Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 27)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 161, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 27)

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz melanjutkan uraian tentang sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadhrat Abu Bakr ibn Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (رضی اللہ تعالیٰ عنہ). Berbagai peristiwa yang terjadi di masa Khilafat beliau.

Uraian mengenai kemenangan-kemenangan pasukan Muslim dalam peperangan menghadapi kekaisaran Iran (Persia) di masa Khilafat Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).

Pembahasan berdasarkan rujukan Kitab-Kitab Sejarah di kalangan umat Islam baik periode abad-abad awal seperti Tarikh ath-Thabari, jaman pertengahan seperti Ibnu al-Atsir, Ibnu Katsir dan al-Hamawi maupun penulis masa kini asal Timur Tengah seperti ‘Umar Abu an-Nashr, Haikal, ash-Shalabi, Taha Husain dan asal anak benua India-Pakistan seperti ‘Ali Muhsin Shidiqi, Shadiq Husain Shidiqi.

Perang Dzatus Salasil atau perang rantai. Surat-menyurat antara pihak Muslim di bawah kepemimpinan Hadhrat Khalid bin Walid (ra) dengan pihak Persia, panglima Hurmuz.

Pembagian harta rampasan perang.

Perang Ubullah yang kemungkinan terjadi dua kali di masa Khalifah Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra).

Perang Madzar. Tawanan perang pihak Iran dan informasi mengenai sebagian kalangan mereka yang masuk Islam dan nantinya menurunkan tokoh-tokoh terkenal umat Islam, seperti Muhammad ibnu Sirin dan Hasan al-Bashri.

Perang Walajah. Bantuan pihak Kristen Arab pendukung kekaisaran Iran terhadap pasukan Iran dalam menghadapi pihak Muslim.

Kebijakan Khalifah Abu Bakr (ra) yang diteruskan para panglima di lapangan agar memperlakukan baik dan lunak terhadap para petani keturunan Arab yang tertindas di bawah kerajaan Iran.

Perang Ullais. Kegeraman kaum Arab Kristen pendukung kekaisaran Iran mengetahui kekalahan pihak Iran di perang sebelumnya membuat mereka berhimpun di bawah panglima Iran bernama Jaban yang memimpin di medan perang. Sebab-sebab teknis kekalahan pihak Iran di perang Ulais: sakitnya raja Iran sehingga panglima besar Iran, Bahman fokus merawat raja dan tidak memberikan petunjuk teknis kepada panglima di medan perang; kedua, panglima Jaban tidak didengar petunjuk-petunjuknya oleh para pasukannya.

Kekalahan pasukan Iran dan narasi beberapa buku sejarah umat Islam tentang pembantaian tawanan Iran oleh pasukan Muslim. Pandangan Researh Cell (Dewan Riset Jemaat) yang meneliti dan memberi masukan-masukan konstruktif dan solutif atas persoalan yang perlu diteliti.

Pandangan pemikir Muslim kontempores: Doktor Thaha Husain dari Mesir dan Shadiq Husain Shidiqi dari kalangan Asia selatan.

Perang Amghisiya.

Kedatangan utusan dari medan perang bernama Jandal dan dialognya dengan Khalifah. Pujian Khalifah tentang sosok langka Hadhrat Khalid bin Walid (ra).

Salah satu faktor utama kemenangan umat Islam dalam perang ini adalah kebijakan Hadhrat Abu Bakr (ra) yang beliau rumuskan berkenaan dengan para petani Irak dan yang dilaksanakan secara ketat oleh Hadhrat Khalid (ra). Di bawah kebijakan ini, beliau tidak mengusik para petani. Di mana pun mereka menetap, mereka diizinkan untuk tinggal di sana dan tidak memungut kompensasi atau pajak apa pun dari mereka kecuali sejumlah kecil jizyah.

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 22 Juli 2022 (Wafa 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Dzulhijjah 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]

(آمين)

Sebagaimana saya telah sampaikan pada Jumat yang lalu, hari ini akan dibahas berkenaan dengan agresi dalam menghadapi Iran yang dilakukan di masa Hadhrat Abu Bakr (ra). Dalam rangkaian tersebut, terdapat satu perang yang dinamakan perang Dzatus Salasil (ذات السلاسل) atau perang Kadzimah. Perang ini terjadi pada bulan Muharam tahun 12 Hijriah. Perang ini dikenal dengan tiga nama, yaitu perang Dzatus Salasil, perang Kadzimah (كَاظِمَةَ) dan perang Hafir (الْحَفِيرَ). Perang ini disebut perang Dzatus Salasil, yakni perang yang dirantai, karena dalam bahasa Arab, rantai disebut silsilah, yang bentuk jamaknya adalah salaasil. Karena dalam perang ini, tentara Iran merantai diri mereka sendiri sehingga tidak ada yang bisa melarikan diri dari perang.

Beberapa sejarawan tidak mengakui riwayat berkenaan dengan perang Dzatus Salasil tersebut.

Perang ini terjadi antara umat Islam dan orang-orang Iran di dekat Kadzimah, oleh karena itu juga dikenal sebagai pertempuran Kadzimah. Kadzimah adalah satu kota di teluk yang terletak dalam perjalanan dari Bashrah ke Bahrain.[1] Pertempuran ini juga dikenal sebagai pertempuran Hafir karena terjadi di wilayah Hafir.[2] Komandan dalam pertempuran ini dari pihak Muslim adalah Hadhrat Khalid bin Walid (ra) dan nama komandan dari pihak Iran adalah Hurmuz. Pasukan Muslim berjumlah delapan belas ribu.[3]

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam khotbah-khotbah yang lalu bahwa Hurmuz (هُرْمُزَ) adalah penguasa di wilayah tersebut yang mewakili pemerintahan Iran, yang lebih unggul dari sebagian besar bangsawan Iran dalam hal garis keturunan dan pangkat. Para pejabat Iran memiliki kebiasaan mengenakan topi mahal daripada topi yang sederhana dan biasa memakai topi mahal sesuai dengan kedudukan orang tersebut dari segi garis keturunan dan pangkat. Topi paling mahal dikatakan bernilai 100.000 dirham, yang hanya bisa dikenakan oleh orang yang telah mencapai tingkat pangkat dan kedudukan tertinggi, dan status Hurmuz dapat diperkirakan dari fakta bahwa harga topinya juga adalah 100.000 dirham.

Kehormatan Hurmuz diakui di mata orang-orang Iran, namun di kalangan orang-orang Arab yang tinggal di perbatasan, dia dipandang dengan kebencian karena ia yang paling keras dan zalim dari semua penguasa di perbatasan. Kebencian orang-orang Arab – yakni orang-orang Arab non-Muslim – telah mencapai sedemikian rupa, sehingga mereka menyebut nama Hurmuz sebagai permisalan ketika merujuk pada kejahatan seseorang. Mereka (orang-orang Arab) biasa mengatakan, أَخْبَثُ مِنْ هُرْمُزَ “Si fulan (dia) lebih jahat dari Hurmuz” atau “Si fulan lebih bertabiat buruk dan bengis dari Hurmuz”, أَكْفَرُ مِنْ هرمز “Si fulan lebih tidak tahu terimakasih dari Hurmuz.” Karena hal ini, Hurmuz harus terus-menerus menghadapi serangan dan pertempuran kecil, dan di sisi lain, Hurmuz terus menerus mengalami bentrokan dengan bajak laut dari India.[4]

Bagaimanapun, Hadhrat Khalid bin Walid (ra) telah menulis surat kepada Hurmuz sebelum meninggalkan Yamamah. Beliau menulis dalam suratnya, أَمَّا بَعْدُ، فَأَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَوِ اعْتَقِدْ لِنَفْسِكَ وَقَوْمِكَ الذِّمَّةَ، وَأَقْرِرْ بِالْجِزْيَةِ، وَإِلا فَلا تَلُومَنَّ إِلا نَفْسَكَ، فَقَدْ جِئْتُكَ بِقَوْمٍ يُحِبُّونَ الْمَوْتَ كَمَا تُحِبُّونَ الْحَيَاةَ “Ammaa ba’du. Patuhlah! Maka kamu akan aman atau mendapatkan jaminan keamanan untuk dirimu sendiri dan kaummu. Bersedialah untuk membayar jizyah, jika tidak, kamu tidak akan bisa menyalahkan siapapun selain dirimu sendiri. Untuk menghadapimu, aku telah membawa suatu kaum yang mencintai kematian seperti kamu mencintai kehidupan”[5]

Ketika surat Hadhrat Khalid (ra) sampai kepada Hurmuz, ia melaporkannya kepada Kisra Ardashir Shah dan mengumpulkan pasukannya dan dengan detasemen cepat segera sampai di Kadzimah untuk menghadapi Hadhrat Khalid (ra) dan maju dengan kudanya. Namun dia tidak mendapati Hadhrat Khalid (ra) di jalan tersebut dan ia diberitahu bahwa pasukan Muslim sedang berkumpul di Hafir. Karena itu, dia berbalik dan menuju Hafir. Hafir adalah persinggahan pertama dalam rute perjalanan dari Bashrah ke Mekah. Begitu sampai di sana, ia membariskan pasukannya. Hurmuz menunjuk dua orang bersaudara di kanan dan kirinya. Salah satunya bernama Qabaz dan yang lainnya bernama Anush Jan.

Orang-orang Iran merantai diri mereka sendiri. Dalam riwayat tersebut dikisahkan seperti itu, dan dikatakan bahwa kemudian orang-orang yang menentang hal tersebut, ketika mereka melihat pemandangan ini, berkata, “Kalian telah merantai diri kalian sendiri untuk musuh. Janganlah lakukan ini. Ini pertanda yang buruk.” Mereka yang mendukung untuk dirantai menjawab bahwa, “Kami telah menerima informasi tentang kalian bahwa kalian berniat untuk melarikan diri.”

Ketika Hadhrat Khalid (ra) diberitahu tentang kedatangan Hurmuz di Hafir, beliau membawa pasukannya dan berbalik ke arah Kadzimah.

Ketika Hurmuz mengetahui hal ini, ia segera pergi ke Kadzimah dan berkemah di sana. Hurmuz dan pasukannya berbaris dan menguasai sumber air. Ketika Hadhrat Khalid bin Walid (ra) tiba, beliau terpaksa turun ke tempat yang tidak ada airnya. Orang-orang mengeluh mengenai hal ini kepada beliau.

Juru bicara beliau mengumumkan, “Semua orang harus turun dan menurunkan barang bawaan mereka dan melawan musuh untuk mendapatkan air, karena demi Allah, air akan dikuasai oleh kelompok yang paling teguh dari kedua kelompok dan yang paling terhormat dari kedua pasukan tersebut.”

Atas hal itu, barang bawaan diturunkan. Pasukan kavaleri (pasukan berkendaraan) tetap di tempatnya, sedangkan pasukan infanteri (pasukan tanpa kendaraan atau pejalan kaki) maju dan menyerang musuh. Ketika kedua belah pihak mulai berperang, Allah Ta’ala mengirimkan awan mendung, hujan turun di belakang barisan umat Islam dan umat Islam mendapat kekuatan darinya.

Hurmuz menyiapkan rencana jahat untuk Hadhrat Khalid (ra). Dia memberi tahu pasukan pengawalnya bahwa, “Aku akan menantang Hadhrat Khalid (ra) untuk berduel dan sementara aku membuatnya sibuk denganku, kalian harus menyerang Hadhrat Khalid (ra) secara diam-diam dengan tiba-tiba.” Setelah itu, Hurmuz pergi ke medan laga dan Hadhrat Khalid (ra) turun dari kudanya. Hurmuz juga turun dari kudanya dan menantang Hadhrat Khalid (ra) untuk berduel. Hadhrat Khalid (ra) berjalan ke arahnya dan keduanya bertempur. Kedua belah pihak saling menyerang. Hadhrat Khalid (ra) menekan Hurmuz, atas hal itu pasukan pengawal Hurmuz dengan khianat menyerang Hadhrat Khalid (ra) dan mengepung beliau. Ketika terjadi pertarungan satu lawan satu seperti ini, semestinya yang lain tidak menyerang. Namun, pasukan Hurmuz menyerang Hadhrat Khalid (ra). Meskipun demikian Hadhrat Khalid (ra) berhasil menghabisi Hurmuz.

Segera setelah melihat pengkhianatan orang-orang Iran ini, Hadhrat Qa’qa bin Amru (ra) menyerang pasukan pengawal Hurmuz, mengepung mereka dan membunuh mereka. Orang-orang Iran menelan kekalahan dan melarikan diri. Qubaz dan Anush Jan juga termasuk di antara mereka yang melarikan diri. Kaum Muslimin mengejar orang-orang Iran di kegelapan malam dan membunuhi mereka sampai ke jembatan besar di atas sungai Efrat, di mana Bashrah sekarang berada.

Di akhir pertempuran, Hadhrat Khalid (ra) mengumpulkan harta rampasan perang. Termasuk di dalamnya rantai seberat seekor unta. Berat rantai tersebut 1000 ratal, yaitu sekitar 375 kilogram. Harta rampasan perang tersebut dikirim kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Di antaranya topi Hurmuz yang berharga 100.000 dirham dan berhiaskan permata. Hadhrat Abu Bakr memberikan topi ini kepada Hadhrat Khalid bin Walid (ra). Hadhrat Khalid (ra) mengirim seperlima dari harta ghanimah dan seekor gajah ke Madinah sebagai kabar suka kemenangan dan mengumumkan kemenangan pasukan Islam di setiap penjuru. Zirru bin Kulaib (زِرُّ بْنُ كُلَيْبٍ) tiba di Madinah dengan seperlima harta rampasan perang dan seekor gajah.

Penduduk Madinah tidak pernah melihat gajah sebelumnya. Jangankan penduduk Madinah, hingga hari itu tidak ada penduduk Arabia lain yang pernah melihat penampakan seekor gajah selain gajah-gajah Abrahah. Ketika diarak ke seluruh kota untuk dipertontonkan kepada orang-orang, para wanita tua sangat terkejut melihat gajah itu dan mengatakan, “Apakah yang kami lihat ini merupakan ciptaan Tuhan?” Mereka pikir itu adalah suatu benda buatan manusia. Hadhrat Abu Bakr (ra) mengirim gajah ini kembali kepada Hadhrat Khalid (ra) bersama Zirru.[6]

Salah satu faktor utama kemenangan umat Islam dalam perang ini adalah kebijakan Hadhrat Abu Bakr (ra) yang beliau rumuskan berkenaan dengan para petani Irak dan yang dilaksanakan secara ketat oleh Hadhrat Khalid (ra). Di bawah kebijakan ini, beliau tidak mengusik para petani. Di mana pun mereka menetap, mereka diizinkan untuk tinggal di sana dan tidak memungut kompensasi atau pajak apa pun dari mereka kecuali sejumlah kecil jizyah.[7]

Dalam pertempuran Dzaatus Salaasil, para penunggang kuda yang ikut berperang diberi bagian 1000 dirham, sementara mereka yang berjalan kaki diberi sepertiganya.[8]

Pertempuran Kadzimah terbukti memiliki konsekuensi yang luas. Pertempuran ini membuka mata kaum Muslimin dan mereka melihat bahwa orang-orang Iran, yang ketenarannya telah terdengar sejak lama, tidak dapat melawan pasukan mereka yang sedikit meskipun mereka memiliki kekuatan penuh. Mereka bahkan tidak bisa membayangkan jumlah harta ghanimah yang mereka dapatkan dalam perang tersebut.[9]

Selanjutnya adalah pertempuran Ubullah. Pertempuran ini terjadi pada tahun 12 Hijriah. Hadhrat Abu Bakr (ra) menginstruksikan Hadhrat Khalid (ra) untuk memulai perang di Irak dari Ubullah, yang merupakan titik perbatasan di Teluk Persia. Kafilah dagang yang datang ke India dan Sindh dari Irak pertama-tama singgah di Ubullah.

Terdapat dua riwayat terkait dengan penaklukkan Ubullah. Salah satunya adalah bahwa Ubullah pertama kali ditaklukkan oleh umat Islam pada masa pemerintahan Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi kemudian diambil alih lagi oleh Iran, dan pada masa Hadhrat Umar bin Khattab (ra), umat Islam sepenuhnya menguasainya. Riwayat yang kedua adalah bahwa itu ditaklukkan pada masa Hadhrat Umar (ra).[10]

Namun demikian, ‘Allamah ath-Thabari dalam bukunya secara singkat menyebutkan mengenai pertempuran ini di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi setelah itu beliau menulis, وَهَذِهِ الْقِصَّةُ فِي أَمْرِ الأُبُلَّةِ وَفَتْحِهَا خِلافُ مَا يَعْرِفُهُ أَهْلُ السِّيَرِ، وَخِلافُ مَا جَاءَتْ بِهِ الآثَارُ الصِّحَاحُ، وَإِنَّمَا كَانَ فَتْحُ الأُبُلَّةِ أَيَّامَ عُمَرَ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَعَلَى يَدِ عُتْبَةَ بْنِ غَزْوَانَ فِي سَنَةِ أَرْبَعَ عَشَرَةَ مِنَ الْهِجْرَةِ، وَسَنَذْكُرُ أَمْرَهَا وَقِصَّةَ فَتْحِهَا إِذَا انْتَهَيْنَا إِلَى ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
 ”Kisah penaklukkan Ubullah selama kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr bertentangan dengan para sejarawan umum dan riwayat yang otentik karena penaklukan Ubullah dilakukan oleh Hadhrat Utbah bin Ghazwan (ra) pada tahun empat belas Hijriah pada masa Hadhrat Umar (ra).”[11] Dalam kitab-kitab tarikh lainnya pertempuran Ubullah telah disebutkan seperti itu.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 9)

Beberapa sejarawan mengatakan bahwa perang ini terjadi untuk pertama kalinya pada masa Hadhrat Abu Bakr (ra) dan beberapa menyangkal bahwa pertempuran ini tidak terjadi pada masa Hadhrat Abu Bakr (ra), melainkan pada masa Hadhrat Umar (ra). Namun dalam buku-buku sejarah, didapati riwayat yang menyebutkan bahwa pertempuran Ubullah dan penaklukkan Ubullah terjadi pada masa penuh berkat keduanya, yakni Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar (ra). Tampaknya, Ubullah ditaklukkan untuk pertama kalinya pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi kemudian orang-orang Ubullah memberontak dan memperoleh kebebasan karena bantuan angkatan laut dari Iran. Kemudian pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar (ra) ditaklukkan kembali untuk kedua kalinya.[12]

Bagaimanapun, rincian pertempuran Ubullah adalah sebagai berikut: وَلَمَّا نَزَلَ خَالِدٌ مَوْضِعَ الْجِسْرِ الأَعْظَمِ الْيَوْمَ بِالْبَصْرَةِ، بَعَثَ الْمُثَنَّى بْنَ حَارِثَةَ فِي آثَارِ الْقَوْمِ، وَأَرْسَلَ مَعْقِلَ بْنَ مُقَرِّنٍ الْمُزَنِيَّ إِلَى الأُبُلَّةِ لِيَجْمَعَ لَهُ مَالَهَا وَالسَّبْيَ، فَخَرَجَ مَعْقِلُ حَتَّى نَزَلَ الأُبُلَّةَ فَجَمَعَ الأَمْوَالَ وَالسَّبَايَا “Ketika pertempuran Dzatus Salasil berakhir, Hadhrat Khalid bin Walid (ra) mengirim Hadhrat Mutsanna (ra) untuk mengejar pasukan Iran yang kalah dan pada saat yang sama mengirim Hadhrat Ma’qil bin Muqarrin al-Muzani (مَعْقِلَ بْنَ مُقَرِّنٍ الْمُزَنِيَّ) ke Ubullah untuk mengumpulkan harta ghanimah setibanya di sana dan menangkap para tawanan. Maka dari itu, Hadhrat Ma’qil pergi dari sana dan tiba di Ubullah lalu mengumpulkan harta ghanimah dan tawanan.”[13]

Kemudian, di masa kekhalifahan Hadhrat Umar yang penuh berkat, rincian kemenangannya adalah sebagai berikut: “Hadhrat Umar mengirim Hadhrat Utbah bin Gazwan ke Bashrah pada 14 atau 16 Hijriah. Hadhrat Utbah tinggal 1 bulan di sana. Orang-orang Ubullah keluar untuk melawan mereka, yaitu 500 tentara asing yang dikirim untuk menjaga Ubullah. Hadhrat Utbah lalu bertempur melawan mereka dan mengalahkan mereka hingga mereka pun masuk ke perkotaan Iran. Hadhrat Utbah kembali ke pasukannya.

Allah telah menurunkan ketakutan di dalam hati orang-orang Persia. Mereka meninggalkan kota seraya membawa beberapa barang mereka lalu duduk di perahu dan pergi menyeberangi sungai sehingga seluruh kota menjadi kosong. Kaum Muslimin memasuki kota dan mereka mendapat banyak barang, senjata, dan berbagai hal lainnya, dan juga mendapat tawanan. Setelah menyisihkan kewajiban khumus dari semua barang tersebut, harta ghanimah pun dibagikan di antara para mujahid. Jumlah Muslimin saat itu adalah 300.”[14]

Kemudian Perang Madzar. Perang Madzar terjadi pada bulan Shafar tahun 12 Hijriah (وَقْعَةُ الْمذَارِ فِي صَفَرٍ سَنَةَ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ).[15]

Madzar terletak di wilayah Maysan (مَیْسَان).[16] Madzar berjarak 4 hari perjalanan dari Kota Bashrah. Pada hari peristiwa ini terjadi, banyak orang-orang yang menyebutkan bahwa bulan Safar telah tiba, dan siapa saja yang aniaya dan menentang akan dibunuh di tempat bertemunya dua sungai besar. Hurmuz berhadapan dengan Hadhrat Khalid bin Walid (ra) di perang Dzatus Salasil. Ia menulis kepada Rajanya agar mengirimkan bantuan.

Sang Raja lalu mengirim satu pasukan dibawah pimpinan Qarin (قَارِنٌ بْنِ قريانسَ) untuk menolongnya. Namun saat baru saja pasukan itu tiba di Madzar, Hurmuz telah dikalahkan [pasukan Muslim] di pertempuran Dzatus Salasil dan mereka menerima berita kematiannya.

Bersamaan dengan itu, pasukan Hurmuz yang telah mengalami kekalahan pun lantas bertemu dengan Qarin di Madzar. Beberapa regu pasukan berkata kepada regu lainnya,”Jika saat ini kalian terpisah-pisah maka kalian tidak akan pernah dapat bersatu; oleh karena itu, bersatulah kalian segera untuk kembali.” Atas hal itu, pasukan yang tengah melarikan diri itu dan pasukan bantuan yang baru datang dari Iran, kedua pasukan tersebut bersatu. Kedua pasukan saling mendorong satu sama lain agar perang kembali terjadi. Ini adalah pasukan baru sebagai bantuan dari Raja dan saat itu baru saja tiba. Mereka berkata, “Pasukan yang baru datang dan panglimanya yaitu Qarin telah ada bersama kami. Mungkin saja Tuhan akan memberi kemenangan kepada kita, dan Dia menurunkan kebebasan kepada kita dari musuh-musuh kita, dan kita sedapat mungkin dapat menghindar dari kerugian-kerugian kita.” Maka dari itu mereka pun melakukan hal tersebut, dan mereka berkemah di Madzar. Qarin menunjuk Qubadz (قُبَاذُ) dan Anush Jan (أَنُوشَجَانُ) yang sebelumnya melarikan diri dalam perang Dzatus Salasil sebagai garda depan.

Sementara itu, Hadhrat al-Mutsanna (الْمُثَنَّى) dan Hadhrat al-Mu’anna (الْمُعَنَّى) menyampaikan kabar tentang persiapan dari musuh ini kepada Hadhrat Khalid bin Walid (ra). Setelah Hadhrat Khalid (ra) mengetahui berita tentang Qarin, beliau pun segera membagikan harta ghanimah yang didapat di perang Dzatus Salasil kepada para mujahid yang mana Tuhan telah menetapkan harta ghanimah itu kepadanya, dan memberikan kelebihan harta Khumus yang ada kepada siapa yang menghendakinya. Kemudian, ia menyampaikan kepada Hadhrat Abu Bakr tentang kabar suka kemenangan yang diraih dalam perang tersebut beserta bagian harta ghanimah yang didapat di perang Dzatus Salasil. Selain itu disampaikan juga ke hadapan Hadhrat Abu Bakr bahwa pasukan musuh yang telah menelan kekalahan di perang Dzatus Salasil telah bersatu di satu tempat dengan pasukan baru yang datang di bawah pimpinan Qarin. Maka dari itu, Hadhrat Khalid (ra) pun berderap maju dan tiba di Madzar lalu merapatkan barisan pasukan beliau untuk menghadapi pasukan Qarin.

Kedua pasukan saling berhadapan dan terjadilah pertempuran sangat dahsyat diantara keduanya. Qarin lantas maju untuk bertempur.

Sementara itu di sisi lain, Hadhrat Khalid (ra) dan Hadhrat Ma’qil bin A’sya (مَعْقِلُ بْنُ الأَعْشَى بْنِ النَّبَّاشِ) maju untuk menghadapinya. Keduanya menyerbu ke arah Qarin, namun Hadhrat Ma’qil mendahului Hadhrat Khalid (ra) untuk sampai ke Qarin dan ia pun membunuhnya. Hadhrat ‘Asim membunuh Anush Jan, dan Hadhrat Adi membunuh Qubadz. Kematian ketiga petinggi tersebut menghilangkan keberanian pasukan Iran lalu mereka melarikan diri dari medan pertempuran. Sejumlah besar orang Persia terbunuh dalam peperangan ini. Adapun mereka yang dipukul mundur melarikan diri dengan perahu mereka.

Hadhrat Khalid (ra) bermukim di Madzar dan memberikan setiap harta [ghanimah] dari musuh yang tewas, berapapun nilainya, kepada mujahid yang telah membunuhnya, dan juga membagikan harta Fa’i kepada mereka. Beliau memberikan bagian harta khumus kepada mereka yang telah memberikan jasa yang istimewa. Lalu beliau mengirim bagian khumus (1/5) yang tersisa menuju Madinah melalui kafilah di bawah pimpinan Hadhrat Sa’id bin Nu’man (سَعِيدِ بْنِ النُّعْمَانِ أَخِي بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ).

Menurut satu riwayat, 30.000 tentara Iran telah terbunuh dalam perang ini. Jumlah ini adalah selain mereka yang tenggelam dan tewas di sungai. Disebutkan bahwa jika tidak ada rintangan berupa air sungai, maka tidak akan ada yang tersisa diantara mereka. Meski demikian, mereka yang telah melarikan diri pun berada dalam keadaan yang sangat memilukan dan mereka telah meninggalkan segalanya.

Setelah perang, musuh yang ikut dalam pertempuran dan mereka yang membantu pasukan Iran ditawan bersama para kerabat mereka. Diantara para tahanan adalah Abul Hasan Basri (ayah dari Hasan al-Bashri).[17]

Mengenai Abul Hasan al-Bashri ini, disebutkan bahwa ia telah menjadi Muslim. Ia merupakan ayahanda Imam Hasan al-Bashri, seorang ulama dan sufi dari Bashrah yang masyhur,. Disebutkan bahwa setelah menawan Abul Hasan Basri, ia lalu dibawa ke Madinah, dan di sana ia dimerdekakan oleh tuannya.[18]

Setelah penaklukan ini, para penduduk di tempat tersebut diperlakukan dengan sangat lunak. Para petani dan semua penduduk dibujuk untuk membayar jizyah tanpa ada sedikit pun paksaan dan mereka diperkenankan untuk tetap memiliki tanah dan lahan mereka. Setelah menyelesaikan tahap awal tersebut, Hadhrat Khalid (ra) beralih memperhatikan pengelolaan daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Para ‘Amil (juru pungut) ditunjuk untuk mengumpulkan jizyah. Untuk memastikan keamanan di wilayah yang telah ditaklukkan, beliau menetapkan pasukan di Hafir dan di Jisr-e-A’zam (jembatan yang terbesar). Beliau mengatur dan menata mereka agar lebih terorganisasi serta mengangkat para pemimpin untuk setiap regu pasukan. Beliau menganjurkan mereka untuk senantiasa siaga akan pergerakan musuh baik secara diam-diam maupun terbuka dan memerintahkan mereka untuk segera menghadapi musuh jika sesuatu terjadi.

Hal apa lagi yang lebih menjadi bukti tingginya kemampuan kemiliteran Hadhrat Khalid (ra) selain hasil awal pergerakan mereka menuju tanah Iran yaitu dikalahkannya para prajurit tangguh Kisra yang dampaknya ialah segenap kepercayaan diri dan gejolak semangat mereka (prajurit Iran) pun menjadi dapat diredam.

Perang Madzar terjadi di tempat yang berjarak dekat dari Hirah. Hirah terletak di sekitar pertengahan antara Khalij dan Madain.[19] Setelah usai dari pertempuran ini, Hadhrat Khalid bin Walid (ra) lalu beralih mengumpulkan kabar tentang aktifitas musuh, supaya beliau dapat mengetahui pergerakan mereka, apakah mereka kembali bersatu untuk melawan Islam atau tidak.[20]

Kemudian Pertempuran Walajah. Perang Walajah terjadi di tahun 12 Hijriah. Walajah adalah daerah gersang yang terletak di dekat Kaskar (كَسْكَرٍ). Karena di perang Madzar, kaum Iran telah mengalami kekalahan yang memalukan dimana para petinggi mereka pun telah terbunuh, maka Kaisar Iran menempuh satu strategi baru dan merencanakan pertempuran melawan kaum Muslimin ini dengan persiapan lebih matang. Maka dari itu, pemerintah Iran memanggil satu kabilah Kristen yang sangat besar yang tinggal di Irak yang ada di bawah kepemimpinan Bakar bin Wail untuk kembali ke Iran dan membujuk mereka agar bertempur melawan kaum Muslim, dan membentuk satu pasukan serta menyerahkan kepemimpinan pasukan tersebut kepada Andarzakr, seorang ksatria berkuda yang masyhur, lalu memberangkatkan laskar ini menuju Walajah.

Di Iraq, tinggal satu kabilah Kristen yang sangat besar yaitu Bakr bin Wail. Kaisar Ardeshir memanggil mereka dan membentuk satu pasukan dari mereka dan mengirim mereka menuju Walajah untuk menghadapi kaum Muslimin. Orang-orang di sekitar Hirah dan Kaskar serta para petani pun ikut dalam laskar tersebut.

Hirah adalah satu kota yang terletak 3 mil ke arah barat daya dari Kufah. Kaskar adalah satu daerah diantara Kufah dan Bashrah.

Meski demikian, mereka beranggapan bahwa kelak kemenangan atas kaum Muslim tidak akan sepenuhnya menjadi milik kaum Kristen Arab, karena di belakang mereka pun ia [Kaisar Iran] telah mengirim satu panglima besarnya yaitu Bahman Jazwiyah bersama satu pasukan yang besar.[21] Tatkala panglima persia ini merasa jumlah pasukannya telah terlampau besar, ia pun memutuskan untuk menyerang Hadhrat Khalid bin Walid (ra).

Hadhrat Khalid bin Walid (ra) tengah berada di dekat Bashrah saat beliau mendengar kabar berkumpulnya pasukan Persia di Walajah. Beliau memutuskan untuk menyerang pasukan Persia dari tiga arah untuk memecah belah kesatuan mereka, dan juga menyerang mereka secara tiba-tiba untuk membingungkan pasukan persia.[22] Maka dari itu beliau mengangkat Suwaid bin Muqarrin sebagai panglima pengganti dan memerintahkannya untuk tinggal di Hafir dan mendatangi orang-orang yang telah meninggalkan bagian bawah Dajlah. Beliau memerintahkannya untuk setiap saat selalu waspada akan musuh, dan tidak jatuh dalam kelalaian dan tipu daya mereka serta membawa pasukan beliau untuk maju ke arah Walajah. Mereka lalu maju menghadapi pasukan musuh dan para sekutu mereka sehingga terjadilah pertempuran yang sangat sengit.

Hadhrat Khalid bin Walid (ra) melingkupi kedua sisi pasukan musuh dengan para mujahid Muslim. Pada akhirnya kedua pasukan tersebut menyerang pasukan musuh dari kedua arah. Pasukan Iran lantas menelan kekalahan dan melarikan diri. Namun, Hadhrat Khalid bin Walid (ra) mengepung mereka dari depan dan dari belakang dengan perantaraan kedua pasukan yang di kedua sisi sehingga mereka pun tidak peduli dan menyerang satu sama lain. Panglima pasukan musuh menelan kekalahan dan pada akhirnya terbunuh. Hadhrat Khalid bin Walid (ra) lalu memperlakukan para petani sebagaimana sebelumnya, yakni tidak membunuh siapa pun dari mereka. Beliau hanya menawan anak-anak para prajurit dan para pembantu mereka lalu mengajak para penduduk negeri tersebut secara umum untuk menjadi penduduk dzimmi serta membayar jizyah yang mana mereka pun menerimanya.[23]

Kemudian terkait Perang Ulais. Perang Ulais terjadi pada bulan Safar tahun 12 Hijriah. Ulais adalah satu permukiman yang terletak di wilayah Anbar di Iraq. Kaum Kristen lain merasa sangat geram setelah mendengar satu kekalahan lagi yang menimpa kabilah Bakr bin Wail dan kaum Iran di tangan Hadhrat Khalid (ra). Mereka menyampaikan melalui surat ke kaum Iran dimana pihak Iran membalas suratnya lalu mereka semua berkumpul di Ulais. Abdul Aswad al-‘Ijli ditunjuk sebagai pemimpin mereka.

Demikian pula Raja Iran menulis surat kepada Bahman Jadawiyah (بهمن جادویه) agar ia membawa laskarnya menuju Ulais dan bertemu dengan orang-orang Arab dan Kristen yang telah berkumpul di sana. Namun, Bahman Jadawiyah (بهمن جادویه) tidak pergi bersama pasukannya. Ia memberangkatkan seorang panglima yang terkenal dan pemberani yaitu Jaban (جَابَانُ) untuk menggantikannya, dan memerintahkannya, “Bangkitkanlah semangat berperang diantara segenap orang namun jangan bertempur sebelum saya tiba kecuali jika mereka (pihak Muslim) memulai menyerang terlebih dahulu.”

Jaban bergerak menuju Ulais.

Bahman Jazwiyah sendiri pergi ke hadapan Raja Ardesyir untuk berbincang dengannya. Namun, setiba di sana ia mendapati sang Raja tengah sakit sehingga ia pun harus sibuk mengurusnya dan tidak memberi petunjuk apapun kepada Jaban.

Terkait:   Riwayat ‘Umar Bin Al-Khaththab (4)

Jaban sendiri beserta laskarnya bergerak menuju perang Mahaz dan tiba di Ulais pada bulan Safar.[24] Berbagai kabilah dan kaum Kristen Arab di sekitar wilayah Hirah berkumpul dengan Jaban.

Tatkala Hadhrat Khalid (ra) mendapat kabar tentang berkumpulnya kelompok-kelompok Kristen tersebut, beliau bergerak untuk menghadapi mereka, namun beliau tidak mengetahui Jaban pun telah dekat. Saat itu Hadhrat Khalid (ra) hanya berniat untuk bertempur menghadapi orang-orang Arab dan Kristen tersebut, namun di Ulais ia telah harus menghadapi Jaban.

Tatkala Jaban telah tiba di Ulis, saat itu orang-orang bukan Arab bertanya kepada Jaban, “Apa pendapat Anda? Haruskah kita mencari tahu tentang mereka terlebih dahulu ataukah memberi makan orang-orang?” Artinya, apakah memulai pertempuran atau makan makanan terlebih dahulu dan kemudian bertempur melawan mereka setelah makan.

Jaban berkata, “Jika musuh tidak menyerang kalian, kalian juga harus tetap diam, tetapi saya pikir mereka akan menyerang kalian secara tiba-tiba dan tidak akan membiarkan kalian makan.”

Orang-orang ini tidak menuruti perkataan Jaban, lalu menggelar hidangan. Makanan dipilih dan semua orang dipanggil lalu mereka mulai sibuk makan.[25]

Setelah sampai di dekat musuh, Hadhrat Khalid (ra) berhenti lalu memerintahkan untuk menurunkan barang-barang dan setelah selesai, perhatian tertuju ke arah musuh. Hadhrat Khalid (ra) menunjuk penjaga untuk melindungi bagian belakangnya lalu maju ke garis musuh untuk menantangnya, dengan mengatakan, أَيْنَ أَبْجَرُ؟ أَيْنَ عَبْدُ الأَسْوَدِ؟ أَيْنَ مَالِكُ بْنُ قَيْسٍ؟ “Di manakah Abjar? Di mana Abd al-Aswad? Di mana Malik bin Qais?”

Kecuali Malik, semua orang diam karena pengecut. Malik tampil untuk menghadapi Hadhrat Khalid (ra).

Hadhrat Khalid (ra) berkata kepadanya, “Apa yang memberimu keberanian untuk datang melawanku? Kamu tidak akan sanggup untuk melawanku?” Setelah mengatakan ini, Hadhrat Khalid (ra) menyerang dan membunuhnya dan membuat orang-orang ‘Ajam (non Arab) itu luput dari hidangan makanan sehingga belum sempat menyantapnya.

Jaban berkata kepada kawan-kawannya, “Bukankah saya sudah memberitahumu tadi untuk tidak makan dulu? Demi Tuhan! Saya belum pernah mengalami teror dari seorang Jenderal seperti yang terjadi hari ini dalam pertempuran ini.”

Ketika orang-orang itu tidak bisa makan, mereka berkata untuk menunjukkan keberanian mereka, “Kami meninggalkan makanan untuk saat ini sampai kami dapat menyingkirkan kaum Muslim, lalu kami akan makan.”

Jaban berkata, “Demi Allah! Saya pikir kalian telah menyimpan makanan ini untuk musuh. Jangan berpikir bahwa kalian akan menang dan kemudian akan memakannya. Sebaliknya, saya berpikir bahwa hanya musuhlah yang akan memakan makanan ini, yaitu, umat Islam yang akan memakannya, sementara kalian tidak sadar. Sekarang dengarkanlah!”

Kemudian, ia berkata kepada orang-orang, “Dengarkanlah, bagaimana kalau kita campurkan racun ke makanan. Jika kalian menang, kerugian ini jauh lebih sedikit daripada kehilangan makanan. Jika musuh menang, kalian akan melakukan sesuatu yang akan menyebabkan musuh menderita karena memakan makanan beracun.”

Tetapi, mereka merasa yakin akan kemenangannya. Orang-orang ini mengatakan, “Tidak! Tidak perlu mencampurkan racun. Kitalah yang akan memenangkan perang dengan mudah dan kemudian makan.”

Hadhrat Khalid (ra) mengatur pasukannya seperti yang beliau lakukan dalam pertempuran sebelumnya. Pertempuran sengit pun terjadi.[26]

Orang-orang Iran mengharapkan kedatangan Bahman Jadawiyah supaya mereka tetap teguh dan bertempur dengan sengit karena Jaban memberi mereka harapan bahwa dia (Bahman) telah berbaris dengan pasukan besar dan akan segera tiba, padahal sebenarnya adalah disebabkan sakitnya raja, Bahman tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan situasinya kepada raja dan juga tidak bisa membawa pasukan, bahkan dia juga tidak ada kontak dengan Jaban. Namun, dalam perang ini, kaum Muslim juga bertempur dengan penuh semangat, dan pertempuran sengit pun terjadi.

Mengacu pada semangat tentara Iran dan melemahnya keadaan umat Islam, seorang penulis Sirah (biografi Sejarah) menulis, “Orang-orang Kristen [pendukung Iran] menyerang [pasukan Muslim] lebih dulu di antara laskar Iran, tetapi pemimpin mereka, Malik bin Qais, terbunuh. Terbunuhnya Malik membuat keadaan berbalik dan mereka menjadi ciut. Melihat ini, Jaban mendorong tentara Iran ke depan. Orang-orang Iran bertempur dengan gagah berani dengan harapan Bahman akan membawa bala bantuan baru.

Orang-orang Muslim menyerang lagi dan lagi, tetapi setiap kali orang-orang Iran menggagalkan serangan itu dengan keberanian dan kegigihan yang besar. Akhirnya, Hadhrat Khalid bin Walid (ra), melihat bahwa sarana tidak mencukupi lalu dengan kerendahan hati mengangkat tangannya dan memanjatkan doa, اللَّهُمَّ إِنَّ لَكَ عَلَيَّ إِنْ مَنَحْتَنَا أَكْتَافَهُمْ أَلا أَسْتَبْقِي مِنْهُمْ أَحَدًا قَدَرْنَا عَلَيْهِ حَتَّى أُجْرِيَ نَهْرَهُمْ بِدِمَائِهِمْ! ‘Ya Allah, jika Engkau memberiku kemenangan atas musuh-musuhku, aku tidak akan membiarkan satu musuh pun hidup dan sungai ini akan menjadi merah dengan darah mereka.’”[27]

Dalam beberapa buku dikatakan bahwa Hadhrat Khalid (ra) telah bersumpah atau bernazar jika mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, ia tidak akan membiarkan prajurit musuh hidup. Namun, setelah itu, Hadhrat Khalid (ra) melakukan siasat dengan memerintahkan tentara untuk menyerang bagian belakang tentara Iran dari sisi kanan dan kiri. Tentara Iran kocar-kacir dengan serangan ini dan menyelamatkan diri dengan melarikan diri atau menyerah. Hadhrat Khalid (ra) memerintahkan untuk menangkap musuh dan menawan mereka dan tidak membunuh siapa pun kecuali yang melawan. Hanya dibenarkan membunuh mereka yang melawan.[28]

Terdapat catatan dari Researh Cell (saluran riset dan penelitian) tentang ini dan saya telah melihatnya dan tampaknya benar. Dalam menjelaskan hal ini, banyak penulis biografi dan sejarawan, termasuk penulis Tarikh ath-Thabari, telah menyebutkan bahwa sesuai dengan janji yang telah dipanjatkan oleh Hadhrat Khalid (ra) dalam doanya, para tahanan ini dibunuh dan dibuang ke kanal dalam waktu satu hari satu malam, sehingga air kanal (saluran air yang lebar) berubah menjadi merah darah. Itu artinya, pasukan Muslim tidak hanya memerangi pasukan musuh yang memerangi, bahkan membunuhi para tawanan juga, dan karena itu, kanal ini masih dikenal hingga saat ini sebagai Nahr Ad-Dam, yang berarti sungai darah.[29]

Namun, tampaknya itu bukan hal yang benar bahwa para tawanan dibunuh dan kemudian darah mereka tertumpah ke kanal. Dalam hal ini kapan pun para penulis Sirah (biografi sejarah) dalam penulisannya melakukan kelalaian atau melebih-lebihkan atau mungkin saja mendapatkan kesempatan untuk menyudutkan Islam, mereka, atau sangat mungkin ada orang yang secara sengaja menciptakan cerita-cerita palsu tentang kekejaman dan kebrutalan umat Islam dalam peperangan dengan memasukkan peristiwa-peristiwa seperti itu dalam penulisan sejarah. Di antara para ahli sejarah, ada juga yang memusuhi umat Islam, mereka menaruh permusuhan atau kebencian terhadap umat orang-orang Islam sehingga mereka menulis sesuatu atau yang lain untuk menyudutkan kaum Muslimin. Hal-hal seperti ini telah ditambahkan untuk menipu dan mengecoh orang-orang bahwa seolah-olah umat ​​Islam telah melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap para tawanan yang tidak bersenjata dengan membunuhi dan mengalirkan darah mereka di kanal.

Hal yang terpenting dan utama ialah dari sudut pandang prinsip dan peraturan perang pada masa itu, membunuhi para tawanan bukan sesuatu yang melanggar dan layak untuk diprotes. Tetapi, dalam perang-perang Islami yang terutama terjadi pada masa penuh berkah Nabi Suci (saw) dan era Khilafah Rashidah, pada kenyataannya tidak pernah terjadi dimana para tahanan dibunuh dengan cara demikian. Meskipun jumlah orang yang terbunuh dalam perang ini adalah ribuan dan ratusan ribu, tetapi semuanya terbunuh dalam pertempuran.

Jika kita menelaah peperangan yang dilakukan oleh para jenderal seperti Hadhrat Khalid bin Walid (ra), beliau pun sedapat mungkin selalu berusaha menyelamatkan jiwa setiap orang yang meletakkan senjatanya atau menerima untuk patuh dan siapapun yang dibunuh, meskipun dibumbui dengan dongeng oleh para sejarawan, setelah seseorang melakukan penyelidikan atas suatu peristiwa dimana seseorang telah dibunuh oleh beliau, terbukti adanya alasan kuat untuk pembunuhan itu.

Demikian pula, jika kita melihat kejadian ini, tampaknya cerita tersebut dibuat-buat. Hal ini karena diantara para sejarawan dan penulis biografi, yang kerap menggambarkan semua rincian tempat dan kejadian terkait peristiwa-peristiwa ini, sebagian kalangan dari antara para sejarawan ini tidak menjelaskan secara rinci berkenaan dengan peristiwa tersebut. Karena itu, ini merupakan bukti bahwa ini adalah kisah yang dibuat-buat.

Pada kenyataannya, seorang penulis yang biasanya menjelaskan sejarah dalam corak pandangan bebas (liberal) dan menyebutkan kejadian-kejadian tertentu pada tingkat mempertanyakan yang tidak dapat menyetujui, ia bahkan juga menulis setelah merujuk kejadian tersebut, “Para perawi telah meriwayatkan kejadian tersebut dengan sangat pasti melebih-lebihkannya bahwa Khalid (ra) ini sering menyiksa musuh-musuh Islam yang bahkan sampai-sampai Qaqa’ dan para sahabatnya tidak tega untuk melihatnya.” [30]

Begitu juga, seorang penulis lain menjelaskan kejadian tersebut, “Meskipun para tawanan telah diperlakukannya dengan tegas, tapi mengatakan bahwa ia (Khalid (ra)) membunuh mereka adalah tidak benar.” Demikian pula, seorang penulis menggambarkan insiden tersebut yang darinya diketahui bahwa pada kenyataannya para tawanan Iran tidak dibunuh dan dibuang ke kanal. Hal ini sebagaimana dia menulis, “Hadhrat Khalid (ra) mulai menyerang orang-orang Kristen saat bergerak dan menaklukkan barisan pasukan Iran seolah-olah mereka terbuat dari tanah liat dan bukan manusia dari daging dan darah. Karena orang-orang Iran tersebar jauh, mereka membentuk setengah lingkaran dalam bentuk bulan sabit dan melingkupi kaum Muslim. Sekarang orang-orang Iran dan Arab Kristen mengepung kaum Muslim dan mulai bertempur dengan semangat, tetapi antusiasme yang terdapat dalam diri kaum Muslim tidak dijumpai dalam diri mereka. Setiap Muslim menjadi singa yang haus darah dan memangkas habis orang-orang Kristen layaknya rumput liar. Meskipun orang-orang Iran juga mensyahidkan dan melukai kaum Muslim, namun sangat jarang pihak Muslim yang jatuh sedangkan Muslim yang terluka tetap bertempur dengan lebih semangat lagi.

Begitu banyaknya pasukan Iran yang tewas sehingga mayat mereka berserakan di lapangan dan setiap orang Iran yang terluka pergi meninggalkan medan perang. Sedemikian rupa dahsyatnya gempuran yang dilakukan oleh pasukan Muslim sehingga pakaian mereka berlumuran darah. Sama halnya dengan pakaian Khalid bin Walid (ra). Tanah dipenuhi dengan darah pasukan Iran dan darah mulai mengalir seperti air. Akhirnya, orang-orang Iran dikalahkan, mereka melarikan diri dengan putus asa. Pasukan Muslim pun mengejar dan terus membunuhi mereka atau menangkap mereka hingga suatu jarak. Orang-orang Iran melarikan diri dengan putus asa sehingga ribuan tentara mereka jatuh ke sungai dan tenggelam. Ketika orang-orang Iran pergi jauh sekali, kaum Muslim pun kembali.

Tujuh puluh ribu (70.000) orang Iran tewas dalam pertempuran tersebut. Adapun yang syahid dari pihak Muslim berjumlah seratus tiga puluh delapan (138) orang. Namun, para sejarawan juga bertanya-tanya bagaimana umat Islam dapat membunuh begitu banyak orang Iran (Persia).”[31] Inilah yang seorang sejarawan telah tulis.

Dalam konteks ini, jelas bahwa jika kejadian air kanal berubah menjadi merah diakui kebenarannya maka sebuah kemungkinan bahwa itu terjadi karena tenggelamnya tentara yang terluka dan jatuh tenggelam di sungai tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam peristiwa-peristiwa tersebut pun sampai batas tertentu bercampur dengan penjelasan yang dilebih-lebihkan, yang berdasarkan itu para penentang (pengkritik) mendapatkan kesempatan untuk menyerang pribadi Hadhrat Khalid (ra) dan peperangan-peperangan Islami. Dalam peperangan-peperangan tersebut, mereka tuduh umat Islam telah bertindak brutal dan menindas. Bagaimana pun, Allah Yang lebih mengetahui, namun, tampaknya itu merupakan tuduhan semata.

Ketika musuh telah menderita kekalahan dan pasukan mereka tercerai-berai dan kaum Muslim telah selesai mengejar mereka lalu kembali, setelah itu Hadhrat Khalid (ra) menghampiri hidangan makanan dan berdiri lalu berkata, “Makanan Ini untuk kalian! Ini milik kalian karena ketika Rasulullah (saw) mendapati hidangan makanan yang disiapkan oleh musuh lalu ditinggalkan oleh mereka maka beliau (saw) membagikan hidangan yang ditinggalkan musuh itu untuk pasukan Muslim. Pasukan Muslim lalu menyantapnya sebagai hidangan malam.” Pada perang Ulais menewaskan 70.000 (tujuh puluh ribu) pasukan musuh, seperti telah disebutkan sebelumnya.[32]

Berkenaan dengan penaklukan Amghishiya tertulis sebagai berikut, “Allah Ta’ala telah memberikan kemenangan atas Amghishiya tanpa pertempuran pada bulan Safar tahun 12 Hijriah. Amghishiya adalah nama sebuah tempat di Irak. Ketika Hadhrat Khalid (ra) selesai dari penaklukan Ulais, beliau membuat persiapan dan berangkat ke Amghishiya, tetapi sebelum kedatangannya, penduduknya dengan cepat meninggalkan kota dan melarikan diri lalu menyebar di Sawad, sebuah permukiman di Irak yang ditaklukkan umat Islam pada masa kekhalifahan Hadhrat Umar dan diberi nama Sawad karena suburnya ladang di sana.

Hadhrat Khalid (ra) memerintahkan untuk mengatur apa pun yang ada di Amghishiya dan sekitarnya. Amghishiya adalah kota yang setara dengan Hira. Ulais adalah pos militer daerah tersebut. Kaum Muslim mendapat begitu banyak rampasan dari Amghishia bahkan dari sejak pertempuran Dzaatus Salaasil hingga saat itu pun belum pernah diperoleh sebanyak itu. Jatah bagian untuk para penunggang kuda dalam perang ini adalah seribu lima ratus dirham dan bagian ini merupakan tambahan dari harta rampasan yang diberikan kepada mereka yang berperan penting.

Kabar kemenangan Ulais dan Amghishya ini disampaikan oleh Hadhrat Khalid (ra) melalui seorang laki-laki dari Banu ‘Ijl bernama Jandal yang terkenal sebagai pemandu pemberani. Dia menyampaikan kabar baik ke hadapan Hadhrat Abu Bakr (ra) tentang kemenangan Ulais, jumlah harta rampasan, jumlah tahanan, hal-hal yang telah diperoleh sebagai bagian dari Khums (lima bagian jenis harta rampasan peperangan) dan rincian semua orang yang telah melakukan hal yang luar biasa. Sepak terjang keberanian Hadhrat Khalid (ra) secara khusus disampaikan dengan sangat baik.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 8)

Hadhrat Abu Bakr (ra) sangat menyukai keberaniannya, pendapatnya yang tegas, dan cara menyampaikan berita kemenangan ini, yaitu, cara yang dilakukan oleh utusan itu, kisah keberaniannya, dan cara dia menceritakannya, sangat disukai oleh Hadhrat Abu Bakr. Beliau ra bertanya padanya, مَا اسْمُكَ؟  “Siapa nama Anda?”

Dia menjawab, جَنْدَلٌ “Nama saya Jandal.”

Beliau bersabda, وَيْهًا جَنْدلُ “Baiklah, Jandal”, kemudian memerintahkan untuk memberinya seorang budak perempuan yang diperoleh dari harta rampasan yang darinya terlahir seorang anak.[33]

Demikian pula, Hadhrat Abu Bakr mengatakan pada kesempatan itu, عجزت النساء أن يلدن مثل خالد بن الوليد “Sekarang para wanita tidak akan bisa lagi melahirkan seseorang seperti Hadhrat Khalid bin Walid (ra).”[34] Selebihnya, Insya Allah, menyusul.[35]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Ustad Umar Abu Al-Nasr dalam karyanya Sirat Syedna Siddiq Akbar (ra), p. 610, Mushtaq Book Corner, Urdu Bazaar, Lahore (سیرت سیدنا صدیق اکبرؓ از استاذ عمر ابوالنصر، صفحہ 664،مشتاق بک کارنر اردو بازار لاہور). ‘Umar Abu an-Nashr ialah seorang penulis dari negara Lebanon yang hidup pada 1888-1960. Beliau bekerja di kewartawanan di Lebanon, Mesir dan Suriah. Beliau juga menulis buku-buku sastra dan sejarah. Diantara karyanya ialah yang dikutip dalam khotbah ini yaitu Khulafa-u-Muhammad (خلفاء محمد ـ أربعة كتب، 1936م) atau “Para Khalifah Muhammad” yang terdiri dari empat buku membahas empat Khalifah Rasyidin. Ibnu al-Atsir dalam karyanya Al-Kamil Fi Al-Tarikh, Vol. 2, pp. 239, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003 (ماخوذ از الکامل فی التاریخ، جلد2صفحہ239 ، دار الکتب العلمیۃ بیروت،2003ء). Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Ash-Shiddiq Abu Bakr yang terjemahan bahasa Urdunya ialah Hadhrat Abu Bakr Shiddiq (ابوبکر صدیقِ اکبرؓ، از محمد حسین ہیکل، مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی صفحہ 272، علم وعرفان پبلشرز لاہور2004ء). Terjemahan bahasa Indonesianya ialah Abu Bakr as-Siddiq Yang Lembut Hati Sebuah Biografi Dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi oleh Muhammad Husain Haekal Diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah, bab Melindungi golongan lemah dengan hartanya. Judul asli As-Siddiq Abu Bakr, cetakan ke-8, oleh Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D., Penerbit Dar al-Maaref, 119 Corniche, Cairo, Egypt, dan atas persetujuan ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjemah ke dalam bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Ali Audah. Cetakan pertama, 1995. Cetakan kedua, 2001. Cetakan ketiga, 2003. Diterbitkan oleh PT. Pustako Utera AntarNusa, Kalimalang-Pondok Kelapa, Jakarta 13450. Tercantum juga dalam Mu’jamul Buldaan terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut. (معجم البلدان جلد 4 صفحہ488).

[2] Profesor Ali Muhsin Shidiqi dalam karyanya Ash-Shiddiq halaman 127 (الصدیقؓ ، صفحہ127 ،مصنفہ پروفیسر علی محسن صدیقی). Ash-Shiddiq (الصدیق) karya Profesor ‘Ali Muhsin Shiddiqi atau Prof. Ali Mohsin Siddiqui (الصدیق،ازپروفیسرعلی محسن صدیقی، صفحہ 102-103) yang diakses pada link https://archive.org/details/TOOBAA-AL-SIDDEEQ-RZ/page/n5/mode/2up. Beliau adalah mantan ketua Departemen Sejarah Islam di Universitas Karachi, Pakistan. Beliau lahir pada Januari 1929 di Ghazipur, Uttar Pradesh (غازی پور, اتر پردیش) dan wafat pada 18 Januari 2012. https://www.rekhta.org/authors/ali-mohsin-siddiqi/ebooks?lang=ur dan https://www.dawn.com/news/689124/scholar-passes-away

[3] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan perjalanan Khalid (ra) ke Iraq (مسير خالد الى العراق وصلح الحيرة), terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut-Lebanon, 2012, Vol. 2, p. 309 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ309، دار الکتب العلمیۃ،بیروت، 2012ء).

[4] Muhammad Husain Haikal, Hazrat Abu Bakr Siddiquera – Translated, pp. 269-270 (حضرت ابوبکرصدیقؓ، ازہیکل، مترجم، صفحہ 269-270).

[5] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan perjalanan Khalid (ra) ke Iraq (مسير خالد الى العراق وصلح الحيرة), terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut-Lebanon, 2012, Vol. 2, p. 309 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ309، دار الکتب العلمیۃ،بیروت، 2012ء).

[6] Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر) dalam Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan perjalanan Khalid (ra) ke Iraq (مسير خالد الى العراق وصلح الحيرة) terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut-Lebanon, 2012, Vol. 2, p. 309-310 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 309 – 310، دار الکتب العلمیۃ،بیروت، 2012ء); Al-Salabi, Sayyiduna Abu Bakr ra Siddique, pp. 404-405 (سیدنا ابوبکر صدیقؓ از ڈاکٹر علی محمدصلابی صفحہ405،404); Muhammad Husain Haikal, Hazrat Abu Bakr ra Siddique – Translated, pp. 271-273 (حضرت ابوبکر صدیق اکبرؓ از ہیکل صفحہ271تا273); Yaqut Ibn ‘Abd Allah al-Hamawi, Mu’jam al-Buldan, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], 319 (معجم البلدان جلد2 صفحہ319، دارالکتب العلمیۃ ، بیروت، لبنان); Lughat al-Hadith, Vol. 2, Under ‘Ratal’, [Nashir Nu’mani Kutub Khana, Lahore, 2002], 121 (لغات الحدیث زیر لفظ رَطْلْ جلد2 صفحہ121).

[7] Muhammad Husain Haikal, Abu Bakr Siddiq Akbar – Translated by Sheikh Muhammad Ahmad Pani Pati [Lahore, Pakistan: Ilm-o-Irfan Publishers, 2004], 272 (حضرت ابوبکر صدیق اکبرؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ272 مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی علم وعرفان پبلشرز لاہور2004ء).

[8] Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], 311 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 311، دار الکتب العلمیۃ،بیروت، 2012ء).

[9] Muhammad Husain Haikal, Abu Bakr Siddiq Akbar – Translated by Sheikh Muhammad Ahmad Pani Pati [Lahore, Pakistan: Ilm-o-Irfan Publishers, 2004], 272 (حضرت ابوبکر صدیق اکبرؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ272 مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی علم وعرفان پبلشرز لاہور2004ء).

[10] Muhammad Husain Haikal, Hazrat Abu Bakr ra Siddique, pp. 269 (حضرت ابوبکر صدیق اکبرؓ از ہیکل صفحہ269).

[11] Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر) dalam karyanya Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan perjalanan Khalid (ra) ke Iraq (مسير خالد الى العراق وصلح الحيرة) Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], 310 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 310 دار الکتب العلمیۃ بیروت، 2012ء).

[12] Ali Muhsin Siddiqui, Al-Siddique, p. 127 (الصدیقؓ ، ازپروفیسر علی محسن صدیقی ، صفحہ 128).

[13] Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], 310 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 310).

[14] Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2, [Beirut, Lebanon: Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), 335 (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ 335 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء).

[15] Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], 311 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 311 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[16] Yaqut Ibn ‘Abd Allah al-Hamawi, Mu’jam al-Buldan, Vol. 5, Al-Madhar, [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], 247 (معجم البلدان جلد 5 صفحہ 104، المَذَارْ، دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان).

[17] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan Peristiwa Madzar (ذكر وقعه المذار).

[18] Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012], 311-312 (ماخوذ ازتاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 312،311، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء); Urdu Da’irah Ma‘arif Islamiyyah, Vol. 8, p. 262, Shu‘bah Urdu Da’irah Ma‘arif, Lahore (ماخوذ از اردو دائرہ معارف اسلامیہ جلد8 صفحہ262).

[19] Muhammad Husain Haikal, Abu Bakr Siddiq Akbar – Translated by Sheikh Muhammad Ahmad Pani Piti [Lahore, Pakistan: Ilm-o-Irfan Publishers, 2004], 275 (حضرت ابوبکر صدیق اکبرؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ275مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی علم وعرفان پبلشرز لاہور2004ء).

[20] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 312, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 312، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[21] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 312, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ طبری جلد دوم صفحہ 312۔ دار الکتب العلمیۃ 2012); Hazrat Abu Bakr ra Siddique, Muhammad Husain Haikal, pp. 287-288 (حضرت ابو بکر صدیق از محمد حسین ہیکل مترجم صفحہ 287-288).

[22] Syedna Abu Bakr (ra), Dr Ali Muhammad Sallabi, p. 406 (سیدنا ابو بکر صدیق از ڈاکٹر علی محمد صلابی مترجم صفحہ 406).

[23] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan peristiwa di Walajah (ذكر وقعه الولجة) terbitan Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut-Lebanon, 2012, Vol. 2, p. 312 (تاریخ طبری جلد 2 صفحہ 312دار الکتب العلمیۃ 2012ء).

[24] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 313, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 313، دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان 2012ء), Mujam-ul-Buldan, Vol. 1, p. 494, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد1 صفحہ 294، دار الکتب العلمیۃ ، بیروت).

[25] Al-Kamil Fi Al-Tarikh, Vol. 2, p. 241, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2006 (ماخوذا ز الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ 241، دارالکتب العلمیۃ بیروت، 2006ء).

[26] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 313, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 313 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[27] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan Ulais (خبر أليس، وهي على صلب الفرات).

[28] Sirat Syedna Siddiq-e-Akbar ra, p. 671-672, Umar Abu Al-Nasr (سیرت سیدنا صدیق اکبرؓ، صفحہ 671-672 ،منسوب بہ استاذ عمرابوالنصر ، مترجم); Tarikh Ath-Thabari, [Urdu] Vol. 2, p. 564, Dar-ul-Isha’at (تاریخ طبری اردو جلد2صفحہ564 دارالاشاعت).

[29] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 312, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 314 دار الکتب العلمیۃ بیروت 2012ء).

[30] Hazrat Abu Bakr ra Siddique aur Hazrat Farooq-e-A’zam ra, Dr Thaha Husain, pp. 85-86 (حضرت ابوبکر صدیقؓ اور حضرت فاروق اعظمؓ از ڈاکٹر طٰہٰ حسین ، صفحہ 85-86). Doktor Thaha Husain atau sering ditulis Taha Hussein (15 November 1889 – 28 Oktober 1973); adalah salah satu penulis dan intelektual Mesir abad ke-20 paling berpengaruh, dan seorang kepala figur untuk Renaissance Mesir dan gerakan modernis di Timur Tengah dan Afrika Utara. Julukannya adalah “Bapak Sastra Arab”. karya tulis beliau terhitung banyak. Namun, buku yang dikutip dalam khotbah ini ialah terjemahan bahasa Urdu dari karya asli berbahasa Arab berjudul “Syaikhain” (الشيخان) atau Dua Tokoh Utama, sebuah gelar yang biasanya ditujukan untuk dua Khalifah awal umat Islam.

[31] Shadiq Husain Shidiqi dalam karyanya Hadhrat Khalid (ra) bin Walid pp. 161-162 (حضرت خالد بن ولیدؓ از صادق حسین صدیقی صفحہ 161-162). Sadiq Hussain Siddiqui adalah seorang sarjana besar, sejarawan, dan novelis dalam bahasa Urdu (bahasa yang popular dipakai di Pakistan dan India). Dia menulis banyak buku dan menggunakan penanya untuk mendidik umat Islam. Dia menyusun sejarah Islam dan siklus hidup para pahlawan Muslim pada pola sebuah cerita.

[32] Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, p. 314, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 314، دار الکتب العلمیۃ، بیروت،2012ء).

[33] Tarikh ath-Thabari (كتاب تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري) karya Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari (الطبري، أبو جعفر), juz ketiga (الجزء الثالث), tahun ke-12 (سنة اثنتي عشرة من الهجرة), bahasan Ulais (خبر أليس، وهي على صلب الفرات).

[34] Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir, juz keenam, peristiwa Ulais (البداية والنهاية/الجزء السادس/وقعة أليس), bahasan Amghisyiya (حديث أمغيشيا).

Tarikh Ath-Thabari, Vol. 2, pp. 314-315, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2012 (تاریخ الطبری جلد 2 صفحہ 314-315، دار الکتب العلمیۃ، بیروت،2012ء); Hazrat Syedna Abu Bakr Siddiq ra, Heikal, p. 312, Islami Kutub Khana (حضرت سیدنا ابوبکر صدیقؓ از ہیکل صفحہ 312 اسلامی کتب خانہ); Mujam-ul-Buldan, Vol. 1, p. 301, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد 1 صفحہ 301، دارالکتب العلمیۃ، بیروت); Mujam-ul-Buldan, Vol. 3, p. 309, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد 3 صفحہ 309، دار الکتب العلمیۃ ، بیروت).

[35] Sumber referensi: Official Urdu transcript published in Al Fazl International 12 August 2022, pp. 5-9. Translated by The Review of Religions https://www.alhakam.org/friday-sermon-men-of-excellence-hazrat-abu-bakr-22-july-2022/; www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.