Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 111, Khulafa’ur Rasyidin Seri 17)
‘Umar bin al-Khaththab (ra)

Ringkasan Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 23 April 2021 (Syahadat 1400 Hijriyah Syamsiyah/Ramadhan 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Pembahasan awal mengenai salah seorang Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) yaitu Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab (عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Kebiasaan dan beberapa ketrampilan beliau yaitu berkuda dan berlomba gulat di pekan raya Ukaz.
Dari ribuan [mungkin lebih dari 10.000] penduduk Makkah, hanya 17 orang yang tahu baca tulis di zaman sebelum Islam. Salah satunya ialah Hadhrat ‘Umar (ra).
Penerimaan Islam oleh Hadhrat ‘Umar (ra): Tujuh riwayat berbeda dan mana yang lebih akurat menurut Hadhrat Khalifatul Masih V (atba).
Pembahasan kejadian-kejadian dari kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) insya Allah dilanjut di Jumat-Jumat mendatang.
Dzikr-e-khair Empat Almarhum dan Dua Almarhumah.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Latar Belakang Keluarga Hadhrat ‘Umar (ra)
Hari ini saya akan menyampaikan tentang Hadhrat Umar bin Al-Khaththab (ra). Hadhrat Umar berasal dari Kabilah Banu ‘Adi bin Ka’ab bin Luai. Ayah beliau bernama al-Khaththab bin Nufail. Menurut satu riwayat, ibu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah dan dengan demikian, ibu beliau adalah sepupu Abu Jahl (Amru bin Hisyam bin al-Mughirah).[1] Menurut riwayat lain, ibu beliau bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah dan dengan demikian ibu beliau adalah saudara perempuan Abu Jahl. Namun, riwayat tentang saudara perempuan ini tidak banyak diterima. Abu Umar berkata, “Yang mengatakan ia adalah saudara perempuan Abu Jahl, ia telah salah; karena jika memang demikian, ia akan menjadi saudara perempuan Abu Jahl dan Harits putra Hisyam, sementara pada hakikatnya hal ini adalah tidak. Ia [ibu Hadhrat Umar] adalah sepupu keduanya, dan ayahnya bernama Hasyim.”[2]
Berbagai riwayat mengenai kapan beliau lahir.
Terkait waktu kelahiran Hadhrat Umar, terdapat beberapa riwayat yang saling berbeda dalam menjelaskan tanggal kelahiran Hadhrat Umar. Satu pendapat menyatakan bahwa Hadhrat Umar lahir 4 tahun sebelum terjadi Perang Fijar, sementara di tempat lain tertera bahwa beliau lahir 4 tahun setelah ‘Perang Fijar Besar’. Ini dinamakan perang Fijar, karena terjadi di bulan-bulan yang diharamkan berperang, sehingga adalah perkara tercela [atau fujur]. Peperangan ini terjadi empat kali. Perang yang keempat, selain disebut Al–fijjarul a’zam yaitu perang fujar besar, disebut juga Al–fijjarul a’zamul akhir yaitu Perang Fijar Besar Terakhir. Peperangan ini terjadi antara Quraisy dan Banu Kinanah melawan Hawazin.[3]
Di satu pendapat lain, tertera bahwa Hadhrat Umar lahir 13 tahun setelah ‘Tahun Fil’ (tahun gajah). Tahun Fil adalah 570 M; dengan 13 tahun setelahnya, maka kelahiran Hadhrat Umar adalah tahun 583.[4]
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Hadhrat Umar menerima Islam di tahun 6 kenabian, dan saat itu usia beliau 26 tahun. Menurut penanggalan Masehi, tahun 6 kenabian adalah 616 M. Jika saat itu usia Hadhrat Umar 26 tahun, maka tahun kelahiran beliau adalah 590.
Pendapat keempat menyebutkan bahwa Hadhrat Umar lahir ketika Nabi Karim (saw) berusia 21 tahun. Walhasil, ada beberapa pendapat; dan usia beliau tatkala memeluk Islam adalah antara 21 dan 26 tahun.
Kuniyah atau panggilan Abu Hafsh dan asal mulanya.
Sebutan Hadhrat Umar adalah Abu Hafsh. Hadhrat Ibnu Abbas menyatakan, “Di hari perang Badr, Nabi (saw) bersabda kepada para sahabat, Saya mengetahui bahwa Banu Hasyim dan beberapa orang lain datang kemari bersama Quraisy karena terpaksa, dan mereka tidak ingin berperang melawan kita; oleh karena itu, jika diantara Anda sekalian ada yang bertemu dengan orang dari Banu Hasyim, jangan bunuh ia; jika ada yang bertemu Abul Bakhtari, jangan bunuh ia;…siapa diantara kalian berhadapan dengan Abbas (yang adalah paman Rasulullah (saw)), janganlah membunuhnya karena mereka secara terpaksa datang kemari bersama Quraisy.’
Hadhrat Ibnu Abbas menjelaskan, “Hadhrat Abu Hudzaifah berkata kepada seseorang, ‘Kita diperintahkan untuk membunuh ayah, saudara dan kerabat kita lantas kenapa tidak boleh membunuh Abbas. Kenapa bisa demikian? Demi Tuhan, saya pasti akan membunuhnya, jika berhadapan dengannya.’
Ketika hal tersebut diketahui oleh Rasulullah (saw), beliau bersabda kepada Hadhrat Umar, ‘Wahai Abu Hafsh!’ ‘Pedang akan ditebaskan ke wajah paman Rasul Allah?’[5]
Hadhrat Umar berkata, ‘Ini pertama kalinya Hadhrat Rasulullah (saw) memberikan nama julukan Abu Hafsh pada saya.’
Hadhrat Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Izinkan saya menebas lehernya dengan pedang. Demi Tuhan di dalam diri orang yang mengucapkan itu terdapat kemunafikan.’ Rasulullah (saw) melarangnya untuk membunuhnya.
Namun Abu Hudzaifah mengatakan, ‘Saya menyadari telah mengatakan sesuatu yang keliru, saya tidak bisa tenang. Saya telah mengatakan sesuatu yang menyebabkan saya tidak bisa hidup tenang, saya akan selalu khawatir, kecuali saya diselamatkan dari keburukan itu dengan mati syahid, syahid demi Islam. Dengan begitu baru saya akan yakin bahwa saya telah selamat dari apa yang telah saya katakan.’ “Walhasil, beliau syahid ketika perang Yamamah.”[6]
Sebuta Al-Faruq
Hadhrat Aisyah menyatakan, “Nabi (saw) menganugerahkan Hadhrat Umar dengan sebutan al-Faruq.”[7]
Mengenai bagaimana latar belakang sebutan ini, Hadhrat Ibnu Abbas menjelaskan, “Saya bertanya kepada Hadhrat Umar, ‘Bagaimanakah sebutan Anda, yaitu Faruq diberikan?’
Beliau bersabda, ‘Hadhrat Hamzah telah menerima Islam tiga hari sebelum saya. Saya kebetulan tengah menuju Masjidil Haram, dan saat itu Abu Jahl dengan cepat pergi mendekati Rasulullah (saw) seraya melontarkan caci-makian. (lalu beliau menyebutkan semua hal tentang apa selanjutnya yang dilakukan Hadhrat Hamzah). Yaitu, ketika Hadhrat Hamzah mengetahuinya, maka beliau pun menuju Ka’bah seraya membawa busur panah beliau dan mendatangi kelompok dimana Abu Jahl duduk berkumpul, dan berdiri di hadapan mereka seraya memegang busur panah beliau, dan memandangnya dengan pandangan tajam. Abu Jahl pun menyadari kemarahan beliau dan berkata, “Wahai Abu Umarah (panggilan Hadhrat Hamzah), apa yang telah terjadi?”
Mendengar ini lantas Hadhrat Hamzah mengangkat dan memukulkan busur panah pada wajahnya sehingga robeklah pipinya dan darah pun mengalir darinya. Karena takut akan kemarahan mereka, para Quraisy pun segera melerai mereka berdua.’ Kemudian, beliau yaitu Hadhrat Umar berkata (setelah menyebutkan peristiwa ini dimana beliau melihatnya) ‘Tiga hari setelah peristiwa ini, saya pergi keluar dan di jalan saya bertemu dengan seseorang dari Banu MakHadhratum. Saya bertanya kepadanya, “Apakah Anda telah meninggalkan agama nenek moyang Anda sendiri dan memilih agama Muhammad (saw)?”
Ia berkata, “Jika memang benar, apakah perkara besar? Dia pun telah melakukannya, yaitu orang yang lebih dekat dengan engkau daripada saya.”
Saya (yaitu Hadhrat Umar) bertanya, “Siapa dia?”, ia menjawab, “Adik perempuan engkau dan suaminya.”
Setelah mendengar ini, dan ketika saya mendatangi rumah adik perempuan saya, saya mendapati pintu rumahnya terkunci dan dari dalam terdengar suara tengah membaca sesuatu. Pintu pun dibukakan untuk saya, lalu saya masuk ke dalam dan lantas bertanya kepada mereka, “Apa yang telah saya dengar dari kalian ini?”
Mereka menjawab, “Apa yang telah Anda dengar?”
Di tengah pembicaraan saya pun menjadi marah lalu saya memegang kepala suami saudari saya dan memukulnya hingga ia pun berlumuran darah. Lalu adik perempuan saya berdiri dan memegang kepala saya seraya berkata, “Ini berlawanan dengan keinginan engkau.” (Artinya, “Kami yang telah memeluk Islam, berlawanan dengan keinginan engkau.” Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa adik perempuan beliau pun terluka).
Hadhrat Umar berkata, “Ketika saya melihat darah di adik perempuan saya (kemungkinan adik perempuan beliau pun terluka), saat itu saya pun tertunduk malu. Saya duduk dan berkata, ‘Perlihatkan kepada saya kitab itu.’
Adik perempuan saya berkata, “Hanya orang yang suci saja yang dapat memegangnya. Jika engkau memang berkata benar, maka pergilah untuk mandi terlebih dahulu.”
Saya pun mandi dan datang kembali lalu duduk. Maka mereka pun mengeluarkan lembaran itu untuk saya. Di situ tertulis (بسم الله الرحمن الرحيم). Saya berkata, “Kata ini sungguh indah dan suci.” Lafaz setelahnya adalah (طه ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى) yaitu dari ayat ini hingga (له الأسماء الحسنى). Surah Taha ayat kedua sampai sembilan”.
Beliau bersabda, “Di dalam kalbu saya telah lahir keagungan akan Kalam tersebut.” Saya berkata, “Quraisy akan lari darinya. Saya telah menerima Islam.” Lalu saya bertanya, “Dimanakah Rasulullah (saw)?”
Adik perempuan saya berkata, “Beliau ada di Darul Arqam.”
Saya pergi ke sana dan mengetuk pintunya. Di sana telah berkumpul para sahabat. Hadhrat Hamzah berkata kepada mereka, “Apa yang terjadi dengan kalian?”
Mereka menjawab, “Ia adalah Umar”. Hadhrat Hamzah berkata, “Bukalah pintunya, sekalipun yang berdiri di luar pintu itu adalah Umar. Jika ia datang dengan niat baik, kita akan menerimanya, namun jika ia datang dengan niat buruk, maka kita akan membunuhnya.”
Percakapan ini pun telah didengar juga oleh Rasul Karim (saw). Beliau datang keluar, lantas Hadhrat Umar melafalkan kalimah syahadat. Seketika seluruh sahabat yang ada di dalam rumah itu dengan suara lantang menyebut Allahu Akbar, sehingga penduduk Makkah pun mendengarnya.
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah (saw), bukankah kita berada diatas kebenaran?” (yaitu, Hadhrat Umar bertanya kepada Rasulullah (saw), “bukankah kita berada diatas kebenaran?”).
Beliau (saw) menjawab, “Mengapa tidak?”
Saya berkata, “Lalu mengapa kita bersembunyi? Kenapa lantas kita menyembunyikan agama kita?”
Setelah itu kami pun berjalan keluar dalam dua shaf. Di shaf pertama ada saya, dan di saf kedua ada Hadhrat Hamzah, hingga kami pun masuk di dalam Masjidil Haram. Saat itu orang-orang Quraisy pun melihat saya dan Hamzah, dan mereka tampak sangat sedih dan berduka, kesedihan yang tak pernah sebelumnya mereka rasakan. Maka hari itu pun Rasul yang mulia (saw) menamai saya dengan al-Faruq, karena dengannya Islam meraih kekuatan, dan menjadi kentara perbedaan antara hak dan batil.’”[8]
Diriwayatkan dari Ayyub bin Musa bahwa Rasulullah (saw) bersabda, “Sungguh Allah Ta’ala telah menegakkan kebenaran pada lidah dan kalbu Umar. Dan ia adalah al-Faruq, karena Allah Ta’ala melaluinya telah memperbedakan antara hak dan batil.”[9]
Ciri-ciri Fisik ‘Umar bin Khaththab
Hadhrat Umar bertubuh tinggi dan berperawakan kekar. Tidak ada rambut di kepala depan beliau. Warna kulit beliau kemerahan, dan janggut beliau lebat serta ada kemerahan di ujung janggut beliau, dan pipi beliau tirus.
Di masa Jahiliah, terkait kegiatan Hadhrat Umar dulu, disebutkan bahwa menunggang kuda dan bertarung (bergulat) adalah kegemaran beliau. Di perayaan ‘Ukaz, pada umumnya Hadhrat Umarlah yang memenangkan perlombaan bertarung setiap tahun.[10] Di usia muda, sesuai adat istiadat arab, beliau pun menggembalakan unta-unta ayahnya.
Sebelum Islam, baca tulis belumlah lumrah di Arab, dimana ketika Rasulullah (saw) diutus, saat itu di Kabilah Quraisy hanya ada 17 orang yang dapat baca tulis. Hadhrat Umar di masa itu telah menguasai baca tulis.
Hadhrat Umar termasuk diantara para pembesar Quraisy. Sebelum Islam, tugas duta atau perwakilan diembankan kepada beliau dan merupakan peraturan Quraisy bahwa tatkala diantara mereka atau antara mereka dengan kaum luar terjadi suatu pertempuran, maka mereka kerap mengutus Hadhrat Umar sebagai perwakilan.
Ketika beberapa orang Islam berhijrah ke Habsyah, saat itu meskipun Hadhrat Umar mengetahuinya, dan menyaksikan mereka tengah berhijrah (beliau pun belum memeluk Islam dan memiliki tabiat yang sangat keras), namun tanggapan dari Hadhrat Umar, sangatlah mengharukan. Mengenai ini Hadhrat Ummu Abdullah binti Abu Hasymah menjelaskan, “Demi Allah, tatkala kami hendak berangkat ke tanah Habsyah, dan saat itu suami saya Amir bin Rabi’ah tengah pergi untuk suatu pekerjaan, maka waktu itu Hadhrat Umar bin Al-Khaththab pun datang dan berdiri di dekatku. Saat itu beliau masih ada dalam kemusyrikan, dan kami terpaksa harus menanggung penghinaan-penghinaan dan kesulitan-kesulitan darinya.”
Ia menjelaskan, “beliau berkata kepadaku, “Wahai Ummu Abdillah, tampaknya Anda berkeinginan pergi ke suatu tempat” saya menjawab, “Ya Demi Allah, pasti kami akan keluar dari tanah Allah dan pergi ke suatu tempat. Kemana kami pergi? Bumi Allah sangatlah luas. Anda sekalian telah sangat melukai kami dan kami telah tertimpa banyak kezaliman, hingga akhirnya sekarang Allah telah melahirkan bagi kita jalan keselamatan. Ummu Abdullah menjelaskan, “maka saat itu beliau lantas berkata, Allah bersama kalian”.
Ummu Abdullah berkata, “keharuan yang tampak saat itu dalam dirinya belum pernah saya melihatnya sebelum itu. Setelah itu pun beliau pergi. Menurut saya, kepergian kami telah membuat diri beliau sangat bersedih”. Ummu Abdullah berkata, “ketika Amir bin Rabiah kembali dari pekerjaannya, maka saya berkata kepadanya, “Wahai Abdullah, Andaikan saja engkau melihat bagaimana keadaan Umar, yaitu kesedihan dan keharuan yang ia perlihatkan untuk kita”.
Amir bin Rabiah berkata, “Apakah engkau melihat adanya harapan akan dirinya memeluk Islam?” (yaitu beliau terpengaruh akan peristiwa ini, dan beliau mungkin akan memeluk Islam). Saya menjawab, “ya”. Lantas ia (yakni Amir bin Rabiah) berkata, “ia tidak akan memeluk Islam. Orang yang telah engkau lihat itu, ia tidak akan memeluk Islam selama keledai Al-Khaththab pun tidak kunjung memeluk Islam”. Ummu Abdillah berkata, “melihat bagaimana kekerasan dan tekanan yang diberikan Hadhrat Umar terhadap Islam, karena itulah ia pun menjadi putus asa akannya dan mengatakan hal tersebut”. Yaitu, saat itu beliau adalah musuh yang sedemikian keras terhadap Islam, sehingga bagaimana bisa beliau akan menerima Islam.
Mengenai peristiwa ini, Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) pun telah menjelaskan dengan cara beliau. Hadhrat Umar dahulu sangat memusuhi Islam. Beliau (ra) bersabda: namun di dalam diri beliau pun terkandung daya keruhanian. Yakni, meskipun beliau berwatak sangat keras, senantiasa menimpakan kesulitan kepada Rasulullah (saw) dan para sahabat beliau, namun di dalam jiwa beliau pun ada gejolak kepiluan. Maka dari itu ketika berlangsung hijrah pertama ke Habsyah, maka saat itu umat Islam bersiap berangkat sebelum shalat subuh supaya kaum Musyrik tidak menahan mereka, dan mereka tidak tertimpa kesulitan.
Kebiasaan di Makkah saat itu adalah, beberapa pemimpin Makkah berkeliling kota di malam hari untuk supaya tidak ada pencurian dan lain sebagainya. Mereka kerap memeriksa lorong-lorong kota. Sesuai aturan ini, Hadhrat Umar pun saat itu berkeliling di waktu malam dan beliau melihat bahwa di suatu rumah, semua barang-barang rumah itu telah disatukan dan terikat. Beliau mendekatinya. Seorang sahabiah berdiri di dekat barang tersebut. Mungkin suami keluarga itu memiliki hubungan keluarga dengan Hadhrat Umar. Oleh karena itu beliau berkata kepada sahabiah itu, “ibu, apa yang tengah terjadi ini? Saya tampaknya melihat bahwa engkau hendak melakukan perjalanan yang sangat jauh”.
(Saat itu suami sahabiah itu tidak ada di tempat. Jika ia ada di sana, maka mungkin saja dikarenakan permusuhan dan perseteruan kaum musyrik Makkah, setelah mendengar ucapan Hadhrat Umar tersebut, ia pun akan menjawab dengan berbagai alasan, yaitu pergi atau tidak pergi, perjalanan singkat atau berkunjung ke suatu tempat yang dekat. Namun Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) bersabda bahwa dalam naluri perempuan tidak ada hal demikian. Perempuan itu tidak terpikir akan hal itu. Atau jika ada, maka ia tetap mengatakan kejujuran).
Lalu sahabiah itu berkata, “Umar, kami akan meninggalkan Makkah”.
Beliau berkata, “engkau akan meninggalkan Makkah?”
Sahabiah itu menjawab, “Ya, kami akan meninggalkan Makkah”. Hadhrat Umar bertanya, mengapa engkau meninggalkan Makkah
Sahabiah menjawab, “Umar, engkau dan saudara engkau tidak menyukai kami tinggal disini, dan kami tidak menemukan kebebasan untuk beribadah pada Tuhan yang Maha Esa di sini. Oleh karena itulah kami meninggalkan kampung halaman kami dan pergi ke negeri lain”.
Disini, meskipun Hadhrat Umar adalah musuh Islam yang keras, meskipun saat itu beliau senantiasa bersedia untuk membunuh umat Islam, namun di kegelapan malam itu, setelah mendengar jawaban Sahabiah itu bahwa mereka akan meninggalkan kempung halamannya ini karena beliau dan saudara beliau tidak menyukai tinggalnya mereka di sini, dan mereka tidak menemukan kebebasan untuk beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa di sini, maka Hadhrat Umar saat itu pun malu dan memalingkan muka saat mendengarnya, lalu berkata seraya menyebut nama Sahabiah itu, “baiklah, pergilah, semoga Tuhan menjaga engkau”
Nampaknya, Hadhrat Umar mengalami rasa haru yang sedemikian rupa, sehingga beliau merasa jika beliau tidak memalingkan wajah kearah lain, maka beliau bisa menangis, Tidak lama kemudian, suami dari sahabiyah (sahabat wanita) itu datang. Suami beliau beranggapan bahwa Umar adalah musuh keras Islam.
Ketika melihat Hadhrat Umar berdiri di sana, suaminya mengira bahwa Hadhrat Umar akan menghalangi perjalanan hijrah mereka. Sang suami bertanya kepada Istrinya: Bagaimana Umar bisa datang kemari? Istrinya menjawab: Ia datang begitu saja dan bertanya: Mau pergi kemana kamu? Sang suami berkata: Jangan jangan mau berniat jahat dengan kita. (Hadhrat Umar pergi dari sana beberapa saat sebelum datang suaminya).
Istrinya berkata: Wahai anak pamanku! (Wanita Arab pada umumnya biasa menyebut suaminya dengan sebutan anak paman) Kamu khawatir jangan jangan Umar akan bersikap jahat dengan kita, namun saya mengira bahwa suatu saat ia bisa saja masuk Islam. Karena Ketika saya katakan padanya bahwa kami akan pergi meninggalkan Mekah, karena kamu dan saudara kamu tidak membiarkan kami beribadah dengan bebas kepada Tuhan Yang Esa. Mendengar itu, Umar memalingkan wajahnya dan berkata: Baik, Pergilah, Semoga Tuhan melindungi kalian. Ketika mengucapkan itu, Nampak keharuan pada suara Umar dan saya mengira matanya berkaca-kaca, karena itu saya mengira bahwa suatu saat Umar akan baiat masuk Islam.
Rasulullah (saw) Mendoakan Supaya ‘Umar (ra) masuk Islam
Hadhrat Rasulullah (saw) juga banyak berdoa untuk baiatnya Hadhrat Umar. Berkenaan dengan itu terdapat dalam riwayat, Hadhrat Ibnu Umar meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ Ya Allah berikanlah kehormatan kepada Islam dengan perantaraan orang yang lebih Engkau cintai diantara dua orang ini yakni Abu Jahl dan Umar Bin Al-Khaththab.
Ibnu Umar berkata: Diantara kedua orang itu, Hadhrat Umar lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.
Hadhrat Ibnu Umar meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, اللهم أيدِ الدينَ بعمرَ بنِ الخطابِ ‘Allahumma ayyidid diina bi-‘Umara bnil Khaththab.’ – ‘Ya Tuhan! Bantulah agama ini dengan perantaraan Umar Bin Al-Khaththab.’[11]
Hadhrat Aisyah ra meriwayatkan, Rasulullah (saw) pernah bersabda, اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ خَاصَّةً ‘Allahumma a’izzal Islaama bi-‘Umara bnil Khaththab.’ – ‘Ya Allah! Berikanlah kehormatan kepada islam dengan perantaraan Umar Bin Al-Khaththab khususnya.’[12]
Sehari sebelum baiatnya Hadhrat Umar, Rasulullah (saw) berdoa demikian, اللهم أيد الاسلام بأحب الرجلين إليك عمر بن الخطاب أو عمرو بن هشام ‘Allahumma ayyidil Islaama bi-ahabir rajulaini ilaika ‘Umara bnil Khaththab au ‘Amru bni Hisyam.’ – ‘Ya Allah! Berikanlah pertolongan kepada Islam dengan perantaraan orang yang lebih Engkau cintai diantara dua orang ini yakni dengan Umar Bin Al-Khaththab atau Amru Bin Hisyam.’
Setelah Hadhrat Umar baiat masuk Islam, Hadhrat Jibril turun dan bersabda, يا محمد لقد استبشر أهل السماء بإسلام عمر ‘Wahai Muhammad! Dengan baiatnya Umar, penduduk langit begitu bahagia.’” (Tabaqatul Kubra)
Berbagai Riwayat Baiatnya ‘Umar bin Khaththab
Berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Umar lebih lanjut diriwayatkan bahwa Hadhrat Umar Bin Al-Khaththab baiat pada Dzul Hijjah 6 Nabawi. Berkenaan dengan penyebab baiatnya beliau terdapat beberapa Riwayat dalam kitab hadits dan sirat. Satu Riwayat diantaranya dalam Siratul Halbiyah, “Suatu ketika Abu Jahl berkata kepada orang-orang, ‘Wahai bangsa Quraisy! Muhammad (saw) melontarkan caci makian pada sembahanmu dan menyebut kalian bodoh. Ia juga mengatakan bahwa sembahan kalian akan menjadi bahan bakar neraka. Untuk itu aku umumkan bahwa barangsiapa ada yang bisa membunuh Muhammad, aku akan berikan ia hadiah 100 unta merah hitam dan 1000 uqiyah perak.’[13]
Satu uqiyah sama dengan 40 dirham yakni sekitar 126 gram dan sebagian berpendapat lebih banyak lagi dari itu. Intinya itu hadiah yang dijanjikan itu bernilai uang yang sangat besar.
Adapun dalam riwayat lainnya disebutkan, dia umumkan, ‘Siapa yang dapat membunuh dia (Nabi Muhammad (saw)) maka akan mendapatkan hadiah sekian uqiyah emas, perak, wangi wangi, pakaian dan masih banyak lagi barang barang lainnya.’[14]
Mendengar pengumuman itu, Hadhrat Umar berkata, ‘Akulah yang berhak untuk mendapatkan hadiah itu.’ Orang-orang berkata, ‘Tidak diragukan lagi hadiah ini akan menjadi milikmu, Umar.’ Setelah itu, Hadhrat Umar membuat perjanjian resmi dengan mereka perihal itu.[15]
Hadhrat Umar menuturkan, ‘Setelah itu saya membawa pedang dan menggantungkannya di pundak untuk mencari Rasulullah (saw). Di perjalanan, ada anak sapi yang sedang disembelih dan saya mendengar suara keluar dari perut hewan itu yang mengatakan, ‘Wahai Keluarga dharih!’ (Dharih adalah nama anak sapi yang tengah disembelih itu.) Seorang penyeru tengah menyeru. Itu terdengar dengan suara yang jelas. Suara itu menyeru untuk memberikan kesaksian bahwa tidak ada sembahan lain selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.’ Hadhrat Umar berkata, ‘Saya berkata pada diri sendiri bahwa suara ini mengindikasikan pada diri saya.’”[16] Jika Riwayat Siratul Halbiyah ini sahih nampaknya itu merupakan pandangan kasyaf yang beliau lihat pada saat itu yang munculnya suara dari suatu tempat.
Riwayat ketiga perihal baiatnya Hadhrat Umar. Hadhrat Umar meriwayatkan, “Suatu hari saya tiba di Haram dengan niat untuk melakukan thawaf. Pada saat itu, Nabi (saw) sedang berdiri shalat di sana. Ketika salat, beliau biasa menghadap ke arah negeri syam, yaitu ke arah Kubah Batu di Baitul Muqaddas (Yerussalem). Beliau berdiri sedemikian rupa sehingga Kiblat akan berada di antara beliau dan arah Syam. Dengan demikian, Nabi Suci (saw) berdiri di antara Hajar Aswad [Batu Hitam] dan Rukn al-Yamani [Sudut Yaman]. (Rukn al-Yamani adalah sudut tenggara Ka’bah dan mengarah ke Yaman) dan tanpa [berdiri di sana] seseorang tidak dapat menghadapi Baitul Muqaddas.
Hadhrat Umar berkata, “Ketika saya melihat Rasulullah (saw), saya berfikir, malam ini saya akan mendengarkan ucapan Muhammad (saw) apa yang dikatakannya? Saya berfikir, jika saya pergi ke dekatnya untuk mendengarkan apa yang diucapkan beliau (saw), maka saya akan membuat beliau siaga. Karena itu, saya muncul dari arah Hajar Aswad dan berada di balik kain Kabah dan mulai berjalan pelan pelan sementara Rasulullah (saw) tetap larut dalam ibadah shalat.
Rasulullah (saw) menilawatkan surat Ar-Rahman hingga saya berada benar-benar di hadapan Rasulullah (saw). Tidak ada yang menjadi tabir penghalang antara saya dan Rasulullah (saw) selain kain kabah. Hati saya meleleh seketika mendengar lantunan ayat Al Quran Karim dan mulai menangis saat itu Islam telah merasuk ke dalam hati saya.
Saya tetap berdiri di tempat yang sama hingga Rasulullah (saw) menyelesaikan shalatnya lalu pergi dari sana. Saya mulai berjalan mengikuti beliau. Rasulullah (saw) dapat mendengar suara langkah kaki saya dan mengenali saya. Rasulullah (saw) beranggapan bahwa saya membuntuti untuk melukai beliau. Rasulullah (saw) memarahi saya dan bersabda, ‘Wahai Ibnu Al-Khaththab! Untuk tujuan apa kamu datang malam malam begini?’
Saya berkata, ‘Saya datang untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan apa yang datang dari Allah Ta’ala.’[17]
Riwayat keempat diriwayatkan, Hadhrat Umar menuturkan, “Suatu malam adik perempuan saya menderita sakit ketika proses melahirkan. Lalu saya keluar rumah untuk berdoa lalu saya membungkus diri dengan kain Ka’bah. Saat itu datanglah Rasulullah (saw) lalu mendirikan shalat di dekat Hajar Aswad sebanyak yang dikehendaki Allah kemudian pergi. Saat itu saya mendengar ucapan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Karena itu, ketika Rasulullah (saw) meninggalkan tempat itu, saya mengikuti di belakang beliau. Rasul bertanya, ‘Siapa di sana?’
Saya menjawab, ‘Saya Umar.’
Rasul bersabda, Wahai Umar! Kamu tidak melepaskan saya baik siang maupun malam.
Mendengar itu, saya khawatir jangan sampai beliau mendoakan buruk untuk saya, untuk itu saya segera mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa annaka Rasulullah (saw) – aku memberikan kesaksian bahwa tidak ada sembahan lain selain Allah dan sesungguhnya anda adalah Rasul Allah.’ Beliau (saw) bersabda kepada saya, ‘Wahai Umar! Apakah kamu ingin menyembunyikan keislamanmu?’
Saya berkata, ‘Tidak. Aku bersumpah demi Zat yang telah mengutus anda dengan agama yang benar saya akan mengumumkan keislaman saya sebagaimana saya dulu mengumumkan kemusyrikan saya.’
Mendengar itu, Rasulullah (saw) menyampaikan puji sanjung ke hadirat Allah Ta’ala dan bersabda, ‘Wahai Umar semoga Allah Ta’ala meneguhkan kamu diatas hidayah.’ Setelah itu Rasul mengusapkan tangan di dada saya dan berdoa untuk keteguhan saya. Setelah itu saya meninggalkan beliau dan beliau pulang ke rumah.[18]
Berkenaan dengan riwayat baiat beliau yang kelima merupakan Riwayat yang masyhur dan sebelum ini pun pernah disampaikan secara singkat. Hadhrat Anas bin Malik “Suatu hari Hadhrat Umar pergi dengan membawa pedang. Di jalan berjumpa dengan seseorang dari Banu Zuhrah, ia bertanya kepada beliau, ‘Umar! Mau pergi kemana?’
Umar menjawab, ‘Saya mau membunuh Muhammad (Saw) (Naudzubillah).
Orang itu berkata, Apakah setelah membunuh Muhammad kamu akan selamat dari Banu Hasyim (keluarga asal ayah Nabi) dan Banu Zuhrah (keluarga asal ibu Nabi)?
Hadhrat Umar berkata, ‘Saya rasa kamu sudah menjadi Sabi.
Orang itu berkata, ‘Maukah saya beritahukan padamu kabar yang lebih mengagetkan dari itu? Kamu mengatakan padamu bahwa saya telah menjadi pengikut Shabi, baiklah saya beritahukan kabar yang lebih besar dari itu bahwa saudarimu dan adik iparmu telah menjadi Shabi dan telah berpaling dari agama yang kamu anut.’
Mendengar itu, Hadhrat Umar langsung melaknat keduanya lalu pergi menuju rumah saudarinya. Pada saat itu, seorang sahabat Muhajirin bernama Hadhrat Khabbab tengah berada di rumah adik beliau ra [Khabbab sedang mengajar al-Qur’an kepada keduanya].” (Berkenaan dengan Hadhrat Khabbab pun telah saya sampaikan riwayat beliau sebelum ini.) “Seketika mendengar suara Hadhrat Umar, Hadhrat Khabbab bersembunyi. Hadhrat Umar masuk ke rumah dan berkata, Apa yang kamu baca? Suara bacaan apa yang saya dengar dari kalian?
Saat itu mereka tengah menilawatkan surat Taha. Mereka menjawab: Tidak ada hal lain yang kami lakukan tadi selain satu hal.
Hadhrat Umar berkata: Saya dengar kalian telah berpaling dari agama kalian.
Adik ipar beliau berkata: Wahai Umar pernahkah kamu merenungkan bahwa kebenaran ada juga dalam agama lain selain agamamu? (Jika kamu ingin mencari kebenaran, pernahkah kamu merenungkan barangkali pada agama lain terdapat kebenaran juga)
Mendengar itu Hadhrat Umar memegang adik iparnya lalu menganiayanya. Melihat itu Fatimah berusaha menyelamatkan suaminya, Hadhrat Umar pun mengangkat tangan pada adiknya sehingga wajahnya terluka. Adik beliau berkata, Jika kebenaran terdapat juga pada agama lain selain agamamu, maka berilah kesaksian bahwa tidak ada sembahan lain selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah.
Setelah Hadhrat Umar menurun emosinya, berkata: Berikanlah kitab yang ada pada kalian itu untuk aku baca. (Hadhrat Umar tahu baca tulis)
Saudari beliau berkata, ‘Kamu dalam keadaan tidak suci dan tidak ada yang dapat menyentuhnya dalam kondisi tidak bersih. Untuk itu berbasuhlah atau berwudlu terlebih dulu.’ Lalu Hadhrat Umar bangkit dan berwudhu, kemudian mengambil kitabnya dan membacanya yakni surat Taha. Ketika sampai pada ayat, {إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعَبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي} ‘Sesungguhnya, Aku Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku semata, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.’
Setelah membaca ayat ini Hadhrat Umar berkata, ‘Beritahu aku dimana Rasulullah (saw) berada?’
Mendengar itu Hadhrat Khabbab juga keluar dari persembunyiannya dan berkata: ‘Wahai Umar kabar suka bagimu. Saya harap doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah (saw) untukmu pada kamis malam, terkabul. Rasulullah (saw) berdoa, اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَوْ بِعَمْرِو بْنِ هِشَامٍ ‘Ya Allah! Berikanlah kehormatan kepada Islam dengan perantaraan Umar Bin Al-Khaththab dan Amru Bin Hisyam.
Pada saat itu Rasulullah (saw) berada di rumah yang berada di dasar bukit Safa. Kemudian Hadhrat Umar pergi hingga sampai di rumah (Darul Arqam). Ketika itu Hadhrat Hamzah, Hadhrat Talha, dan para sahabat Rasul lainnya berada di balik pintu. Hadhrat Hamzah melihat para sahabat lain ketakutan dengan Hadhrat Umar. Hadhrat Hamzah berkata, ‘Oh, rupanya Umar yang datang. Jika Allah membawanya dengan kebaikan, ia akan baiat masuk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah (saw), namun jika membawa niat lain, akan mudah bagi kita untuk membunuhnya.’
Saat itu Rasulullah (saw) berada dalam rumah tersebut dan tengah menerima wahyu. Rasulullah (saw) pun keluar ruangan dan menghampiri Umar lalu menyentuh dadanya. Beliau bersabda: ‘Ya Umar! Apakah kamu tidak akan taubat hingga Allah menurunkan azab yang menghinakan dan menyakitkan, seperti yang telah diturunkan kepada al-Walid Bin Mughirah. Lalu Beliau berdoa kepada Allah ta’ala, ‘Ya Allah ini adalah Umar Bin Al-Khaththab, berikanlah kehormatan kepada agama ini dengan perantaraan Umar Bin Al-Khaththab.’
Setelah itu Hadhrat Umar berkata, أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ ‘Asyhadu annaka RasuluLlahi’ – ‘Saya bersaksi bahwa anda adalah Rasul Allah.’ Beliau menerima Islam lalu berkata, اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Sampaikanlah tabligh Islam secara terbuka.’”[19]
Ma’mar dan Zuhri meriwayatkan, Hadhrat Umar baiat masuk Islam setelah Rasulullah (saw) memasuki Darul Arqam dan beliau baiat pada urutan ke 40 atau lebih dari itu. Darul Arqam adalah rumah atau markaz milik seorang muslim bernama Arqam bin abil Arqam, terletak tidak jauh diluar Mekah. Di tempat tersebut umat muslim biasa mengadakan pertemuan dan merupakan markaz untuk mendalami ilmu agama, beribadah dll. Karena popularitasnya sehingga dikenal dengan sebutan Darul Islam dan berfungsi sebagai markaz di Mekah selama 3 tahun. Umat Muslim biasa beribadah secara sembunyi-sembunyi didalamnya. Rasulullah (saw) biasa mengadakan acara acara di dalamnya.
Paska baiatnya Hadhrat Umar ra, maka umat Islam mulai menampilkan diri secara terbuka. Dalam Riwayat dikatakan bahwa Hadhrat Umar adalah orang yang terakhir baiat di markaz tersebut. Dengan baiatnya beliau, Umat Islam mendapatkan banyak kekuatan, setelah itu keluar dari Darul Arqam dan tabligh secara terbuka.
Berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Umar, diriwayatkan juga pada tempat lain dengan sedikit perbedaan. Pada Riwayat sebelumnya, disebutkan ayat-ayat permulaan surat Taha. Sedangkan pada tempat lain diriwayatkan bahwa yang dimaksud adalah permulaan ayat surat Al Hadid yang ditilawatkan oleh Hadhrat Umar dirumah adik beliau.
Riwayat keenam berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Umar. Hadhrat Umar meriwayatkan, sehari sebelum baiat, saya pergi untuk mencari Rasulullah (saw). Saya melihat Rasulullah (saw) sudah tiba dimesjid sebelum saya sampai. Saya berdiri dibelakang beliau. Rasulullah (saw) menilawatkan surat Al Haqqah, saya merasa takjub dengan struktur Al Quran. Saya berkata: Demi Tuhan, Ia adalah penyair seperti yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy.
Hadhrat Umar berkata, “Ketika saya berfikir sepert itu, Rasulullah (saw) menilawatkan ayat berikut, {إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ} ‘Sesungguhnya Al Quran itu firman yang disampaikan seorang Rasul mulia, dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali apa yang kamu Imani.’ (al-Haqqah 69:41-42)
Hadhrat Umar berkata, Saya katakan bahwa ini adalah ahli nujum, penyihir. Lalu Rasulullah (saw) membaca, {وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ} Artinya, ‘Dan ini bukanlah perkataan ahli nujum. Sedikit sekali kamu mengambil nasihat. Ini adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Dan sekiranya ia mengadakan Sebagian perkataan atas nama kami, niscaya kami akan mengangkapnya dengan tangan kanan, kemudian, tentulah kami memotong urat nadinya, maka tidak ada seorangpun diantaramu dapat mencegah darinya.’ (al-Haqqah 69:43-48)
Hadhrat Umar mengatakan, ‘Sejak saat itu Islam terpatri dalam hati saya.’”[20]
Terdapat Riwayat ketujuh yakni Riwayat Bukhari. Hadhrat Abdullah bin Umar (ra) meriwayatkan: “Setiap kali saya mendengar Hadhrat Umar (ra) berkata: ‘Saya pikir ini dan itu akan terjadi’, itu akan menjadi kenyataan seperti yang beliau katakan. Suatu ketika, saat Hadhrat Umar (ra) sedang duduk, seorang pria tampan melewatinya. Hadhrat Umar berkata, ‘Jika saya tidak salah, orang ini masih menganut agama Jahiliyyah atau dia adalah peramal mereka, bawa orang ini kepadaku.’ Orang itu dibawa ke hadapan Hadhrat Umar (ra) dan memberitahu dia tentang apa yang dikatakan [tentang dia]. Pria itu berkata, ‘Saya belum pernah melihat hari seperti hari ini di mana seorang Muslim dihadapkan dengan tuduhan seperti itu.’ (Pria ini di kemudian hari menerima Islam)
Beliau (ra) yaitu Hadhrat Umar (ra) bersabda, ‘Saya sangat berharap agar anda mengatakan yang sebenarnya kepada saya.’ Dia berkata, ‘Saya adalah seorang peramal pada masa jahiliyah.’
Kemudian Hadhrat Umar berkata,’ Katakan padaku hal yang paling menakjubkan yang dikatakan jin perempuanmu kepadamu.’
(Mereka adalah peramal dan penyihir lalu beliau bertanya tentang hal aneh apa yang jin ceritakan kepadanya)
Orang itu berkata, ‘Suatu hari ketika aku berada di pasar, ia datang kepadaku dan merasa ketakutan. Jin perempuan itu berkata, “Apakah kamu tidak melihat jin-jin, kecemasan, keheranan mereka telah ditinggalkan [untuk saat ini yang mereka lakukan adalah] mengikuti unta dan pelana mereka.”
Hadhrat Umar (ra) berkata, ‘Kamu berkata benar.’
Kemudian orang itu menambahkan, ‘Suatu hari ketika aku sedang tidur di dekat berhala mereka, seorang pria datang dengan seekor anak sapi dan menyembelihnya [sebagai persembahan kepada berhala]. Seseorang menjerit, yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dia berseru, ‘Wahai musuh yang melampaui batas! Masalah keberhasilan [pendekatan]!
Seorang pria fasih menyatakan: “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.”
Setelah mendengar ini orang-orang melarikan diri, tetapi saya [yaitu Hadhrat Umar (ra)] berkata, ‘Aku tidak akan lari sampai aku tahu siapa di balik ini.’ Kemudian teriakan muncul lagi: ‘Wahai musuh yang melampaui batas! Masalah keberhasilan [pendekatan]! Seorang pria fasih menyatakan: “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.” Saya kemudian pergi dan beberapa hari kemudian dikatakan, “Seorang nabi telah muncul.”[21] Dalam beberapa versi Bukhari, bukannya “tidak ada yang layak disembah kecuali Allah”, kata-katanya adalah “laa ilaaha illaa anta, tidak ada yang layak disembah kecuali Engkau.
Berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Umar dijumpai beragam riwayat dalam buku Tarikh dan Sirat. Diantara Riwayat Riwayat tersebut yang paling populer dan terdapat dalam berbagai buku adalah Riwayat yang didalamnya dikisahkan bahwa Hadhrat Umar berangkat dengan membawa pedang untuk membunuh Rasulullah (saw) nauzubillah. Di jalan seseorang mengatakan kepada beliau, “Lebih baik kamu terlebih dahulu mencari tahu perihal saudarimu dan keluargamu.” Lalu beliau pergi ke rumah adiknya. Riwayat inilah yang paling diakui kebenarannya dan inilah yang paling banyak disebutkan di banyak tempat. Meskipun masih banyak Riwayat lainnya yang mana telah saya sampaikan, para sejarawan dan penulis sirat memperdebatkan kesahihannya sesuai pemahaman mereka. Akan tetapi, kita meyakini kebenaran Riwayat yang dikisahkan Hadhrat Umar pergi ke rumah saudarinya lalu dari sana beliau pergi menuju Darul Arqam.
Bisa dikatakan atau mungkin saja seluruh Riwayat berkenaan dengan baiatnya Hadhrat Umar pada tempatnya adalah benar yang darinya dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kesempatan Hadhrat Umar mengalami perubahan kondisi hati, terkadang perubahan itu terjadi perlahan namun belum ditempuh langkah terakhir dan kisah terakhir adalah kisah dimana beliau mendengarkan tilawat Al Quran di rumah saudarinya lalu pergi ke singgasana kenabian untuk memeluk Islam. Alhasil, Allah Yang Maha Tahu.
Pada saat itu usia Hadhrat Umar 33 tahun dan beliau adalah pemimpin kabilah Banu Adi. Dalam bangsa Quraisy, kepada beliau ditugaskan sebagai duta kaum. Beliau adalah seorang figur yang disegani dan pemberani. Dengan baiatnya beliau, Islam mendapatkan kekuatan sehingga berani keluar dari Darul Arqam dan melakukan shalat secara terang-terangan di Masjid Haram. Hadhrat Umar adalah sahabat terakhir yang baiat di Darul Arqam dan ini terjadi pada bulan terakhir tahun keenam setelah kenabian. Pada masa itu pria Muslim di Mekah berjumlah 40 orang.
Selebihnya insya Allah akan saya sampaikan pada lain kesempatan.
Sekarang saya akan sampaikan riwayat beberapa Almarhum yang akan saya pimpin shalat jenazahnya. Di antaranya yang pertama adalah Ahmad Muhammad Utsman Syabouti Sahib, putra dari Muhammad Utsman Syabouti Sahib dari Yaman. Beliau wafat di Mesir pada 9 April di usia 87 tahun. innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmad Utsman Syabouti lahir di kota Aden, Yaman. Ketika yang terhormat Ghulam Ahmad Sahib menjadi Muballigh di Aden, pada waktu itu Syabouti Sahib baiat di usia 14 tahun. Setelah itu beliau mendapatkan taufik berkhidmat pada berbagai jabatan kepengurusan di Jema’at Ahmadiyah Yaman dan sejak lama mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Ketua Jema’at Ahmadiyah Yaman hingga kewafatan beliau. Yakni beliau tetap pada jabatan tersebut hingga akhir hayatnya.
Beliau menikah dengan yang terhormat Wasimah Muhammad Sahibah binti Dokter Muhammad Adani Sahib yang merupakan cucu dari sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Hadhrat Haji Muhammad Diin Sahib Dhelawi r.a. dan seorang sahabat wanita, Hadhrat Hasinah Bibi Sahibah r.a. Pernikahan Syabouti Sahib dilaksanakan di Rabwah, tetapi dilaksanakan tanpa kehadiran, namun kemudian tercipta jalinan dengan markaz, yakni Syabouti Sahib mendapatkan taufik untuk datang ke Rabwah dan juga mendapatkan kemuliaan bertemu dengan Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. Beliau juga di sana bertemu dengan orang-orang suci, yakni para sahabat.
Syabouti Sahib mendapatkan pendidikan tinggi dari beberapa Universitas di Inggris di bidang Manajemen Keperawatan dan Kesehatan dan meraih gelar Master di bidang administrasi kesehatan dari Universitas Liverpool. Selama 29 tahun beliau memegang jabatan sebagai Dekan di Central Health Institute serta berbagai jabatan lainnya di bidang kesehatan. Selain di negara-negara Timur Tengah, beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai penasihat sementara organisasi kesehatan dunia di berbagai negara lainnya.
Sudah cukup lama beliau sakit dan sejak beberapa bulan yang lalu beliau pindah ke Mesir dan berusaha untuk dapat datang ke UK. Di sana pun beliau mendapatkan perawatan, namun dikarenakan sakit beliau semakin memburuk, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit akhirnya pada 9 April beliau kembali pada Sang Pencipta Hakiki-nya.
Almarhum seorang Mushi. Selain istri beliau, beliau meninggalkan seorang putra, Muhammad Syabouti yang menjadi Dokter di Amerika dan 3 orang putri serta banyak cucu dan cicit. Putri sulungnya tinggal di Yaman, seorang putrinya tinggal di Jerman dan Marwa Syabouti Sahibah mendapatkan taufik berkhidmat di MTA Al-Arabiyyah di UK.
Putri beliau, Marwa Syabouti menuturkan bahwa memang benar bahwa surga berada di bawah kaki ibu, namun saya juga mendapatkan kasih sayang layaknya ibu dari ayah saya atau beliau ingin mengatakan bahwa saya tidak merasakan perbedaan antara kasih sayang ayah dengan ibu. Beliau menuturkan, ayah saya seorang yang muttaqi, saleh, berakhlak tinggi dan sangat rendah hati. Seorang yang penyabar, jujur, menjaga amanah, peduli dengan orang-orang miskin dan semua orang, mencintai semua orang dan bahkan kemanusiaan dan hal ini dituliskan oleh banyak orang. Orang-orang Ghair yang mengenal beliau juga menulis hal yang sama.
Beliau melakukan pekerjaannya dengan cermat, tepat waktu dan selalu menepati janjinya. Beliau biasa melaksanakan ibadah-ibadah dan nafal-nafal serta sangat memperhatikan kedisiplinan dalam shalat-shalat fardhu. Putrinya menuturkan, pada 2002 ayah dan ibu keduanya mendapatkan karunia untuk melaksanakan haji ke Baitullah.
Wakil ketua Jema’at Yaman Khalid Ali Ash-Shabri Sahib menuturkan, “Meskipun sudah berusia lanjut beliau seorang yang berwibawa, baik hati, selalu tersenyum, dermawan dan pengkhidmat tamu. Beliau memperlakukan semua Ahmadi layaknya seorang ayah yang penyayang. Kapan pun ada kebutuhan Jema’at beliau akan membiayainya dari saku beliau sendiri dan beliau membeli sendiri barang-barang yang digunakan untuk keperluan Jema’at seperti printer, mesin fax, dsb.
Beliau seorang yang sangat mengasihi dan menyayangi orang-orang miskin dan membutuhkan. Beliau biasa membiayai para Ahmadi yang miskin dengan ketulusan. Beliau biasa menyantuni anak-anak yatim dan para janda Ahmadi. Beliau juga membayar sewa rumah satu keluarga yang terkena dampak perang dari saku beliau sendiri.
Meskipun sudah sepuh pada 2018 beliau melakukan perjalanan yang panjang dan penuh kesulitan dari Aden ke Shan’a. Ketika itu, dikarenakan serangan-serangan Saudi Arabia ke arah Yaman, jalan menjadi berbahaya dan terdapat banyak pos pengecekan. Dikarenakan sudah sepuh untuk berjalan pun sulit bagi beliau. Perjalanan ini beliau lakukan hanya untuk melaksanakan shalat Ied bersama Jema’at Shan’a dan memberikan hadiah Ied kepada keluarga-keluarga yang kurang mampu serta ikut serta dalam kebahagiaan mereka. Pada waktu itu semua anggota Jema’at merasa senang dengan kedatangan beliau.
Dzikr khair selanjutnya yang terhormat Qureshi Dzakaullah Sahib yang merupakan akuntan kantor Jalsah Salanah. Beliau juga wafat pada 9 April di usia 87 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga Qureshi Sahib melalui kakek beliau dan kakek istri beliau Hadhrat Khurshid Ali Sahib r.a. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud a.s. datang ke Sialkot, Hadhrat Khurshid Ali Sahib mendapatkan karunia baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. di usia 16 tahun. Istri dari Qureshi Sahib telah wafat, beliau memiliki 5 putri dan 1 putra dan seorang putra beliau adalah hafiz Qur’an dan tinggal di sini, di UK.
Seorang putri beliau merupakan karyawan di kantor Private Secretary kita di Rabwah. Putri beliau lainnya juga tinggal di Manchester. Satu putri beliau juga telah wafat. Pada 1954 beliau memulai pengkhidmatan di Jema’at sebagai Relieving Clerk di bawah naungan Sadr Nigraan Board, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib. Lebih dari 58 tahun beliau bekerja di Sadr Anjuman Ahmadiyah.
Putra beliau, Hafiz Syamsud Dhuha menuturkan, “Beliau mendapatkan taufik bekeja bersama Hadhrat Miza Bashir Ahmad r.a. dan biasa pergi ke rumah Hadhrat Mia Bashir Ahmad Sahib. Suatu hari beliau pergi ke rumah Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib. Di hari pertama Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib mengatakan kepada beliau, “Duduklah!”.
Beliau menjawab, “Bagaimana saya bisa duduk setara di hadapan keturunan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.”
Atas hal ini Hadhrat Mia Bashir Ahmad Sahib mengatakan, “Al-amru fauqol adab.” Yakni, perintah itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari adab dan rasa homat. Mendengar ini beliau duduk dengan sikap penuh homat.”
Putra beliau menutukan, “Ayah saya seorang yang tidak banyak bicara, disiplin dalam shalat lima waktu serta dawam dalam tahajud. Beliau biasa membayar candah atas nama para Almarhum. Beliau merawat dan mengkhidmati para sesepuh dalam keluarga di rumah beliau. Beberapa di antara mereka ada yang wafat di rumah kami. Beliau memiliki jalinan kesetiaan dan kecintaan dengan Khilafat dan berusaha memastikan ini juga terdapat dalam diri kami. Ketika saya kecil beliau membawa saya untuk shalat dan di jalan sering mengatakan kepada saya, kapanpun Khalifah memanggilmu untuk bekerja maka kamu harus senantiasa siap. Beliau juga menanggung pengeluaran rumah tangga beberapa orang miskin.
Putri beliau, Amatussalam menuturkan, “Ayahanda saya menghibahkan dari Jaidadnya sebidang tanah di Mahallah Nasir Abad Sultan, Rabwah dengan tujuan pembangunan Masjid atas nama Sadr Anjuman Ahmadiyah. Beliau biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali dalam sebulan. Beliau memiliki 5 putri dan 1 putra, semuanya beliau berikan pendidikan dan tarbiyat dengan baik.
Dzikr khair selanjutnya adalah yang terhormat Malik Khaliq Daad Sahib dari Kanada yang wafat di usia 85 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Kakek beliau dari pihak ibu, Hadhrat Syekh Nuruddin Sahib, Tajir Qadian adalah seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan kakek beliau dari pihak ayah yang terhormat Maula Daad Sahib mendapatkan taufik masuk ke dalam Ahmadiyah dengan baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Awwal r.a. Dalam kurun waktu yang lama Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Ketua Halqah di Karachi. Di Kanada Almarhum berkhidmat di Departemen Maal.
Beliau sosok yang disiplin dalam shalat dan puasa, penyayang, banyak membantu orang-orang miskin, saleh, mukhlis dan setia. Beliau selalu terdepan dalam pembayaran candah dan ikut serta dalam berbagai gerakan pengorbanan harta. Beliau memiliki jalinan kecintaan yang kuat dengan Khilafat dan saya (Huzur) pun melihat ini dalam diri beliau. Beliau memiliki hubungan yang luar biasa dengan Khilafat. Dengan karunia Allah Ta’ala Almarhum termasuk di antara para Mushian Awalin. Di antara yang ditinggalkan, selain istri juga 4 orang putra dan 3 orang putri. Seorang putra beliau sedang berkhidmat di Amilah Nasional Kanada.
Jenazah selanjutnya, Muhammad Salim Sabir Sahib, karyawan Nazarat Umur Ammah. Beliau wafat pada 27 Maret di usia 77 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga Salim Sabir Sahib melalui ayahanda beliau, Hadhrat Mia Nur Muhammad Sahib, seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang tinggal di Wanjua, sebuah kampung dekat Qadian dan pada tahun 1903 beliau datang sendiri ke Qadian lalu berbaiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.
Beliau ditugaskan di Sadr Anjuman Ahmadiyah sejak 19 Mei 1962. Setelah itu pada tahun 1968 beliau dimutasikan dari Diwan ke kantor Private Secretary. Hadhrat Khaifatul Masih Ats-Tsalits r.h. sendiri yang memilih beliau untuk berkhidmat di kantornya. Kemudian sejak 1987 hingga 2006 beliau sebagai Muhtasib (juru kalkulasi) di Umur Ammah. Masa pengkhidmatan beliau kurang lebih selama 65 tahun. Almarhum seorang Mushi. Keponakan dan menantu beliau menuturkan bahwa beliau dawam tahajud. Beliau biasa berdoa dengan begitu penuh keperihan dalam shalat-shalat pada umumnya dan dalam tahajud pada khususnya sehingga orang yang duduk di samping beliau hatinya akan meleleh juga.
Beliau secara rutin memberikan daras mengenai ketaatan kepada Khalifah-e-waqt kepada generasi muda. Di luar dari jam kantor beliau biasa meluangkan waktu untuk bekerja di kantor. Beliau menganggap kedukaan dan kesulitan yang dialami oleh Ahmadi lain sebagai kedukaan dan kesulitan beliau sendiri juga dan beliau biasa menyelesaikan permasalahan orang-orang dengan mengedepankan ketaatan pada Khalifah-e-waqt dan ketaatan pada Jema’at. Setiap saat beliau mewiridkan shalawat dan menolong orang-orang miskin secara diam-diam. Beliau memiliki begitu banyak keistimewaan.
Jenazah selanjutnya, yang terhormat Naimah Latifah Sahibah, istri dari Sahibzada Mahdi Latif Sahib dari Amerika. Beliau wafat pada 10 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Suami beliau, yang terhormat Sahibzada Mahdi Latif Sahib adalah cucu dari Hadhrat Sahibzada Abdul Latif Sahib Syahid. Pada 1969 Almarhumah meraih gelar Master di bidang Botani dari Universitas Peshawar. Kemudian beliau mulai melakukan pekerjaan riset di Departemen Botani Lembaga Penelitian Peshawar. Beliau terlibat di sana hingga 1972.
Pada 1970 atas himbauan dari Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. beliau mewaqafkan diri di bawah Nusrat Jahan. Adik laki-laki beliau, Said Malik Sahib juga berangkat ke Nigeria dan tinggal di sana hingga 1975 dan pada masa itu beliau berkhidmat sebagai Principal di Women Arabic Teachers College. Pada 1975 beliau berangkat ke Amerika. Di sini kemudian beliau bekerja sebagai peneliti di Departemen Botani Universitas Nebraska. Kemudian dari sana beliau pindah ke Marryland. Di Marryland beliau secara terus menerus mendapatkan kesempatan berkhidmat di Lajnah dan juga mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Sadr Lajnah Amerika. Beliau juga melaksanakan tugas sebagai Sadr Lajnah Washington. Beliau seorang wanita yang penuh kasih sayang dan berempati terhadap kesedihan orang lain. Almarhumah adalah seorang Mushiah. Di antara yang ditinggalkan, selain suami beliau juga 4 orang saudara laki-laki dan 2 orang saudara perempuan. Beliau tidak mempunyai anak. Seorang saudara laki-laki beliau adalah Naib Amir Amerika dan seorang lainnya berkhidmat di Darul Qadha Amerika.
Jenazah selanjutnya, Shafiyah Begum Sahibah, istri Muhammad Syarif Sahib, dari Kanada yang wafat di usia 80 tahun pada 11 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah kakak dari yang terhormat Maulwi Ciragh Din Sahib, Mantan Mubaligh Jema’at Peshawar. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sadr Lajnah di Wah Cannt untuk waktu yang lama.
Suami beliau wafat pada 1993 dalam sebuah kecelakaan. Setelah kewafatan suaminya beliau memberikan tarbiyat yang terbaik kepada anak-anaknya. Beliau seorang wanita yang disiplin dalam shalat dan puasa, rajin tahajud, penyabar dan senantiasa bersyukur. Beliau sangat rendah hati. Beliau seorang wanita yang baik dan penyayang. Wasiyat beliau pun 1/3.
Beliau meninggalkan 4 putri dan 1 putra. Semua anak beliau mendapatkan taufik berkhidmat pada Jema’at dengan satu atau lain cara. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada semua Almarhum dan meninggikan derajat mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Nama asli Abu Jahl ialah Amru bin Hisyam bin al-Mughirah dari Banu Makhzum. Satu kaum dengan Khalid bin Walid. Juga dengan ibu Hadhrat ‘Umar (ra). Harap bedakan antara Abu Jahl dengan Abu Lahab. Abu Lahab ialah putra ‘Abdul Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Ia saudara satu ayah lain ibu dengan ‘Abdullah, ayah Nabi Muhammad (saw).
[2] Usdul Ghabah.
[3] Perang Fijar dipicu oleh pembunuhan pihak Kinanah terhadap orang Hawazin. Kaum Quraisy mendukung Kinanah. Perang diakhiri dengan perjanjian damai dengan pembayaran sejumlah uang dari pihak Kinanah terhadap Hawazin. Panglima Quraisy saat itu ialah Harb bin Umayyah, ayah Abu Sufyan. Umur Nabi Muhammad (saw) saat kejadian ialah 10 tahuhan. Mengenai keikutsertaan beliau (saw) dalam hal ini ada dua pendapat, Ibnu Hisyam menyebut keikutsertaannya sebagai pembawa anak panah untuk paman-pamannya. Imam as-Suhaili, penulis ar-Raudh al-Unuf menyebut Nabi (saw) tidak ikut serta.
[4] Tahun gajah ialah istilah untuk tahun terjadinya penyerangan pasukan bergajah dari Yaman yang saat itu bawahan kerajaan Habsyah ke Makkah.
[5] Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Hisyam (السيرة النبوية لابن هشا), (نَهْيُ النَّبِيِّ أَصْحَابَهُ عَنْ قَتْلِ نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ).
[6] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d. Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), dzikr waqa’ah Badr al-Kubra (ذكر وقعة بدر الكبرى). Al-Mustadrak Ala Al-Sahihain, Vol. 3, pp. 247-248, Hadith 4988, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2002 (مستدرک علی الصحیحین جلد 3صفحہ 248-247حدیث 4988مطبوعہ دار الکتب العلمیہ بیروت 2002ء).
[7] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٣ – الصفحة ٢٦٧) dan Lawami’ul Anwar (لوامع الأنوار البهية وسواطع الأسرار الأثرية – ج 2): عن محمد بن إبراهيم عن أبي عمرو وذكوان قال قلت لعائشة من سمى عمر الفاروق قالت النبي صلى الله عليه وسلم .
[8] Ar-Riyadhun Nadhirah. Tarikhul Islam karya adz-Dzahabi (تاريخ الإسلام – الذهبي – ج ١ – الصفحة ١٨٠). Abu Nu’aim dalam ad-Dalail dan Ibnu Asakir dari Ibnu ‘Abbas (ابو نعيم في الدلائل وابن عساكر عن ابن عباس).
[9] Tarikh Madinah (تاريخ المدينة / ج: 2 ص: 662).
[10] Khalid Bin Al-Walid: Panglima Yang Tak Terkalahkan by Manshur Abdul Hakim. Satu-satunya petarung seusia yang pernah mengalahkan beliau ialah Khalid bin Walid.
[11] (رواه عبدالله بن عباس ، نقله السخاوي في المقاصد الحسنة); tercantum dalam ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ٢٦٩): اللّهمّ أيّدْ دينك بعمر بن الخطّاب .
[12] Sunan Ibni Maajah.
[13] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[14] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[15] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[16] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[17] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[18] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية في سيرة الأمين المأمون) karya ‘Ali bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن برهان الدين الحلبي).
[19] Tarikh al-Madinah karya Ibnu Syabah, akhbar ‘Umar ibnil Khaththab, Hadits 992 (تاريخ المدينة لابن شبة أخبار عمر بن الخطاب رضي الله عنه حديث رقم 992)
[20] Musnad Ahmad, Musnad `Umar b. al-Al-Khaththab (ra) (مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), 107
[21] Sahih al-Bukhari, Kitab keutamaan kaum Anshar (كتاب مناقب الأنصار), Islamnya Umar, 3866.