Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, seri 80

Esensi Bersyukur kepada Allah (Tugas-tugas para Ahmadi) - khutbah jumat

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 80)

Pembahasan dua orang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr). Bahasan lanjutan mengenai Hadhrat Sa’d bin Mu’adz radhiyAllahu ta’ala ‘anhu dan bahasan baru mengenai Hadhrat Sa’d bin Malik (Abu Waqqash) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Hadhrat Sa’d bin Mu’adz (ra) bertubuh tinggi dan besar. Baju zirah yang dipakai tidak berhasil menutupi seluruh tubuhnya. Syahid setelah terkena anak panah tepat di jalur urat nadi di tangannya.

Hadhrat Sa’d bin Mu’adz (ra), wafat dalam dekapan dan pangkuan Hadhrat Rasulullah (saw).

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 17 Juli 2020 (Wafa 1399 Hijriyah Syamsiyah/Dzulqa’idah 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada khutbah yang lalu telah disampaikan berkenaan dengan Hadhrat Sa’d Bin Muadz ra. Dalam menjelaskan tentang Hadhrat Sa’d Bin Muadz dan perang Ahzab, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin, “Dalam pertempuran tersebut umat Muslim  tidak banyak mengalami kerugian besar; yang syahid hanya 5 atau 6 orang. Sa’d bin Mu’adz (ra) Pemimpin tertinggi Kabilah Aus mendapatkan luka yang sedemikian parah sehingga akhirnya tidak dapat terselamatkan lagi. Kerugian tersebut merupakan pil pahit yang tidak dapat tergantikan bagi umat Islam. Dari pihak kuffar hanya tiga korban jiwa, namun disebabkan peperangan tersebut, kaum Quraisy mendapatkan pukulan luar biasa sehingga setelah itu mereka tidak pernah berani lagi menyerang umat Islam atau Madinah. Nubuatan Rasulullah (saw) tergenapi kata demi kata.”[1]

Sebagaimana telah saya sampaikan pada khutbah yang lalu. Beliau (saw) bersabda, “Di masa yang akan datang kaum Kuffar tidak akan berani lagi untuk menyerang umat Muslim .”

Pada perang Khandaq Hadhrat Sa’d Bin Muadz mendapatkan luka pada pergelangan tangan dan itu telah menyebabkan syahidnya beliau. عن عائشة قالت: ‏ Hadhrat Aisyah meriwayatkan, خَرَجْتُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ أَقْفُو آثَارَ النَّاسِ فَسَمِعْتُ وَئِيدَ الأَرْضِ وَرَائِي. تَعْنِي حِسَّ الأَرْضِ. فَالْتَفَتُ فَإِذَا أَنَا بِسَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ وَمَعَهُ ابْنُ أَخِيهِ الْحَارِثُ بْنُ أَوْسٍ يَحْمِلُ مِجَنَّهُ. فَجَلَسْتُ إِلَى الأَرْضِ. قَالَتْ فَمَرَّ سَعْدٌ وَهُوَ يَرْتَجِزُ وَيَقُولُ: Pada hari-hari perang Khandaq pernah saya keluar (dari benteng perlindungan). Ketika saya tengah berjalan mengikuti jejak langkah orang-orang, saya mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Setelah melihat ke belakang ternyata Hadhrat Sa’d Bin Muadz bersama dengan keponakannya Harits Bin Aus (الحارث بن أوس) tengah membawa tameng lalu saya duduk di tanah. Hadhrat Sa’d lewat di dekat saya sambil membaca syair yang berbunyi:

لَبِّثْ قَلِيلا يُدْرِكُ الْهَيْجَا حَمَلْ

Berhentilah sejenak ‘tuk menyusul Hamal di medan pertempuran.

ما أحْسَنَ المَوْتَ إذا حانَ الأجلْ!

Betapa indahnya maut, ketika tiba waktu yang ditetapkan.[2]

Hadhrat Aisyah bersabda: وَعَلَيْهِ دِرْعٌ قَدْ خَرَجَتْ مِنْهُ أَطْرَافُهُ فَأَنَا أَتَخَوَّفُ عَلَى أَطْرَافِ سَعْدٍ. وَكَانَ سَعْدٌ مِنْ أَطْوَلِ الناس وأعظمهم. “Di badan Hadhrat Sa’d Bin Muadz terdapat baju besi yang karenanya sisi-sisi tubuh beliau tampak keluar yakni disebabkan oleh tubuh yang besar dan lebar, badan pun tampak menonjol keluar. Saya mengkhawatirkan karena hal itu bisa saja kedua sisi tubuh Hadhrat Sa’d mengalami luka. Hadhrat Sa’d Bin Muadz termasuk salah satu orang yang berperawakan tinggi besar.

Orang yang telah melukai beliau ialah Ibnu Ariqah. Nama asal Ibnu Ariqah adalah Hibban Bin Manaf berasal dari Kabilah Banu Amir Bin Lu-ayy (بَنِي مَعِيصِ بْنِ عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ) dan Ariqah adalah nama julukan ayahnya.[3]

(عن جابر) Hadhrat Jabir meriwayatkan, رُمِيَ يَوْمَ الأَحْزَابِ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ، فقطعوا أكحله، فحسمه رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَانْتَفَخَتْ يَدُهُ وَنَزَفَهُ الدَّمُ “Pergelangan tangan Hadhrat Sa’d Bin Muadz terkena anak panah. Rasulullah mengeluarkan anak panah itu dengan tangan beliau sendiri setelah itu membedah luka itu dengan ujung tombak besi yang dipanaskan lalu melumuri dengan obat, kemudian bekas luka itu membengkak. Rasulullah (saw) membedahnya lagi dan memberikan obat lagi.”[4]

Hadhrat Aisyah bersabda, وَيَرْمِي سَعْدًا رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ قُرَيْشٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْعَرِقَةِ بِسَهْمٍ فَقَالَ: خُذْهَا وَأَنَا ابْنُ الْعَرِقَةِ! فَأَصَابَ أَكْحَلَهُ فَدَعَا اللَّهَ سَعْدٌ فَقَالَ: اللَّهُمَّ لا تُمِتْنِي حَتَّى تَشْفِيَنِي مِنْ قُرَيْظَةَ.  “Orang yang memanah Hadhrat Sa’d adalah Ibnu Ariqah dari kalangan Musyrik Quraisy. Ketika melontarkan panah ia berkata, ‘Rasakanlah ini! Aku Ibnu Ariqah. Anak panah tersebut mengenai pergelangan tangan Hadhrat Sa’d. Ketika terluka, beliau berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah, janganlah Engkau cabut nyawaku sampai Engkau menyelesaikan urusanku dengan Bani Quraizhah.’”[5]

(عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ) Hadhrat Aisyah meriwayatkan, أُصِيبَ سَعْدٌ يَوْمَ الْخَنْدَقِ رَمَاهُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يُقَالُ لَهُ حِبَّانُ بْنُ الْعَرِقَةِ وَهُوَ حِبَّانُ بْنُ قَيْسٍ مِنْ بَنِي مَعِيصِ بْنِ عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ رَمَاهُ فِي الْأَكْحَلِ فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْمَةً فِي الْمَسْجِدِ لِيَعُودَهُ مِنْ قَرِيبٍ “Pada perang Khandaq Hadhrat Sa’d mengalami luka, seorang penduduk Quraisy bernama Hibban Bin Ariqah telah memanah urat nadi di pergelangan tangan beliau. Rasulullah telah memerintahkan untuk membuat kemah untuk beliau di dekat Masjid supaya dekat dan dapat menjenguk beliau.

Hadhrat Aisyah meriwayatkan, “Luka Hadhrat Sa’d sudah mulai mengering dan hampir membaik dan Hadhrat Sa’d ra berdoa, اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْرَجُوهُ اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَإِنْ كَانَ بَقِيَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْءٌ فَأَبْقِنِي لَهُ حَتَّى أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ وَإِنْ كُنْتَ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فَافْجُرْهَا وَاجْعَلْ مَوْتَتِي فِيهَا ‘Ya Allah Sesungguhnya engkau tahu bahwa aku amat mencintai Jihad melawan orang-orang yang mendustakan Rasulullah dan mengusirnya. Ya Allah, aku beranggapan bahwa Engkau telah mengakhiri peperangan diantara kami dan mereka jika engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan orang-orang Quraisy, berikanlah sisa kehidupan kepadaku agar aku bisa memerangi mereka karena engkau semata. Namun jika Engkau telah mengakhiri peperangan ini seperti anggapanku, maka bukalah urat nadiku dan jadikanlah luka ini sebagai sarana bagiku untuk mati syahid.’”[6]

Hadhrat Aisyah bersabda, فَانْفَجَرَتْ مِنْ لَبَّتِهِ فَلَمْ يَرُعْهُمْ وَفِي الْمَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ إِلَّا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا أَهْلَ الْخَيْمَةِ مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا فَمَاتَ مِنْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ “Luka tersebut pada malam itu juga pecah lalu mengalirkan darah. Yang menghuni masjid Nabawi saat itu adalah Bani Ghifar. Ketika aliran darah Hadhrat Sa’d sampai di kemah mereka, mereka sangat khawatir. Orang-orang berkata, ‘Wahai penghuni kemah, bagaimana darah ini bisa mengalir ke tempat kita?’ Ternyata darah itu mengalir dari luka Hadhrat Sa’d dan karena itulah beliau wafat.”[7]

(عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:) Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, لَمَّا انْفَجَرَتْ يَدُ سَعْدٍ بِالدَّمِ قَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَنَقَهُ وَالدَّمُ يَنْفَحُ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِحْيَتِهِ لا يُرِيدُ أَحَدٌ أَنْ يَقِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدَّمَ إِلا ازْدَادَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ قُرْبًا حَتَّى قَضَى. “Ketika darah mulai mengalir dari luka Hadhrat Sa’d, Hadhrat Rasulullah datang menghampiri lalu mendekapnya. Darah Hadhrat Sa’d memercik sampai-sampai mengenai wajah Rasulullah dan jenggot beliau (saw). Semakin orang-orang ingin menjauhkan Rasulullah dari darah itu, justru Rasulullah malah semakin mendekat, sampai akhirnya Hadhrat Sa’d wafat.”[8]

Di dalam riwayat lain dikatakan, لَمَّا قَضَى سَعْدٌ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ، ثُمَّ رَجَعَ، انْفَجَرَ جُرْحُهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَأَتَاهُ، فَوَضَعَ رَأْسَهُ فِي حَجْرِهِ، وَسُجِّيَ بِثَوْبٍ أَبْيَضَ، وَكَانَ رَجُلاً أَبْيَضَ جَسِيْماً.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-:  “Ketika luka Hadhrat Sa’d pecah dan diketahui oleh Rasululah (saw), beliau (saw) lalu pergi menghampiri Hadhrat Sa’d dan meletakkan kepala Hadhrat Sa’d di pangkuan beliau (saw) lalu menutupinya dengan kain putih. Rasululah (saw) pun berdoa, اللَّهُمَّ إِنَّ سَعْداً قَدْ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِكَ، وَصَدَّقَ رَسُوْلَكَ، وَقَضَى الَّذِي عَلَيْهِ، فَتَقَبَّلْ رُوْحَهُ بِخَيْرِ مَا تَقَبَّلْتَ بِهِ رُوْحاً ‘Ya Allah, Sa’d telah berjihad di jalan-Mu, membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh.’

فَلَمَّا سَمِعَ سَعْدٌ كَلاَمَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَتَحَ عَيْنَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: Ketika Hadhrat Sa’d mulai sadarkan diri, Hadhrat Sa’d mendengarkan ucapan Hadhrat Rasulullah, lalu beliau membuka mata dan berkata: السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ. ‘Wahai Rasulullah! Semoga kedamaian tercurah kepada tuan. Saya menyaksikan bahwa tuan adalah Rasul Allah.’

وَقَالَ النَّبِيُّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَلأَهْلِ البَيْتِ: (اسْتَأْذَنَ اللهُ مِنْ مَلاَئِكَتِهِ عَدَدُكُم فِي البَيْتِ لِيَشْهَدُوا وَفَاةَ سَعْدٍ) . Ketika keluarga Sa’d melihat Rasulullah (saw) meletakkan kepala Hadhrat Sa’d di pangkuan beliau (saw), mereka khawatir. Ketika disampaikan kepada Rasulullah bahwa anggota keluarga Sa’d merasa khawatir, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya memohon kepada Allah, seperti halnya kalian saat ini berada di rumah, semoga sebanyak itu pulalah para malaikat hadir pada saat kewafatan Hadhrat Sa’d. Beliau berdoa demikian.’”[9]

Hadhrat Anas ra meriwayatkan, أُهْدِيَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةُ سُنْدُسٍ وَكَانَ يَنْهَى عَنْ الْحَرِيرِ فَعَجِبَ النَّاسُ مِنْهَا فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَمَنَادِيلُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فِي الْجَنَّةِ أَحْسَنُ مِنْ هَذَا “Rasulullah (saw) mendapatkan hadiah sepotong kain sutera yang sangat halus padahal Rasulullah (saw) telah melarang untuk mengenakan kain sutra. Setelah melihat kain tersebut, para sahabat terkejut. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sapu tangan Sa’d Bin Muadz di surga lebih lebih indah lagi dari ini.’” (Hadits Bukhari)[10]

Ketika para sahabat melihat sehelai kain sutra di tangan Rasullah, mereka berfikir mungkin kain tersebut akan dikenakan oleh rasulullah padahal Rasulullah telah melarangnya. Melihat hal itu Rasulullah memberikan permisalan bahwa kalian merasa heran melihat hal ini bahkan menzahirkan rasa aneh. Pada hakikatnya jelas dari hadits lain seperti riwayat Muslim . Riwayatnya sebagai berikut, (عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ، يَقُولُ) Hadhrat Bara meriwayatkan, أُهْدِيَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حُلَّةُ حَرِيرٍ فَجَعَلَ أَصْحَابُهُ يَلْمُسُونَهَا وَيَعْجَبُونَ مِنْ لِينِهَا فَقَالَ ‏ “‏ أَتَعْجَبُونَ مِنْ لِينِ هَذِهِ لَمَنَادِيلُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْهَا وَأَلْيَنُ ‏”‏ ‏.‏ “Rasulullah (saw) menerima hadiah sehelai kain sutera lalu sahabat menyentuhnya dan mengungkapkan ketakjuban atas kelembutannya. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apakah kalian merasa takjub dengan kelembutannya? Sesungguhnya sapu tangan Sa’d di surga lebih baik dan lebih lembut lagi dari ini.’”[11]

Hadhrat Jabir ra meriwayatkan, saya mendengar Rasulullah bersabda, اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ “Arsy bergetar atas kewafatan Sa’d Bin Mu’adz.” (Bukhari).[12] Sementara itu, di dalam riwayat Kitab Hadits Shahih Muslim , (عن سعيد عن قتادة حدثنا أنس بن مالك) Hadhrat Anas Bin Malik meriwayatkan, أن نبي الله صلى الله عليه و سلم قال وجنازته موضوعة يعني سعدا اهتز لها عرش الرحمن “Nabi (saw) bersabda ketika jenazah Hadhrat Sa’d ra diletakkan, ‘Disebabkan karenanya Arsy Sang Maha Rahman bergetar.’”[13]

Dalam menjelaskan lebih lanjut, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis: “Pemimpin Kabilah Aus, Hadhrat Sa’d Bin Muadz mengalami luka pada bagian pergelangan tangan ketika perang Khandaq. Meskipun diobati namun keadaannya tidak membaik. Luka tersebut terbuka. Karena beliau merupakan sahabat yang tulus dan Rasulullah (saw) pun memberikan perhatian khusus untuk merawatnya, sepulang dari perang Khandaq, Rasulullah memerintahkan agar membuatkan kemah untuk Hadhrat Sa’d di halaman masjid supaya Rasulullah dapat dengan mudah menjenguk Hadhrat Sa’d. Hadhrat Sa’d ditempatkan di kemah seorang wanita Muslim  bernama Rufaidah yang memiliki kemahiran dalam merawat pasien.” [14] Artinya, ditempatkan di kemah tempat pasien dirawat di dalamnya dan pada umumnya umat Muslim  memasang kemah-kemah di halaman masjid untuk mengobati umat Muslim  yang terluka.

Namun meskipun mendapatkan perhatian khusus, keadaan Hadhrat Sa’d tidak kunjung baik. Dalam keadaan demikian juga terjadi peristiwa pengkhianatan Banu Quraizah yang karena itu Hadhrat Sa’d terpaksa harus bertahan dengan upaya gigih yang luar biasa sehingga keadaan beliau semakin lemah. Pada masa itu, Hadhrat Sa’d memanjatkan doa dengan penuh rintihan, اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْرَجُوهُ اللَّهُمَّ فَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ وَضَعْتَ الْحَرْبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَإِنْ كَانَ بَقِيَ مِنْ حَرْبِ قُرَيْشٍ شَيْءٌ فَأَبْقِنِي لَهُ حَتَّى أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ وَإِنْ كُنْتَ وَضَعْتَ الْحَرْبَ فَافْجُرْهَا وَاجْعَلْ مَوْتَتِي ‘Ya Allah Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku amat mencintai jihad melawan orang-orang yang mendustakan Rasulullah (saw) dan mengusirnya dari kampung halamannya sendiri. Ya Allah, aku beranggapan bahwa Engkau telah mengakhiri peperangan diantara kami dan mereka. Namun, jika engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan orang-orang Quraisy, berikanlah sisa kehidupan kepadaku agar aku bisa memerangi mereka karena Engkau semata. Namun jika Engkau telah mengakhiri peperangan ini seperti anggapanku, maka sekarang aku tidak berkeinginan untuk hidup lebih lama lagi, biarkanlah aku mati syahid karena ini.’

Diriwayatkan bahwa Pada malam itu juga luka Hadhrat Sa’d semakin membuka dan begitu rupa mengalir darah sehingga mengalir keluar kemah, dan membuat orang khawatir lalu memasuki kemah beliau. Keadaan Hadhrat Sa’d sangat menghawatirkan dan saat itu jugalah Hadhrat Sa’d menghembuskan nafas terakhir.[15]

Kewafatan Sa’d telah membuat Hadhrat Rasulullah diliputi kesedihan mendalam dan memang benar kewafatan beliau merupakan kerugian yang sangat besar bagi umat Muslim . Di kalangan anshar Sa’d memiliki kedudukan yang tinggi, mendekati kedudukan Hadhrat Abu Bakr di kalangan Muhajirin. Beliau memiliki martabat yang tinggi dalam keikhlasan, pengorbanan, pengkhidmatan terhadap Islam dan juga dalam kecintaan terhadap Rasul yang mana martabat seperti itu sangat jarang orang yang meraihnya. Dari sikap dan perbuatan beliau tampak rasa cinta terhadap Islam dan pendiri Islam sudah menjadi asupan makanan bagi ruhnya. Disebabkan beliau merupakan pemimpin dalam kabilahnya sehingga teladannya memiliki pengaruh praktis dan mendalam di kalangan Anshar. Kesedihan Rasulullah atas putra ruhani yang luar biasa seperti ini merupakan perkara yang wajar. Namun beliau (saw) tetap bersabar dan ridha sepenuhnya atas kehendak Tuhan.

Ketika jenazah Sa’d diangkat hendak dibawa ke liang lahat, didasari rasa cinta, ibunda Hadhrat Sa’d yang sudah tua meratap dengan suara tinggi dan sesuai dengan tradisi pada masa itu dia sampaikan beberapa keistimewaan Sa’d. Rasulullah mendengar suara teriakan itu, dan meskipun Rasulullah pada prinsipnya tidak menyukai tradisi nauhah yang dilakukan oleh ibunda Hadhrat Sa’d itu dan bersabda, ‘Para wanita yang melakukan nauhah biasanya banyak berdusta, namun apa yang dikatakan oleh ibunda Sa’d adalah benar.’[16] Yakni keistimewaan yang disebutkan oleh ibunda Sa’d semuanya adalah benar.

Setelah itu, Rasulullah (saw) mengimami shalat jenazah dan ikut serta menyaksikan pemakaman dan menunggu di sana sampai penguburan selesai. Akhirnya, setelah berdoa, beliau pulang.[17]

Mungkin pada kesempatan itu Nabi (saw) mengatakan, اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ Itu artinya, di alam akhirat Rahmat Ilahi menyambut ruh Sa’d dengan penuh bahagia.” [18]  

Sebagian kalangan menerjemahkan, “Disebabkan oleh kewafatan Sa’d Arasy Tuhan Yang Maha Rahman bergetar.” ‘Ihtazaa di kalimat ini diterjemahkan ‘bergerak-gerak’ (bergetar). Namun, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) menerjemahkannya sebagai menyambut gembira. Itu maknanya, “Rahmat Allah menyambut ruh Sa’d bin Mu’adz di alam akhirat dengan gembira.”

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) menulis, “Setelah berlalu beberapa waktu,  ketika Rasulullah (saw) mendapatkan hadiah sehelai kain sutera dari seseorang, setelah melihatnya, beberapa sahabat menyatakan keheranannya akan kelembutan kain tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apakah kalian merasa takjub dengan kelembutan kain ini? Demi Tuhan, di surga kain Sa’d jauh lebih lembut dan indah dari pada kain ini.’”[19]

Terkait:   Ramadhan - Bulan Doa, Memohon Berkah atas Nabi Muhammad (saw) dan Mencari Pengampunan

Pada Hadits-Hadits yang saya sebut sebelumnya dari Kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim  hadiah yang disebutkan ialah (mandil atau manaadil) yang diterjemahkansapu tangan. Sementara itu, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menerjemahkan kata tersebut dalam bahasa Urdu ‘cadar’ (kain). Cadar di sini, dari sisi Bahasa Arab, kata tersebut berarti juga kain. Jadi, kalimat kain mencakup kedua makna terjemahan tersebut.

Ibunda Hadhrat Sa’d sambil bersedih membacakan sajak sebagai berikut:

وَيْلُ أُمِّ سَعْدٍ سَعْدَا بَرَاعَةً وَنَجْدًا

بَعْدَ أَيَادٍ يَا لَهُ وَمَجْدَا مُقَدَّمًا سَدَّ بِهِ مَسَدَّا

 ‘wailu ummi Sa’din Sa’dan…baraa’atan wa najdan

ba’da ayaadin yaa lahu wa majdan…muqaddiman sadda bihi masadan.’

Terpukulnya hati Ibu Sa’d atas kehilangan Sa’d; sang figur pemberani, cerdas dan perwujudan kemuliaan.

Betapa mulianya ia! Sang pemimpin yang telah mengatasi berbagai persoalan.

Rasulullah (saw) bersabda, كُلُّ نَائِحَةٍ تَكْذِبُ إِلاَّ أُمَّ سَعْدٍ “Setiap orang yang menangisi orang yang wafat (nauha), berkata dusta dan melebih-lebihkan, kecuali ibunda Sa’d.” (Tabaqatul Kubra)

لَمَّا مَاتَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَكَانَ رَجُلا جَسِيمًا جَزْلا. جَعَلَ الْمُنَافِقُونَ وَهُمْ يَمْشُونَ خَلْفَ سَرِيرِهِ يَقُولُونَ: لَمْ نَرَ كَالْيَوْمِ رَجُلا أَخَفَّ. وَقَالُوا: أَتَدْرُونَ لِمَ ذَلِكَ؟ ذَاكَ لِحُكْمِهِ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. Hadhrat Sa’d berperawakan besar, ketika jenazah beliau diangkat, orang-orang munafik berkata, ‘Kami tidak merasakan begitu ringannya seorang jenazah seperti halnya jenazah Sa’d.’ Itu diucapkan terus bahwa disebabkan oleh keputusan yang Hadhrat Sa’d berikan berkenaan dengan Banu Quraizah namun mereka (kaum Munafik) ucapkan itu dalam corak negatif. Setelah dikabarkan hal itu kepada Rasulullah, beliau bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لَقَدْ كَانَتِ الْمَلَائِكَةُ تَحْمِلُ سَرِيرَهُ “Demi Dzat yang jiwa saya berada di tangan-Nya, jenazah Sa’d yang terasa ringan bagi kalian disebabkan jenazahnya tengah diangkat oleh para Malaikat.”[20]

Berdasarkan riwayat lain, Rasulullah bersabda, لقد نزل من الملائكة في جنازة سعد بْن معاذ سبعون ألفًا ما وطئوا الأرض قبل، وبحق أعطاه اللَّه تعالى ذلك “Tujuh puluh (70) ribu Malaikat hadir pada saat pemakaman Hadhrat Sa’d, yang mana belum pernah turun ke dunia ini sebelumnya.[21]

(عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ:) Hadhrat Aisyah meriwayatkan, رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي أَمَامَ جَنَازَةِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ “Saya melihat Rasulullah berjalan di depan jenazah Hadhrat Sa’d.”[22]

(عَنْ رُبَيْحِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ:) Hadhrat Abu Said Khudri meriwayatkan, كُنْتُ أَنَا مِمَّنْ حَفَرَ لِسَعْدٍ قَبْرَهُ بِالْبَقِيعِ وَكَانَ يَفُوحُ عَلَيْنَا الْمِسْكُ كُلَّمَا حَفَرْنَا قَتَرَةً مِنْ تُرَابٍ حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى اللَّحْدِ. “Saya termasuk diantara orang-orang yang menggali kuburan Hadhrat Sa’d di Janntul Baqi. Tiap kali kami menggali satu bagian tanah, memancar aroma wangi dari bagian tersebut dan akhirnya sampai di lahat.”

فَطَلَعَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ فَرَغْنَا مِنْ حُفْرَتِهِ وَوَضَعْنَا اللِّبَنَ وَالْمَاءَ عِنْدَ الْقَبْرِ وَحَفَرْنَا لَهُ عِنْدَ دَارِ عَقِيلٍ الْيَوْمَ ، وَطَلَعَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْنَا فَوَضَعَهُ عِنْدَ قَبْرِهِ ، ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهِ ، فَلَقَدْ رَأَيْتُ مِنَ النَّاسِ مَا مَلَأَ الْبَقِيعَ  “Ketika kami selesai menggali kuburan, Rasulullah (saw) maju. Jenazah Hadhrat Sa’d diletakkan di sebelah kuburan lalu Rasulullah menyalatkan jenazah beliau.” Perawi (Abu Sa’id al-Khudri) mengatakan, saya melihat banyak sekali orang yang memadati Jannatul Baqi.[23]

(عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَابِرٍ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :) Abdurrahman Bin Jabir meriwayatkan dari ayahnya, لَمَّا انْتَهَوْا إِلَى قَبْرِ سَعْدٍ نَزَلَ فِيهِ أَرْبَعَةُ نَفَرٍ : الْحَارِثُ بْنُ أَوْسِ بْنِ مُعَاذٍ ، وَأُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ ، وَأَبُو نَائِلَةَ سِلْكَانُ بْنُ سَلَامَةَ ، وَسَلَمَةُ بْنُ سَلَامَةَ بْنِ وَقْشٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاقِفٌ عَلَى قَدَمَيْهِ فَلَمَّا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ تَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَسَبِّحَ ثَلَاثًا ، فَسَبَّحَ الْمُسْلِمُونَ ثَلَاثًا ، حَتَّى ارْتَجَّ الْبَقِيعُ ، ثُمَّ كَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا وَكَبَّرَ أَصْحَابُهُ ثَلَاثًا حَتَّى ارْتَجَّ الْبَقِيعُ بِتَكْبِيرِهِ ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقِيلَ لَهُ : “Ketika kuburan Hadhrat Sa’d telah siap, ada empat orang yang turun ke liang lahat diantaranya adalah Harits Bin Aus bin Mu’adz (keponakan Hadhrat Sa’d bin Mu’adz), Usaid Bin Hudhair, Abu Naila Silkan Bin Salamah dan Salamah Bin Salaamah Bin Waqsy. Rasulullah (saw) berdiri di arah kaki Hadhrat Sa’d. Ketika jenazah diturunkan ke liang lahat, rona wajah Hadhrat Rasulullah (saw) berubah. Beliau (saw) mengucapkan subhanallah tiga kali, lalu diikuti oleh pra sahabat mengucapkannya tiga kali sehingga suaranya menggema di pemakaman Jannatul Baqi. Rasulullah (saw) lalu mengucapkan Allahu Akbar tiga kali dan diikuti oleh para sahabat sehingga suaranya menggema di Jannatul Baqi. Ditanyakan kepada beliau (saw), يَا رَسُولَ اللَّهِ ، رَأَيْنَا بِوَجْهِكَ تَغَيُّرًا ، وَسَبَّحْتَ ثَلَاثًا ‘Wahai Rasulullah! Kami melihat rona wajah Anda berubah dan Anda mengucapkan subhanallah tiga kali. Apa sebabnya?’

Rasul bersabda, تَضَايَقَ عَلَى صَاحِبِكُمْ قَبْرُهُ وَضُمَّ ضَمَّةً لَوْ نَجَا مِنْهَا أَحَدٌ لَنَجَا سَعْدٌ مِنْهَا ، ثُمَّ فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ ‘Sa’d kesempitan di dalam kubur dan beliau ditekan. Jika seseorang harus terhindar dari itu, maka Sa’d-lah yang harus mendapatkannya lalu Allah Ta’ala meluaskannya untuknya.’”[24]

(عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ قَالَ :) Miswar Bin Rifa’ah al-Qurzhi meriwayatkan, جَاءَتْ أُمُّ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ تَنْظُرُ إِلَى سَعْدٍ فِي اللَّحْدِ فَرَدَّهَا النَّاسُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  “Ibunda Hadhrat Sa’d bin Mu’adz datang mendekati liang lahad untuk menyaksikan penurunan jenazah Hadhrat Sa’d ke liang lahat, namun orang-orang meminta beliau untuk menjauh. Rasulullah (saw) bersabda, دَعُوهَا ‘Biarkan beliau.’

فَأَقْبَلَتْ حَتَّى نَظَرَتْ إِلَيْهِ وَهُوَ فِي اللَّحْدِ قَبْلَ أَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ اللِّبَنُ وَالتُّرَابُ ، فَقَالَتْ : Ibunda beliau lalu menghampiri dan sebelum memasukkan bata dan tanah kedalam kubur, Ibunda Hadhrat Sa’d melihat Hadhrat Sa’d di dalam lahat lalu berkata, احْتَسَبْتُكَ عِنْدَ اللَّهِ ‘Aku yakin kamu mendapat pahala di sisi Tuhan.’

وَعَزَّاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرِهِ ، وَجَلَسَ نَاحِيَةً ، وَجَعَلَ الْمُسْلِمُونَ يَرُدُّونَ تُرَابَ الْقَبْرِ وَيُسَوُّونَهُ، وَتَنَحَّى رَسُولُ اللَّهِ فَجَلَسَ حَتَّى سُوِّيَ عَلَى قَبْرِهِ وَرُشَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ ، ثُمَّ أَقْبَلَ فَوَقَفَ عَلَيْهِ فَدَعَا لَهُ ثُمَّ انْصَرَفَ Rasulullah (saw) bertakziyah (menyampaikan ungkapan duka cita) kepada ibunda Hadhrat Sa’d di kuburan Hadhrat Sa’d dan duduk di satu sisi. Umat Muslim  memasukan tanah ke dalam kubur dan meratakannya lalu mencipratkan air ke atasnya. Rasulullah (saw) mendekat ke kuburan dan duduk di sana beberapa saat lalu berdoa kemudian pulang.[25]

Hadhrat Aisyah meriwayatkan, مَا كَانَ أَحَدٌ أَشَدُّ فَقْدًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا مِنْ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ “Umat Muslim  tidak merasakan kehilangan yang sedemikian mendalam atas kehilangan siapapun selain dari Hadhrat Sa’d Bin Muadz setelah terlebih dahulu kehilangan Rasulullah (saw) dan dua Sahabatnya (Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar ra).”[26]

Ketika wafat Hadhrat Sa’d berusia 37 tahun.

Rasulullah bersabda kepada ibunda Hadhrat Sa’d, لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ صَاحَتْ أُمُّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا يَرْفَأُ دَمْعُكِ وَيَذْهَبُ حُزْنُكِ فَإِنَّ ابْنَكِ أَوَّلُ مَنْ ضَحِكَ اللَّهُ لَهُ وَاهْتَزَّ لَهُ الْعَرْشُ “Apakah kesedihan Anda tidak akan berakhir dan air mata anda tidak akan mengering padahal putra Anda merupakan orang pertama yang baginya Allah tersenyum dan yang untuknya juga Arsy bergetar.”[27]

ولما دفنه رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وانصرف من جنازته، جعلت دموعه تحادر عَلَى لحيته، ويده في لحيته Setelah Hadhrat Rasulullah menguburkan Hadhrat Sa’d dan kembali dari pemakaman, air mata beliau (saw) mengalir sampai ke janggut beliau.[28]

Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa (عَنِ الْمَاجِشُونِ ، قَالَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ :) Hadhrat Sa’d ra berkata, ثَلَاثٌ أَنَا عَمَّا سِوَاهُنَّ ضَعِيفٌ : مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا إِلَّا عَلِمْتُ أَنَّهُ حَقٌّ ، وَلَا صَلَّيْتُ صَلَاةً فَحَدَّثْتُ نَفْسِي بِغَيْرِهَا حَتَّى أنْفَتِلَ عَنْهَا ، وَلَا تَبِعْتُ جِنَازَةً فَحَدَّثْتُ نَفْسِي بِغَيْرِ مَا إِيَّاهُ قَائِلَةٌ ومَقُولٌ لَهَا  “Tidak diragukan bahwa saya adalah seorang yang lemah. Namun ada tiga hal di dalam diri saya yang sangat kuat.” (Artinya, “Saya berpegang teguh pada tiga hal dan secara tidak tergoyahkan selalu saya amalkan.”) Pertama, apapun yang saya dengar dari Rasulullah (saw) maka saya menganggapnya kebenaran. (artinya, beliau tidak pernah menolaknya.) Kedua, saya tidak membiarkan khayalan lain masuk ke dalam shalat saya sampai saya menyelesaikan shalatku. (Maksudnya, “Saya shalat dengan penuh tawajjuh.”) Ketiga, dalam setiap kesempatan mengikuti shalat jenazah saya senantiasa membayangkan bahwa saya adalah seorang yang mati. Apa yang akan saya katakan dan apa yang akan ditanyakan kepada saya. Seolah-olah sedang berlangsung soal jawab dengan saya.”[29] Yakni beliau ra memikirkan akhirat.

(عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ) Hadhrat Aisyah ra bersabda, ثَلَاثَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يَعْتَدُّ عَلَيْهِمْ فَضْلًا كُلُّهُمْ مِنْ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ وَأُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ “Ada tiga orang dari kaum Anshar dari banu Abdul Asyhal yang – setelah Rasulullah (saw) – tidak ada yang lebih baik dari mereka. Mereka adalah Hadhrat Sa’d bin Mu’adz, Hadhrat Usaid bin Hudhair, Hadhrat Abbad bin Bisyr radhiyAllahu ta’ala ‘anhum.”[30]

Sahabat selanjutnya yang akan saya sampaikan adalah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra. Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bergelar Abu Ishaq (أَبُو إِسْحَاق الْقُرَشِيّ الزُّهْرِيّ). Ayah beliau bernama Malik bin Uhaib (مالك بْن أهيب).[31] Sementara dalam riwayat lain diterangkan bahwa ayah beliau bernama Malik bin Wuhaib (مَالِكِ بْنِ وُهَيْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كلاب بْن مُرَّة). Ayah beliau lebih terkenal dengan gelarnya ‘Abu Waqqash’. Itulah sebabnya nama beliau ra Sa’d bin Abi Waqqash. [32] Ibu beliau bernama Hamnah binti Sufyan (حَمْنَةُ بنت سفيان بن أُميّة بن عبد شمس بن عبد مناف بن قُصيّ). Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra berasal dari Qabilah Quraisy Banu Zuhrah.

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra adalah salah satu dari 10 sahabat yang di masa hidupnya Rasulullah (saw) nubuatkan (akan masuk) surga. 10 sahabat itu disebut Asyrah Mubasyarah dan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra adalah yang paling terakhir wafat dari antara mereka. Semua sahabat ini adalah muhajirin. Yakni di saat kewafatannya Rasulullah (saw) ridha pada mereka.

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra menyampaikan berkaitan dengan (kisah) berimannya, مَا أَسْلَمَ أَحَدٌ إِلاَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي أَسْلَمْتُ فِيهِ، وَلَقَدْ مَكَثْتُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَإِنِّي لَثُلُثُ الإِسْلاَمِ “Pada saat itu belum ada yang masuk islam. Namun pada hari saya menerima Islam dan sampai 7 hari keadaannya adalah, saya sepertiga dari umat islam.”[33] Artinya, saat itu baru ada  3 orang Muslim . Beliau ra menjelaskan, لَقَدْ أَسْلَمْتُ يَوْمَ أَسْلَمْتُ وَمَا فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَوَاتَ “Saya masuk Islam dan pada hari saya masuk Islam itu shalat-shalat belum diwajibkan Allah Ta’ala.”[34]

Berkaitan dengan masuk Islamnya Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra, (عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدٍ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ :) Aisyah putri beliau meriwayatkan, “Ayah saya (Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra) menyampaikan, رَأَيْتُ فِيَ الْمَنَامِ قَبْلَ أَنْ أُسْلِمَ بِثَلَاثٍ كَأَنِّي فِي ظُلْمَةٍ لَا أُبْصِرُ شَيْئًا إِذْ أَضَاءَ لِي قَمَرٌ , فَاتَّبَعْتُهُ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَنْ سَبَقَنِي إِلَى ذَلِكَ الْقَمَرَ فَأَنْظُرُ إِلَى زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَإِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَإِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ , وَكَأَنِّي أَسْأَلُهُمْ مَتَى انْتَهَيْنَا إِلَى هَهُنَا , قَالُوا : السَّاعَةَ ,  ‘Saya melihat dalam mimpi bahwa saya berada dalam kegelapan dan tidak bisa melihat apapun. Kemudian tiba-tiba saya melihat bulan terbit dan saya berjalan menujunya. Saya melihat Hadhrat Zaid bin Haritsah, Hadhrat Ali dan Hadhrat Abu Bakr sedang menuju ke sana sebelumku. Saya bertanya pada mereka, “Bilakah atau kapankah anda sekalian sampai?”

Mereka menjawab, “Kami juga baru saja sampai.”’”

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bersabda, وَبَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو إِلَى الْإِسْلَامِ مُسْتَخْفِيًا , فَلَقِيتُهُ فِي شِعْبِ أَجْيَادٍ وَقَدْ صَلَّى الْعَصْرَ , فَقُلْتُ : إِلَى مَا تَدْعُو ؟ قَالَ : تَشَهَّدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ , قَالَ : قُلْتُ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ , فَمَا تُقَدِّمَنِي أَحَدٌ إِلَّا هُمْ “Saya sudah mendapat kabar bahwa Rasulullah (saw) mengajak ke arah Islam secara sembunyi-sembunyi. Dengan demikian saya berjumpa dengan beliau (saw) di Syi’b (lembah) Ajyad.” Ajyad adalah nama sebuah tempat di Mekah dekat bukit Safa tempat dulu Rasulullah (saw) mengembala kambing-kambingnya.

“Saya sampai di sana ketika beliau (saw) baru selesai shalat ashar lalu saya baiat masuk Islam.”[35]

Putri Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bernama Aisyah meriwayatkan, “Saya mendengar ayah saya berkata, ‘Saya masuk Islam ketika saya berumur 17 tahun.’” Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa pada saat beriman umur beliau 19 tahun.

Di antara orang-orang paling awal masuk Islam atas usaha Tabligh Hadhrat Abu Bakr (ra) ada lima orang. Dii dalam Islam mereka termasuk sahabat-sahabat yang terhormat dan terpandang. Orang yang ketiga dari antara mereka adalah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra). Hal ini saya rujuk berdasarkan yang tertulis dan yang dijelaskan dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin, “Yang ketiga ialah Sa’d bin Abi Waqqash ra yang saat itu benar-benar masih muda. Saat itu umur beliau masih 19 tahun. Beliau berasal dari banu Zuhrah. Beliau sangat pemberani dan ksatria. Di zaman Hadhrat Umar, Iraq dikuasai melalui tangan beliau. Beliau wafat di zaman Amir Muawiyah.”[36]

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra banyak sekali meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. Putra Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra, Mush’ab bin Sa’d meriwayatkan bahwa ayahku Sa’d menyampaikan kepadaku, حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ “Ibu Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra – dulu bersumpah bahwa dia tidak akan pernah bicara dengan Hadhrat Sa’d sebelum beliau ra mengingkari agamanya, yakni berpaling dari Islam. Dengan demikian ibu beliau tidak makan minum.”

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra berkata, زَعَمْتَ أَنَّ اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا “Ibu saya berkata Allah Taala menekankan padamu untuk berbuat baik pada orang tua. Kamu yang berkata seperti itu , bukan agamamu yang berkata bahwa Tuhan berfirman ‘ berbuat baiklah pada kedua orang tua’, yakni ada penekanan dalam hal ini. Aku ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agamamu; dan taatilah apa yang aku katakan.

Perawi berkata, مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِيَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ “Ibu Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra seperti itu sampai 3 hari sampai-sampai karena lemah dia pingsan. Kemudian anaknya yang bernama Umarah berdiri dan memberinya minum. Kemudian ketika sudah sadar dia mulai mendoakan keburukan untuk Hadhrat Sa’d. Pada saat itulah Allah Ta’ala menurunkan ayat, ‏{‏وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا‏}‏  Artinya, ‘Kami mewasiyatkan umat manusia untuk berbuat baik pada kedua orang tua.’ Ini adalah ayat dalam surah Al-ankabut. Kemudian dalam Surah Luqman Allah Taala berfirman, ‏{‏وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا}‏ ‘Jika mereka berseteru dengan kalian supaya kalian menyekutukan-Ku maka jangan taati mereka.’ Maknanya, ‘Apabila mereka berkata pada kalian untuk menyekutukan-Ku maka jangan kalian turuti.’ Kemudian selanjutnya berfirman, ‏{‏وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا‏}‏ ‘Jalinlah persaudaraan baik di dunia dengan mereka sesuai ketentuan, jalinlah hubungan baik dan berbuat baiklah pada mereka.’” Riwayat ini tercantum dalam Shahih Muslim .[37]

Terkait:   Nubuatan dan Pribadi Mushlih Mau'ud

Kemudian dari sumber lain dalam kitab-kitab Sirat (biografi) tertulis bahwa Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bersabda, كنت رجلا برا بأمي، فلما أسلمت قالت: “Saya sangat mencintai ibuku. Namun ketika saya menerima Islam, dia berkata, يا سعد! ما هذا الدين الذي أحدثت، لتدعن دينك هذا، أولا آكل، ولا أشرب حتى أموت ‘Agama macam apa yang kamu peluk. Kamu pilih antara meninggalkan agamamu atau aku. Jika tidak, aku akan meninggalkan makan-minum sampai aku mati.

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra berkata, “Saya berkata pada ibu saya, لا تفعلي يا أمه، إني لا أدع ديني هذا لشئ ‘Wahai ibuku tercinta! Jangan lakukan ini karena aku tidak akan meninggalkan agamaku.’”

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bersabda, “Satu hari satu malam ibuku tidak makan dan minum apa-apa, dan keadaannya mulai memburuk. Aku berkata padanya, والله يا أمه لو كانت لك مائة نفس، فخرجت نفسا نفسا ما تركت ديني هذا ‘Demi Allah kalaupun ibu memiliki 1000 nyawa dan nyawa itu keluar satu per satu, maka tetap saja aku tidak akan meninggalkan agamaku demi apapun.’

Ketika ibu beliau melihat ini (keteguhan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra, pent) maka dia mulai makan minum.

Pada saat itu Allah Taala menurunkan ayat, وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ Artinya, ‘Jika mereka berbantah dengan kalian supaya kalian menyekutukan-Ku yang mengenainya kalian tidak tau apa-apa, maa laisa laka bihi ‘ilm. Maka fala tuthi’huma, jangan taati mereka. Ya, dalam urusan duniawi jalinlah hubungan baik dengan mereka.’”[38]

Rasulullah (saw) biasa memanggil paman (dari pihak ibu, pent) pada Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra. Suatu kali Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra lewat di depan beliau saw, maka Rasulullah (saw) bersabda, هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ! “Ini adalah pamanku (dari pihak ibu, pent). Siapa yang punya paman seperti ini? Coba tunjukan.”[39]

Imam Tirmidzi menjelaskan kenapa Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra merupakan paman Rasulullah saw sebagai berikut, وكان سعدُ بنُ أبي وقَّاصٍ مِن بَني زُهْرةَ، وكانت أمُّ النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم مِن بَني زُهرةَ؛ فلِذلك قال النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم هذا خالي “Hal itu ialah karena ibunda Rasulullah (saw) berasal dari Banu Zuhrah dan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra juga dari Banu Zuhrah.”[40]

Hadhrat Abu Hurairah ra meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى جَبَلِ حِرَاءٍ، فَتَحَرَّكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “Ketika Rasulullah (saw) berada di gunung Hira maka Gunung Hira mulai berguncang. Dengan begitu Rasulullah (saw) bersabda, اسْكُنْ حِرَاءُ فَمَا عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ. ‘Wahai Hira! Diamlah. Yang berdiri di atasmu sekarang adalah nabi, shiddiq dan syahid.’ وَعَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ (بن عبيد الله) وَالزُّبَيْرُ (بن العوام) وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. Pada saat itu yang berdiri di atas gunung itu adalah Raslullah saw, Hadhrat Abu Bakr ra, Hadhrat Umar ra, Hadhrat Utsman ra, Hadhrat Ali ra, Hadhrat Thalhah bin Ubaidillah ra, Hadhrat Zubair bin Awam ra dan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra. Ini riwayat dari Kitab Hadits Muslim.

Suatu kali di masa awal Islam ketika umat Muslim  shalat sembunyi-sembunyi Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra sedang shalat dengan para sahabat di sebuah lembah di Mekah lalu orang-orang musyrik sampai di sana. Mereka mulai mengolok-ngolok umat Muslim dan agamanya. Yakni mereka mulai mencari-cari keburukan Islam – yakni mereka ingin mencari-cari keburukan Islam sampai-sampai terjadi perkelahian. Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra memukul kepala seorang musyrik dengan tulang unta dengan sangat keras sehingga kepalanya pecah. Jadi ini adalah darah pertama yang mengalir dalam (sejarah) Islam.

Ketika umat Muslim  diboikot di Mekah dan mereka dipenjara di lembah Abu Thalib. Dari antara umat Muslim  yang menderita kesulitan saat itu adalah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra. Berkaitan dengan ini Hadhrat Sahibzada MIrza Basyir Ahmad ra menulis dalam Sirat Khatamannabiyyin, “Musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan yang diderita oleh orang-orang yang di boikot pada saat itu sedemikian rupa sehingga dengan membaca kisahnya membuat badan gemetar. Diriwayatkan oleh seorang sahabat bahwa terkadang mereka bertahan hidup seperti hewan dengan memakan dedaunan pohon-pohon hutan.[41]

Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra meriwayatkan, ‘Suatu kali pada malam hari kaki saya menyentuh suatu benda yang lunak – mungkin potongan kurma. Saat itu saya begitu laparnya sehingga beliau langsung memakannya. Sampai saat ini saya tidak tahu benda apa itu (yang saya makan saat itu).’

Pada kesempatan lain karena kelaparan keadaan beliau sedemikian rupa; beliau menemukan kulit hewan yang kering di atas tanah lalu beliau membersihkan dan melunakkannya dengan air lalu beliau membakarnya kemudian dimakan. Beliau melalui 3 hari dengan hidangan ghaib ini.”[42]

Ketika Allah Taala memerintahkan umat Muslim  untuk hijrah maka Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra juga hijrah ke Madinah dan di Madinah beliau tinggal di rumah saudaranya yang musyrik, Utbah bin Abi Waqqash. Dulu Utbah membunuh seseorang di Mekah sehngga dia datang ke Madinah dan bermukim di sana. Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra termasuk paling awal yang hijrah. Beliau ra hijrah dan sampai di Madinah sebelum Rasulullah (saw) sampai di Madinah.

Rasulullah (saw) menjadikan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) bersaudara dengan Hadhrat Mush’ab bin Umair ra. Sementara di riwayat lain diterangkan bahwa Rasulullah (saw) menjadikan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ra bersaudara dengan Hadhrat Sa’d bin Muaz ra. Perbedaan pendapat ini bisa dijelaskan oleh Maulana Ghulam Ali Sahib yang mengemukakan pendapat berikut ini bahwa di Mekah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) menjalin persaudaraan dengan Hadhrat Mush’ab dan di Madinah dengan Hadhrat Sa’d bin Mu’adz.

Hadhrat Sa’d adalah salah satu penunggang kuda Quraisy yang pemberani. Dalam berbagai peperangan di antara para sahabat yang diberikan tanggung jawab untuk melindungi dan mempertahankan Rasulullah (saw) salah satunya adalah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash.

Abu Ishaq meriwayatkan bahwa di antara para sahabat Rasulullah (saw) ada empat orang sahabat yang merupakan penyerang yang sangat hebat, yaitu Hadhrat Umar, Hadhrat Ali, Hadhrat Zubair dan Hadhrat Sa’d. Setelah hijrah ke Madinah orang-orang Islam selalu dibayangi rasa ketakutan dan kekhawatiran terjadinya serangan dari kaum Kuffar yang karenanya di masa-masa awal orang-orang Islam banyak terjaga pada malam hari dan Rasulullah (saw) pun pada umumnya terjaga pada malam hari. Mengenai hal ini terdapat satu riwayat, Hadhrat Aisyah meriwayatkan, سَهِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْدَمَهُ الْمَدِينَةَ ، لَيْلَةً ، فَقَالَ: “Pada masa awal kedatangan ke Madinah pada suatu malam Rasulullah (saw) tidak bisa tidur, maka beliau (saw) bersabda, لَيْتَ رَجُلًا صَالِحًا مِنْ أَصْحَابِي يَحْرُسُنِي اللَّيْلَةَ ‘Seandainya saja ada salah seorang yang soleh di antara para sahabatku yang menjagaku malam ini.’”

Hadhrat Aisyah (ra) meriwayatkan, فَبَيْنَا نَحْنُ كَذَلِكَ سَمِعْنَا خَشْخَشَةَ سِلَاحٍ ، فَقَالَ:  “Dalam keadaan demikian kami mendengar suara senjata. Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, مَا جَاءَ بِكَ ؟  ‘Siapa itu?’

Dari luar terdengar suara, yakni orang yang datang itu menjawab, سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ‘Saya Sa’d bin Abi Waqqash.’

Rasulullah (saw) bersabda kepada beliau, مَا جَاءَ بِكَ ؟ ‘Bagaimana anda bisa datang ke sini?’

Beliau menjawab, وَقَعَ فِي نَفْسِي خَوْفٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجِئْتُ أَحْرُسُهُ ‘Di dalam hati saya timbul kekhawatiran mengenai Rasulullah (saw), oleh karena itu saya datang untuk menjaga engkau (saw).’ فَدَعَا لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ نَامَ Rasulullah (saw) mendoakan Sa’d lalu tidur.”[43]

Ada satu referensi lain bahwa peristiwa ini disebutkan juga dalam Bukhari dan Muslim , namun tidak disertai dengan penjelasan mengenai doa apa yang dipanjatkan oleh Hadhrat Rasulullah (saw), tetapi dalam Manaqib Sa’d yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, di dalamnya terdapat riwayat dari putra beliau Qais, “Ayah saya Sa’d meriwayatkan, Hadhrat Rasulullah (saw) berdoa berikut ini untuk beliau, اللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لِسَعْدٍ إِذَا دَعَاكَ  ‘Ya Allah! Ketika Sa’d berdoa kepada Engkau, maka kabulkanlah doanya.’”[44], dan di dalam Kitab “Al-Ikmaal fii Asmaa Al-Rijaal” (الإكمال في أسماء الرجال) disebutkan bahwa Rasulullah (saw) mendoakan beliau sebagai berikut: Artinya, اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ “Ya Allah! Jadikanlah anak panahnya tepat ke sasaran dan kabulkanlah doanya.”[45]

Dikarenakan doa Hadhrat Rasulullah (saw) ini, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash terkenal dikarenakan pengabulan doa beliau. Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash adalah seorang yang doa-doanya mustajab (Mustajaab Ad-Da’waat). Ada seseorang yang berbohong kepada beliau, maka beliau mendoakan orang itu, اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ كَاذِباً فَأَعْمِ بَصَرَهُ، وَأَطِلْ عُمُرَهُ، وَعَرِّضْهُ لِلْفِتَنِ “Ya Allah! Jika orang ini berkata dusta, maka hilangkanlah penglihatannya dan panjangkanlah umurnya dan jerumuskanlah ia ke dalam fitnah.”[46] Alhasil semua itu terjadi pada orang tersebut.

Terdapat dalam satu riwayat, (عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ قَالَ‏:‏) Qais bin Abi Hazim meriwayatkan, كُنْتُ بِالْمَدِينَةِ فَبَيْنَا أَنَا أَطُوفُ فِي السُّوقِ إِذْ بَلَغْتُ أَحْجَارَ الزَّيْتِ، فَرَأَيْتُ قَوْمًا مُجْتَمِعِينَ عَلَى فَارِسٍ قَدْ رَكِبَ دَابَّةً، وَهُوَ يَشْتِمُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَالنَّاسُ وُقُوفٌ حَوَالَيْهِ إِذْ أَقْبَلَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ‏:‏ مَا هَذَا؟‏ ‏ “Suatu kali saya pergi ke pasar Madinah dan sampailah saya di Ahjar Az-Zait, saya melihat ada sekumpulan orang di dekat seseorang yang sedang menunggang kuda dan ia terus mencaci-maki Hadhrat Ali. Tidak lama kemudian datanglah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) ke sana dan berdiri di antara mereka dan menanyakan kepada mereka mengenai apa yang terjadi. Orang-orang menjawab, رَجُلٌ يَشْتُمُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ ‘Orang ini terus mencaci-maki Hadhrat Ali.’

فَتَقَدَّمَ سَعْدٌ فَأَفْرَجُوا لَهُ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ‏:‏ Hadhrat Sa’d maju, maka orang-orang memberikan beliau jalan, sehingga beliau sampai ke hadapan orang tersebut dan bertanya, يَا هَذَا، عَلَامَ تَشْتُمُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ؟أَلَمْ يَكُنْ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ؟أَلَمْ يَكُنْ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-‏؟أَلَمْ يَكُنْ أَزْهَدَ النَّاسِ؟أَلَمْ يَكُنْ أَعْلَمَ النَّاسِ؟ ‘Hai Fulan! Mengapa kamu mencaci maki Hadhrat Ali, bukankah beliau yang pertama-tama masuk Islam? Bukankah beliau adalah yang pertama shalat bersama Rasulullah saw.? Dan bukankah beliau yang paling muttaqi di antara orang-orang yang lainnya? Bukankah beliau seorang yang paling berilmu di antara orang-orang?’

Sampai-sampai Hadhrat Sa’d mengatakan, أَلَمْ يَكُنْ خَتَنَ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَعَلَى ابْنَتِهِ؟أَلَمْ يَكُنْ صَاحِبَ رَايَةِ رَسُولِ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَفِي غَزَوَاتِهِ؟ ‘Bukankah Rasulullah (saw) telah menikahkan putrinya dengan beliau dan menganugerahkan kepada beliau kedudukan sebagai menantunya? Bukankah beliau adalah yang membawa bendera dalam peperangan-peperangan bersama Rasulullah (saw)?’”

Perawi mengatakan, ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ، وَقَالَ‏:‏ “Setelah itu Hadhrat Sa’d menghadap ke arah kiblat dan mengangkat tangan beliau untuk berdoa, اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا يَشْتُمُ وَلِيًّا مِنْ أَوْلِيَائِكَ، فَلَا تُفَرِّقْ هَذَا الْجَمْعَ حَتَّى تُرِيَهُمْ قُدْرَتَكَ ‘Ya Allah! Jika ia mencaci salah seorang wali engkau yakni Hadhrat Ali, maka sebelum kerumunan ini bubar, perlihatkanlah qudrat kekuasaan Engkau!’” Referensi ini dari Mustadrak.

Perawi Qais mengatakan, فَوَاللَّهِ مَا تَفَرَّقْنَا حَتَّى سَاخَتْ بِهِ دَابَّتُهُ فَرَمَتْهُ عَلَى هَامَتِهِ فِي تِلْكَ الْأَحْجَارِ، فَانْفَلَقَ دِمَاغُهُ وَمَاتَ “Demi Allah! Belum lagi kami bubar dari sana, hewan tunggangan orang tersebut menjatuhkannya dan membenturkan kepala orang tersebut dengan kakinya ke batu, yang karenanya kepalanya pecah lalu ia mati.”[47]

Sebagaimana segera setelah hijrahnya Rasulullah (saw) ke Madinah Hadhrat Sa’d berjaga pada malam hari, demikian juga nampak dalam sejarah pada peristiwa lain pada saat perang Khandaq. Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) menjelaskan mengenai hal ini, bersabda, “Hadhrat Aisyah ra. meriwayatkan, ‘Setelah berjaga Hadhrat Rasulullah (saw) merasa lelah. Sebagaimana para sahabat melakukan penjagaan demikian juga beliau (saw) melakukan penjagaan dan merasa letih dikarenakan udara yang dingin. Kemudian beliau kembali dan berbaring dalam selimut bersama saya untuk beberapa saat, namun setelah tubuh beliau (saw) menjadi hangat segera beliau (saw) pergi lagi untuk melakukan penjagaan di celah tersebut. Demikianlah karena terus menerus terjaga suatu hari beliau (saw) betul-betul keletihan dan pada malam hari beliau (saw) bersabda, “Seandainya saja saat ini ada seorang Muslim  yang tulus, maka saya akan tidur dengan tenang.”

Dari luar terdengar suara Sa’d bin Abi Waqqash (ra). Beliau (saw) bertanya, “Kenapa anda datang?”

Sa’d bin Abi Waqqash (ra) menjawab, “Saya datang untuk menjaga anda.”

Beliau (saw) bersabda yang makanya, “Saya tidak memerlukan penjagaan. Pergilah anda ke tempat di mana tepi parit telah rusak dan berjagalah di sana supaya orang-orang Islam aman.” Hadhrat Sa’d lalu pergi untuk menjaga tempat tersebut dan Hadhrat Rasulullah (saw) kemudian tidur untuk beberapa lama.’”

Riwayat yang masih tersisa dari Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) selanjutnya akan disampaikan pada kesempatan yang akan datang.

Hari ini pun saya akan menyalatkan tiga jenazah gaib yang akan saya sampaikan riwayat mereka. Yang pertama adalah yang terhormat Bapak Master Abdussami’ Khan Kathgary yang wafat pada tanggal 6 Juli di Rabwah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Qadian pada tahun 1937. Ayahanda beliau Bapak Abdurrahim Kathgary adalah salah seorang pengkhidmat Jemaat di masa dulu. Kakek beliau Hadhrat Choudry Abdussalam Khan Khatgary pada tahun 1903 mendapatkan karunia baiat di tangan berberkat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau baiat secara langsung di tangan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan menjadi seorang sahabat.

Pendidikan dasar Almarhum ditempuh di Qadian, kemudian setelah partisi (pemisahan Pakistan dengan India) beliau menempuh matrik di Rabwah. Di antara anak beliau ada seorang putra dan seorang putri. Istri beliau wafat 3-4 tahun yang lalu. Pada tahun 1960 setelah menyelesaikan B.Sc, pada tahun itu beliau mulai mengajar secara paruh waktu sesuai kemampuan beliau di Ta’limul Islam College, lalu beliau mengambil kuliah di bidang pendidikan dan ditetapkan sebagai dosen tetap. Pada tahun 1969 beliau menyelesaikan M.Ed (Master of education) dan ditetapkan sebagai dosen senior. Kemudian pada tahun 1972 beliau ditetapkan sebagai kepada sekolah di Ta’limul Islam High School, Rabwah. Kemudian sekolah tersebut dinasionalisasi. Lalu pada tahun 1970, dikarenakan sekolah tersebut telah menjadi sekolah negeri, maka pemerintah memutasikan beliau ke sekolah negeri lain di luar Rabwah dan kemudian beliau mengajar di beberapa sekolah pemerintah.

Dari tahun 2005 hingga 2009 beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Za’im Ansharullah dan dari 2013 hingga 2016 sebagai Sadr Halqah Darurrahmat Syarqi, Rabwah. Beliau juga adalah guru saya. Beliau mengajar dengan cara yang sangat baik di sekolah. Di wajah beliau selalu nampak kelemah lembutan dan dalam memberikan nasihat pun dengan cara yang sangat baik. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan maghfiroh dan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau dan semoga anak keturunan beliau senantiasa menjalin ikatan dengan Jema’at dan Khilafat.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) Seri 94

Jenazah kedua yang terhormat Bapak Sayyid Mujibullah Shadiq yang wafat pada 28 Mei di usia 83 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah putra dari yang terhormat Bapak Shadiq Ali dan Sayyidah Salma Begum binti Sayyid Mahbub Alam Bihari. Beliau lahir di kampung suci Qadian. Beliau dibesarkan di lingkungan suci Qadian. Ayahanda beliau Bapak Sayyid Shadiq Ali yang berasal dari Saharanpur mendapatkan taufik baiat di tangan berberkat Hadhrat Khalifatul Masih Awwal. Kakek beliau Hadhrat Sayyid Mahbub Alam di masa-masa partisi pada tanggal 19 September 1947 menjadi sasaran penembakan para penentang di Qadian dan mendapatkan derajat syahid dan demikian juga saudara laki-laki kakek beliau adalah auditor di Sadr Anjuman Ahmadiyah dan mendapatkan karunia berjalan kaki dari Bihar ke Qadian dan baiat.

Almarhum mendapatkan taufik berkhidmat sebagai ketua Jema’at Arsfield, UK. Kemudian setelah pensiun Almarhum berkhidmat sebagai karyawan sukarela di kantor Amir Nasional UK. Almarhum seseorang yang tulus dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan selalu nampak kelemah lembutan di wajah beliau. Seorang yang humoris dan bekerja dengan fokus. Tidak pernah membebani orang lain dan membuat orang lain resah. Almarhum selalu berusaha sebanyak mungkin mengerjakan sendiri pekerjaan-pekerjaan orang lain.

Beliau menikah di Rabwah dengan yang terhormat Ibu Aisyah Shadiqah binti Babu Muhammad Alam, seorang pensiunan Kepala Stasiun Kereta Api, dan pada 1968 istri beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai departemen Lajnah di Rabwah. Beliau mempunyai dua orang putra dan dua orang putri, seorang putra beliau Bapak Dokter Kalimullah Shadiq cukup banyak berkhidmat secara sukarela di MTA. Dengan karunia Allah Ta’ala, almarhum seorang yang sangat rajin tahajud. Beliau pernah pergi umroh.

Beliau menderita sakit di lutut beliau. Istri beliau mengatakan bahwa meskipun disediakan kursi roda Almarhum selalu mengatakan bahwa saya ingin mengambil pahala dari umroh saya, oleh karena itu saya akan berjalan. Demikian juga beliau sangat memperhatikan candah beliau. Anak-anak beliau serta yang lainnya cukup banyak yang menulis surat kepada saya menuturkan kelebihan-kelebihan beliau. Anak-anak beliau pun menuliskan sifat-sifat istimewa beliau dan sebagaimana Masha Allah anak-anak beliau begitu melekat dengan Jema’at, dari hal ini nampak bahwa beliau telah menumbuhkan kecintaan terhadap khilafat dan Jema’at di hati anak-anak beliau dan memberikan tarbiyat dengan standar yang tinggi.

Namun sebagaimana Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, para tetangga dan orang-orang yang bergaul dengannyalah yang merupakan saksi sesungguhnya dari kebaikan-kebaikan seseorang dan hal ini tergenapi dalam diri Bapak Mujibullah. Tetangga-tetangga beliau yang non-Muslim  dan anak-anak mereka pun mengkhidmati beliau. Mereka begitu berduka atas kewafatan beliau. Demikian juga teman-teman sekantor beliau, setiap orang menyebutkan secara khusus mengenai sifat humoris dan kerja keras serta keseriusan beliau dalam bekerja. Sambil bekerja beliau juga mengkhidmati orang lain, ketika ada yang ingin minum cae maka beliau buatkan. Ketika saya pindah ke Islamabad pada tahun lalu, pada saat mulaqat beliau mengungkapkan kekhawatirannya kepada saya, “Sekarang bagaimana kami bisa shalat Jum’at di belakang anda setiap minggunya.” Maka saya menenangkan beliau, “Insya Allah sebagian besar Jum’at akan dilaksanakan di Baitul Futuh, dan ketika dilaksanakan di Islamabad maka anda bisa ke sana.” Mendengar hal ini wajah beliau menjadi cerah.

Setelah hijrahnya Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh), untuk menjaga anak-anaknya tetap dekat dengan mesjid beliau mengambil rumah di dekat Masjid Fazl dan berangkat ke tempat kerjanya dengan menempuh satu jam perjalanan supaya anak-anak beliau tetap terikat dengan mesjid. Dan sekarang pun ini yang beliau pikirkan bahwa dikarenakan jauh bagaimana bisa melaksanakan Jum’at (di belakang Huzur). Singkatnya, beliau adalah seorang yang sangat mukhlis dan saleh. Beliau menjalani hidup dengan kesetiaan dan kesetiaan ini yang beliau telah berusaha tumbuhkan di dalam diri anak-anak beliau.

Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan maghfiroh dan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau dan menganugerahkan kepada anak keturunan beliau ikatan dengan Jem’at sebagaimana yang beliau harapkan bahkan lebih dari itu. Semoga Allah Ta’ala juga menjaga istri beliau dalam perlindungan-Nya dan menyediakan sarana-sarana ketentraman.

Jenazah ketiga riwayatnya telah saya sampaikan sebelumnya. Pada Jum’at yang lalu tertinggal belum dishalatkan. Beliau adalah karyawan sepuh kita dan pernah dipenjara di jalan Allah, yakni Almarhum Bapak Rana Na’imuddin. Jenazah beliau juga termasuk di antara jenazah-jenazah yang akan dilaksanakan shalat jenazahnya setelah shalat Jum’at. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan rahmat dan ampunan-Nya bagi mereka semua.

  Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Muhammad Hasyim dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: Website www.islamahmadiyya.net


[1] Sirat Khataman Nabiyyin by Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra).

[2] Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah. Kaum wanita dan anak-anak disatukan tinggal di benteng-benteng Muslim , maksudnya di rumah besar dengan pemagaran dinding di sekelilingnya yang kuat dan tinggi. Hadhrat Aisyah dan ibu Hadhrat Sa’d bin Mu’adz saat itu tengah di benteng terkuat Madinah yaitu benteng Banu Haritsah. Hadhrat Sa’d lewat di depan mereka. Makna sajak ‘menyusul Hamal’ maksudnya menyusul salah satu personil Muslim  yang sudah berangkat, yaitu Hamal bin Sa’danah bin Haritsah al-Kalbi. Hadhrat Sa’d bin Mu’adz termasuk berbadan kekar dan besar. Beliau mempersiapkan dan mencari-cari agar bisa memakai baju zirah yang cocok dengan badannya, namun tidak mendapatkannya sehingga baju zirah yang dipakai tidak menutupi semua tubuhnya. Kesibukan ini membuatnya menjadi tertinggal di barisan belakang prajurit.

[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[4] Shahih Muslim  (صحيح مسلم), The Book of Greetings (كتاب السَّلَامِ ), Chapter: For Every Disease There Is A Remedy, And It Is Recommended To Treat Disease (بَابُ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ وَاسْتِحْبَابِ التَّدَاوِي ), (حديث رقم 4207).

[5] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[6] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Marja‘in-Nabiyyisa Minal-Aḥzābi (بَاب مَرْجِعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَحْزَابِ وَمَخْرَجِهِ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ وَمُحَاصَرَتِهِ إِيَّاهُمْ), Ḥadīth No. 4122.

[7] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Marja‘in-Nabiyyisa Minal-Aḥzābi (بَاب مَرْجِعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَحْزَابِ وَمَخْرَجِهِ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ وَمُحَاصَرَتِهِ إِيَّاهُمْ), Ḥadīth No. 4122.

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, nomor 4381.

[9] Al-Dhahabī (d. 1348 CE) – Siyar aʿlām al-nubalāʾ (الذهبي – سير أعلام النبلاء).

[10] Hadits tercantum dalam Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābu Bad’il-Khalq, Bābu Mā Jā’a Fī Ṣifatil-Jannati Wa Annahā Makhlūqatun (بَاب مَا جَاءَ فِي صِفَةِ الْجَنَّةِ وَأَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ), Ḥadīth No. 3248.

[11] Ṣaḥīḥ Muslim , Kitābu Fadhailush Shahaabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Sa’d bin Mu’adz (باب مِنْ فَضَائِلِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رضى الله عنه), Ḥadīth No. 2468.

[12] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābu Manāqibil-Anṣār, Bābu Manāqibi Sa‘d ibni Mu‘ādhin Raḍiyallāhu ‘Anhu (بَاب مَنَاقِبُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Ḥadīth No. 3803.

[13] Muslim  bin al-Hajjaj Abul Husain al-Qusyairi an-Naisaburi (مسلم بن الحجاج أبو الحسين القشيري النيسابوري) dalam Shahih Muslim , Kitab keutamaan (كتاب الفضائل), bab keutamaan Sa’d bin Mu’adz (باب من فضائل سعد بن معاذ رضي الله عنه), 2467.

[14] Tārīkhur-Rusuli Wal-Mulūk (Tārīkhuṭ-Ṭabarī), By Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Volume 3, p. 108, Thumma Kānatis-Sanatul-Khāmisatu Minal-Hijrati / Ghazwatu Banī Quraiẓah, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002); Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 3, p. 227, Aṭ-Ṭabaqatul-Ūlā Minal-Badriyyīna Minal-Anṣār / Sa‘d ubnu Mu‘ādhin, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[15] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Marja‘in-Nabiyyisa Minal-Aḥzābi (بَاب مَرْجِعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَحْزَابِ وَمَخْرَجِهِ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ وَمُحَاصَرَتِهِ إِيَّاهُمْ), Ḥadīth No. 4122.

[16] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, p. 96, Ghazwatu Banī Quraiẓah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[17] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, p. 96, Ghazwatu Banī Quraiẓah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[18] Sirat Khataman Nabiyyin, Demise of the Head Chieftain of the Ansār and Reality of the Bounties of Paradise. Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābu Manāqibil-Anṣār, Bābu Manāqibi Sa‘d ibni Mu‘ādhin Raḍiyallāhu ‘Anhu (بَاب مَنَاقِبُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Ḥadīth No. 3803.

[19] Sirat Khataman Nabiyyin, Demise of the Head Chieftain of the Ansār and Reality of the Bounties of Paradise.

Hadits tercantum dalam Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābu Bad’il-Khalq, Bābu Mā Jā’a Fī Ṣifatil-Jannati Wa Annahā Makhlūqatun (بَاب مَا جَاءَ فِي صِفَةِ الْجَنَّةِ وَأَنَّهَا مَخْلُوقَةٌ), Ḥadīth No. 3248: عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أُهْدِيَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةُ سُنْدُسٍ وَكَانَ يَنْهَى عَنْ الْحَرِيرِ فَعَجِبَ النَّاسُ مِنْهَا فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَمَنَادِيلُ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فِي الْجَنَّةِ أَحْسَنُ مِنْ هَذَا.

[20] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[21] Ibn al-Athīr (d. 1233 CE) – Usd al-ghāba fī maʿrifat al-ṣaḥāba ابن الأثير – أسد الغابة

[22] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[23] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[24] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[25] Musnad Ahmad ibnu Hanbal (مسند احمد – الإمام احمد بن حنبل – ج ٦ – الصفحة ٤٥٦).

[26] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d.

[27] Al-Dhahabī (d. 1348 CE) – Siyar aʿlām al-nubalāʾ (الذهبي – سير أعلام النبلاء): عَنِ امْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهَا أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيدَ بْنِ سَكَنٍ قَالَتْ.

[28] Usdul Ghaabah (أسد الغابة – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٢٩٨).

[29] Al-Mu’jamul Kabir karya ath-Thabrani (المعجم الكبير للطبراني), bab man ismuhu Zuraarah (مَنِ اسْمُهُ زُرَارَةَ), bab sin (بَابُ السِّينِ).

[30] Tarikhh Madinah Dimashq (تاريخ مدينة دمشق – ج 9 – إسماعيل بن عبد الله – أويس بن عامر); Syarh Fathul Bari atas Shahih al-Bukhari (شرح الحديث من فتح الباري لابن حجر) Kitab Manaqibul Anshar (كتاب مناقب الأنصار) bab Manaqib Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr ra (باب منقبة أسيد بن حضير، وعباد بن بشر رضي الله عنهما ), Hadits 3629.

[31] Tarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari (Al-Bukhārī (wafat 870 CE) – al-Tārikh al-kabīr البخاري – التاريخ الكبير).

[32]Abu Waqqash atau Malik ibn Wuhaib berasal dari Banu Zuhrah (keturunan Kinanah dan juga keturunan Adnan, keturunan Ismail) mempunyai istri bernama Hamnah dari kalangan Banu Umayyah. Ayah Hamnah, Sufyan bin Umayyah bin Abdu Syams ialah paman Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams, ayah Muawiyah. Abu Waqqash mempunyai putra-putra diantaranya: 1. Sa’d ibn Abi Waqqash, termasuk awal masuk Islam dan 10 orang yang dikabarkan masuk surga; 2. Amir ibn Abi Waqqash (عامر بن أبي وقاص), yang termasuk awwalin masuk Islam, ikut perang Uhud. Pada zaman Khalifah Abu Bakr dan Khalifah Umar, ia bertugas sebagai wakil panglima Abu Ubaidah dan juga kurir (pembawa surat) dari pasukan Muslim  di Syam ke Madinah Munawwarah; 3. Utbah ibn Abi Waqqash (عتبة بن أبي وقاص), penentang Islam dan termasuk yang melukai Nabi (saw) dalam perang Uhud. Ia terbunuh dalam perang Uhud; 4. Umair ibn Abi Waqqash, Syuhada Badr.

[33] Shahih al-Bukhari, Kitab Keutamaan para Sahabat Nabi (saw) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab manaqib atau keistimewaan Sa’d bin Abi Waqqash az-Zuhrii dari Banu Zuhrah dari paman jalur ibu Nabi (saw) (بَابُ مَنَاقِبُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ الزُّهْرِيِّ وَبَنُو زُهْرَةَ أَخْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهْوَ سَعْدُ بْنُ مَالِكٍ), no. 3727.

[34] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[35] Kitab tentang mimpi-mimpi karya Ibnu Abud Dunya (المنامات لابن أبي الدنيا), bahasan mengenai mimpi yang dilihat Sa’d bin Abi Waqqash sebelum keislamannya (رُؤْيَةُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَبْلَ إِسْلَامِهِ); Tarikh Madinah Dimashq (تاريخ مدينة دمشق – ج 20 – سابق بن عبد الله – سعر بن سوادة); Usdul Ghaabah (أسد الغابة في معرفة الصحابة – 3); al-Khashaish al-Kubra, bab Mukjizat (باب معجزته {صلى الله عليه وسلم} في الجفنة التي اطعم منها أربعين رجلا من قومه).

[36] Sirat Khataman Nabiyyin (The Lilfe of Seal of the Prophets) – Volume I, Pioneers (Para Perintis): After Ḥaḍrat Khadījah ra, Ḥaḍrat Abū Bakr ra, Ḥaḍrat ‘Alī ra and Zaid bin Ḥārithah ra, five more individuals accepted Islām, by the preaching of Ḥaḍrat Abū Bakr ra. All of these individuals acquired such eminence and dignity, that they are considered the greatest of companions. – “Setelah Hadhrat Khadijah (ra), Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Ali (ra) dan Hadhrat Zaid bin Haritsah (ra) masuk Islam, berkat dakwah Hadhrat Abu Bakr (ra) ada lima orang lagi masuk Islam.” Mereka ialah secara berurutan: Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan (ra), Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra), Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra), Hadhrat Zubair bin ‘Awwam (ra) dan Hadhrat Thalhah bin Ubaidillah (ra).

[37] Shahih Muslim , Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Bab keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash (باب فِي فَضْلِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضى الله عنه), 4559.

[38] Tafsir Majma’ul Bayaan karya asy-Syaikh ath-Thabarisi (تفسير مجمع البيان – الشيخ الطبرسي – ج ٨ – الصفحة ١١).

[39] Bahasa Arab dan juga bahasa Urdu membedakan nama panggilan untuk saudara/i lewat jalur ayah dan saudara/i lewat jalur ibu. Dalam bahasa Arab, khaal (saudara jalur ibu), khaalah (saudari jalur ibu). Kalau jalur ayah, dipanggilnya, ‘amm’ atau ‘ammah’.

[40] Sunan at-Tirmidzi, Kitab Manaqib dari Nabi Muhammad saw, bab keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash, nomor 3752. Silsilah ibu Nabi Muhammad (saw) ialah Aminah binti Wahb bin ‘Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah (عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كلاب بْن مُرَّة). Silsilah Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash ialah Sa’d bin Malik (Abu Waqqash) bin Wuhaib bin ‘Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah.

[41] Ar-Rauḍul-Anf, By Imām Abul-Qāsim ‘Abdur-Raḥmān Suhailī, Volume 2, p. 161, Bābun ‘Anish-Sha‘bi wa Naqdiṣ-Ṣaḥīfah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001).

[42] Sirat Khataman Nabiyyin (The Lilfe of Seal of the Prophets) – Volume I, Pioneers (Para Perintis). Ar-Rauḍul-Anf, By Imām Abul-Qāsim ‘Abdur-Raḥmān Suhailī, Volume 2, p. 161, Bābun ‘Anish-Sha‘bi wa Naqdiṣ-Ṣaḥīfah, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001).

[43] Shahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فَضَائِلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ), bab keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash (بَابٌ فِي فَضْلِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).

[44] Sunan at-Tirmidzi, Kitab Manaqib dari Nabi Muhammad saw (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه و سلم), bab keutamaan Sa’d bin Abi Waqqash (باب 27 مناقب سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه), nomor 3842.

[45] Al-Ikmaal fi Asmaa-ir Rijaal karya At-Tabrizi (الخطيب التبريزي).

[46] Al-Dhahabī (d. 1348 CE) – Siyar aʿlām al-nubalāʾ (الذهبي – سير أعلام النبلاء).

[47] Mustadrak ‘alash Shahihain, mengenai keutamaann Sa’d bin Abi Waqqash (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي إِسْحَاقَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), kemakbulan doa Sa’d bin Abi Waqqash (2499- اسْتِجَابَةُ دُعَاءِ سَعْدٍ فِي حَقِّ رَاكِبٍ سَبَّ عَلِيًّا); Kumpulan Karamah para Wali (جامع كرامات الأولياء 1-2 ج1) karya An-Nabhani (يوسف بن إسماعيل/النبهاني‎).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.