Khotbah Jumat: Berbagai Sariyyah Setelah Fatah Makkah

Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Berbagai Sariyyah Setelah Fatah Makkah



Khotbah Jumat Sayidina Amirulmukminin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih Al-Khamis ayyadahullāhu ta’ālā binashrihil ‘azīz, pada 10 Oktober 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ۝٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ۝٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۝٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۝٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ۝٧

Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah setelah Fatah Makkah, ada juga beberapa misi yang beliau lancarkan. Saya akan membahas misi-misi tersebut. Salah satunya adalah sariyyah Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah ke arah Suda’ pada tahun 8 Hijriah. Ketika Rasulullah saw. kembali dari Ja’ranah ke Madinah, beliau mengirimkan pasukan ke berbagai wilayah untuk tablig Islam; maka beliau mengirim Muhajir bin Abi Umayyah ke arah San’a, yang merupakan ibu kota Yaman, dan Ziyad bin Labid ke arah Hadramaut, dan menyiapkan satu pasukan dibawah Qais bin Sa’d sebagai amir atau panglima.

Rasulullah saw. mengirim Hazrat Qais bin Sa’d r.a. bersama 400 orang agar mereka menyampaikan dakwah Islam kepada suku Suda’ di Yaman. Menurut riwayat lain, Rasulullah saw. memerintahkan agar mereka berperang dengan suku Suda’. Riwayat pertama tampaknya lebih benar, karena jika demikian halnya [yakni terjadi perang], maka pasti sebelumnya datang laporan mengenai suku tersebut yang menimpakan kerugian kepada kaum Muslimin, yang atas dasar itu beliau saw. mengambil langkah ini—jika riwayat ini dianggap benar.

Tertulis dalam riwayat bahwa Rasulullah saw. memberikan sebuah bendera besar putih untuk misi ini dan menyerahkan sebuah bendera hitam kepada mereka. Mereka berkemah di salah satu sisi Lembah Qana’. Qana’ adalah salah satu dari tiga lembah terkenal Madinah yang terletak di antara Madinah dan Uhud. Hazrat Qais r.a. adalah putra Hazrat Sa’d bin ‘Ubadah r.a., pemimpin suku Khazraj. Hazrat Qais bin Sa’d r.a. termasuk di antara para sahabat yang utama. Pada peristiwa Fatah Makkah, ketika Rasulullah saw. mengambil kembali bendera dari Hazrat Sa’d bin ‘Ubadah r.a., beliau lantas memberikannya kepada putranya yang bernama Qais ini.

Hazrat Sa’d dianggap sebagai seorang yang sangat bijaksana dan prajurit penunggang kuda yang pemberani. Beliau juga sangat terkenal dalam kedermawanan dan kemurahan hati. Ketika Hazrat Qais r.a. sedang berkemah di Qana’, seorang lelaki dari suku Sada’ bernama Jiyad bin Harits kebetulan melewati tempat itu. Ia telah memeluk Islam beberapa waktu sebelumnya. Ketika ia mengetahui bahwa pasukan ini hendak menyerang sukunya, ia pun sangat terkejut pada saat itu. Tentunya ia pasti mengetahui bahwa orang-orang di sukunya ini bermaksud menimpakan kerugian bagi kaum Muslimin dan ini adalah sebagai akibatnya. Alhasil, ketika ia tahu bahwa sukunya akan diserang, ia langsung menghadap Rasulullah saw. dan memohon agar pasukan yang telah dikirim itu ditarik kembali. Ia memberi jaminan bagi sukunya dan juga berjanji bahwa mereka akan memeluk Islam, yakni jaminan bahwa mereka tidak akan menyerang kaum Muslimin dan tidak akan menimpakan kerugian, dan yang kedua adalah bahwa mereka juga akan memeluk Islam secara berangsur-angsur. Beliau saw. menerima ucapannya dan menarik kembali pasukan tersebut.

Hal ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidaklah mengirim pasukan dengan tujuan menaklukkan wilayah atau menundukkan kaum itu, melainkan beliau mengirimnya untuk menyampaikan pesan Islam, dan tujuannya adalah melindungi kaum Muslimin, dan Hazrat Ziyad bin Harits r.a. pun menepatinya dan dari waktu ke waktu orang-orang dari kaumnya terus memeluk Islam.

Jadi, jika tujuannya hanya memaksa mereka menjadi Muslim, maka tidak akan diizinkan untuk memeluk Islam secara berangsur-angsur, yakni setelah mereka memahaminya; sebaliknya, akan langsung dikatakan, “Terimalah Islam atau pedang.” Maka dari itu, ketika Hazrat Ziyad r.a. melakukan tablig secara bertahap, mereka lalu memeluk Islam. Jadi, melakukan serangan untuk memaksa seseorang menjadi Muslim adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan juga bertentangan dengan amalan dan sunah Rasulullah saw. sendiri.

Ketika mereka memeluk Islam, beliau saw. mengangkat Hazrat Ziyad r.a. sebagai amir mereka dan beliau saw. juga memberikan surat jaminan keamanan kepada kaum mereka, padahal bagi mereka yang telah memeluk Islam tidak diperlukan lagi suatu jaminan keamanan. Beliau saw. memberikannya karena sebagian dari mereka belum memeluk Islam.

Kemudian terdapat juga riwayat mengenai Sariyyah Hazrat ‘Uyainah bin Hishn al-Fazari r.a. ke arah Bani Tamim. Sariyyah ini terjadi pada bulan Muharram tahun 9 Hijriah ke arah Bani Tamim di bawah kepemimpinan Hazrat ‘Uyainah bin Hishn r.a. Latar belakangnya adalah sebagai berikut. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Bishr bin Sufyan r.a. ke arah cabang suku Khuza’ah yaitu Bani Ka’b untuk mengumpulkan harta zakat. Orang-orang ini tinggal di antara Saqya dan tanah Bani Tamim. Maka, atas perintah Hazrat Bishr bin Sufyan r.a., harta Bani Khuza’ah mulai terkumpul padanya dari segala penjuru.

Bani Tamim yang belum memeluk Islam menganggap harta itu terlalu banyak dan berkata, “Mengapa ia mengambil harta kami secara tidak sah dan mengeluarkan pedang-pedang mereka?” Bani Khuza’ah berkata, “Kami telah menerima Islam dan ini adalah perintah agama kami, kami yang memberikannya, jadi apa masalah kalian?” Tetapi Bani Tamim berkata, “Bishr bin Sufyan ini tidak akan dapat meraih seekor unta pun.” Melihat keadaan pertengkaran dan perselisihan ini, Hazrat Bishr bin Sufyan r.a. tanpa melakukan penagihan apa pun kembali dari sana. Hal ini sangat memberatkan Bani Khuza’ah, mereka sangat tidak senang. Bani Khuza’ah menyerang Bani Tamim dan mengusir mereka dari sana sambil berkata, “Jika bukan karena hubungan kekerabatan kalian, kalian tidak akan sampai ke kota-kota kalian. Pasti kita sekarang akan menghadapi suatu ujian dari Nabi Muhammad saw. karena perkataan yang telah kalian ucapkan ini dan karena kami tidak memberikan zakat. Kalian telah berpaling dari utusan Rasulullah saw. dan menghalanginya untuk mengambil zakat dari harta kami.”

Di sisi lain, Hazrat Bishr bin Sufyan r.a. datang kepada Rasulullah saw. dan memberitahukan kepada beliau tentang keadaan tersebut. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang akan memberi pelajaran kepada kaum ini?” Yang pertama kali menjawab labbaik adalah Hazrat ‘Uyainah bin Hishn. Rasulullah saw. mengutus Hazrat ‘Uyainah bin Hishn r.a. bersama 50 penunggang kuda Arab menuju Bani Tamim yang di antara mereka tidak ada seorang pun berasal dari Muhajirin dan Anshar.

Hazrat ‘Uyainah berangkat bersama rekan-rekannya. Mereka berjalan pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari hingga mereka sampai di padang pasir tempat Bani Tamim berkemah dan menggembalakan ternak-ternak mereka. Ketika Bani Tamim melihat pasukan ini, mereka meninggalkan segala sesuatu dan melarikan diri dari sana. 11 orang laki-laki mereka, 11 orang perempuan, dan 30 anak kemudian tertawan. Lalu mereka dibawa ke Madinah. Sesuai perintah Rasulullah saw., mereka ditempatkan di rumah Hazrat Ramlah binti Harits r.a.

Setelah itu, suatu perwakilan yang terdiri dari 80 atau 90 orang terkemuka dari Bani Tamim datang menghadap Rasulullah saw. Dalam utusan ini terdapat para penyair yang fasih berbahasa dan juga orator dari suku tersebut. Mereka semua datang ke masjid pada saat orang-orang sedang menunggu Rasulullah saw. untuk salat Zuhur. Perwakilan itu mengira bahwa mungkin beliau saw. telah terlambat, sehingga beberapa orang di antara mereka mendekati kamar Rasulullah saw. dan dengan suara keras memanggil serta berkata, “Wahai Muhammad saw., mohon keluarlah kepada kami”. Beliau keluar, lalu orang-orang ini mulai berbicara dengan Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. memimpin salat Zuhur dan setelah selesai salat, beliau duduk di halaman masjid. Pemimpin utusan itu berkata, “Kami ingin berbangga dalam syair dan pidato dihadapan Anda. Bertandinglah dengan kami dalam hal pidato dan syair, siapakah kaum yang memiliki orator dan penyair yang lebih tinggi derajatnya. Kami bangga bahwa orator kami baik dan penyair kami juga baik.”

Beliau saw. bersabda, “Adu kebanggan dalam syair dan pidato bukanlah tujuan pengutusanku. Aku tidak diutus untuk menyampaikan syair dan pidatoku dengan penuh kebanggaan. Tujuanku adalah membawa manusia kepada Allah Taala. Akan tetapi, jika tujuan kedatangan kalian hanya itu, maka tunjukkanlah keahlian kalian. Jika kalian menginginkannya, maka silakan lakukan, kami akan memberikan jawabannya.”

Orang-orang itu lalu mengirim orator mereka, ‘Utarid bin Hajib. Ia lalu berpidato. Rasulullah saw. memerintahkan Hazrat Tsabit bin Qais bin Shammas r.a. untuk memberikan jawaban. Hazrat Tsabit r.a. memberikan pidato yang dahsyat sebagai jawaban atasnya dan mengalahkan pidato musuh tersebut. Hazrat Hassan bin Tsabit r.a. pada saat itu tidak hadir dalam majelis. Rasulullah saw. menyuruh memanggil beliau. Setelah itu, penyair dari mereka, Zibriqan bin Badr, menyampaikan syair-syairnya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepada Hazrat Hassan r.a. agar beliau menyampaikan syairnya sebagai tandingan. Hazrat Hassan r.a. memberikan jawaban spontan atas syair tersebut. Ketika Hazrat Hassan selesai, orang-orang tersebut duduk berkumpul. Aqra’ bin Habis yang datang bersama mereka, secara spontan memberikan komentar di hadapan teman-temannya dengan berkata, “Orator mereka lebih unggul dari orator kita dan penyair mereka jauh lebih tinggi derajatnya daripada penyair kita. Mereka jauh lebih unggul dari kita”. Kemudian ketika selesai, mereka pun menerima Islam. Menurut beberapa riwayat, Hazrat Aqra’ bin Habis r.a. telah memeluk Islam beberapa waktu sebelumnya dan sekarang beliau hadir kembali bersama perwakilan tersebut.

Terkait:   Tahun Baru Periode Tahrik Jadid ke-86 (November 2019-Oktober 2020)       

Setelah Bani Tamim menerima Islam, Rasulullah saw. mengembalikan tawanan mereka dan juga menganugerahi mereka semua dengan hadiah dan penghormatan. Menurut satu riwayat, setiap orang yang termasuk dalam kelompok tersebut dianugerahi 500 dirham. ‘Utarid bin Hajib yang termasuk di dalamnya, dan yang telah disebutkan sebelumnya, setelah memeluk Islam, mempersembahkan sebuah selendang kepada Rasulullah saw. sebagai hadiah. Selendang ini diberikan kepadanya oleh Kisra. Dikatakan bahwa selendang ini adalah selendang sutera berkualitas sangat tinggi yang dikerjakan dengan emas. Para sahabat melihat kehalusan dan kelembutan selendang tersebut sehingga mereka sangat terkesan dan mulai menyentuhnya dengan tangan mereka untuk melihatnya. Melihat sikap para sahabat ini, Rasulullah saw. bersabda, “Kalian begitu heran terhadap selendang ini, padahal selendang-selendang Sa’d di surga jauh lebih lembut dan jauh lebih baik daripada ini”.

Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga memberikan keterangannya atas peristiwa ini secara umum. Beliau mengatakan:

Setelah beberapa waktu, ketika kepada Rasulullah saw. datang beberapa kain sutera sebagai hadiah dari suatu tempat, setelah melihatnya, beberapa sahabat  menyebutkan kelembutan dan kehalusannya dengan sangat takjub dan menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Beliau bersabda, “Apakah kalian takjub terhadap kelembutannya? Demi Allah, selendang-selendang Sa’d di surga jauh lebih lembut dan jauh lebih baik daripada ini.” Perkataan Beliau ini adalah corak kiasan yang dimaksudkan untuk mengisyaratkan akan nikmat yang diperoleh Sa’d di surga; jika tidak, sebagaimana yang diketahui secara prinsip dari Al-Qur’an dan hadis bahwa nikmat-nikmat surga tidak dapat dibandingkan dengan nikmat-nikmat di dunia ini dan nikmat-nikmat surga tidak dapat dibendakan menurut istilah kita, dan sesungguhnya kata-kata yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits hanya dimaksudkan untuk mengisyaratkan kesempurnaan nikmat-nikmat dalam bentuk kiasan dan perumpamaan.”

Kemudian ada satu sariyyah yaitu sariyyah Qutbah bin ‘Amir yang terjadi pada bulan Safar tahun 9 Hijriyah. Qutbah bin ‘Amir dikirim oleh Rasulullah saw. dengan membawa 20 orang ke arah suku Khats’am. Menurut suatu riwayat, mereka dikirim ke sekitar Qabalah, kota Qabalah terletak di daerah Tihamah, di jalan menuju Yaman. Antara kota ini dan Makkah terdapat jarak perjalanan delapan hari atau kira-kira berjarak 156 mil. menurut suatu riwayat, ini dikirim ke sekitar Bishah, dan mereka diperintahkan untuk menyerang secara tiba-tiba. Dalam hal ini, pasti musuh tersebut telah melakukan kejahatan.

Dalam perjalanan, mereka menangkap seorang, ketika ditanya maka ia menunjukkan dirinya sebagai orang bisu, tetapi ketika kaum Muslimin mendekati suku tersebut, ia lalu berteriak keras untuk memperingatkan sukunya. Maka, karena telah menipu, ia pun dihukum mati. Karena sekarang orang-orang suku itu sudah agak waspada, maka ditunggu hingga malam tiba, dan ketika sudah tampak gelap maka kaum muslimin menyerang mereka. Alhasil terjadi pertempuran yang sengit dan kedua belah pihak banyak yang terluka dan banyak orang dari suku lawan yang terbunuh.

Kemudian Hazrat Qutbah r.a. membawa unta, kambing, dan wanita sebagai harta ganimah menuju Madinah. Setelah bagian khums dikeluarkan, masing-masing muslim mendapat sebanyak 4 unta atau 40 ekor kambing. Bagaimanapun juga, serangan ini harus dilakukan guna menghentikan kejahatan mereka.

Kemudian disebutkan mengenai Sariyyah Dahhak bin Sufyan Kalabi. Ini terjadi terhadap Bani Kilab pada bulan Rabiulawal tahun 9 Hijriah dan Rasulullah saw. mengirim Hazrat Dahhak bin Sufyan Kalabi r.a. ke Qurta’ menuju suku beliau sendiri yaitu Bani Kilab. Qurta’ adalah nama salah satu cabang Bani Bakr yang berada di jarak tujuh hari perjalanan dari Madinah Munawwarah. Kelompok muslim menemui mereka di Dzul-Jalawah di Najd, mereka menyampaikan tablig Islam, tetapi orang-orang suku itu menolak dan berujung pada pertempuran. Mereka mengalahkan penduduk Qurta’ dan memperoleh harta ganimah.

Ada sebuah peristiwa yang menggugah iman dalam sariyyah ini. Salma bin Qurt yang adalah seorang kafir yang termasuk di antara pemimpin pihak lawan, namun anaknya, Usaid bin Salma telah masuk Islam, dan ia ikut dalam pasukan kaum Muslimin. Ketika musuh tidak dapat menahan serangan kaum Muslimin dan melarikan diri, di antara mereka ada ayah Hazrat Usaid r.a. yaitu Salma. Hazrat Usaid r.a. mengejar ayahnya, namun demi menyelamatkan diri ia melompat ke dalam air bersama kudanya. Hazrat Usaid r.a. juga mengikuti ayahnya di belakang lalu mengajak ayahnya memeluk Islam agar bagaimanapun caranya ayahnya dapat terselamatkan dari neraka. Akan tetapi sang ayah, sebagai jawaban, mulai mencaci maki anaknya. Ketika sang anak melihat bahwa ia tetap keras kepala dan memberontak, maka ia memotong tali kekang kuda ayahnya, lalu seseorang yang lain datang dan membunuhnya. Namun ada juga riwayat lain; menurut riwayat tersebut, ketika Hazrat Usaid r.a. datang ke Madinah dan menerima Islam, maka ayahnya yang sudah tua menulis surat kepadanya yang di dalamnya terdapat beberapa syair, di mana ia mengungkapkan keluhan tentang masa tuanya dan ketidakpatuhan anaknya, dan juga mencela anaknya karena telah menerima Islam; ia menulis: apakah hal-hal tersebut yang menjadi sebab engkau meninggalkan ayahmu yang sudah tua, lalu menerima Islam?

Setelah melihat surat ayahnya ini, Hazrat Usaid r.a. menghadap ke hadirat Rasulullah saw. dan menyampaikan seluruh permasalahan serta meminta izin untuk menulis balasan kepada ayahnya. Maka atas arahan Rasulullah saw., ia menulis surat tablig kepada ayahnya yang setelah membacanya ayahnya juga menerima Islam. Ini yang tertera di dalam riwayat tersebut.

Kemudian disebutkan tentang Sariyyah Hazrat ‘Alqamah bin Mujazziz r.a. menuju Jeddah. Ibnu Sa’d menulis bahwa Sariyyah ini terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun kesembilan Hijriyah, sementara menurut beberapa riwayat lain terjadi pada bulan Safar tahun kesembilan Hijriyah. Rasulullah saw. menerima berita bahwa beberapa orang dari penduduk Habsyah telah turun di pantai Jeddah. Menurut beberapa riwayat, mereka ingin melakukan perampokan terhadap penduduk Makkah. Dalam sebuah kitab sejarah disebutkan bahwa orang-orang tersebut telah menyeberangi laut dan berusaha menimpakan kerugian bagi kaum Muslimin.

Jeddah adalah sebuah kota yang berada di pantai laut sebelah barat Makkah Mukarramah, dan hingga hari ini merupakan sebuah kota besar di Hijaz. Jarak antara Makkah dan Jeddah adalah 75 kilometer, sedangkan jarak Jeddah dari Madinah adalah sekitar 250 mil. Rasulullah saw. mengutus Hazrat ‘Alqamah r.a. sebagai pemimpin beserta 300 orang ke arah mereka. Ketika orang-orang dari penduduk Habsyah yang telah tiba di pantai Jeddah itu mengetahui kedatangan Hazrat ‘Alqamah r.a., maka mereka naik ke kapal-kapal mereka dan melarikan diri ke laut. Hazrat ‘Alqamah r.a.mengejar mereka hingga ke sebuah pulau.

Ada Sebuah peristiwa dari misi ini yang patut disebutkan. Hazrat Abu Sa’id Khudri r.a. meriwayatkan, “ Rasulullah saw mengangkat ‘Alqamah bin Mujazziz sebagai panglima atas sebuah pasukan dan saya juga berada dalam pasukan tersebut. Ketika kami sampai di tempat tujuan dan setelah selesai dari misi tersebut, sebuah kelompok meminta izin kepada panglima mereka untuk segera kembali, maka beliau memberikan izin kepada mereka dan mengangkat ‘Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi sebagai pemimpinnya. Dalam tabiatnya terdapat sifat suka bercanda. Orang-orang ini lalu singgah di tengah perjalanan. Mereka menyalakan api agar mereka dapat menghangatkan diri. Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan bahwa ‘Abdullah as-Sahmi berkata, “Bukankah menjadi hak saya atas kalian bahwa kalian mendengar dan taat?” Mereka berkata, “Tentu saja.” Abdullah berkata, “Apa pun yang saya perintahkan kepada kalian, kalian akan melaksanakannya.” Mereka berkata, “Ya”. Abdullah berkata, “Saya memerintahkan kalian agar melompat ke dalam api ini”. Beberapa orang pun berdiri dan bersiap untuk melompat. Ketika ia yakin bahwa mereka benar-benar akan melompat, ia berkata, “Tahanlah diri kalian karena saya hanya bercanda dengan kalian.” Ketika mereka kembali, orang-orang melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda:

Terkait:   Keberkahan Pengorbanan Keuangan: Tahrik Jadid Tahun Baru 2022

مَنْ أَمَرَكُمْ مِنْهُمْ بِمَعْصِيَةِ اللّٰهِ فَلَا تُطِيعُوهُ

Siapa saja di antara pemimpin kalian yang memerintahkan kalian untuk menentang Allah, maka janganlah kalian menaatinya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللّٰهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam urusan menentang Allah, ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang makruf. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika peristiwa ini disampaikan kepada Rasulullah saw., beliau sangat marah dan bersabda:

لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا إِلٰى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka tidak akan keluar darinya (yakni dari api) hingga hari kiamat, karena ketaatan itu adalah dalam perkara yang makruf.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menyebutkan peristiwa ini sebagai berikut, “Dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat, tidaklah perlu ketaatan. Pada suatu ketika, Rasulullah saw. mengutus seorang sahabat sebagai pemimpin sebuah pasukan kecil. Di tengah perjalanan, ia mengatakan sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh sebagian sahabat, maka ia pun marah dan berkata, “Rasulullah saw. telah mengangkatku sebagai amir atas kalian dan beliau juga telah bersabda bahwa barangsiapa menaati amir yang telah aku angkat maka ia telah menaatiku, dan barangsiapa menentangnya maka ia telah menentangku, dan saat aku adalah wakil Rasulullah saw., maka mengapa kalian menentangku?” Atas hal ini para sahabat berkata, “Kami akan menaati Anda”. Ia berkata, “Baiklah, aku akan melihat apakah kalian menaati atau tidak”. Maka ia memerintahkan untuk menyalakan api dan ketika api telah menyala, ia berkata kepada para sahabat, “Melompatlah ke dalamnya”. Sebagian sahabat sudah bersiap-siap, tetapi yang lain menahan mereka dan berkata bahwa ketaatan itu dalam urusan yang sejalan dengan syariat; jadi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang syariat. Cara seperti ini, yaitu melompat ke dalam api dan mengorbankan nyawa tidak diperbolehkan dan Allah Taala berfirman bahwa tidak diperbolehkan melakukan bunuh diri. Ketika perkara ini disampaikan di hadapan Rasulullah saw maka beliau setuju dengan orang-orang yang telah mengatakan bahwa melompat ke dalam api tidak diperbolehkan.

Kemudian disebutkan juga Sariyyah Hazrat Ali r.a. ke arah Fuls Bani Thayy. Terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun kesembilan Hijriah. Fuls adalah sebuah berhala di wilayah Najd dan suku Thayy menyembahnya. Selain untuk nazar dan persembahan, senjata juga dipersembahkan untuknya. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ali r.a. bersama 150 Ansar dalam pasukan ini, dan di dalamnya ada 100 unta dan 50 kuda untuk meruntuhkan berhala Fuls milik Bani Thayy. Keunikan pasukan ini adalah bahwa selain Hazrat Ali r.a., semua orang lainnya adalah kaum Ansar. Tidak ada seorang pun dari kalangan Muhajirin dan lainnya.

Bani Thayy adalah suku Arab yang terkenal, mereka tinggal di dekat Syam. Beliau saw. memberikan sebuah bendera besar berwarna hitam dan sebuah bendera kecil berwarna putih kepada Hazrat Ali untuk sariyyah ini. Hazrat Ali r.a. menyerang pada waktu pagi dan meruntuhkan berhala Fuls mereka. Banyak tawanan dan ternak yang dirampas. Ini adalah suku dari Hatim Tha’i yang terkenal dermawan dan di antara para tawanan termasuk juga Safanah, putri Hatim Tha’i. Adiy, putra Hatim Tha’i yang merupakan pemimpin suku itu, melarikan diri dan pergi ke negeri Syam. Abu Qatadah ditunjuk sebagai pengawas para tawanan dan Abdullah bin Utaik ditunjuk sebagai pengawas ternak. Setelah mengeluarkan bagian khums yaitu seperlima bagian untuk Rasulullah saw, sisa harta ganimah dibagikan. Namun mereka tidak melakukannya untuk Safanah, putri Hatim, tetapi membawanya sebagai tawanan ke Madinah. Safanah, putri Hatim Tha’i, bersama seluruh tawanan ditempatkan di sebuah kemah di samping pintu Masjid Nabawi. Safanah adalah seorang wanita yang sangat pemberani dan cerdik. Ketika Rasulullah saw melewati kemahnya, ia berdiri untuk menghormati beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayah saya telah wafat dan saudara laki-laki yang menjadi pelindung saya telah melarikan diri, maka berikanlah kebaikan kepadaku, semoga Allah memberikan karunia kepada Anda.” Beliau bertanya, “Siapa yang melindungimu?” Dia menjawab, “Adiy bin Hatim Tha’i.” Beliau bersabda, “Ia yang lari dari Allah dan Rasul-Nya.” Setelah mengucapkan ini, beliau pergi dari sana. Keesokan harinya ketika beliau melewati tempat itu, Safanah kembali mengulangi perkataan yang sama seperti kemarin. Beliau juga memberikan jawaban yang sama seperti kemarin dan pergi, dan ia menjadi putus asa.

Pada hari ketiga ketika Rasulullah saw. melewati kemahnya, Hazrat Ali r.a. juga bersama beliau dan berjalan di belakang beliau. Hazrat Ali r.a. memberi isyarat kepada Safanah agar dia berdiri dan kembali menyampaikan maksudnya. Ia segera berdiri dengan penuh hormat dan kembali menyampaikan permohonan yang sama kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Aku telah menerima permohonanmu, kamu sekarang bebas, tetapi jangan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini; ketika ada orang yang bisa dipercaya, kamu akan dikirim bersamanya ke Syam, kepada saudaramu.”

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa ia memohon kepada Rasulullah saw agar beliau bermurah hati kepadanya, yakni membebaskannya, maka beliau bersikap ihsan kepadanya dan membebaskannya; akhirnya ia menjadi seorang Muslim. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa sebelum dibebaskan, ia telah menjadi seorang Muslim, atau segera setelah pembebasan. Beberapa hari kemudian, beberapa orang dari Bani Qudha’ah datang ke Madinah yang bermaksud pergi ke Syam. Ketika Safanah mengetahui hal itu, ia menghadap Rasulullah saw. dan menyampaikan bahwa ia mempercayai orang-orang tersebut, oleh karena itu ia mohon izin untuk pergi ke Syam bersama mereka. Rasulullah saw. memberikan izin kepadanya dan juga menyediakan pakaian, tunggangan, serta bekal perjalanan untuknya. Setelah berpamitan, ia berangkat dan sampai ke Syam menemui saudaranya, ‘Adiy. Ketika dia tiba di Syam dan bertemu saudaranya, ia mencelanya karena telah melarikan diri dari sana dengan membawa istri dan anak-anaknya, namun meninggalkan saudara perempuan dan kehormatannya di sana. Mendengar ini, saudaranya meminta maaf dan merasa malu. Tidak lama kemudian, ‘Adiy bertanya kepada saudara perempuannya, “Coba katakan, apa pendapatmu tentang Muhammad saw.?” Safanah yang telah menjadi Muslim, setelah menyaksikan akhlak Rasulullah saw. berkata, “Demi Allah, menurutku sebaiknya kamu segera pergi menemui beliau secepat mungkin. Jika ia benar-benar seorang Nabi, maka orang yang cepat-cepat pergi menemuinya akan beruntung dan sukses, dan jika ia seorang raja, maka tidak akan ada perbedaan dalam kehormatan dan martabatmu.” ‘Adiy berkata bahwa pendapat ini sangat baik, lalu ia segera bersiap-siap dan sampai ke Madinah. Rasulullah saw. sedang berada di masjid. ‘Adiy memperkenalkan dirinya, kemudian Rasulullah saw. membawanya menuju ke rumah beliau. Di tengah jalan, seorang nenek menghentikan Rasulullah saw. untuk berbicara atau menanyakan sesuatu. Rasulullah saw. berhenti cukup lama untuk berbicara dengan nenek tersebut. Setelah ‘Adiy menyaksikan semua ini, ia berpikir dalam hatinya bahwa orang ini tidak mungkin seorang raja, karena ia berhenti seperti ini ketika dihentikan oleh seorang nenek.

Ketika sampai di rumah, Rasulullah saw. menyodorkan sebuah bantal kulit yang diisi dengan daun kurma untuk ‘Adiy duduk, tetapi ‘Adiy berkata, “Anda yang duduk di atasnya.” Namun, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak, engkau yang duduk di atasnya,” dan beliau sendiri duduk di lantai. Melihat ini, ‘Adiy kembali berpikir dalam hatinya, “Demi Allah, orang ini tidak mungkin seorang raja.” Rasulullah saw memulai percakapan dengan ‘Adiy, membahas tentang agamanya dan beberapa urusan pribadinya. Beberapa hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali ‘Adiy sendiri, sehingga ‘Adiy menjadi yakin bahwa beliau benar-benar seorang Rasul dan berkata, “Saya telah yakin bahwa Anda benar-benar Rasul Allah karena Anda telah diberi tahu tentang beberapa hal yang tersembunyi.”

Diriwayatkan dari Hazrat ‘Adiy r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai ‘Adiy, terimalah Islam, maka kamu akan selamat.” Saya berkata, “Saya sudah menjadi pengikut suatu agama.” Rasulullah saw. bersabda, “Saya lebih mengenal agamamu daripada kamu sendiri.” Saya berkata, “Bagaimana mungkin Anda lebih mengenal agama saya daripada saya sendiri?” Rasulullah saw bersabda, “Ya, saya lebih mengenal agamamu daripada kamu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bukankah kamu menganut agama Raqusy, yaitu agama antara Kristen dan Shabi?” Saya berkata, “Mengapa tidak.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah kamu pemimpin kaummu?” Saya berkata, “Ya, benar.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah kamu mengambil seperempat bagian dari harta rampasan perang karena kedudukanmu sebagai pemimpin?” Saya berkata, “Ya, saya mengambilnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Ini tidak halal bagimu dalam agamamu sendiri untuk mengambilnya dengan cara seperti itu.” Maka saya merasa menyesal dan malu pada diri saya sendiri.

Terkait:   Pembagian Rampasan Perang Setelah Pertempuran Hunain

Kemudian Rasulullah saw. Bersabda, “Wahai ‘Adiy, mungkin kemiskinan kaum Muslimin menghalangimu untuk masuk ke dalam agama ini. Demi Allah, tidak lama lagi harta akan melimpah sedemikian rupa sehingga tidak akan ditemukan orang yang mau menerimanya, dan mungkin juga banyaknya musuh mereka menghalangimu untuk masuk ke dalam agama ini. Musuh-musuh Islam sangat banyak, oleh karena itu kamu ragu-ragu. Demi Allah, tidak lama lagi kamu akan mendengar tentang seorang wanita yang berangkat dari Hirah dengan menunggang untanya untuk berziarah ke Baitullah Ka’bah dan ia tidak akan merasa takut sedikit pun. Mungkin juga yang menghalangimu untuk masuk ke dalam agama ini adalah kenyataan bahwa pemerintahan dan kekuasaan berada di tangan orang-orang lain, maka demi Allah, tidak lama lagi kamu akan mendengar tentang istana-istana putih di tanah Babel bahwa istana-istana itu telah dibuka untuk mereka dan perbendaharaan Kisra akan dibuka.” Rasulullah saw. mengulangi perkataan ini tiga kali. ‘Adi berkata bahwa setelah melihat akhlak mulia Rasulullah saw. dan semua perkataan beliau itu, saya pun masuk Islam.

Hazrat ‘Adi r.a. sendiri menceritakan peristiwa penerimaan Islamnya dan juga biasa mengatakan, “Saya telah melihat seorang wanita musafir yang berangkat dari Hirah tanpa teman seperjalanan untuk melakukan tawaf Baitullah dan saya sendiri turut serta dalam pasukan penaklukan Kisra.”

Setelah menerima Islam, Hazrat ‘Adi r.a. sangat memperhatikan perintah-perintah Islam. Beliau senantiasa berwudu untuk salat dan sangat peduli serta bersemangat dalam menunaikan salat. Orang-orang berulang kali bertanya bahwa apakah [keikutsertaan] kerabat yang mahram wajib untuk pergi haji? Itu diperlukan dalam keadaan tertentu, saya telah menjawabnya beberapa kali, tetapi hal ini juga mendukung bahwa Hazrat ‘Adi r.a. mengatakan, “Saya sendiri telah melihat seorang wanita yang berangkat dari Hirah dan ia sendirian dan datang untuk melakukan tawaf Ka’bah dan tidak ada seorang pun bersamanya.” Jadi, tidak ada syarat [kehadiran] mahram.

Beberapa waktu setelah ekspedisi Hazrat ‘Ali r.a. ini, delegasi suku Tha’i datang menghadap Rasulullah saw. dan mereka menerima Islam. Kemudian ada riwayat tentang sariyyah ‘Ukasyah bin Mihshan yang menuju Janab. Sariyyah ini terjadi pada bulan Rabiulakhir tahun 9 Hijriyah. Sariyyah Hazrat ‘Ukasyah r.a. ini terjadi di wilayah utara Madinah Munawwarah di antara suku-suku ‘Uzrah dan Bali yang tinggal di sekitar Janab. Dalam beberapa riwayat, nama wilayah ini juga disebutkan sebagai Jabab. Rincian lebih lanjut tentang sariyyah ini tidak banyak disebutkan. Hanya disebutkan bahwa sariyyah ini telah terjadi.

Sekarang saya akan menyampaikan beberapa hal awal tentang Gazwah Tabuk. Ini terjadi pada bulan Rajab tahun 9 Hijriyah, September 630 Masehi. Setelah Gazwah Thaif, pada bulan Rajab tahun 9 Hijriyah, Rasulullah saw. berangkat untuk gazwah ini. Ini adalah gazwah terakhir dalam kehidupan beberkat Rasulullah saw. Tabuk berjarak sekitar 685 kilometer dari Madinah.

Gazwah ini disebut Gazwah Tabuk karena pasukan berhenti di mata air bernama Tabuk. Ketika Rasulullah saw. mendekati Tabuk, beliau bersabda kepada rombongan kafilah:

إِنَّكُمْ سَتَأْتُونَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللّٰهُ عَيْنَ تَبُوكَ

“Besok kalian akan sampai di mata air Tabuk, insya Allah.”

Dalam Al-Qur’an, Gazwah Tabuk disebutkan dengan nama sā’atul-‘usri, yaitu masa kesulitan; oleh karena itu gazwah ini juga disebut Gazwatul-‘Usri. Karena kaum Muslimin menghadapi kesulitan dan kesempitan yang sangat besar dalam ghazwah ini, misalnya: panas yang sangat terik, perjalanan yang jauh, tunggangan yang sangat kurang, kekurangan air yang parah di sepanjang jalan. Untuk persiapan pasukan, biaya juga sangat kurang; hal ini harus dihadapi dengan sangat berat. Karena semua kesulitan ini, gazwah ini juga disebut Jaisyul-‘Usrā, yaitu pasukan yang mengalami kesempitan dan kesulitan.

Gazwah ini juga disebut Gazwatul-Fāḍiḥah; dalam bahasa Arab, faḍāḥat berarti penyingkapan dan pembukaan aib, dan karena gazwah ini menyebabkan keadaan banyak orang munafik terbuka dan tampak jelas yang menjadi sebab semakin bertambahnya kehinaan dan terungkapnya aib mereka, maka ghazwah ini diberi nama demikian.

Sebab-sebab dan faktor-faktor serta latar belakang Gazwah Tabuk adalah sebagai berikut: memang penduduk Madinah senantiasa menghadapi ancaman serangan dari kekuatan-kekuatan luar, khususnya dari Bani Ghassān yang didukung oleh Romawi, dan ada pula laporan-laporan bahwa kedua pihak ini, yaitu Romawi dan Ghassān, sedang mempersiapkan perang. Mengenai ancaman dan ketakutan akan serangan Ghassān, Hazrat Umar r.a. sendiri menceritakan, “Kami senantiasa khawatir akan serangan Ghassān, yaitu setiap saat ada kekhawatiran dan pikiran bahwa sekarang akan terjadi serangan.”

Menurut suatu riwayat, peristiwa yang menjadi sebab langsung Perang Tabuk adalah sebagai berikut: sekelompok pedagang yang membawa minyak zaitun dari Syam ke Madinah memberitahukan kepada kaum Muslimin bahwa penduduk Romawi telah mengumpulkan pasukan yang sangat besar di Syam dan Heraklius telah menyediakan biaya untuk para prajurit atau sekutu-sekutunya selama satu tahun. Bersama mereka bergabung pula Lakhm, Judham, ‘Āmilah, Ghassān dan suku-suku Kristen lainnya, dan pasukan garda depan mereka telah sampai ke Balqā’. Balqā’ adalah suatu wilayah yang terletak di negeri Syam, yaitu antara Damaskus dan Wadi al-Qurā.

Sebab lain dari perang ini menurut suatu riwayat adalah bahwa orang-orang Kristen Arab menulis kepada Heraklius bahwa orang yang mengaku sebagai Nabi yaitu Muhammad saw., na‘ūżubillāh, telah meninggal dunia dan para sahabatnya telah ditimpa kelaparan dan hewan ternak mereka telah binasa dan sekarang adalah kesempatan yang sangat baik untuk menyerang mereka dan menjadikan agama Kristen menang. Maka ia mengirim jenderal perangnya dengan pasukan 40.000 orang. Nama jenderal ini adalah Qubadh atau Zinad. Ketika Rasulullah saw. mendapat berita tentang pasukan ini, beliau juga memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan.

Sebab mendasar tampaknya adalah bahwa setelah penaklukan Makkah dan setelah memberikan kekalahan yang menggetarkan kepada suku terkuat di antara Bani Hawazin dalam perang Hunain, setelah kaum Muslimin memperoleh dominasi atas semua suku di sekeliling Arab, kaum Yahudi, Kristen, dan munafik sekali lagi berkumpul bersama-sama dan setelah melihat setiap upaya mereka gagal, mereka memutuskan untuk meminta bantuan dari kekuatan adidaya pada waktu itu yaitu Kaisar Romawi, dan untuk itu mereka melakukan perencanaan yang sangat besar dan sangat berbahaya. Di satu sisi mereka menghubungi Kaisar Romawi dan menyiapkannya agar ia mengirim pasukannya supaya kaum Muslimin dapat dimusnahkan, dan di sisi lain kaum munafik mulai menyebarkan rumor di Madinah sebelumnya bahwa Kaisar Romawi sedang mengirim pasukannya yang akan memusnahkan semua kaum Muslimin termasuk Muhammad saw. di Madinah.

Dengan cara ini kaum munafik dan para penentang lainnya menginginkan bahwa sangat mungkin Rasulullah saw. sendiri akan keluar dari Madinah menuju Syam untuk menghadapi pasukan, dan dalam kedua corak, yakni kesulitan di perjalanan atau pertempuran dengan Kaisar Romawi, na‘ūżubillāh, kebinasaan kaum muslimin dan Rasulullah saw. akan menjadi kepastian. Bagaimanapun juga ini adalah keinginan mereka. Ada rincian lebih panjang mengenai hal ini yang insyaallah akan saya sampaikan di masa mendatang.

Hari ini di Rabwah, Masjid Mahdi yang berada di Gol Bazar diserang oleh para teroris dan lima hingga enam orang Ahmadi terluka di sana. Dua orang terluka sangat parah, operasi mereka juga sedang berlangsung. Semoga Allah Taala memulihkan keadaan mereka dan semoga Allah Taala juga menganugerahkan karunia-Nya kepada para korban luka lainnya. Dua orang yang terluka parah, peluru mengenai perut mereka. Petugas keamanan kita juga telah menembak mati salah satu teroris. Satu orang melarikan diri. Ini adalah laporan sejauh ini. Rincian lainnya akan menyusul.

Semoga Allah Taala segera menangkap para teroris ini dan para pelanggar hukum serta para penentang Jemaat. Pemerintah Punjab, Ketua Menteri dan pemerintah mengklaim bahwa di Punjab kejahatan telah terkendali seratus persen dan tidak ada lagi penjahat sekarang, tetapi serangan yang terjadi setiap hari terhadap para Ahmadi, yang disyahidkan atau dilukai atau harta benda mereka dibakar, ini tampaknya tidak mereka anggap sebagai kejahatan.

Semoga Allah Taala juga menganugerahkan akal kepada pemerintah-pemerintah ini dan semoga Allah Taala segera menampakkan tanda-Nya untuk [menolong] Jemaat.[1]

Khotbah II:

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.