Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 84)
Pembahasan lanjutan seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr) yaitu Hadhrat Zubair bin ‘Awwam radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 04 September 2020 (1399 Hijriyah Syamsiyah/16 Muharram 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِن بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ ()
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (Surah Aali Imran, 3:173)
Pada khotbah yang lalu masih tersisa penjelasan kisah sahabat Badar yakni Hadhrat Zubair ra. Pada hari ini akan saya lanjutkan.
Berkenaan dengan ayat yang baru saja saya baca, Hadhrat Aisyah berkata kepada keponakannya, Hadhrat Urwah, يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ أَبَوَاكَ مِنْهُمْ الزُّبَيْرُ وَأَبُو بَكْرٍ لَمَّا أَصَابَ رَسُولَ اللَّهِ مَا أَصَابَ يَوْمَ أُحُدٍ وَانْصَرَفَ عَنْهُ الْمُشْرِكُونَ خَافَ أَنْ يَرْجِعُوا قَالَ مَنْ يَذْهَبُ فِي إِثْرِهِمْ فَانْتَدَبَ مِنْهُمْ سَبْعُونَ رَجُلًا قَالَ كَانَ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَالزُّبَيْرُ ”Wahai keponakanku! Ayahmu dan Abu Bakr termasuk diantara sahabat yang disebutkan dalam ayat tersebut. Ketika Rasulullah (saw) terluka pada perang Uhud dan pasukan Musyrik mundur, Rasulullah (saw) merasakan adanya bahaya jangan sampai mereka kembali datang untuk menyerang. Karena itu Rasulullah bersabda, ‘Siapa saja yang akan pergi untuk membuntuti mereka?’ Saat itu 70 orang sahabat bersedia.” Perawi mengatakan, “Abu Bakr dan Zubair juga termasuk diantaranya.” (Riwayat Bukhari) [1]
Keduanya termasuk diantara yang terluka. Sementara itu, dalam sahih Muslim riwayat tersebut dikisahkan, عن هِشَام عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ لِي عَائِشَةُ: أَبَوَاكَ وَاللَّهِ مِنَ الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمْ الْقَرْحُ Hisyam meriwayatkan dari ayahnya (‘Urwah bin Zubair), “Hadhrat Aisyah berkata kepada saya bahwa Ayah saya termasuk diantara sahabat yang setelah terluka pun tetap mengatakan tetap bersedia melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.”[2]
Hadhrat Ali meriwayatkan, سَمِعَتْ أُذُنِي، مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَقُولُ “ طَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ جَارَاىَ فِي الْجَنَّةِ ” “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, ‘Thalhah dan Zubair akan menjadi tetangga saya di surga nanti.’”[3]
(عن سعيد بن جبير قال:) Hadhrat Sa’id Bin Jubair (ra) meriwayatkan, كان مقام أبي بكر ، وعمر ، وعلي ، وعثمان ، وطلحة ، والزبير ، وسعد ، وعبد الرحمن بن عوف ، وسعيد بن زيد بن عمرو بن نفيل ، كانوا أمام رسول الله صلى الله عليه وسلم في القتال ، وخلفه في الصلاة في الصف ، ليس لأحد من المهاجرين والأنصار يقوم مقام أحد منهم غاب أم شهد. “Kedudukan Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Umar (ra), Hadhrat Utsman (ra), Hadhrat Ali (ra), Hadhrat Thalhah (ra), Hadhrat Zubair (ra), Hadhrat Sa’d (ra), Hadhrat Abdurrahman (ra) dan Hadhrat Sa’id Bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail (ra) adalah mereka bertempur di medan perang di depan Hadhrat Rasulullah (saw) dan shalat di belakang beliau (saw).”[4]
(عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَخْنَسِ أَنَّهُ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ فَذَكَرَ رَجُلٌ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام فَقَامَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ فَقَال) Hadhrat Abdurrahman Bin Akhnas meriwayatkan, “Pada saat saya tengah berada di sebuah masjid, ada orang yang bermulut lancang ketika menceritakan berkenaan dengan Hadhrat Ali ‘alaihis salaam. Hadhrat Said Bin Zaid berdiri dan bersabda: أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ أَنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ عَشْرَةٌ فِي الْجَنَّةِ النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ ‘Saya bersaksi atas Rasulullah saw, tidak diragukan lagi saya pernah mendengar dari beliau, beliau bersabda, “Ada sepuluh orang yang akan pergi ke surga: Nabi akan masuk surga, Hadhrat Abu Bakr akan masuk surga, Hadhrat Umar akan masuk surga, Hadhrat ‘Utsman akan masuk surga, Hadhrat Ali akan masuk surga, Hadhrat Thalhah akan masuk surga, Hadhrat Zubair Bin Awwam akan masuk surga, Hadhrat Saad Bin Malik akan masuk surga dan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf akan masuk surga.” وَلَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ الْعَاشِرَ Jika saya ingin, saya bisa menyebutkan nama yang kesepuluh.’
Orang-orang berkata: مَنْ هُوَ ‘Siapakah dia yang kesepuluh itu?’
فَسَكَتَ قَالَ فَقَالُوا مَنْ هُوَ فَقَال Hadhrat Said Bin Zaid terdiam untuk sesaat. Beberapa orang bertanya lagi, ‘Siapakah yang kesepuluh?’ Beliau pun bersabda, هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ ‘Dia adalah Said Bin Zaid.’” Artinya beliau sendiri.[5]
Saya pikir riwayat ini telah saya sampaikan dalam topik Hadhrat Thalhah.
Dalam menjelaskan nama nama para penulis wahyu, Hadhrat Khalifatul Masih Tsani bersabda, “Wahyu yang turun kepada Rasulullah (saw), seketika itu juga diperintahkan kepada para sahabat untuk mencatatnya. Adapun terbukti dalam sejarah ada 15 nama katib (penulis) wahyu Al Quran yang selalu diminta oleh Rasulullah Saw, diantaranya: Zaid Bin Tsabit (زيد بن ثابت), Ubay Bin Kaab (أبي بن كعب), Abdullah Bin Sa’d Bin Abi Sarh (عبد الله بن سعد بن أبي السرح), Zubair Bin Awwam (الزبير بن العوام), Khalid Bin Sa’id Bin al-‘Ash (خالد بن سعيد بن العاص), Hiban Bin Sa’id Bin al-‘Ash (حبان بن سعيد بن العاص), Khanzalah Bin Rabi Al-Asdi (حنظلة بن ربيع الأسدي), Muiqab Bin Abi Fatimah (معيقب بن أبي فاطمة), Abdullah Bin Arqam Az Zuhri (عبد الله بن الأرقم الزهري), Syarjil (Syurahbil) Bin Hasanah (شرحبيل بن حسنة), Abdullah Bin Rawahah (عبد الله بن رواحة), Hadhrat Abu Bakr (أبو بكر), Hadhrat Umar (عمر), Hadhrat ‘Utsman (عثمان), Hadhrat Ali (علي). Ketika Al Quran Syarif turun kepda Rasulullah, maka beliau memanggil salah satu diantara mereka lalu meminta untuk mencatatnya.”
(عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ ، وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ ، اسْتَأْذَنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا ، وَآذَاهُمَا الْهَوَامُّ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ ، فَأَذِنَ لَهُمَا) Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan, “Disebabkan oleh alergi gatal pada saat perang, Nabi (saw) mengizinkan Hadhrat Zubair Bin Awwam untuk mengenakan pakaian dari sutra.”[6]
Ketika Rasulullah (saw) mengukur lahan untuk rumah-rumah di Madinah, Rasulullah (saw) menetapkan lahan tanah yang luas untuk Hadhrat Zubair. Beliau (saw) pun memberikan sebuah kebun kurma kepada Hadhrat Zubair.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda perihal hibah yang diberikan oleh Rasulullah kepada Hadhrat Zubair Bin Awwam, “Rasulullah (saw) memberikan sebuah lahan yang sangat luas dari lahan tanah pemerintah kepada Hadhrat Zubair yang mana kuda Hadhrat Zubair dapat berlari di sana sampai hembusan nafas terakhir.” Artinya, sejauh kuda itu dapat berlari di atasnya. Di tempat kuda Hadhrat Zubair berhenti berlari dari sana beliau melemparkan cambuknya keatas dengan kuat dan Rasulullah (saw) memutuskan bahwa lahan tanah yang diberikan tidak hanya sampai batas itu (sampai di tempat kuda berhenti berlari) bahkan di tempat mana cambuk beliau jatuh, sejauh itu beliau (Hadhrat Zubair) diberi lahan tanah.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Kuda di negeri kita pun dapat berlari sampai bermil-mil dan kuda Arab dapat berlari lebih cepat lagi dari itu. Jika jauhnya jarak tempuh kuda dari mulai berlari hingga berhenti diperkirakan 4 atau 5 mil, berarti tanahnya terhitung sekitar 15.000 hingga 20.000 acre yang diberikan kepada beliau. Imam Abu Yusuf menulis dalam kitab Al Kharaj, أقطع رسول الله صلى الله عليه وسلم الزبير أرضا فيها نخل من أموال بني النضير , وذكر أنها كانت أرضا يقال لها الجرف ‘Rasulullah (saw) memberikan lahan tanah kepada Hadhrat Zubair yang didalamnya terdapat pohon pohon kurma dan itu sebelumnya dimiliki oleh kabilah Yahudi Banu Nadhir dan itu dinamai Juruf.’ (Juruf merupakan nama tempat yang terletak 3 mil dari Madinah di arah menuju Syam. Itu merupakan desa tradisional.)
Jika kita menggabungkan hadits ini dengan hadits sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa saat itu Rasulullah memberikan bagian atas lahan tanah itu kepada Hadhrat Zubair (ra). Yaitu tanah yang sebelumnya dijelaskan mengenai larinya kuda dan luasnya sekitar 15 ribu sampai 20 ribu acre. Tanah ini diberikan kepada beliau (ra) padahal sebelumnya beliau telah memiliki sebuah desa yang di dalamnya terdapat pohon-pohon kurma.”
(عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ أَخْبَرَنِي مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ، قَالَ) Urwah Bin Zubair meriwayatkan, Marwan Bin Hakam berkata, أَصَابَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رُعَافٌ شَدِيدٌ سَنَةَ الرُّعَافِ، حَتَّى حَبَسَهُ عَنِ الْحَجِّ وَأَوْصَى، فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ “Pada tahun ketika penyakit mimisan (lubang hidung berdarah) parah menjangkit, Hadhrat ‘Utsman Bin Affan pun terjangkit parah penyakit tersebut sampai-sampai penyakit tersebut menghentikan beliau dari ibadah haji dan karena itu beliau ingin membuat wasiat (pesan terakhir menjelang waktu yang dianggap akan meninggal). Saat itu salah seorang dari antara Quraisy datang menemui Hadhrat ‘Utsman dan berkata, اسْتَخْلِفْ ‘Mohon tetapkan seseorang sebagai khalifah berikutnya.’ (Artinya, begitu buruknya keadaan kesehatan Hadhrat ‘Utsman)
Hadhrat ‘Utsman bertanya, وَقَالُوهُ ‘Apakah orang-orang mengatakan hal ini?’
Ia menjawab, نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman bertanya, وَمَنْ ‘Siapa yang ingin Anda usulkan untuk menjadi Khalifah?’
فَسَكَتَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ ـ أَحْسِبُهُ الْحَارِثَ ـ فَقَالَ Orang itu terdiam. Tidak lama kemudian ada seorang lagi datang menemui Hadhrat ‘Utsman (ra). Saya rasa orang itu adalah Harits. Ia mengatakan, اسْتَخْلِفْ ‘Mohon tetapkan seseorang sebagai Khalifah.’
Hadhrat ‘Utsman bersabda, وَقَالُوا ‘Apakah orang-orang mengatakan demikian?’
Dia berkata: نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman bertanya: وَمَنْ ‘Siapa [khalifah yang kalian usulkan]?’ فَسَكَتَ Orang itu terdiam.
Hadhrat ‘Utsman berkata: فَلَعَلَّهُمْ قَالُوا الزُّبَيْرَ ‘Mungkinkah orang-orang akan mengusulkan untuk memilih Zubair?’
Ia berkata: نَعَمْ ‘Ya.’
Hadhrat ‘Utsman berkata: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهُ لَخَيْرُهُمْ مَا عَلِمْتُ، وَإِنْ كَانَ لأَحَبَّهُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‘Demi Dzat yang jiwa saya berada di tangan-Nya, sejauh pengetahuan saya, ia (Hadhrat Zubair) sudah tentu yang lebih baik diantara orang-orang dan sangat disayangi Hadhrat Rasulullah (saw).’”[7]
Hadhrat Zubair (ra) meriwayatkan, أَنَّهُ خَاصَمَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فِي شِرَاجٍ مِنْ الْحَرَّةِ كَانَا يَسْقِيَانِ بِهِ كِلَاهُمَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ لِلْزُّبَيْرِ “Suatu ketika di tengah keberadaan Hadhrat Rasulullah (saw) terjadi selisih pendapat dalam hal pembagian air yang digunakan untuk mengairi ladang-ladang antara saya dengan seorang veteran (dulunya pernah mengikuti) perang Badr. Untuk mengakhiri perdebatan, Rasulullah bersabda, اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ ‘Wahai Zubair! Airilah melewati ladangmu setelah itu biarkan air itu mengairi ladang tetanggamu.’
فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ آنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ Sahabat dari kalangan Anshar itu pun kecewa dengan keputusan tersebut dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Tuan memutuskan demikian karena pria ini adalah sepupu Anda, kan?’
Mendengar ucapan demikian rona wajah Rasulullah (saw) menjadi berubah. Rasulullah bersabda kepada Hadhrat Zubair, اسْقِ ثُمَّ احْبِسْ حَتَّى يَبْلُغَ الْجَدْرَ ‘Kendalikan aliran air itu untuk hanya mengairi ladangmu sampai air itu memenuhi dinding-dinding batas (tanahmu)!’
Pendek kata, sekarang Rasulullah (saw) memberikan hak sepenuhnya kepada Hadhrat Zubair (ra) untuk mengelola pengairan bagi ladangnya, padahal sebelum itu Rasulullah (saw) memberikan nasihat yang di dalamnya terdapat peluang bagi kedua pihak, yaitu Hadhrat Zubair dan sahabat Anshari ituserta memiliki sisi keluasan. Namun, ketika sahabat Anshari itu memperlihatkan rasa kecewa pada keputusan Rasulullah (saw), maka beliau (saw) memberikan keputusan yang sebenarnya merupakan hak sepenuhnya Hadhrat Zubair (ra).
Hadhrat Zubair berkata: وَاللهِ إِنِّي لَأَحْسِبُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ ‘Demi Allah! Saya memahami ayat berikut ini turun berkenaan dengan kejadian tersebut, فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”’”[8]
Hadhrat Zubair (ra) meriwayatkan bahwa ketika ayat berikut ini turun, {ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ} ‘Tsumma innakum yaumal qiyaamati inda rabbikum takhtasimuun.’ – ‘Sesungguhnya kalilan pada hari kiamat di hadapan Allah Ta’ala akan saling berdebat satu sama lain’, beliau (ra) bertanya, أَيْ رَسُولَ اللهِ مَعَ خُصُومَتِنَا فِي الدُّنْيَا؟ ‘Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud di ayat ini perselisihan duniawi kami?’
Rasulullah bersabda, ‘Ya.’
Selanjutnya, ketika turun ayat, {ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنْ النَّعِيمِ} ‘tsumma latus-alunna yaumaidzin ‘anin na’iim’ – ‘Pada hari itu kalian akan ditanyai perihal kenikmatan.’
Maka Hadhrat Zubair bertanya, أَيْ رَسُولَ اللهِ أَيُّ نَعِيمٍ نُسْأَلُ عَنْهُ وَإِنَّمَا يَعْنِي هُمَا الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ ‘Wahai Rasulullah! Berkenaan dengan nikmat mana yang akan ditanyakan kepada kami? Kami hanya memiliki kurma dan air.’
Nabi saw bersabda, أَمَا إِنَّ ذَلِكَ سَيَكُونُ ‘Waspadalah! Zaman kemakmuran tersebut sudah dekat.’”[9] Maksudnya, saat ini masih kesempitan, insya Allah kelapangan akan datang
(حدثنا حَفْصُ بْنُ خَالِدٍ) Hafsh bin Khalid berkata, “Seorang terkemuka yang biasa datang ke tempat kami dari Mosul meriwayatkan hadits berikut ini.” Mosul adalah kota yang terkenal di Syam yang saat itu (memiliki kedudukan) yang sangat penting di negara-negara muslim dari segi banyak penduduknya dan wilayahnya yang luas. Orang-orang datang dari seluruh kota ke sana. Kota ini terletak 222 mil (396 km) dari Baghdad di pinggir sungai Dajlah (Tigris) dekat kota Nainawa (Nineveh). Inilah definisi kota ini yang ditulis dalam kamus.[10]
Pendek kata, periwayat itu berkata, حَدَّثَنِي شَيْخٌ ، قَدِمَ عَلَيْنَا مِنَ الْمَوْصِلِ “Seorang terkemuka yang meriwayatkan hadits berikut ini datang ke tempat kami dari Mosul. Orang itu berkata, صَحِبْتُ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ ، فَأَصَابَتْهُ جَنَابَةٌ بِأَرْضٍ قَفْرٍ ، فَقَالَ : اسْتُرْنِي ، فَسَتَرْتُهُ ، فَحَانَتْ مِنِّي إِلَيْهِ الْتِفَاتَةٌ فَرَأَيْتُهُ مُجَذَّعًا بِالسُّيُوفِ ، قُلْتُ : وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ بِكَ آثَارًا مَا رَأَيْتُهَا بِأَحَدٍ قَطُّ ‘Saya pernah melakukan sejumlah perjalanan menemani Hadhrat Zubair bin Awam. Suatu kali (ketika safar) di tengah padang pasir beliau ingin mandi. Beliau berkata pada saya untuk menutupi beliau. Saya menutupi beliau dengan kain dan beliau mulai mandi. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada tubuh beliau. Saya melihat kepala dan seluruh tubuh beliau dipenuhi oleh bekas-bekas luka pedang. Saya berkata pada beliau, “Demi Tuhan! Saya melihat bekas-bekas luka di tubuh Anda yang sampai saat ini belum pernah saya lihat di tubuh siapapun.”
Beliau berkata, وَقَدْ رَأَيْتَ ذَلِكَ ؟ “Anda telah melihat bekas-bekas luka di tubuh saya?”
Kemudian berkata, أَمَا وَاللَّهِ مَا مِنْهَا جِرَاحَةٌ إِلَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ “Demi Allah! Seluruh luka ini saya dapatkan di jalan Allah Ta’ala ketika berperang bersama Rasulullah (saw).”’”[11]
Hadhrat Utsman, Hadhrat Miqdad, Hadhrat Abdullah bin Mas’ud dan Hadhrat Abdurrahman bin Auf berwasiyat pada Hadhrat Zubair (mengamanatkan hartanya, pent) untuk menjaga harta mereka [setelah mereka meninggal]. Sesuai wasiat ini beliau menjaga harta mereka dan beliau menafkahi anak mereka dengan harta beliau sendiri. Ketika beliau (ra) diberkahi kelapangan harta, maka beliau tidak membelanjakan harta mereka untuk anak-anak mereka, melainkan dari harta beliau sendiri supaya nanti (ketika mereka yaitu para pewaris mereka membutuhkan) harta itu bisa berguna untuk mereka. Jadi, dari hal ini memperlihatkan tidak ada ketamakan akan harta dalam diri beliau.
Dalam riwayat tertera, «كَانَ لِلزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ أَلْفُ مَمْلُوكٍ يُؤَدُّونَ إِلَيْهِ الْخَرَاجَ،
وَكَانَ يُقَسِّمُهُ كُلَّ لَيْلَةٍ، ثُمَّ يَقُومُ إِلَى مَنْزِلِهِ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ،
وَمَا يَدْخُلُ بَيْتَهُ مِنْ خَرَاجِهِمْ دِرْهَمٌ.» “Hadhrat Zubair memiliki 1.000 budak yang akan menawarkan untuk membayar kharaj (hasil tanah) beliau kepada beliau. Beliau ra tidak membawa sedikit pun dari hasil tanah itu ke rumah. Beliau mendermakannya semua.[12]
Muthi’ bin Aswad (مُطِيعُ بْنُ الْأَسْوَدِ) meriwayatkan, سَمِعْتُ عُمَرَ يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ عَهِدْتُ عَهْدًا أَوْ تَرَكْتُ تَرِكَةً مَا أَوْصَيْتُ إِلَّا إِلَى الزُّبَيْرِ ، إِنَّ الزُّبَيْرَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الدِّين “Saya mendengar Hadhrat Umar bersabda bahwa Hadhrat Zubair adalah salah satu tiang dari antara tiang-tiang agama.[13]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abdullah bin Zubair, عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: لَمَّا وَقَفَ الزُّبَيْرُ يَوْمَ الْجَمَلِ دَعَانِي فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَقَالَ: “Hadhrat Zubair di hari perang Jamal memanggil saya dan saya berdiri di samping beliau. Beliau bersabda, يَا بُنَيِّ إِنَّهُ لَا يُقْتَلُ الْيَوْمَ إِلَّا ظَالِمٌ أَوْ مَظْلُومٌ، وَإِنِّي لَا أُرَانِي إِلَّا سَأُقْتَلُ الْيَوْمَ مَظْلُومًا، وَإِنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَـمِّي لَدَيْنِي أَفَتُرَى يُبْقِي دَيْنُنَا مِنْ مَالِنَا شَيْئًا ‘Wahai anak ku tercinta! Hari ini kalau bukan si zalim yang akan terbunuh maka si mazlum yang akan terbunuh. Tampaknya hari ini saya akan dibunuh dalam keadaaan dizalimi. Yang saya sangat pikirkan adalah hutang saya. Apakah menurutmu dengan hutang-hutang saya akan ada harta yang tersisa?
Kemudian beliau bersabda, يَا بُنَيِّ بِعْ مَالَنَا فَاقْضِ دَيْنِي. وَأَوْصَى بِالثُّلُثِ وَثُلُثِهِ لِبَنِيهِ يَعْنِي بَنِي عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ يَقُولُ ثُلُثُ الثُّلُثِ فَإِنْ فَضَلَ مِنْ مَالِنَا فَضْلٌ بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ شَيْءٌ فَثُلُثُهُ لِوَلَدِكَ ‘Wahai anakku tercinta! Juallah harta bendaku dan bayarkan hutangku. Saya juga mewsiyatkan 1/3 hartaku. Setelah dibayarkan hutang, kalau ada lebih maka 1/3 nya untuk anak-anakmu.’ (untuk anak-anak Hadhrat Abdullah bin Zubair) ’Sisanya untuk yang lain.’”
Hisyam berkata, وَكَانَ بَعْضُ وَلَدِ عَبْدِ اللهِ قَدْ وَازَى بَعْضَ بَنِي الزُّبَيْرِ خُبَيْبٌ وَعَبَّادٌ وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعَةُ بَنِينَ وَتِسْعُ بَنَاتٍ. “Putra-putra Hadhrat Abdullah bin Zubair dari segi umur sepantaran dengan sebagian putra-putra Hadhrat Zubair, yaitu Khubaib dan ‘Abbad.” Maksudnya, putra-putra Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) seumuran dengan putra-putra lainnya dari Hadhrat Zubair. Putra-putra dari Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) seumuran dengan saudara-saudara Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) lainnya. Pada masa itu Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) mempunyai 9 putra dan 9 putri.”[14]
Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) meriwayatkan, “Hadhrat Zubair (ra) mewasiyatkan hutangnya kepada saya, يَا بُنَيِّ إِنْ عَجَزْتَ عَنْهُ فِي شَيْءٍ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ مَوْلَايَ ‘Wahai anakku! Jika ada hutang-hutangku yang kamu tidak mampu bayar, mohonlah pertolongan pada Maula-ku (Pengayomku).’
Saya (Hadhrat Abdullah bin Zubair) tidak paham apa yang beliau maksud dengan Maula. Saya bertanya, يَا أَبَةِ مَنْ مَوْلَاكَ؟ ‘Yaa Abah, man Maulaaka?’ – ‘Ayah, siapa maula engkau?’
Hadhrat Zubair (ra) bersabda, اللهُ ‘Allah.’ فَوَاللهِ مَا وَقَعْتُ فِي كُرْبَةٍ مِنْ دَيْنِهِ إِلَّا قُلْتُ يَا مَوْلَى الزُّبَيْرِ اقْضِ عَنْهُ دَيْنَهُ فَيَقْضِيهِ. Kemudian kapan pun saya kesulitan dalam membayar hutang beliau maka saya berkata, ‘Wahai Maula dari Zubair, bayarlah hutangnya!’, Maka, Dia pun membayarnya.”[15] Maksudnya, Allah Ta’ala menciptakan sarana-sarana untuk membayar hutang itu. Harta properti yang Hadhrat Zubair (ra) tinggalkan, dari situlah dibayar hutang-hutang beliau.
Hadhrat Zubair disyahidkan dalam keadaan beliau tidak meninggalkan uang dinar dan dirham, kecuali beberapa properti (tanah atau rumah) yang diantaranya ada di Ghabah. Beliau (ra) mempunyai 11 properti dalam bentuk rumah di Madinah, dua rumah di Basrah, satu rumah di Kufah dan satu rumah di Mesir.
وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الَّذِي عَلَيْهِ أَنَّ الرَّجُلَ كَانَ يَأْتِيهِ بِالْمَالِ فَيَسْتَوْدِعُهُ إِيَّاهُ فَيَقُولُ الزُّبَيْرُ لاَ وَلَكِنَّهُ سَلَفٌ، فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعَةَ، Hadhrat Zubair memiliki hutang karena orang-orang membawa hartanya kepada beliau, yakni menyimpan hartanya sebagai amanat (titipan). Namun Hadhrat Zubair berkata, “Ini bukan amanat, ini adalah hutang karena saya takut harta ini akan sia-sia (hilang). Saya tidak akan menyimpannya sebagai amanat. Uang ini saya terima dari kalian sebagai hutang.”
Beliau akan membelanjakan dari harta itu sebaik-baiknya. Lebih lanjut, harta tersebut akan aman dari kemungkinan kerusakan atau bahaya kerugian. Itulah sebabnya beliau mengatakan kepada mereka, “Saya menerimanya sebagai hutang yang akan saya kembalikan.”
وَمَا وَلِيَ إِمَارَةً قَطُّ وَلاَ جِبَايَةَ خَرَاجٍ وَلاَ شَيْئًا، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي غَزْوَةٍ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ ـ رضى الله عنهم ـ Pada prinsipnya, Hadhrat Zubair tidak pernah memimpin satu wilayah pun (menjadi Amir), tidak juga pernah mendapat tugas pengumpul kharaj (pajak hasil tanah) atau dari usaha lainnya. Beliau mendapatkan harta dan pemasukan dari senantiasa ikut berjihad dalam suatu Ghazwah (ekspedisi militer) bersama Rasulullah (saw), atau bersama Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan Hadhrat ‘Utsman. Beliau pasti ikut berjihad, namun beliau bukan orang yang memperoleh uangnya secara surplus (melimpah) dari jihad tersebut.[16]
Hadhrat Abdullah bin Zubair meriwayatkan, saya menghitung hutang beliau dan jumlahnya dua juta dua ratus ribu. Hadhrat Hakim bin Hizam bertemu dengan Hadhrat Abdullah bin Zubair dan berkata, “Wahai keponakanku! Berapa hutang saudaraku?”
Hadhrat Abdullah BIn Zubair menyembunyikannya dan berkata, “Seratus ribu.”
Hadhrat Hakim bin Hizam berkata, “Demi Allah saya tidak melihat hartamu cukup untuk itu.” Yakni harta yang keliatan.
Kemudian Hadhrat Abdullah bin Zubair berkata “Jika saya katakan bahwa hutangnya dua juta dua ratus ribu, apa yang akan kau katakan?”
Beliau berkata, “Saya tidak melihat kamu mampu menanggungnya, sulit rasanya kamu mampu membayarnya. Jika kamu tidak sanggup membayarnya maka mintalah bantuan kepada saya. Jika kamu tidak sanggup bayar maka saya siap. Beritahu saya maka akan saya bayar hutang itu.”
Hadhrat Zubair dulu membeli Al-Ghabah seharga seratus tujuh puluh ribu dan Hadhrat Abdullah bin Zubair menjualnya satu juta enam ratus ribu. Kemudian Hadhrat Abdullah bin Zubair mengumumkan, “Siapa yang Zubair berhutang padanya maka temui saya di al-Ghabah (tanah beliau).”[17] Tanah itu dijual dengan harga 1,6 juta kemudian diumumkan bahwa siapa yang ingin menagih hutangnya, datanglah dan tagihlah hutangnya.
Hadhrat Abdullah bin Ja’far yang uangnya ada 400 ribu pada Hadhrat Zubair, berkata kepada Hadhrat Abdullah bin Zubair, “Jika kalian mau maka saya akan memaafkannya atau kalau tidak maka taruhlah pada hutang-hutang yang akan kalian bayar pada bagian akhir (tunda pembayaran hutangnya); kalau ada yang kamu akhirkan.”
Hadhrat Abdullah bin Zubair berkata, “Tidak.”
Kemudian beliau berkata, “Kalau begitu berikan padaku sebidang tanah.”
Hadhrat Abdullah bin Zubari berkata, “Bagianmu dari sini sampai ke sini.” Beliau menjualnya sesuai dengan jumlah hutang yang harus dibayarkan dan memberikannya kepada Hadhrat Abdullah bin Ja’far.
Masih tersisa 4 setengah bagian dari hutang itu. Hadhrat Abdullah bin Zubair pergi menemui Hadhrat Muawiyah yang pada saat itu di dekatnya juga ada Amru bin Utsman, Mundzir bin Zubair dan Ibnu Zam’ah. Hadhrat Muawiyah bertanya, “Berapa harga yang dipatok untuk ghabah?”
Hadhrat Ibnu Zubair berkata, “Setiap bagian 100 ribu.”
Hadhrat Muawiyah berkata, “Berapa bagian lagi tersisa?”
Beliau berkata, “Empat setengah bagian.”
Mundzir bin Zubair berkata, saya beli satu bagian 100 ribu. Amru bin Utsman berkata, saya beli satu bagian 100 ribu. Ibnu Za’mah berkata, saya beli satu bagian 100 ribu.
Hadhrat Muawiyah berkata, “Sekarang berapa sisanya?”
Hadhrat Abdullah bin Zubair berkata, “Satu setengah bagian.”
Hadhrat Muawiyah berkata, “Yang satu setengah bagian saya yang beli 150 ribu.” Yakni tanah ghabah yang tersisa tadi juga dijual. Abdullah bin Ja’far menjual bagiannya pada Hadhrat Muawiyah seharga 600 ribu.
Bagaimanapun juga sebagaimana yang beliau katakan bahwa Allah akan membayar hutang beliau, maka seperti itulah Allah Ta’ala menciptakan sarana-sarananya. Beliau ra membayar hutang itu dengan menjual property yang ada.
Ketika Hadhrat Abdullah bin Zubair sudah melunasi hutang tersebut, maka anak-anak Hadhrat Zubair berkata, “Bagikanlah hak waris kami. Sekarang semua hutang sudah lunas, maka bagikanlah hak waris.”
Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) berkata, “Tidak. Demi Allah tidak akan saya bagikan hak waris kalian sebelum saya mengumumkannya selama empat tahun haji.” Yakni aku akan mengumumkannya selama empat tahun di saat haji bahwa barangsiapa yang Zubair memiliki hutang padanya, datanglah padaku. Aku akan membayarnya.
Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) terus mengumumkan selama empat tahun di saat haji. Ketika empat tahun sudah berlalu maka beliau membagikan hak waris pada anak-anak Hadhrat Zubair. Hadhrat Zubair meninggalkan empat istri. [Setelah 1/3 dari harta warisan yang untuk wasiat itu dikeluarkan dan hutang-hutang telah dilunasi], Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) membagi empat dari 1/8 bagian istri dan setiap istri mendapatkan 1,1 juta. Artinya, ketika harta selebihnya itu dibagikan, para istri pun mendapatkan masing-masing 1,1 juta. Jumlah keseluruhan harta beliau menurut sebuah riwayat adalah 35.200.000 (tiga puluh lima juta dua ratus ribu). Sedangkan menurut riwayat Sufyan bin Uyainah, jumlah warisan Hadhrat Zubair yang dibagi adalah 40.000.000 (empat puluh juta).
Hisyam Bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya; jumlah warisan Hadhrat Zubair adalah 52 juta atau 51 juta. Begitu juga Urwah meriwayatkan, “Hadhrat Zubair memiliki beberapa tanah di Mesir, yaitu di Iskandariyah (Alexandria, Mesir) dan di Kufah. Beliau memiliki beberapa rumah di Basrah. Beliau mendapatkan pemasukan dari beberapa properti beliau di Madinah.”
Bagaimanapun juga, setelah semua hutang ini dilunasi barulah sisa dari semua harta benda ini yang dibagikan sebagai warisan beliau.
Mutharrif meriwayatkan (عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ), “Suatu kali kami berkata pada Hadhrat Zubair; يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا جَاءَ بِكُم؟ ‘Wahai Abu Abdullah, apa maksud kalian datang ke sini? ضَيَّعْتُمْ الْخَلِيفَةَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ جِئْتُمْ تَطْلُبُونَ بِدَمِهِ Kalian sudah menyia-nyiakan seorang Khalifah sehingga ia disyahidkan (dibunuh orang) sedangkan sekarang kalian menuntut qishash (hukum pembalasan)nya.’
Hadhrat Zubair (ra) bersabda, إِنَّا قَرَأْنَاهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: ‘Di zaman Nabi (saw), Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan Hadhrat Utsman Ghani r.hum kami biasa membaca ayat, {وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً} “Dan takutlah pada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang telah berbuat zalim dari antara kalian, melainkan bersifat umum.” (Surah al-Anfaal, 8:26) ولَمْ نَكُنْ نَحْسَبُ أَنَّا أَهْلُهَا حَتَّى وَقَعَتْ مِنَّا حَيْثُ وَقَعَتْ. Namun dulu kami tidak menganggap bahwa ini akan berlaku pada kami sampai cobaan ini menimpa kami.’”[18]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) ra bersabda dalam menjelaskan keakaan pemilihan khilafat Hadhrat Ali (ra), “Ketika peristiwa pensyahidan Hadhrat Utsman (ra) terjadi dan para sahabat yang ada saat itu di Madinah melihat bahwa fitnah terus meningkat di kalangan umat Muslim. Mereka pun mendorong Hadhrat Ali ra supaya beliau mengambil baiat.[19]
Di sisi lain, para pemberontak segera menjumpai Hadhrat Ali dan berkata, ‘Saat ini sangat ditakutkan akan runtuhnya pemerintahan Islam, oleh karena itu ambillah baiat. Hal itu dilakukan supaya ketakutan orang-orang lenyap dan tercipta kedamaian dan keamanan.’
Pendeknya, ketika beliau (Hadhrat Ali) dipaksa oleh para pemberontak supaya mengambil baiat dari orang-orang sebagai Khalifah, beberapa kali beliau menolaknya. Akhirnya, beliau pun memikul tanggung jawab itu dan mulai mengambil baiat dari orang-orang. Sebagian sahabat terkemuka (akabir sahabah) saat itu sedang berada di luar Madinah.
Sebagian sahabat lainnya dipaksa [oleh para pemberontak] untuk baiat kepada Hadhrat ‘Ali (ra). Dengan demikian berkaitan dengan Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair diriwayatkan bahwa para pemberontak mengutus Hukaim bin Jabalah (حُكَيْمَ بْنَ جَبَلَةَ) dan Malik bin al-Asytar (مالك بن الحارث النخعي المشهور بالأشتر) bersama banyak orang untuk menemui mereka. Mereka menodongkan pedang dan memaksa untuk baiat dan berkata, ‘Jika kamu ingin baiat kepada Hadhrat Ali, lakukan, jika tidak, kami akan bunuh kalian.’
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan mereka membawanya dengan menyeretnya diatas tanah dengan kekerasan.
Tentu saja baiat yang seperti itu tidak bisa disebut sebagai pengambilan baiat yang benar. Setelah mereka baiat, mereka mengatakan, ‘Kami akan baiat dengan syarat anda akan membalas para pembunuh Hadhrat ‘Utsman.’
Namun, setelah itu, ketika mereka melihat Hadhrat Ali tidak segera dalam membalas para pembunuh Hadhrat ‘Utsman, mereka (Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair) pun melepaskan diri dari baiat kemudian pergi dari Madinah ke Makkah.
Satu kelompok dari antara mereka yang ikut dalam pembunuhan Hadhrat ‘Utsman memprovokasi Hadhrat Aisyah agar mengumumkan jihad untuk membalas kewafatan Hadhrat ‘Utsman. Lalu Hadhrat Aisyah mengumumkan dan memanggil para sahabat untuk membantunya. Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair pun ikut serta bergabung dengan Hadhrat Aisyah. Sebagai akibatnya terjadi peperangan diantara Hadhrat Ali, Hadhrat Aisyah, Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair yang disebut dengan perang Jamal.
Pada permulaan perang tersebut, Hadhrat Zubair memisahkan diri setelah mendengarkan satu nubuatan Rasulullah (saw) yang disampaikan oleh Hadhrat Ali. Hadhrat Zubair sejak permulaan sudah memisahkan diri dan bersumpah bahwa beliau tidak akan berperang melawan Hadhrat Ali dan berikrar bahwa beliau telah keliru dalam ijtihadnya, yakni apa yang dipahaminya adalah keliru.
Di sisi lain, Hadhrat Thalhah sebelum kewafatannya menyatakan baiat kepada Hadhrat ali karena dalam riwayat dikatakan bahwa ketika beliau tengah merintih karena luka yang parah, ada seseorang yang lewat di dekat beliau, beliau bertanya, ‘Kamu berasal dari kelompok mana?’
Orang itu menjawab, مِنْ أَصْحَابِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيٍّ ‘Saya berasal dari kelompok Hadhrat Ali, Amirul Mukminin.’
Beliau (Hadhrat Thalhah) lalu menjulurkan tangannya kepada orang itu dan berkata, ‘Tanganmu adalah tangan Ali. Saya nyatakan baiat kepada Hadhrat Ali di tanganmu.’ [20]
Berkenaan dengan Hadhrat Zubair tertulis bahwa Hadhrat Zubair syahid sepulang dari perang Jamal. Beliau meninggalkan peperangan setelah diingatkan oleh Hadhrat Ali, أَنْشُدُكَ بِاللهِ، أَتَذْكُرُ يَوْمَ كُنْتُ أُنَاجِيْكَ، فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– فَقَالَ: (تُنَاجِيْهِ! فَوَاللهِ لَيُقَاتِلَنَّكَ وَهُوَ لَكَ ظَالِمٌ) ‘Saya berkata kepadamu dengan nama Allah, apakah Anda tidak mendengar Rasulullah (saw) pernah bersabda kepadamu, “Jika kamu berperang melawan Ali, berarti kamu berada di pihak yang zalim.”’
Beliau berkata, ‘Ya, saya teringat sabda tersebut.’ Beliau lalu meninggalkan peperangan.[21] Inilah yang menjadi alasan beliau meninggalkan peperangan melawan Hadhrat Ali.”[22]
Berkenaan dengan selengkapnya telah dijelaskan pada topik Hadhrat Thalhah Bin Ubaidullah. Darinya jelas bahwa itu meupakan provokasi orang-orang musyrik dan munafik yang di dalamnya banyak para sahabat ikut serta disebabkan oleh kesalahpahaman. Alhasil, terjadi kesalah fahaman.
(عَنْ أَبِي حَرْبِ بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ، قَالَ:) Abu Harb bin Abu Al-Aswad mengatakan: شَهِدْتُ عَلِيًّا وَالزُّبَيْرَ، لَمَّا رَجَعَ الزُّبَيْرُ عَلَى دَابَّتِهِ يَشُقُّ الصُّفُوفَ، فَعَرَضَ لَهُ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ، فَقَالَ: “Saya menyaksikan Hadhrat Ali dan Hadhrat Zubair. Ketika Hadhrat Zubair menembus barisan pasukan dengan mengendarai kuda bermaksud untuk kembali [pulan ke Madinah] lalu putra beliau, Hadhrat Abdullah datang ke hadapan beliau dan berkata, مَا لَكَ؟ ‘Apa yang terjadi dengan Anda?’
Hadhrat Zubair berkata: ذَكَرَ لِي عَلِيٌّ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ‘Hadhrat Ali telah mengingatkan saya perihal sebuah hadits yang telah saya dengar sendiri dari lisan beberkat Rasulullah (saw) yang bersabda, لَتُقَاتِلَنَّهُ وَأَنْتَ ظَالِمٌ لَهُ “Jika engkau berperang melawan Ali, maka engkau berada di pihak yang zalim dalam perang tersebut.” فَلَا أُقَاتِلُهُ Karena itu, saya tidak akan memerangi Hadhrat Ali.’
Putra beliau berkata: وَلِلْقِتَالِ جِئْتَ؟ إِنَّمَا جِئْتَ لِتُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ وَيُصْلِحُ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ بِكَ ‘Anda datang kemari bukan untuk berperang, melainkan demi mendamaikan orang-orang dan Allah akan mendamaikan perkara ini bersama dengan Anda.’
Hadhrat Zubair berkata: قَدْ حَلَفْتُ أَنْ لَا أُقَاتِلَ ‘Saya telah bersumpah tidak akan berperang.’
Hadhrat Abdullah Bin Zubair berkata: فَأَعْتِقْ غُلَامَكَ جِرْجِسَ وَقِفْ حَتَّى تُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ ‘Anda berikanlah kaffarah (penebus) untuk itu. Bebaskanlah budak anda Jirjis dan diamlah di sini sampai Allah ta’ala mendamaikan mereka.’”
Perawi mengatakan: فَأَعْتَقَ غُلَامَهُ جِرْجِسَ وَوَقَفَ فَاخْتَلَفَ أَمَرُ النَّاسِ، فَذَهَبَ عَلَى فَرَسِهِ Lalu Hadhrat Zubair membebaskan budaknya Jirjis dan berdiam di sana, namun perselisihan semakin meningkat. Beliau lalu mengendarai kudanya dan pergi.”[23]
Setelah Hadhrat Zubair bermaksud untuk pulang ke Madinah, beliau lalu berangkat dan sampai di tempat yang bernama Safwan, daerah di dekat Bashrah (سفوان موضعا من البصرة). Beliau bertemu dengan seseorang dari Banu Majasyi bernama Bakar (البكر رجل من بني مجاشع). Ia berkata, أين تذهب يا حواري رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ إلي فأنت في ذمتي لا يوصل إليك “Wahai Hawari Rasulullah! Anda akan pergi kemana? Anda berada dibawah tanggung jawab kami. Tidak ada orang yang akan dapat menyentuh untuk menyakiti Anda.”
Orang itu pun berangkat menyertai Hadhrat Zubair lalu berjumpa dengan seseorang bernama Ahnaf bin Qais (الأحنف بن قيس). Ia berkata, هذا الزبير قد لقي بسفوان “Ia adalah Zubair yang berjumpa dengan saya di Safwan.”
Ahnaf berkata, ما شاء الله، كان قد جمع بين المسلمين حتى ضرب بعضهم حواجب بعض بالسيوف، ثم يلحق ببنيه وأهله “Ada dua kelompok orang Muslim yang saling berselisih dan tengah saling menebaskan pedang satu sama lain, sementara beliau tengah pergi untuk menemui anak dan keluarganya.”
Perkataan Ahnaf ini didengar oleh Umair Bin Jurmuz (عميرة بن جرموز), Fadhalah bin Habis (فضالة بن حابس) dan Nafi’ (نفيع). Mereka lalu berkendara dan mengikuti Hadhrat Zubair (ra). Mereka mendapati beliau tengah di sebuah karavan (kafilah). Umair bin Jurmuz yang tengah mengendarai kuda menombak Hadhrat Zubair dari belakang yang menyebabkan luka ringan.
Hadhrat Zubair yang saat itu tengah mengendarai kuda yang bernama Dzul Khimar (ذو الخمار) menyerang balik orang itu. Ketika Umair bin Jurmuz melihat bahwa ia akan terbunuh, ia pun berteriak memanggil kedua kawannya dan bersama-sama menyerang Hadhrat Zubair sehingga Hadhrat Zubair syahid.[24]
Dalam satu riwayat lain disebutkan, “Ketika Hadhrat Zubair tengah menghadapi orang yang akan membunuhnya lalu berhasil menguasainya, musuh itu berkata, أذكرك الله ‘Aku jadikan Allah sebagai saksi.’
Mendengar itu Hadhrat Zubair menghentikan tangannya. Orang itu melakukan hal tersebut beberapa kali. Kemudian, ketika orang itu melakukan pembangkangan melawan Hadhrat Zubair dan melukainya, Hadhrat Zubair berkata, قاتله الله، يذكرنا الله وينساه ‘Semoga Allah membunuhmu, kamu telah menyebut nama Allah terus padaku padahal kamu sendiri melupakan-Nya.’”[25]
Setelah mensyahidkan Hadhrat Zubair (ra), Ibnu Jurmuz datang ke hadapan Hadhrat Ali dengan membawa kepala dan pedang Hadhrat Zubair. Hadhrat Ali mengambil pedang itu dan berkata, سَيْفٌ وَاللَّهِ طَالَمَا جَلَا بِهِ عَنْ وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَرْبَ , وَلَكِنَّ الْحَيْنَ وَمَصَارِعَ السُّوءِ inilah pedang, demi Allah, kegelisahan hilang dari wajah Rasulullah berkat pedang ini namun saat ini berada di tempat kematian dan kekacauan.[26]
جَاء ابْنُ جُرْمُوزٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ لَهُ الْآذِنُ: Ketika Ibnu Jurmuz meminta izin untuk masuk, penjaga berkata [kepada Khalifah ‘Ali], هَذَا ابْنُ جُرْمُوزٍ قَاتِلُ الزُّبَيْرِ عَلَى الْبَابِ يَسْتَأْذِنُ “Ia adalah Ibnu Jurmuz yang membunuh Hadhrat Zubair. Ia tengah berdiri di dekat pintu meminta izin untuk masuk.”
فَقَالَ عَلِيٌّ عَلَيْهِ السَّلَامُ : Hadhrat Ali bersabda, لِيَدْخُلْ قَاتَلُ ابْنِ صَفِيَّةَ النَّارَ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : “Orang yang mensyahidkan Ibnu Shafiyyah (putra Shafiyyah binti Abdul Muththalib yaitu Hadhrat Zubair) akan masuk neraka. Saya pernah mendengar Rasulullah telah bersabda, إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيًّا ، وَحَوَاريِيَّ الزُّبَيْرُ ‘Setiap Nabi memiliki Hawari dan Hawari saya adalah Zubair.’”[27]
Hadhrat Zubair dikuburkan di lembah Sawa. Hadhrat Ali dan kawan-kawannya menangis atas kewafatan beliau.[28]
Ketika syahid Hadhrat zubair berusia 64 tahun. Sebagian berpendapat umur beliau 66 tahun dan juga 67 tahun. Berkenaan dengan Hadhrat Atika Binti Zaid, istri Hadhrat Zubair, orang-orang Madinah mengatakan, مَنْ أَرَادَ الشَّهَادَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ عَاتِكَةَ بِنْتَ زَيْدٍ ، كَانَتْ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ فَقُتِلَ عَنْهَا , ثُمَّ كَانَتْ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقُتِلَ عَنْهَا , ثُمَّ كَانَتْ عِنْدَ الزُّبَيْرِ فَقُتِلَ “Siapa yang mengharapkan mati syahid, maka nikahilah Atikah Binti Zaid. Pertama tama beliau dinikahi oleh Abdullah Bin abi Bakar, lalu syahid, lalu dinikahi oleh Hadhrat Umar Bin Khatab dan beliau pun syahid, selanjutnya dinikahi oleh Hadhrat Zubair Bin awwam dan beliau pun syahid.” Ketika syahidnya Hadhrat Zubair, Hadhrat Atika menyampaikan syair berikut:
غَدَرَ ابْنُ جُرْمُوزٍ بِفَارِسِ بُهْمَةٍ … يَوْمَ اللِّقَاءِ وَكَانَ غَيْرَ مُعَرِّدِ
Anak Jurmuz menipu penunggang kuda pemberani pada hari peperangan padahal ia tidak melarikan diri
يَا عَمْرُو لَوْ نَبَّهْتَهُ لَوَجَدْتَهُ … لَا طَائِشًا رَعِشَ الْجَنَانِ وَلَا الْيَدِ
Hai ‘Amr, jika kau beritahu, dia akan siaga
Tidak akan gemetar jiwa dan tangannya
شَلَّتْ يَمِينُكَ إِنْ قَتَلْتَ لَمُسْلِمًا … حَلَّتْ عَلَيْكَ عُقُوبَةُ الْمُتَعَمِّدِ
Tanganmu akan lumpuh, kau telah membunuh seorang Muslim
Layak engkau dihukum, pembunuh dengan sengaja
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ هَلْ ظَفِرْتَ بِمِثْلِهِ…فِيمَنْ مَضَى فِيمَا تَرُوحُ وَتَغْتَدِي ؟
Semoga kehancuran menimpamu. Apakah diantara orang-orang ‘tlah berlalu di zaman ini, kaulewati sore dan pagi, kaudapati sukses sama sepertinya?
كَمْ غَمْرَةٍ قَدْ خَاضَهَا لَمْ يَثْنِهِ … عَنْهَا طِرَادُكَ يَا ابْنَ فَقْعِ الْقَرْدَدِ
Hai yang tak sanggup menanggung penderitaan kecil sekalipun, dia (Zubair) seorang yang seberapa pun sulitnya keadaan, tetap di front terdepan peperangan.
Hai yang bermuka pucat, keahlian menombakmu takkan bisa sedikit pun menghancurkannya.
Kemudian terdapat riwayat dalam ath-Thabaqat al-kubra, جَاءَ ابْنُ جُرْمُوزٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى عَلِيٍّ فَاسْتَجْفَاهُ ، فَقَالَ : أَمَّا أَصْحَابُ الْبَلَاءِ , فَقَالَ عَلِيٌّ : بِفِيكَ التُّرَابُ ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ مِنَ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِي حَقِّهِمْ “Ketika Ibnu Jurmuz datang dan meminta izin kepada Hadhrat Ali (ra) untuk menghadap dan berbincang, maka Hadhrat Ali (ra) ingin ia menjauh darinya. Ibnu Jurmuz mengatakan, ‘Bukankah Zubair termasuk di antara para pembuat onar?’
Hadhrat Ali (ra) bersabda, ‘Debu di mulutmu! Saya berharap bahwa Thalhah dan Zubair termasuk yang mengenai mereka Allah Ta’ala berfirman: { وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ } “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.”’[29]
Hadhrat Zubair (ra) melakukan banyak pernikahan pada waktu yang berbeda-beda dan memiliki banyak anak. [30] Rincian istri-istri dan anak-anak beliau (ra) sebagai berikut: (1) Hadhrat Asma binti Abu Bakr (أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ) yang melahirkan anak ‘Abdullah (عَبْدُ اللهِ), ‘Urwah (عُرْوَةُ), al-Mundzir (الْمُنْذِرُ), ‘Ashim (عَاصِمٌ), Khadijah al-Kubra (خَدِيجَةُ الْكُبْرَى), Ummul Hasan (أُمُّ الْحَسَنِ) dan ‘Aisyah (عَائِشَةُ); (2) Hadhrat Ummu Khalid Amah binti Khalid bin Sa’id bin al-Ash bin Umayyah (أُمُّ خَالِدٍ وَهِيَ أَمَةُ بِنْتُ خَالِدِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ) yang melahirkan Khalid (خَالِدٌ), ‘Amru (عَمْرٌ), Habibah (حَبِيبَةُ), Saudah (سَوْدَةُ) dan Hindun (هِنْدٌ); (3) Hadhrat ar-Rabbaab binti Anif bin ‘Ubaid (الرَّبَابُ بِنْتُ أُنَيْفِ بْنِ عُبَيْدِ) yang melahirkan Mush’ab (مُصْعَبٌ), Hamzah (حَمْزَةُ) dan Ramlah (رَمْلَةُ); (4) Hadhrat Zainab Ummu Ja’far binti Martsad bin ‘Amru (زَيْنَبُ وَهِيَ أُمُّ جَعْفَرِ بِنْتُ مَرْثَدِ بْنِ عَمْرِو) yang melahirkan ‘Ubaidah (عُبَيْدَةُ) dan Ja’far (جَعْفَرٌ); (5) Hadhrat Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith (وَأُمُّهَا أُمُّ كُلْثُومِ بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ) yang melahirkan Zainab (زَيْنَبُ); (6) Hadhrat al-Halaal binti Qais bin Naufal bin Jabir dari Bani Asad (الْحَلاَلُ بِنْتُ قَيْسِ بْنِ نَوْفَلِ بْنِ جَابِرِ) yang melahirkan Khadijah ash-Shughra (خَدِيجَةُ الصُّغْرَى); dan (7) Hadhrat Atikah binti Zaid. Inilah seluruh riwayat Hadhrat Zubair (ra) dan selesai sampai di sini.
Sekarang, setelah ini saya akan menyampaikan riwayat beberapa Almarhum yang akan saya pimpin shalat jenazahnya setelah Shalat Jum’at. Di antaranya yang pertama Bapak Al-Haji Ibrahim Mubayi’, Amir Ketiga Gambia, yang wafat pada 10 Agustus, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Banjul pada 4 Juni 1944 dan pada tahun 1961-1962 beliau menerima Ahmadiyah di masa Amir terdahulu yang terhormat Bapak Choudry Syarif. Beliau termasuk di antara anggota Jemaat awalin. Almarhum disiplin dalam shalat lima waktu dan dawam melaksanakan tahajud. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi. Selalu terdepan dalam pengorbanan harta.
Putra beliau menuturkan, “Sebelum wafat pun Almarhum melaksanakan tahajud. Almarhum meminta air untuk minum, kemudian wafat. Almarhum seorang yang mencintai Al-Qur’an, menilawatkan Al-Qur’an secara rutin. Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Amir dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu Almarhum juga mendapatkan taufik sebagai Officer Jalsah Salanah, Sekretaris Ummur Kharajiah Nasional dan Sadr Majlis Ansharullah. Beliau pun anggota komite di Masroor Secondary School. Seorang guru yang berkualitas. Beliau berkhidmat sebagai guru di berbagai daerah di negara tersebut. Untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi dan master di bidangnya Almarhum pergi ke Amerika, kemudian setelah pulang berkhidmat kepada bangsa dan negaranya.
Beliau termasuk anggota pendiri satu departemen terkemuka di Gambia, Management Development Institute dan departemen ini memberikan pendidikan kepada pegawai negeri sipil dan sebagainya. Banyak pejabat tinggi Gambia yang merupakan alumni dari departemen ini. Almarhum menjabat sebagai Prinsipal di Tahir Ahmadiyya Muslim Secondary School dan Nuhsrat Senior Secondary School. Beliau banyak mengajar warga lokal maupun warga asing. Beliau begitu dikenal di dunia pendidikan dan orang-orang memanggil beliau sebagai My Teacher.
Beliau meninggalkan dua istri, 7 putra dan 2 putri. Salah satu istri beliau, Aqibah Sahibah adalah Sadr Lajnah Imaillah Gambia dan seorang putra beliau adalah Waqif Zindegi dan telah lulus dari Jaami’atul Mubasysyiriin. Demikian juga seorang putra beliau juga merupakan Sadr Khudamul Ahmadiyah. Dua putra beliau di Amerika dan seorang putri tinggal di sini, di UK. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum dan putra-putri beliau senantiasa terikat dengan agama, sebagaimana yang beliau harapkan.
Bapak Amir Gambia menulis, “Saya pun menjadi murid beliau di Krayabai Land Middle School. Di sekolah ini pada hari kamis dilaksanakan kelas mengenai keislaman yang diikuti oleh para pelajar Ahmadi maupun muslim non-Ahmadi dan Almarhum mengajar di kelas ini. Almarhum menghormati para pengurus Jemaat dan nizam Jema’at. Almarhum dulu adalah guru saya namun meskipun demikian beliau selalu taat kepada saya sebagai Amir dan kepada para pengurus lainnya. Beliau sosok yang sangat mukhlis, pekerja keras dan murah hati. Seseorang yang setia dan taat kepada Khilafat, memiliki jalinan kecintaan dengan Khalifah-e-Waqt, selalu terdepan dalam membela Jemaat dan Khilafat. Beliau juga memiliki ilmu agama yang baik, berbicara berdasarkan dalil, berbicara dengan hikmah dan berusaha untuk menyampaikan pesan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan teknologi baru dan berbagai cara. Beliau selalu sibuk dalam pertablighan.
Jenazah yang kedua, yang terhormat Bapak Na’im Ahmad Khan putra dari Bapak Abdul Jalil Khan, Naib Amir Karachi. Beliau wafat 2-3 bulan yang lalu. Beliau wafat pada akhir April. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Pertama kali Ahmadiyah masuk dalam keluarga beliau melalui yang terhormat Bapak Akhtar Ali yang baiat dengan perantaraan seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Maulwi Hasan Ali Bhagalpuri. Bapak Maulwi Akhtar Ali adalah paman dari pihak ibu ibunda beliau dan suami dari bibi beliau dari pihak ayah. Bapak Naim Khan menyelesaikan matrik di Patna, India. Setelah berdirinya Pakistan beliau datang ke Lahore. Beliau masuk ke Dayal Singh College dan menyelesaikan MSC di TI College Lahore. Setelah itu beliau pergi London. Pada 1959 beliau pulang ke Karachi dan bekerja di perusahaan gas dan pada 1993 beliau pensiun dari jabatan Senior General Manager. Di Majlis Khudamul Ahmadiyah Karachi beliau mengawali pengkhidmatannya sebagai Naib Nazir Sanat wa Tijarat. Setelah itu beliau ditetapkan sebagai Naib Qaid Majlis Khudamul Ahmadiyah Maqami Karachi, kemudian pada tahun 1966 terpilih sebagai Qaid Majlis Khudamul Ahmadiyah Karachi. Beliau berkhidmat hingga 4 tahun di jabatan ini. Kemudian beliau menjadi Zaim ‘Ala Ansharullah Morton Road. Kemudian menjadi Nazim Ansharullah Distrik Karachi dan hingga 1997 beliau berkhidmat pada jabatan ini. Beliau ditetapkan sebagai Nazim Ansharullah Wilayah Karachi, pada tahun 1997 ditetapkan sebagai Sekretaris Waqfi Jadid Jemaat Karachi dan hingga 2019 beliau memegang jabatan ini. Beliau dalam waktu yang lama mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Amir Jemaat Karachi. Beliau juga sebagai Direktur Fazl-e-Umar Foundation. Pada Majlis Amilah pertama IAAAE beliau berkhidmat sebagai auditor. Selama beberapa tahun beliau menjadi ketua cabang Karachi. Pada tahun 1970 dibuat perencanaan pemasangan mesin pemasak roti untuk Darul Dhiafat Rabwah, bahkan untuk Jalsah Salanah dan mulai dibuat mesin-mesin, maka beliau sebagai Insinyur ambil bagian dalam proyek ini.
Putri beliau, Ibu Umarah menulis, “Ibunda kami telah cukup lama wafat mendahului Almarhum. Ayah kami setelah kewafatan ibunda tidak hanya merupakan seorang ayah yang penuh kasih sayang, bahkan melaksanakan perannya sebagai ibu yang perhatian dan teman yang penuh simpati dengan sangat baik. Setiap waktu selalu memberikan pelajaran mengenai kesetiaan terhadap agama dan khilafat, kedisiplinan dalam shalat dan menjalin ikatan dengan Jemaat.
Menantu beliau, Bapak Dokter Ghafar menuturkan, “Saya menjadi bagian dari keluarga beliau sejak 30 tahun lalu. Selama 30 tahun tersebut saya mendapatkan kesempatan melihat Almarhum dari dekat. Kedekatan dan keakraban dengan beliau telah sangat memberikan kesan yang kuat pada kehidupan saya. Amalan Almarhum begitu suci dan penuh kesederhanaan. Kerajinan beliau dalam beribadah membuat iri, rajin tahajud. Di hari-hari terakhir ketika beliau tidak bisa berjalan dikarenakan kelumpuhan, pada waktu itu pun tidak ada perubahan dalam amalan-amalan beliau. Beliau mengatakan kepada perawat beliau supaya membangunkan dan mendudukkan beliau pada jam sekian dan sambil duduk di kursi beliau secara rutin melaksanakan tahajud, shalat lima waktu dan mengerjakan tugas-tugas agama di laptop meskipun sedang sakit.
Bapak Mubaligh Nasim Tabassum menuturkan, “Setiap waktu bibir beliau selalu tersenyum dan selalu datang ke kantor meskipun sedang sakit. Beliau memperlakukan para waqifin zindegi dengan sangat hormat dan penuh kecintaan.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum, meninggikan derajatnya dan memberikan taufik kepada anak keturunan Almarhum untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum. Masih ada satu lagi berkenaan dengan Almarhum. Bapak Zaratust Munir dari Norwegia menulis, “Beliau setiap saat bersedia untuk mengkhidmati agama. Selalu menegakkan jalinan kecintaan, keikhlasan dan kesetiaan dengan Khilafat. Ketika saya mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Qaid Daerah, Almarhum memberikan bimbingan kepada saya dengan corak yang sangat tinggi dan saya selalu melihat dalam diri Almarhum bahwa Almarhum selalu memiliki standar terbaik ketaatan dan bahu membahu dengan setiap Amir.
Jenazah yang selanjutnya adalah yang terhormat Ibu Bushra Begum, istri dari Almarhum Bapak Thekedar Wali Muhammad. Almarhum wafat pada 19 Juli di usia 74 tahun disebabkan serangan jantung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Kakek Almarhum Hadhrat Mia Nizamuddin Sahib dari Nabha, adalah seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Almarhum sangat dawam melaksanakan tahajud, disiplin dalam shalat, ramah terhadap tamu, membantu orang-orang yang membutuhkan, selalu terdepan dalam pengorbanan harta, seorang wanita yang mukhlis, memiliki kecintaan yang tulus dan jalinan yang kuat dengan khilafat. Dikarenakan lemahnya penglihatan sejak masih kanak-kanak, Almarhum tidak bisa membaca Al-Qur’an secara dawam, namun setelah menikah dengan bantuan anak-anaknya Almarhum menghafal beberapa juz. Selain menyimak tilawat Al-Qur’an di MTA, Almarhum juga rutin menyimak khotbah-khotbah saya dan menyimak program-program lainnya juga secara dawam. Dengan karunia Allah Ta’ala Almarhum seorang Mushiah.
Almarhum meninggalkan 4 putra dan 2 putri. Seorang putra beliau, Bapak Shafiq Rahman adalah seorang Mubaligh, Missionary In Charge New Zealand dan Bapak Atiqurrahman saat ini mewaqafkan diri dan bekerja di kantor Private Secretary kita di departemen pengarsipan (record). Bapak Shafiqurrahman tidak bisa ikut serta dalam pemakaman ibunda beliau. Pemakaman Almarhum dilaksanakan di sini. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan juga ketentraman dan kesabaran kepada beliau, dan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan rahmat dan maghfiroh-Nya kepada Almarhum dan menjadikan anak keturunan Almarhum sebagai pewaris dari doa-doa Almarhum.
Setelah shalat Jum’at insya Allah saya akan memimpin shalat jenazah mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Muhammad Hasyim (Indonesia) dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Referensi pembanding: website berbahasa Arab: https://www.islamahmadiyya.net/index.asp?ver=2.1
[1] Shahih al-Bukhari, Kitab ekspedisi militer (كتاب المغازى), bab ayat (باب {الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ}).
[2] Shahih Muslim, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Thalhah dan Zubair (باب مِنْ فَضَائِلِ طَلْحَةَ وَالزُّبَيْرِ رضى الله عنهما).
[3] Sunan at-Tirmidzi, Kitab Manaqib atau keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم).
[4] Fadhail ash-Shahaabah karya Imam Ahmad ibn Hanbal (فضائل الصحابة لأحمد بن حنبل), nomor 439; Usdul Ghaabah (أسد الغابة في معرفة الصحابة 1-8 مع الفهارس ج2).
[5] Sunan Abi Dawud (سنن أبي داود), (كتاب السنة), (باب شَرْحِ السُّنَّةِ).
[6] Musnad Abi ‘Awanah adalah kumpulan hadits yang disusun oleh ulama Abu Awaanah al-Isfara’ini. Ia juga dikenal sebagai Mustakhraj Abi ‘Awanah (مستخرج أبي عوانة), bahasan pakaian (بيان الترغيب في لبس ثياب الحبر وانها كانت احب الثياب الى النبي صلى الله عليه وسلم).
[7] Shahih al-Bukhari, Kitab Keutamaan Sahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab keutamaan Zubair (باب مَنَاقِبُ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ)
[8] Shahih al-Bukhari, Kitab pengairan (كتاب المساقاة).
[9] Musnad Ahmad (مسند أحمد), Kitab Musnad 10 orang yang mendapat kabar suka surga (كتاب مسند العشرة المبشرين بالجنة).
[10] Saat ini Mosul berada di wilayah propinsi Nenawa, Iraq. Letaknya memang di persimpangan dekat dengan Suriah dan Turki. Istilah Syam pada masa sekarang ditujukan kepada wilayah yang sekarang disebut Suriah, Yordan, Palestina, Israel dan Lebanon. Pada zaman sebelum Ottoman (Dinasti Utsmaniyah Turki) berkuasa, istilah Syam mencakup juga wilayah barat sungai Tigris (Dajlah) yang sekarang termasuk wilayah Iraq.
[11] Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء ), bahasan Zubair bin ‘Awwam (الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ).
[12] Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء ), bahasan Zubair bin ‘Awwam (الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ). Tercantum juga dalam Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad ibn Hanbal (الزهد لأحمد بن حنبل) bahasan mengenai kezuhudan Zubair (زُهْدُ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى).
[13] Ma’rifatush Shahaabah karya Abu Nu’aim al-Ashbahani (معرفة الصحابة لأبي نعيم الأصبهاني), nama-nama (الأسمَاء), Atikah (عَاتِكَةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَمَّةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، صَاحِبَةُ الرُّؤْيَا الدَّالَّةُ عَلَى مُصَابِ أَهْلِ بَدْرٍ ), (حديث رقم 417).
[14] Shahih al-Bukhari, Kitab kewajiban pembayaran khumus (كتاب فرض الخمس), bab (باب بَرَكَةِ الْغَازِي فِي مَالِهِ حَيًّا وَمَيِّتًا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَوُلاَةِ الأَمْرِ). Beberapa cucu Hadhrat Zubair (ra) dari putranya, Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) seusia dengan beberapa putra Hadhrat Zubair (ra). Hal demikian karena Hadhrat Zubair (ra) melakukan pernikahan dengan beberapa wanita di waktu berbeda. Hal yang sama juga dilakukan putra beliau (ra), Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra).
[15] Shahih al-Bukhari, Kitab kewajiban pembayaran khumus (كتاب فرض الخمس), bab (باب بَرَكَةِ الْغَازِي فِي مَالِهِ حَيًّا وَمَيِّتًا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَوُلاَةِ الأَمْرِ).
[16] Hadhrat Zubair tidak pernah memimpin satu wilayah pun (menjadi Amir), juga tidak pernah mengambil pajak tanah, atau apapun karena kesibukannya dalam menyertai Nabi (saw) dan ketiga Khalifah setelah beliau.
[17] Ghabah ialah sebuah tempat di barat laut Madinah Al-Munawwarah, dengan jarak sekitar 6 km dari pusat kota. Ia merupakan daratan rendah di bagian utara Madinah. Kaya akan air yang bermuara dari mata air dan lembah. Ghabah meliputi daerah ‘Uyun, Kholil dan daerah daratan rendah sekitarnya. Dinamakan Ghabah (Hutan Belantara) karena terdapat banyak pepohonan dan merupakan daerah tua.
[18] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Zubair bin Awwam (مُسْنَدُ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).
[19] Al-Kaamil fit Tarikh karya Ibnu al-Atsir: Para Sahabat terkemuka (Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Zubair dan juga Hadhrat ‘Ali) satu per satu menolak desakan para pemberontak yang menguasai Madinah agar salah satu dari mereka dilantik sebagai Khalifah. Para pemberontak juga mengancam penduduk Madinah bahwa mereka akan membunuh para tokoh Sahabat yang masih tersisa di Madinah bila mereka tidak bersepakat memilih salah satu sebagai Khalifah, يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَنْتُمْ أَهْلُ الشُّورَى، وَأَنْتُمْ تَعْقِدُونَ الْإِمَامَةَ، وَحُكْمُكُمْ جَائِزٌ عَلَى الْأُمَّةِ، فَانْظُرُوا رَجُلًا تَنْصِبُونَهُ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ، وَقَدْ أَجَّلْنَاكُمْ يَوْمَكُمْ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَفْرُغُوا لَنَقْتُلَنَّ غَدًا عَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَأُنَاسًا كَثِيرًا! .
[20] Khashais al-Kubra (الخصائص الكبرى) karya Imam Suyuthi (عبد الرحمن بن أبي بكر، جلال الدين السيوطي (المتوفى: 911هـ)): وَأخرج الْحَاكِم عَن ثَوْر بن مجزاة قَالَ مَرَرْت بطلحة يَوْم الْجمل فِي آخر رَمق فَقَالَ لي مِمَّن أَنْت قلت من أأصحاب أَمِير الْمُؤمنِينَ عَليّ فَقَالَ إبسط يدك أُبَايِعك ; Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah radhiyallahu ‘anhum (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ), keutamaan Thalhah (ذِكْرُ مَنَاقِبِ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ التَّيْمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ). Ketika hal ini dikabarkan kepada Hadhrat Ali (ra), beliau berkata, اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ صَدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَى اللَّهُ أَنْ يَدْخُلَ طَلْحَةَ الْجَنَّةَ إِلَّا وَبَيْعَتِي فِي عُنُقِهِ “Allahu Akbar! Sabda Rasulullah (saw) telah tergenapi dengan begitu jelasnya bahwa Allah Ta’ala menolak Thalhah masuk surga kecuali dengan terlebih dahulu berbaiat kepada saya.”
[21] Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), bab kembalinya Zubair dari perang Jamal (رُجُوعُ الزُّبَيْرِ عَنْ مَعْرَكَةِ الْجَمَلِ); Siyaar A’lamin Nubala (سير أعلام النبلاء): عَنِ الأَسْوَدِ بنِ قَيْسٍ، حَدَّثَنِي مَنْ رَأَى الزُّبَيْرَ يَقْتَفِي آثَارَ الخَيْلِ قَعْصاً بِالرُّمْحِ، فَنَادَاهُ عَلِيٌّ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ! َأَقْبَلَ عَلَيْهِ حَتَّى الْتَفَّتْ أَعْنَاقُ دَوَابِّهِمَا، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللهِ، أَتَذْكُرُ يَوْمَ كُنْتُ أُنَاجِيْكَ، فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ: (تُنَاجِيْهِ! فَوَاللهِ لَيُقَاتِلَنَّكَ وَهُوَ لَكَ ظَالِمٌ) .
[22] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) dalam Khilafah Rasyidah.
[23] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[24] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ash-haab karya Ibnu ‘Abdil Barr riwayat Ahnaf (حديث عمرو بن جاوان، عن الأحنف).
[25] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ash-haab karya Ibnu ‘Abdil Barr.
[26] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Di dalam Kitab Siyaar a’lamin Nubala (سير أعلام النبلاء), (الصحابة رضوان الله عليهم), (الزبير بن العوام) dan Tarikh Madinah Dimashq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ١٨ – الصفحة ٤٣٧) diriwayatkan Ibnu Jurmuz hidup dalam penyesalan dan meninggal bunuh diri. Saat ia melihat sikap Ali kepadanya, dan mendengar ancaman yang menakutkan tentang tempat kembalinya yang amat buruk di akhirat nanti, serta kemurkaan Allah atasnya, dan ancaman neraka untuknya, ia pun merasakan penyesalan atas pembunuhan Zubair. Maka ia mendatangi anak-anak Zubair dan memohon kepada mereka agar membunuhnya sebagai qishash atas Zubair, namun mereka menolak, dan ia pun mati dalam penyesalan dan dosanya. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Sufyan bin Uyaynah, “Amru bin Jurmuz mendatangi Mush’ab bin Zubair (ketika ia menjadi gubernur di Iraq atas nama saudaranya Abdullah bin Zubair. Ini terjadi lebih dari 30 tahun setelah syahidnya Hadhrat Zubair. Lebih dari 5 tahun setelah kematian Yazid bin Muawiyah.) dan berkata, “Bunuhlah aku karena Zubair”. Maka Mush’ab menulis surat kepada Abdullah bin Zubair, dan dijawab, “Aku harus membunuh Ibnu Jurmuz karena Zubair?! Biarkan dia, bahkan sampai sandalnya sekalipun!” Dan dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Urwah, “Bahwasanya Amru bin Jurmuz menemui Mush’ab hingga ia menangkapnya, dan melemparkannya ke penjara. Kemudian Mush’ab menulis surat kepada Abdullah bin Zubair menceritakan perkaranya. Maka Abdullah membalas dan berkata, “Alangkah buruk apa yang telah kau lakukan, apakah kau mengira aku akan membunuh seorang arab badui dari Bani Tamim karena Zubair? Biarkan dia!” Mushab melepaskannya. Hingga suatu hari ibnu Jurmuz naik ke atas sebuah benteng, dan meminta seseorang untuk melemparkannya dari sana, maka ia pun dilemparkan dari atasnya, dan mati terbunuh! Saat itu telah begitu membenci hidupnya, karena rasa takut yang terus mengejarnya, dan bahkan di dalam mimpinya, karena itulah ia memilih untuk mengkahiri hidupnya.
[27] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Tercantum juga dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad ‘Ali Ibn Abi Talib (وَمِنْ مُسْنَدِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ): عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، أَنَّ عَلِيًّا، قِيلَ لَهُ إِنَّ قَاتِلَ الزُّبَيْرِ عَلَى الْبَابِ فَقَالَ لِيَدْخُلْ قَاتِلُ ابْنِ صَفِيَّةَ النَّارَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيًّا وَإِنَّ الزُّبَيْرَ حَوَارِيِّي.
[28] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[29] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.
[30] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Tidak semua pernikahan Hadhrat Zubair (ra) bertahan. Penyebabnya ialah perceraian.. Beliau (ra) menikah dengan Asma’ putri Abu Bakr ash-Shiddiiq pada saat di Makkah. Saat itu tidak berharta. Hadhrat ‘Aisyah ialah saudari Hadhrat Asma’. Pada zaman Khilafah Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Zubair (ra) dan Hadhrat Asma’ sudah bercerai. Hadhrat Asma’ tidak menikah lagi setelah itu hingga wafatnya di umur 90an tahun pada zaman kekuasaan Abdul Malik bin Marwan. Putra-putri Hadhrat Zubair (ra) dibawah pimpinan Hadhrat Abdullah bin Zubair (ra) yang juga putra Asma, menjadi penguasa mayoritas wilayah Muslim sejak kematian Yazid bin Muawiyah dan putranya, Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah pada sekitar 684. Berbagai wilayah Muslim bertambah dalam perpecahan hebat. Masing-masing golongan seperti Khawarij dan Syi’ah (yang sering mengatasnamakan pendukung keluarga Nabi saw) mempunyai wilayah kekuasaannya sendiri. Beberapa tahun kemudian, Abdul Malik bin Marwan yang meneruskan Marwan bin Hakam, mengalahkan Abdullah bin Zubair dan akhirnya menjadi penguasa penuh berbagai wilayah Muslim.