Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) Seri-83

mirza masroor ahmad tujuan kedatangan almasih

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 83)

Pembahasan seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Zubair bin ‘Awwam radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Gelar dan panggilan Hadhrat Zubair (ra). Berbagai keistimewaan beliau. Masuk Islam saat masih anak-anak remaja. Penyiksaan dari paman agar keluar dari Islam namun tetap teguh. Hijrah ke Habsyah.

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 21 Agustus 2020 (Zhuhur 1399 Hijriyah Syamsiyah/Muharram 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada hari ini saya akan menyampaikan riwayat sahabat Badr yang bernama Hadhrat az-Zubair ibn al-’Awwam (الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ بْنِ خُوَيْلِدِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قُصَيٍّ). Ayahanda beliau bernama Awwam bin Khuwailid. Ibunda beliau bernama Shafiyah binti Abdul Muththalib (صَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ قُصَيٍّ) yang merupakan bibi Rasulullah (saw). Silsilah garis leluhur Hadhrat Zubair (ra) bertemu dengan Rasulullah (saw) pada Qushay Bin Kilab. Hadhrat az-Zubair ibn al-’Awwam (ra) adalah keponakan Hadhrat Khadijah (ra), istri Rasulullah (saw). Hadhrat Zubair menikahi putri Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Asma, dan Rasulullah (saw) juga menikahi putri Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Aisyah (ra). Karena itu, Rasulullah (saw) dan Hadhrat Zubair adalah sama-sama menantu Hadhrat Abu Bakr (ra). Seperti itulah kekerabatan yang diraih oleh Hadhrat Zubair dengan Rasulullah (saw).

Beliau digelari Abdullah. Ibunda beliau Hadhrat Safiyah menggelari beliau dengan nama panggilan saudara beliau Zubair Bin Abdul Muththalib, yaitu “Abu Tahir”.[1] Namun Hadhrat Zubair menggelari diri sendiri dengan nama putranya Abdullah yang mana di kemudian hari sebutan tersebut lebih terkenal [yaitu Abu ‘Abdullah].

Hadhrat Zubair masuk Islam setelah Hadhrat Abu Bakr. Diantara yang masuk Islam beliau adalah urutan yang ke empat atau kelima.[2] Beliau baiat pada usia 12 tahun. Dalam riwayat lain beliau baiat pada usia 8 atau 16 tahun.

Beliau termasuk salah satu diantara 10 sahabat beruntung yang ketika hidupnya diberikan kabar suka surga oleh Rasulullah (saw). Beliau juga termasuk diantara 6 ashabus syura yang mana, sebelum kewafatannya Hadhrat Umar pilih untuk menjadi komite pemilihan Khalifah selanjutnya.

Ketika ayah beliau, Awwam Bin Khuwailid wafat, maka Naufal Bin Khuwailid mengurus keponakannya, Zubair. Ibunda beliau, Hadhrat Shafiyah biasa memukuli atau memarahi Hadhrat Zubair ketika masih kecil. Paman beliau, Naufal, bertanya kepada Hadhrat Safiyah, “Kenapa kamu bersikap keras seperti itu kepada anak? Kamu memukuli seperti marah padanya.”

Hadhrat Safiyah menjawab dengan mengucapkan syair:

مَنْ قَالَ إِنِّي أُبْغِضُهْ فَقَدْ كَذَبْ
وَإِنَّمَا أَضْرِبُهُ لِكَيْ يَلَبّْ
وَيَهْزِمَ الْجَيْشَ وَيَأْتِي بِالسَّلَبْ
وَلاَ يَكُنْ لِمَالِهِ خَبْأً مُخَبّْ
يَأْكُلُ مَا فِي البَيْتِ مِنْ تَمْرٍ وَحَبّْ!

Man qaala inni abghidhuh faqad kadzab

Wa innamaa adhribuhu likai yalab

Wa yahzamal jaisya wa ya-ti bis salab

Wa laa yakun li-maalihi khab-a mukhabb

Ya-kulu maa fil baiti min tamrin wa habb

Artinya: “Bagi mereka yang beranggapan bahwa saya marah padanya, maka orang itu adalah pendusta. Saya bersikap keras dan memukulinya bertujuan supaya ia menjadi pemberani dan mampu mengalahkan lasykar pasukan lalu kembali dengan membawa harta kekayaan musuh yang terbunuh. Juga supaya tidak duduk berdiam untuk mendapatkan harta, duduk-duduk di rumah memakan kurma dan biji-bijian.”

Alhasil, seperti itu pemikiran Hadhrat Shafiyyah (ra) ibu Hadhrat Zubair (ra) dan beliau amalkan metode tersebut untuk menjadikan anak berani. Tidaklah mesti kita mengatakan bahwa ini merupakan cara yang baik. Di masa kini pada umumnya yang tampak kepada kita adalah dengan melakukan itu dapat mengurangi rasa percaya pada anak. Namun, pada saat itu Allah ta’ala menyelamatkan Hadhrat Zubair (ra) dari dampak buruk didikan bersikap keras dan kekerasan kepada anak yang diterapkan ibu beliau. Kita mengenal naluri kasih sayang keibuan nan teguh dari seorang ibu sehingga beliau (Hadhrat Shafiyyah) pasti menyayangi Hadhrat Zubair (ra) juga. Tidak hanya memukulinya terus. Peristiwa-peristiwa selanjutnya memperlihatkan bahwa memang benar keberanian dan jiwa ksatria adalah bagian tidak terpisahkan dari kepribadian Hadhrat Zubair (ra). Disebabkan apa keberanian itu muncul? Allah-lah yang lebih mengetahui. Walau bagaimanapun tidak ada dampak negatif dari didikan keras yang ibu beliau berikan pada masa kanak-kanak. Jika di sini sikap seperti itu dilakukan sekarang, maka orang-orang dari dinas pelayanan social (pemerintah) akan segera datang dan mengambil anak kita. Karena itu, para ibu jangan coba-coba untuk menerapkan cara-cara ini.

Ketika Hadhrat Zubair menerima Islam, paman beliau menghukum beliau dengan menggulung beliau di dalam tikar lalu diberikan asap supaya ia mau meninggalkan islam dan kembali pada kekafiran. Namun beliau tetap mengatakan, “Saya tidak akan kembali lagi pada kekufuran.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu bersabda mengenai kejadian tersebut sebagai berikut, “Zubair Bin Awwam adalah seorang pemuda pemberani. Pada masa kemenangan Islam, beliau terbukti sebagai jenderal yang luar biasa. Paman beliau biasa menyiksa beliau dengan menggulung beliau di dalam tikar lalu dari arah bawah diberikan asap supaya nafas beliau tersesak dan mengatakan, ‘Apakah sekarang pun kamu masih belum mau tobat dari Islam?’

Namun beliau tetap bersabar menghadapi penyiksaan itu dan menanggapi dengan berkata, ‘Saya tidak dapat mengingkari kebenaran yang telah saya kenali.’”

Hisham Bin Urwah bin Zubair meriwayatkan dari ayahnya bahwa ketika Hadhrat Zubair masih anak-anak di Mekah ada orang yang berkelahi dengan beliau. Mungkin orang itu bersikap kasar pada beliau. Saat itu Hadhrat Zubair masih kecil, sedangkan pria itu sudah dewasa. Dalam perkelahian tersebut, Hadhrat Zubair mematahkan tangan pemuda itu dan menimpakan luka-luka juga. Orang tersebut dimuat diatas kendaraan lalu dibawa kepada ibunda beliau, Hadhrat Safiyah. Ditanyakan, “Coba lihat apa yang telah dilakukan oleh anak anda?”

Hadhrat Shafiyyah bertanya, “Apa yang terjadi dengan orang ini?”

Orang-orang berkata bahwa Hadhrat Zubair telah berkelahi dengan orang ini. Tidak dijelaskan siapa yang salah dalam kasus tersebut.

Setelah melihat keberanian putranya, Hadhrat Shafiyah membacakan syair berikut: كَيْفَ وَجَدتَ زَبْرَا … أَأَقِطًا أَوْْ تَمْرَا … أَمْ مُشْمَعِلاًّ صَقْرَا ؟  

Kaifa wajadta Zabran?!

A aqiththan au tamran?!

Am musyma’illan shaqra?!

“Bagaimana kalian mendapati Zubair, apakah kalian menganggapnya seperti paneer (sejenis tahu) atau kurma yang mana kalian dapat memakannya dengan mudah, memperlakukan sesuka kalian. Ia layaknya elang yang cepat menyambar. Kalian pasti mendapatinya seperti elang yang cepat menyambar.”

Hadhrat Zubair ikut serta pada kedua hijrah. لَمَّا هَاجَرَ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ نَزَلَ عَلَى الْمُنْذِرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عُقْبَةَ بْنِ أُحَيْحَةَ بْنِ الْجُلاَحِ. Ketika beliau hijrah dan tiba di Madinah, beliau tinggal di rumah Hadhrat Mundzir Bin Muhammad bin ‘Uqbah.[3]

Hadhrat Asma putri Hadhrat Abu Bakr (أسماء بنت أبي بكر الصديق رضي الله عنه) dan juga istri Hadhrat Zubair meriwayatkan, فَخَرَجْتُ وَأَنَا مُتِمٌّ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَنَزَلْتُ قُبَاءً فَوَلَدْتُ بِقُبَاءٍ، ثُمَّ أَتَيْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَوَضَعْتُهُ فِي حَجْرِهِ، ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ فَكَانَ أَوَّلَ شَىْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ حَنَّكَهُ بِالتَّمْرَةِ، ثُمَّ دَعَا لَهُ فَبَرَّكَ عَلَيْهِ، وَكَانَ أَوَّلَ مَوْلُودٍ وُلِدَ فِي الإِسْلاَمِ، فَفَرِحُوا بِهِ فَرَحًا شَدِيدًا، لأَنَّهُمْ قِيلَ لَهُمْ إِنَّ الْيَهُودَ قَدْ سَحَرَتْكُمْ فَلاَ يُولَدُ لَكُمْ‏. “Ketika saya berangkat hijrah dari mekah ke Madinah, saat itu saya tengah mengandung. Sesampainya di Quba, saya memasang tenda untuk bermalam di sana. Abdullah bin Zubair terlahir di sana pada saat itu. Saya membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah (saw). Beliau (saw) memangkunya lalu beliau memerintahkan (sahabat) membawakan sebuah korma kemudian beliau mengunyahnya dan memasukkan ke dalam mulut anak. Benda pertama yang masuk dalam perutnya adalah air ludah beberkat Rasulullah (saw). Kemudian beliau (saw) kembali mengunyah korma dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kemudian beliau (saw) berdoa untuk keberkatannya. Dia adalah anak laki-laki pertama yang lahir dalam Islam.”[4]

Dari Shahih Muslim diketahui, وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ ثُمَّ جَاءَ وَهُوَ ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانٍ لِيُبَايِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَهُ بِذَلِكَ الزُّبَيْرُ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ رَآهُ مُقْبِلاً إِلَيْهِ ثُمَّ بَايَعَهُ ‏. “Rasulullah (saw) memberi nama Abdullah untuk anak Hadhrat Asma. Ketika Hadhrat Abdullah bin az-Zubair (ra) berumur 7 atau 8 tahun, beliau datang pada Rasulullah (saw) untuk baiat. Beliau diperintah oleh ayahnya, Hadhrat Zubair, untuk baiat. Ketika Rasulullah (saw) melihat Hadhrat Abdullah datang menuju beliau maka beliau (saw) tersenyum lalu mengambil baiatnya.”[5]

Ketika Rasulullah (saw) menjadikan kaum Muhajirin di Mekah saling bersaudara, maka beliau (saw) menjadikan Hadhrat Zubair dan Hadhrat Abdullah bin Mas’ud sebagai saudara.[6] Setelah hijrah ke Madinah ketika beliau (saw) menjadikan kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling bersaudara maka beliau menjadikan Hadhrat Salma bin Salamah sebagai saudara agama (ruhani) beliau (Hadhrat Zubair).

وَإِنِّي أُسَمِّي بَنِيَّ بِأَسْمَاءِ الشُّهَدَاءِ لَعَلَّهُمْ أَنْ يُسْتَشْهَدُوا . فَسَمَّى عَبْدَ اللهِ بِعَبْدِ اللهِ بْنِ جَحْشٍ ، وَالْمُنْذِرَ بِالْمُنْذِرِ بْنِ عَمْرٍو ، وَعُرْوَةَ بِعُرْوَةَ بْنِ مَسْعُودٍ ، وَحَمْزَةَ بِحَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَجَعْفَرًا بِجَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، وَمُصْعَبًا بِمُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ ، وَعُبَيْدَةَ بِعُبَيْدَةَ بْنِ الْحَارِثِ ، وَخَالِدًا بِخَالِدِ بْنِ سَعِيدٍ ، وَعَمْرًا بِعَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ . قُتِلَ يَوْمَ الْيَرْمُوكِ. “Hadhrat Zubair (ra) memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama para syuhada supaya barangkali Allah Taala mengarunia mereka kesyahidan. Nama Abdullah dari Abdullah bin Jahsy, nama Mundzir dari Mundzir bin Amru, nama Urwah dari Urwah bin Mas’ud, nama Hamzah dari Hamzah bin Abdul Muththalib, nama Ja’far dari Ja’far bin Abi Thalib, nama Mush’ab dari Mush’ab bin Umair, nama Ubaidah dari Ubaidah bin Harits, nama Khalid dari Khalid bin Sa’id, nama Amru dan Amru bin Sa’id bin al-‘Ash. Hadhrat Amru bin Sa’id syahid di perang Yarmuk.”[7]

Kita tidak tahu sampai mana kebenaran riwayat ini karena jika memang Hadhrat Abdullah bin Zubair kalau dilihat dari waktu kelahiran adalah anak pertama yang lahir (dalam Islam) maka Allah yang paling tahu pada tahun berapa beliau lahir. Namun, terdapat keraguan apakah pada saat itu juga sudah ada yang syahid [dengan nama ‘Abdullah bin Jahsy]. Bagaimanapun juga beliau (Hadhrat Zubair) memberi nama-nama anaknya dari nama-nama orang-orang suci itu.

Urwah bin Zubair meriwayatkan, “Hadhrat Zubair bertubuh tinggi sehingga jika beliau menunggangi tunggangannya maka kaki beliau menyentuh tanah.”

Hadhrat Abdullah bin Zubair meriwayakan bahwa pada suatu hari ia bertanya kepada beliau (ra) [Zubair bin Al Awwam], مَا لَكَ لَا تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Ayah! Kenapa Ayah tidak banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaiman banyak para Sahabat Nabi (saw) lainnya?”

Beliau (ra) menjawab; مَا فَارَقْتُهُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَكِنِّي سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً سَمِعْتُهُ يَقُولُ “Ayah tidak berpisah dari beliau (saw) sejak masuk Islam, (Ayah banyak menyertai Nabi (saw) dan banyak mendengar sabda-sabda beliau. Ayah juga punya banyak Hadits beliau (saw)) tetapi Ayah takut peringatan beliau (saw). Ayah mendengar secara langsung dari beliau (saw) satu kalimat: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ “Siapa berdusta atas nama saya maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”[8]

Ini tidak berarti yang lain semuanya menyampaikan kebohongan atas nama Rasulullah (saw), tapi beliau (ra) menganggap yang terbaik untuk diri beliau sendiri adalah berhati-hati – jangan sampai melakukan kesalahan. Padahal maksud Rasulullah (saw) adalah orang yang sengaja melakukannya. Namun, Hadhrat Zubair (ra) begitu berhati-hati supaya jangan sampai secara tidak sengaja menyampaikan sesuatu yang bukan dari Rasulullah (saw), sehingga membuatnya temasuk dalam orang-orang yang mendapat hukuman. Inilah kehati-hatian beliau.

Hadhrat Said bin Musayyab meriwayatkan, “Hadhrat Zubair bin Awwam adalah orang pertama yang menghunus pedangnya di jalan Allah. Suatu kali Hadhrat Zubair sedang istirahat di sebuah lembah di daerah Mathabikh, nama tempat di Mekah. Tiba-tiba beliau mendengar suara bahwa Muhammad (saw) dibunuh. Beliau (ra) segera keluar dari rumahnya dengan pedang terhunus – yakni beliau keluar dari tempat beliau istirahat tadi.

Di jalan beliau (ra) melihat Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) bersabda, مَا لَكَ يَا زُبَيْرُ ‘Zubair, berhenti! Berhenti! Ada apa?’

Zubair berkata, ‘Saya mendengar sebuah suara bahwa Rasulullah (saw) disyahidkan.’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apa yang bisa kamu lakukan jika saya disyahidkan.’

Beliau (ra) berkata, ‘Demi Tuhan, saya sudah berniat untuk membunuh seluruh rakyat Mekah.’

Saat itu Rasulullah (saw) memanjatkan doa khusus untuk beliau.” Dalam riwayat lain, Rasulullah (saw) juga berdoa untuk pedang beliau ra.

Hadhrat Sa’id bin Musayyab berkata; aku berharap semoga Allah Taala mengabulkan doa Rasulullah (saw) untuk beliau dan Allah Taala tidak akan menyia-nyiakannya.

Hadhrat Zubair (ra) ikut perang Badr, Uhud dan seluruh perang bersama Rasulullah (saw). Dalam perang uhud beliau (ra) istiqomah menyertai Rasulullah (saw) dan beliau telah berbaiat pada Rasulullah (saw) dengan nyawanya.

Pada saat Fath Makkah (penaklukan kota Makkah), dari tiga bendera kaum muhajirin salah satunya ada pada Hadhrat Zubair. Pada hari Badr hanya ada dua kuda bersama Rasulullah (saw). Salah satu diantaranya ditunggangi oleh Hadhrat Zubair.[9]

Hadhrat Urwah meriwayatkan, “Di tubuh Hadhrat Zubair ada dua luka pedang yang dalam dan saya biasa memasukkan jari-jari saya ke dalamnya. Dua luka adalah luka yang dalam. Dua luka perang Badr dan satunya lagi luka perang Yarmuk.”

Musa bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, “Hadhrat Zubair (ra) dikenal karena sorban kuningnya. Beliau memakai sorban kuning. Di perang Badr Hadhrat Zubair memakai sorban kuning dan ketika Rasulullah (saw) melihatnya lalu beliau bersabda, ‘Para malaikat turun seperti Zubair.’” Artinya, para malaikat yang Allah Taala kirim untuk membantu (umat Muslim) juga memakai sorban (kuning) itu ketika berperang.

Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya (Urwah bin Zubair) bahwa Hadhrat Zubair berkata, “Di perang Badr saya berhadapan dengan Ubaidah bin Said. Dia memakai baju perang sampai ke atas sehingga hanya matanya saja yang kelihatan. Dia bergelar Abu Dzatul Qarsy. Dia berkata, ‘Aku Abu Dzatul Qarsy.’

Begitu mendengar itu saya pun langsung menyerangnya dengan tombak dan melukai matanya. Dia pun mati di situ. Saya meletakkan kaki saya di atasnya dengan sangat kuat dan dengan sangat sulit saya menarik keluar tombak itu sehinga kedua sudutnya bengkok – demikian kuatnya saya menombaknya.”

Urwah berkata, “Rasulullah (saw) meminta tombak itu pada Hadhrat Zubair dan beliau (ra) memberikannya kepada Rasulullah (saw). Ketika Rasulullah (saw) wafat, Hadhrat Zubair mengambilnya kembali. Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) meminta tombak itu dan Hadhrat Zubair memberikannya pada beliau ra. Ketika Hadhrat Abu Bakr wafat, Hadhrat Umar meminta tombak itu kepada Hadhrat Zubair dan beliau pun memberikannya pada Hadhrat Umar. Ketika Hadhrat Umar wafat, Hadhrat Zubair mengambil kembali tombak itu. Kemudian Hadhrat Usman meminta tombak itu kepada beliau (ra) dan beliau (ra) memberikannya pada Hadhrat Utsman. Ketika Hadhrat Utsman syahid maka tombak itu dipegang oleh keturunan Hadhrat Ali. Pada akhirnya Hadhrat Abdullah bin Zubair mengambil tombak itu dari mereka dan tombak itu bersama beliau sampai Hadhrat Abdullah bin Zubair disyahidkan.”

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 29)

Hadhrat Zubair bin Awwam meriwayatkan, “Pada perang Uhud, Rasulullah (saw) mengumpulkan orang tuanya untuk-ku, yakni beliau bersabda padaku; aku kurbankan ayah ibuku untukmu.”

Hadhrat Zubair ibn al-Awwam (ra) meriwayatkan, “Pada hari terakhir perang Uhud terlihat ada seorang wanita dari arah depan saya berjalan dengan cepat. Tidak jauh lagi dia akan sampai ke jenazah para syuhada. Nabi yang mulia (saw) tidak menganggap baik jika ada wanita datang untuk melihat jenazah karena kondisi jenazah sangat buruk disebabkan oleh mutilasi. Beliau (saw) bersabda, ‘Larang perempuan itu mendekat! Hentikan dia!’”

Hadhrat Zubair (ra) mengatakan, “Saya melihat dengan seksama perempuan itu adalah ibu saya sendiri. (Hadhrat Shafiyah binti Abdul Muththalib, saudari Hamzah dan juga bibi Nabi (saw) dari pihak Ayah, Abdullah ibn Abdul Muththalib). Lalu, saya berlari mendekati ibu saya dan melarang beliau mendekati jenazah para syuhada. Melihat saya begitu, beliau menghentakkan dada saya dan mendorong saya, beliau perempuan yang tangguh dan mengatakan: ‘Menyingkir kamu! Aku tidak akan menuruti kata-katamu.’

Saya katakan, ‘Rasulullah telah bersumpah bagi ibu supaya ibu jangan melihat jenazah-jenazah itu.’

Seketika mendengar itu, beliau langsung berhenti. (Ketika disampaikan ucapan Rasulullah (saw), beliau berhenti) Beliau lalu mengeluarkan dua helai kain dan mengatakan: ‘Ada dua potong kain yang saya bawakan untuk saudara saya Hamzah karena saya mendapatkan kabar kesyahidannya.’”[10]

Dalam riwayat lain, Hadhrat Shafiyyah berkata: “Saya mengetahui bahwa saudara saya telah dimutilasi dan ini terjadi di jalan Allah. Apakah perlakuan yang diberikan kepada Hadhrat Hamzah di jalan Tuhan, lantas kenapa kita kecewa akan hal itu? Insya Allah saya akan bersabar dan memohon ganjarannya kepada Allah Ta’ala.”

Hadhrat Zubair mendengar jawaban ibu beliau, lalu beliau hadir ke hadapan rasulullah dan menjelaskan seluruhnya. Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda: “Biarkan Shafiyyah melihat jenazah saudaranya.”

Hadhrat Safiyah maju untuk melihat jenazah saudaranya lalu mendoakannya dan membaca Inna lillaahi wa innaa ilaihi rajiuwn. Beliau memohon maghfirah untuknya. Rasulullah (saw) lalu memerintahkan untuk menguburkannya.

Perawi mengatakan: “Ketika kami akan mengafani Hadhrat Hamzah dengan kain tersebut, di sebelah jenazah beliau ada lagi jenazah sahabat dari kalangan Anshar. Jenazah beliau pun diperlakukan sama seperti kepada jenazah Hadhrat Hamzah. Kami merasa malu jika memberikan dua kain itu kepada Hadhrat Hamzah sementara di sisi lain sahabat Anshar itu tidak dapat satu pun. Karena itu, kami memutuskan satu kain dipasangkan pada jenazah Hadhrat Hamzah sedangkan kain yang satu lagi kepada jenazah sahabat Anshari. Setelah diukur kami mengetahui bahwa diantara kedua orang ini salah satunya bertubuh tinggi, lalu kami mengundinya, kain mana yang keluar pada undiannnya, ia akan dikenakan dengan kain tersebut lalu dikuburkan. Namun tetap kain tersebut tidak mencukupi sehingga terpaksa ditambah dengan rumput.”[11]

Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, “Pada saat perang Khandaq, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Adakah yang akan membawakan kabar mengenai Banu Quraidhah untuk saya?’

Hadhrat Zubair berkata, “Saya siap Hudhur.”

Rasulullah bersabda lagi, “مَنْ يأتيني بخبر القوم؟” “Adakah yang akan membawakan kabar mengenai Banu Quraidhah untuk saya?”

Hadhrat Zubair berkata: Saya siap Hudhur.

Rasulullah bersabda untuk yang ketiga kalinya, Adakah yang akan membawakan kabar mengenai Banu Quraidhah untuk saya?

Hadhrat Zubair berkata: Saya siap Hudhur.

Rasulullah bersabda: “إنّ لكلّ نبيّ حواريًّا وإنّ حواريّي الزّبيرُ”. Setiap nabi memiliki hawari, hawari saya adalah Zubair.

Hadhrat Abdullah ibnu Umar pernah mendengar seseorang berkata: Saya adalah anak dari hawari Rasulullah. Hadhrat Abdullah Bin Umar berkata: Jika memang kamu adalah anak keturunan Hadhrat Zubair, dapat dibenarkan, jika bukan, berarti bukan.

Setelah ditanyakan ternyata selain Hadhrat Zubair pun ada lagi sahabat lain yang disebut dengan hawari Rasulullah. Hadhrat Ibnu Umar berkata: Sepengetahuan saya, tidak ada lagi.

Hadhrat ‘Abdullah bin Zubair bin Awwam (ra) meriwayatkan, كُنْتُ يَوْمَ الأَحْزَابِ جُعِلْتُ أَنَا وَعُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، فِي النِّسَاءِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا أَنَا بِالزُّبَيْرِ، عَلَى فَرَسِهِ، يَخْتَلِفُ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا،  “Pada hari perang Ahzab [pengepungan Madinah oleh sekitar 10.000 pasukan Sekutu suku-suku Arab dan Yahudi selama sekitar 25 hari], saya dan ‘Umar bin Abu Salamah berada di dekat dengan kaum wanita lalu saya melihat-lihat ternyata saya dapatkan Zubair (bapak saya) berada di atas kudanya bolak-balik menuju perkampungan Bani Quraizhah dua atau tiga kali. فَلَمَّا رَجَعْتُ قُلْتُ Setelah saya kembali, saya bertanya, يَا أَبَتِ، رَأَيْتُكَ تَخْتَلِفُ‏ ‘Ayah, saya melihat Ayah berbolak-balik’.

Dia bertanya, أَوَهَلْ رَأَيْتَنِي يَا بُنَىَّ ‘Apakah benar kamu melihat Ayah, wahai Anakku?’

Saya jawab, نَعَمْ‏ ‘Ya, benar’.

قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏”‏ مَنْ يَأْتِ بَنِي قُرَيْظَةَ فَيَأْتِينِي بِخَبَرِهِمْ ‏”‏‏.‏ Dia berkata, “Karena sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang dapat mendatangi Bani Quraizhah lalu membawa kabar mereka kepadaku?’.

فَانْطَلَقْتُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ جَمَعَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَبَوَيْهِ فَقَالَ Maka Ayah berangkat dan tatkala Ayah kembali dan menyampaikan laporan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ayah dapati beliau (saw) menyertakan kedua orang tua beliau sebagai tebusan bagi Ayah dengan sabdanya, فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي “Saya rela mengurbankan kedua orang tua saya demi engkau.’”[12]

Pada perang Khaibar seorang pemimpin Yahudi yang terkenal Marhab, terbunuh ditangan Hadhrat Muhammad Bin Maslamah, lalu saudaranya Yasir datang di medan perang, ia meneriakkan yel yel man yubariz (siapa yang akan berduel denganku) Hadhrat Zubair maju untuk berduel dengannya. Hadhrat Safiyah berkata kepada Hadhrat Rasulullah: Wahai Rasulullah! Nampaknya hari ini anakku akan mengalami mati syahid. Hadhrat Rasulullah bersabda: Tidak, bahkan anakmu akan membunuhnya. Hadhrat Zubair tampil untuk melawan Yasir dan akhirnya Yasir terbunuh di tangan Hadhrat Zubair.

Hadhrat Zubair termasuk diantara ketiga orang yang diutus oleh Rasulullah untuk mencari wanita yang membawa surat dari Hadhrat Hatib Bin Abi Baltiah untuk kaum Kuffar. Meskipun sebelumnya telah saya sampaikan, namun saya akan sampaikan lagi disini sedikit saja. Hadhrat Ali (ra) meriwayatkan, “Rasulullah (saw) mengutus saya, Zubair dan Miqdad bin Aswad. Beliau (saw) bersabda, انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ، فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ، فَخُذُوهُ مِنْهَا ‘Berangkatlah kalian dan ketika kalian sampai di Raudhah Khah di sana ada seorang wanita yang tengah mengendarai unta, dia membawa sepucuk surat, ambillah surat itu darinya dan kembalilah kemari!’

Kami pun berangkat, ketika kami sampai di Raudhah Khah (sebuah tempat antara Mekah dan Madinah), apa yang kami lihat di sana? Memang benar kami mendapati di sana ada seorang wanita yang sedang menunggangi unta.

Kami katakan kepada wanita itu untuk mengeluarkan suratnya. Dia mengatakan tidak membawa surat. Kami katakan, ‘Jika kamu tidak mau mengeluarkan suratnya maka mana yang kamu pilih, kamu keluarkan surat itu atau kami terpaksa bersikap keras, bahkan membuka pakaianmu.’

Terpaksa ia mengeluarkan sepucuk surat dari ikatan rambutnya dan menyerahkannya kepada kami. Kemudian Kami membawa surat itu dan menyerahkannya kepada Rasulullah (saw). Setelah surat itu dibuka diketahui bahwa surat itu dari Hathib bin Abi Balta’ah ditujukan untuk kaum Musyrik Makkah mengabarkan perihal suatu rencana Rasulullah (saw).

Rasulullah (saw) memanggil Hathib dan menanyakan, يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا ‘Apa ini semua, Hathib?’

Dia menjawab, يَا رَسُولَ اللَّهِ، لاَ تَعْجَلْ عَلَىَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ، وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا، وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ، يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا وَلاَ ارْتِدَادًا وَلاَ رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الإِسْلاَمِ‏ ‘Wahai Rasulullah (saw), mohon untuk tidak tergesa-gesa memutuskan mengenai diri saya. Saya tidak ada hubungan dengan Quraisy. Saya berpikiran untuk berbuat ihsan kepada mereka. Saya tetap beriman. Saya tidak murtad dan juga tidak menukar Islam dengan kekufuran. Saya hanya ingin berbuat ihsan.’ Mendengar keterangan itu Rasulullah (saw) bersabda, لَقَدْ صَدَقَكُمْ ‘Dia telah memberikan keterangan yang benar pada kalian.’

Karena saat itu Hadhrat Umar hadir, Hadhrat Umar dengan emosi mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Izinkan saya memenggal leher orang munafik ini.’ Beliau (saw) bersabda, إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ ‘Dia (Hathib) ikut serta dalam perang Badr dan siapa yang tahu bahwa Allah Ta’ala pernah berfirman mengenai para sahabat Badr, “Apapun yang kalian inginkan silahkan lakukan, Aku telah mengampuni segala dosa kalian.”’[13]

Setelah Rasulullah menaklukkan Mekah, Hadhrat Zubair berada di sebelah kiri pasukan, sedangkan Hadhrat Miqdad Bin Aswad ditetapkan berada di sebelah kanan. لَمَّا فَتْحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم مَكَّةَ كَانَ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ عَلَى الْمُجَنِّبَةِ الْيُسْرَى ، وَكَانَ الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ عَلَى الْمُجَنِّبَةِ الْيُمْنَى ، فَلَمَّا دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم مَكَّةَ وَهَدَأَ النَّاسُ جَاءَا بِفَرَسَيْهِمَا ، فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَمْسَحُ الْغُبَارَ عَنْ وجُوهِهِمَا بِثَوْبِهِ ، وَقَالَ : إِنِّي قَدْ جَعَلْتُ لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ ، وَلِلْفَارِسِ سَهْمًا ، فَمَنْ نَقَصَهُمَا نَقَصَهُ اللَّهُ. Ketika Rasululah (saw) memasuki Mekah dan orang-orang sudah merasa puas, maka keduanya yakni Hadhrat Zubair dan Hadhrat Miqdad datang dengan mengendarai kuda. Rasulullah (saw) lalu berdiri menyeka debu yang ada di wajah mereka dengan cadar beliau sendiri. Beliau (saw) bersabda, “Saya telah menetapkan dua bagian untuk kuda dan satu bagian untuk penunggangnya. Siapa yang menguranginya, maka Allah akan menguranginya.”[14]

Hadhrat Khalifatul Masih kedua bersabda, “Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) memukulkan tongkatnya pada berhala Hubal lalu berhala itu roboh, Hadhrat Zubair melihat dengan tersenyum kea rah Abu Sufyan dan berkata, ‘Abu Sufyan! Kamu ingat, ketika pasukan Muslim terluka dan berdiri disatu sisi, kamu mengumumkan dengan sombongnya, ‘Ulu hubal! Ulu Hubal! – Hubal agung! Hubal agung!’ Hubal saat itu memberikan kalian kemenangan diatas pasukan Muslim. Hari ini kamu menyaksikan di hadapan kamu berhala Hubal terjatuh hancur.’

Abu Sufyan berkata, ‘Zubair lupakanlah perkara itu. Sekarang tampak dengan jelas kepada kami, yakni jika ada tuhan lain selain tuhannya Muhammad, tidak akan pernah terjadi apa yang sedang kita saksikan sekarang. Inilah Tuhan yakni Tuhannya Rasulullah.’”

Pada saat perang Hunain, disebabkan oleh serangan anak-anak panah yang tidak diduga dari kabilah Hawazin, dan hal itu juga di karenakan ikut sertanya 2.000 orang Muslim baru yang baru masuk Islam sehingga tiba saatnya Rasulullah (saw) ditinggalkan di medan perang.[15] Hadhrat Abbas memegang ikatan kendaraan Hadhrat Rasulullah (saw).

Ketua pasukan kafir yang bernama Malik Bin Auf berdiri di suatu bukit bersama dengan pasukan berkendaranya mencari tahu apa yang dapat disaksikan. Ia melihat datang beberapa pengendara, Malik Bin Auf bertanya, “Apa yang kamu lihat?”

Kawan-kawannya berkata, “Ada beberapa orang yang meletakkan tombak-tombaknya diantara telinga kuda-kuda mereka.”

Ia berkata, “Berarti mereka adalah Banu Sulaim. Mereka tidak akan membahayakan kalian.”

Mereka datang dan berangkat menuju lembah. Tampak lagi datang satu pasukan berkendara. Malik bertanya: apa yang kalian lihat?

Mereka berkata: ada beberapa orang yang memegang tombak.

Ia berkata, “Mereka dari kabilah Aus dan Khazraj. Mereka tidak akan membahayakan bagi kalian.”

Ketika mereka tiba di dekat bukit, mereka berangkat menuju permukiman seperti banu Salim. Tampak lagi seorang pengendara. Malik bertanya kepada kawan-kawannya, “Apa yang kalian lihat?”

Mereka berkata, “Ada seorang pengendara kuda bertubuh tinggi membawa tombak di pundak, mengenakan sorban (kain ikat kepala) merah di kepala.”

Malik berkata, “Ia adalah Zubair Bin Awwam. Demi Tuhan kalian akan bertempur dengannya, kuatkan langkahmu.”

Ketika Hadhrat Zubair tiba di bukit, para pengendara melihatnya, Hadhrat Zubair tetap tangguh seperti bukit di hadapan mereka, begitu rupa beliau menyerang dengan tombak sehingga mengosongkan bukit itu dari para pemimpin ‘Utsman itu.

Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwa pada perang Yarmuk, para sahabat Rasulullah (saw) berkata kepada Hadhrat Zubair, “Bersediakah Anda menyerang sehingga kami pun dapat menyerang bersama anda?”

Hadhrat Zubair berkata, “Jika saya menyerang, kalian akan tertinggal di belakang.”

Mereka berkata, “Kami tidak akan tertinggal.”

Hadhrat Zubair menyerang kaum kuffar dengan dahsyat sehingga beliau dapat mengobrak-abrik barisan musuh. Tampak tidak ada lagi yang bersama dengan beliau saat itu. Ketika beliau melihat ke belakang, tidak ada lagi orang yang menyertai beliau saat itu.

Beliau pun kembali, namun pasukan ‘Utsman memegang tali kuda beliau lalu menimpakan dua luka di pundak beliau yang salah satu lukanya mengenai luka lebar yang telah menimpa beliau ketika perang Badr.

Urwah mengatakan, “Ketika masih kecil, saya sering bermain-main dengan memasukkan jari kedalam lubang luka tersebut. Pada peperangan tersebut Hadhrat Zubair disertai oleh Abdullah Bin Zubair yang masih berusia 10 tahun. Hadhrat Zubair membawanya diatas kuda dan ditetapkan satu orang untuk menjaganya.”[16]

Setelah menaklukan Syam (Suriah dan negeri-negeri sekitarnya), kaum Muslim dibawah komando Hadhrat Amru Bin al-‘Ash (ra) melakukan penaklukan ke Mesir. Hadhrat Amru Bin al-‘Ash (ra), penakluk Mesir, bermaksud untuk menyerang Iskandariyah (Alexandria), beliau mendirikan perkemahan di sebelah selatan Iskandariyah di tepi sungai Nil sehingga karena itu kawasan tersebut disebut Fustaat. Tempat itulah yang di kemudian hari menjadi kota. Bagian terbaru dari kota tersebut pada saat ini disebut dengan Kairo. Kota tersebut dikepung. Melihat kekokohan benteng musuh dan kurangnya jumlah pasukan umat Muslim, Hadhrat Amru Bin al-‘Ash (ra) memohon kepada Hadhrat Khalifah Umar untuk memberangkatkan pasukan bantuan.

Hadhrat Umar mengirimkan 10 ribu pasukan dan 4 komandan dan bersabda bahwa setiap komandan nilainya sama dengan seribu pasukan. Hadhrat Zubair (ra) adalah salah satu dari empat Komandan itu. Sesampainya pasukan bantuan di sana, Hadhrat Amru Bin al-‘Ash (ra) menyerahkan pengaturan pengepungan kepada Hadhrat Zubair. Beliau mengendarai kuda dan mengelilingi benteng, mengatur pasukan, menetapkan tempat berbeda untuk pengendara dan pejalan kaki. Para pelontar batu mulai melontarkan batu ke arah benteng. Pengepungan berlangsung sampai 7 bulan. Belum ada keputusan kemenangan dan kekalahan.

Hadhrat Zubair suatu hari berkata, “Pada hari ini saya rela berkorban bagi umat Muslim.” Setelah mengatakan demikian beliau mengangkat pedang lalu memasang tangga dan menaiki benteng. Beberapa sahabat menyertai beliau. Sesampainya diatas kesemuanya serta-merta meneriakkan takbir. Bersamaan dengan itu seluruh pasukan meneriakkan takbir dengan keras sehingga tanah dan dinding benteng bergetar. Orang-orang Kristen [pihak Mesir yang merupakan vassal Romawi saat itu] beranggapan, pasukan Muslim menerobos ke dalam dinding sehingga mereka lari pontang-panting. Setelah turun dari benteng Hadhrat Zubair membuka pintung gerbang sehingga seluruh pasukan Muslim dapat memasukinya.

Berkenaan dengan kewafatan Hadhrat Zubair, juga penetapan nama anggota komite pemilihan Khilafat dan paska kewafatan Hadhrat Umar, selengkapnya terdapat dalam Sahih Bukhari. Ketika menjelang kewafatan Hadhrat Umar (ra), orang-orang memohon, أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ‏.‏ “Wahai Amirul Mu-minin! Berikanlah wasiyat dengan menetapkan seseorang yang akan menjadi Khalifah berikutnya.”

Beliau (ra) bersabda, مَا أَجِدُ أَحَقَّ بِهَذَا الأَمْرِ مِنْ هَؤُلاَءِ النَّفَرِ أَوِ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ عَنْهُمْ رَاضٍ‏.‏ “Saya tidak mendapati orang yang lebih berhak daripada beberapa orang ini atau tokoh-tokoh terkemuka ini untuk menjadi Khalifah. Mereka ialah orang-orang yang diridhai oleh Rasulullah (saw) ketika beliau (saw) wafat.”

Terkait:   Makna Sejati dari Tobat dan Istighfar

فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ Hadhrat Umar menyebut nama Hadhrat Ali, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Zubair, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Sa’d, Hadhrat Abdurahman bin Auf (radhiyallahu ‘anhum).

Hadhrat Umar berkata lagi, يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ “Abdullah bin Umar akan ikut dalam Tim Formatur ini namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi Khalifah.”[17]

كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ Seolah-olah hal ini dikatakan untuk menentramkan Abdullah.

فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهْوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ “Jika Sa’d terpilih, dialah yang akan menjadi Khalifah. Jika tidak, siapapun diantara kalian yang ditetapkan sebagai yang berwenang [sebagai Khalifah], mintalah selalu bantuan dari Sa’d karena saya pernah memakzulkan dia [memberhentikan dari jabatan Amir Kufah] bukanlah karena dia tidak mampu untuk melakukan tugas atau telah berkhianat.”

Selanjutnya bersabda: أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ، وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ،  “Saya berwasiat kepada Khalifah yang terpilih setelah kematian saya: pertama, mengenai kaum Muhajirin, perhatikanlah hak-hak mereka dan hormatilah mereka.

وَأُوصِيهِ بِالأَنْصَارِ خَيْرًا، الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ، أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ، وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ،  Saya pun mewasiatkan agar memperlakukan para Anshar dengan perlakuan mulia karena mereka ‘yaitu orang-orang yang telah memiliki negeri dan beriman sebelum kedatangan Muhajirin – QS. Al-Hasyr [59]: 9′ sehingga terimalah orang yang berbuat baik diantara mereka dan maafkan orang yang berbuat buruk diantara mereka.

وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الإِسْلاَمِ، وَجُبَاةُ الْمَالِ، وَغَيْظُ الْعَدُوِّ، وَأَنْ لاَ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلاَّ فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ،  Saya wasiatkan juga kepada Khalifah terpilih nanti supaya memperlakukan para warga ‘amshaar (wilayah-wilayah permukiman para petugas dan tentara utusan Khalifah) secara baik karena mereka merupakan pelindung Islam, sumber kekayaan dan dapat menimbulkan kegentaran bagi pihak penentang. Ambillah sesuatu pungutan dengan persetujuan mereka apa-apa yang merupakan kelebihan yang tidak diperlukan oleh mereka.

وَأُوصِيهِ بِالأَعْرَابِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الإِسْلاَمِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، Saya wasiatkan [kepada Khalifah terpilih nanti], perlakukanlah kaum Arab Badui dengan baik karena mereka merupakan akar dan jasad bangsa Arab. Mereka juga bahan mentah umat Islam. Ambillah harta dari orang-orang berkelebihan diantara mereka lalu berikanlah kepada orang-orang yang membutuhkan dari antara mereka.

وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ، وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَلاَ يُكَلَّفُوا إِلاَّ طَاقَتَهُمْ‏.‏ Saya juga mewasiatkan kepadanya mengenai mereka yang berada dalam janji perlindungan dengan jaminan Allah dan jaminan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam [yaitu kaum dzimmi – non Muslim yang berada dalam perlindungan pemerintah Islam sesuai perjanjian], hendaklah ia memenuhi perjanjian dengan mereka dan berperang untuk melindungi mereka [dari serangan musuh] serta janganlah ia membebani mereka di luar batas kesanggupan mereka.”

فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ‏.‏ قَالَتْ أَدْخِلُوهُ‏.‏ فَأُدْخِلَ، فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ “Setelah Hadhrat Umar wafat, kami (para Sahabat) membawa jenazah beliau dan mulai berjalan. Hadhrat Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada Hadhrat Aisyah dan berkata, ‘Umar putra al-Khaththab telah meminta izin.’

Hadhrat Aisyah menjawab, ‘Bawalah jenazahnya masuk.’

Jenazah beliau dimasukkan ke dalam rumah lalu dikuburkan di sana bersama dua Sahabatnya [yaitu Nabi (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra)].

فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلاَثَةٍ مِنْكُمْ‏. Setelah penguburan beliau selesai, orang-orang yang namanya disebut oleh Hadhrat Umar (ra) berkumpul. Hadhrat Abdurahman bin Auf berkata [kepada anggota Tim Formatur pemilihan Khalifah], ‘Serahkan urusan [pilihlah calon Khalifah] kepada tiga orang diantara kalian.’

 فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ‏.‏ فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ‏.‏ وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ‏.‏  Hadhrat Zubair berkata, ‘Saya berikan wewenang saya kepada [Saya memilih] Hadhrat Ali.’ Hadhrat Thalhah berkata, ‘Saya memilih Hadhrat ‘Utsman.’ Hadhrat Sa’d berkata, ‘Saya memilih Abdurrahman bin Auf.’

فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ، وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالإِسْلاَمُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ‏.‏ Hadhrat Abdurrahman berkata kepada Hadhrat Ali dan Hadhrat ‘Utsman, ‘Siapa pun diantara anda berdua yang lepas tangan dari urusan ini, akan kami serahkan urusan ini kepada orang tersebut. Semoga Allah dan Islam akan menjadi pengawas baginya. Dia akan mengusulkan sesuatu yang menurut-Nya utama, yakni yang dalam pandangan Allah Ta’ala utama.’

فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَىَّ، وَاللَّهُ عَلَىَّ أَنْ لاَ آلُوَ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالاَ نَعَمْ، Ucapan ini telah membuat kedua wujud suci ini terdiam yakni beliau-beliau tidak menjawab apa-apa. Hadhrat Abdurrahman lalu berkata: ‘Apakah kalian rela menyerahkan pemilihan ini kepada saya sehingga saya memiliki tanggungjawab terhadap Allah untuk tidak meninggalkan orang yang paling mulia diantara kalian?’

Keduanya (Ali dan Utsman) menjawab: ‘Ya, kami rela.’

فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْقَدَمُ فِي الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ، وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ‏.‏  Abdurrahman bin Auf memegang tangan salah satu dari keduanya [Ali bin Abi Thalib] dan berkata kepadanya: ‘Anda memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan Anda terdahulu dalam masuk Islam. Kewajiban Anda atas Allah seandainya saya mengangkat Anda sebagai pemimpin, hendaklah Anda berbuat adil. Seandainya saya mengangkat Ustman sebagai pemimpin maka Anda harus mendengar dan menaatinya.’

ثُمَّ خَلاَ بِالآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ، فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ‏.‏ فَبَايَعَهُ، فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ، وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ‏. Abdurrahman bin Auf lalu memegang tangan calon lainnya [Utsman] dan mengatakan hal serupa kepadanya. Setelah Abdurrahman bin Auf selesai mengambil perjanjian, dia berkata, ‘Utsman! Julurkanlah tangan anda!’ Hadhrat Abdurrahman lalu baiat kepada Hadhrat ‘Utsman diikuti Hadhrat Ali. Penghuni rumah yang lainnya pun masuk kemudian baiat kepada Hadhrat ‘Utsman (riwayat Bukhari).[18]

Selengkapnya telah saya sampaikan pada khotbah sebelumnya. Hari ini pun saya sampaikan lagi kaitannya dengan ini. Berkenaan dengan Hadhrat Zubair masih berlanjut, selebihnya insya Allah akan dilanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

Sekarang saya akan menyampaikan riwayat beberapa jenazah yang akan saya pimpin shalat Jenazahnya. Jenazah yang pertama, yang terhormat Almarhum Bapak Miraj Ahmad Syahid putra Bapak Mahmud Ahmad dari Dogri Garden, Distrik Peshawar, Pakistan. Para penentang Ahmadiyah menembak beliau pada 12 Agustus pukul 9 malam di depan Apotek beliau dan mensyahidkan beliau. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Rincian peristiwanya sebagai berikut, Almarhum sedang berangkat pulang menuju rumahnya setelah selesai bekerja di Apoteknya ketika orang tidak dikenal menembaki beliau lalu melarikan diri dari tempat kejadian. Almarhum Bapak Syahid terkena empat tembakan yang karenanya Almarhum meninggal di tempat. Ketika disyahidkan Almarhum berusia 61 tahun. Putra dari Almarhum, yang tercinta Yasir Ahmad beberapa menit sebelumnya telah berangkat dari Apotek tempat terjadinya insiden tersebut menuju rumah dan mendapatkan kabar mengenai insiden tersebut dari ponsel Almarhum. Ketika putra Almarhum kembali ke Apotek, Almarhum sudah wafat.

Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga Almarhum Syahid pada tahun 1912 melalui kakek beliau, yang terhormat Bapak Ahmad Gul`dan kakak beliau, yang terhormat Bapak Sahib Gul yang merupakan seorang penyair terkenal di Peshawar dalam bahasa Pashto. Meskipun demikian, keluarga ini memiliki hubungan dengan Syekh Muhammadi Peshawar dari golongan ghair Mubayyi’ sehingga kemudian keluarga ini bergabung dengan orang-orang yang tidak berbaiat, yaitu yang kita sebut Jemaat Lahore atau Peghami. Mereka tidak berbaiat kepada Khilafat.

Akan tetapi, yang terhormat Bapak Miraj bersama dengan tiga orang putranya pada tahun 1990-1991 berbaiat dan bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah, yang mana setelah itu penentangan terhadap beliau terus berlangsung hingga kesyahidan beliau. Para karyawan yang bekerja untuk beliau pun tidak mau bekerja untuk beliau dikarenakan penentangan keagamaan semata. Sejak beberapa waktu yang lalu berlangsung juga serangan penentangan yang hebat di media sosial yang semakin gencar lagi sejak terbunuhnya Tahir Nasim yang berasal dari Rabwah. Atas latar belakang inilah terjadi serangan di daerah itu, bahwa setelah Id para penentang akan melancarkan gerakan penuh menentang orang-orang Qadiani dan menghabisi mereka dari wilayahnya, dan target pertama adalah wilayah di mana Almarhum Syahid tinggal.

Almarhum yang Syahid ini memiliki banyak keistimewaan yang menonjol. Beliau secara rutin melaksanakan shalat berjama’ah di rumahnya, memiliki hubungan yang erat dengan Khilafat, memberikan perhatian yang khusus terhadap menyimak khotbah-khotbah Khalifah. Selain selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan Jemaat, keramahan terhadap tamu, rasa simpati terhadap sesama dan memberikan bantuan kepada orang-orang miskin adalah beberapa sifat beliau yang menonjol. Beliau memberikan obat-obatan secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan. Beliau memiliki jalinan yang penuh simpati dengan setiap orang dalam keluarga. Beliau memiliki jalinan kecintaan yang luar biasa terhadap saudara-saudara beliau dan kecintaan ini kian bertambah ketika saudara-saudara beliau menerima Jemaat. Beliau sangat bersemangat melakukan da’wat ilallah.

Pada kesempatan pengumuman Tahun Baru Tahrik Jadid pengurus datang kepada beliau untuk perjanjian baru, beliau merogoh sakunya dan membayarkan semua uang yang ada untuk candah tahun tersebut.

Pada 2012 putra beliau, Yasir hijrah ke Australia. Pada 2013 Bapak Syahid juga pindah ke Australia. Namun pada 2014 Almarhum dengan membawa putranya pulang kembali ke Pakistan dan mengatakan, “Menjadi keinginan saya untuk tinggal di daerah dan negara saya sendiri dan mengkhidmati orang-orang miskin di sana, dan kecintaan terhadap negara memaksa saya untuk tinggal di Pakistan.”

Ketika saya (Hudhur) melakukan lawatan ke Australia, pada waktu itu Almarhum juga berjumpa dengan saya. Beliau menjabat sebagai Sekretaris Dhiafat dalam waktu yang lama. Para Ahmadi dikarenakan kecintaannya terhadap negara selalu siap untuk memberikan segala pengorbanan, sedangkan orang-orang yang menyatakan diri cinta tanah air ini tidak ada yang mereka kerjakan selain menuduh dan menyakiti para Ahmadi. Namun bagaimana pun para Ahmadi, mereka selalu bertindak sesuai dengan ajaran Ahmadiyah. Sejak lama beliau menjabat sebagai Sekretaris Dhiafat Jemaat Peshawar dan hingga akhir hayatnya Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat di jabatan ini. Pada Ramadhan lalu beliau juga melaksanakan itikaf.

Seorang saudara laki-laki Almarhum yang bernama Bapak Faruq wafat mendahului Almarhum dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan lokasi toko saudara Almarhum yang lainnya dekat dengan Almarhum, beliau pun dalam bahaya dan selalu mendapatkan caci-makian.

Di antara yang ditinggalkan, istri beliau yang terhormat Ibu Rasyidah Miraj dan 3 orang putra, Yasir (27 tahun), Mushawwar Ahmad (25 tahun) dan Jazib (14 tahun) dan seorang putri, Aisyah, yang merupakan Mahasiswi MBBS. Jazib pun menghadapi penentangan yang cukup keras di sekolahnya. Semoga Allah Ta’ala menjaga para putra-putri Almarhum dari kejahatan para penentang.

Akhir-akhir ini penentangan di Pakistan tengah begitu gencar, bahkan anggota parlemen pun berusaha menghasut kemarahan masyarakat dengan mengkait-kaitkan perkara-perkara palsu kepada kita. Mereka secara keliru menyampaikan gerakan-gerakan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Jemaat, kemudian mempropagandakan bahwa ini adalah para Ahmadi, padahal orang-orang yang melakukan gerakan-gerakan itu tidak ada kaitannya dengan Jemaat. Demikian juga demi mendapatkan popularitas instan, orang-orang yang itu-itu juga membuat program menentang Jemaat di Youtube dan beranggapan sedang melakukan pekerjaan berpahala besar dengan mengkait-kaitkan perkara-perkara keliru kepada Jemaat, padahal pada mereka tidak ada niatan baik. Orang-orang ini hanya mengingingkan popularitas instan. Semoga Allah Ta’ala mengembalikkan kejahatan mereka itu kepada mereka sendiri.

Pada hari-hari ini kita harus banyak berdoa khususnya bagi Jemaat Pakistan dan di seluruh dunia. Perbanyaklah membaca doa, اللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ ‘Allahumma innaa naj’aluka fii nuhuurihim wa na’uudzubika min syuruurihim.’ – Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan Engkau berada dalam leher-leher mereka dan kami berlindung kepada Engkau dari kejahatan mereka.”[19]

رَبِّ كُلُّ شَيْءٍخَادِمُكَ رَبِّ فَاحْفَظْنا وَانْصُرْنا وَارْحَمْنا ‘Rabbi kullu syai-in khaadimuka Rabbi fahfazhnii wanshurnii warhamnii.’ – Tuhanku, segala sesuatu adalah hamba Engkau, Ya Tuhanku, lindungilah kami, tolonglah kami dan kasihanilah kami”[20]

Perbanyaklah membaca shalawat. Semoga Allah Ta’ala melindungi semua Ahmadi dari kejahatan-kejahatan para penentang. Semakin meningkat permusuhan ini, maka semakin kita harus tunduk di hadapan Allah Ta’ala.

Putra Almarhum, Yasir Sahib mengatakan, “Ayahanda saya dengan karunia Allah seorang mushi dan selalu ikut ambil bagian dalam candah-candah dengan keikhlasan dan selain itu senantiasa memikirkan orang-orang dan membantu mereka secara finansial. Ayah saya seorang yang sangat pemberani dan tak kenal takut. Beliau tidak pernah takut meskipun adanya penentangan dan bertawakal kepada Allah Ta’ala. Beliau selalu mengatakan, “Saya tidak peduli dengan penentangan. Tuhan saya bersama saya.” Beliau seorang yang sederhana, rendah hati, menolong orang dengan tulus. Seorang yang sangat mutaqi, sibuk dalam dzikir ilahi, memiliki hubungan yang kuat dengan Allah Ta’ala dan seorang yang tawakal. Beliau disiplin dalam shalat, dawam melaksanakan tahajud, menilawatkan Al-Qur’an pada pagi dan sore hari dan juga menasihatkan hal ini kepada anak-anaknya. Beliau melakukan itikaf di bulan Ramadhan dan mengatakan bahwa, “Saya melihat di dalam mimpi kesudahan yang sangat buruk dari orang-orang yang jahat dan munafik” dan dengan sangat tenang beliau mengatakan, “Allah Ta’ala telah mempersiapkan banyak sekali untuk kita.”

Almarhum tinggal di Australia untuk beberapa lama. Bapak Amir Australia dan para Ahmadi Australia juga menuturkan bahwa beliau adalah seorang anggota Jemaat yang memiliki semangat pengorbanan dan seorang yang selalu siap sedia. Seorang yang ramah, penuh kecintaan, mengkhidmati tamu dan sosok yang rendah hati. Seorang Ahmadi yang pemberani dan penuh semangat. Beliau seorang yang pendiam dan bertutur kata lembut. Ketika beliau memutuskan untuk pulang, kawan-kawan beliau mencegah beliau untuk pergi dikarenakan kondisi Pakistan yang berbahaya. Anak-anak beliau pun mencegah beliau. Namun beliau mengatakan, “Jika pun harus kehilangan nyawa demi Jemaat, maka keberuntungan apalagi yang lebih besar dari itu dan ini akan menjadi sebuah kehormatan”, kemudian beliau pergi. Zaim Ansharullah Melbourne mengatakan bahwa, “Dua hari sebelum pensyahidan, beliau menelpon saya mengatakan bahwa penentangan telah sangat meningkat, tapi saya tidak takut.”

Jenazah kedua yang tercinta Adib Ahmad Nasir, Mubaligh Jemaat, yang merupakan putra dari Bapak Muhammad Nasir Ahmad Doger dari Idhipur, Narowal. Beliau wafat pada 9 Agustus di usia 27 tahun setelah sebelumnya sakit dalam waktu yang singkat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau masuk ke Jamiah dan menyelesaikan pendidikannya pada Juli 2017. Beliau lalu bertugas di lapangan dan bekerja di bawah Ishlah-o-Irshad Muqami. Beliau pun telah mendapatkan jodohnya dan akan menikah. Pada 9 Agustus beliau terserang demam dan sakit thypus. Sakit thypus ini semakin parah dan Almarhum tidak sadarkan diri dikarenakan demam tersebut. Waktu itu beliau pun tidak berhati-hati. Beliau tetap bekerja dan melakukan perjalanan juga dan setelah sakit singkat selama 2-3 hari beliau wafat dikarenakan demam tersebut.

Ayah beliau, Bapak Nasir Doger mengatakan, “Putra saya sebagai Waqif Zindegi merupakan kebanggaan bagi kami orang tua. Seorang anak yang sangat baik dan saleh, disiplin dalam shalat dan puasa, bertabiat sederhana, lemah lembut, wajahnya selalu tersenyum.” Keistimewaan-keistimewaan ini dituliskan juga oleh teman-teman mubaligh Almarhum atau yang berinteraksi dengan Almarhum. Almarhum selalu tersenyum, mencintai Jemaat dan memiliki semangat pengkhidmatan yang sangat besar. Sosok yang penuh kasih sayang. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Jemaat Chennai. Sebelum ditugaskan berkhidmat di sana pun beliau telah bekerja dengan penuh semangat untuk membangun Masjid dan Rumah Mubaligh di sana. Beliau mengumpulkan uang dari allowance bulanan beliau, padahal dengan jumlah allowance yang standar. Beliau mengirimkan 30.000 rupees untuk pembangunan masjid dan senantiasa menekankan untuk memulai pekerjaan pembangunan. Beliau selalu mengatakan, “Mulailah pembangunan, Allah Ta’ala akan memberikan keberkatan.”

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Ibunda beliau menuturkan, “Kelahirannya menjadi kegembiraan bagi kami karena kami telah mewaqafkannya di jalan Allah. Setelah sebelumnya empat orang anak perempuan, Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kami anak laki-laki, maka kegembiraan pun tak terkirakan dan merasa senang karena setelah dewasa akan menjadi mubaligh. Hari gembira yang kedua adalah ketika Jamiah mengundang kami untuk acara wisuda syaahidnya Adib. Anak yang sangat baik dan taat. Almarhum menelpon dari tempat tugasnya setiap hari untuk menanyakan mengenai ketersediaan obat-obatan, kesehatan ibunya dan sebagainya, dan selalu mengingatkan untuk menjaga kesehatan. Sosok yang mutaqi dan ketika musim gandum tiba – Almarhum berasal dari keluarga tuan tanah – Almarhum mengatakan kepada ibunya, “Simpanlah gandum dalam jumlah banyak, karena orang-orang membutuhkan akan datang. Orang-orang miskin pun harus dibantu.”

Jemaat Chennai yang berlokasi di Idhipur memiliki satu tempat, di sana terdapat satu kamar, meskipun di sana tidak tersedia sarana-sarana yang lengkap, namun Almarhum tetap bertugas dengan penuh semangat. Mubaligh Daerah Faisalabad, Bapak Jawid Langah menuturkan bahwa Almarhum menjalani hidupnya dengan memahami ruh waqaf. Beliau bekerja dengan penuh semangat. Seiring dengan memberikan tarbiyat yang terbaik kepada Jemaat, Almarhum juga bahu membahu dengan para pengurus. Almarhum memperlihatkan klip-klip Khalifah-e-waqt yang khusus mengenai tarbiyat kepada para anggota Jemaat. Ketika melihat suatu kekurangan dalam diri seseorang maka Almarhum dengan memperhatikan kehormatan orang tersebut menasihatinya secara terpisah. Membantu setiap orang, kecintaan terhadap Khilafat, ketaatan kepada nizam Jemaat, kerendahan hati, keindahan akhlak, kelemah-lembutan, sederhana, rendah hati, adalah sifat-sifat yang menonjol dari Almarhum. Seorang yang sangat sopan dan ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dalam setiap keadaan.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kedua orang tua Almarhum ketentraman dan kesabaran, diberikan taufik untuk dapat menanggung kesedihan dan saudari-saudari Almarhum pun diberikan ketabahan. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan maghfiroh-Nya kepada Almarhum dan meninggikan derajat Almarhum.

Jenazah selanjutnya yang akan saya bacakan riwayatnya adalah yang terhormat Bapak Hamid Ahmad Syekh yang merupakan putra dari Bapak Syekh Muhammad Husain yang wafat pada tanggal 12 Agustus di usia 85 tahun disebabkan oleh serangan jantung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah cucu dari Hadhrat Syekh Nur Ahmad yang merupakan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Ayahanda Almarhum yang terhormat Bapak Syekh Muhammad Husain mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Jemaat Ciniot. Setelah baiat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan petunjuk kepada Hadhrat Syekh Nur Ahmad supaya mengirimkan kedua putra beliau ke Qadian untuk pendidikan. Oleh karena itu ayahanda Almarhum, yakni Bapak Syekh Muhammad Husain menyelesaikan matrik di Qadian, di mana beliau mendapatkan karunia menjadi teman sekelas Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. Kakek Almarhum dari pihak ibu adalah Hadhrat Maulwi Abdul Qadir Ludhianwi yang termasuk ke dalam 313 sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Bapak Hamid Syekh menikah dengan cucu dari Hadhrat Munsyi Zafar Ahmad dari Kapurthala. Yang terhormat Bapak Hamid Syekh adalah seorang arsitek. Almarhum menyelesaikan pendidikannya di London pada tahun 1973. Bapak Rashid Ahmad dari Wimbledon yang menjabat sebagai In Charge Roti Plant adalah saudara laki-laki beliau. Di antara yang ditinggalkan ada 2 orang putra dan 1 orang putri. Seorang putra Almarhum, Bapak Abdurrazaq Syekh adalah Vice Chairman IAAAE, yaitu asosiasi arsitek kita di sini.

Bapak Abdurrazaq Syekh menulis, “Ayah saya seorang yang penuh kasih sayang. Almarhum sosok anak, suami, ayah dan kakek yang penyayang. Seluruh anggota keluarga mencintai Almarhum. Almarhum adalah seorang anggota Jemaat yang sangat saleh dan mukhlis, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengkhidmati Jemaat. Almarhum biasa menulis surat kepada Khalifah-e-Waqt dan menasihatkan juga kepada anak-anaknya untuk menulis surat. Almarhum selalu menekankan kepada anak-anaknya untuk menjalin hubungan dengan Jemaat setempat di mana pun berada dan berulang-ulang beliau menyampaikan hal ini. Almarhum seorang yang disiplin dalam shalat berjama’ah dan menasihatkan hal ini juga kepada anak-anak beliau.

Almarhum berlomba-lomba ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan pengorbanan harta dalam Jemaat dan dua minggu sebelum kewafatannya Almarhum begitu menekankan untuk membayar semua candah-candahnya yang masih tersisa. Almarhum juga pernah tinggal di Nigeria. Di sana beliau sesuai dengan profesinya banyak membantu mempercantik mesjid-mesjid dan rumah misi-rumah misi, dan ketika meninggalkan Nigeria Amarhum memberikan mobilnya sebagai hadiah kepada Jemaat di sana. Ketika di Pakistan pun Almarhum berkhidmat sebagai Chairman IAAAE. Singkatnya, Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat pada berbagai jabatan.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada putra-putri Almarhum untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum, menganugerahkan rahmat dan maghfiroh-Nya kepada Almarhum dan meninggikan derajat Almarhum. Setelah Jumat insya Allah saya akan memimpin shalat jenazah ketiganya.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Arief Rahman Hakim dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono.


[1] Kakek Nabi Muhammad (saw) dari jalur ayah bernama Syaiba (dijuluki Abdul Muththalib) putra Hasyim bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Ia termasuk pemimpin Makkah. Ia mempunyai 6 istri, 12 putra dan 6 putri. Fathimah binti Amru dari banu Makhzum (فاطمة بنت عمرو بن عائذ بن مخزوم القرشية) ialah istri Abdul Muththalib yang melahirkan Abdu Manaf (Abu Thalib ayah Ali), Abdullah (ayah Nabi (saw)) dan Zubair serta 5 putri (Ummu Hakim, Umaimah, Atikah, Barrah dan Arwa). Abbas ialah putra Abdul Muththalib dari istri bernama Natilah binti Janab (نتيلة بنت جناب بن كليب من بني النمر) dari Banu Nimr. Hamzah dan Shafiyyah ialah putra/i Abdul Muththalib dari istri bernama Halah (هالة بنت وهيب) dari Banu Zuhrah. Abu Lahab (penentang Nabi), bernama asli Abdul ‘Uzza, putra Abdul Muththalib dari istri bernama Lubna binti Hajar (لبنى بنت هاجر بن عبد مناف الخزاعية) dari Khuza’ah. Ref: sejarawan Ibn Hisyam, Ibn Sa’d, Ibn al-Atsir dan Ibn Jarir.

[2] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: وَكَانَ إِسْلاَمُ الزُّبَيْرِ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ ، كَانَ رَابِعًا أَوْ خَامِسًا.  .

[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[4]Shahih al-Bukhari, Kitab Aqiqah (كتاب العقيقة), bab (باب تَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ غَدَاةَ يُولَدُ، لِمَنْ لَمْ يَعُقَّ عَنْهُ، وَتَحْنِيكِهِ); tercantum juga dalam Shahih Muslim, Kitab Adab (كتاب الآداب) bab bagusnya mentahnik bayi pada hari kelahirannya, membawanya ke orang saleh pada hari kelahirannya yang akan mentahniknya dan kebolehan memberi nama pada hari kelahirannya dan bagus menamainya ‘Abdullah, Ibrahim dan nama para Nabi (بَاب اسْتِحْبَابِ تَحْنِيكِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ وَحَمْلِهِ إِلَى صَالِحٍ يُحَنِّكُهُ وَجَوَازِ تَسْمِيَتِهِ يَوْمَ وِلَادَتِهِ وَاسْتِحْبَابِ التَّسْمِيَةِ بِعَبْدِ اللَّهِ وَإِبْرَاهِيمَ وَسَائِرِ أَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَام); tercantum juga dalam al-Mustadrak ‘alash Shahihain, bab Abdullah bin az-Zubair (ذكر عبد الله بن الزبير بن العوام رضي الله عنهما) dan al-Mu’jamul Kabir karya ath-Thabarani (المعجم الكبير للطبراني), (مَنِ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ), (وَمِمَّا أَسْنَدَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا), (حديث رقم 13694) riwayat dari Hisyam bin Urwah bin Zubair: خَرَجَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ ، هَاجَرَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَامِلٌ بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، فَنُفِسَتْ ، فَأَتَتْ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُحَنِّكُهُ ، فَأَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ فِي حِجْرِهِ ، فَأُتِيَ بِتَمْرَةٍ فَمَصَّهَا ، ثُمَّ وَضَعَهَا فِي فِيهِ فَحَنَّكَهُ بِهَا ، فَإِنْ كَانَ أَوَّلُ شىءٍ دَخَلَ بَطْنَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَتْ أَسْمَاءُ : ثُمَّ مَسَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ ، ثُمَّ جَاءَ بَعْدُ وَهُوَ ابْنُ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ لِيُبَايِعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَمَرَهُ الزُّبَيْرُ بِذَلِكَ ، فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَآهُ مُقْبِلًا وَبَايَعَ ، وَكَانَ أَوَّلُ مَنْ وُلِدَ فِي الْإِسْلَامِ بِالْمَدِينَةِ مَقْدَمَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ أَخَذْنَاهُمْ فَلَا يُولَدُ لَهُمْ بِالْمَدِينَةِ وَلَدٌ ، فَكَبَّرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ وُلِدَ عَبْدُ اللَّهِ ، وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ حِينَ سَمِعَ بِتَكْبِيرِ أَهْلِ الشَّامِ ، وَقَدْ قَتَلُوا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ : الَّذِينَ كَبَّرُوا عَلَى مَوْلِدِهِ خَيْرٌ مِنَ الَّذِينَ كَبَّرُوا عَلَى قَتْلِهِ  Sahabat Nabi Muhammad (saw) bertakbir demi mengetahui lahirnya Abdullah bin az-Zubair karena saat itu orang-orang Yahudi menyebarkan desas-desus bahwa para wanita Muslim tidak dapat melahirkan anak. Sebaliknya, lebih dari 70 tahun kemudian, ketika telah lewat masa empat Khalifah Rasyidin, Amir Mu’awiyah, Yazid dan Marwan bin Hakam, orang-orang di Syam (Suriah dan sekitarnya) yang saat itu dipimpin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam meneriakkan takbir demi mengetahui panglima mereka, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, telah mengalahkan Abdullah bin az-Zubair yang saat itu menolak menjadi bawahan Banu Umayyah. Beliau (ra) bertahan sekian lama di Makkah setelah pensyahidan Imam Husain di Karbala, wilayah Kufah, Irak.

[5] Shahih Muslim, Kitab Adab (كتاب الآداب) bab bagusnya mentahnik bayi pada hari kelahirannya, membawanya ke orang saleh pada hari kelahirannya yang akan mentahniknya dan kebolehan memberi nama pada hari kelahirannya dan bagus menamainya ‘Abdullah, Ibrahim dan nama para Nabi (بَاب اسْتِحْبَابِ تَحْنِيكِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ وَحَمْلِهِ إِلَى صَالِحٍ يُحَنِّكُهُ وَجَوَازِ تَسْمِيَتِهِ يَوْمَ وِلَادَتِهِ وَاسْتِحْبَابِ التَّسْمِيَةِ بِعَبْدِ اللَّهِ وَإِبْرَاهِيمَ وَسَائِرِ أَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَام)

[6] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d..

[7] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: 3094 قَالَ : وَأُخْبِرْتُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ : إِنَّ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللهِ التَّيْمِيَّ يُسَمِّي بَنِيهِ بِأَسْمَاءِ الأَنْبِيَاءِ وَقَدْ عَلِمَ أَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَ مُحَمَّدٍ ،.

[8] Musnad Ahmad, Musnad sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, Musnad Az Zubair bin Al ‘Awwam Ra, No. 1353

[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَتْ عَلَى الزُّبَيْرِ رَيْطَةٌ صَفْرَاءُ مُعْتَجِرًا بِهَا يَوْمَ بَدْرٍ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ نَزَلَتْ عَلَى سِيمَاءِ الزُّبَيْرِ. .

[10] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, h. 452, Hadits 1418, Musnad Ali ibn Abi Thalib, Penerbit Alamul Kutub, Beirut, 1998.

[11] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, h. 452, Hadits 1418, Musnad Ali ibn Abi Thalib, Penerbit Alamul Kutub, Beirut, 1998.

[12] Hadis Sahih Al-Bukhari, bahasan mengenai keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), No. 3442: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ.  Hadhrat ‘Abdullah bin Zubair bin Awwam (ra) yang lahir di awal Hijrahnya umat Muslim ke Madinah saat perang Khaibar yang terjadi pada 5 atau 6 Hijriyah berarti masih anak-anak sekitar 5 atau 6 tahun.

[13] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab tentang Jihad dan ekspedisi (كتاب الجهاد والسير), bab mata-mata (باب الْجَاسُوسِ , al-Jasus), no. 3007.

[14] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[15] Serangan anak-anak panah musuh dari Kabilah Banu Hawazin menyebabkan gentarnya pasukan Muslim yang baru masuk Islam tersebut. Ketika mereka cerai-berai, unta-unta dan kuda-kuda pasukan Muslim lainnya terpengaruh dan mengikuti unta-unta dan kuda-kuda pasukan yang meninggalkan tempat.

[16] Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra menyebutkan bahwa Hadhrat Zubair bin ‘Awwam (ra) mempunyai istri-istri sebagai berikut: (1) Asma binti Abu Bakr (أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ) yang melahirkan anak ‘Abdullah (عَبْدُ اللهِ), ‘Urwah (عُرْوَةُ), al-Mundzir (الْمُنْذِرُ), ‘Ashim (عَاصِمٌ), al-Muhajiru Daraja (الْمُهَاجِرُ دَرَجَا), Khadijah al-Kubra (خَدِيجَةُ الْكُبْرَى), Ummul Hasan (أُمُّ الْحَسَنِ) dan ‘Aisyah (عَائِشَةُ); (2) Ummu Khalid Amah binti Khalid bin Sa’id bin al-Ash bin Umayyah (أُمُّ خَالِدٍ وَهِيَ أَمَةُ بِنْتُ خَالِدِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ) yang melahirkan Khalid (خَالِدٌ), ‘Amru (عَمْرٌ), Habibah (حَبِيبَةُ), Saudah (سَوْدَةُ) dan Hindun (هِنْدٌ); (3) ar-Rabbaab binti Anif bin ‘Ubaid (الرَّبَابُ بِنْتُ أُنَيْفِ بْنِ عُبَيْدِ) yang melahirkan Mush’ab (مُصْعَبٌ), Hamzah (حَمْزَةُ) dan Ramlah (رَمْلَةُ); (4) Zainab Ummu Ja’far binti Martsad bin ‘Amru (زَيْنَبُ وَهِيَ أُمُّ جَعْفَرِ بِنْتُ مَرْثَدِ بْنِ عَمْرِو) yang melahirkan ‘Ubaidah (عُبَيْدَةُ) dan Ja’far (جَعْفَرٌ); (5) Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith (وَأُمُّهَا أُمُّ كُلْثُومِ بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ) yang melahirkan Zainab (زَيْنَبُ); (6) al-Halaal binti Qais bin Naufal bin jabir dari Bani Asad (الْحَلاَلُ بِنْتُ قَيْسِ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ جَابِرِ) yang melahirkan Khadijah ash-Shughra (خَدِيجَةُ الصُّغْرَى). Semua anak sejumlah 11 putra dan 9 putri.

[17] Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) menjadi anggota Tim Formatur bukanlah murni tunjukan Khalifah ‘Umar (ra) menjelang wafatnya layaknya ayah menunjuk anaknya di suatu jabatan bersifat kekeluargaan. Sebelum itu, sebagian Sahabat telah menyebut-nyebut dan mengusulkan Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) sebagai calon Khalifah. Para Sahabat menyebutkan nama calon pun setelah ditanya oleh Khalifah ‘Umar (ra) yang saat itu tengah mengalami masa menjelang maut setelah diserang seseorang Persia, Feroz Abu Lu-lu saat shalat Shubuh. Sumber referensi: Khilafat Rashida karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra).

[18] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab megenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا).

[19] Sunan Abi Daud, kitab tentang Shalat, bab tentang doa yang sebaiknya dipanjatkan jika cemas akan kejahatan suatu kaum, hadits nomor 1537. Riwayat Hadits menceritakan, Rasulullah (saw) biasa membaca doa ini saat merasakan bahaya dari sekelompok orang. Kalimat نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ ’naj’aluka fii nuhuurihim’ – “kami menjadikan Engkau berada dalam (memohon kepada Engkau agar Engkau memasuki kedalam) leher-leher mereka”. Dengan menjelaskan arti dari kata nahr (bentuk tunggal dari nuhuur), dapat membuat jelas makna tersebut. Arti dari kata النحر an-nahr adalah dada bagian atas, atau gabungan antara leher dan dada, dan khususnya tempat perhiasan kalung melingkar, saluran tenggorokan yang berada di atas dada. Makna doa tersebut sebagai berikut: “Ya Allah! Perangilah mereka sedemikian rupa sehingga mata rantai kehidupan mereka terhenti dan kami selamat dari kejahatan mereka. Hanya Engkau-lah Penghancur kekuatan orang-orang jahat, para pencipta kerusuhan dan orang-orang yang aniaya. Maka, hentikanlah mereka dan kami memohon perlindungan kepada Engkau dari kejahatan mereka.”

[20] Tadzkirah, halaman 363, edisi IV, terbitan Rabwah.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.