Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 90)
Pembahasan bebrapa Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Mu’awwidz bin al-Harits dan Hadhrat Ubayy bin Ka’b radhiyAllahu ta’ala ‘anhuma.
Asal-usul keluarga Hadhrat Mu’awwidz (ra). Peranan beliau di perang Badr yaitu ikut melumpuhkan Abu Jahl. Kesyahidan beliau di perang Badr.
Asal-usul keluarga Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra). Perawakan dan kebiasaan khas Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) yang tidak suka memakai pewarna rambut dan janggut.
Beberapa Riwayat di zaman Nabi Muhammad (saw): peserta Baiat Aqabah kedua di Makkah sebelum Hijrah yang diikuti 70 orang Madinah; Hafizh dan Juru tulis Al-Qur’an; pengajar Al-Qur’an; pengetahuan dan hapalan Al-Qur’an beliau melebihi rata-rata para Sahabat; bahkan pernah usai shalat mengingatkan Nabi (saw) yang saat menjadi Imam terlupa suatu ayat; menaati perintah Nabi (saw) untuk tidak menerima pemberian atau hadiah sebagai ganjaran karena mengajar mengaji atau belajar menulis ayat-ayat Al-Qur’an. Beliau bahkan disuruh mengembalikan hadiah itu.
Peserta perang Badr, Uhud dan berbagai Ghazwah (ekspedisi militer yang dipimpin Nabi saw)
Setelah usai perang Uhud beliau memenuhi perintah Nabi (saw) untuk mencari tahu kabar pasukan Muslim yang luka atau meninggal; Petugas Amil Zakat.
Riwayat di zaman Khalifah Abu Bakr (ra): peranan sebagai anggota tim pengumpulan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang tersebar di kalangan para Sahabat dalam satu jilid.
Para Sahabat Nabi (saw) yang belajar Hadits kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Riwayat di zaman Khalifah ‘Umar (ra): Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) anggota Majelis Syura mewakili Kabilah Khazraj di kalangan Anshar Madinah.
Pendapat Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) mengenai masa Iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diikuti oleh Khalifah Umar (ra).
Peristiwa persidangan sengketa antara paman Nabi Abbas bin Abdul Muththalib dengan Khalifah Umar (ra) dengan hakim Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra). Rencana Khalifah Umar (ra) untuk perluasan Masjid terhalangan oleh ketidakrelaan Hadhrat Abbas (ra). Keputusan Hakim yang membuat Hadhrat Abbas (ra) rela dengan rencana Khalifah.
Rencana Khalifah Umar (ra) untuk melarang Haji Tamattu’ dan melarang pemakaian jenis kain tertentu dibatalkan setelah mendengar pendapat Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) dengan dasar tiadanya dasar dalil dari Nabi Muhammad (saw).
Peristiwa sidang gugatan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) kepada Khalifah Umar (ra) dengan hakim Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra).
Latar belakang Hadhrat ‘Utsman (ra) ingin menyatukan seluruh umat Muslim pada satu jenis Qira’at (bacaan) Al-Qur’an dan peranan pengkhidmatan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Sifat Sattaari Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Kecintaan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) kepada Nabi Muhammad (saw) sampai-sampai beliau menyimpan batang kayu yang menjadi tiang Masjid dan pernah diusap oleh Nabi (saw).
Beberapa hal masalah Fiqh: Dua Jeda saktah (jeda) yaitu setelah Takbir dan setelah membaca Surah al-Fatihah.
Perlakuan terhadap barang yang tidak diketahui kemilikannya dan ditemukan. Pengumuman selama dua tahun.
Bertentangan dengan adab Masjid dengan diumumkannya sebuah barang duniawi di dalam Masjid.
Dua riwayat berbeda mengenai kapan wafatnya Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra). Yang paling meyakinkan ialah di zaman Khalifah ‘Utsman (ra).
Nama istri dan anak keturunan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 Oktober 2020 (Ikha 1399 Hijriyah Syamsiyah/ Shafar 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Hari ini, sahabat pertama yang akan saya sampaikan riwayatnya adalah Hadhrat Mu’awwidz bin Harits (مُعَوِّذُ بنُ الحَارِث بنِ رِفَاعَةَ ابن الحارث بن سواد بن مالك بن غنم بْن مالك بْن النجار) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hadhrat Mu’awwidz (ra) berasal dari kabilah kalangan Anshar, yaitu Khazraj. Ayahanda Hadhrat Mu’awwidz (ra) adalah Harits bin Rifa’ah. Ibunda beliau bernama Afra’ binti ‘Ubaid (عفراء بِنْت عُبَيْد بْن ثَعْلَبَة بن عبيد بن ثعلبة بن غنم بن مالك بن النجار). Hadhrat Mu’adz (ra) dan Hadhrat ‘Auf (ra) adalah saudara beliau. Selain kepada ayahnya, ketiganya juga dihubungkan kepada ibunda mereka dan ketiganya dipanggil juga Banu ‘Afra (بَنُو عَفْرَاءَ).[1]
Hanya Ibnu Ishaq [penulis Tarikh atau Sejarah] yang menjelaskan bahwa Hadhrat Mu’awwidz (ra) ikut serta bersama 70 sahabat lainnya dalam Baiat Aqabah kedua.[2]
Hadhrat Mu’awwidz (ra) menikah dengan Ummu Yazid binti Qais (أمّ يزيد بنت قيس بن زعوراء بن حرام بن جُنْدب بن عامر بن غَنْم بن عديّ بن النجّار).[3] Dari pernikahan ini lahir dua orang putri yang bernama Hadhrat Rubayyi’ (الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ) binti Mu’awwidz (ra) dan Hadhrat ‘Umairah (عُمَيْرَةُ) binti Mu’awwidz (ra).[4]
Hadhrat Mu’awwidz (ra) bersama kedua saudaranya, Hadhrat Mu’adz (ra) dan Hadhrat ‘Auf (ra) mendapatkan taufik turut serta dalam perang Badr.[5] Dalam perang Badr, Hadhrat Mu’adz (ra), Hadhrat ‘Auf (ra) dan Hadhrat Mu’awwidz (ra) yang disebut sebagai Banu ‘Afra, beserta Abu Hamra – budak mereka yang telah merdeka – hanya memiliki satu ekor unta yang mereka naiki secara bergantian.[6]
Riwayat ini telah disampaikan sebelumnya dalam pembahasan Hadhrat Mu’adz (ra), namun di sini perlu juga disampaikan dalam bahasan Hadhrat Mu’adz (ra). Inilah alasannya mengapa saya sampaikan.
Diriwayatkan oleh Hadhrat Anas bahwa ketika berakhirnya perang Badr, Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ يَنْظُرُ مَا صَنَعَ أَبُو جَهْلٍ “Apakah ada yang dapat memberikan kabar yang benar mengenai Abu Jahl?”
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud lalu pergi dan mendapati Abu Jahl tengah terluka parah dan sekarat di medan perang. Dua pemuda – Mu’adz dan Mu’awwidz – kedua putra Afra (ابْنَا عَفْرَاءَ) yang telah membuatnya seperti itu. Hadhrat Abdullah bin Mas’ud sambil memegang janggutnya, berkata, آنْتَ أَبُو جَهْلٍ “Apakah kamu yang bernama Abu Jahl?”
Abu Jahl menjawab, وَهَلْ فَوْقَ رَجُلٍ قَتَلْتُمُوهُ أَوْ قَالَ قَتَلَهُ قَوْمُهُ “Apakah kamu pernah membunuh seorang pemimpin yang lebih hebat dariku?” Atau mengatakan, “Apakah ada orang yang lebih hebat dariku yang telah dibunuh oleh kaumnya sendiri?”[7]
Hadhrat Sayyid Zainul Abidin Waliyullah Syah memberikan syarh (uraian) terhadap Hadits pada riwayat Bukhari tersebut, “Di dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa putra ‘Afra, Mu’awwidz dan Mu’adz-lah yang telah membuat Abu Jahl sekarat, setelah itu Hadhrat Abdullah bin Mas’ud memenggal kepala Abu Jahl. Imam Ibnu Hajar mengemukakan hipotesa (kemungkinan) bahwa setelah Mu’adz bin Amru bin al-Jamuh dan Mu’adz bin Afra, Mu’awwidz bin Afra pun ikut menyerangnya juga.”[8]
Menjelaskan mengenai peristiwa terbunuhnya Abu Jahl, Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) bersabda, “Manusia sangat bersukacita dan menyangka sesuatu itu akan bermanfaat bagi dirinya, namun hal itu menjadi penyebab kehancuran dan kebinasaan baginya. Pada kesempatan perang Badr, ketika orang-orang Kuffar Mekah tiba, mereka beranggapan, ‘Selesai sudah! Kita telah membunuh orang-orang Islam’ dan Abu Jahl mengatakan, ‘Kita akan merayakan Id (Hari Raya) dan akan banyak meminum anggur’, dan beranggapan, ‘Cukup sudah! Sekarang kita hanya akan mundur setelah membunuh orang-orang Islam.’
Namun Abu Jahl ini kemudian dibunuh oleh dua orang anak laki-laki Madinah. Orang-orang Kuffar Mekah sangat menganggap rendah orang-orang Madinah dan ia yaitu Abu Jahl mengalami nasib yang begitu menyedihkan sehingga keinginannya yang terakhir pun tidak terpenuhi. Di kalangan bangsa Arab terdapat tradisi bahwa jika seorang pemimpin terbunuh di peperangan, maka lehernya akan dipotong panjang supaya dikenali bahwa ini adalah seorang pemimpin. Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra) melihatnya, ketika ia terkapar tidak berdaya dan terluka, lalu ditanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’
Ia menjawab, ‘Aku tidak menyesalkan hal lainnya kecuali aku dibunuh oleh anak-anak petani Madinah’, dan dalam pandangan orang-orang Mekah pekerjaan ini dianggap rendah dan mereka merasa orang-orang Madinah tidak mengerti apa-apa mengenai perang, namun siapa yang membunuhnya dan juga menghancurkan ketakaburannya? Orang-orang Madinah-lah yang melakukannya, bahkan anak-anak laki-laki mereka yang tidak begitu berpengalamanlah yang melakukannya. Hadhrat Abdullah (ra) bertanya, ‘Apakah kamu memiliki suatu keinginan?’
Ia menjawab, ‘Keinginanku adalah supaya leherku dipotong dengan sedikit dipanjangkan.’ Hadhrat Abdullah (ra) mengatakan, ‘Keinginanmu ini pun aku tidak akan penuhi’ dan lehernya dipotong pendek.
Ia yang ingin merayakan Id itu malah menderita kesedihan yang hebat dan minuman keras yang ia minum pun belum sempat ia cerna.”[9]
Hadhrat Mu’awwidz (ra) syahid saat berperang pada kesempatan perang Badr. Yang mensyahidkan beliau adalah Abu Musafi’ (أبو مسافع).[10]
Sahabat selanjutnya yang akan dibahas adalah Hadhrat Ubay bin Ka’b (أبيّ بن كعب بن قيس بن عبيد ابن زيد بن معاوية بن عمرو بن مالك بن النّجار وهو تيم الله ابن ثعلبة بن عمرو بن الخزرج) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hadhrat Ubay (ra) berasal dari Banu Mu’awiyah, yang merupakan cabang dari Kabilah Anshar, Khazraj. Ayahanda Hadhrat Ubay (ra) bernama Ka’b bin Qais dan Ibunda beliau bernama Sahilah binti Aswad. Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) memiliki dua kuniyah (nama panggilan), yang pertama adalah Abu al-Mundzir (أبو المنذر) yang diberikan oleh Hadhrat Rasulullah (saw) dan yang kedua adalah Abu ath-Thufail (أبُو الطُّفَيْلِ) yang diberikan oleh Hadhrat Umar (ra) dikarenakan putra beliau yang bernama Thufail.[11]
Hadhrat Ubay (ra) memiliki tinggi badan sedang. Rambut dan janggut Hadhrat Ubay (ra) berwarna putih. Beliau tidak merubah usia tua beliau dengan pewarna. Maksudnya, beliau tidak menggunakan pewarna rambut atau pewarna janggut.[12]
Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) ikut serta dalam Baiat Aqabah kedua bersama 70 orang lainnya. Hadhrat Ubay (ra) sebelum masuk Islam pun telah mengerti baca-tulis dan kemudian Hadhrat Ubay (ra) mendapatkan kehormatan untuk menuliskan wahyu yang turun kepada Hadhrat Rasulullah (saw).
Hadhrat Rasulullah (saw) mempersaudarakan Hadhrat Ubay (ra) dengan Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah (ra), sedangkan berdasarkan riwayat lainnya Hadhrat Rasulullah (saw) mempersaudarakan Hadhrat Ubay (ra) dengan Hadhrat Sa’id bin Zaid (ra).[13]
Mengenai Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) Allah Ta’ala memerintahkan kepada Hadhrat Rasulullah (saw) supaya beliau memperdengarkan Al-Qur’an kepada Hadhrat Ubay (ra) dan Rasulullah (saw) bersabda, أقْرَأ أُمّتي أُبيّ “Qari’ (pembaca Al-Qur’an berdasarkan aturan bacaan) terbaik umat saya adalah Hadhrat Ubay (ra).”[14]
Mengenai beliau diriwayatkan bahwa beliau sangat memahami Al-Qur’an. Nanti akan disebutkan beberapa riwayat berkenaan dengan hal ini.
Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) termasuk di antara empat orang yang mengenai mereka Rasulullah (saw) bersabda, ‘Mereka adalah Qurra’u Ummat, yang artinya jika seseorang ingin mempelajari Al-Qur’an maka belajarlah dari mereka.’”[15]
Kemudian Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) menjelaskan bahwa dari antara para juru tulis yang ditugaskan oleh Rasulullah (saw) untuk menuliskan Al-Qur’anul Karim, 15 nama di antaranya yang terbukti dari sejarah adalah sebagai berikut: Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra), Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra), Hadhrat Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh (ra), Hadhrat Zubair bin Al-‘Awaam (ra), Hadhrat Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash (ra), Hadhrat Aban bin Sa’id bin Al-‘Ash (ra), Hadhrat Hanzalah bin Al-Rabi’ Al-Asadi (ra), Hadhrat Mu’aiqab bin Abi Fatimah (ra), Hadhrat Abdullah bin Arqam Zuhri (ra), Hadhrat Syurahbil bin Hasanah (ra), Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra), Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Umar (ra), Hadhrat Utsman (ra) dan Hadhrat Ali (ra). Ketika Al-Qur’an turun kepada Hadhrat Rasulullah (saw), maka beliau (saw) akan memanggil seseorang dari antara mereka lalu mendiktekannya supaya menuliskannya.”[16]
Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) di satu tempat bersabda, “Hadhrat Rasulullah (saw) menetapkan satu kelompok guru yang mengajarkan Al-Qur’an, yang menghapalkan seluruh Al-Qur’an dari Rasulullah (saw) lalu mengajarkannya kepada orang-orang. Berikut adalah empat guru tertinggi yang tugasnya mempelajari Al-Qur’an dari Rasulullah (saw) dan mengajarkannya kepada orang-orang. Kemudian di bawah mereka terdapat banyak sahabat lainnya yang mengajarkan Al-Qur’an Syarif kepada orang-orang. Nama keempat guru besar tersebut adalah, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra), Hadhrat Salim Maula Abi Hudzaifah (ra) dan Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra), Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra). Dua yang pertama adalah sahabat muhajir, sedangkan dua yang lainnya adalah sahabat Anshar, dan dari sisi profesi Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra) adalah seorang buruh, Hadhrat Salim (ra) adalah seorang budak yang telah merdeka, Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra) dan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) adalah termasuk di antara para pemimpin Madinah. Seolah-olah Hadhrat Rasulullah (saw) menetapkan Qari’ dengan memperhatikan semua golongan.
Terdapat dalam hadits bahwa Rasulullah (saw) bersabda, خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ ـ فَبَدَأَ بِهِ ـ وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ”. ‘Khudzul Qur–aana min arba’ah min Abdillaahi ibni Mas’ud, wa Salim maula Abi Hudzaifah wa Mu’adz ibni Jabal wa Ubay bni Ka’b.’ – ‘Orang yang ingin mempelajari Al-Qur’an, dapat mempelajarinya dari keempat orang tersebut yakni Abdullah bin Mas’ud, Salim maula (mantan budak) Abi Hudzaifah, Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’b.’[17]
Keempat orang ini mempelajari seluruh Al-Qur’an dari Rasulullah (saw) atau memperdengarkan bacaannya kepada Rasulullah (saw) lalu beliau (saw) memverifikasinya atau diperbaiki oleh beliau (saw) bila ada kesalahan. Namun selain mereka pun banyak juga para sahabat yang sedikit banyak mempelajari Al-Qur’an dari Rasulullah (saw) secara langsung.”[18]
Diriwayatkan dari Hadhrat Anas bin Malik (ra), قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لأُبَىٍّ ” إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ ”. قَالَ أُبَىٌّ آللَّهُ سَمَّانِي لَكَ قَالَ ” اللَّهُ سَمَّاكَ لِي ”. فَجَعَلَ أُبَىٌّ يَبْكِي. قَالَ قَتَادَةُ فَأُنْبِئْتُ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَيْهِ {لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ} “Nabi (saw) bersabda kepada Hadhrat Ubay (ra), ‘Allah Ta’ala memerintahkan kepadaku untuk memperdengarkan surah Lam yakunilladziina kafaruu min ahlil kitaabi kepadamu.’ Hadhrat Ubay (ra) bertanya, ‘Apakah Allah Ta’ala menyebut nama saya?’
Beliau (saw) bersabda, ‘Ya.’
Mendengar hal ini Hadhrat Ubay (ra) menangis.”
Ini adalah riwayat Bukhari.[19]
Sedangkan dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Hadhrat Anas bin Malik (ra) meriwayatkan, قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لــأُبَيِّ بنِ كَعْبٍ: (إِنَّ اللهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ القُرْآنَ) . وَفِي لَفْظٍ: (أَمَرَنِي أَنْ أُقْرِئَكَ القُرْآنَ) . “Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra), “Allah Ta’ala memerintahkan kepada saya untuk memperdengarkan Al-Qur’an kepadamu.”
Hadhrat Ubay (ra) bertanya, الله سَمَّانِي لَكَ؟ ‘Apakah Allah telah menyebutkan nama saya kepada Anda?’
Beliau (saw) bersabda, (نَعَمْ) ‘Ya.’
Hadhrat Ubay (ra) bertanya, وَقَدْ ذُكِرْتُ عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ ‘Apakah diri saya telah dibicarakan di hadapan Sang Pemelihara dua alam?’
Rasulullah (saw) bersabda, (نَعَمْ) ‘Ya.’ فَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ. Atas hal ini, Hadhrat Ubay (ra) meneteskan air mata.[20]
Mengenai rincian dari peristiwa ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) telah menjelaskannya dengan kata-kata beliau (ra) sebagai berikut. Beliau (ra) bersabda, “Diriwayatkan dari Abu Hayyah al-Badri (أَبَا حَيَّةَ الأَنْصَارِيَّ الْبَدْرِيَّ) bahwa telah turun seluruh surah لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ – Lam yakunilladziina kafaruu. Artinya, turun secara bersamaan. Jibril mengatakan kepada Rasulullah (saw), إِنَّ رَبَّكَ يِأْمُرُكَ أَنْ تُقْرِئَهَا أُبَيًّا ‘Allah Ta’ala memerintahkan Anda untuk membacakan kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) dan membuatnya hapal surah ini.’[21]
Atas hal ini yang mulia Rasul (saw) bersabda kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra), إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلامُ أَمَرَنِي أَنْ أقرئك هذه السورة ‘Jibril telah memerintahkan kepadaku, yakni ia telah menyampaikan perintah Allah Ta’ala ini kepadaku supaya aku menyuruhmu menghapalkan surah ini.’
Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) bertanya, ‘Ya Rasulullah (saw)! Apakah diri saya juga disebutkan di hadapan Allah Ta’ala.’
Beliau (saw) bersabda, ‘Ya.’
Atas hal ini Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) menangis karena gembira.”[22]
Hadhrat Umar Faruq (ra) beberapa kali sepeninggal Hadhrat Rasulullah (saw) menyegarkan kembali ingatan akan kalimat ini. Suatu kali beliau (ra) berkata di mimbar Masjid Nabawi, أَقْضَانَا عَلِيٌّ، وَأَقْرَؤُنَا أُبَيٌّ، وَإِنَّا لَنَدَعُ مِنْ قِرَاءةِ أُبَيٍّ. “Qari’ terbesar adalah Hadhrat Ubay (ra).”[23]
Dalam perjalanan yang masyhur menuju Syam, Hadhrat Umar (ra) menyampaikan dalam pidatonya di Jabiyah, sebuah perkampungan di daerah Damaskus, أيها الناس من كان يريد أن يسأل عن القرآن فليأت أبى بن كعب “Siapa saja yang tertarik mengenai Al-Qur’an, datanglah kepada Hadhrat Ubay (ra).”[24] Artinya, siapa saja yang ingin mempelajari Al-Qur’an, hendaknya mendatangi Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Diriwayatkan dari Hadhrat Anas (ra), جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَةٌ، كُلُّهُمْ مِنَ الأَنْصَارِ أُبَىٌّ، وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَبُو زَيْدٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ. قُلْتُ لأَنَسِ مَنْ أَبُو زَيْدٍ قَالَ أَحَدُ عُمُومَتِي. “Empat orang yang pada zaman Nabi (saw) menghapal seluruh Al-Qur’an, kesemuanya adalah sahabat Anshari. Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra), Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra), Hadhrat Abu Zaid (ra) dan Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra).” Ini adalah riwayat Bukhari.[25]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Huffadz (para penghafal Al-Qur’an) yang terkenal dari antara kaum Anshor nama-namanya antara lain: Hadhrat Ubadah bin Shamit (ra), Hadhrat Mu’adz, Hadhrat Mujama’ bin Harits (ra), Hadhrat Fudhalah bin Ubaid (ra), Hadhrat Maslamah bin Makhlad atau Mukhallad (ra), Hadhrat Abu Darda (ra), Hadhrat Abu Zaid (ra), Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra), Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra), Hadhrat Sa’d bin Ubadah (ra) dan Hadhrat Ummu Waraqah (ra).”[26]
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ، وَأَشَدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ، وَأَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ. “Di kalangan umat saya yang paling penuh belas kasih terhadap umat saya adalah Hadhrat Abu Bakr (ra), yang paling tegas dalam perkara-perkara agama adalah Hadhrat Umar (ra), – di dalam diri beliau (ra) terdapat prinsip-prinsip yang tegas – , yang paling sempurna dalam hal kerendahan hati adalah Hadhrat Utsman (ra) – Hadhrat Utsman (ra) telah sampai pada standar luhur kerendahan hati – , yang paling mengetahui halal dan haram adalah Hadhrat Mu’adz bin Jabal (ra), yang paling mengetahui hal-hal yang wajib adalah Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra), yang paling mengetahui Qiro’at adalah Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) dan setiap umat memiliki seorang amiin (dipercaya) dan amiin umat ini adalah Hadhrat Abu Ubaidah bin Jarrah (ra).”[27]
Mengenai Hadhrat Ubaidah (ra) ini telah dibahas sebelumnya.
Setelah kedatangan Hadhrat Rasulullah (saw) di Madinah, juru tulis wahyu Hadhrat Rasulullah (saw) yang pertama adalah Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra). Pada masa itu belum ada tradisi menuliskan nama juru tulis di akhir kitab atau Al-Qur’an. Yang pertama kali memulai tradisi ini adalah Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).[28] Setelah itu para sahabat lainnya mengikuti tradisi ini, yakni menuliskan nama penulisnya.[29] Hadhrat Ubay (ra) yang memulai hal ini, yakni setelah menulis lalu menuliskan nama sendiri di akhir, “Saya yang telah menulis.” Setelah itu hal ini menjadi cara yang reguler.
Hadhrat Ubay (ra) mendengar dan menghapalkan huruf per huruf Al-Qur’an dari lisan beberkat Rasulullah (saw). Melihat antusiasme beliau, Hadhrat Rasulullah (saw) pun memberikan perhatian khusus terhadap pengajaran kepada beliau. Ru’b (wibawa) kenabian telah mencegah para sahabat untuk bertanya, namun Hadhrat Ubay (ra) tanpa sungkan menanyakan apa yang beliau ingin tanyakan. Maksudnya, beliau bukan mengajukan pertanyaan yang tidak pantas. Suatu pertanyaan yang ingin beliau ajukan tetap berada dalam koridor wibawa dan maqom kenabian, pertanyaan seperti itulah yang beliau sampaikan, namun tanpa merasa sungkan. Melihat antusiasme beliau, terkadang Hadhrat Rasulullah (saw) sendiri yang memulai dan tanpa ditanya pun beliau (saw) menjelaskannya.[30]
Suatu kali Hadhrat Rasulullah (saw) mengimami shalat subuh, dalam shalat tersebut ada satu ayat yang terlupa. Hadhrat Ubay (ra) tidak ikut serta dalam shalat dari awal, melainkan ikut serta di pertengahan. Setelah selesai shalat Hadhrat Rasulullah (saw) bertanya kepada orang-orang, أيُّكم أخذ عليَّ شيئًا من قراءتي “Apakah ada seseorang yang ingat bacaan saya?”
Semua orang terdiam.
Kemudian beliau (saw) bertanya, أَفِي الْقَوْمِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ؟ “Apakah ada Ubay bin Ka’b (ra)?”
Hadhrat Ubay (ra) telah menyelesaikan shalatnya. Kira-kira ayat yang keliru atau terlupa tersebut dibaca pada raka’at kedua yang kemudian ayat tersebut didengar oleh Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) setelah kemudian beliau ikut serta dalam shalat.
Hadhrat Ubay (ra) telah menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ نُسِخَتْ آيَةُ كَذَا وَكَذَا ، أَوْ نُسِّيتَهَا ؟ “Ya Rasulullah (saw)! Anda tidak membaca ayat fulan. Apakah ayat ini telah dimansukhkan (dibatalkan)? Ataukah Anda lupa?”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, نُسِّيتُهَا “Tidak, saya lupa membacanya.”
Setelah itu Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda ditujukan kepada Hadhrat Ubay (ra), قَدْ عَلِمْتُ إِنْ كَانَ أَحَدٌ أَخَذَهَا عَلَيَّ فَإِنَّكَ أَنْتَ هُوَ “Saya telah mengetahui bahwa selain Anda tidak ada seorang pun yang menyadari ini.”[31]
Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) meriwayatkan, كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَدَخَلَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَقَرَأَ قِرَاءَةً أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ ثُمَّ دَخَلَ آخَرُ فَقَرَأَ قِرَاءَةً سِوَى قَرَاءَةِ صَاحِبِهِ فَلَمَّا قَضَيْنَا الصَّلَاةَ دَخَلْنَا جَمِيعًا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ هَذَا قَرَأَ قِرَاءَةً أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ وَدَخَلَ آخَرُ فَقَرَأَ سِوَى قِرَاءَةِ صَاحِبِهِ فَأَمَرَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَا فَحَسَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَأْنَهُمَا فَسَقَطَ فِي نَفْسِي مِنْ التَّكْذِيبِ وَلَا إِذْ كُنْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ “Saya sedang berada di masjid ketika seseorang masuk, ia mulai melaksanakan shalat, kemudian ia membaca suatu qira’at (bacaan) yang asing bagi saya. Kemudian seseorang yang lainnya masuk, ia menilawatkan qira’at yang berbeda dari kawannya. Ketika kami selesai shalat lalu kami semua menghadap Hadhrat Rasulullah (saw). Saya bertanya, ‘Orang ini telah membaca Al-Qur’an dengan suatu Qira’at yang asing bagi saya.’
Saya berkata, ‘Orang ini membaca Al Quran dengan qiraat yang menurut saya aneh.’ (lain dari biasanya). Datang lagi orang kedua. Ia membaca Al Quran dengan Qiraat yang berbeda dari orang yang pertama.
Rasulullah (saw) bersabda kepada kedua orang itu, ‘Coba perdengarkan kepada saya bacaannya.’
Mereka berdua membacanya. Rasulullah (saw) membenarkan bacaan kedua orang itu.
Setelah mengetahui bahwa Rasulullah (saw) membenarkan bacaan kedua orang itu dan sekaligus membantah anggapan saya yang keliru, saya (Hadhrat Ubay) merasa sangat malu dan itu tidak pernah terjadi pada zaman jahiliyah pun.
فَلَمَّا رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ غَشِيَنِي ضَرَبَ فِي صَدْرِي فَفِضْتُ عَرَقًا وَكَأَنَّمَا أَنْظُرُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَقًا فَقَالَ لِي يَا أُبَيُّ أُرْسِلَ إِلَيَّ أَنْ اقْرَأْ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ Ketika Rasulullah (saw) melihat keadaan yang meliputi saya yakni rasa malu, Rasulullah (saw) meletakkan tangan beliau di dada saya yang basah dengan keringat seolah-olah saya tengah melihat Allah Ta’ala dalam ketakutan beliau (saw) bersabda kepada saya, ‘Wahai Ubay, telah disampaikan pesan kepadaku oleh Jibril agar aku membaca Al-Quran dengan satu Qiraat bacaan.’ فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّانِيَةَ اقْرَأْهُ عَلَى حَرْفَيْنِ فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّالِثَةَ اقْرَأْهُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَلَكَ بِكُلِّ رَدَّةٍ رَدَدْتُكَهَا مَسْأَلَةٌ تَسْأَلُنِيهَا Saya (Rasulullah (saw)) menjawab, “Berikanlah kemudahan untuk umatku.” Jibril bersabda padaku untuk yang kedua kalinya agar aku membaca Al Quran dengan dua qiraat bacaan. Saya (Rasulullah (saw)) berkata, “Berikanlah kemudahan bagi umatku.”
Jibril bersabda untuk yang ketiga kali kepada saya, “Bacalah al-Qur’an dengan tujuh Qiraat bacaan. Jadi, Anda boleh bertanya dan membuat permintaan setiap kali Anda kembali kepada saya.”’” Itu artinya, “Jibril berkata, ‘Pesan Allah Ta’ala adalah engkau diberikan hak satu doa sebagai ganjaran dari satu Qiraat yang bisa engkau minta dariku.’”
Saya (Rasulullah (saw)) berkata, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأُمَّتِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأُمَّتِي وَأَخَّرْتُ الثَّالِثَةَ لِيَوْمٍ يَرْغَبُ إِلَيَّ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ حَتَّى إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‘Ya Allah, ampunilah umatku. Ya Allah, ampunilah umatku, doa yang ketiga aku sisakan untuk hari dimana saat itu seluruh makhluk akan condong padaku sampai-sampai Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam juga.’[32]
Kemahiran ilmu Qiraat Al Quran yang dimiliki oleh Hadhrat Ubay dapat seseorang perkirakan dari fakta berikut yakni Rasulullah (saw) sendiri yang biasa mengulang bacaan Al-Qur’an secara penuh kepda beliau (Hadhrat Ubay). Maka dari itu, pada tahun kewafatan Rasulullah (saw), beliau (saw) memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada Hadhrat Ubay dan bersabda, “Jibril berkata padaku, ‘Perdengarkanlah Al Quran kepada Ubay.’” Hadhrat Rasulullah (saw) memperdengarkannya.[33]
Pada zaman penuh berkat Rasulullah (saw), Hadhrat Ubay pernah mengajar Al–Quran kepada seseorang dari Iran (Persia). Ketika diajarkan padanya untuk mengucapkan ayat, ﴿إنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ﴾ ﴿طَعامُ الأثِيمِ﴾ Inna syajarataz zaqquumi tha’aamul atsiim. Orang Iran itu tidak dapat mengucapkan atsiim dengan benar. Setiap kali diminta mengucapkan atsim, ia malah melafazkan, طَعامُ اليَتِيمِ yatiim. Hal itu membuat Hadhrat Ubay bingung bagaimana untuk mengajarkan kepadanya.
Tiba-tiba Rasulullah (saw) lewat di sana. Melihat Hadhrat Ubay yang sedang kebingungan, Rasul terhenti. Setelah mendengar pelafazan tadi, Rasul bersabda dalam logat Iran, قُلْ لَهُ: طَعامُ الظّالِمِ ‘Tha’aamuzh zhaalim’ dengan zha. Ketika dikatakan kepada orang Iran itu, ia dapat melafazkannya ‘atsiim’ dengan baik. Rasul mengatakan ‘tha’aamuzh zhaalim’ dan orang Iran itu mengatakan atsiim dengan baik.
Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Ubay, يا أبي قوم لسانه وعلمه فإنك مأجور فإن الذي أنزله لم يلحن فيه، ولا الذي أنزل به، ولا الذي أنزل عليه، فإنه قرآن عربي مبين “Perbaiki pelafalannya, ajarkanlah dengan gaya bahasanya supaya dapat membaca Al Quran dengan pelafalan yang benar. Buatlah ia dapat mengucapkannya, dengan begitu Tuhan akan memberikan ganjaran padamu.”[34]
Suatu hari Hadhrat Rasulullah (saw) tengah menyampaikan khotbah dan menilawatkan surat Bara’ah. Surat tersebut tidak dikenal oleh Hadhrat Abu Darda dan Abu Dzar. Ketika khotbah berlangsung, mereka bertanya kepada Hadhrat Ubay dengan isyarat, مَتَى أُنْزِلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ يَا أُبَيُّ فَإِنِّي لَمْ أَسْمَعْهَا إِلَّا الْآنَ “Kapan surat tersebut diturunkan, karena sampai saat ini saya belum pernah mendengarnya.”
Hadhrat Ubay (ra) menyampaikan dengan isyarat supaya ia diam.
Setelah selesai shalat dan hendak beranjak pulang ke rumah, kedua sahabat tadi berkata kepada Hadhrat Ubay, سَأَلْتُكَ مَتَى أُنْزِلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ فَلَمْ تُخْبِرْ “Kenapa Anda belum menjawab pertanyaan kami?”
Hadhrat Ubay menjawab, لَيْسَ لَكَ مِنْ صَلَاتِكَ الْيَوْمَ إِلَّا مَا لَغَوْتَ “Shalat kalian hari ini telah sia-sia disebabkan oleh perbuatan kalian yang laghw (sia-sia) tadi.”
Mendengar itu mereka berdua pergi menjumpai Rasulullah (saw) dan mengatakan bahwa Ubay mengatakan demikian dan demikian.
Rasulullah (saw) bersabda, صَدَقَ أُبَيٌّ “Benar apa yang dikatakan Ubay.” [35] Artinya, ketika sedang ada yang khotbah, kalian janganlah berbicara.
Hadhrat Ubay Bin Ka’b meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ “Abu Mundzir! Apakah Anda tahu ayat apa yang paling agung yang terdapat di dalam kitab Allah yang ada pada Anda itu?”
Hadhrat Ubay berkata, اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ “Allah dan Rasul-Nya-lah yang lebih mengetahui.”
Rasulullah (saw) bersabda, يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ “Wahai Abu Mundzir! Apakah Anda tahu ayat apa yang paling agung yang terdapat di dalam kitab Allah yang ada pada Anda itu?”
Hadhrat Ubay berkata, اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ “Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. فَضَرَبَ صَدْرِي وَقَالَ: Hadhrat Rasulullah (saw) lalu meletakkan tangan beliau di dada saya dan bersabda, لَيُهَنِّئَكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ. ‘Demi Tuhan, wahai Abu Mundzir semoga ilmu ini memberikan keberkatan bagimu.’”[36] Itu artinya, Rasulullah (saw) bersabda, “Benar” dan beliau menyukai jawaban tadi.
Pada zaman penuh berkat Rasulullah (saw), Hadhrat Ubay (ra) pernah mengajarkan Al Quran kepada Hadhrat Thufail Bin Amru ad-Dausi (الطفيل بن عمرو الدوسي). Sebagai imbalannya Hadhrat Thufail memberikan busur panah kepada Hadhrat Ubay sebagai hadiah. Hadhrat Ubay membawa busur panah tersebut dan hadir ke hadapan Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) bertanya, مَنْ سَلَّحَكَ هَذِهِ الْقَوْسَ يا أبي؟ “Dari siapa Anda dapatkan ini?”
Hadhrat Ubay menjawab, الطفيل بن عمرو الدوسي، أقرأته القرآن “Ini hadiah dari seorang murid saya (Thufail).”
Rasulullah (saw) bersabda, إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ “Kembalikan lagi padanya. Lain kali, Anda hindari menerima pemberian hadiah semacam ini.”[37]
Hadhrat Ubay (ra) berkata, يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا نَأْكُلُ مِنْ طَعَامِهِمْ ؟ “Wahai Rasulullah (saw), kami juga memakan makanan mereka.”
Rasulullah (saw) bersabda, أَمَّا طَعَامٌ صُنِعَ لِغَيْرِكَ فَحَضَرْتَهُ فَلا بَأْسَ أَنْ تَأْكُلُهُ , وَأَمَّا مَا صُنِعَ لَكَ ، فَإِنَّكَ إِنْ أَكَلْتَهُ فَإِنَّمَا تَأْكُلُ بِخَلاقِكَ “Bila makanan tersebut memang disiapkan bukan untuk Anda maka menghadiri undangan makannya dan memakannya tidak mengapa. Tapi, bila makanan itu khusus dibuat untuk Anda, bila Anda memakannya itu berarti Anda memakan akhlak Anda.”[38]
Seorang murid yang lainnya lagi memberikan sehelai kain sebagai hadiah. Sama halnya dengan peristiwa tadi, Hadhrat Ubay (ra) sama sekali menghindari hal-hal seperti itu. Maksudnya, beliau tidak menerima hadiah sebagai imbalan mengajar Al–Qur’anul Karim.[39]
Ketika orang-orang dari negeri Syam (Suriah dan sekitarnya) belajar Al-Quran dari beliau dan belajar menulis dari para katib (juru tulis wahyu) di Madinah, mereka memberikan imbalannya dengan cara mengundang para juru tulis tadi untuk makan bersama. Namun, Hadhrat Ubay (ra) tidak pernah memenuhi undangan makan mereka. Suatu waktu Hadhrat Umar bertanya kepada Hadhrat Ubay, كَيْفَ وَجَدْتَ طَعَامَ الشَّامِيِّ؟ “Bagaimana rasanya makanan negeri Syam?”
Hadhrat Ubay berkata, لَأُوْشِكُ إِذَا مَا نَشَبَتُ فِي أَمْرِ الْقَوْسِ، مَا أَصَبْتُ لَهُمْ طَعَامًا وَلَا إِدَامًا “Saya tidak menerima undangan makan mereka. Saya makan makanan sendiri.”[40]
Hadhrat Ubay (ra) ikut serta pada perang Badr, Khandaq, Uhud dan seluruh peperangan lainnya bersama dengan Rasulullah (saw).[41]
Pada perang Uhud beliau terkena anak panah pada bagian pembuluh, pembuluh utama sehingga darah mengalir sampai ke tangan dan kaki beliau lalu Rasulullah (saw) memanggilkan seorang tabib untuk mengobati beliau. Tabib memotong salah satu otot beliau lalu menyengatnya dengan besi panas.[42]
Satu peristiwa pada perang Uhud yang pernah disampaikan juga sebelum ini dan akan saya sampaikan lagi saat ini secara singkat. Setelah perang Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Ubay (ra), “Pergilah dan lihat keadaan pasukan yang terluka!”
Sampailah beliau di tempat Hadhrat Sa’d Bin Rabi yang saat itu sedang terluka parah dan menghembuskan nafas terakhir. Hadhrat Ubay bertanya, “Sampaikanlah jika ada pesan terakhir untuk keluarga yang ditinggalkan.”
Hadhrat Sa’d sambil tersenyum berkata, “Memang saya sedang menunggu-nunggu ada pasukan Muslim yang datang kemari untuk saya titipkan pesan.”
Beliau berkata, “Letakkan tanganmu diatas tanganmu dan berjanjilah bahwa Anda akan menyampaikan pesanku ini. Sampaikanlah salamku kepada saudara Muslimku dan katakan kepada kerabatku bahwa Rasulullah (saw) merupakan amanat terbaik yang kita miliki dari Allah Ta’ala dan kita terus melindungi amanat tersebut dengan jiwa kita. Sekarang kami akan meninggalkan dunia ini dan kami serahkan tanggung jawab ini di pundak kalian. Jangan sampai kalian memperlihatkan kelemahan dalam menjaga amanat ini.”[43]
Ketika Zakat diwajibkan pada tahun ke-9 Hijriah dan Rasulullah (saw) mengutus para Amil (Petugas) zakat ke berbagai daerah di Arab untuk menarik zakat. Hadhrat Ubay Bin Ka’b ditetapkan untuk menarik zakat kepada kalangan Banu Bali, Banu ‘Udzrah dan Banu Sa’d. Suatu hari Hadhrat Ubay pergi ke suatu desa lalu seorang peternak membawa seluruh ternaknya dan diperlihatkan kepada Hadhrat Ubay agar memilih salah satu diantaranya sebagai zakat. Hadhrat Ubay memilih anak unta yang berumur dua tahun.
Peternak tersebut berkata, ذَاكَ مَا لَا لَبَنَ فِيهِ وَلَا ظَهْرَ وَايْمُ اللَّهِ مَا قَامَ فِي مَالِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا رَسُولٌ لَهُ قَطُّ قَبْلَكَ وَمَا كُنْتُ لِأُقْرِضَ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مِنْ مَالِي مَا لَا لَبَنَ فِيهِ وَلَا ظَهْرَ وَلَكِنْ هَذِهِ نَاقَةٌ فَتِيَّةٌ سَمِينَةٌ فَخُذْهَا “Apa gunanya seekor unta ini? Anda tidak dapat mengambil susunya atau menungganginya. Saya memiliki seekor unta betina yang telah dewasa dan gemuk, ambillah itu sebagai gantinya.”
Hadhrat Ka’b berkata, “Tugas yang diberikan kepada saya tidak membenarkan saya mengambil lebih dari apa yang ditetapkan Rasulullah (saw).”
Karena itu Hadhrat Ka’b berkata, “Lebih baik Anda ikut dengan saya ke Madinah untuk menjumpai Rasulullah (saw). Apa yang beliau sabdakan Anda harus mengamalkannya.” Peternak itu setuju.
Akhirnya orang tersebut mengikuti Ubay bin Ka’b menemui Rasulullah (saw) sambil membawa unta betinanya. Ia lalu menceritakan semua yang terjadi.
Rasulullah (saw) bersabda: ذَلِكَ الَّذِي عَلَيْكَ فَإِنْ تَطَوَّعْتَ بِخَيْرٍ قَبِلْنَاهُ مِنْكَ وَآجَرَكَ اللَّهُ فِيهِ “Jika memang itu yang Anda kehendaki yakni Anda ingin memberikan unta betina dewasa, silahkan saja, pemberian Anda ini akan diterima dan Allah akan memberikan ganjaran atasnya.” Lalu diserahkanlah unta betina tersebut ke hadapan Rasulullah (saw) lalu kembali pulang.[44]
Pada zaman kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra) pekerjaan tartib (penelurusan secara berurut) dan tadwin Al Quran (pengumpulan dan tata letak penulisan Al Quran) telah dimulai. Adapun Hadhrat Ubay ditetapkan sebagai pengawas bagi para sahabat yang mendapatkan tugas tersebut. Hadhrat Ubay membacakan (mendiktekan) dan sahabat lainnya menuliskannya. Karena para sahabat yang ditugaskan tersebut adalah orang-orang yang memiliki keilmuan tinggi sehingga terjadi diskusi dan tukar pikiran ketika membahas ayat-ayat. Ketika sampai pada ayat dari surat Bara’ah (At-Taubah), ﴿ثُمَّ انْصَرَفُوا صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ﴾ ‘tsummansharafuu sharafallahu quluubahum biannahum qoumun laa yafqohuun’, orang-orang berkata bahwa ayat tersebut turun paling terakhir.
Hadhrat Ubay berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَقْرَأَنِي بَعْدَهَا آيَتَيْنِ “Tidak, setelah ayat tersebut Rasulullah (saw) membacakan dua ayat lagi kepada saya.” Jadi, bukan yang terakhir melainkan urutan ketiga sebelum dua ayat terakhir.[45]
Hadhrat Umar, pada zaman kekhalifahannya telah menambahkan ratusan hal yang bermanfaat. Salah satu diantaranya adalah beliau mendirikan lembaga Majlis Syura. Dalam Islam, Majlis Syura berdiri pada masa Khalifah Umar. Yang termasuk dalam majlis tersebut adalah para tokoh dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Kabilah Khazraj diwakili oleh Hadhrat Ubay Bin Ka’b.[46]
Jabir atau Juwaibir meriwayatkan, طَلَبْتُ حَاجَةً إِلَى عمر في خلافته. وإلى جنبه رجل أَبْيَضُ الشَّعْرِ أَبْيَضَ الثِّيَابِ فَقَالَ: “Pada zaman Hadhrat Umar saya datang menjumpai beliau untuk suatu urusan. Di sebelah Hadhrat Umar ada seseorang yang berdiri dengan rambut dan pakaiannya berwarna putih. Orang itu (berpakaian putih) berkata, إِنَّ الدُّنْيَا فِيهَا بَلاغُنَا وَزَادُنَا إِلَى الآخِرَةِ وَفِيهَا أَعْمَالُنَا الَّتِي نُجَازَى بِهَا فِي الآخِرَةِ. ‘Sesungguhnya di dunia ini bagi kita terdapat sarana untuk sampai pada tujuan dan perbekalan untuk akhirat. Di dalamnya juga terdapat amalan kita yang akan kita dapatkan ganjarannya di akhirat nanti.’
Saya bertanya, مَنْ هَذَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ ‘Wahai Amirul Mukminiin! Siapa gerangan orang ini?’
Hadhrat Umar bersabda, هَذَا سَيِّدُ الْمُسْلِمِينَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ‘Dia adalah pemimpin umat Islam, Ubay Bin Ka’b.’”[47]
Abdurrahman Bin Abd al-Qari (عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ) meriwayatkan, خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ، إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ “Pada satu malam Ramadhan saya berangkat ke masjid bersama dengan Hadhrat Umar Bin Khatab, apa yang terlihat? Orang-orang secara terpisah melaksanakan shalat, ada yang shalat sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Hadhrat Umar bersabda, ‘Saya paham, jika mereka dikumpulkan untuk bermakmum di belakang seorang Qori maka akan lebih baik.’ Beliau lalu mematangkan tekadnya dengan mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada Hadhrat Ubay Bin Ka’b.”[48]
Yakni pada saat itu mereka tengah melaksanakan shalat nafal.
Hadhrat Ubay termasuk diantara sahabat yang mendengar banyak sekali hadits dari Rasulullah (saw), karena itulah banyak sahabat yang berguru hadits kepada beliau. Banyak diantara para sahabat yang mendengarkan hadits-hadits Rasulullah (saw) dari beliau. Hadhrat Umar Bin Khaththab (عمر بن الخطاب), Hadhrat Abu Ayyub al-Anshari (أبو أيوب الأنصاري), Hadhrat Ubadah Bin Samit (عبادة بن الصامت), Hadhrat Abu Hurairah (أبو هريرة), Hadhrat Abu Musa al-Asy’ari (أبو موسى الأشعري), Hadhrat Anas Bin Malik (أنس بن مالك), Hadhrat Abdullah Bin Abbas (عبد الله بن عباس), Hadhrat Sahl Bin Sa’d (سهل بن سعد) dan Hadhrat Sulaiman Bin Shurd (سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ) radhiyallahu ta’ala ‘anhum, kesemuanya mengambil manfaat dari Hadhrat Ubay dalam ilmu Hadits.[49]
Hadhrat Qais Bin Ubad (ra) meriwayatkan, “Saya datang ke Madinah untuk berjumpa dengan para Sahabat Nabi (saw). Saya tidak menjumpai orang yang lebih hebat dari Hadhrat Ubay bin Ka’b. Suatu hari tiba waktu shalat dan orang-orang sudah berkumpul, Hadhrat Umar pun hadir. Ketika perlu untuk memberikan tarbiyat, setelah selesai shalat Hadhrat Ubay bangkit lalu menyampaikan Hadits-Hadits Rasulullah (saw) kepada hadirin. Para sahabat menyimaknya dengan penuh antusias.”[50] Keistimewaan ini memberikan kesan yang sangat mendalam kepada Hadhrat Qais.[51]
Dari kisah berikut ini diketahui bagaimana Hadhrat Ubay Bin Ka’b beristimbat (mengambil keputusan) dalam masalah Fiqh. Suatu ketika ada wanita hamil datang menemui Hadhrat Umar. Wanita itu berkata, “Suami saya telah meninggal, ketika meninggal keadaan saya sedang hamil. Namun sekarang saya sudah melahirkan. Namun terhitung dari wafatnya suami saya masa iddah (masa hitungan tunggu hingga boleh menikah lagi) saya masih belum tergenapi yakni 4 bulan 10 hari. Dalam hal ini bagaimana pendapat tuan, apakah saya harus memenuhi masa iddah ini atau cukup?”
Hadhrat Umar bersabda, “Kamu tunggulah sampai berakhir masa iddah yakni penuhi iddah bagi seorang janda yang ditinggalkan suami.”
Setelah dari Hadhrat Umar, wanita itu pergi menemui Hadhrat Ubay Bin Ka’b untuk menanyakan hal tersebut. Ia terlebih dulu menceritakan bahwa ia telah meminta fatwa dari Hadhrat Umar dan memberitahukan jawaban beliau.
Hadhrat Ubay berkata, اذْهَبِي إِلَى عُمَرَ وَقُولِي لَهُ : إِنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ : قَدْ حَلَلْتُ ، فَإِنِ الْتَمَسْتِينِي فَإِنِّي هَاهُنَا ، فَذَهَبَتْ إِلَى عُمَرَ “Anda pergi kepada Hadhrat Umar dan katakan kepada beliau bahwa Ubay mengatakan, ‘Wanita itu sudah halal.’ Artinya, sekarang sudah tidak perlu memenuhi masa iddah lagi. Jika Hadhrat Umar bertanya mengenai saya, Anda cari saya di sini.”
Wanita tersebut datang menemui Hadhrat Umar lagi. Hadhrat Umar bersabda, “Kalau begitu panggil kemari Hadhrat Ubay.”
Datanglah Hadhrat Ubay. Hadhrat Umar bertanya, “Dari mana rujukan Anda mengatakan demikian?”
Ubay menjawab, “Dari Al Quran.” Beliau lalu membacakan ayat, {وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} wa aulaatul ahmaali ajaluhunna ay yadha’na hamlahunna. Berkenaan dengan wanita hamil, iddah bagi mereka adalah sampai melahirkan anak.
Setelah itu berkata, “Wanita yang menjadi janda dalam keadaan hamil termasuk di dalamnya. Saya telah mendengar Hadits mengenai itu dari Rasulullah (saw).”
Hadhrat Umar berkata kepada wanita itu, “Anda amalkan saja apa yang dikatakan Ubay, itu adalah benar.”[52]
Rumah paman Nabi (saw) yaitu Hadhrat Abbas (ra) letaknya menyatu dengan masjid Nabawi. Hadhrat Umar ingin memperluas masjid tersebut lalu bersabda kepada Hadhrat Abbas, “Anda jual saja rumah Anda karena saya akan menyatukannya dengan masjid.”
Hadhrat Abbas menolak hal itu.
Hadhrat Umar bersabda, “Baiklah! Kalau begitu hibahkan saja.”
Abbas juga mengingkarinya lagi.
Hadhrat Umar bersabda, “Kalau begitu Anda sendiri perluas masjid ini dari Anda sendiri, itu akan menjadi lebih bagus. Masjid lebih luas untuk umat dan ikut sertakan rumah Anda di dalamnya.”
Hadhrat Abbas berkata, “Saya tidak setuju dengan ketiga pilihan tersebut.”
Hadhrat Umar (ra) kemudian bersabda, اخْتَرْ مِنِّي إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تَبِيعَنِيهَا بِمَا شِئْتَ مِنْ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِمَّا أَنْ أَخْطُطَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْمَدِينَةِ وَأَبْنِيَهَا لَكَ مِنْ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ ، وَإِمَّا أَنْ تَصَّدَّقَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَنُوَسِّعَ بِهَا فِي مَسْجِدِهِمْ “Di antara tiga hal ini, Anda harus memilih salah satunya.”
Hadhrat Abbas (ra) menjawab, لَا وَلَا وَاحِدَةً مِنْهَا “Saya tidak akan menyerahkan satu pun.”[53] Pada akhirnya mereka berdua menjadikan Hadhrat Ubay bin Ka’b sebagai penentu. Sampailah perkara ini kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).
Hadhrat Ubay (ra) mengatakan kepada Hadhrat Umar (ra), ما أرى أن تخرجه من داره حتى ترضيه “Tanpa persetujuan, Anda tidak berhak mengambil properti beliau.” Kemudian bersabda, “Tidak! Anda tidak dapat mengambilnya.”
Hadhrat Umar (ra) bertanya kepada Hadhrat Ubay bin Ka’b, أرأيت قضاءك هذا، في كتاب الله وجدته، أم سنة من رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ “Berkenaan dengan ini apakah Anda memutuskan berdasarkan Al-Qur’an atau Hadis?”
Hadhrat Ubay bersabda, بل سنة من رسول الله صلى الله عليه وسلم “Berdasarkan Hadits (sabda Nabi [saw]) berikut, إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : “إن سليمان بن داود لما بنى بيت المقدس، جعل كلما بنى حائطا أصبح منهدما، فأوحى الله إليه ألا تبني في حق رجل حتى ترضيه”. ‘Ketika Hadhrat Sulaiman (as) telah membangun Baitul Muqaddas, ambruklah salah satu dindingnya yang dibangun di atas tanah seseorang. Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan wahyu-Nya kepada Hadhrat Sulaiman (as), ‘Bangunlah setelah meminta izin darinya (pemilik tanah).’” [54]
Hadhrat Umar (ra) pun terdiam setelah mendengarkan itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga Hadhrat Abbas (ra) adalah pribadi yang ikhlas dan setia serta demi Khilafat beliau telah mengikat janji baiat. Beliau juga terlena dengan keadaan dirinya karena berpikiran kepemilikan tanah menguasai beliau sehingga pada mulanya menolak permohonan Hadhrat Umar (ra). Tetapi, bagaimana pun juga kemudian menang dan tampak jelaslah dalam diri beliau berupa kebaikan, ketakwaan, ghairat keagamaan yang masih ada dan penghormatan kepada Khilafat pun ada, yang kemudian muncul sehingga beliau mengatakan kepada Hadhrat Umar (ra) setelah Hadhrat Umar (ra) mengatakan “Baik” dan terdiam, beliau (Hadhrat Abbas) bersabda, “Baiklah! Katakanlah kepada Hadhrat Umar bahwa saya bersedia menyatukan rumah saya dengan Masjid demi perluasan Masjid.”[55]
Suatu kali Hadhrat Umar bermaksud menghentikan orang-orang dari melaksanakan Haji Tamattu’. Haji Tamattu’ ada dalam tiga macam Haji. Sebagian kalangan muda mungkin tidak mengetahui apa itu Haji Tamattu’. Haji Tamattu’ adalah mengikat ihram umrah setelah sampai di Mekkah dan pertama mengerjakan umrah kemudian melepaskan ihram. Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah mengikat ihram yang baru lalu melaksanakan ibadah haji. Inilah Haji Tamattu’. Sedangkan Haji yang umum adalah Haji Mufrad dan Haji Qiran—yang merupakan ibadah haji dengan menyatukan umrah dan haji dalam satu ihram. Bagaimana pun Hadhrat Umar telah menghentikan pelaksanaan Haji Tamattu’.
Hadhrat Ubay bersabda, لَيْسَ ذَاكَ لَكَ قَدْ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَنْهَنَا عَنْ ذَلِكَ “Anda tidak memiliki hak untuk menghentikannya.” Hadhrat Ubay menghentikan Hadhrat Umar (ra) dan mengatakan, “Ini tidak bisa, ini adalah kesalahan.” Hadhrat Umar pun kemudian tidak melakukannya.[56]
Suatu kali Hadhrat Umar (ra) berkehendak melarang memakai pakaian dari sebuah kota di wilayah Najd yang berjarak tiga mil dari Kufah karena dalam pewarnanya ada atau bisa jadi ada campuran dari air kencing. Untuk memadukan warnanya mungkin dicampur dengan air kencing hewan tertentu. Namun, Hadhrat Ubay (ra) mengatakan, لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ قَدْ لَبِسَهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَبِسْنَاهُنَّ فِي عَهْدِهِ “Dalam hal ini pun Anda tidak berwenang karena Rasulullah (saw) sendiri pernah memakai pakaian dengan warna itu dan juga memakai pakaian dari tempat tersebut. Kami pun memakainya.” Hadhrat Rasulullah (saw) tidak pernah berkeberatan pada masa hidup beliau (saw). Oleh karena itu, Hadhrat Umar (ra) pun terdiam dan bersabda, “Baiklah. Benar yang Anda katakan itu.”[57]
Suatu kali pada zaman Khilafat (kekhalifahan) Hadhrat Umar (ra), Hadhrat Umar dan Hadhrat Ubay tidak bersepakat tentang sebuah kebun. Hadhrat Ubay pun mulai menangis dan berkata, أفي سلطانك يا عمر “Anda memperselisihkan hal-hal seperti ini dalam pemerintahan Anda?”
Hadhrat Umar (ra) bersabda, “Ini bukanlah niat saya. Anda bisa mengambilkan keputusan dari seorang Muslim yang Anda inginkan. Ketidaksepakatan memang ada, antara saya dan Anda tidak ada penentu sehingga silakan ambilkan keputusan karena saya beranggapan pendapat saya yang benar.”
Hadhrat Ubay pun menyebut nama Zaid bin Tsabit, “Kita ambil keputusan dari beliau.” Hadhrat Umar (ra) pun setuju dan menghadapkan kasus tersebut kepada Hadhrat Zaid. Walaupun Hadhrat Umar adalah seorang Khalifah umat Islam, beliau pun hadir sebagai satu pihak dalam pertemuan pengadilan tersebut dengan Hadhrat Zaid bin Tsabit sebagai Hakim.
Hadhrat Umar menolak gugatan Hadhrat Ubay. Hadhrat Umar mengatakan kepada beliau, تذكر لعلك نسيت شيئا “Tuan lupa, coba diingat kembali.”
Hadhrat Ubay beberapa saat berpikir lalu berkata, “Saya tidak ingat.”
Hadhrat Umar lalu menjelaskan seluruh kronologis (urutan) kejadiannya dengan rinci, apa saja yang telah terjadi.
Hadhrat Zaid (ra) bertanya kepada Hadhrat Ubay, بينتك يا أبي “Dalil (argumentasi) apa yang tuan miliki dari yang sedang tuan tuntut? Tidak bicara apa-apa, berarti tidak ada bukti.”
Beliau (Hadhrat Ubay) hanya mengatakan, ما لي بينة فأعف أمير المؤمنين من اليمين “Bukti tidak ada, saat ini Anda silahkan mengambil sumpah dari Amirul Mukminin (Khalifah Umar) karena beliau tidak mengambil sumpah. Memang tidak ada bukti. Itu tidak mengapa. Tetapi, Anda mengatakan tidak mengambil sumpah dari Amirul Mukminin, seharusnya silahkan mengambil sumpah.”
Hadhrat Umar (ra) bersabda, “Jika saya harus bersumpah maka tidak ada halangan apa pun bagi saya dalam hal ini, baik itu mengambil sumpah atau tidak mengambil.” [58] Bagaimana pun juga setelah itu telah diputuskan sebuah keputusan, apa pun itu.[59]
Hadhrat ‘Utsman bin Affan (ra) telah memilih 12 laki-laki dari Quraisy dan Anshar dalam melakukan kodifikasi (standarisasi menjadi satu bacaan) Alquran yang di dalamnya juga termasuk Hadhrat Ubay bin Ka’b dan Hadhrat Zaid bin Tsabit.[60]
Pada zaman Hadhrat ‘Utsman sudah merupakan hal umum kalau berbeda aksen (logat) dalam pembacaan Alqur’an. Berdasarkan hal ini, beliau pun ingin menghapuskan perbedaan ini dan sendiri meminta kepada para sahabat suatu qira’at untuk mendengar qira’at yang berbeda dari setiap orang. Hadhrat Ubay bin Ka’b, Hadhrat Abdullah bin Abbas dan Hadhrat Mu’az bin Jabal menemukan berbagai perbedaan pada semua aksen.
Melihat ini Hadhrat ‘Utsman bersabda, “Saya ingin menyatukan seluruh umat Muslim pada satu jenis Qira’at (bacaan) Al-Qur’an.” Ada 12 orang dari Quraisy dan Anshar yang sepenuhnya mengetahui tentang Qur’an. Hadhrat ‘Utsman (ra) menugaskan pekerjaan penting ini kepada mereka dan menunjuk Hadhrat Ubay bin Ka’b sebagai ketuanya. Beliau, yakni Hadhrat Ubay terus mengucapkan lafaz-lafaz Qur’an dan Hadhrat Zaid terus menulisnya. Pada masa ini berapa pun naskah Qur’an Majid yang ada adalah berdasarkan qira’at Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra).[61]
‘Utayy bin Dhamrah (عُتَيُّ بنُ ضَمْرَةَ) mengatakan, قُلْتُ لأُبِيِّ بنِ كَعْبٍ: “Saya berkata kepada Ubay bin Ka’b, مَا لَكُمْ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَأْتِيكُمْ مِنَ الْبُعْدِ نَرْجُو عِنْدَكُمُ الْخَبَرَ أَنْ تُعَلِّمُونَا فَإِذَا أَتَيْنَاكُمُ اسْتَخْفَفْتُمْ أَمْرَنَا كَأَنَّا نَهُونُ عَلَيْكُمْ؟ ‘Apa gerangan yang terjadi dengan Anda, wahai para sahabat Rasulullah (saw), kami datang kepada Anda dari tempat-tempat yang jauh supaya kami dapat mendengarkan beberapa kabar dari Anda supaya Anda memberitahukan suatu perkara dan supaya Anda dapat mengajari kami, namun ketika kami datang kepada Anda, Anda malah menganggap perkara kami hal biasa saja seolah-olah kami tidak ada apa-apanya pada pandangan Anda.’
Atas hal itu, Ubay bin Ka’b bersabda, وَاللَّهِ لَئِنْ عِشْتُ إِلَى هَذِهِ الْجُمُعَةِ لأَقُولَنَّ فِيهَا قَوْلا لا أُبَالِي اسْتَحْيَيْتُمُونِي عَلَيْهِ أَوْ قَتَلْتُمُونِي. ‘Demi Allah! Jika saya masih hidup sampai hari Jumat yang akan datang, pada hari itu akan saya beritahukan suatu perkara yang tidak saya pedulikan, apakah Anda akan membiarkan saya hidup karena hal itu atau membunuh saya.’”
Ketika hari Jumat tiba, beliau (‘Utayy bin Dhamrah) bersabda, فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَإِذَا أَهْلُهَا يَمُوجُونَ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ فِي سِكَكِهِمْ “Ketika saya telah pergi ke Madinah, apa yang saya lihat adalah orang-orang sedang berjalan bergelombang di gang-gang. Saya berkata, مَا شَأْنُ هَؤُلاءِ النَّاسِ؟ ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang itu?’
Seseorang berkata, أَمَا أَنْتَ مِنْ أَهْلِ هَذَا الْبَلَدِ؟ ‘Apakah Anda tidak berasal dari kota ini?’
Saya menjawab, لاَ ‘Tidak.’
Maka dia berkata, فَإِنَّهُ قَدْ مَاتَ سَيِّدُ الْمُسْلِمِينَ الْيَوْمَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ‘Hari ini pemimpin para Muslim, Ubay bin Ka’b telah wafat.’
Kemudian saya mulai berkata dalam hati, وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ فِي السِّتْرِ أَشَدَّ مِمَّا سَتَرَ هَذَا الرَّجُلَ ‘Demi Allah! Saya tidak pernah mengalami suatu hari yang di hari itu ada seorang yang sedemikian rupa tegas bersifat Sattaari (menutupi hal-hal buruk) sebagaimana orang itu yaitu Ubay bin Ka’b bersifat Sattaari.’”[62]
Maknanya, “Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) sudah mengatakan, ‘Akan saya beritahukan suatu perkara dan saya tidak tahu apa yang akan kalian lakukan denganku setelah itu.’” Sepertinya ini yang perawi maksud bahwa Allah Ta’ala telah menyelamatkan Hadhrat Ubay (ra) dari mengungkap perkara tersebut, yang tidak ingin dijelaskan dengan hati yang senang oleh beliau (ra). Selebihnya Allah Yang Maha Mengetahui apa maksud dari kalimat itu.
Pendek kata, perawi telah mengucapkan kalimat berikut ini, ‘Demi Allah! Saya tidak pernah mengalami suatu hari yang di hari itu ada seorang yang sedemikian rupa tegas bersifat Sattaari (menutupi hal-hal buruk) sebagaimana orang itu yaitu Ubay bin Ka’b bersifat Sattaari.’”
Hadhrat Ubay bin Ka’b meriwayatkan, أَمَّا أَنَا فَأَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِي ثَمَانِي لَيَالٍ “Saya bisa menamatkan Alqur’an dalam waktu delapan malam.”[63]
Gambaran kecintaan Hadhrat Ubay kepada Rasulullah (saw) sedemikian rupa, salah satunya adalah sebagai berikut: Awalnya, Rasulullah (saw) biasa berdiri di sebelah sebatang pohon kurma [yang menjadi tiang Masjid] ketika berkhotbah. Kemudian, dari antara para Sahabat ada yang membuatkan mimbar untuk beliau (saw). Pada hari Jum’at beliau menyampaikan khotbah di mimbar tersebut dan juga duduk di atasnya.
Dari pilar [tiang dari batang pohon yang sebelumnya di dekatnya menjadi tempat Nabi (saw) shalat dan berkhotbah] itu terdengar suara jeritan yang membuat seluruh jamaah masjid pun mendengarnya. Rasulullah (saw) menghampiri pilar tersebut dan meletakkan tangan beliau di atasnya kemudian memeluknya. Pilar tersebut mulai menangis seperti anak kecil yang harus didiamkan sehingga batang itu pun berhenti mengeluarkan suara. [64]
Kemudian ketika masjid dirobohkan dan dilakukan renovasi [perluasan dan pembangunan kembali] maka Hadhrat Ubay bin Ka’b mengambil batang pohon itu. Beliau menyimpannya hingga batang itu membusuk dimakan oleh rayap dan hancur. Tetapi, beliau tetap menyimpannya.[65] Itu disebabkan kecintaan sedemikian rupa. Ini terdapat dalam riwayat Musnad Ahmad bin Hambal dan beberapa bagian di sini juga terdapat dalam Shahih Bukhari.[66]
Dahulu ada enam Qadhi (Hakim yang menjadi acuan pemutus pengadilan) di antara para sahabat Rasulullah (saw) yaitu Hadhrat Umar, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud, Hadhrat Zaid bin Tsabit, Hadhrat Abu Musa al-‘Asy’ari dan Hadhrat Ubay bin Ka’b radhiyAllahu ta’ala ‘anhum.[67]
Samurah bin Jundub adalah sahabat yang terkemuka. Dalam shalat, beliau selalu memberikan sedikit saktah (jeda) yaitu setelah Takbir dan setelah membaca Surah al-Fatihah. Setelah membaca takbir, beberapa saat beliau diam kemudian membaca surah Al-Fatihah. Orang-orang pun memprotes beliau. Beliau pun bersabda, “Mari kita menulis surat dan mengirimkannya ke hadapan Hadhrat Ubay supaya beliau menguraikan berkenaan dengan itu dan hakikatnya bagaimana.”
Hadhrat Ubay pun menjawab dengan begitu singkat, “Praktik Anda (yaitu Samurah bin Jundub) sudah sesuai dengan syari’at.” [68] Artinya, jeda beliau tidak terdapat permasalahan. Itu sudah sesuai dengan syari’at dan orang-orang yang berkeberatanlah yang salah.[69]
Ketika Hadhrat Suwaid bin Ghafalah (سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ) bersama Zaid bin Shuhan (زَيْدِ بْنِ صُوحَانَ) dan Sulaiman bin Rabi’ah (سَلْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ) berangkat ke suatu peperangan, di maqam Udzaib tergeletak sebuah cambuk.[70]
Udzaib adalah sebuah lembah banu Tamim, terdapat sebuah tempat berair di antara Qadisiyah dan Mughsiyah, yang berjarak empat mil dari Qadisiyah.
Kemudian Hadhrat Suwaid mengambil cambuk tersebut. Orang-orang itu berkata, فَلَعَلَّهُ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ “Buanglah, mungkin itu milik seorang Muslim”
Beliau berkata, فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ لِي أَخْذُهُ فَأَنْتَفِعَ بِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ “Saya sama sekali tidak akan membuangnya, kalau saya membiarkannya tergeletak maka serigala nanti akan memakannya, ini akan menjadi makanan mereka, lebih baik saya memanfaatkannya.”[71]
Beberapa hari kemudian, Hadhrat Suwaid berkeinginan untuk berangkat melaksanakan ibadah haji, di jalan beliau sampai di kota Madinah dan pergi menjumpai Hadhrat Ubay dan menceritakan tentang cambuk tersebut. Hadhrat Ubay pun bersabda, “Peristiwa seperti ini pun pernah disampaikan kepada saya. Saya pernah menemukan 100 dinar pada zaman Rasulullah (saw). Sekarang apakah itu cambuk atau 100 dinar, setiap benda masing-masing memiliki nilai, itu tetaplah sebuah amanat. Sekarang selanjutnya, dengarkanlah apa yang Rasulullah (saw) sabdakan.”
Hadhrat Ubay mulai bersabda, “Hadhrat Rasulullah (saw) telah memerintahkan, عَرِّفْهَا سَنَةً فَعَرَّفْتُهَا سَنَةً فَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا يَعْرِفُهَا اعْرِفْ عَدَدَهَا وَوِعَاءَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَهِيَ كَسَبِيلِ مَالِكَ ‘Jika menemukan suatu benda, maka selama setahun penuh teruslah kabarkan kepada orang-orang, teruslah umumkan kepada orang-orang. Setelah lewat satu tahun, ingatlah jumlah, tanda pengenal barangnya dan lain-lain, tunggulah satu tahun lagi. Jika ada seorang yang mencari dan mengenal tanda itu maka serahkanlah kepada dia, kalau tidak maka itu sudah menjadi milikmu.’”[72]
Itu artinya, dua tahun penuh, apa pun benda yang kalian temukan, iklankanlah selama satu tahun dan ingatlah tanda-tandanya selama satu tahun kemudian jika ada yang mengenalinya maka serahkanlah kepadanya.
Suatu kali ada seseorang meributkan sebuah benda yang hilang di masjid dan mengumumkannya di masjid bahwa barangku yang ini telah hilang. Melihat hal itu, Hadhrat Ubay geram lalu orang itu berkata, “Saya toh tidak membicarakan tentang hal yang tidak senonoh di masjid.” Beliau pun bersabda, “Ya, benar. Akan tetapi ini juga bertentangan dengan adab Masjid dengan diumumkannya sebuah barang duniawi.”[73]
Berkenaan dengan tahun kewafatan Hadhrat Ubay terdapat berbagai riwayat, berdasarkan sebuah riwayat Hadhrat Ubay wafat pada masa Khilafat (kekhalifahan) Hadhrat Umar (ra) tahun 20 Hijri. Sedangkan berdasarkan satu riwayat lainnya, beliau wafat pada masa Khilafat (kekhalifahan) Hadhrat ‘Utsman (ra) di tahun 30 Hijri dan ini yang lebih mendekati kebenaran karena Hadhrat ‘Utsman memberikan tanggung jawab kodifikasi (penyatuan dan standarisasi bacaan) al-Qur’an kepada beliau.[74]
Hadhrat Ubay memiliki keturunan yaitu ath-Thufail (الطفيل) dan Muhammad (محمد). Nama ibunda mereka adalah Ummu ath-Thufail binti ath-Thufail (أم الطفيل بِنْت الطُّفَيْل بْن عَمْرو بْن المنذر بْن سبيع بن عبدنهم من دوس) yang berasal dari kabilah Daus. Dikatakan juga Hadhrat Ubay memiliki seorang putri bernama Ummu Amru (أم عَمْرو بِنْت أبي).[75]
Riwayat beliau pun selesai di sini.[76]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahaabah karya Ibnu al-Atsir, Vol. 5, Muawiz bin Afra [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003] 231) (Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Muawiz bin Afra (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 374.)
[2] Siyaar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi.
[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[4] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Muawiz bin Afra [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990] 374.
[5] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 5, Muawiz bin Afra [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003] 231.
[6] Al-Waqidi, Kitab al-Tarikh wa al-Maghazi, Vol. 1, Badr al-Qital [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah (2013)] 38.
[7] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab pembunuhan Abu Jahl (بَاب قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ), 3962. Shahih Muslim, Kitab al-Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), bab kematian Abu Jahl (بَاب قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ), no. 1800. Dalam riwayat Sahih Muslim tertulis bahwa Hadhrat Abdullah bin Mas’ud memegang janggutnya dan berkata, “Apakah kamu Abu Jahl?” Abu Jahl menjawab, “Apakah sebelum ini kamu pernah membunuh seorang pembesar sepertiku?” Perawi mengatakan bahwa Abu Jahl berkata, فَلَوْ غَيْرُ أَكَّارٍ قَتَلَنِي “Seandainya saja aku terbunuh bukan di tangan seorang petani.” Umumnya masyarakat Madinah ialah petani dan pekebun sementara Quraisy Makkah ialah pedagang dan jawara perang.
[8] Sahih al-Bukhari, Kitab Fard al-Khumus, Bab man lam Yakhmus al-Aslab, Hadith 3141, Vol. 5, p. 491, Hashiyah (penjelasan catatan kaki dalam terjemahan bahasa Urdu), Nazarat Isha’at, Rabwah.
[9] Khutbat-e-Mahmud [Khutbat Eid-ul-Fitr] Vol. 1, p. 11.
[10] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab karya Ibnu Abdil Barr (الاستيعاب في معرفة الأصحاب), Vol. 4, Muawiz bin Afra [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992] 1442.
[11] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Maktabat Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016] 168-169.
[12] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017) 378: حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيُّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَبْيَضَ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ لا يُغَيِّرُ شَيْبَهُ .
[13] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017) 378.
[14] Siyaar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi.
[15] Tafsir-e-Kabir, Vol. 10, p. 84.
[16] Dibachah Tafsir al-Quran, Anwar al-Ulum, Vol. 20, pp. 425-426.
[17] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab keutamaan orang Anshar (كتاب مناقب الأنصار), bab keutamaan Ubay ibn Ka’b (باب مَنَاقِبُ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ رضى الله عنه), no. 3808.
[18] Pengantar Mempelajari Al-Qur’an (Dibachah Tafsir al-Quran), Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Anwarul ‘Uluum jilid 20, h. 427.
[19] Sahih al-Bukhari, Kitab Manaqib al-Ansar, Bab Manaqib Ubayy bin Kaab, Hadith 3809; Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab Tafsir (كتاب التفسير), bab Surah al-Bayyinah (سورة لَمْ يَكُنْ), no. 4960.
[20] Siyaar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi. Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab Tafsir (كتاب التفسير), bab Surah al-Bayyinah (سورة لَمْ يَكُنْ), no. 4961.
[21] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab karya Ibnu Abdil Barr (الاستيعاب في معرفة الأصحاب).
[22] Tafsir-e-Kabir, Vol. 8, p. 342.
[23] Siyaar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi; Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 149; Yaqut Ibn Abd Allah al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi] 91.
[24] Al-Mu’jam al-Ausath karya ath-Thabrani (الطبراني في “المعجم الأوسط”.) memuat sabda Khalifah Umar: وحين خطب عمر بن الخطاب بالجابية قال: “يا أيها الناس، من أراد أن يسأل عن القرآن، فليأت أبي بن كعب، ومن أراد أن يسأل عن الفرائض فليأت زيد بن ثابت، ومن أراد أن يسأل عن الفقه فليأت معاذ بن جبل، ومن أراد أن يسأل عن المال فليأتني، فإنَّ الله جعلني له واليًا وقاسمًا”. “Siapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Ubay bin Ka’b. Siapa yang ingin bertanya tentang hukum waris, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang ingin bertanya tentang Fiqh, datanglah kepada Mu’adz bin Jabal. Siapa yang ingin bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada saya karena saat ini Allah Ta’ala menjadikan saya sebagai penjaga dan pembaginya.”
[25] Shahih al-Bukhari, Kitab Manaqib (كتاب مناقب الأنصار), bab Manaqib Zaid bin Tsabit (باب مَنَاقِبُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضى الله عنه), Hadith 3810, translated version, Vol. 7, p. 290, Nazarat-e-Ishaat Rabwah.
[26] Dibachah Tafsir al-Quran, Anwar al-Ulum, Vol. 20, p. 430.
[27] Jami‘ al-Tirmidhi, Abwab al-Manaqib, Bab Manaqib Muaz bin Jabal … Hadith 3790; Ibn ʿAbd al-Barr (d. 1071 CE) dalam karyanya – al-Istīʿāb fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن عبد البر – الاستيعاب في معرفة الصحابة
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ، وَأَقْوَاهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ، وَأَقْضَاهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، وَمَا أَظَلَّتِ الْخَضْرَاءُ، وَلا أَقَلَّتِ الْغَبْرَاءُ عَلَى ذِي لَهْجَةٍ أَصْدَقَ مِنْ أَبِي ذَرٍّ، وَلِكُلِّ أمة أمين، وأمين هذه الأمة أبو عبيدة بْنُ الْجَرَّاحِ.
[28] Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) dalam karyanya – Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba (ابن الأثير – أسد الغابة), Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016] 170: أَوَّلُ مَنْ كَتَبَ لِرَسُولِ اللَّهِ، مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةِ، أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ كَتَبَ فِي آخِرِ الْكِتَابِ، وَكَتَبَ فُلانُ بْنُ فُلانٍ، فَإِذَا لَمْ يَحْضُرْ أُبَيُّ، كَتَبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ .
[29] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 158.
[30] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 148.
[31] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 148; Majma’uz Zawaid karya al-Haitsami. Musnad Ahmad bin hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad orang-orang Makkah (مُسْنَدُ الْمَكِّيِّينَ), Abdurrahman bin Abza al-Khuza’i (عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى الْخُزَاعِيِّ): عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْفَجْرِ فَتَرَكَ آيَةً ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ : .
[32] Shahih Muslim, Kitab Shalat Musafir dan Qasharnya (كتاب صلاة المسافرين وقصرها), bab tujuh Qira’at Al-Qur’an dan maknanya (باب بَيَانِ أَنَّ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ وَبَيَانِ مَعْنَاهُ) Bab Bayan anna al-Quran, Translation of Nur Foundation, Vol. 3, pp. 308-309. Ibn Manẓūr (d. 1311 CE) – Mukhtaṣar Tārīkh Dimashq ابن منظور – مختصر تاريخ دمشق
[33] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 149.
[34] Ad-Dailami, Kanzul ‘Ummal no. 4874 (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال), Jami’ul Ahadits (جامع الأحاديث) karya as-Suyuthi (جلال الدين السيوطي) nomor 35332 dan ad-Durrul Mantsur karya As-Suyuthi (الدر المنثور — جلال الدين السيوطي (٩١١ هـ)). Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 152.
[35] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 157. Sunan Ibni Maajah, Kitab Iqamatush Shalah (كتاب إقامة الصلاة والسنة فيها). Musnad Ahmad, Hadits dari Ubay bin Ka’b (حَدِيثُ الْمَشَايِخِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ): 20325 – عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بَرَاءَةٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُذَكِّرُ بِأَيَّامِ اللَّهِ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وِجَاهَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو الدَّرْدَاءِ وَأَبُو ذَرٍّ فَغَمَزَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أَحَدُهُمَا . Al-Baghawī (d. 1122 CE) – Muʿjam al-Ṣaḥāba البغوي – معجم الصحابة
[36] Shahih Muslim, Kitab Shalat Musafir dan Qasharnya (كتاب صلاة المسافرين وقصرها), bab Keutamaan Surah al-Kahfi dan ayat Kursi (باب فَضْلِ سُورَةِ الْكَهْفِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ).
[37] Sunan Ibni Maajah, Kitab Tijaraat (كتاب التجارات), nomor 2158: عَنْ عَطِيَّةَ الْكَلاَعِيِّ، عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَىَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فَقَالَ “ إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ ” . فَرَدَدْتُهَا . . Hadhrat Ubay (ra) akhirnya mengembalikan hadiah tersebut.
[38] Mu’jamul Ausath karya ath-Thabrani (المعجم الأوسط للطبراني). Abu ‘Ali Hanbal (Hanbal bin Ishaq bin Hanbal – حَنْبَلُ بنُ إِسْحَاقَ بنِ حَنْبَلٍ بنِ هِلاَلِ بنِ أَسَدٍ الشَّيْبَانِيُّ, murid Imam Ahmad dan putra paman Imam Ahmad bin Hanbal) dalam karyanya Juz’u Hanbal (جزء حنبل (التاسع من فوائد ابن سماك)).
[39] Al-Baghawī (d. 1122 CE) dalam karyanya Muʿjam al-Ṣaḥābah (البغوي – معجم الصحابة) bahasan mengenai Thufail Bin Amru ad-Dausi (الطفيل بن عمرو الدوسي). Tercantum juga dalam Adhwaul Bayaan karya Muhammad Amin asy-Syanqithi (أضواء البيان — محمد الأمين الشنقيطي (١٣٩٤ هـ)).
[40] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 151-152. Ibnu Abi Daud dalam al-Mashaahif (المصاحف لابن أبي داود), bab (بَابُ نَقْطِ الْمَصَاحِفِ), mengenai mengambil upah atas penulisan naskah mushhaf al-Qur’an (أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى عَرْضِ الْمَصَاحِفِ): عَنْ عَطِيَّةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: انْطَلَقَ رَكْبٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ إِلَى الْمَدِينَةِ يَكْتُبُونَ مُصْحَفًا لَهُمْ، فَانْطَلَقُوا مَعَهُمْ بِطَعَامٍ وَإِدَامٍ، فَكَانُوا يُطْعِمُونَ الَّذِيْنَ يَكْتُبُونَ لَهُمْ , قَالَ وَكَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يَمُرُّ عَلَيْهِمْ يَقْرَأُ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ قَالَ: فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: ” يَا أُبَيُّ بْنَ كَعْبٍ، كَيْفَ وَجَدْتَ طَعَامَ الشَّامِيِّ؟ قَالَ: لَأُوْشِكُ إِذَا مَا نَشَبَتُ فِي أَمْرِ الْقَوْسِ، مَا أَصَبْتُ لَهُمْ طَعَامًا وَلَا إِدَامًا “ . tercantum juga dalam Tarikh al-Madinah al-Munawwarah (تاريخ المدينة المنورة (أخبار المدينة النبوية) 1-2 ج1) karya Abu Zaid Umar an-Numairi al-Bashri (ابي زيد عمر النميري البصري/ابن شبة).
[41] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 378.
[42] Musnad Ahmad (مسند الإمام أحمد), Sisa Musnad yang banyak (باقي مسند المكثرين), Musnad Jabir (مسند جابر بن عبد الله رضي الله تعالى عنه), nomor 14024: عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : رُمِيَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يَوْمَ أُحُدٍ بِسَهْمٍ ، فَأَصَابَ أَكْحَلَهُ ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُوِيَ عَلَى أَكْحَلِهِ * . Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 141, 142) (Urdu Lughat, Vol. 22, p. 29, Urdu Lughat Board, Karachi.
[43] Tafsir-e-Kabir, Vol. 7, p. 338.
[44] Hadits Musnad Imam Ahmad bin Hanbal Nomor 20319.
[45] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 142. Tafsir Ibnu Katsir: عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّهُمْ جَمَعُوا الْقُرْآنَ فِي مَصَاحِفَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَكَانَ رِجَالٌ يَكْتُبُونَ وَيُمْلِي عَلَيْهِمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، فَلَمَّا انْتَهَوْا إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ مِنْ سُورَةِ بَرَاءَةٌ: ﴿ثُمَّ انْصَرَفُوا صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ﴾ [التَّوْبَةِ: ١٢٧] ، فَظَنُّوا أَنَّ هَذَا آخَرُ مَا أُنْزِلَ(٢٣) مِنَ الْقُرْآنِ. .
[46] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah Urdu Bazar, 2004] 142-143.
[47] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 378, 379: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ الأَسَدِيُّ عَنِ الْجُرَيْرِيِّ أَبِي نَضْرَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ مِنَّا يُقَالُ لَهُ جَابِرٌ أَوْ جُوَيْبِرٌ: .
[48] Shahih al-Bukhari, Kitab Shalat Tarawih (كتاب صلاة التراويح), bab Fadl man Qam Ramadan – keutamaan Nawafil di bulan Ramadhan (باب فَضْلِ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ), Hadith 2010, Translated version, Vol. 3, 680-681, Nazarat-e-Ishaat Rabwah. Tercantum juga dalam Muwatha Imam Malik, Kitab shalat di bulan Ramadhan (كتاب الصلاة فى رمضان).
[49] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (مسند الإمام أحمد), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), Hadits Sulaiman bin Shurd dari Ubayy bin Ka’b (حَدِيثُ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا).
[50] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 153. Musnad ath-Thayalisi (مسند الطيالسي), Hadits-Hadits Ubay bin Ka’b (أَحَادِيثُ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَحِمَهُ اللَّهُ). Musnad Ahmad ibnu Hanbal (مسند الإمام أحمد), Musnad kaum Anshar (مسند الأنصار رضي الله عنهم), hadits Qais bin Ubad dari Ubay bin ka’b (حديث قيس بن عباد عن أبي بن كعب رضي الله تعالى عنه). عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ قَالَ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ لِلُقِيِّ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمْ رَجُلٌ أَلْقَاهُ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أُبَيٍّ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ وَخَرَجَ عُمَرُ مَعَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُمْتُ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ فَجَاءَ رَجُلٌ فَنَظَرَ فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ فَعَرَفَهُمْ غَيْرِي فَنَحَّانِي وَقَامَ فِي مَكَانِي فَمَا عَقِلْتُ صَلَاتِي فَلَمَّا صَلَّى قَالَ يَا بُنَيَّ لَا يَسُوءُكَ اللَّهُ فَإِنِّي لَمْ آتِكَ الَّذِي أَتَيْتُكَ بِجَهَالَةٍ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا كُونُوا فِي الصَّفِّ الَّذِي يَلِينِي وَإِنِّي نَظَرْتُ فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ فَعَرَفْتُهُمْ غَيْرَكَ ثُمَّ حَدَّثَ فَمَا رَأَيْتُ الرِّجَالَ مَتَحَتْ أَعْنَاقَهَا إِلَى شَيْءٍ مُتُوحَهَا إِلَيْهِ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ هَلَكَ أَهْلُ الْعُقْدَةِ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ أَلَا لَا عَلَيْهِمْ آسَى وَلَكِنْ آسَى عَلَى مَنْ يَهْلِكُونَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَإِذَا هُوَ أُبَيٌّ وَالْحَدِيثُ عَلَى لَفْظِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ Dari [Qais bin Ubad] dia berkata, “Aku datang ke Madinah untuk bertemu para sahabat Muhammad (saw), dan tidak ada seorang pun dari mereka yang aku temui yang lebih aku cintai ketimbang [Ubay]. Kemudian ditegakkanlah shalat dan Umar keluar bersama para sahabat Rasulullah (saw), aku lalu berdiri di barisan pertama. Namun kemudian datanglah seorang lelaki seraya memandang ke wajah orang-orang, dan dia (seperti telah) mengenal mereka semua selain aku, kemudian dia menggeserku dan berdiri di tempatku, maka aku tidak mengingat shalatku. Ketika selesai shalat dia berkata, “Wahai anakku, Allah tidak berbuat jahat padamu dan aku tidak datang kepadamu dengan ketidak-tahuan, akan tetapi Rasulullah (saw) telah bersabda kepada kami: ‘Jadilah kalian berada di barisan yang di belakangku!, ‘ dan sesungguhnya aku melihat ke wajah orang-orang dan aku mengenal mereka kecuali kamu.” Kemudian dia (perawi) menceritakan, “Aku tidak melihat para lelaki yang merendah punggungnya dengan rendah melebihinya, orang itu pun berkata, “Aku mendengar beliau bersabda: “Binasalah ahlul ‘Uqdah (orang yang memiliki perjanjian tapi ingkar), demi Rabb pemilik Ka’bah, ketahuilah bukan kepada mereka aku kasihan akan tetapi aku kasihan kepada orang orang Muslim yang binasa.” Dan ternyata orang itu adalah Ubay.” [HR. Muslim no. 432]: Hadits dari Abu Mas’ud, Nabi (saw) diriwayatkan bersabda, لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ “Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah belakang imam) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya.”
[51] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 154.
[52] Mushannaf Abdurrazzaaq (مصنّف عبد الرزاق), Kitab tentang perceraian (كِتَابُ الطَّلَاقِ ), bab cerai mati dan iddahnya (بَابُ الْمُطَلَّقَةِ يَمُوتُ عَنْهَا زَوْجُهَا وَهِيَ فِي عِدَّتِهَا أَوْ تَمُوتُ فِي): عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ أَبِي الْمُخَارِقِ ، أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، فَقَالَتْ لَهُ : إِنِّي وَضَعْتُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِي قَبْلَ انْقَضَاءِ الْعِدَّةِ ، فَقَالَ عُمَرُ : أَنْتِ لِآخِرِ الْأَجَلَيْنِ ، فَمَرَّتْ بِأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، فَقَالَ لَهَا : مِنْ أَيْنَ جِئْتِ ؟ فَذَكَرَتْ لَهُ ؟ وَأَخْبَرَتْهُ بِمَا قَالَ عُمَرُ ، فَقَالَ : اذْهَبِي إِلَى عُمَرَ وَقُولِي لَهُ : إِنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ : قَدْ حَلَلْتُ ، فَإِنِ الْتَمَسْتِينِي فَإِنِّي هَاهُنَا ، فَذَهَبَتْ إِلَى عُمَرَ ، فَأَخْبَرَتْهُ ، فَقَالَ : ادْعِيهِ ، فَجَاءَتْهُ فَوَجَدَتْهُ يُصَلِّي فَلَمْ يَعْجَلْ عَنْ صَلَاتِهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا ، ثُمَّ انْصَرَفَ مَعَهَا إِلَيْهِ ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : مَا تَقُولُ هَذِهِ ؟ فَقَالَ أُبِيٌّ : أَنَا قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ } فَالْحَامِلُ الْمُتَوَفَّى ، عَنْهَا زَوْجُهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا ، فَقَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ ، فَقَالَ عُمَرُ لِلْمَرْأَةِ : اسْمَعِي مَا تَسْمَعِينَ .
[53] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[54] Kitab Tafsir karya Imam As-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur (الدر المنثور), Surah Bani Israil (تفسير سورة بني إسرائيل), Tafsir ila masjidil aqsha (تفسير قوله تعالى إلى المسجد الأقصى). Ath-Thabaqaat al-Kubra.
[55] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 155.
[56] Musnad Ahmad bin Hanbal, Kitab Musnad sahabat Anshar, Hadits beberapa syaikh dari Ubay bin Ka’b Radliyallahu ta’ala ‘anhu, No.20322: عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَرَادَ أَنْ يَنْهَى عَنْ مُتْعَةِ الْحَجِّ فَقَالَ لَهُ أُبَيٌّ لَيْسَ ذَاكَ لَكَ قَدْ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَنْهَنَا عَنْ ذَلِكَ فَأَضْرَبَ عَنْ ذَلِكَ عُمَرُ وَأَرَادَ أَنْ يَنْهَى عَنْ حُلَلِ الْحِبَرَةِ لِأَنَّهَا تُصْبَغُ بِالْبَوْلِ فَقَالَ لَهُ أُبَيٌّ . Kemudian Umar berpaling dari hal itu dan dia hendak melarang pakaian Al-Hibrah (kain yang berhias dengan sutera dan wool), sebab ia dicelup dengan menggunakan air seni, maka Ubay pun berkata kepadanya, “Itu juga bukan hakmu karena Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah memakainya dan kami pun ikut memakainya.”
[57] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 156; Yaqut Ibn Abd Allah al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar Ihya al-Turath al-Arabi] 328; Fiqh-e-Ahmadiyyah, Vol. 1, pp. 335-336. Musnad Ahmad bin Hanbal, Kitab Musnad sahabat Anshar, Hadits beberapa syaikh dari Ubay bin Ka’b Radliyallahu ta’ala ‘anhu, No.20322.
[58] Tarikh Madinah Dimashq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ١٩ – الصفحة ٣١٨): عن مغيرة عن الشعبي قال تنازع في جذاذ نخل أبي بن كعب وعمر بن الخطاب فبكى أبي ثم قال أفي سلطانك يا عمر قال عمر اجعل بيني وبينك رجلا من المسلمين قال أبي زيد قال رضا فانطلقا حتى دخلا على زيد فلما رأى زيد عمر تنحى عن فراشه فقال له عمر في بيته يؤتى الحكم فعرف زيد أنهما جاءا ليتحاكما إليه فقال عمر لأبي يقص فقص فقال له عمر تذكر لعلك نسيت شيئا فتذكر ثم قص حتى قال ما أذكر شيئا ثم قص عمر فقال زيد بينتك يا أبي قال ما لي بينة قال فأعف أمير المؤمنين من اليمين فقال عمر لا تعف أمير المؤمنين من اليمين إن رأيتها عليه . Tercantum juga dalam Kanzul ‘Ummal; juga dalam Kitab Hayatush Shahaabah karya al-Kandahlawi; juga dalam Kitab Mausu’ah Atsarish Shahaabah (موسوعة آثار الصحابة 1-3 ج1), Musnad Atsarul Faruq Umar bin Khaththab karya Sayyid Kasruwi Hasan (سيد كسروي حسن); juga dalam Kitab Tarikh (تاريخ المبرزين من فقهاء الصحابة رضي الله عنهم) karya (قحطان حمدي محمد ،الدكتور). Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (المغني لابن قدامة), Kitab al-Qadha atau Pengadilan (كِتَاب الْقَضَاء), Keadilan seorang Hakim diantara kedua belah pihak yang bersengketa (مَسْأَلَةٌ عَدْلُ الْقَاضِي بَيْنَ الْخَصْمَيْنِ), masalah nomor 8272. Akhbaarul Qudhaat (Berita-Berita mengenai para Hakim) karya Muhammad bin Khalf bin Hayan (أخبار القضاة – محمد بن خلف بن حيان – ج ١ – الصفحة ١٠٨). Dua Kitab terakhir menyebutkan: 1. Hadhrat Umar (ra) memenangkan kasus karena bukti-bukti haknya atas kebun sementara gugatan Hadhrat Ubay bin Ka’b (ra) tidak ada dasarnya; 2. Hadhrat Ubay (ra) yang tidak bisa menyampaikan rincian bukti gugatannya meminta hakim agar Hadhrat Umar bersumpah juga sebagai penguat; 3. Hakim dalam hal ini Hadhrat Zaid bin Tsabit beberapa kali bersikap yang memihak Hadhrat Umar (ra) termasuk tidak memintakan sumpah Hadhrat Umar (ra). Hadhrat Umar (ra) yang malah mengingatkan Hakim agar memperlakukan sama kedua belah pihak, seperti soal tempat duduk, pola teknis pengadilan yang sama dan lain-lain. Karena itu, Hadhrat Umar (ra) tetap melaksanakan sumpah pernyataan kepemilikan atas kebun yang dipersengketakan.
[59] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 145-146.
[60] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 381. codification [standardisation into a single codex or consonantal text]
[61] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 143.
[62] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 380).
[63] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 379: عَنْ أَبِي الْمُهَلَّبِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: .
[64] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب), bab tanda-tanda kenabian dalam Islam (باب عَلاَمَاتِ النُّبُوَّةِ فِي الإِسْلاَمِ): عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ـ رضى الله عنهما ـ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُومُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَى شَجَرَةٍ أَوْ نَخْلَةٍ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ ـ أَوْ رَجُلٌ ـ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَجْعَلُ لَكَ مِنْبَرًا قَالَ ” إِنْ شِئْتُمْ ”. فَجَعَلُوا لَهُ مِنْبَرًا، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ دُفِعَ إِلَى الْمِنْبَرِ، فَصَاحَتِ النَّخْلَةُ صِيَاحَ الصَّبِيِّ، ثُمَّ نَزَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَضَمَّهُ إِلَيْهِ تَئِنُّ أَنِينَ الصَّبِيِّ، الَّذِي يُسَكَّنُ، قَالَ ” كَانَتْ تَبْكِي عَلَى مَا كَانَتْ تَسْمَعُ مِنَ الذِّكْرِ عِنْدَهَا ”. .
[65] Musnad Ahmad, Hadits ath-Thufail putra Ubay bin Ka’b dari Ayahnya (حَدِيثُ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ), nomor 20295 (٢٠٢٩٥) dan 20298 (٢٠٢٩٨): يَقُولُ الطُّفَيْلُ فَلَمَّا هُدِمَ الْمَسْجِدُ وَغُيِّرَ أَخَذَ أَبُوهُ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ذَلِكَ الْجِذْعَ فَكَانَ عِنْدَهُ فِي بَيْتِهِ حَتَّى بَلِيَ وَأَكَلَتْهُ الْأَرَضُ وَعَادَ رُفَاتًا. . Musnad asy-Syafi’i (مسند الشافعي), (وَمِنْ كِتَابِ إِيجَابِ الْجُمُعَةِ), (حديث رقم 259); Musnad Darimi hadis nomor 36 dan Sunan Ibni Maajah (سنن ابن ماجة), (كِتَابُ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَالسُّنَّةُ فِيهَا), (بَابُ مَا جَاءَ فِي بَدْءِ شَأْنِ الْمِنْبَرِ).
[66] Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Mukathirin min al-Sahabah, Musnad Jabir Abd-Allah Hadith 14075; Sahih al-Bukhari, Kitab al-Buyu‘, Bab al-Najjar, Hadith 2095; Sunan Ibn Majah, Kitab Iqamat al-Salah wa al-Sunnah fiha, Bab ma ja‘a fi Bad’ Sha‘n al-Minbar, Hadith 1414; Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 158.
[67] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016] 170. Ma’rifatush Shahaabah karya Abu Nu’aim al-Ashbahani: كَانَ أَصْحَابُ الْقَضَاءِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ سِتَّةً: عُمَرُ، وَعَلِيٌّ، وَعَبْدُ اللَّهِ، وَأُبَيٌّ، وَزَيْدٌ، وَأَبُو مُوسَى .
[68] Sunan Abu Daud hadis nomor 661: عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ سَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ وَعِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ تَذَاكَرَا فَحَدَّثَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ أَنَّهُ حَفِظَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكْتَتَيْنِ سَكْتَةً إِذَا كَبَّرَ وَسَكْتَةً إِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } فَحَفِظَ ذَلِكَ سَمُرَةُ وَأَنْكَرَ عَلَيْهِ عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ فَكَتَبَا فِي ذَلِكَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ فِي كِتَابِهِ إِلَيْهِمَا أَوْ فِي رَدِّهِ عَلَيْهِمَا أَنَّ سَمُرَةَ قَدْ حَفِظَ dari Al Hasan bahwa Samurah bin Jundab dan ‘Imran bin Hushain saling mengingatkan (sesuatu), maka Samurah bin Jundab menceritakan bahwa dirinya hafal dari Rasulullah (saw) dua tempat diam sejenaknya beliau (dalam shalat), pertama setelah takbir dan yang satunya ketika selesai dari membaca “ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin”, Samurah hafal yang demikian itu, namun Imran bin Hushain menolaknya, lantas keduanya menulis surat kepada Ubay bin Ka’b, maka Ubay membalas suratnya atau balasan dari surat mereka berdua bahwa Samurah memang telah hafal (dari Nabi).”; Musnad Ahmad hadis nomor 19374; Musnad Ahmad hadis nomor 19268.
[69] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 154.
[70] Hadits Musnad Imam Ahmad bin Hanbal Nomor 20230.
[71] Hadits Musnad Imam Ahmad bin Hanbal Nomor 20232.
[72] Hadits Musnad Imam Ahmad bin Hanbal Nomor 20230. Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 156; Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-i-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003] 197.
[73] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Ishaah Urdu Bazar, 2004] 157.
[74] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 381: قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ: هَذِهِ الأَحَادِيثُ الَّتِي تَقَدَّمَتْ فِي مَوْتِ أُبَيٍّ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَاتَ فِي خِلافَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. رَضِيَ اللَّهُ عنه. فِيمَا رَأَيْتُ أَهْلَهُ وَغَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا يَقُولُونَ سَنَةَ اثْنَتَيْنِ وَعِشْرِينَ بِالْمَدِينَةِ. وَقَدْ سَمِعْتُ مَنَ يَقُولُ مَاتَ فِي خِلافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ. رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. سَنَةَ ثَلاثِينَ. وَهُوَ أَثْبَتُ الأَقَاوِيلِ عِنْدَنَا. وَذَلِكَ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ أَمَرَهُ أَنْ يَجْمَعَ الْقُرْآنَ. أَخْبَرَنَا عَارِمُ بْنُ الْفَضْلِ قَالَ: أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ وَهِشَامٍ عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيرِينَ أَنَّ عُثْمَانَ جَمَعَ اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا مِنْ قُرَيْشٍ وَالأَنْصَارِ فِيهِمْ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فِي جَمْعِ الْقُرْآنِ. . Tercantum juga dalam karya Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 1 [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 2001] 35-36.
[75] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017] 378.
[76] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 3 to 10 November 2020, pp. 5-10. Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Muhammad Hasyim (Indonesia) dan Mln. Arif Rahman Hakim (Qadian-India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
Comments (2)