hadhrat Muhammad bin maslamah untuk menyelidikinya. Setelah diselidiki, diketahui bahwa keluhan tersebut tidaklah benar. Dalam hal ini Hadhrat Umar memanggil Hadhrat Sa’d ke Madinah. Selengkapnya dijelaskan dalam Shahih Bukhari sebagai berikut: Hadhrat Jabir bin Samurah meriwayatkan: شَكَا أَهْلُ الْكُوفَةِ سَعْدًا إِلَى عُمَرَ ـ رضى الله عنه ـ فَعَزَلَهُ وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَمَّارًا، فَشَكَوْا حَتَّى ذَكَرُوا أَنَّهُ لاَ يُحْسِنُ يُصَلِّي “Penduduk Kufah mengadukan Sa’d bin Abi Waqqash (ra) kepada Amirul Mukminin Hadhrat Umar bin Al-Khaththab (ra) sehingga Hadhrat Umar pun memecatnya dan digantikan oleh Ammar bin Yasir (ra) Dalam pengaduannya juga mereka mengatakan bahwa Hadhrat Sa’d tidak mengimami shalat sebagaimana mestinya.” ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا أَبَا إِسْحَاقَ إِنَّ هَؤُلاَءِ يَزْعُمُونَ أَنَّكَ لاَ تُحْسِنُ تُصَلِّي Hadhrat Umar memanggil Hadhrat Sa’d dan bersabda: Wahai Abu Ishaq (Panggilan Hadhrat Sa’d) mereka mengatakan bahwa anda tidak mengimami shalat dengan baik.
Abu Ishaq berkata: أَمَّا أَنَا وَاللَّهِ فَإِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي بِهِمْ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا أَخْرِمُ عَنْهَا، أُصَلِّي صَلاَةَ الْعِشَاءِ فَأَرْكُدُ فِي الأُولَيَيْنِ وَأُخِفُّ فِي الأُخْرَيَيْنِ. “Demi Allah! Saya memimpin mereka dalam shalat sebagaimana shalat Rasulullah saw tidak mengurangi sedikit pun daripadanya. Saya memanjangkan dua rakaat pertama dan memendekkan dua rakaat terakhir ketika mengimami shalat isya.”
Berkata Hadhrat Umar, ذَاكَ الظَّنُّ بِكَ يَا أَبَا إِسْحَاقَ “Saya pun mengira Anda memang demikian adanya, ya Abu Ishaq.”
فَأَرْسَلَ مَعَهُ رَجُلاً أَوْ رِجَالاً إِلَى الْكُوفَةِ، فَسَأَلَ عَنْهُ أَهْلَ الْكُوفَةِ، وَلَمْ يَدَعْ مَسْجِدًا إِلاَّ سَأَلَ عَنْهُ، وَيُثْنُونَ مَعْرُوفًا، حَتَّى دَخَلَ مَسْجِدًا لِبَنِي عَبْسٍ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهُ أُسَامَةُ بْنُ قَتَادَةَ يُكْنَى أَبَا سَعْدَةَ قَالَ Kemudian Hadhrat Umar mengirim Hadhrat Sa’d ke Kufah bersama satu atau beberapa orang untuk menanyakan langsung kepada rakyat di sana tentang dirinya. Setiap masjid didatangi dan kepada jamaah yang ada di situ langsung ditanyakan tentang Sa’d. Mereka pun menjawab dengan jujur, terus terang dan mereka semua memuji kebaikan Hadhrat Sa’d (ra).
Tetapi, ketika mereka masuk ke masjid bani ‘Abs dan ditanyakan kepada mereka tentang Sa’d ada seorang lelaki bernama Usamah bin Qatadah yang bergelar Abu Sa’dah menjawab, أَمَّا إِذْ نَشَدْتَنَا فَإِنَّ سَعْدًا كَانَ لاَ يَسِيرُ بِالسَّرِيَّةِ، وَلاَ يَقْسِمُ بِالسَّوِيَّةِ، وَلاَ يَعْدِلُ فِي الْقَضِيَّةِ. “Karena kalian telah meminta kami bersumpah, masalah sebenarnya adalah Sa’d tidak suka keluar memimpin pasukan perang, kalau membagi tidak pernah rata dan kalau menghukum tidak adil.” (Itulah tuduhan mereka terhadap beliau (ra))
أَمَا وَاللَّهِ لأَدْعُوَنَّ بِثَلاَثٍ، اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا، قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ عُمْرَهُ، وَأَطِلْ فَقْرَهُ، وَعَرِّضْهُ بِالْفِتَنِ Mendengar jawaban seperti itu, Hadhrat Sa’d berkata, “Demi Allah! Saya hendak berdoa tiga macam yaitu ‘Ya Allah, jika hamba Engkau ini berdusta (yakni Abu Sa’dah yang memfitnah itu) melakukan ini hanya bermaksud mencari muka dan nama, maka panjangkanlah umurnya, jadikan ia miskin sampai tua dan hadapkan ia kepada berbagai fitnah.'”
وَكَانَ بَعْدُ إِذَا سُئِلَ يَقُولُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَفْتُونٌ، أَصَابَتْنِي دَعْوَةُ سَعْدٍ. Setelah itu, ketika ada orang yang menanyakan kabar orang yang menuduh itu ia menjawab, ‘Saya sudah tua renta dan kondisi saya sangat buruk dan tertimpa banyak musibah disebabkan doa Sa’d bin Abi Waqqash (ra).’
قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ فَأَنَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ قَدْ سَقَطَ حَاجِبَاهُ عَلَى عَيْنَيْهِ مِنَ الْكِبَرِ، وَإِنَّهُ لَيَتَعَرَّضُ لِلْجَوَارِي فِي الطُّرُقِ يَغْمِزُهُنَّ. Abdul Malik berkata: ‘Saya pernah melihat orang itu, alisnya sudah menutupi kedua matanya karena usianya sudah sangat tua, ia menabrak anak-anak perempuan di jalan-jalan sambil meraba-raba (karena tidak dapat melihat dengan baik).’” (Bukhari)[12]
Pendek kata, Hadhrat Sa’d sangat terluka hati mengetahui laporan pengaduan itu lalu beliau berkata, إِنِّي لَأَوَّلُ الْعَرَبِ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَكُنَّا نَغْزُو مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا لَنَا طَعَامٌ إِلَّا وَرَقُ الشَّجَرِ حَتَّى إِنَّ أَحَدَنَا لَيَضَعُ كَمَا يَضَعُ الْبَعِيرُ أَوْ الشَّاةُ مَا لَهُ خِلْطٌ “Saya adalah orang pertama di kalangan Arab yang melontarkan panah di jalan Allah. Ketika berangkat bersama dengan Rasulullah (saw) menuju suatu peperangan, keadaan kami saat itu adalah kami tidak memiliki sesuatu untuk dimakan selain daun-daun pepohonan. Keadaan kami pada masa itu sedemikian rupa sehingga kami buang air besar bagaikan unta atau kambing buang air besar. Kotoran kami tidak ada campurannya apa-apa sehingga tampak kering. Sama sekali tidak lembut.
ثُمَّ أَصْبَحَتْ بَنُو أَسَدٍ تُعَزِّرُنِي عَلَى الإِسْلاَمِ، لَقَدْ خِبْتُ إِذًا وَضَلَّ عَمَلِي. وَكَانُوا وَشَوْا بِهِ إِلَى عُمَرَ، قَالُوا لاَ يُحْسِنُ يُصَلِّي. Namun keadaan saat ini adalah Banu Asad Bin Khuzaimah mengajari saya Ilmu Adab Islam. Saya sama sekali akan menjadi pecundang (gagal), jika amal perbuatan saya sia-sia belaka. Orang-orang Banu Asad memburuk-burukkan nama saya di hadapan Hadhrat Umar dengan mengatakan bahwa saya tidak memimpin shalat dengan baik.” (Riwayat Bukhari). [13]
Ketika terjadi serangan pembunuhan yang menimpa Hadhrat Umar pada tahun 23 hijri, orang-orang mengusulkan kepada Hadhrat umar agar mengusulkan nama sebagai Khalifah berikutnya. Hadhrat Umar memberntuk komite untuk pemilihan Khilafat diantaranya Hadhrat Usman, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurrahman Bin Auf, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hadhrat Zubair Bin awwam dan Hadhrat Talhah Bin Ubaidillah. Hadhrat Umar bersabda, عَلَيْكُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِنَّهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ» ، وَهُمْ عَلِيٌّ، وَعُثْمَانُ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَسَعْدٌ، وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ، وَطَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، فَلْيَخْتَارُوا مِنْهُمْ رَجُلًا، فَإِذَا وَلَّوْا وَالِيًا فَأَحْسِنُوا مُوَازَرَتَهُ وَأَعِينُوهُ. “Pilihlah salah satu diantara mereka karena Rasulullah (saw) telah menetapkan mereka sebagai ahli surga.”[14]
فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهْوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ “Jika Sa’d terpilih, dialah yang akan menjadi Khalifah. Jika tidak, siapapun diantara kalian yang ditetapkan sebagai yang berwenang [sebagai Khalifah], mintalah selalu bantuan musyawarah dari Sa’d karena saya pernah memakzulkan dia [memberhentikan dari jabatan Amir Kufah] bukan karena dia tidak mampu melakukan tugas atau telah berkhianat.”[15]
Ketika Hadhrat Usman terpilih sebagai Khalifah, beliau menetapkan lagi Hadhrat Sa’d sebagai gubernur di Kufah. Beliau memegang jabatan tersebut selama tiga tahun. Setelah itu disebabkan oleh sesuatu hal terjadilah pertentangan antara Hadhrat Sa’d dengan Hadhrat Abdullah Bin Mas’ud yang saat itu menjabat sebagai ketua Baitul Maal yang karena itu Hadhrat Usman memecat Hadhrat Sa’d. Setelah pemecatan, Hadhrat Sa’d memilih untuk menyendiri di Madinah. Begitu pun ketika terjadi perselisihan pada zaman Hadhrat usman beliau tetap menyendiri.
Dalam satu riwayat dikatakan, pada masa kekisruhan, suatu ketika putra Hadhrat Sa’d bertanya kepada Hadhrat Sa’d, مَا يَمْنَعُكَ مِنَ الْقِتَالِ؟ “Apa yang menghentikan ayah dari jihad?” Hadhrat Sa’d menjawab; إن جئتني بسيفٍ يعرف المؤمن من الكافر إذا ضربت به فعلت “Saya tidak akan berperang sebelum kamu membawakan bagiku pedang yang dapat mengenali Mukmin dan Kafir.”[16] Saat itu umat Muslim tengah berselisih satu sama lain.[17]
Dalam riwayat lain, Hadhrat Sa’d bersabda: لا أُقَاتِلُ حَتَّى تَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ فَيَقُولَ هَذَا مُؤْمِنٌ وَهَذَا كَافِرٌ “Bawalah kepada saya pedang yang memiliki mata dan mulut yang dapat memberitahukan bahwa si anu mukmin dan sia anu kafir.”[18] Maksudnya, “Sampai saat ini saya hanya bersedia berperang menghadapi orang-orang kafir.”
Terdapat keterangan dalam satu riwayat Sunan Tirmidzi, أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ، قَالَ عِنْدَ فِتْنَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَشْهَدُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “Perihal kekisruhan yang bermula pada zaman Hadhrat Usman, Hadhrat Sa’d bersabda, ‘Saya memberi kesaksian bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda, إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَاشِي وَالْمَاشِي خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي “Pada masa yang akan datang akan terjadi kekisruhan, pada saat itu orang yang duduk akan lebih baik dibandingkan dengan orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dibandingkan dengan orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik dari orang yang berlari.”’ Hal itu artinya, dalam berbagai sisi janganlah ikut serta dalam kerusuhan ini, bahkan berusahalah untuk terhindar.
Ada yang bertanya, ‘Jika kekisruhan itu masuk kedalam rumah saya, apa yang harus saya lakukan?’
Bersabda, كُنْ كَابْنِ آدَمَ ‘kun kabni Aadam’ – ‘Jadilah seperti Ibnu Adam (anak Adam).’”[19] Itu artinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran mengenai Ibnu Adam yakni jika harus menyelamatkan diri sendiri, lakukanlah, namun janganlah berperang dengan niat untuk membunuh satu sama lain. Inilah kisah yang diterangkan dalam Al Quran. Dari itu nampaknya contoh itulah yang beliau (Hadhrat Sa’d) lakukan.
Dalam menjelaskan upaya sahabat dalam mengakhiri kekisruhan, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Meskipun para sahabat tidak diberikan kesempatan untuk berkumpul di sekitar Hadhrat Usman, namun tetap saja mereka tidak lalai dalam memenuhi tanggungjawabnya. Dengan memperhatikan kepentingan pada saat itu, mereka membagi tugas kedalam dua bagian. Mereka yang sudah tua atau yang akhlaknya memiliki pengaruh bagi masyarakat awam menghabiskan waktunya untuk menasihati orang-orang. Sedangkan bagi mereka yang tidak berpengaruh atau kalangan muda, sibuk dalam upaya menjaga Hadhrat Usman ra. Terutama yang paling gigih dalam meredam kekisruhan diantaranya adalah Hadhrat Ali dan Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash yang nantinya menjadi Penakluk Persia.”
Setelah masa Hadhrat ‘Utsman, yaitu pada masa kekhalifahan Hadhrat Ali, Hadhrat Sa’d (ra) juga tetap melewati hari-hari dengan menyendiri. Dalam suatu riwayat, ketika pertentangan meningkat antara Hadhrat Ali dan Amir Muawiyah, Amir Muawiyah menulis surat kepada tiga sahabat Nabi (saw) yaitu Hadhrat Abdullah Bin Umar, Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash dan Hadhrat Muhammad Bin Maslamah radhiyAllahu ta’ala ‘anhum untuk dimintai bantuan. Ia menulis agar mereka membantunya dalam menghadapi Hadhrat Ali. Ketiga sahabat tersebut menolak. Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash menulis syair berikut dan mengirimkannya kepada Amir Muawiyah:
مُعَاوِيَ دَاؤُكَ الدّاءُ العَيَاءُ
وَلَيْسَ لِمَا تَجيءُ بِهِ دَوَاءُ
Mu’aawiya da-ukad daa-ul ‘ayaa-u – Wa laisa limaa tajii-u bihi dawaa-u
أَيَدْعُونِي أَبُو حَسَنٍ عَلِيّ
فَلَمْ أَرْدُدْ عَلَيْهِ مَا يَشَاءُ
A yad’uuni Abu Hasani ‘Aliyy – Falam ardud ‘alaihi maa yasyaa-u
وَقُلْتُ لَهُ أَعْطِنِي سَيْفَاً بَصِيراً
تَمِيزُ بِهِ العَدَاوَةُ وَالوَلَاءُ
Wa qultu lahu a’thinii saifan bashiira – Tamiizu bihil ‘adaawata wal walaa-u
فَإنّ الشَرّ أَصْغَرَهُ كَبِيرٌ
وَإنّ الظّهْرَ تُثْقِلُهُ الدّمَاءُ
Fa-innasy syarra ashgharahu kabiirun – Wa innazh zhahra tutsqiluhud damaa-u
أَتَطْمَعُ فِي الّذي أَعْيَا عَلِيّاً
عَلَى مَا قَدْ طَمِعْتَ بِهِ العَفَاءُ
A tathma’u filladzii a’yaa ‘aliyyan? – ‘alaa maa qad thami’ta bihil ‘afaa-u
لَيَوْمٌ مِنْهُ خَيْرٌ مِنْكَ حَيّاً
وَمَيْتَاً أَنْتَ لِلْمَرْءِ الفِدَاءُ
La-yaumun minhu khairun minka hayyan – Wa maitan anta lil mar-il fidaa-u
Artinya, “Wahai Muawiyah! Penyakitmu sungguh parah. Tidak ada obat bagi penyakitmu. Tidak pahamkah kau, Abu Hasan yakni Hadhrat Ali memerintahkanku berperang, tak kuturuti perintahnya. ‘Kuberkata kepadanya, ‘Berikan daku pedang berpenglihatan lagi dapat memberitahukan beda musuh dan kawan.’ Wahai Muawiyah! Berharapkah kau, orang yang tak patuh pada perintahnya lantas patuh pada kata-katamu? Padahal, satu hari kehidupannya lebih baik dari seluruh hidupmu dan matimu. Kau panggil daku ‘tuk berkorban demi menentang orang seperti ini?” (Riwayat Usdul Ghabah)[20]
Dalam riwayat dikatakan bahwa, أَمَّرَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سَعْدًا فَقَالَ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا تُرَابٍ “Suatu ketika Amir Muawiyah bertanya kepada Hadhrat Sa’d, ‘Hal apa yang menghalangi anda untuk membicarakan secara buruk kepada Abu Turab (julukan Hadhrat Ali)?’
Hadhrat Sa’d bersabda: أَمَّا مَا ذَكَرْتُ ثَلاَثًا قَالَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَنْ أَسُبَّهُ لأَنْ تَكُونَ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ ‘Ada tiga hal yang RasuluLlah (saw) sabdakan berkenaan dengan beliau (Hadhrat Ali), jika salah satu darinya saya dapatkan, maka itu lebih saya cintai daripada unta merah.’ (Karena tiga hal tersebut, saya tidak akan pernah mengatakan hal buruk mengenai Hadhrat Ali.) سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ لِعَلِيٍّ وَخَلَفَهُ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ ‘Pertama, suatu hari Rasulullah (saw) tidak mengajak Hadhrat Ali untuk berperang. Hadhrat Ali bertanya kepada Rasulullah (saw): يَا رَسُولَ اللَّهِ تُخَلِّفُنِي مَعَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ ‘Wahai Rasul Allah! Tuan meninggalkan saya bersama dengan para wanita dan anak-anak?’
Rasul bersabda, أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نُبُوَّةَ بَعْدِي ‘Apakah Anda tidak merasa bahagia mengetahui bahwa hubungan saya dan Anda seperti Harun dengan Musa. Perbedaannya hanyalah, setelah saya, Anda tidak akan mendapatkan kedudukan sebagai Nabi.’
Kedua, وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ ”لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلاً يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ“. ‘Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda pada kesempatan perang Khaibar, “Akan saya serahkan bendera Islam kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan rasul-Nya mencintainya.”
Setiap orang pun berkeinginan supaya bendera diserahkan padanya, kami pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, Rasulullah (saw) bersabda: ادْعُ لِي عَلِيًّا “Panggilah Ali!”
Rasul tidak menyerahkan bendera itu kepada salah seorang diantara kami, melainkan bersabda, “Panggilah Ali!”
فَأَتَاهُ وَبِهِ رَمَدٌ فَبَصَقَ فِي عَيْنِهِ فَدَفَعَ الرَّايَةَ إِلَيْهِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ . Kemudian, datanglah Hadhrat Ali dengan mata sedang dalam kondisi sakit. Rasulullah (saw) menyentuhkan air liur beliau ke matanya lalu menyerahkan bendera Islam kepadanya. Pada hari itu Allah Ta’ala menganugerahkan kemenangan kepada Islam.
وَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ : (قلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ) الآيَةَ Perkara ketiga yang beliau katakan adalah mengenai turunnya ayat berikut (Surah Aali Imran, 3:62): فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ () “Maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu…’” دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلِيًّا وَفَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَقَالَ ” اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلِي ” . Ketika ayat tersebut turun, Rasulullah (saw) memanggil Hadhrat Ali, Hadhrat Fatimah, Hadhrat Hasan dan Husain lalu beliau (saw) bersabda, “Ya Allah! Mereka adalah keluarga hamba.” (Riwayat Tirmidzi)[21]
Putra Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash bernama Mushab bin Sa’d (مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ) meriwayatkan, كَانَ رَأْسُ أَبِي فِي حِجْرِي وَهُوَ يَقْضِي فَبَكَيْتُ فَدَمَعَتْ عَيْنِي عَلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَقَالَ : “Ketika tiba kewafatan ayah saya, kepala beliau berada di pangkuan saya. Air mata saya mengalir. Beliau mengarahkan pandangan kepada saya dan berkata, مَا يُبْكِيكَ أَيْ بُنَيَّ ؟ ‘Wahai anakku tercinta! Apa yang membuatmu menangis?’
Saya menjawab, لِمَكَانِكَ ، وَمَا أَرَى بِكَ ؟ ‘Kesedihan akan kewafatan ayah dan kenyataan bahwa saya tidak melihat pengganti ayah setelah kepergian ayah nanti.’
Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash bersabda, فَلَا تَبْكِ عَلَيَّ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُعَذِّبُنِي أَبَدًا ، وَإِنِّي لَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ‘Jangan menangisi ayah, Allah tidak akan pernah memberikan adzab pada ayah dan ayah termasuk kedalam ahli surga.’”
Sebagian orang berkeberatan dengan mengatakan, “Bagaimana bisa si Fulan (seseorang tertentu) termasuk ahli surga?”
Dalam hal ini Hadhrat Sa’d sendiri berkata, وَإِنِّي لَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُدِينُ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِحَسَنَاتِهِمْ وَأَمَّا الْكَافِرُونَ ، فَيُخَفِّفُ عَنْهُمْ بِحَسَنَاتِهِمْ مَا عَمِلُوا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَإِذَا نَفِدَتْ قَالَ : لَيَطْلُبْ كُلُّ عَامَلٍ ثَوَابَ عَمَلِهِ مِمَّنْ عَمِلَ لَهُ . “Saya adalah diantara ahli surga. Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang mukmin bahwa Dia memberikan ganjaran kepada orang mukmin atas kebaikan yang telah ia lakukan demi Allah. Sejauh kaitannya dengan orang kafir, Allah meringankan azabnya disebabkan oleh perbuatan baiknya. Namun ketika perbuatan baik itu telah berakhir, Allah Ta’ala mengazabnya lagi. Setiap manusia hendaknya memohon ganjaran kepada-Nya atas amalan baik yang ia lakukan demiNya.”[22]
Putra Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash (عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ) meriwayatkan, قُلْتُ لأَبِي: يَا أَبَهْ، إِنِّي أَرَاكَ تَصْنَعُ بِهَذَا الْحَيِّ مِنَ الأَنْصَارِ شَيْئًا مَا تَصْنَعُ بِغَيْرِهِمْ “Saya bertanya kepada ayah saya: Ayah memberikan perlakuan kepada kelompok anshar yang tidak diberikan kepada yang lainnya.
Hadhrat Sa’d menjawab, أَيْ بُنَيَّ، هَلْ تَجِدُ فِي نَفْسِكَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا؟ ‘Wahai anakku! Apakah di dalam hatimu terdapat suatu perasaan atas perlakuan yang ayah berikan kepada kelompok Anshar?’
Putra beliau menjawab, لا، وَلَكِنْ أَعْجَبُ مِنْ صَنِيعِكَ ‘Tidak! Namun, saya heran dalam sikap ayah ini.’
Sa’d bersabda: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: Saya mendengar dari Rasulullah, لا يُحِبُّهُمْ إِلا مُؤْمِنٌ وَلا يَبْغَضُهُمْ إِلا مُنَافِقٌ orang mukminlah yang berteman dengannya (Anshar) sedangkan munafiklah orang yang menyimpan kebencian terhadap mereka (Anshar).’ Karena itulah ayah bersikap demikian terhadap mereka.[23]
Jarir meriwayatkan, suatu ketika beliau pergi mengunjungi Hadhrat Umar. Hadhrat Umar bertanya berkenaan dengan Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash di wilayah keamirannya (كَيْفَ تَرَكْتَ سَعْدًا فِي وِلايَتِهِ؟). Jarir menjawab, تَرَكْتُهُ أَكْرَمَ النَّاسِ مَقْدِرَةً، وَأَحْسَنَهُمْ مَعْذِرَةً، هُوَ لَهُمْ كَالأُمِّ الْبَرَّةِ، يَجْمَعُ لَهُمْ كَمَا تُجْمَعُ الذَّرَّةُ –أي النملة–، مَعَ أَنَّهُ مَيْمُونُ الأَثَرِ، مَرْزُوقُ الظَّفْرِ، أَشَدُّ النَّاسِ عِنْدَ الْبَأْسِ، وَأَحَبُّ قُرَيْشٍ إِلَى النَّاسِ. “Saya meninggalkan beliau (Hadhrat Sa’d) dalam keadaan bahwa beliau meskipun memiliki kekuasaan, namun beliau adalah manusia yang paling baik. Beliau paling kurang dalam bersikap keras. Beliau layaknya seorang ibu yang pengasih bagi mereka. Beliau mengumpulkan bagi mereka layaknya semut mengumpulkan sesuatu. Ketika berperang, beliau adalah yang paling pemberani diantara pasukan. Beliau adalah orang yang paling dicintai dari antara orang Quraisy.”[24]
Hadhrat Sa’d wafat pada tahun ke-55 Hijriyyah pada usia 70 tahun lebih sedikit. Sebagian riwayat berpendapat beliau wafat pada usia 74 tahun. Ada juga yang berpendapat 83 tahun. Terdapat perbedaan pendapat perihal tahun kewafatan Hadhrat Sa’d. Dalam beragam riwayat, dikatakan bahwa tahun kewafatan beliau dari antara tahun 51 sampai 58 Hijriyyah. Namun, kebanyakan meriwayatkan bahwa beliau wafat pada tahun ke-55 Hijriyyah.
Ketika wafat Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash meninggalkan harta kekayaan sebesar dua ratus lima puluh ribu dirham. Beliau wafat di daerah Aqiq yang berjarak 7 mil. Sementara sebagian orang berpendapat tempat itu 10 mil dari Madinah. Jenazah beliau ditandu dari sana oleh orang-orang lalu dibawa ke Madinah. Shalat jenazah dilakukan di Masjid Nabawi. Yang mengimami shalat jenazah beliau adalah Marwan bin Hakam, pemimpin [Amir bawahan Mu’awiyyah] di Madinah pada saat itu. Para istri Rasulullah (saw) ikut serta dalam shalat jenazah beliau. Beliau dimakamkan di Jannatul Baqi.
Berkenaan dengan jenazah beliau didapati riwayat bahwa Hadhrat Abdullah Bin Zubair meriwayatkan dari Hadhrat Aisyah bahwa ketika Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash wafat, para istri Rasulullah (saw) mengirim pesan agar jenazah beliau dibawa ke dalam masjid supaya para istri Rasul dapat ikut serta dalam shalat jenazah tersebut. Seperti itulah yang dilakukan. Jenazah beliau dibawa dan diletakkan di depan hujrah-hujrah (rumah kecil) para istri Nabi (saw) tersebut supaya para istri Rasul dapat ikut serta menshalatkan jenazahnya. Selanjutnya, jenazah itu dibawa keluar melalui Babul Janaiz yang dekat dengan tempat orang-orang biasa duduk.
Sampai kabar kepada para istri Rasul bahwa orang-orang melontarkan keberatan dengan mengatakan bahwa jenazah biasanya tidak dibawa ke dalam masjid. Ketika hal ini diketahui Hadhrat Aisyah, beliau (ra) bersabda, مَا أَسْرَعَ النَّاسَ إِلَى الْقَوْلِ؛ مَا صَلَّى رَسُولُ الله ﷺ عَلَى سهيل بنِ بَيْضَاءَ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ “Begitu cepatnya orang-orang melontarkan keberatan terhadap suatu hal yang tidak mereka ketahui. Padahal Rasulullah saw menshalatkan jenazah Suhail Bin Baidha di dalam masjid.” (Riwayat Muslim)[25]
Ketika menjelang kewafatan, Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash mewasiyatkan, الْحَدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَىَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم . “Buatkanlah bagi saya liang lahat dan pasangkanlah batu-batu bata diatasnya nanti seperti yang telah dibuatkan untuk Rasulullah (saw).” (Riwayat Muslim)[26]
Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash adalah yang paling terakhir wafat diantara kaum pria Muhajirin. (عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ ، لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ دَعَا بِخِلَقِ جُبَّةٍ صُوفٍ ، فَقَالَ :) Ketika wafat, Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash mengeluarkan sebuah jubah yang terbuat dari wool lalu mewasiyatkan, كَفِّنُونِي فِيهَا ، فَإِنِّي لَقِيتُ فِيهَا الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ بَدْرٍ ، وَإِنَّمَا كُنْتُ أُخَبِّؤُهَا لِهَذَا pakaikanlah kain kafan ini untukku, karena aku ikut serta dalam perang Badr dengan mengenakan jubah ini dan aku menyimpannya untuk hal ini (kain kafan di hari kewafatanku).[27]
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin, “Pada zaman Hadhrat Umar ra, ketika ditetapkan tunjangan untuk para sahabat, tunjangan untuk para sahabat Badar ditetapkan secara khusus dan cukup besar. Para sahabat Badar sendiri merasa bangga atas keikutsertaannya dalam perang Badar. Sebagaimana seorang orientalis, William Miur Sahib menulis, ‘Sahabat Badar dipandang sebagai individu yang sangat istimewa dalam masyarakat Islami. Ketika Sa’d Bin Abi Waqqash menjelang kewafatannya pada usia 80 tahun, mengatakan, “Ambilkan jubah yang pernah aku kenakan pada saat perang Badar dan aku simpan untuk secara khusus digunakan pada hari ini.”
Inilah Sa’d yang masih sangat muda pada masa perang Badar dan melalui tangan beliau Iran dapat ditaklukan. Beliau juga diangkat sebagai pendiri Kufah dan Gubernur Iraq. Namun dalam pandangan beliau, semua kehormatan kebanggaan itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kehormatan yang beliau raih dengan mengikuti perang Badar. Begitu juga pakaian yang dikenakannya pada saat perang Badar dianggap paling istimewa untuk dirinya sendiri dibandingkan dengan kain yang lainnya. Keinginan terakhir beliau adalah dibungkus dengan menggunakan kain tersebut ketika dikuburkan nanti.’”[28]
Jika sebelumnya telah disampaikan suatu riwayat, bukanlah membuat istana Sa’d, jika dengan membangunnya ada anggapan atau muncul pertanyaan dalam benak seseorang, maka sebagai jawabannya adalah bahwa pada akhirnya beliau memilih untuk menyendiri dan sesuatu yang beliau sukai itu adalah pakaian yang beliau kenakan pada saat perang Badar. Kehidupan menyendiri yang beliau lakukan sebelumnya merupakan bukti kerendah hatian dan kesederhanaan beliau.
Hadhrat Sa’d Bin Abi Waqqash meriwayatkan, “Ketika saya ikut serta dalam perang Badar, saat itu saya masih memiliki satu putri.” Dari riwayat lainnya diketahui bahwa pada kesempatan Hajjatul Wida pun beliau masih memiliki seorang putri. Setelah itu Allah Ta’ala sedemikian mencurahkan karunianya atas beliau. Beliau berkata, “Anak saya jumlahnya semakin banyak.” Dalam waktu yang berbeda beliau memiliki 9 istri dan dari mereka semua, Allah Ta’ala menganugerahkan 34 anak kepada beliau yang terdiri dari 17 putra dan 17 putri.
Penyampaian riwayat hidup Hadhrat Sa’d sudah berakhir sampai di sini. Nanti akan saya sampaikan perihal sahabat lainnya.
Hari ini setelah melaksanakan shalat Jum’at, saya akan menyolatkan ghaib beberapa jenazah. Jenazah pertama adalah Mukarram Shafdar Ali Gujar Sahib yang berkhidmat secara sukarela pada bagian dhiafat di masjid Fazl. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli dan sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari. Beliau wafat pada usia ke-79 tahun. Innaalillaahi wa innaa ilayhi raajiuun.
Dengan karunia Tuhan, beliau adalah seorang mushi dan mendapatkan taufik berkhidmat sebagai sukarelawan di bagian dhiafat UK selama 30 tahun. Hingga akhir hayatnya, beliau juga selalu memperoleh taufik untuk dapat memberikan pelayanan yang luar biasa kepada tamu-tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as), para pengurus dan para anggota jemaat. Selain itu, almarhum juga berkhidmat dalam masa yang lama di bagian pengepakan dan pengiriman surat kabar Al-Fazl Internasional dan surat kabar-surat kabar Ahmadiyah melalui pos. Dalam waktu yang begitu lama kasus pengujian suaka beliau terbengkalai dan setelah sekian lama akhirnya kasus suaka beliau pun diluluskan sehingga keluarga beliau juga dapat datang di UK.
Beliau selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala dan tidak pernah mengeluhkan tentang begitu lamanya beliau tinggal sendiri. Almarhum adalah orang yang ‘isyq (mendalam kecintaannya) terhadap Khilafat dan selalu siap berkorban di dalamnya. Beliau itu begitu dalam kecintaannya sehingga saya bisa mengatakan bahwa beliau itulah satu contoh teladan bagi yang lainnya. Beliau adalah orang yang selalu menjaga hubungan kecintaan dan penghormatan terhadap anggota jemaat dan sanak saudaranya. Beliau adalah orang yang begitu disiplin dalam melaksanakan setiap shalat, pengkhidmat yang terhormat dan memliki sifat yang sangat penyayang.
Beliau juga dulu seorang penyair Punjabi dan disebabkan memiliki suara yang indah, para anggota jemaat pun menyukainya. Beliau pun sangat disukai karena melantunkan nazm di depan publik pada kesempatan Jalsah Salanah. Beliau berasal dari jemaat Hando Gujar, Lahore. Beliau meninggalkan seorang istri, 4 putra dan 2 putri.
Mukarram Ata-Ul-Mujeeb Rasyid Sahib menulis, “Shafdar Ali Sahib adalah seorang yang begitu sederhana, khadim tulus dan seorang pengkhidmat tak kenal lelah yang tanpa pamrih. Beliau memiliki tiga keistimewaan tidak biasa yang menambah kecintaan kepadanya di dalam hatiku. Pertama adalah rasa syukur kepada Allah Ta’ala sangat tertanam dalam diri beliau. Walaupun memiliki keterbatasan beliau selalu memuji dan bersyukur kepada Allah Ta’alaa. Kedua adalah di dalam hati beliau penuh dengan kecintaan terhadap khalifa-e-waqt dan khilafat. Saya tidak pernah ingat sesingkat apa pun pertemuan itu, dimana beliau tidak mengungkapkan kecintaan terhadap khilafat di dalamnya. Keistimewaan yang ketiga adalah bahwa dalam mengkhidmati agama, beliau selalu melakukannya dengan penuh kecintaan dan menganggapnya sebagai kebahagiaan.”
Putri beliau, Tahsin Sahibah menulis, “Setiap saat dalam kehidupan beliau, beliau telah memberikan kebahagiaan kepada yang lainnya. Siapa pun kenalan beliau atau ada seorang yang ditimpa musibah di masjid, beliau selalu menyebutkan namanya kepada kami semua di rumah dan mendoakannya. Beliau selalu bersyukur kepada Allah dalam setiap keadaan. Setiap melakukan kebaikan dengan yang lainnya, beliau selalu berterima kasih kepadanya dan berkata, anda telah memberikan saya kesempatan melakukan kebaikan.
Beliau sering mengatakan bahwa, apa sebabnya saya juga begitu mencintai kalian dua bersaudari, karena Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa yang menghormati anak-anak perempuannya maka dia akan mendapati bersamaku di surga.’ Selain begitu mencintai kami, beliau juga begitu menghargai dan menghormati kami.”
Putri kedua, Radhiyah Sahibah mengatakan, “Ayah kami selalu menekankan kepada kami tentang keitaatan dan kecintaan terhadap khilafat dan beliau sendiri juga merupakan teladan yang luar biasa dalam kecintaan terhadap khilafat. Lalu mengatakan bahwa siapa pun yang datang untuk melayat, inilah yang mereka katakan bahwa kami mengira kamilah yang paling beliau sayangi akan tetapi beliau ternyata menyayangi semua orang. Kami mengira bahwa beliau hanya menjalin hubungan dengan orang-orang yang dekat dengan masjid akan tetapi setiap orang mengatakan bahwa beliau adalah bagian dari keluarga kami. Beliau selalu mengerjakan pekerjaan orang-orang sampai sejauh-jauhnya dan menjalin hubungan dengan mereka. Ini adalah semata-mata karena kecintaan yang tanpa pamrih dan pengkhidmatan yang orang-orang telah sedemikian rupa ungkapkan tentang beliau.”
Orang-orang juga menulis begitu banyak surat kepada saya tentang beliau dan setiap surat menganggap bahwa setiap mereka memiliki ikatan pribadi dan hubungan kasih sayang dan keikhlasan. Sedikit orang seperti beliau yang begitu dihormati pada setiap level. Demikian juga di setiap pertemuan beliau, setiap orang yang menulis surat menuliskan bahwa setiap pokok pembicaraan beliau selalu berhubungan dengan khilafat. Semoga Allah menganugerahkan kepada beliau tempat di telapak kaki kekasih-kekasih-Nya, semoga anak-anak beliau menjadi pewaris kebaikan-kebaikan dan doa-doanya, dan semoga Allah memberikan kesehatan kepada istri beliau dan menganugerahkan kesabaran serta ketenangan kepadanya.
Istri beliau juga sudah lama menderita sakit. Beliau juga mengkhidmati istrinya dengan begitu ikhlas, penuh kasih sayang dan kecintaan. Mengerjakan seluruh tugas dan kewajiban-kewajibannya. Beliau juga dulu berkhidmat di Daar-ul-Dhiafat, Langar Khana dan semangat pengkhidmatan beliau melebihi dari seorang waqaf zindagi. Bersamaan dengan tugas-tugas beliau, beliau juga menjalankan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarga dan demikian juga walaupun tidak bisa berbahasa Inggris, beliau juga mengkhidmati teman-teman Inggris beliau, dengan mereka pun beliau menjalin hubungan dan mereka juga banyak memuji beliau. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau.
Jenazah selanjutnya adalah Mukarramah ‘Iffat Nashir Sahibah yang merupakan istri dari Prof. Nashir Ahmad Khan Sahib. Beliau wafat dikarenakan penyakit gagal jantung pada tanggal 3 Mei di usia yang ke-90 tahun. Innaalillaahi wa innaa ilayhi raajiuun. Beliau menikah dengan almarhum Prof. Dr. Nashir Ahmad Khan Sahib pada tahun 1951. Beliau meninggalkan seorang putri yaitu Aisyah Nashir Sahibah yang merupakan istri dari Dr. ‘Inayatullah Mangla Sahib di Amerika, dan 2 putra yaitu Zahir Ahmad Khan dan Dr. Munir Ahmad Khan dan keduanya dinikahkan dengan keluarga Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau memiliki seorang cucu laki-laki, Nashir Ahmad Khan yang juga seorang waqaf zindegi dan pada saat ini dengan cara yang luar biasa berkhidmat pada bagian transmisi di MTA. Di sini beliau telah menempuh pendidikan hingga tingkat paling tinggi, kemudian mengajukan diri untuk mewakafkan dirinya sendiri. Semoga Allah juga menjadikannya pewaris dari doa-doa beliau.
Putra beliau menulis, “Ketika kami kecil dulu, kami tidur bersama ibu dan sering kali ketika tengah malam kami terbangun dan menemukan beliau sedang merintih berdoa dalam tahajjudnya. Kemudian putri beliau menuliskan bahwa beliau dengan rutin membaca Alqur’an dan beliau pun mengharuskan hal ini kepada kami anak-anaknya bahwa kami harus membaca Alqur’an sebelum berangkat sekolah, tanpa melakukan itu maka tidak ada izin untuk berangkat. Di awal usia beliau yang ke-60, beliau juga tinggal di Lahore. Di sana beliau berkhidmat sebagai sekretaris umum lajnah di Model Town. Beliau berkhidmat selama 28 tahun sebagai Sadr Lajnah Dar-ul-Nashr Barat dan pada saat itu sarana prasarana pun terbatas. Lingkungan yang menyebar, kendaran pun tidak tersedia dan anggota di lingkungan Dar-ul-Nashr pun menyebar ke wilayah yang jauh jauh sampai ke (pinggir-pinggir) sungai. Beliau selalu pergi sendiri sampai ke sana.”
Kemudian ketika Hadhrat Khalifatul Masih IV rh. mencanangkan sebuah program kepada para anggota jemaat supaya menulis surat kepada seluruh saudara-saudaranya yang ghair Ahmadi dan para Ahmadi yang lemah, maka beliau pun ikut serta di dalamnya dan menulis surat yang begitu banyak kepada sanak saudaranya. Ada saja alasan beliau supaya dapat membantu teman-teman dan tetangga-tetangga yang miskin dan khususnya pada hari-hari di bulan Ramadhan, pasti ada saja yang beliau masak untuk dikirimkan kepada mereka. Beliau selalu mengusahakan supaya orang-orang bersatu sama lain dan menghindari perpecahan. Putri beliau, Aisyah Sahibah menulis bahwa hidup dengan seorang waqif zindagi, beliau menjalani kehidupannya dengan begitu banyak senyuman dan menganggap bahwa taklim dan tarbiyat kami adalah tugas prioritas beliau dan bersama itu pun beliau terus banyak berdoa. Semoga Allah Ta’alaa mengasihi dan mengampuni beliau serta menjadikan anak keturunan beliau sebagai penyempurna keinginan-keinginan baik beliau dan menjadikan mereka pewaris dari doa-doanya.
Jenazah selanjutnya adalah Mukarram Abd-ul-Rahim Saqi Sahib yang merupakan sekretaris umum kantor UK. Beliau wafat pada tanggal 31 Maret. Innaalillaahi wa innaa ilayhi raajiuun. Dengan karunia Allah Ta’alaa beliau adalah seorang mushi. Beliau lahir pada tanggal 31 Desember 1934 di Mouza Raipur negara bagian Nabha, Hindustan. Ayahanda beliau bernama Rahmat Ali. Dalam keluarga beliau, jemaat datang melalui kakak laki-laki dari kakek beliau yang merupakan salah seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as. yaitu Choudry Karim Bakhs Sahib. Nenek dan saudari kakek dari almarhum Abd-ul-Rahim Saqi Sahib yaitu Rahim Bibi Sahibah adalah seorang sahabiyah yang juga istri dari Maulvi Qudratullah Sahib Sanauri, dalam hubungan keluarga juga merupakan bibi (saudari dari ayah) beliau. Pada tahun 1958 sampai dengan tahun 1968, beliau mendapatkan taufik berkhdimat selama 10 tahun sebagai sekretaris maal dan qaid majelis khuddamul ahmadiyah Takht Hazarah.
Setelah perpisahan (India-Pakistan) beliau datang bermukim di Takht Hazarah. Setelah itu pada tahun 1968 beliau ditetapkan sebagai Ketua Jemaat Ahmadiyah Takht Hazarah dan mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai Ketua Jemaat sampai Juli 1974. Pada tanggal 13 Juli 1974, sekumpulan orang-orang jahat ghair Ahmadi Takht Hazarah mulai menciptakan kerusuhan di wilayah sekitar lingkungannya dengan mengumpulkan sekelompok besar preman bersenjata dan para penentang Ahmadiyah untuk menentang para Ahmadi. Mereka pun membakar satu bagian dari masjid dan menguasainya. Mereka membakar seluruh ruang tamu. Kemudian setelah menjarah toko sembako milik Saqi Sahib, mereka pun membakarnya. Begitu juga dengan toko pakaian miliki beliau, itu juga mereka kuasai. Rumah-rumah dibakar dan beliau pun pada saat itu ada di dalamnya.
Disebabkan oleh kepulan asap, beliau pun menjadi tidak sadarkan diri. Dalam keadaan pingsan, orang-orang jahat tersebut membawa beliau ke masjid dan mengumumkan dengan loudspeaker bahwa saya telah menerima Islam dan telah bertaubat supaya para Ahmadi yang lainnya juga segera keluar dari jemaat. Setelah itu, ketika beliau sadar, beliau melihat bahwa beliau duduk dikelilingi oleh tombak-tombak dan peristiwa itu menjadikan beliau trauma. Kemudian disebabkan oleh peristiwa ini anak-anak membawa beliau dari sana ke salah seorang kerabat beliau di Lahore. Di sana beliau tinggal dan mejalankan pengobatan. Kemudian beliau tinggal dan bermukim di salah satu jemaat di Lahore, memulai bisnis beliau dan membangun pusat tempat shalat di tempat yang dekat dengan tempat kerabatnya. Beliau selalu menekankan kepada orang-orang untuk shalat berjamaah, beliau pun mengajarkan alqur’an kepada ratusan orang dan anak-anak.
Kemudian pada bulan Nopember 2000 beliau berhijrah ke London. Kemudian sampai tahun 2020 beliau berkhidmat dengan rutin secara sukarela sebagai sekertaris umum kantor UK. Beliau adalah orang yang disiplin, lebih dari seorang waqif zindagi. Selalu pertama sampai di kantor supaya tidak ada seorang pun yang harus menunggu, bahkan kadang beberapa kali kalau sebelum datang di kantor sarapan siap cukup lama maka tanpa sarapan pun beliau datang ke kantor. Adapun kebaikan beliau yang ditulis oleh anak-anak beliau adalah setiap hari beliau selalu membaca alquran sampai tiga juz. Beliau sangat meyakini dan mencintai khilafat. Beliau selalu menasihati anak-anak dan orang-orang dewasa untuk selalu menjalin hubungan dengan khilafat dan menekankan untuk mentaati khalifah-e-waqt dengan adab dan kesetiaan yang sempurna. Beliau adalah wujud yang sangat mengormati dan mencintai para waqafin dan terutama para murabbi. Kira-kira lebih dari 60 tahun beliau mendapatkan taufik mengkhidmati agama secara sukarela.
Putra beliau, Khalid Mahmud Sahib juga merupakan Ketua Jemaat Koli Roads. Selain meninggalkan seorang istri, beliau juga meninggalkan 2 putra dan 5 putri. Semoga Allah meninggikan derajat almarhum dan menjadikan anak keturunan beliau menjadi hamba-hamba yang menyempurnakan keinginan-keinginan baik beliau.
Jenazah selanjutnya yang akan saya shalat ghaibkan adalah Sa’id Ahmad Sahgal Sahib. Beliau dahulu adalah sukarelawan di kantor PS pada bagian pengiriman. Beliau wafat pada tanggal 12 April di usia 90 tahun. Beliau menginggalkan 2 putra dan 2 putri. Beliau melalui masa-masa kecilnya di Qadian. Pendidikan sekolah dasar pun ditempuh di sana. Dalam waktu yang cukup lama beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai sukarelawan pada bagian pengiriman di kantor sekertaris pribadi. Beliau adalah pribadi sahabat yang sangat berilmu.
Bersamaan dengan ilmu-ilmu duniawi, beliau juga banyak tahu tentang ilmu alquran dan masalah-masalah jemaat. Beliau adalah wujud yang begitu disiplin dalam melaksanakan shalat dan fanatik terhadap khilafat. Teladan yang sangat rendah hati dan beradab. Wujud yang sangat dihormati di lingkungan beliau. Saya melihat bahwa kapan pun bertemu, beliau begitu rendah hati dan memiliki kepedulian. Anak keturunan beliau juga seperti demikian, selalu menjalin hubungan dengan jemaat.
Aslam Khalid Sahib menulis, “Beliau adalah sosok yang berilmu, sering kali saat makan siang beliau berbincang berbagi tentang berbagai topik khususnya tentang kristologi dan keyahudian.”
Karyawan kantor kita, Basyir Sahib menulis, “Di penghujung usianya, beliau terus berusaha supaya dapat mengkhidmati jemaat, suatu kali beliau memberitahukan bahwa beliau datang ke masjid dengan tujuan suatu pekerjaan, kemudian beliau tiba-tiba pusing dan terjatuh sehingga menyebabkan luka, akan tetapi terlepas dari itu beliau selalu datang dengan berjalan dari jarak yang cukup jauh dan pasti datang ke kantor supaya beliau tidak mahrum dari kesempatan berkhidmat. Beliau telah menjual rumahnya yang besar dan membeli sebuah flat di dekat masjid supaya beliau lebih mudah untuk pulang dan pergi.”
Semoga Allah Ta’alaa mengampuni dan mengasihi almarhum dan semoga Allah juga mengabulkan doa-doa beliau dalam mendukung anak keturunannya.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Arief Rahman Hakim dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: Website www.islamahmadiyya.net
[1] Perang Qadisiyah berlangsung pada tahun 638 Masehi atau tahun ke-16 Hijriyyah atau lima tahun setelah kewafatan Nabi Muhammad (saw). Dua tahun lebih setelah kewafatan Khalifah Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) menjadi Khalifah. Namun, beberapa sejarawan Muslim tidak satu pendapat perihal tahun. Jadi, sekitar tahun ke-14 s.d. 16 Hijriyyah.
[2] Al-Isti’aab (الإصابة في تمييز الصحابة). Nama aslinya ialah ‘Amru bin Habib atau Malik bin Hubaib atau dalam Kitab lain yaitu al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب), disebut ‘Abdullah bin Hubaib bin Amru. Disebut dengan julukan ats-Tsaqafi karena berasal dari suku Tsaqif, di dekat Tha’if. Kelompok suku ini masuk Islam mayoritas pada dua tahun menjelang wafatnya Nabi Muhammad (saw).
[3] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-14 (سنة أربع عشره).
[4] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), tahun ke-14 (سنة أربع عشره) juga menyebut beberapa riwayat berbeda mengenai pembebasan Abu Mihjan ats-Tsaqafi dari tahanan untuk ikut perang. Inti pokoknya ialah sama yaitu yang membebaskan ialah istri Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra). Bukan pembantu wanita. Perbedaan terletak soal namanya. Riwayat pertama menyebutnya Salma dan riwayat lain menyebutnya Zabra. Salma awalnya menolak permintaan Abu Mihjan untuk ikut berperang, namun setelah istikharah, ia melepaskannya. Salma binti Hafshah tadinya ialah istri panglima pasukan sebelumnya, Al-Mutsanna yang wafat karena luka-luka dalam perang Jisr sebelum Hadhrat Sa’d memimpin sebagai komandan umum.
[5] Al-Isti’aab dan beberapa kita Tarikh lainnya: Abu Mihjan bersyair (sajak) di depan Salma, dalam syairnya diantaranya dia berkata: “Aku adalah orang yang jauh dari sanak keluarga, aku tidak butuh melarikan diri. وَيْحَكِ حِلِّينِي وَلَكِ عَهْدُ اللَّهِ عَلَيَّ إِنْ سَلَّمَنِي اللَّهُ أَنْ أَجِيءَ حَتَّى أَضَعَ رِجْلِي فِي الْقَيْدِ، وَإِنْ قُتِلْتُ اسْتَرَحْتُمْ مِنِّي، فخلته biarkanlah aku berjihad, jika aku mati maka kalian akan tenang karena aku tidak merepotkan kalian lagi, namun jika aku selamat, maka aku akan kembali lagi ke penjara ini”.
[6] Hadhrat Khansa wafat pada 645 Masehi atau tahun ke-24 Hijriyyah. Setahun setelah wafatnya Khalifah ‘Umar (ra) dan Hadhrat ‘Utsman (ra) menjabat Khalifah.
[7] Yaqut ibn-‘Abdullah al-Rumi al-Hamawi penulis Mu’ajam al-Buldan atau Kamus Negara-Negara. Dua karya tersebut memiliki ketebalan hingga 33.180 halaman. Mu’jam al-Buldan, merupakan sebuah ensiklopedia geografi yang lengkap, yang memuat hampir seluruh wilayah yang ada di abad pertengahan dan kejayaan Islam. Dalam menjelaskan sebuah tempat, Yaqut, memasukkan hampir seluruh aspek yang terkait tempat tersebut. Yaqut mulai mengerjakannya pada tahun 1224 dan selesai setahun sebelum ia meninggal pada tahun 1228. Buku ini lebih tepat dikategorikan sebagai karya sastra gerografi karena juga mencakup sisi sejarah, etnografi dan legenda yang berkaitan dengan tempat yang sedang dibahas. Yaqut Al-Hamawi (1179-1229 M) lahir di Anatolia adalah penulis ensiklopedia (mu’jam) geografi terpenting dalam Sejarah Peradaban Islam. Dia dilahirkan dari seorang budak berkebangsaan Romawi lalu dibeli oleh seorang pedagang dari kota Hamah pada saat dia masih kecil. Dia diberi nama Yaqut bin Abdullah. Meskipun Bapak angkatnya memberikan kesempatan kepadanya untuk belajar Islam dengan baik dan bahasa Arab menjadi bahasa sehari-harinya, kemampuannya dalam seni prosanya tidak bernilai tinggi karena dia adalah orang bukan Arab. Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/84377/yaqut-al-hamawi-ahli-geografi-dari-anatolia
[8] Ayah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash yaitu Malik bin Wuhaib bergelar Abu Waqqash memiliki putra-putra yaitu Amir, Utbah, Sa’d dan Umair. Menurut Kitab al-Bidayah wan Nihaayah (البداية والنهاية – الجزء السابع) karya Ibnu Katsir (ابن كثير), juz ke-7 bab mengenai Bahurasir (وَقْعَةُ بَهُرَسِيرَ): وَوَصَلَ سَعْدٌ بِالْجُنُودِ إِلَى مَكَانٍ يُقَالُ لَهُ: مُظْلِمُ سَابَاطَ، فَوَجَدُوا هُنَالِكَ كَتَائِبَ كَثِيرَةً لِكِسْرَى يُسَمُّونَهَا بُورَانَ، وَهُمْ يُقْسِمُونَ كُلَّ يَوْمٍ: لَا يَزُولُ مُلْكُ فَارِسَ مَا عِشْنَا. وَمَعَهُمْ أَسَدٌ كَبِيرٌ لِكِسْرَى يُقَالُ لَهُ: الْمُقَرَّطُ. قَدْ أَرْصَدُوهُ فِي طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ، فَتَقَدَّمَ إِلَيْهِ ابْنُ أَخِي سَعْدٍ، وَهُوَ هَاشِمُ بْنُ عُتْبَةَ، فَقَتَلَ الْأَسَدَ Pembunuh singa Kisra di perang setelah Qadisiyah dan menjelang ke Madain tersebut ialah putra saudara atau keponakan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash. Hasyim beserta ayahnya dulunya penentang Islam. Ayahnya tewas dalam perang Uhud di pihak Musyrikin. Hasyim bin Utbah masuk Islam pada saat Nabi (saw) dan pasukan Muslim menaklukkan Makkah pada tahun ke-8 Hijriyyah.
[9] Kitab al-Bidayah wan Nihaayah (البداية والنهاية – الجزء السابع) karya Ibnu Katsir (أبو الفداء إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي البصري ثم الدمشقي (المتوفى: 774هـ)), bahasan megenai tahun ke-16 Hijriyyah (ثُمَّ دَخَلَتْ سَنَةُ سِتَّ عَشْرَةَ), bab tentang penaklukan al-Madaa-in ibu kota Persia (ذِكْرُ فَتْحِ الْمَدَائِنِ الَّتِي هِيَ مُسْتَقَرُّ مُلْكِ كِسْرَى): ثُمَّ أَقْحَمَ فَرَسَهُ فِيهَا وَاقْتَحَمَ النَّاسُ، وَقَدِ افْتَرَقَ السِّتُّونَ فِرْقَتَيْنِ: أَصْحَابُ الْخَيْلِ الذُّكُورِ، وَأَصْحَابُ الْخَيْلِ الْإِنَاثِ، فَلَمَّا رَآهُمُ الْفُرْسُ يَطْفُونَ عَلَى وَجْهِ الْمَاءِ قَالُوا: دِيوَانَا دِيوَانَا. يَقُولُونَ: مَجَانِينُ مَجَانِينُ. ثُمَّ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا تُقَاتِلُونَ إِنْسًا بَلْ تُقَاتِلُونَ جِنًّا. Setelah Hadhrat Sa’d (ra) dan pasukannya selesai menyeberangi sungai – bukan sungai kecil – tersebut dengan berkuda, orang-orang Persia sembari berlarian berteriak, “Dewana amadan. Dewana amadan.” – “Orang-orang gila telah datang. Orang-orang gila telah datang.” Sebagian lagi berkata, “Kalian berperang bukan dengan manusia, tapi dengan para jin (hantu).”
[10] Sunan an-Nasai, (كتاب الجهاد), (باب غَزْوَةِ التُّرْكِ وَالْحَبَشَةِ), nomor 3176.
[11] Tiga kitab Syarh (uraian) terhadap Shahih al-Bukhari sepakat bahwa yang dimaksud Banu Asad ialah keturunan Asad bin Khuzaimah.
[12] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang Adzan (كتاب الأذان), Bab (باب وُجُوبِ الْقِرَاءَةِ لِلإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ وَمَا يُجْهَرُ فِيهَا وَمَا يُخَافَتُ), nomor 755.
[13] Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhailush Shahabah (Keutamaan para Sahabat -كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab tentang Sifat terpuji Sa’d bin Abu Waqqash (بَابُ مَنَاقِبُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ الزُّهْرِيِّ وَبَنُو زُهْرَةَ أَخْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهْوَ سَعْدُ بْنُ مَالِكٍ): (عَنْ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ سَعْدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ), nomor 3728. Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) – Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن الأثير – أسد الغابة
[14] Tarikhul Umam wal Muluuk (تاريخ الطبري – تاريخ الرسل والملوك – الجزء الرابع) karya ath-Thabari (أبو جعفر محمد بن جرير الطبري); al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ), bahasan Syura (ذكر قصة الشورى). Dalam dialog antara Khalifah ‘Umar (ra) menjelang wafatnya dengan para Sahabat, beliau (ra) sempat menyebut-nyebut nama Abu Ubaidah bin al-Jarrah (ra) dan Salim Maula Abu Hudzaifah bahwa andai saat itu keduanya masih hidup, ingin sekali beliau mewasiatkan Khilafat kepada mereka. Para Sahabat lalu mengusulkan nama Abdullah ibn ‘Umar (ra) yang dijawab dengan kalimat keras dari Khalifah bahwa beliau tidak akan menyetujui keluarganya sendiri dicalonkan menjadi Khalifah padahal usulan pencalonan tersebut dari para Sahabat. Setelah itu, Khalifah ‘Umar (ra) bersabda seperti kalimat tersebut yaitu menyebut nama enam orang ahli surga. Di dalam Kitab al-Bidaayah wan Nihaayah, tadinya Hadhrat ‘Umar (ra) telah juga menyebut nama Sa’id bin Zaid (سعيد بن زيد بن عمرو بن نفيل) tapi beliau membatalkannya karena ia adalah keluarga beliau jalur sepupu. Hadhrat ‘Umar (ra) diketahui sangat keras dalam hal menolak memilih pejabat dari kalangan keluarga walau pun para Sahabat tidak keberatan bahkan telah mengusulkan. Dalam buku Khilafat Rashida, Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) menganggap bukan hal yang salah bila Hadhrat ‘Umar (ra) menerima usulan para Sahabat bila Abdullah bin ‘Umar (ra) menjadi calon Khalifah.
[15] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab megenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا).
[16] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d; Tarikh Madinah Dimashq (تاريخ مدينة دمشق – ج 20)
[17] Ibnu Manzhur dalam Mukhtashar Tarikh Dimashq.
[18] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[19] Sunan at-Tirmidzi, Kitab tentang fitnah-fitnah (كتاب الفتن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab (باب مَا جَاءَ تَكُونُ فِتْنَةٌ الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ). Surah al-Maaidah, 28-29 menyebutkan, “Dan, ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam dengan hak, ketika kedua mereka itu mempersembahkan korban, maka salah seorang dari kedua mereka itu dikabulkan dan dari yang lain tidak dikabulkan lalu ia berkata, ‘Pasti akan kubunuh engkau.’ Berkata yang lain, ‘Sesunguhnya Allah swt. hanya mengabulkan dari orang-orang yang bertakwa.’”
“Jika engkau menjangkaukan tangan engkau terhadapku untuk membunuhku, aku tidak akan menjangkaukan tanganku terhadap engkau untuk membunuh engkau. Sesungguhnya, aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian Alam.”
[20] Usdul Ghaabah. Di dalam al-Isti’aab terdapat sajak yang sama dengan tambahan: فَأَمّا أَمْرُ عُثْمَانٍ فَدَعْهُ
فَإنّ الرّأْيَ أَذْهَبَهُ البَلَاءُ Fa-amaa amru ‘Utsmaanin fada’hu – Fa-innar ra-ya adzhabahul balaa-u
[21] Jami’ at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi), Kitab tentang Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3724.
[22] Imam Ahmad bin Hanbal dalam Kitab Fadhailush Shahaabah (فضائل الصحابة لابن حنبل), (فَضَائِلُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).
[23] Usdul Ghaabah.
[24] Ibn ʿAbd al-Barr (d. 1071 CE) – al-Istīʿāb fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن عبد البر – الاستيعاب في معرفة الصحابة
[25] Sahih Muslim, Kitab Al Janaiz (كتاب الجنائز), Bab Al Salati Ala Al-Janazati Fil Masjid (باب الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ فِي الْمَسْجِدِ ), Hadith 1603, vol. 4, p. 135, Noor Foundation
[26] Sahih Muslim, Kitab Al Janaiz (كتاب الجنائز), Membuat lahad dan meletakkan batu bata di atas kuburan (باب فِي اللَّحْدِ وَنَصْبِ اللَّبِنِ عَلَى الْمَيِّتِ ): عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ، قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي هَلَكَ فِيهِ .
[27] Al-Mu’jamul Kabir karya ath-Thabrani (المعجم الكبير للطبراني), (سِنُّ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، وَوَفَاتُهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ), (حديث رقم 320)
[28] Sirat Khataman Nabiyyin karya Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) mengutip dari buku The Life of Mahomet (Kehidupan Muhammad), By Sir William Muir, Chapter XII (Importance of the Battle of Bedr), Importance of the battle of Bedr and rank assigned to those engaged in it (Pentingnya perang Badr dan kehormatan yang diterima orang yang ikut di dalamnya), p. 243, Published by Smith, Elder, & Co. London (1878).