Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-5)

Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-4)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 106, Khulafa’ur Rasyidin Seri 12)

Baca Juga:

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 05 Maret 2021 (Sulh 1400 Hijriyah Syamsiyah/21 Rajab 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada khotbah sebelumnya saya membahas perihal kekisruhan yang terjadi dalam menentang Hadhrat ‘Utsman (ra). Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan lebih lanjut berkenaan dengan itu yang kebanyakan dirujuk dari kitab sejarah karya Ath-Thabari dan juga penelitian beliau (ra) sendiri atau bagaimana sudut pandang beliau (ra) sesuai dengan itu. Beliau (ra) bersabda, “Tiga orang yang bernama Muhammad bin Abu Bakr, Muhammad bin Abu Hudzaifah dan Ammar bin Yasir, mereka terkelabui oleh para pemberontak dan bergabung dengan mereka.[1] Selain mereka itu, penduduk Madinah selebihnya, apakah itu sahabat atau bukan sahabat tidak mendukung para pemberontak. Setiap mereka mengutuk perbuatan para pemberontak. Namun, mereka tidak memiliki wewenang untuk mengatur dan juga tidak mempedulikan cercaan orang-orang.

Para pengacau itu terus berusaha secara lisan sampai 20 hari supaya bagaimana caranya Hadhrat ‘Utsman (ra) melepaskan diri dari jabatan Khilafat. Namun Hadhrat ‘Utsman (ra) secara gamblang menolak dan bersabda, وَاللَّهِ لأن أقدم فتضرب عنقي أحب إلي من ان أخلع قميصا قمصنيه اللَّه وأترك أمة مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم يعد وبعضها عَلَى بعض ‘Saya tidak dapat membuka pakaian yang telah Allah kenakan kepada saya. Tidak juga saya bersedia meninggalkan umat Islam tanpa perlindungan sehingga siapa saja semaunya dapat berbuat tidak adil kepada siapapun.’

Hadhrat ‘Utsman (ra) terus menasihati para pengacau untuk menghentikan makarnya ini. Beliau (ra) bersabda, ‘Mereka sekarang menciptakan kekacauan ini dan merasa muak dengan keberadaan saya, namun setelah saya tiada nanti, mereka akan berkeinginan, “Semoga umur ‘Utsman yang hitungan hari berubah menjadi hitungan tahun dan tidak lekas berpisah dari kita.” Sebab, setelah kematian saya akan terjadi pertumpahan darah yang dahsyat, perampasan hak-hak dan pengaturan pemerintahan akan mengalami perubahan.’ Sebagaimana pada masa Banu Umayyah, Khilafat berubah menjadi kekuasaan (kerajaan) duniawi. Para pengacau menerima hukuman yang membuat mereka lupa akan semua kejahatan mereka.

Alhasil, setelah berlalu 20 hari, para pemberontak ini berpikir, ‘Segera buat keputusan, supaya jangan sampai tentara datang dari berbagai daerah untuk memberi hukuman kepada kita.’

Para pengacau itu sadar bahwa mereka berada di pihak yang salah. Sementara mayoritas umat Muslim berada di pihak Hadhrat ‘Utsman (ra). Karena itu, para pengacau mengepung dan tidak membiarkan Hadhrat ‘Utsman (ra) keluar rumah dan menahan penyediaan makanan dan minuman ke rumah beliau. Dengan bertindak seperti itu, para pengacau beranggapan mungkin dengan diboikot seperti itu, Hadhrat ‘Utsman (ra) akan mau memenuhi tuntutan mereka. Namun Hadhrat ‘Utsman (ra) telah bersabda, ‘Pakaian yang telah Allah kenakan pada saya, sekali-kali takkan saya buka.’

Pendek kata, Madinah berada dalam kendali kekuasaan para pemberontak itu. Mereka bergabung dan mengakui pemimpin laskar Mesir yang bernama al-Ghafiqi sebagai pemimpin mereka. Hal itu berarti al-Ghafiqi-lah pemimpin yang berkuasa atas Madinah pada saat itu. Pemimpin laskar Kufah adalah al-Asytar sementara pemimpin laskar Bashrah adalah Hukaim bin Jabalah. Hukaim sebelumnya adalah perampok yang telah merampok harta penduduk Dzimmah (warga bukan Islam yang sepakat di bawah pemerintahan Islam) sehingga setelah itu Hadhrat ‘Utsman (ra) memerintahkan agar Hukaim bin Jabalah dikurung dengan ditutup mata di Basrah. Perampok itulah yang diangkat sebagai pemimpin oleh para pengacau itu. Kedua orang itu (al-Asytar dan Hakim) bekerja di bawah al-Ghafiqi.”[2]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Dari itu terbukti terang bahwa biang kekisruhan itu adalah gerombolan Mesir, dimana Abdullah bin Saba memainkan peranannya di sana. Pada hari-hari itu al-Ghafiqi-lah yang biasa mengimami shalat di Masjid Nabawi, sementara para sahabat Rasulullah (saw) terkurung di rumahnya masing-masing atau terpaksa shalat bermakmum kepadanya. Sebelum mereka memutuskan untuk mengepung rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), sampai saat itu mereka tidak banyak bermusuhan dengan orang-orang. Namun seiring dengan pengepungan, para perusuh itu mulai melakukan kekerasan kepada orang-orang sehingga bukan menjadi Darul Aman (rumah kedamaian) Madinah menjadi Darul Harb (rumah pertempuran). Kehormatan dan harga diri penduduk Madinah berada dalam bahaya. Saat itu tidak ada orang keluar rumah tanpa membawa senjata. Jika ada yang berani melawan para perusuh itu, mereka bunuh.

Ketika para perusuh ini mengepung rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) dan juga menghentikan penyediaan air ke dalam rumah beliau, Hadhrat ‘Utsman (ra) mengirim seorang pemuda tetangganya kepada Hadhrat Ali, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Zubair dan istri-istri Rasulullah (saw) untuk mengabarkan bahwa para pengacau telah menghentikan penyediaan air ke rumah beliau. Hadhrat ‘Utsman (ra) meminta agar beliau-beliau berusaha sebisa mungkin supaya ada yang mengirimkan air ke rumah beliau. Diantara pria yang pertama datang adalah Hadhrat Ali. Hadhrat Ali menasihati para pengacau itu dengan bersabda, يا ايها الناس، إن الَّذِي تصنعون لا يشبه أمر الْمُؤْمِنِينَ وَلا أمر الكافرين، لا تقطعوا عن هَذَا الرجل المادة، فإن الروم وفارس لتأسر فتطعم وتسقي، وما تعرض لكم هَذَا الرجل، فبم تستحلون حصره وقتله! ‘Perlakuan apa yang tengah kalian berikan ini? Kelakuan kalian tidak serupa dengan orang-orang beriman dan bahkan juga dengan orang-orang kafir, janganlah kalian menghentikan suplai makanan dan air ke rumah Hadhrat ‘Utsman (ra). Bangsa Romawi dan Farsi juga biasa menahan tawanannya, namun mereka tetap memberi makan dan minum kepada para tahanannya dan berdasarkan hukum Islam, bagaimana mungkin kelakuan kalian ini dapat diterima. Kerugian apa yang telah Hadhrat ‘Utsman (ra) timpakan kepada kalian sehingga kalian menganggap sah untuk menahan dan membunuh beliau?’

Namun, nasihat Hadhrat Ali tersebut tidak berpengaruh bagi mereka. Mereka mengatakan dengan jelas, ‘Apapun yang terjadi, kami tidak akan membiarkan makanan dan minuman ke rumah orang ini.’

Inilah jawaban yang diberikan oleh para pengacau itu kepada orang yang mereka nyatakan sebagai Washiy (penerima wasiat) dan penerus sejati Rasulullah (saw). Mereka mengatakan demikian perihal Hadhrat Ali bahwa beliau adalah penerus sejati Rasulullah (saw). Apakah setelah adanya tanggapan seperti itu masih tetap perlu untuk membuktikan suatu kesaksian lain bahwa kelompok yang menyatakan Hadhrat Ali sebagai washi Rasulullah (saw) ini tidak keluar dari rumah mereka dengan niat untuk mendukung kebenaran dan tidak juga didasari oleh rasa cinta kepada Ahli Bait (keluarga Nabi, melainkan untuk memenuhi hawa nafsu atau kepentingan pribadi mereka sendiri?!

Di antara Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah (saw)), yang pertama datang untuk memberikan bantuan adalah Hadhrat Ummu Habibah. Beliau datang dengan mengendarai keledai dan membawa serta air dalam wadah kulit. Namun tujuan sebenarnya kedatangan beliau adalah ingin menyelamatkan harta wasiyat para yatim dan janda Banu Umayyah dititipkan kepada Hadhrat ‘Utsman (ra). Mengetahui para perusuh menutup penyediaan air ke rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), Hadhrat Ummu Habibah khawatir jangan sampai harta wasiyat itu ikut hilang. Beliau ingin supaya harta wasiyat tersebut tetap terjaga dengan baik. Jika tidak karena itu, beliau bisa saja mengirimkan air dengan cara apapun. Ketika Hadhrat Ummu Habibah tiba di dekat pintu rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), para pengacau ingin menghentikan beliau. Orang-orang memberitahukan wanita ini adalah Ummul Mukminin Hadhrat Ummu Habibah ra. Namun, hal itu tidak berpengaruh bagi mereka. Mereka malah menyerang keledai yang ditumpangi Hadhrat Ummul Mukminin.

Beliau (ra) bersabda kepada mereka, ‘Saya khawatir jangan sampai harta wasiyat para yatim dan janda hilang di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) sehingga saya ingin masuk ke rumah beliau, agar dapat mengatur penjagaan harta itu.’

Namun, orang-orang kurang ajar itu menanggapi istri suci Rasulullah (saw) dengan mengatakan, ‘Kamu berdusta!’ Mereka pun menyerang keledai beliau dan memotong tali pelananya sehingga terbalik dan hal itu hampir membuat Ummul mukminin terjatuh dan syahid terinjak-injak oleh para perusuh itu. Namun, seketika ada penduduk Madinah yang saat itu tidak jauh langsung menahan beliau dan mengantar beliau ke rumah.[3]

Seperti itulah perlakuan mereka terhadap istri suci Rasulullah (saw). Padahal begitu dalamnya ketulusan dan rasa cinta Hadhrat Ummu Habibah terhadap Rasulullah (saw), bisa tergambar dari riwayat berikut, setelah beliau (ra) berpisah 15 atau 16 tahun dari orang tua dan ayah beliau (Abu Sufyan) adalah pemimpin Arab dan berstatus layaknya seorang raja di Makkah, suatu ketika ayahnya datang ke Madinah dalam misi khusus untuk urusan politik dan sekaligus untuk menemui putrinya (Hadhrat Ummu Habibah). Ketika ayah beliau akan duduk diatas kain tempat duduk yang biasa digunakan oleh Rasulullah (saw), Hadhrat Ummu Habibah menyingkirkan kain itu dari ayahnya dengan menariknya. Tujuan beliau melakukan itu adalah beliau tidak rela jika kain Rasulullah (saw) yang suci menjadi kotor disebabkan oleh najis dari pakaian seorang musyrik, sehingga beliau (ra) tidak membiarkan ayahnya duduk diatas tempat itu.

Sungguh mengherankan, di satu sisi Hadhrat Ummu Habibah sedemikian rupa memperhatikan kemuliaan pakaian suci Rasulullah (saw) pada saat Rasulullah (saw) tengah tidak ada saat itu. Namun, di sisi lain bagaimana para pengacau itu bersikap lancang terhadap istri suci Rasulullah (saw) dalam ketiadaan Rasulullah (saw). Orang-orang bodoh itu mengatakan bahwa istri Rasulullah (saw) telah berbohong, padahal apa yang telah beliau katakan adalah benar. Hadhrat ‘Utsman (ra) adalah wali dari para yatim Banu Umayyah. Melihat permusuhan dari para pengacau itu kepada Hadhrat ‘Utsman (ra), kekhawatiran Hadhrat Ummu Habibah adalah pada tempatnya yaitu jangan sampai harta wasiyat para yatim dan janda hilang. Sebenarnya yang pendusta itu adalah mereka yang mengaku-ngaku mencintai Rasulullah (saw) namun menghancurkan agama beliau (saw), bukanlah Ummu Habibah. Beliau (ra) bukanlah pendusta. Ketika penduduk Madinah mendengar kabar perlakuan buruk mereka kepada Hadhrat Ummu Habibah, para sahabat dan penduduk Madinah sangat keheranan dan beranggapan kesia-siaan jika mengharapkan kebaikan dari para perusuh ini.

Saat itu juga Hadhrat Aisyah bermaksud untuk pergi ibadah haji dan melakukan persiapan untuk perjalanan. Ketika orang-orang mengetahui Hadhrat Aisyah akan berangkat dari Madinah, beberapa orang tertentu memohon kepada beliau, ‘Jika Anda tetap di Madinah, mungkin akan mendapatkan bantuan untuk menghentikan kekisruhan ini dan akan berpengaruh terhadap para pemberontak.’[4]

Namun Hadhrat Aisyah menolak dan bersabda, أتريد أن يصنع بي كما صنع بأم حبيبة، ثُمَّ لا أجد من يمنعني! لا وَاللَّهِ وَلا أعير وَلا أدري إلام يسلم أمر هَؤُلاءِ! ‘Apakah kalian ingin supaya saya pun mendapatkan perlakuan sama seperti yang telah diterima oleh Hadhrat Ummu Habibah? Demi Tuhan! Saya tidak dapat memasukkan kehormatan saya ke dalam bahaya karena itu merupakan kehormatan Rasulullah (saw). Jika saya menerima suatu perlakuan, maka apa yang bisa melindungi saya? Allah-lah Yang Maha Tahu, sampai mana kejahatan mereka akan terus meningkat dan bagaimana akibatnya nanti?’

Sambil berjalan Hadhrat Aisyah menempuh satu upaya dengan menyampaikan pesan kepada saudara beliau, Muhammad bin Abu Bakr yang saat itu telah bergabung dengan para pemberontak, (apakah disebabkan ketidaktahuan atau masih berumur masih muda atau karena lemahnya iman) pesan beliau adalah mengajak untuk ibadah haji bersama. Namun, Muhammad bin Abu Bakr menolaknya. Hadhrat Aisyah bersabda, أما وَاللَّهِ لَئِنِ استطعت أن يحرمهم اللَّه مَا يحاولون لأفعلن ‘Apa yang harus saya lakukan, saya tidak berdaya. Jika saya memiliki daya, saya tidak akan membiarkan mereka berhasil dalam memenuhi keinginannya.’[5]

Hadhrat Aisyah berangkat untuk ibadah haji begitu pun para sahabat yang memungkinkan dan dapat keluar dari Madinah, mereka pergi dari Madinah. Adapun selebihnya selain dari beberapa sahabat besar tetap duduk di rumah masing masing.

Pada akhirnya Hadhrat ‘Utsman (ra) pun merasakan bahwa para pengacau ini tidak akan menurut dengan kelemah-lembutan. Kemudian Hadhrat ‘Utsman (ra) mengirim surat kepada segenap gubernur daerah. Yang intinya sebagai berikut, ‘…sepeninggal Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar, tanpa adanya keinginan pribadi atau tanpa pengajuan dari diri saya sendiri, saya telah dimasukan ke dalam golongan orang-orang yang kepadanya diserahi tugas untuk bermusyawarah berkenaan dengan Khilafat. Kemudian, tanpa permintaan saya dan tanpa keinginan pribadi saya, saya telah dipilih oleh para Ahlil Syura untuk menjadi Khalifah dan saya tetap melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para Khalifah sebelum saya.

Saya tidak mengada-adakan bid’ah, namun dalam diri orang-orang tertentu telah ditanamkan benih keburukan sehingga mereka berpikiran untuk melakukan kejahatan dan mulailah membuat makar untuk menentang saya. Mereka memperlihatkannya kepada sebagian orang dan memendam sebagiannya di dalam hati. Mereka mulai melontarkan tuduhan kepada saya yang mana tuduhan tersebut pun mengena kepada para Khalifah sebelum saya. Namun meskipun saya tahu hal itu, saya diam. Mereka memanfaatkan secara tidak benar atas kerahiman saya itu dengan semakin menjadi-jadi dalam kejahatan. Akhirnya, seperti kaum kuffar, mereka menyerang Madinah. Jadi, apa yang bisa diperbuat, silahkan aturkan bantuan.’[6]

Saat ini ada sebagian orang yang menimbulkan kekacauan dan berusaha untuk menciptakan perpecahan dalam Islam, namun mereka tidak berpikir bahwa Tuhanlah yang menjadikan Khalifah, sebagaimana difirmankan-Nya, وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ “Allah telah berjanji kepada orang orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal saleh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu Khalifah di bumi ini.”’

Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda, ‘Mereka tidak menghargai kesepakatan. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا “Dan berpeganglah kamu semua pada tali Allah.”’

Selanjutnya bersabda, ‘Mereka menerima orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada saya dan tidak memperdulikan perintah Al-Quran ini, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” Mereka tidak menghargai baiat yang telah mereka lakukan kepada saya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman mengenai Rasulullah (saw), إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ “Sesungguhnya orang-orang yang telah baiat kepada engkau, mereka semata-mata berbaiat kepada Allah.” Saya adalah wakil dari Rasulullah (saw). karena itu, perintah ini juga mengena kepada saya bahwa saya adalah wakil Rasulullah (saw). Umat tidak akan mengalami kemajuan tanpa pemimpin. Jika tidak ada imam, seluruh pekerjaan Jemaat akan rusak. Mereka ingin menghancurkan umat Islam, tidak ada maksud mereka selain itu, karena saya telah menerima keinginan mereka dan berjanji untuk mengganti para Amir (Gubernur). Namun mereka tidak melepaskan peluang untuk berbuat jahat.

Terkait:   Khotbah Idul Fitri: Id Hakiki, Esensi Ketakwaan Sejati

Para pengacau ini menuntut salah satu diantara tiga. Pertama, orang-orang yang telah mendapatkan hukuman pada masa saya, harus saya tanggung qishash (pembalasan)-nya. Jika tidak, saya dituntut untuk melepaskan jabatan Khilafat lalu mereka akan menunjuk orang lain untuk menggantikan saya. Jika saya tidak menuruti tuntutan mereka ini, mereka mengancam akan mengirimkan pesan kepada orang-orang yang sepemikiran dengan mereka untuk tidak taat kepada saya. Sebagai jawabannya, para Khalifah sebelum saya pun kadang pernah melakukan kekeliruan dalam memutuskan, namun mereka tidak pernah dihukum. Para Khalifah tidak pernah membayar qishash (denda atau pembalasan) atas kekeliruan dalam pemberian keputusan. Para Khalifah sebelum saya tidak pernah mendapatkan hukuman apapun. Demikian pula yang telah saya lakukan. Namun begitu banyak tuntutan hukuman yang diberikan pada saya saat ini sehingga tidak memberikan arti apa-apa selain dari ingin membunuh saya. Tuntutan kalian yang ingin supaya saya membayar qishash dan mendapatkan hukuman, artinya hanya semata-mata kalian ingin membunuh saya.’

Kemudian beliau (ra) bersabda, ‘Sebagai jawaban atas tuntutan agar saya mundur dari Khilafat adalah, seandainya saya harus mencabik-cabik tubuh saya, hal itu lebih saya setuju daripada harus mundur dari Khilafat. Allah Ta’ala telah mengenakan jubah ini dan tidak mungkin bagi saya untuk melepaskannya. Adapun perihal tuntutan yang ketiga bahwa para pengacau ini mengancam akan mengirimkan orang-orangnya ke berbagai penjuru untuk menghasut umat agar tidak taat kepada saya. Dalam hal ini saya tidak bertanggung jawab di hadapan Allah Ta’ala. Jika memang mereka ingin melanggar syariat, silahkan saja. Karena saya tidak pernah memaksa mereka untuk baiat kepada saya. Adapun bagi yang ingin melanggar janji, saya tidak ridha atas mereka, tidak juga Allah Ta’ala. Jika ingin melanggar janji baiat, silahkan saja, karena saya tidak pernah dan tidak akan memaksa mereka untuk baiat. Walaupun demikian saya tidak senang jika ada yang melakukan demikian, karena itu adalah perbuatan keliru dan Allah pun tidak ridha atas perbuatan itu. Apapun yang mereka pikirkan, silahkan lakukan, karena waktu ibadah haji sudah dekat dan orang-orang akan berdatangan ke Makkah dari berbagai penjuru.’

Hadhrat ‘Utsman (ra) berpikiran bagaimana supaya kaum pemberontak tidak menimbulkan kekacauan di sana (Makkah) dan bagaimana beliau dapat menggerakkan umat Muslim yang berkumpul ketika haji untuk membantu penduduk Madinah. Beliau menunjuk Hadhrat Abdullah bin Abbas sebagai Amirul Hajj (ketua rombongan Haji) dan memberangkatkan beliau. Hadhrat Abdullah bin Abbas mengatakan, وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لجهاد هَؤُلاءِ أحب إلي من الحج ‘Demi Allah, wahai Amirul Mu-minin (Pemimpin orang-orang beriman), saya lebih menyukai ditugaskan untuk berjihad menghadapi para pengacau ini daripada beribadah Haji.’

Namun, Hadhrat ‘Utsman (ra) tetap mengutus beliau untuk pergi ibadah haji dan bertindak sebagai Amir haji pada saat ibadah haji supaya para pengacau tidak dapat menyebarkan kekacauan di sana (Makkah) dan agar menggerakkan orang-orang yang berkumpul ketika ibadah haji untuk menolong penduduk Madinah. Hadhrat ‘Utsman (ra) pun mengirim surat yang beliau tulis di tangan Hadhrat Ibnu Abbas. Para pengacau mengetahui perihal surat tersebut sehingga semakin meningkatkan kekerasan dan mulai mencari-cari kesempatan supaya bagaimanapun mendapatkan alasan untuk terjadinya pertempuran agar dapat mensyahidkan Hadhrat ‘Utsman (ra). Namun, semua upaya mereka gagal. Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak membiarkan datangnya kesempatan pada mereka untuk berbuat jahat. Akhirnya mereka sudah kehabisan cara lalu berpikiran ketika tiba malam dan orang-orang tertidur, mereka akan melempari rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) dengan batu untuk memancing keluarga Hadhrat ‘Utsman (ra) membalas dengan melemparkan batu lagi karena kesal. Sehingga kami dapat mengatakan kepada orang bahwa keluarga Hadhrat ‘Utsman (ra) melempari kami dengan batu, untuk itu kami pun terpaksa membalasnya. Namun Hadhrat ‘Utsman (ra) melarang seluruh anggota keluarga untuk membalas lemparan batu.

Suatu hari Hadhrat ‘Utsman (ra) mendapat kesempatan untuk keluar menuju dinding rumah dan bersabda: Wahai manusia! Menurut kalian saya adalah pendosa. Namun apa salah orang-orang. Jika kalian menganggap saya telah melanggar, silahkan hukum saya. Apa salah orang lain, sehingga kalian melempari batu kepada mereka dan melukai mereka.’

Namun para pengacau itu mengingkari perbuatannya dan berkata, ‘Kami tidak melempari batu.’

Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda, ‘Jika memang bukan kalian yang melempari, lantas siapa lagi?’

Mereka menjawab, ‘Mungkin Allah Ta’ala yang melempari.‘ (Naudzubillahi min dzalik)

Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda, كذبتم، إن اللَّه عَزَّ وَجَلَّ لو رمانا لم يخطئنا وَأَنْتُمْ تخطئوننا ’Kalian berdusta, jika Tuhan yang melempari batu, lemparannya tidak akan meleset. Adapun lemparan batu kalian banyak yang meleset.’ Setelah mengatakan demikian, beliau (ra) meninggalkan mereka.

Meskipun para sahabat tidak diberi kesempatan untuk berkumpul di dekat Hadhrat ‘Utsman (ra), namun mereka tidak lalai dari tanggung jawab. Para sahabat membagi tugas menjadi dua bagian melihat waktu yang sesuai. Pertama, bagi umat Muslim yang sudah berumur dan berpengaruh, mereka ditugaskan untuk menasihati orang-orang. Adapun orang-orang yang tidak berpengaruh dan masih muda berusaha untuk melindungi Hadhrat ‘Utsman (ra).

Diantara kalangan orang tua berpengaruh, Hadhrat Ali, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash penakluk Farsi berusaha keras untuk mengurangi kekisruhan. Khususnya Hadhrat Ali, pada masa kekacauan ini meninggalkan segala tugasnya untuk menyibukkan diri dalam usaha ini. Sebagaimana diantara para saksi mata yang bernama Abdurrahman bin Aswad (عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الأَسْوَدِ) menuturkan, فَلَمْ أَزَلْ أَرَى عَلِيًّا مُنْكِبًا عَنْهُ لا يَفْعَلُ مَا كَانَ يَفْعَلُ، إِلا أَنِّي أَعْلَمُ أَنَّهُ قَدْ كَلَّمَ طَلْحَةَ حِينَ حُصِرَ فِي أَنْ يُدْخِلَ عَلَيْهِ الرَّوَايَا، وَغَضِبَ فِي ذَلِكَ غَضَبًا شَدِيدًا، حَتَّى دَخَلَتِ الرَّوَايَا عَلَى عُثْمَانَ. ‘Pada masa kekacauan itu, saya menyaksikan Hadhrat Ali meninggalkan segala kesibukannya dalam rangka berpikir dan berupaya siang-malam untuk mendinginkan api amarah para penentang Hadhrat ‘Utsman (ra) dan menghilangkan penderitaan beliau. Suatu hari, penyediaan air ke rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) datang terlambat, Hadhrat Ali memarahi Hadhrat Thalhah yang ditugaskan untuk mengatur suplai air. Beliau tidak bisa tenang sebelum ada suplai air ke rumah Hadhrat ‘Utsman (ra).’[7]

Kelompok kedua ialah mereka yang ketika mendapatkan kesempatan, satu demi satu atau dua per dua atau tiga demi tiga, berkumpul di rumah tetangga Hadhrat ‘Utsman (ra) atau di kediaman Hadhrat ‘Utsman (ra), telah bertekad bahwa mereka bersedia untuk mengorbankan jiwa demi menyelamatkan nyawa Hadhrat ‘Utsman (ra). Selain putra-putra Hadhrat Ali, Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair, sekelompok Sahabat Nabi (saw) ikut serta dalam kelompok ini. Mereka siang malam berjaga di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra) dan tidak membiarkan musuh dapat menyentuh beliau. Meskipun sekelompok orang dengan jumlah yang lebih sedikit ini tidak dapat menghadapi pihak musuh yang lebih banyak, namun karena para pemberontak itu masih ingin mencari-cari alasan dan masih segan untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman (ra) sehingga mereka pun tidak begitu melakukan penekanan lebih lanjut.

Kejadian-kejadian yang jelas terjadi pada saat itu membuat kita tidak percaya (keheranan). Pada satu segi, dengan melihat bagaimana derajat pengabdian yang dimiliki Hadhrat ‘Utsman (ra) demi kalangan Islam, namun di sisi lain, pasukan pemberontak sejumlah 3000 (tiga ribu) orang tengah berada di sekitar pintu kediaman Hadhrat ‘Utsman (ra) dan tidak ada rencana yang disusun demi menyelamatkan beliau. Bahkan, Hadhrat ‘Utsman (ra) malah melarang orang-orang yang ingin membantu beliau. Hadhrat ‘Utsman (ra) mengatakan, ‘Kalian pulang saja, jangan libatkan nyawa kalian dalam bahaya ini. Para pengacau ini hanya memusuhi saya, tidak ada urusan dengan kalian.’

Mata beliau tengah melihat waktu itu Islam berada dalam mara bahaya di tangan para pengacau itu. Tidak hanya persatuan lahiriah saja bahkan pengaturan ruhani pun akan mendekati keadaan yang mengkhawatirkan. Beliau mengetahui pada saat itu bahwa untuk melindungi Islam dan untuk menegakkannya akan diperlukan satu per satu dari para Sahabat Nabi (saw) agar mereka tetap hidup. Dengan demikian, Hadhrat ‘Utsman (ra) tidak ingin nyawa para sahabat melayang sia-sia dalam upaya sia-sia untuk menyelamatkan nyawa beliau. Hadhrat ‘Utsman (ra) terus menasihatkan semuanya untuk tidak bertabrakan dengan para pemberontak. Beliau ingin sedapat mungkin demi menjauhkan kekacauan di masa mendatang, kelompok yang telah bergaul dengan Rasulullah (saw) terlindungi.

Meskipun beliau telah menasihatkan, para sahabat yang mendapatkan kesempatan untuk sampai di rumah Hadhrat ‘Utsman (ra), tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memenuhi kewajiban mereka dan mereka lebih mendahulukan resiko bahaya di masa yang akan datang daripada saat itu. Jika nyawa mereka selamat pada saat itu, itu tampaknya semata-mata karena para pemberontak itu tidak merasa perlu tergesa gesa. Mereka pun mencari-cari alasan. Namun waktu yang mereka nanti nanti pun akhirnya tiba, dimana tidak mungkin lagi untuk menunggu lebih lama lagi.

Karena pesan yang menggetarkan hati yang beliau kirim kepada orang-orang yang berkumpul ketika Ibadah haji, telah diperdengarkan di daerah Hijaj dan lembah Makkah dari satu ujung ke ujung lain tengah mendengung oleh suara itu sehingga orang-orang yang berkumpul ketika haji memutuskan agar jangan luput dari pahala jihad setelah haji. Mereka bertekad untuk pulang setelah membinasakan para pengacau dari Mesir dan kawan-kawannya itu.

Para mata-mata pemberontak pun memberitahukan ihwal keinginan mereka tersebut, dan kini kekhawatiran telah tersebar di kediaman para pemberontak sehingga diantara mereka saling berpendapat, ’Kini tidak ada jalan lain selain membunuh orang ini, dan seandainya ia sekarang tidak kita bunuh, maka tidak diragukan lagi bahwa umat Islam pasti akan membunuh kita.’ Kabar bahwa surat-surat Hadhrat ‘Utsman pun telah sampai ke Syam, Kufah dan Basrah telah semakin memuncakkan kekhawatiran mereka. Umat Islam di sana yang telah menantikan perintah-perintah dari Hadhrat ‘Utsman, gejolak mereka semakin bertambah dengan sampainya surat tersebut.

Para sahabat yang menyadari tanggung jawabnya, mereka berupaya melalui masjid-masjid dan pertemuan-pertemuan untuk menanamkan perhatian kepada orang-orang Islam akan kewajiban-kewajiban mereka dan memfatwakan jihad kepada para pemberontak. Mereka mengatakan, ‘Siapa saja yang saat ini tidak berjihad, ia seakan tidak berbuat apa-apa.’ Di Kufah, ada ‘Uqbah bin Amru (عقبة بن عَمْرو), Abdullah bin Abi Awfa (عبد الله ابن أبي أوفى), Hanzhalah bin Rabi’ at-Tamimi (حنظلة بن الربيع التميمي) dan beberapa sahabat lainnya telah menganjurkan orang-orang untuk membantu Muslim Madinah. Di Bashrah ada Imran bin Hushain (عِمْرَان بن حصين), Anas bin Malik (أنس بن مَالِكٍ), Hisyam bin Amir (هشام بن عَامِر) dan para sahabat lain. Di Syam ada Ubadah bin Shamit (عبادة بن الصامت), Abud Darda (أبو الدرداء) dan Abu Umamah (أبو أمامة). Mereka mengucapkan labbaik pada Hadhrat ‘Utsman dan menganjurkan semua orang. Demikian pula dari Mesir yaitu Kharijah (خارجة) dan dari seluruh negeri lain para prajurit telah bersiap untuk berangkat ke Madinah.[8]

Walhasil, dengan kabar-kabar demikian, para pemberontak telah semakin takut. Pada akhirnya, untuk membunuh Hadhrat ‘Utsman, mereka berkeinginan untuk mendobrak masuk dan menyerang rumah beliau. Para sahabat melawan dan terjadi pertempuran yang keras. Para sahabat yang tampak kurang di segi jumlah, memenuhi kekurangan mereka dengan gelora keimanan. Di tempat pertempuran, yakni di depan rumah Hadhrat ‘Utsman, tempat itu pun sedemikian sempit sehingga para pemberontak tidak dapat memanfaatkan jumlah mereka yang banyak.

Tatkala Hadhrat ‘Utsman mengetahui pertempuran ini, beliau melarang para sahabat untuk bertempur. Tetapi, mereka meyakini bahwa meninggalkan Hadhrat ‘Utsman sendiri adalah bertentangan dengan kesetiaan dan berlawanan dengan perintah ketaatan; dan meskipun Hadhrat ‘Utsman memohon demi Tuhan, mereka tetap menolak pergi. Pada akhirnya Hadhrat ‘Utsman menggenggam perisai dan keluar seraya membawa para sahabat ke dalam dan menutup pintu rumahnya. Kepada seluruh sahabat dan para penolongnya, beliau berwasiyat, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا أَعْطَاكُمُ الدُّنْيَا لِتَطْلُبُوا بِهَا الآخِرَةَ، وَلَمْ يُعْطِكُمُوهَا لِتَرْكَنُوا إِلَيْهَا، إِنَّ الدُّنْيَا تفنى، والآخرة تبقى، فلا تبطرنكم الفانية، ولا تَشْغَلَنَّكُمْ عَنِ الْبَاقِيَةِ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى، فَإِنَّ الدُّنْيَا مُنْقَطِعَةٌ، وَإِنَّ الْمَصِيرَ إِلَى اللَّهِ اتَّقُوا اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ، فَإِنَّ تَقْوَاهُ جُنَّةٌ مِنْ بَأْسِهِ، وَوَسِيلَةٌ عِنْدَهُ، وَاحْذَرُوا مِنَ اللَّهِ الْغِيَرَ، وَالْزَمُوا جَمَاعَتَكُمْ، لا تَصِيرُوا أَحْزَابًا، {وَٱذْكُرُواْ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً} [آل عمران]. “Allah Ta’ala tidaklah memberikan dunia kepada kalian supaya kalian tunduk di hadapannya, namun supaya dengannya kalian mengumpulkan sarana untuk akhirat. Dunia ini sementara. Akhiratlah yang abadi. Oleh karena itu, janganlah sesuatu yang fana melalaikan kalian. Utamakanlah sesuatu yang abadi diatas sesuatu yang fana. Ingatlah pertemuan dengan Allah Ta’ala dan janganlah membiarkan Jemaat dalam kerisauan karena perpecahan menjadi berbagai kelompok. Janganlah kalian melupakan nikmat Ilahi itu, di saat kalian hampir terjatuh dalam kehancuran karena saling bermusuhan dan Allah Ta’ala dengan karunia-Nya menyelamatkan kalian dan menjadikan kalian saling bersaudara (Surah Ali Imran).’ Kemudian beliau mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya dan berkata, ‘Semoga Allah Ta’ala menjadi penjaga dan penolong kalian. اخْرُجُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ فَكُونُوا بِالْبَابِ، وَلْيُجَامِعْكُمْ هَؤُلاءِ الَّذِينَ حُبِسُوا عَنِّي وَأَرْسَلَ إِلَى طَلْحَةَ وَالزُّبَيْرِ وَعَلِيٍّ وَعِدَّةٍ ‘Kini keluarlah kalian semua dari rumah dan panggillah para sahabat lain yang tertahan dan tidak dapat bertemu dengan saya khususnya Hadhrat Ali, Hadhrat Thalhah dan Hadhrat Zubair.’ Semua orang pun keluar dan memanggil para sahabat yang lain.[9]

Saat itu suasana haru tampak sedemikian rupa menyelimuti hingga para pemberontak pun terpengaruh. Di saat itulah, tatkala beliau mengatakan supaya keluar, mereka pun keluar dan para pemberontak tidak menyerangnya. Mereka pun keluar mengumpulkan para sahabat terkemuka. Betapa tidak! Semua orang menyaksikan sesosok lentera yang telah dinyalakan oleh Muhammad Rasulullah (saw) kini akan menutupi usianya di dunia ini dan akan beranjak dari pandangan semuanya.

Walhasil, para pemberontak tidak melarangnya dan para sahabat pun berkumpul. Mereka tidak berlaku apapun dan membiarkan para sahabat berkumpul. Ketika semua telah berkumpul, beliau berdiri diatas rumah beliau dan bersabda, أَنِ ادْنُوا فاجتمعوا فأشرف عليهم ‘Mendekatlah kearahku!’ Ketika semua telah mendekat, beliau bersabda, يا ايها النَّاسُ، اجْلِسُوا، فَجَلَسُوا جَمِيعًا، الْمُحَارِبُ الطَّارِئُ، وَالْمُسَالِمُ الْمُقِيمُ ‘Wahai semua orang, duduklah!’ Saat itu para sahabat bahkan pemberontak yang hadir dalam pertemuan itu pun duduk karena pengaruh luar biasa beliau. Ketika semua telah duduk, beliau bersabda, يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ، إِنِّي أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ، وَأَسْأَلُهُ أَنْ يُحْسِنَ عَلَيْكُمُ الْخِلافَةَ مِنْ بعدي، وانى وَاللَّهِ لا أَدْخُلُ عَلَى أَحَدٍ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِيَّ قَضَاءَهُ، وَلأَدَعَنَّ هَؤُلاءِ وَمَا وَرَاءَ بَابِي غَيْرَ مُعْطِيهِمْ شَيْئًا يَتَّخِذُونَهُ عَلَيْكُمْ دَخَلا فِي دِينِ اللَّهِ أَوْ دُنْيَا حَتَّى يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الصَّانِعَ فِي ذَلِكَ مَا أَحَبَّ ‘Wahai penghuni Madinah, saya menyerahkan urusan kalian kepada Allah Ta’ala dan memohon kepada-Nya semoga Dia menyiapkan suatu pengaturan Khilafat yang lebih baik sepeninggal saya. Setelah hari ini, hingga Allah Ta’ala mengirimkan putusan-Nya tentang saya, saya tidak akan keluar. Saya tidak akan memberikan suatu kuasa kepada seseorang yang dengannya ia berkuasa atas agama dan dunia kalian dan saya akan menitipkan perkara ini pada Allah Ta’ala. Dia akan berbuat apa yang Dia kehendaki.’

Terkait:   Riwayat ‘Umar Bin Al-Khaththab (8)

Setelah itu kepada penduduk Madinah beliau bersumpah, ‘Dia akan menjaga kalian. Janganlah memasukkan diri kalian dalam bahaya besar! Kembalilah ke rumah kalian.’[10]

Perintah beliau ini telah memunculkan perselisihan amat besar diantara para sahabat. Suatu perselisihan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebelumnya tiada yang diperlihatkan para sahabat selain ketaatan. Namun kini, dalam menjalankan perintah ini, bukan ketaatan, tetapi tampak benih perpecahan diantara mereka. Mereka berpikir dengan melaksanakannya, ini bukan ketaatan tetapi pengkhianatan. Sebagian sahabat yang lebih mengutamakan ketaatan ini, dengan berat hati meninggalkan perlawanannya terhadap musuh. Mereka berpikir bahwa tugas mereka hanyalah berlaku taat dan bukan tugas mereka melihat apa akibat sikap mereka.

Namun, sebagian Sahabat menolak perintah ini karena mereka memandang bahwa meskipun taat terhadap Khalifah adalah kewajiban, namun ketika Khalifah memerintahkan mereka untuk meninggalkan Khalifah, ini berarti meninggalkan hubungan erat terhadap Khilafat. Dengan demikian, melakukan ketaatan seperti ini pada hakikatnya memperlihatkan pembangkangan. Mereka pun melihat bahwa perintah Hadhrat ‘Utsman untuk menyuruh para sahabat ke rumah adalah demi melindungi jiwa mereka, yakni untuk melindungi para sahabat. Jadi, apakah mereka [sahabat] dapat meninggalkan sosok yang sedemikian mencintai mereka ini dalam bahaya dan kembali ke rumahnya masing-masing? Hadhrat ‘Utsman, demi kecintaan beliau kepada mereka, berusaha melindungi jiwa mereka dan kehidupan mereka. Apakah mereka akan meninggalkan Hadhrat ‘Utsman? Ini tidaklah mungkin.

Kelompok yang disebutkan terakhir ini, termasuk diantaranya para sahabat terkemuka. Dengan demikian, meskipun ada perintah tersebut, para putra Hadhrat Ali, putra Hadhrat Thalhah dan putra Hadhrat az-Zubair semuanya sesuai perintah Ayah mereka masing-masing berjaga di serambi rumah Hadhrat ‘Utsman dan mereka terus membiarkan pedang mereka terhunus.[11]

Ketakutan dan gejolak yang ada di para pemberontak semakin memuncak tatkala mereka yang kembali dari ibadah Haji mulai memasuki kota Madinah. Mereka mengetahui bahwa waktu penentuan takdir mereka telah dekat. Mughirah bin Al-Akhnas (الْمُغِيرَةُ بْنُ الأَخْنَسِ) adalah orang pertama yang setelah haji masuk ke Madinah dengan niat berjihad.

Bersamaan dengan ini, para pemberontak mengetahui tengah datang laskar dari Bashra untuk menolong umat Islam dan telah tiba di Shirar (صرار) yang berjarak satu malam dari Madinah. Khawatir dengan kabar-kabar tersebut, mereka memutuskan untuk segera menyempurnakan rencana mereka.

Kemudian para Sahabat beserta teman mereka, meskipun adanya penolakan Hadhrat ‘Utsman, tidak meninggalkan penjagaan terhadap Hadhrat ‘Utsman seraya mengatakan dengan jelas, مَا عُذْرُنَا عِنْدَ اللَّهِ إِنْ تَرَكْنَاكَ وَنَحْنُ نَسْتَطِيعُ أَلا نَدَعْهُمْ حَتَّى نَمُوتَ ‘Seandainya kami meninggalkan upaya penjagaan Anda, bagaimanakah kelak kami berani menghadapkan muka di hadapan Allah Ta’ala?’[12]

Maka mereka pun meski kurang dalam jumlah, menjaga rumah dari dalam. Namun tidaklah perkara sulit bagi para pemberontak untuk sampai di pintu rumah beliau. Mereka mengumpulkan kayu arang dan menyalakan api untuk membakar pintu supaya mereka dapat masuk ke dalam.

Para sahabat melihatnya dan berpikir tidak tepat tinggal di dalam. Mereka menggenggam pedang dan bermaksud keluar, namun Hadhrat ‘Utsman melarangnya seraya bersabda, ‘Setelah mereka membakar rumah, apa lagi yang tersisa? Kini apa akan terjadi kini telah terjadi. Janganlah kalian memasukkan jiwa kalian ke dalam bahaya dan kembalilah ke rumah kalian. Mereka hanya memusuhi diri saya dan akan segera tiba saat tatkala mereka akan menyesali perbuatannya ini. Kepada setiap orang yang berkewajiban menaati saya, saya bebaskan kalian dari kewajiban itu dan merelakan hak saya ini kepadanya.’ Namun, para sahabat beserta beberapa orang lainnya tidak menerima ini dan menggenggam pedang seraya maju keluar. Saat mereka keluar, Hadhrat Abu Hurairah pun bersama mereka. Meskipun beliau tidak mahir berperang, beliau bersabda, ‘Apakah ada perang yang lebih baik dibanding perang hari ini?’ Beliau melihat para pemberontak dan bersabda, وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ ‘Wahai kaumku, apa sebab bila diriku menyeru kalian kepada keselamatan, namun kalian menyeruku kepada Api?’ (Q.S. 40 : 42) Ini adalah suatu pertempuran khusus dimana para sahabat yang ada saat itu berupaya setengah mati melawan laskar yang besar.

Hadhrat Imam Hasan yang cinta damai dan bahkan dikenal sebagai putra perdamaian pun saat itu berupaya sekuat tenaga menyerang musuh. Usaha beliau dan juga Muhammad bin Thalhah layak disebut karena dari mereka dapat tergambar seutuhnya bagaimana pandangan mereka. Hadhrat Imam Hasan menyerang mereka seraya mengucapkan syair ini, لا دِينُهُمْ دِينِي وَلا أَنَا مِنْهُمُ ***حَتَّى أَسِيرُ إِلَى طَمَارِ شَمَّامٍ ‘laa diinuhum diini wa laa ana minhum – hattaa asiiru ila thamaari syammaam’ ‘Agama mereka bukanlah agamaku dan tidak kumiliki hubungan dengan orang-orang itu. ‘Ku ‘kan terus perangi mereka hingga sampai di puncak Syammam.’[13]

Syammam adalah gunung di Arab yang mana sampai ke puncaknya bermakna telah meraih tujuan. Demikianlah, yang dimaksud oleh Hadhrat Imam Hasan adalah, “selama aku belum sampai ke tujuanku, aku akan terus memerangi mereka dan tidak akan berdamai dengan mereka, karena ini bukanlah perselisihan kecil yang dapat dihadapi dengan perdamaian, tetapi harus dicapai dengan mengalahkannya.’ Inilah pemikiran yang terkandung dalam sosok pecinta perdamaian ini.

Kini kita beralih kepada apa yang ada pada Muhammad putra Hadhrat Thalhah. Beliau mengatakan [dalam sajak], أَنَا ابْنُ مَنْ حَامَى عَلَيْهِ بِأُحُد *** وَرَدَّ أَحْزَابًا عَلَى رَغْمِ مَعَد ‘anabnu man haama ‘alaihi bi-Uhud – wadda ahzaaban ‘ala raghmi ma’d’ – ‘Aku putra sosok yang telah menjaganya (Rasul yang mulia saw) di hari Uhud – yang meskipun seluruh Arab memeranginya, tetap dia kalahkannya.’ Itu artinya, ‘Hari ini pun adalah peristiwa seolah perang uhud, dimana seperti halnya ayahku telah membiarkan habis tangannya mengusir anak-anak panah agar tidak sampai pada Rasul yang mulia (saw), maka aku pun akan melakukan hal demikian.’ Hadhrat Abdullah bin Zubair pun ikut dalam pertempuran ini dan beliau terluka parah. Marwan pun terluka parah hingga hampir meninggal.[14]

Mughirah bin Al Akhnas pun wafat dibunuh. Ketika orang yang menyerangnya melihat tidak hanya dia (Mughirah bin Al Akhnas) terluka parah, bahkan sampai wafat, ia (si penyerang) itu pun menyeru inna lillahi wa inna ilaihi rajiun dengan lantang. Pemimpinnya pun memarahinya mengapa di saat senang itu justru ia menyesali hal ini. Ia menyebutkan, إِنِّي أُتِيتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، فَقِيلَ لِي: بَشِّرْ قَاتِلَ الْمُغِيرَةِ بْنِ الأَخْنَسِ بِالنَّارِ ‘Di malam hari saya melihat mimpi seseorang yang mengatakan, “Berikan kabar api neraka kepada pembunuh Mughirah bin al-Akhnas!” Setelah ia mengetahui bahwa dirinyalah yang telah membunuh Mughirah, maka penyesalanlah yang menimpa dirinya.’[15]

Selain orang-orang tersebut, ada lagi orang lain yang terbunuh dan terluka sehingga orang-orang yang menjaga Hadhrat ‘Utsman semakin sedikit. Para pemberontak terus bersikeras meski mereka menyaksikan peringatan Samawi dan terus memerangi Jemaat yang dicintai Allah Ta’ala ini. Sementara itu, sosok-sosok setia itu pun tidak surut dalam memperlihatkan contoh keimanan mereka meskipun kebanyakan penjaga telah terbunuh atau terluka dan tersisa sekelompok kecil yang menjaga pintu rumah.”[16] Walhasil, kelanjutan ini akan disampaikan di khotbah jumat selanjutnya. Insya Allah.

Permohonan doa untuk para Ahmadi Pakistan dan juga Aljazair karena kasus di sana pun kembali dibuka. Semoga Allah Ta’ala menciptakan segala kemudahan dalam semua itu, dan semoga Allah Ta’ala segera menjauhkan penganiayaan para musuh dan menciptakan kemudahan. Setelah shalat saya akan memimpin shalat jenazah gaib yang rinciannya adalah sebagai berikut Jenazah pertama yang terhormat Maulwi Muhammad Najib Khan Sahib, Naib Nazir Dawat Ilallah India Selatan di Qadian, yang adalah putra Master B.M. Muhammad Sahib marhum dari Jemaat Kaknad, Ernakulam, Kerala. Beliau wafat pada 14 Februari karena serangan jantung. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Dengan karunia Allah beliau musi. Beliau meninggalkan istri dan tiga putra. Ketiga putranya masuk dalam program waqfenou yang penuh berkat. Satu putra beliau belajar di Jamiah Ahmadiyah.

Beliau bukan Ahmadi keturunan, namun beliau kenal Ahmadiyah di usia 17 tahun melalui ayah beliau, di mana beliau membaca tulisan-tulisan Jemaat dan buku Filsafat Ajaran Islam. Satu hari beliau bertanya kepada ayahnya bahwa pada usia berapakah seorang anak dapat memutuskan pilihan sendiri, lalu ayah beliau menjawab bahwa seorang dapat memutuskan pilihan sendiri setelah berusia 17 tahun. Maka beliau baiat masuk ke dalam Jemaat di tangan Maulana Muhammad Alwi Sahib. Tentang baiat beliau, maulana Alwi Sahib mengatakan, “Saya bermimpi melihat banyak bintang datang mendekati dan ada satu bintang kecil yang dengan cepat datang.”

Kemudian Maulwi Alwi sahib pun memaknai bintang kecil ini sebagai Maulwi Muhammad Najib Khan Sahib marhum. Beliau adalah yang pertama baiat dari antara keluarga beliau. Ayah beliau mengenal Jemaat namun tidak baiat. Atas usaha beliau, kemudian ibu, para saudara dan Ayah beliau pun baiat. Setelah baiat, berdasar suatu mimpi, beliau masuk ke jamiah dan memutuskan untuk berkhidmat di Jemaat sebagai wakaf zindegi. Setelah lulus, beliau ditugaskan di Qadian dan India. Beliau ditugaskan di Chandigarh, kemudia beliau ditugaskan di berbagai tempat sebagai mubalig.

Kemudian saya mengangkat beliau sebagai Nazir Dawat Ilallah. Demikian pula sebagai Naib Incharge bagian Nurul Islam, beliau telah menjalankan pekerjaan tabligh dengan sangat baik. Beliau dawam mendirikan shalat dan puasa, dawam bertahajud, memiliki keteguhan, kesetiaan, dan kecintaan hakiki terhadap Khilafat. Setiap pekerjaan dilaksanakan dengan sangat ikhlas, patuh, dan tepat waktu. Ia memiliki sifat menjalankan sesuatu secara tekun dan tepat waktu. Memiliki perhatian khas terhadap ibadah. Beliau terus menekankan ini kepada keluarga beliau. Beliau pun terdepan dalam menunaikan hak-hak manusia. Shiraz Ahmad Sahib Incharge bagian Nurul Islam menulis, “Beliau secara teratur mengunjungi baitud dua. Beliau berjiwa mulia dan memiliki semangat luar biasa dalam mengkhidmati agama, selalu sibuk memenuhi target tablig maupun tarbiyat yang diberikan oleh Khalifah. Beliau pun mendapat taufik menerjemahkan dan memeriksa buku-buku Jemaat dalam Bahasa Malayalam.”

Nazir Nashr o Ishaat Qadian menuliskan terkait pengkhidmatan beliau bahwa Almarhum mendapat taufik menerjemahkan buku Alwasiyat, Tajalliyate Ilahiyyah, Irfan-e-Ilahi, Qaidah Yassarnal Quran dan beberapa khotbah saya terkait waqfe nou ke dalam Bahasa Malayalam. Beliau pun mendapat taufik memeriksa cetakan baru Tafsir Shagir dalam bahasa Malayalam. Beliau pun menulis tiga jilid buku nisab ta’lim dalam bahasa Malayalam. Dari 2013 s.d. 2016 pun beliau mendapat taufik berkhidmat sebagai Sadr Review Committee wilayah Kerala.”

Amir Ernakulam wilayah Kerala Abu Bakr Sahib mengatakan, “Beliau memiliki semangat luar biasa dalam menyampaikan hasil terjemah tulisan-tulisan Hadhrat Masih Mau’ud (as) kepada siapapun. Beliau terus berupaya menanamkan istiqomah dan keteguhan kepada mereka yang masih lemah.”

Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat almarhum.

Jenazah kedua adalah Nazir Ahmad Khadim Sahib, putra dari Choudry Ahmad Din Sahib Chatta, dan saudara dari Munir Bismil Sahib Additional Nazir Isyaat. Beliau wafat pada 6 Februari inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ahmadiyah masuk ke keluarga beliau melalui Choudry Shah Din Sahib, kakek beliau. beliau memulai pengkhidmatan beliau semenjak masa kuliah. Allah Ta’ala memberi kemampuan khas kepada beliau dalam menulis dan berpidato. Semenjak muda hingga akhir hayat beliau terus sibuk dalam mengkhidmati agama dan bertablig baik melalui tulisan maupun ceramah. Di Khuddamul Ahmadiyah Rabwah, beliau mendapat taufik berkhidmat sebagai muawin sadr lalu sebagai mutamad. Beliau pernah menjadi naib amir wilayah Bahawalnagar. Beliau mendapat taufik berkhidmat sebagai naib qaid umumi Majlis Ansharullah. Beliau pun pernah menjadi Qadi di Darul Qada Rabwah.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan magfirat kepada beliau dan semoga anak keturunan beliau diberikan taufik untuk melanjutkan segala kebaikan beliau.

Selanjutnya yang terhormat Alhaj Dokter Nana Mustafa Ati Boateng Sahib, yang juga dikenal dengan nama Alhaj Cho cho di Ghana. Beliau wafat pada 17 Januari di usia 70 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Beliau lahir di keluarga Kristen. Mendapat taufik menerima Jemaat di tahun 1979.. Pertama kali beliau bekerja sebagai supir. Beliau sempat berkhidmat sebagai supir Amir Ghana, Abdul Wahab Adam Sahib dalam waktu yang lama. Beliau pun pernah berkhidmat di percetakan Jemaat di Inggris dan Ghana. Pernah tinggal beberapa lama di Jepang dan diangkat juga sebagai ketua cabang. Sewaktu saya di sana, saya pun melihat beliau sebagai sosok yang sangat ceria dan sibuk dalam pekerjaan Jemaat. Meskipun tidak ada kedudukan, beliau terus berupaya untuk hadir dalam setiap kegiatan. Selanjutnya beliau memulai usaha dan terus maju hingga masuk dalam daftar nama para pengusaha sukses Ghana.

Beliau memiliki pabrik bernama Cho Cho Industry. Beliau senantiasa mengaitkan kesuksesan usaha beliau dengan karunia Allah Ta’ala, doa-doa khalifah, dan semangat pengorbanan. Beliau banyak berkorban harta. Beliau mendapat taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Jaidad Nasional. Beliau mendapat taufik berkhidmat sebagai Ketua Daerah.

Dengan karunia Allah Ta’ala, almarhum adalah musi. Beliau meninggalkan tiga istri dan tiga putri. Ada juga satu putra beliau yang telah wafat beberapa tahun lalu. Mubarak Ahmad Adil Sahib, muballigh Kofi redwa menulis, “Keistimewaan yang sangat kentara dalam diri almarhum diantaranya adalah almarhum adalah sosok pengkhidmat agama dan kemanusiaan, beliau tidak segan-segan untuk mengorbankan harta dan waktu, juga rendah hati. Beliau sangat memperhatikan shalat tahajjud dan shalat lima waktu. Beliau membayar candah secara dawam dan tepat waktu. Beliau pernah membiayai sepenuhnya pembangunan masjid. Beliau juga pernah memenuhi lebih dari setengah dana yang diperlukan untuk pembangunan banyak masjid. Demikian pula beliau memberikan sumbangan yang besar dalam pembangungan dan renovasi beberapa rumah misi. Jika ada kasus ambil alih tanah-tanah milik Jemaat atau permasalahan lainnya, beliau membayar pengacara dan seluruh dana yang diperlukan untuk itu, tidak meminta dari Jemaat.

Di dalam diri beliau tertanam satu semangat dan rasa cinta yang khas untuk menyampaikan tabligh Ahmadiyah. Beliau juga menablighi orang tua beliau dan membaiatkan mereka. Beliau juga pernah membiayai siaran yang berisi program tabligh Jemaat di stasiun radio selama 30 menit lebih dari 10 tahun, yang mana jumlah pendengar stasiun radio tersebut lebih dari setengah jumlah penduduk ghana dan itu berlangsung sampai saat ini. Beliau juga membiayai penayangan program tabligh Jemaat di suatu channel TV yang tayang setiap hari, ada juga yang mingguan dan dalam bentuk program video. Berkat program-program tabligh tersebut, tabligh Jemaat dapat dinikmati oleh jutaan orang sehingga ratusan diantaranya mendapatkan taufik untuk baiat masuk kedalam Jemaat.

Beliau mewakafkan satu mobil hanya diperuntukkan untuk kegiatan tabligh. Untuk memberikan fasilitas kemudahan dan percepatan dalam tabligh dan tarbiyat, beliau juga memfasilitasi sebagian para Muallim dan muballigh dengan sepeda motor dan mobil. Beliau juga biasa memberikan bantuan kepada orang lain secara diam diam. Beliau juga selalu menasihati para anggota agar memperlakukan Jemaat dengan penuh kasih sayang layaknya memperlakukan property berharga milik pribadi. Menasihatkan juga untuk mengkhidmati dan menjaga Jemaat dengan penuh kecintaan dan keikhlasan. Beliau juga menasihatkan agar para anggota membiasakan diri untuk memberikan segala jenis pengorbanan yang menunjang pertablighan, karena dengan begitu Allah Ta’ala akan menganugerahkan karunia dan ihsan-Nya yang tak terhingga kepada kita dan beliau sendiri menjadi teladan dalam hal ini. Apapun yang beliau nasihatkan, beliau selalu berusaha untuk menampilkan teladan sesuai dengan yang dinasihatkan. Beliau juga membiayai renovasi jalan secara total yang digunakan untuk akses menuju rumah sakit terbesar di wilayah Kofuredwa, karena keadaan jalannya sudah banyak yang rusak sehingga menyulitkan para pasien yang akan menuju Rumah Sakit tersebut.

Terkait:   Tanggung Jawab Panitia dan Peserta Selama Pertemuan Tahunan (Jalsah Salanah)

Ketika peresmian jalan tersebut, hadir juga pejabat daerah, politikus, dokter, press media dan lain yang lebih kurang semuanya adalah Muslim non Ahmadi atau Kristen. Pada kesempatan itu, dalam sambutannya menyampaikan, ‘Saya adalah seorang Ahmadi Muslim dan telah beriman kepada Almasih yang telah datang untuk kedua kalinya bernama Mirza Ghulam Ahmad. Masih Mauud dan para khlifahnya mengajarkan saya untuk memenuhi hak hak Allah dan untuk mengkhidmati umat manusia. Atas dasar itu sebagai Muslim Ahmadi saya berkeyakinan bahwa upaya untuk menolong dan menjauhkan penderitaan sesama manusia merupakan suatu kewajiban bagi diri saya. Atas dasar itulah saya membangun jalan ini.’”

Pada usia 48 tahun beliau mempelajari lagi Al-Qur’an dari Muallim Jamaludin Shab dan mempelajari Yassarnal Quran. Beliau juga membuasakan untuk menilawatkan Al Quran dengan terjemahnya dan merenungkannya dengan baik. Beliau juga mengadopsi banyak anak, memfasilitasi mereka dengan kamar kamar di rumahnya untuk tempat tinggal anak-anak tersebut. Beliau juga memfasilitasi mereka dengan pendididkan duniawi dan dan agama. Alhasil, beliau adalah figur yang memberikan banyak sekali kebaikan. Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirah kepada beliau dan memperlakukan beliau dengan penuh kasih saying, meninggikan derajanya dan semoga keluarga yang ditinggalkan mendapatkan taufik untuk dapat melanjutkan segala kebaikan beliau.

Jenazah selanjutnya adalah Yth Ghulam Nabi Sahib Ibnu Fazludin dari Rabwah. Beliau adalah ayah Ziaur Rahman Sahib Tayyib Muballigh Silsilah Gabon. Beliau wafat pada tanggal 2 Februari. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau adalah Ahmadi keturunan. Bekerja di sebuah bank. Setelah pension lalu menetap di Daskah. Beliau juga berkhidmat di sana sebagai sekr Maal, sebagai naib Sadr, Sekretaris umum, Zaim Ansharullah dan juga sebagai imam shalat. Beliau dawam tahajjud dan selalu berusaha untuk melaksanakan shalat di masjid. Beliau biasa menilawatkan alquran dengan suara yang tinggi. Beliau seorang penyayang, penolong dan berhati lembut, penyabar dan juga bersyukur. Disebabkan oleh keadaan, Ziaur Rahman Sahib Muballigh silsilah tidak dapat hadir dalam pengurusan jenazah dan pemakaman. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran kepada beliau dan meninggikan derajat almarhum.[17]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK) dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة) dan bab (ذكر أسماء عمال عُثْمَان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي هَذِهِ السنة عَلَى البلدان). Hadhrat ‘Ammar bin Yasir (ra) termasuk Sahabat awal masuk Islam di zaman Makkah. Awalnya, ia adalah utusan Khalifah ‘Utsman (ra) sebagai agen pemerintah untuk menyelidiki situasi daerah-daerah dan pergerakan yang bersifat makar di Mesir. Sementara agen-agen lainnya yang diutus Khalifah ‘Utsman (ra) ke berbagai daerah berhasil mengumpulkan berita-berita dari daerah tersebut dan pulang ke Madinah serta melaporkan kepada Khalifah, Hadhrat ‘Ammar malah tidak pulang dan bergabung dengan kaum pemberontak di Mesir. Tentang Hadhrat ‘Ammar (ra), Hudhur (atba) pernah menyampaikan saat Madinah telah dikuasai pemberontak, ia berpisah dari mereka dan mengurungkan diri di rumah. Tidak bergabung tapi juga tidak melarang pemberontakan. Muhammad bin Abu Hudzaifah ialah putra Sahabat awal. Muhammad lahir di Habsyah saat orangtuanya (Abu Hudzaifah bin Utbah dan Sahlah) hijrah ke sana karena permusuhan kaum Quraisy. Ia berumur 10-11an saat Nabi Muhammad (saw) wafat. Dalam buku berjudul ‘‘Utsman bin Affan Ra’ karya Abdul Syukur al-Azizi dikatakan pada akhir zaman Khalifah ‘Utsman (ra), Muhammad bin Abu Hudzaifah melakukan kudeta (pengambilalihan kekuasaan) di Mesir saat Amir Mesir, Abdullah bin Sa’d bin Abu Sarh tengah dipanggil ke Madinah oleh Khalifah ‘Utsman (ra). Wakil Amirnya di Mesir tidak mampu menahan pergerakan Muhammad. Abdullah bin Sa’d dihalangi ketika pulang ke Mesir dan terpaksa menyingkir hingga wafatnya Khalifah ‘Utsman (ra). Muhammad bin Abu Bakr ialah putra Khalifah pertama dari istri Asma’ binti Umays, yang sebelumnya ialah janda Hadhrat Ja’far bin Abi Thalib. Muhammad lahir pada tahun 631. Satu tahun sebelum wafat Nabi (saw). Asma’ binti Umays juga dinikahi oleh Hadhrat ‘Ali setelah wafatnya Hadhrat Abu Bakr (ra) sehingga Muhammad berstatus anak tiri beliau (ra). Kedua Muhammad ini diutus ke Afrika Utara termasuk Mesir mengikuti program Jihad melawan Romawi. Di sana dua Muhammad ini mengalami perubahan pandangan menjadi terhasut oleh pergerakan Abdullah bin Saba. Muhammad bin Abu Bakr berumur 20an saat itu. Muhammad bin Abu Hudzaifah sekitar umur 40-an.

[2] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة). Ketika memasuki bulan Syawal tahun 35 H, penduduk Mesir bersiap diri dengan empat rombongan yang dipimpin oleh empat kepala rombongan. Jumlah mereka minimal 600 orang dan maksimal 1000 orang. Di antara para pemimpin mereka adalah Abdurahman bin Udais Al Balawi (الرَّحْمَن بن عديس البلوى), Kinanah bin Bisyr At-Tujaibi (كنانه بن بشر التجيبى), Urwah bin Syaibam al-Laitsi (عروه بن شيبم الليثى), Abu Amru bin Budail bin Warqa Al Khuzai (ابو عمرو بن بديل بن ورقاء الخزاعي), Sawad bin Ruman As-Sakuni (سواد بن رومان الأصبحي), Zara bin Yasykur Al Yafii (زرع بن يشكر اليافعى), Saudan bin Humran As-Sakuni (سودان ابن حمران السكوني), dan Qutairah bin Fulan As-Sakuni (قتيرة بن فلان السكوني). Komandan tertinggi dari seluruh rombongan adalah Al-Ghafiqi bin Harb Al Akki (الغافقي بن حرب العكي). Rombongan Kufah dengan jumlah yang hampir sama dan memecah menjadi empat rombongan dengan pemimpin-pemimpinnya: Zaid bin Shuhan Al-Abdi (زَيْد بن صُوحَانَ العبدي), Al Asytar An-Nakha’i (الأشتر النخعي), Ziyad bin Nadhar Al-Haritsi (زياد بن النضر الحارثي), Abdullah bin Al-Asham (عبد اللَّه بن الأصم) dan Amru bin Al-Asham (عَمْرو بن الأصم). Rombongan dari Bashrah: Hukaim bin Jabalah Al Abdi (حكيم بن جبلة العبدى), Dzarih bin Ubbad AlAbdi (ذريح ابن عباد العبدي), Bisyr bin Syuraih (بشر بن شريح), Al-Hutham bin Dhubaiah Al Qaisi (الحطم بن ضبيعه القيسى), lbnu Al Maharrisyi bin Abdi bin Amru Al Hanafi (ابن المحرش ابن عبد بن عَمْرو الحنفي) dan Hurqus bin Zuhair As-Sa’di (حرقوص ابن زهير السعدي). Selain itu, ada juga penduduk kota lain yang ikut masuk dalam ketiga pasukan tersebut. Mereka berpakaian seperti rombongan Haji sehingga tidak terlihat sebagai sebuah pasukan. Rincian taktik para pemberontak sebenarnya sudah diketahui oleh Khalifah ‘Utsman (ra) karena setahun sebelumnya beliau sudah mengirim agen-agen yang menyusup ke kalangan yang dicurigai pemberontak dan menyerap informasi mereka. Hanya saja, Khalifah mengedepankan ishlaah (perbaikan) bukan represif (tindakan keras menetralisir). Andai beliau murni pemimpin duniawi dan represif, beliau pasti bisa melakukan tindakan tersebut. Berbagai rincian taktik para pemberontak sebenarnya sudah diantisipasi dan ditutup peluang daya rusaknya, namun ada beberapa taktik baru para pemberontak yang akhirnya mengarah ke pembunuhan Khalifah. Contoh, setelah adu dalil dan diskusi intens dengan Khalifah selama beberapa hari dan semua keberatan mereka dapat dipatahkan dan mereka pun menyatakan akan pulang serta sudah dilihat perkemahan mereka kosong dan mereka berjalan pulang, beberapa hari kemudian, mereka tiba-tiba menyerbu Madinah lagi. Contoh lainnya, taktik pengepung menaiki dinding rumah Khalifah ‘Utsman melewati rumah tetangga beliau yang di luar dugaan siapa pun termasuk penjaga rumah Khalifah yang berfokus di pintu rumah. Hal kedua, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab al-Ishabah dan juga dalam Tarikh ath-Thabari, penyerangan anak panah ke seseorang bernama Niyar bin Iyadh al-Aslami yang tengah berdiri di depan rumah Khalifah ‘Utsman (ra) dan sedang menasehati beliau (ra). Katsir bin Shalt al-Kindi yang disebut pengikut Khalifah terpancing melakukan serangan mematikan ke Niyar hingga tewas hal mana memperbesar emosi para pemberontak. Khalifah membuat kebijakan menahan diri kepada para pengikut beliau karena beliau tahu para pemberontak mencari-cari alasan untuk menyerang dengan memprovokasi dan bila diserang pihak ‘Utsman, mereka menyerang balik lebih besar. Para pemberontak membuat taktik ini karena tahu sebagian kalangan mereka adalah sebatas pengecam Khalifah dan paling banter hanya ingin Khalifah lengser. Namun, ternyata dari pihak pembela Khalifah ‘Utsman – mungkin karena kefanatikan atau tidak bisa menahan kesabaran melihat demonstrasi berhari-hari selama satu bulan lebih – ada yang terpancing melakukan serangan. Namun demikian, tidak bisa dikatakan bila peristiwa ini tidak terjadi, tidak terjadi pula penyerangan mematikan kepada Khalifah ‘Utsman (ra) mengingat pertimbangan mendesak pemberontak ialah datangnya pasukan-pasukan dari daerah-daerah ke pusat untuk melakukan pengamanan dan menangani pemberontak yang tinggal satu malam perjalanan ke Madinah sampainya.

[3] Tarikh ath-Thabari.

[4] Menurut kitab Tarikh ath-Thabari, diantaranya yang berbicara ialah Marwan bin Hakam.

[5] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[6] Surat tersebut dalam Tarikh ath-Thabari sebagai berikut: بسم الله الرحمن الرحيم، أما بعد، فإن اللَّه عَزَّ وَجَلَّ بعث محمدا {بِٱلْحَقِّ بَشِيراً وَنَذِيراً} [البقرة]، فبلغ عن اللَّه مَا أمره بِهِ، ثُمَّ مضى وَقَدْ قضى الَّذِي عَلَيْهِ، وخلف فينا كتابه، فِيهِ حلاله وحرامه، وبيان الأمور الَّتِي قدر، فأمضاها عَلَى مَا أحب العباد وكرهوا، فكان الخليفة أَبُو بَكْر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وعمر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ثُمَّ أدخلت فِي الشورى عن غير علم وَلا مسألة عن ملإ من الأمة، ثُمَّ أجمع أهل الشورى عن ملإ مِنْهُمْ ومن الناس علي، عَلَى غير طلب مني وَلا محبة، فعملت فِيهِمْ مَا يعرفون وَلا ينكرون، تابعا غير مستتبع، متبعا غير مبتدع، مقتديا غير متكلف. فلما انتهت الأمور، وانتكث الشر بأهله، بدت ضغائن وأهواء عَلَى غير إجرام وَلا ترة فِيمَا مضى إلا إمضاء الكتاب، فطلبوا أمرا وأعلنوا غيره بغير حجة وَلا عذر، فعابوا علي أشياء مما كَانُوا يرضون، وأشياء عن ملإ من أهل الْمَدِينَة لا يصلح غيرها، فصبرت لَهُمْ نفسي وكففتها عَنْهُمْ منذ سنين وأنا أَرَى وأسمع، فازدادوا عَلَى اللَّه عَزَّ وَجَلَّ جرأة، حَتَّى أغاروا علينا فِي جوار رسول الله صَلَّىى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحرمه وأرض الهجرة، وثابت إِلَيْهِم الأعراب، فهم كالأحزاب أيام الأحزاب أو من غزانا بأحد إلا مَا يظهرون، فمن قدر عَلَى اللحاق بنا فليلحق.

.

[7] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة). Menurut Tarikh Ibnu Khaldun (تاريخ ابن خلدون) karya (ابوزيد ولي الدين عبد الرحمن بن محمد المالكي), pengepungan terjadi selama 40-an hari. Pada hari ke-18, terdengar kabar para pasukan dari daerah-daerah tengah dalam perjalanan ke Madinah. Sejak hari itulah, para pemberontak melarang Hadhrat ‘Utsman (ra) berjumpa dengan orang-orang dan suplai air dihentikan mereka.

[8] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[9] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[10] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[11] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[12] Tarikhul Umam wal Muluk atau Tarikh ath-Thabari karya Ibnu Jarir ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 4 صفحه : 269), bahasan tahun ke-35 (سنة خمس وثلاثين), bahasan peristiwa yang dikenal di tahun itu (ذكر مَا كَانَ فِيهَا من الأحداث المشهورة).

[13] Tarikh ath-Thabari jilid 6, hal 3014.

[14] Pada hari menjelang kesyahidan Khalifah ‘Utsman, empat orang diriwayatkan dibawa dengan tandu karena terluka parah. Hasan bin Ali, Marwan bin Hakam, Abdullah bin Zubair dan Muhammad putra salah seorang Sahabat.

[15] Tarikh ath-Thabari. Pemimpin pemberontak yang dimaksud ialah Abdurrahman bin Udais (عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُدَيْسٍ).

[16] Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), ‘Islam me Ikhtilaafat ka Aghaz’ (The Outset of Dissension in Islam – Awal Mula Perpecahan dalam Islam) [2013 edition], pp. 293-296.

[17] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 19 March 2021, pp. 11-16. Translated by The Review of Religions.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.