Keteladanan Sahabat Rasulullah (Seri 76)

menghadapi pandemi corona

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 76)

Pembahasan mengenai lanjutan mengenai seorang Ahlu Badr (Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) peserta perang Badr atau ditetapkan oleh Nabi (saw) mengikuti perang Badr), Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Pada zaman Nabi Muhammad (saw): Peranan di Perang Badr yaitu melindungi tawanan tokoh besar Quraisy bernama Umayyah bin Khalf namun tidak berhasil karena beberapa Sahabat lain tidak setuju statusnya sebagai tawanan; peranan sebagai Komandan di ekspedisi Dumatul Jandal yang sukses tanpa peperangan. Peranan di perang Uhud, termasuk yang bertahan di dekat Nabi (saw). Mengalami 21 luka yang membuat beliau berjalan pincang dan tanggal dua gigi. ‘Abdurrahman ialah nama pemberian Nabi Muhammad (saw) dan beliau enggan dipanggil dengan nama lain namun masih toleran bila nama ‘Abdun (hamba) dihubungkan dengan ketauhidan seperti ‘Abdul Ilaah (hamba Sang Tuhan). Contoh sebuah doa beliau (ra).

Peranan di zaman Khalifah Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu: ditanyai Khalifah perihal calon Khalifah penggantinya dan memintanya untuk tidak menceritakan percakapan itu.

Peranan di zaman Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Riwayat tentang Hadhrat Khalifah ‘Umar (ra) membatalkan perjalanannya setelah intens bermusyawarah dengan tokoh-tokoh Muslim termasuk Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra). Pertama, perjalanan ekspedisi militer di bawah pimpinan beliau (ra) menuju Persia setelah kesyahidan Abu Ubaid ats-Tsaqafi, komandan pasukan Muslim di front Persia. Kedua, perjalanan menuju Syam saat wabah pandemi tha’un tengah merajalela.

Usulan yang diterima tentang pengangkatan Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) menjadi komandan perang menghadapi Persia.

Bahasan mengenai beberapa kehormatan dan keutamaan yang diperoleh Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra): seorang yang kaya raya, rajin dan banyak melakukan pengorbanan harta, pernah menjadi imam shalat Shubuh yang Nabi (saw) menjadi makmumnya, beliau meneruskan mengimami shalat atas permintaan Khalifah ‘Umar (ra) yang tengah luka diserang saat mengimami shalat berjamaah Shubuh.

Pemilihan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu sesuai wasiat Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.

Dua riwayat berbeda mengenai siapa yang lebih dulu bai’at kepada Khalifah ‘Utsman (ra), Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf atau Hadhrat ‘Ali bin Abi Thalib (ra).

Dua riwayat berbeda mengenai siapa yang ditugaskan Khalifah ‘Umar (ra) menjaga dan mengawasi proses Khalifah ‘Utsman (ra) dan pandangan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenainya. Narasi Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenai proses pemilihan Khalifah ‘Utsman (ra) dan peranan Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra).

Khotbah dengan bahasan Shahabat yang sama dilanjutkan di Jumat mendatang.

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 19 Juni 2020 (Ihsan 1399 Hijriyah Syamsiyah/Syawwal 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada khotbah yang lalu telah disampaikan berkenaan dengan Hadhrat ‘Abdurrahman Bin Auf radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Namun masih ada yang tersisa dan akan saya sampaikan selebihnya pada saat ini. Hadhrat Abdurrahman Bin Auf (ra) memiliki jalinan persahabatan lama dengan Umayyah Bin Khalf. Mengenai itu selengkapnya diterangkan di dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Hadhrat Abdur Rahman Bin Auf meriwayatkan, كَاتَبْتُ أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كِتَابًا بِأَنْ يَحْفَظَنِي فِي صَاغِيَتِي بِمَكَّةَ، وَأَحْفَظَهُ فِي صَاغِيَتِهِ بِالْمَدِينَةِ، فَلَمَّا ذَكَرْتُ الرَّحْمَنَ قَالَ لاَ أَعْرِفُ الرَّحْمَنَ، كَاتِبْنِي بِاسْمِكَ الَّذِي كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ‏.‏ فَكَاتَبْتُهُ عَبْدُ عَمْرٍو “Saya pernah menulis surat kepada Umayyah Bin Khalf untuk menjaga harta saya dan anak-anak saya di Makkah dan sebaliknya saya akan menjaga hartanya yang ada di Madinah. Ketika saya menulis nama saya ‘Abdur Rahman, Umayyah berkata. ‘Saya tidak mengenal ar-Rahman, tuliskan saja nama pada masa jahiliyah.’ Saya lalu menuliskan nama saya ‘Abdu ‘Amru.

فَلَمَّا كَانَ فِي يَوْمِ بَدْرٍ خَرَجْتُ إِلَى جَبَلٍ لأُحْرِزَهُ حِينَ نَامَ النَّاسُ فَأَبْصَرَهُ بِلاَلٌ فَخَرَجَ حَتَّى وَقَفَ عَلَى مَجْلِسٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ، لاَ نَجَوْتُ إِنْ نَجَا أُمَيَّةُ‏.‏  Ketika perang Badar dan saat itu orang-orang sudah tidur, saya pergi ke arah bukit untuk melindunginya (Umayyah). Tiba-tiba Bilal melihat Umayyah di sana. Bilal lalu pergi dan berdiri di tengah-tengah orang Anshar dan berkata, ‘Saya melihat Umayyah Bin Khalf, jika dia selamat dari tangan saya maka saya yang tidak akan selamat.’

فَخَرَجَ مَعَهُ فَرِيقٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي آثَارِنَا، فَلَمَّا خَشِيتُ أَنْ يَلْحَقُونَا خَلَّفْتُ لَهُمُ ابْنَهُ، لأَشْغَلَهُمْ فَقَتَلُوهُ ثُمَّ أَبَوْا حَتَّى يَتْبَعُونَا، وَكَانَ رَجُلاً ثَقِيلاً، فَلَمَّا أَدْرَكُونَا قُلْتُ لَهُ ابْرُكْ‏.‏ فَبَرَكَ، فَأَلْقَيْتُ عَلَيْهِ نَفْسِي لأَمْنَعَهُ، فَتَخَلَّلُوهُ بِالسُّيُوفِ مِنْ تَحْتِي، حَتَّى قَتَلُوهُ، وَأَصَابَ أَحَدُهُمْ رِجْلِي بِسَيْفِهِ Bilal bersama dengan beberapa orang Anshar datang untuk mengepung kami (Hadhrat Abdurrahman dan Umayyah Bin Khalf). Kami khawatir mereka akan menemukan kami. Karena itu, saya tinggalkan putra Umayyah di sana supaya mereka sibuk bertarung dengan putranya dan kami bisa terus pergi. Namun pasukan Muslim berhasil membunuh putranya. Mereka juga tidak membiarkan upaya saya berhasil dan dapat mengejar kami. Karena Umayyah berbadan besar sehingga ia tidak dapat bergerak dengan gesit. Akhirnya, ketika pasukan Muslim mendapati kami, saya katakan kepada Umayyah, ‘Duduklah!’ Ia pun duduk. Saya berusaha menyelamatkan Umayyah, pasukan Muslim menusukkan pedang-pedangnya ke bagian bawah saya dan membunuh Umayyah. Disebabkan oleh salah satu pedang mereka juga, kaki saya terluka.”[1]

Dalam Tarikh Tabari terdapat keterangan selengkapnya bahwa Hadhrat Abdurrahman Bin Auf meriwayatkan, كَانَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ لِي صَدِيقًا بِمَكَّةَ- وَكَانَ اسْمِي عَبْدَ عَمْرٍو، فَسُمِّيتُ حِينَ أَسْلَمْتُ: عَبْدَ الرَّحْمَنِ، وَنَحْنُ بِمَكَّةَ- قَالَ: فَكَانَ يَلْقَانِي وَنَحْنُ بِمَكَّةَ “Umayyah bin Khalf adalah kawan saya ketika di Makkah. Saat itu nama saya ‘Abdu ‘Amru. Setelah saya masuk Islam nama saya diganti menjadi Abdurrahman. Setelah itu, kapan saja saya berjumpa dengannya, ia berkata, يَا عَبْدَ عَمْرٍو، أَرَغِبْتَ عَنِ اسْمٍ سَمَّاكَهُ أَبُوكَ؟ ‘Wahai Abdu Amru! Apakah kamu menolak nama yang diberikan oleh leluhurmu?’

Saya jawab, ‘Ya.’

Umayyah pun berkata, فَإِنِّي لا أَعْرِفُ الرَّحْمَنَ، فَاجْعَلْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ شَيْئًا أَدْعُوكَ بِهِ، أَمَّا أَنْتَ فَلَا تُجِيبُنِي بِاسْمِكَ الأَوَّلِ، وَأَمَّا أَنَا فَلَا أَدْعُوكَ بِمَا لَا أَعْرِفُ ‘Namun saya tidak mengenal nama itu, lebih baik kamu sebutkan lagi nama lain selain itu yang akan saya gunakan untuk memanggilmu karena jika saya memanggilmu menggunakan nama lamamu, kamu tidak meresponnya dan saya tidak akan menyebutkan nama yang saya sendiri tidak mengenalnya.’

فَكَانَ إِذَا دَعَانِي: يَا عَبْدَ عَمْرٍو، لَمْ أُجِبْهُ، فَقُلْتُ: Jika Umayyah memanggil saya (Hadhrat Abdurrahman Bin Auf) dengan nama Abdu Amru maka saya tidak meresponnya. Saya katakan pada Umayyah: اجْعَلْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا شِئْتَ ‘Wahai Abu Ali! Mengenai itu, apapun yang kamu sukai, silahkan ucapkan, namun saya tidak akan menanggapi jika dipanggil dengan nama lamaku.’

Umayyah berkata: فَأَنْتَ عَبْدُ الإِلَهِ ‘Kalau begitu nama Abdul Ilah akan lebih baik.’

فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَكُنْتُ إِذَا مَرَرْتُ بِهِ قَالَ: يَا عَبْدَ الإِلَهِ، فَأُجِيبُهُ، فَأَتَحَدَّثُ مَعَهُ Saya katakan, ‘Baiklah.’ Kemudian setelah itu, ketika bertemu ia memanggil saya dengan sebutan Abdu Ilah dan saya meresponnya dan berbicara dengannya.

Sampai tiba hari perang Badar, saat itu saya lewat di dekat Umayyah yang sedang berdiri memegang tangan putranya, Ali Bin Umayyah. Saat itu saya membawa banyak baju perang yang telah saya dapatkan. Umayyah memanggil saya, ‘Wahai Abdu Amru!’

Saya tidak menjawabnya. Ia lalu memanggil, ‘Wahai Abdul Ilah.’

Saya pun menjawab, ‘Ya, ada apa?’

Umayyah berkata, ‘Tidakkah aku lebih baik bagimu daripada baju perang yang kamu bawa itu?’

Saya katakana, ‘Jika demikian, kemarilah.’

Saya lalu membuang baju-baju besinya di sana, yakni untuk melindunginya dan memegang tangan anaknya Ali.

Umayyah berkata, ‘Saya tidak pernah merasakan hari seperti hari ini.’

Saya (Hadhrat Abdurrahman Bin Auf) mengajak keduanya dengan berjalan memegang tangan keduanya di tengah.

Umayyah bertanya, يَا عَبْدَ الإِلَهِ، مَنِ الرَّجُلُ مِنْكُمُ، الْمُعَلَّمُ بِرِيشَةِ نَعَامَةٍ فِي صَدْرِهِ؟ ‘ ‘Wahai Abdul Ilah, siapakah diantara kalian yang yang memasang sayap burung unta di dadanya sebagai tanda?’

Saya jawab, ذَاكَ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ‘Orang itu adalah Hamzah Bin Abdul Muthalib.’

Umayyah berkata, ‘Dialah yang menyebabkan keadaan buruk yang kami alami sekarang ini.’

Ketika itu Bilal melihat Umayyah bersama saya. Umayyah adalah orang yang selalu menyiksa Hadhrat Bilal ketika di Makkah supaya Bilal meninggalkan Islam. Umayyah biasa menyeret Hadhrat Bilal lalu membaringkan diatas bebatuan di bawah terik matahari, kemudian ia memerintahkan orang-orang untuk meletakkan batu besar di atas dadanya dan berkata kepada Hadhrat Bilal, لا تَزَالُ هَكَذَا حَتَّى تُفَارِقَ دِينَ مُحَمَّدٍ ‘Sebelum kamu meninggalkan agama Muhammad, kamu akan terus mendapatkan hukuman ini.’

Namun meskipun demikian, Hadhrat Bilal tetap mengatakan, أَحَدٌ أَحَدٌ ‘Ahad! Ahad!’ Artinya, ‘Yang Esa!’

Karena itulah, ketika pandangan Hadhrat Bilal tertuju pada Umayyah, Hadhrat Bilal berkata, رَأْسُ الكفر اميه ابن خَلَفٍ، لا نَجَوْتُ إِنْ نَجَا ‘Umayyah Bin Khalf pemimpin kaum kuffar ada di sini! Jika dia selamat dariku, maka aku tidak akan selamat.’

Saya (Hadhrat Abdurrahman Bin Auf) berkata, ‘Wahai Bilal! Mereka berdua adalah tawanan saya.’

Bilal berkata lagi, لا نَجَوْتُ إِنْ نَجَوَا ‘Jika dia selamat dariku maka aku tidak akan selamat.’

Saya berkata, تسمع يا بن السَّوْدَاءِ! ‘Wahai Ibnu Sauda, kamu dengar kan?’

Bilal mengatakan lagi, ‘Jika dia selamat dariku maka aku tidak akan selamat.’

Hadhrat Bilal kemudian berkata dengan suara keras, يَا أَنْصَارَ اللَّهِ، رَأْسُ الكفر اميه ابن خَلَفٍ، لا نَجَوْتُ إِنْ نَجَا ‘Wahai Ansharullah! Umayyah Bin Khalf pemimpin kaum kuffar ada di sini! Jika dia selamat dariku, maka aku tidak akan selamat.’

Setelah mendengar ucapan Bilal tersebut, orang-orang mengepung kami dari berbagai arah. Saya menyelamatkan Umayyah. Namun ada seseorang yang menyerang putra Umayyah sampai jatuh. Saat itu Umayyah berteriak kencang yang mana belum pernah saya dengar jeritan seperti itu sebelumnya.

Saya (Hadhrat Abdurrahman Bin Auf) katakan pada Umayyah, انْجُ بِنَفْسِكَ ‘Berlarilah kamu!’ Namun ia tidak bisa lari. فو الله مَا أُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا ‘Demi Allah, saya sudah tidak berguna lagi untukmu.’ Setelah itu orang-orang mulai menebaskan pedangnya kepada keduanya sehingga keduanya mati.”

Hadhrat Abdurrahman Bin Auf selalu mengatakan, رَحِمَ اللَّهُ بِلَالًا! ذَهَبَتْ أَدْرَاعِي وَفَجَعَنِي بِأَسِيرِيَّ “Semoga Allah Ta’ala merahmati Bilal. Baju perang saya hilang dan tawanan saya pun diambil paksa olehnya.”[2]

Hadhrat Abdurrahman Bin Auf ikut serta juga pada perang Uhud. Ketika sebagian pasukan turun bukit pada perang uhud, beliau termasuk orang-orang yang bertahan bersama Rasulullah. Pada perang Uhud, beliau terkena 21 luka dan kaki beliau terkena luka yang menyebabkan beliau berjalan pincang setelah itu. Kedua gigi depan beliau pun syahid.

(عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:) Hadhrat Ibnu Umar meriwayatkan, بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم – عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فِي سَبْعِمِائَةٍ إِلَى دُومَةِ الْجَنْدَلِ وَذَلِكَ فِي شَعْبَانَ سَنَةَ سِتٍّ مِنَ الْهِجْرَةِ. “Pada bulan Syaban tahun ke-6 Hijriyyah Rasulullah mengutus 700 pasukan ke Dumatul Jandal di bawah komando Hadhrat Abdurrahman Bin Auf. فَنَقَضَ عِمَامَتَهُ بِيَدِهِ ثُمَّ عَمَّمَهُ بِعِمَامَةٍ سَوْدَاءَ فَأَرْخَى بَيْنَ كَتِفَيْهِ مِنْهَا Baginda Nabi (saw) memasangkan ‘imamah (kain yang diikatkan di kepala) berwarna hitam di kepala Hadhrat Abdurrahman Bin Auf dengan tangan beberkat beliau sendiri dan bagian yang mengantung dari ‘imamahnya ditempatkan antara kedua bahu beliau.

Beliau (saw) bersabda, ‘Wahai Abu Muhammad! Saya mendapatkan kabar mengkhawatirkan dari Dumatul Jandal, lasykar tengah berkumpul di sana untuk menyerang Madinah. Kalian berangkatlah ke sana untuk berjihad. Tujuh ratus (700) pejuang akan berangkat bersamamu. Pertama, sesampaiknya di sana serulah pemimpin dan kabilahnya kepada Islam, namun jika keadaan memaksa untuk bertempur, perhatikanlah, jangan sampai menipu siapapun, jangan berkhianat dan melangar janji, jangan membunuh anak-anak dan wanita, bersihkanlah dunia dari orang-orang yang memberontak kepada Tuhan. Diizinkan untuk berperang dengan segenap kehati-hatian itu.’

Sesampainya di Dumah, Hadhrat Abdurrahman Bin Auf menyeru mereka kepada Islam sampai tiga hari namun mereka terus menolak. Kemudian, al-Asbagh bin Amru al-Kalb (الأَصْبَغُ بْن عَمْرو الْكَلْبِيُّ) seorang Kristen dan merupakan pemimpin mereka baiat menerima Islam. Hadhrat Abdurrahman Bin Auf mengabarkan hal tersebut kepada Rasulullah (saw). Rasul bersabda, ‘Nikahilah putri pemimpin tersebut, Tumadhir binti al-Ashbagh (تُمَاضِرَ بِنْتُ الأَصْبَغِ).’ Di kemudian hari wanita itu disebut dengan Ummu Abu Salamah (Ibunya Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf).”[3]

(عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَالَ:) Umar Bin Abdul Aziz meriwayatkan, لَمَّا انْتَهَى قَتْلُ أَبِي عُبَيْدِ ابن مَسْعُودٍ إِلَى عُمَرَ، وَاجْتِمَاعُ أَهْلِ فَارِسَ عَلَى رَجُلٍ مِنْ آلِ كِسْرَى، نَادَى فِي الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ، وَخَرَجَ حَتَّى أَتَى صِرَارًا، وَقَدَّمَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ حَتَّى يَأْتِي الأَعْوَصَ، وَسَمَّى لِمَيْمَنَتِهِ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، وَلِمَيْسَرَتِهِ الزُّبَيْرَ ابن الْعَوَّامِ، وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمَدِينَةِ،  “Ketika Hadhrat Khalifah Umar (ra) mendapatkan kabar syahidnya Hadhrat Abu Ubaid Bin Mas’ud.” Beliau (Abu Ubaid) syahid pada perang Jisr 14 Hijriyyah dan berkenaan dengan perang Jisr telah saya sampaikan sebelumnya. Beliau dihancurkan oleh seekor gajah pasukan Farsi atau Persia. “Pendek kata, ketika Hadhrat Umar (ra) mendapatkan kabar itu dan diketahui bahwa penduduk Faris (Persia) mencari orang dari antara keluarga Kisra (gelar Raja Persia) dan setelah menemukannya, mereka menjadikan orang itu sebagai Raja mereka lalu Hadhrat Umar menyeru kaum Muhajirin dan Anshar untuk berjihad. Beliau (ra) pun berangkat dari Madinah dan tinggal di daerah Shirar.” Shirar merupakan nama sebuah gunung di Madinah berjarak 3 mil dari Madinah ke arah Iraq.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 37)

“Beliau tinggal di sana dan memberangkatkan Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah untuk sampai ke A’wash. Beliau menetapkan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf sebagai Maimanah yaitu lengan kanan pasukan sedangkan Hadhrat Zubair Bin Awwam sebagai Maisarah yaitu lengan kiri pasukan. Hadhrat Ali ditetapkan sebagai pengganti beliau (Amir Maqami) di Madinah.

وَاسْتَشَارَ النَّاسَ، فَكُلُّهُمْ أَشَارَ عَلَيْهِ بِالسَّيْرِ إِلَى فَارِسَ، وَلَمْ يَكُنِ اسْتَشَارَ فِي الَّذِي كَانَ حَتَّى نَزَلَ بِصِرَارٍ وَرَجَعَ طَلْحَةُ، فَاسْتَشَارَ ذَوِي الرَّأْيِ، فَكَانَ طَلْحَةُ مِمَّنْ تَابَعَ النَّاسَ، Hadhrat Umar meminta musyawarah dari orang-orang dan semuanya menyarankan kepada beliau untuk berangkat ke Persia. Hadhrat Umar tidak meminta musyawarah dari siapapun hingga kafilah sampai di Shirar. Sesampainya di sana beliau meminta musyawarah. Hadhrat Thalhah kembali dan beliau pun memiliki pendapat yang sama dengan mereka, yaitu hendaknya melanjutkan perjalanan.

وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مِمَّنْ نَهَاهُ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: فَمَا فَدَيْتُ أَحَدًا بِأَبِي وَأُمِّي بَعْدَ النبي صلى الله عليه وسلم قَبْلَ يَوْمَئِذٍ وَلا بَعْدَهُ، فَقُلْتُ: يَا بِأَبِي وَأُمِّي، اجْعَلْ عَجُزَهَا بِي Akan tetapi, Hadhrat Abdurrahman Bin Auf termasuk diantara orang yang meminta beliau tidak pergi. Hadhrat Abdurrahman menjelaskan alasan kenapa menghentikan beliau pergi dengan berkata, ‘Sebelum ini saya tidak pernah merasa rela mengorbankan ayah dan ibu saya kepada siapapun selain kepada Rasulullah (saw), dimana yang akan datang pun saya tidak akan melakukannya, namun pada hari ini saya katakan, “Wahai orang yang ayah dan ibu saya rela saya korbankan atasnya! Anda serahkan saja kepada saya untuk keputusan terakhir dari masalah ini.”’

Demikianlah jawaban beliau kepada Hadhrat Umar yang merupakan Khalifah pada masa itu.

Beliau (Hadhrat Abdurrahman Bin Auf) melanjutkan, وَأَقِمْ وَابْعَثْ جُنْدًا، فَقَدْ رَأَيْتُ قَضَاءَ اللَّهِ لَكَ فِي جُنُودِكَ قَبْلُ وَبَعْدُ، فَإِنَّهُ إِنْ يُهْزَمْ جَيْشُكَ لَيْسَ كَهَزِيمَتِكَ، وَإِنَّكَ إِنْ تُقْتَلْ أَوْ تُهْزَمْ فِي أَنْفِ الأَمْرِ خَشِيتُ أَلا يُكَبِّرَ الْمُسْلِمُونَ وَأَلا يَشْهَدُوا أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ أَبَدًا وَهُوَ فِي ارْتِيَادٍ مِنْ رَجُلٍ، ‘Mohon Hudhur berhenti di sini (Shirar) dan kirimkanlah pasukan yang banyak. Dari sejak awal sampai sekarang anda telah melihat bagaimana keputusan Allah Ta’ala selama ini mengenai lasykar Anda. Jika pasukan Anda kalah maka kekalahannya tidaklah seperti kekalahan Anda. Jika Anda terbunuh di awal atau kalah, saya khawatir umat Muslim tidak akan dapat mengucapkan takbir lagi tidak juga memberikan kesaksian Laa ilaaha illallaah.’ Ketika perbincangan itu terjadi, Hadhrat Umar tengah mencari seseorang untuk dijadikan komandan pasukan dan diutus.

وَأَتَى كتاب سعد على حفف مَشُورَتِهِمْ، وَهُوَ عَلَى بَعْضِ صَدَقَاتِ نَجْدٍ، فَقَالَ عُمَرُ:  Saat itu datanglah surat dari Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash untuk Hadhrat Umar. Hadhrat Sa’d saat itu tengah ditugaskan di Najd. Hadhrat Umar bersabda: فَأَشِيرُوا عَلَيَّ بِرَجُلٍ ‘Sekarang beritahukan kepada saya seseorang yang bisa diserahkan tugas [memimpin pasukan melawan Persia] ini.’

Hadhrat Abdurrahman berkata: وَجَدْتُهُ ‘Anda telah mendapatkan orangnya.’

Hadhrat Umar bertanya: مَنْ هُوَ؟ ‘Siapa orangnya?’

Hadhrat Abdurrahman berkata: الأَسَدُ فِي بَرَاثِنِهِ، سَعْدُ بْنُ مَالِكٍ ‘Singa Kichar, Sa’d Bin Malik yakni beliau seorang pemberani, komandan yang sangat baik.’ وَمَالأَهُ أُولُو الرَّأْيِ Orang-orang pun mendukung usulan ini.” (Tarikh ath-Thabari)[4]

Di Madinah Rasulullah (saw) memberikan tempat pada setiap qabilah dan sahabat untuk ditinggali. Kabilah Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) diberikan tempat di belakang masjid Nabawi di tengah-tengah pohon kurma. Kemudian Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) dan Hadhrat Umar (ra) juga diberi tanah sebagai properti. Properti ini kemudian dibeli oleh Hadhrat Zubair (ra) dari keturunan Hadhrat Umar.

Baginda Nabi (saw) juga berjanji pada Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra), إِذَا فَتْحَ اللَّهُ عَلَيْنَا الشام فَهِيَ لَكَ “Ketika Allah Ta’ala menganugerahkan kemenangan atas negeri Syams pada umat Muslim maka tanah fulan untukmu.” Dengan demikian di zaman kekhalifahan Hadhrat Umar (ra) ketika negeri Syams jatuh ke tangan Islam maka tanah yang dijanjikan itu diberikan pada Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra. Nama daerah tempat tanah yang dijanjikan pada beliau itu adalah Salil (السَّلِيلُ).[5]

Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) juga mendapatkan berkat karena Rasulullah (saw) pernah shalat di belakang beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hadhrat Mughirah bahwa beliau ikut dengan Rasulullah (saw) dalam perang Tabuk. Hadhrat Mughirah bin Syu’bah menerangkan, فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَبْلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ ، فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهْرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنَ الْإِدَاوَةِ ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّات “Suatu kali Rasulullah (saw) hendak pergi buang hajat sebelum shalat subuh. Saya mengangkat masykizah air (kantong air) menyertai beliau saw. Ketika Rasulullah (saw) telah kembali ke saya – yakni segera setelah beliau kembali ke tempat saya berdiri – maka saya menuangkan air dari kantong itu ke tangan beliau (saw) dan beliau membasuh tangan beliau 3 kali. ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ ، ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ ، فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ ، ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ، ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ Kemudian beliau (saw) membasuh muka penuh berkat beliau. Selanjutnya, ketika beliau hendak mengeluarkan tangan beliau dari jubah, tapi karena lengan jubah itu sempit maka beliau (saw) memasukkan kembali tangan beliau ke dalam jubah dan beliau mengeluarkan kedua tangan beliau dari bagian bawah jubah lalu membasuhnya sampai ke kedua siku. Kemudian beliau berwudhu hingga membersihkan kedua kaus kaki beliau dengan cara masah (mengusap dan membersihkan keduanya). Kemudian beliau beranjak dari situ.”

Hadhrat Mughirah (ra) menerangkan, وَأَقْبَلتُ مَعَهُ حَتَّى يَجِدَ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَأَدْرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْأُخْرَى فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ ، فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ ، أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ : “Saya pun ikut beranjak dengan Rasulullah (saw) sampai kami mendapati orang-orang telah mengedepankan Abdurrahman bin Auf (ra) dan beliau sedang mengimami shalat. Rasulullah (saw) hanya mendapati satu rakaat saja. Artinya, sampai saat itu satu rakaat sudah selesai dan sudah rakaat kedua. Rasulullah (saw) berdiri dalam saf mengerjakan rakaat kedua dengan jamaah. Ketika Abdurrahman bin Auf (ra) mengucapkan salam dan Rasulullah (saw) berdiri untuk menyempurnakan rakaat shalatnya yang tertinggal maka hal itu membuat umat Muslim khawatir dan mereka mulai banyak-banyak bertasbih. Ketika Rasulullah (saw) menyelesaikan shalatnya maka beliau menghadap pada jamaah dan bersabda, أَحْسَنْتُمْ – أَوْ قَالَ: أَصَبْتُمْ – ، يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوُا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا ‘Kalian sudah melakukan hal yang tepat.’”[6]

Maksudnya, beliau (saw) bersabda bahwa apa yang mereka lakukan sudah bagus. Rasulullah (saw) memperlihatkan kecemburuannya pada mereka karena mereka mengerjakan shalat tepat waktu sehingga beliau bersabda bahwa apa yang mereka lakukan sudah bagus.

Hadhrat Mughirah menerangkan, فَأَرَدْتُ تَأْخِيرَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعْهُ “Ketika kami sampai di situ tadinya saya ingin menyuruh Abdurrahman bin Auf ke belakang.” Maksudnya, ketika Hadhrat Mughirah dan Rasulullah (saw) sampai di situ. “Tapi Rasulullah (saw) bersabda, ‘Biarlah dia mengimami shalat.’”[7]

Setelah shalat Rasulullah (saw) bersabda, مَا قُبِضَ نَبِيُّ قَطُّ حَتَّى يُصَلِّيَ خَلْفَ رَجُلٍ صَالِحٍ مِنْ أُمَّتِهِ ‘maa qubidha nabiyyun qaththu hatta yushalliya khalfa rajulin shaalihin min ummatihi.’ – ‘Di dalam hidup setiap Nabi pasti pernah shalat di belakang lelaki shaleh dari umatnya.’”[8]

Rasulullah (saw) menganugerahkan satu kehormatan lagi pada beliau. Beliau (saw) tidak hanya bersabda, “Anda sudah melakukan hal yang bagus dengan mengimami shalat.” Bahkan, beliau juga bersabda, “Dengan shalatnya saya di belakang Anda membuktikan bahwa Anda adalah orang yang shaleh.”

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) biasa shalat panjang-panjang sebelum Zhuhur. Artinya, beliau (ra) biasa mengerjakan nafal. Begitu mendengar azan beliau segera datang untuk shalat berjamaah.

Seorang rawi meriwayatkan bahwa saya melihat Abdurrahman bin Auf (ra) sedang tawaf di Ka’bah dan berdoa, اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ Allahumma qinii syuhha nafsii…’ – “Ya Allah!hilangkanlah dari jiwa hamba sifat bakhil...[9]

Hadhrat Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa pada tahun Hadhrat Umar (ra) baru menjadi Khalifah, beliau (ra) menunjuk Abdurrahman bin Auf (ra) sebagai Amirul Hajj (pemimpin rombongan Haji).

Abu Salamah bin Abdurrahman meriwayatkan, شَكَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عوف إلى رسول الله. ص. كَثْرَةَ الْقُمَّلِ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْذَنُ لِي أَنْ أَلْبَسَ قَمِيصًا مِنْ حَرِيرٍ؟ قَالَ فَأَذِنَ لَهُ. “Suatu kali Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) datang pada Rasulullah (saw) untuk mengadukan tentang banyaknya kutu. Beliau (ra) bertanya, ‘Ya Rasulullah (saw)! Apakah engkau mengizinkanku memakai pakaian dari sutera?’

Pada umumnya saat itu biasa digunakan pakaian dari katun sederhana. Saat itu karena suatu hal mungkin muncul banyak kutu di kepala beliau yang tidak kunjung hilang. Itulah sebabnya saat itu beliau (ra) minta izin untuk memakai pakaian dari sutera karena dengan itu sedikit bisa terhindar dari kutu.

Rasulullah (saw) mengizinkannya dan bersabda, ‘Baiklah! Silahkan pakai.’

فَلَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبُو بَكْرٍ وَقَامَ عُمَرُ أَقْبَلَ بِابْنِهِ أَبِي سَلَمَةَ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ مِنْ حَرِيرٍ فَقَالَ عُمَرُ: Ketika Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakar (ra) telah wafat dan Hadhrat Umar (ra) menjadi Khalifah maka Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) bersama anaknya yakni Abu Salma datang pada Hadhrat Umar ra. Saat itu Abu Salamah memakai baju dari sutera. Hadhrat Umar (ra) bersabda, مَا هَذَا؟ ‘Apa yang kamu pakai ini?’ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي جَيْبِ الْقَمِيصِ فَشَقَّهُ إِلَى سُفْلِهِ Kemudian Hadhrat Umar (ra) memegang kerah baju Abu Salamah dan merobek bajunya.

Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) berkata pada Hadhrat Umar ra, مَا عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحَلَّهُ لِي؟ ‘Apakah engkau tidak tahu bahwa Rasulullah (saw) telah mengizinkan saya (untuk memakai pakaian dari sutra)?’

Hadhrat Umar (ra) bersabda, إِنَّمَا أَحَلَّهُ لَكَ لأَنَّكَ شَكَوْتَ إِلَيْهِ الْقُمَّلَ فَأَمَّا لِغَيْرِكَ فَلا ‘Rasulullah (saw) mengizinkan anda karena anda menyampaikan pada beliau tentang kutu. Izin ini tidak untuk siapapun selain anda.’”[10]

Sa’d bin Ibrahim (عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ) meriwayatkan bahwa Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) biasa memakai sebuah selendang atau suatu kali beliau memakai sebuah selendang seharga 400 atau 500 dirham.

Hal itu artinya keadaan beliau sedemikian rupa sehingga beliau juga memakai pakaian yang mahal. Lihatlah karunia Allah Ta’ala pada beliau ra; ketika hijrah beliau (ra) tidak punya apa-apa. Tapi setelah itu beliau (ra) memakai pakaian yang paling mahal dan menghasilkan harta yang tak terhitung jumlahnya.

لَمَّا نَزَلَ بِأَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ الْوَفَاةُ دَعَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ، فَقَالَ: Di saat masa-masa akhir hidupnya Hadhrat Abu Bakar (ra) menetapkan Hadhrat Umar (ra) sebagai khalifah setelah beliau. Ketika Hadhrat Abu Bakar (ra) hendak mewasiyatkan itu maka beliau memanggil Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra. Beliau (ra) bersabda pada Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra, أَخْبِرْنِي عَنْ عُمَرَ “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”

Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) berkata, يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ، هُوَ وَاللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ رَأْيِكَ فِيهِ مِنْ رَجُلٍ، وَلَكِنْ فِيهِ غِلْظَةٌ ‘Yaa Khalifata Rasulillaahi, huwa waLlahi afdhalu min ra-yika fihi min rajulin, wa laakin fiihi ghilzhatun.’ – “Wahai Khalifah Rasul! Sesuai dengan penilaian Anda, dia lebih mulia dari pada yang lain. Tapi di dalam sifatnya agak keras.”

Hadhrat Abu Bakar (ra) bersabda, ذَلِكَ لأَنَّهُ يَرَانِي رَقِيقًا “Sifat keras ini muncul karena dia melihat kelembutan saya.” Maksudnya, “Saya sangat lembut. Itulah sebabnya dia bersikap keras supaya terdapat keseimbangan.”

Kemudian Hadhrat Abu Bakar (ra) bersabda, وَلَوْ أُفْضِيَ الأَمْرُ إِلَيْهِ لَتَرَكَ كَثِيرًا مِمَّا هُوَ عَلَيْهِ “Ketika segala urusan berada di pundaknya maka dia akan meninggalkan kebanyakan sifat kerasnya. Kamu tidak akan melihat lagi sifat kerasnya.”

Kemudian beliau (ra) bersabda, وَيَا أَبَا مُحَمَّدٍ قَدْ رَمَقْتُهُ، فَرَأَيْتُنِي إِذَا غَضِبْتُ عَلَى الرَّجُلِ فِي الشَّيْءِ أَرَانِي الرِّضَا عَنْهُ، وَإِذَا لِنْتُ لَهُ أَرَانِي الشِّدَّةَ عَلَيْهِ، “Wahai Abu Muhammad! Saya benar-benar telah mengamatinya bahwa ketika saya marah dalam sebuah urusan – yakni Hadhrat Abu Bakar (ra) bersabda bahwa ketika saya marah karena suatu hal – maka Umar memberikan masukan untuk tidak marah.” Artinya, saat itu masukan Hadhrat Umar bersifat lembut. “Kemudian ketika saya bersikap lembut atas sesuatu hal maka dia memberi masukan untuk bersikap keras.”

Kemudian Hadhrat Abu Bakar (ra) bersabda, لا تَذْكُرْ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ مِمَّا قُلْتُ لَكَ شَيْئًا “Wahai Abu Muhammad! Apa yang saya katakan padamu ini, jangan kamu sampaikan pada siapapun.”

Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) berkata, نَعَمْ “Baik.”[11]

Setelah Fath Makkah, ketika Rasulullah (saw) mengirim delegasi-delegasi ke berbagai penjuru, maka beliau (ra) mengirim Hadhrat Khalid bin Walid (ra) ke Banu Jadzimah (بنو جذيمة). Di zaman jahiliah Banu Jadzimah membunuh ayahanda Hadhrat Abdurrahman bin Auf ra yaitu ‘Auf bin Abdu ‘Auf (عوف بن عبد عوف) dan paman Hadhrat Khalid bin Walid bin al-Mughirah yaitu al-Fakih bin al-Mughirah (الْفَاكِهَ بْنَ الْمُغِيرَةِ). Tidak sengaja salah seorang dari Kabilah itu terbunuh oleh Hadhrat Khalid bin Walid ra.

Ketika Rasulullah (saw) mengetahui hal ini maka beliau (saw) tidak menyukainya. Beliau (saw) juga membayar diyatnya dan membayar apapun yang diambil Hadhrat Khalid bin Walid dari mereka.

Ketika Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) mengetahui perbuatan Hadhrat Khalid bin Walid itu maka beliau (ra) berkata pada Hadhrat Khalid bin Walid, إنَّما قتلتهم لأنهم قتلوا عمك “Apakah kamu membunuhnya karena mereka membunuh pamanmu?”

Hadhrat Khalid (ra) menjawab dengan tegas, إنَّما قتلوا أباك “Mereka juga membunuh ayahmu.” Kemudian Hadhrat Khalid (ra) menambahkan, تستطيلون علينا بأيام سبقتمونا بها “Kamu ingin memperpanjang hari-hari ini.” Hal itu artinya, “Kamu ingin mengambil keuntungan dari hal ini. Kamu beriman lebih dulu dari kami – kamu termasuk orang yang beriman di masa awal – yang membuatmu menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar sehingga kamu berkata seperti ini padaku.”

Terkait:   Khotbah Idul Adha: Esensi Pengorbanan adalah Ketakwaan

Perihal Hadhrat Khalid sedikit menunjukan rasa marah dan ketidaksenangan sampai pada Rasulullah (saw). Ketika telah demikian maka beliau (saw) bersabda, دعوا لي أصحابى، فو الّذي نفسي بيده لو أنفق أحدكم مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ولا نصيفه “Biarkanlah para sahabat-sahabat saya (jangan sakiti para sahabat saya). Saya bersumpah demi Dzat yang nyawa saya berada dalam genggaman-Nya, kalaupun diantara kalian ada yang membelanjakan emas sebesar gunung Uhud, hal itu tidak bisa menyamai pengorbanan harta mereka yang sederhana sekalipun.’”[12]

Maqom (kedudukan) mereka begitu tinggi. Pengorbanan orang-orang awal ini sangat banyak; mereka tidak bisa ditandingi.

Rasulullah (saw) bersabda tentang Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) bahwa, سيد من سادات المسلمين “Dia adalah pemimpin bagi para pemimpin umat Islam.”[13]

Beliau (saw) juga bersabda, عَبْد الرحمن بن عوف أمين في السماء، أمين فِي الأرض “Abdurrahman di langit pun amiin (orang yang dapat dipercaya) dan di bumi pun juga amiin.”[14]

Suatu kali Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) sakit keras sehingga beliau tak sadarkan diri. Istri beliau berteriak. Artinya, keadaan beliau demikian memburuk sehingga dalam keadaan sedih beliau berteriak. Kemudian setelah beliau (ra) mulai membaik, yakni ketika keadaan kesehatan beliau sudah pulih beliau berkata, صَدَقْتُم! انْطَلَقَ بِي فِي غَشْيَتِي رَجُلاَنِ، أَجِدُ فِيْهِمَا شِدَّةً وَفَظَاظَةً، فَقَالاَ: انْطَلِقْ نُحَاكِمْكَ إِلَى العَزِيْزِ الأَمِيْنِ، فَانْطَلَقَا بِي حَتَّى لَقِيَا رَجُلاً. “Ketika saya tidak sadarkan diri datanglah dua orang kepada saya. Saat itu saya melihat pemandangan bahwa ada dua orang datang pada saya dan berkata, ‘Mari kita putuskan tentang engkau di hadapan Dzat Yang Ghalib (Perkasa) dan Amiin (Terpercaya).’

Kedua orang itu bertemu dengan orang yang ketiga dan orang yang ketiga itu berkata, خَلِّيَا عَنْهُ فَإِنَّهُ مِمَّنْ كُتِبَتْ لَهُ السَّعَادَةُ وَهُوَ فِي بَطْنِ أُمِّهِ  ‘Jangan bawa dia karena dia sudah bernasib baik semenjak dari perut ibu.’”[15] Inilah pemandangan yang dilihat oleh Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) tentang dirinya.

Naufal bin Iyas al-Hudzali (نوفل بن إياس الهُذَلي) meriwayatkan, كان عبد الرحمن بن عوف لنا جَلِيسًا، ونعم الجليس، فانقلب بنا ذات يَوْم إلى منزله فدخل فاغتسل؛ ثم خرج فأتانا بقَصْعَة فيها خبز ولحم، ثم بكى، فقلنا: “Hadhrat Abdurrahman bin Auf (ra) bisa duduk di majlis kami. Beliau (ra) adalah teman terbaik. Suatu hari beliau mengajak kami ke rumahnya. Setelah mandi beliau keluar dan membawakan kami sebuah panci berisi roti dan daging. Kemudian entah kenapa beliau tiba-tiba menangis. Kami bertanya, ما يُبْكيك يا أبا محمد؟ ‘maa yubkiika yaa Aba Muhammad!? – ‘Wahai Abu Muhammad! Apa yang membuat Anda menangis?

Beliau berkata, مات رسولُ الله صَلَّى الله عليه وسلم ولم يشبع هو وأهله من خُبز الشعير ‘Rasulullah (saw) meninggalkan dunia ini dalam keadaan beliau dan keluarga beliau tidak bisa (makan) roti dari biji jelai (جو) dengan kenyang.’ Maksudnya, roti dari biji jelai (جو) pun tidak diperoleh dengan cukup.

Kemudian beliau bersabda, ولا أرانا أُخِّرْنا لما هو خَيْرٌ لنا ‘Saya tidak berpikir bahwa apa yang kita dapatkan di akhir (kemudian) adalah lebih baik untuk kita.’”[16]

Itu artinya, “Kesempatan yang kita dapatkan untuk hidup sekian lama, apakah lebih baik untuk kita atau justru cobaan atau ujian bagi kita.”

Inilah ikatan emosional para sahabat. Maksudnya, ini adalah pernyataan rasa takut pada Allah serta perasaan mereka untuk Rasulullah (saw) dan keluarga beliau. Gejolak kecintaan ini tidak hanya terbatas kepada Rasulullah dan Ahli bait beliau (saw) saja, bahkan hal itu terlihat juga diantara sesama para sahabat. Suatu ketika Hadhrat Abdurrahman Bin Auf dibawakan makanan untuk buka puasa dan beragam makanan terhidang, ketika beliau mengangkat satu suapan dan akan memasukkannya ke dalam mulut, beliau menangis lalu menurunkan tangannya lagi dan berkata, قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي ، كُفِّنَ فِي بُرْدَةٍ : إِنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلاَهُ ، وَإِنْ غُطِّيَ رِجْلاَهُ بَدَا رَأْسُهُ ، وَأُرَاهُ “Hadhrat Mush’ab bin Umair telah syahid pada perang Uhud dan beliau lebih baik dari saya. Beliau dikafani dengan satu kain yang tidak mencukupi untuk menutup jenazahnya. Jika kepalanya ditutupi dengan kain itu maka kedua kakinya terlihat dan jika kedua kakinya ditutup maka kepalanya tampak terlihat.”

Beliau juga berkata, وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنْ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنْ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا “Hadhrat Hamzah pun telah syahid. Beliau lebih baik dari saya, namun kepada kita telah dianugerahkan kelapangan harta dan kemudahan dan kita mendapatkan bagiannya. Saya khawatir jangan sampai ganjaran atas kebaikan kita telah sepenuhnya didapatkan segera di dunia ini.” Setelah itu Hadhrat Abdur Rahman menangis lalu meninggalkan hidangan. [17]

Seperti itulah rasa takut dan kekhawatiran mereka kepada Allah Ta’ala.

Ummul Mukminin Hadhrat Ummu Salamah meriwayatkan (عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ) bahwa Hadhrat Abdurrahman Bin auf pernah datang dan berkata, يَا أُمَّهْ، قَدْ خِفْتُ أَنْ يُهْلِكَنِيَ كَثْرَةُ مَالِي، أَنَا أَكْثَرُ قُرَيْشٍ مَالا “Wahai Ibuku! Saya khawatir jangan sampai banyak harta membuat saya binasa karena saya adalah orang yang paling kaya di kalangan Quraisy.”[18]

Hadhrat Ummu Salamah menjawab, يَا بُنَيَّ، أَنْفِقْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم يقول: “Wahai anakku! Belanjakanah hartamu.” Maksudnya, membelanjakan di jalan Allah. “Dengan demikian tidak akan binasa karena saya pernah mendengar Rasulullah (saw) telah bersabda, إن من أصحابى مَنْ لا يَرَانِي بَعْدَ أَنْ أُفَارِقَهُ ‘Ada beberapa sahabat saya yang tidak dapat melihat saya lagi setelah saya berpisah dengan mereka.’” Artinya, sebagian orang tidak akan sampai pada maqom (kedudukan) itu.

فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَلَقِيَ عُمَرَ، وَأَخْبَرَهُ، فَجَاءَ عُمَرُ فَدَخَلَ عَلَيْهَا، فَقَالَ:  Ketika Hadhrat Abdurrahman bin Auf keluar untuk pulang, beliau (ra) berjumpa dengan Hadhrat Umar (ra) di jalan lalu beliau menceritakan hal tadi kepada Hadhrat Umar. Hadhrat Umar (ra) sendiri berangkat menemui Hadhrat Ummu Salamah dan berkata, باللَّه مِنْهُمْ أَنَا؟ “Saya bertanya kepada anda dengan bersumpah atas nama Allah, mohon anda jawab, apakah saya termasuk diantara orang yang disebutkan tadi?”

Hadhrat Ummu Salamah bersabda: لا والله، ولن أبرئ أحدا بعدك “Tidak! Anda tidak termasuk diantara orang yang dimaksud. Namun setelah Anda saya tidak dapat mengatakan apa-apa mengenai seseorang, apakah mereka akan dapat berjumpa dengan Rasulullah nantinya atau tidak.”[19] Artinya, tidak dapat mengatakan mengenai siapapun dengan yakin, apakah dapat melihat Rasululah (saw) ataukah tidak.

Namun perlu diketahui seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Hadhrat Abdurrahman Bin Auf termasuk Asyrah Mubasyarah yaitu golongan yang telah dikabarsukakan masuk surga oleh Rasulullah (saw). Namun meskipun demikian, sedemikian besarnya rasa takut yang terdapat dalam hati mereka kepada Allah Ta’ala sehingga setiap saat selalu khawatir dan setelah mendengar kabar tersebut dari Hadhrat Ummu Salamah (radhiyallahu ’anha), beliau langsung bersedekah khairaat.

Dalam satu riwayat, Hadhrat Abdullah Bin Abbas meriwayatkan, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغَ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الأَجْنَادِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَأَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّامِ “Suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab pergi menuju Syam dan sampai di Sargh.”

Sargh adalah nama sebuah desa di lembah Tabuk, dekat perbatasan Hijaz yang berjarak 13 malam perjalanan dengan menggunakan kendaraan pada masa itu.

“Saat itu beliau berjumpa dengan para Amir (Komandan) tentara yaitu Hadhrat Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah dan kawan-kawannya.”

Kisah ini terjadi pada 18 Hijri di masa kekhalifahan Hadhrat Umar setelah penaklukan Syam.

“Para komandan perang itu menginformasikan kepada khalifah bahwa kota yang akan ditujunya telah menjadi pusat wabah penyakit thaun. Hadhrat Umar berkata, ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ ‘Panggillah kalangan Muhajirin awal untuk bermusyawarah!’

فَدَعَاهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْوَبَأَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَاخْتَلَفُوا فَقَالَ بَعْضُهُمْ قَدْ خَرَجْتَ لأَمْرٍ وَلاَ نَرَى أَنْ تَرْجِعَ عَنْهُ ‏.‏ وَقَالَ بَعْضُهُمْ مَعَكَ بَقِيَّةُ النَّاسِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلاَ نَرَى أَنْ تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَبَإِ ‏ Namun ada perbedaan pendapat diantara mereka. Satu perwakilan Muhajirin berpendapat, ‘Kita hendaknya jangan mundur.’ Artinya, tetap melanjutkan perjalanan. Perwakilan lain mempertimbangkan, ‘Anda membawa rombongan yang di dalamnya terdapat para sahabat Rasulullah (saw). Saya tidak sependapat jika Anda membawa mereka pada wabah ini. Lebih baik kembali pulang.’

Hadhrat Umar mengutus Muhajirin dan memanggil kaum Anshar, namun seperti halnya Muhajirin, terjadi beda pendapat di kalangan Anshar. Hadhrat Umar mengutus para Anshar dan bersabda, ادْعُ لِي مَنْ كَانَ هَا هُنَا مِنْ مَشْيَخَةِ قُرَيْشٍ مِنْ مُهَاجِرَةِ الْفَتْحِ ‘Panggillah para sesepuh dari kalangan Quraisy yang pada saat Fath Makkah menerima Islam dan berhijrah (pindah) ke Madinah.’

Mereka memberikan musyawarah dengan suara bulat bahwa rombongan sebaiknya kembali pulang karena di tempat tujuan wabah tengah menjangkit. Hadhrat Umar (ra) pun setuju dan mengumumkan untuk kembali pulang.

Hadhrat Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah pada saat itu bertanya, أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ ‘Mungkinkah kita dapat menghindari takdir Allah?’

Hadhrat Umar bersabda, لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا مُخْصِبَةٌ وَالأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصِبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ “Wahai Abu Ubaidah! Andai saja yang mengatakan ini selain Anda. Memang kita akan menghindar dari satu takdir Allah menuju satu takdir Allah lainnya. Jika Anda memiliki unta lalu Anda membawa unta tersebut ke sebuah lembah yang di dalamnya terdapat dua bagian. Bagian pertama area yang hijau dengan rerumputan sedangkan bagian yang kedua gersang, itu pun takdir Allah. Dengan demikian, takdir Allah memberikan Anda dua pilihan. Pertama, area tempat makan ternak dan yang kedua area yang sama sekali gersang. Coba jawab, area subur karena takdir Allah dan area gersang pun karena takdir Allah yang lain. Keduanya adalah takdir Allah. Silahkan putuskan, pilihan mana yang lebih baik yang akan Anda ambil? Sudah barang tentu Anda akan membawa unta-unta Anda ke area yang hijau untuk memberi mereka makan.”

Tidak lama kemudian, datanglah Hadhrat Abdurrahman Bin Auf yang terlambat karena suatu kesibukan. Beliau berkata, إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “Saya memiliki pengetahuan akan hal ini. Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ ‘Jika kalian mendengar bahwa di suatu tempat wabah menjangkit penyakit menular, janganlah pergi ke tempat tersebut. Sementara jika kalian berada di daerah yang terjangkit wabah penyakit menular, janganlah meninggalkan tempat tersebut supaya penyakit tersebut tidak menular ke orang lain.’”[20]

Sebagaimana saat ini dunia tengah menerapkan lockdown, telah membatasi penyebaran virus sampai batas tertentu. Namun bagi daerah yang tidak menghiraukan hal itu, memberikan ruang gerak bagi virus untuk menyebar. Dalam hal ini Rasulullah (saw) telah memberitahukan prinsip dasar dalam menghadapi kejadian serupa kepada para sahabat. Lalu Hadhrat Umar memanjatkan puji sanjung kehadirat Allah ta’ala dan kembali pulang.

(عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ:) Hadhrat Miswar Bin Makhramah meriwayatkan, كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ صَحِيحٌ يُسْأَلُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ فَيَأْبَى، فَصَعِدَ يَوْمًا الْمِنْبَرَ فَتَكَلَّمَ بِكَلِمَاتٍ, وَقَالَ: “Ketika Hadhrat Umar Bin Khaththab dalam keadaan baik, disampaikan permohonan kepada beliau untuk menetapkan seseorang sebagai Khalifah. Namun, beliau selalu menolaknya. Suatu hari beliau berdiri di mimbar dan menyampaikan beberapa patah kata dengan bersabda, إِنْ مُتُّ فَأَمْرُكُمْ إِلَى هَؤُلَاءِ السِّتَّةِ الَّذِينَ فَارَقُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ : عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ , وَنَظِيرِهِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ , وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ , وَنَظِيرِهِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ , وَطَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ , وَنَظِيرِهِ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ , أَلَا وَإِنِّي أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ فِي الْحُكْمِ ، وَالْعَدْلِ فِي الْقَسْمِ ‘Jika aku mati nanti, urusan kalian akan diserahkan kepada 6 orang yang mana mereka telah ditinggalkan oleh Rasulullah dalam keadaan ridha kepada mereka. Hadhrat Ali Bin Abi Thalib dan Nazirnya, Hadhrat Zubair Bin Awwam; Hadhrat Abdurrahman Bin Auf dan Nazirnya, Hadhrat ‘Utsman Bin Affan; Hadhrat Thalhah Bin Ubaidullah dan Nazirnya, Hadhrat Sa’d bin Malik. Camkan! Kuperintahkan kalian untuk menempuh takwa kepada Allah ketika memutuskan dan adil dalam membagi.’”[21]

(عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ قَالَ :) Abu Ja’far meriwayatkan, قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِأَصْحَابِ الشُّورَى: “Hadhrat Umar Bin Khaththab mengatakan kepada anggota Syura, تَشَاوَرُوا فِي أَمْرِكُمْ, فَإِنْ كَانَ اثْنَانِ وَاثْنَانِ فَارْجِعُوا فِي الشُّورَى , وَإِنْ كَانَ أَرْبَعَةٌ وَاثْنَانِ فَخُذُوا صِنْفَ الْأَكْثَرِ ‘Bermusyawarahlah dalam urusan kalian. Jika perolehan suara 2 dan 2 maka musyawarahlah lagi. Jika perolehan suara 4 dan 2 maka pilihlah yang suara terbanyak.’”

(أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عُمَرَ قَالَ :) Zaid Bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya bahwa Hadhrat Umar bersabda, وَإِنِ اجْتَمَعَ رَأْيُ ثَلَاثَةٍ وَثَلَاثَةٍ فَاتَّبَعُوا صِنْفَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا “Jika perolehan suara 3 dan 3 maka dengarkan pihak yang di dalamnya terdapat Abdurrahman Bin Auf dan taatlah padanya.”

  (عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ يَرْبُوعَ) Abdurrahman Bin Said meriwayatkan, أَنَّ عُمَرَ حِينَ طُعِنَ قَالَ: “Ketika Hadhrat Umar terluka, beliau bersabda, لِيُصَلِّ لَكُمْ صُهَيْبٌ ثَلَاثًا , وَتَشَاوَرُوا فِي أَمْرِكُمْ , وَالْأَمْرُ إِلَى هَؤُلَاءِ السِّتَّةِ فَمَنْ بَعَلَ أَمْرَكُمْ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ , يَعْنِي مَنْ خَالَفَكُمْ ‘Shuhaib akan memimpin shalat diantara kalian.’ Artinya, Hadhrat Suhaib ditetapkan sebagai Imam Shalat. Beliau mengatakan hal itu tiga kali. ‘Bermusyawarahlah dalam urusan kalian dan urusan tersebut diserahkan kepada enam orang tersebut. Jika ada orang yang menentang keputusannya maka tebaslah lehernya.’”[22]

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (shallaLlahu ‘alaihi wa sallam) (Manusia-Manusia Istimewa seri 45)

Hal ini berarti, jika dilakukan pemilihan Khalifah nanti, serahkanlah kepada keenam orang tersebut. Selama belum terpilih Khalifah, Hadhrat Shuhaib yang bertindak sebagai Imam Shalat.

(عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ :) Hadhrat Anas Bin Malik meriwayatkan, أَرْسَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى أَبِي طَلْحَةَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِسَاعَةٍ ، فَقَالَ : يَا أَبَا طَلْحَةَ ، كُنْ فِي خَمْسِينَ مِنْ قَوْمِكَ مِنَ الأَنْصَارِ مَعَ هَؤُلاَءِ النَّفَرِ أَصْحَابِ الشُّورَى، ولا تَتْرُكْهُمْ يَمْضِي الْيَوْمُ الثَّالِثُ حَتَّى يُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمُ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ خَلِيفَتِي عَلَيْهِمْ.  “Beberapa saat sebelum kewafatannya Hadhrat Umar mengirimkan pesan kepada Hadhrat Abu Thalhah dengan bersabda, ‘Abu Thalhah! Bawalah 50 orang dari antara kaum Anshar kepada enam orang anggota Syura tadi. Jangan tinggalkan mereka sampai tiga hari sebelum mereka menetapkan seorang Amir (Khalifah) diantara mereka. Allahumma Anta Khalifatii ‘alaihim – Ya Allah! Engkau adalah Khalifah hamba atas mereka.’”[23]

(عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ) Ishaq Bin Abdillah bin Abu Thalhah meriwayatkan, وَافَى أَبُو طَلْحَةَ فِي أَصْحَابِهِ سَاعَةَ قَبْرِ عُمَرَ فَلَزِمَ أَصْحَابَ الشُّورَى , فَلَمَّا جَعَلُوا أَمْرَهُمْ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ يَخْتَارُ لَهُمْ مِنْهُمْ , لَزِمَ أَبُو طَلْحَةَ بَابَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ بِأَصْحَابِهِ حَتَّى بَايَعَ عُثْمَانَ “Hadhrat Abu Thalhah dan kawan-kawannya berhenti di kuburan Hadhrat Umar untuk beberapa saat. Setelah itu mereka menyertai para sahabat anggota Syura. Setelah anggota Syura menyerahkan urusannya kepada Hadhrat Abdurrahman bin Auf bahwa beliau diberikan wewenang untuk menetapkan Amir kepada siapapun, sampai saat itu Hadhrat Abu Thalhah dan kawan-kawannya berjaga di pintu rumah Hadhrat Abdurrahman Bin Auf sebelum baiat kepada Hadhrat ‘Utsman (ra).”

(عَنْ سَلَمَةَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ :) Hadhrat Salamah Bin Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf meriwayatkan dari ayahnya, أَوَّلُ مَنْ بَايَعَ لِعُثْمَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ثُمَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ. “Hadhrat Abdurrahman Bin Auf adalah yang pertama kali baiat kepada Hadhrat ‘Utsman (ra) lalu Hadhrat Ali bin Abu Thalib (ra).”

(حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ عَمِيرَةَ بْنِ هُنَيٍّ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ , عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ :) Bekas budak Hadhrat Umar bernama Umar Bin Umairah meriwayatkan dari kakeknya, أَنَا رَأَيْتُ عَلِيًّا بَايَعَ عُثْمَانَ أَوَّلَ النَّاسِ ، ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَبَايِعُوا “Hadhrat Ali (ra) adalah yang pertama kali baiat kepada Hadhrat ‘Utsman lalu diikuti oleh semua orang.”

Dalam satu riwayat Bukhari tertulis bahwa Ketika Hadhrat Umar berdiri mengucapkan takbir untuk memulai shalat, saat itu terjadi serangan pembunuhan terhadap beliau. Dalam keadaan luka, Hadhrat Umar (ra) memegang tangan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf lalu memintanya untuk mengimani shalat menggantikan beliau. Kemudian Hadhrat Abdurrahman Bin Auf memimpin shalat dengan singkat.[24]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan peranan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf pada peristiwa pemilihan khalifah Hadhrat ‘Utsman. Sebelumnya telah ada dua riwayat yang mana hanya pada satu tempat terdapat perbedaan sedangkan selebihnya sama. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika Hadhrat Umar terluka dan merasa saat-saat terakhir beliau telah tiba, beliau membuat wasiat mengenai enam orang yang akan memilih salah satu diantara mereka sendiri untuk menjadi Khalifah. Enam orang itu adalah Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Ali, Hadhrat Abdurahman bin Auf, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hadhrat Zubair dan Hadhrat Thalhah (radhiyallahu ‘anhum). Seiring dengan itu Hadhrat Umar pun memerintahkan, يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ “Abdullah bin Umar akan ikut dalam Dewan Pemilihan ini sebagai pemberi saran namun hendaknya ia tidak dicalonkan menjadi Khalifah.”

Beliau (Hadhrat ‘Umar ra) mewasiatkan supaya Dewan Pemilihan tersebut memutuskan dalam tiga hari dan beliau menetapkan Shuhaib bin Sinan sebagai imam shalat dalam waktu tiga hari tersebut.

Beliau juga menetapkan Miqdad bin Aswad sebagai pengawas Dewan Pemilihan lalu memerintahkan padanya: ‘Kumpulkan para anggota Dewan Pemilihan tersebut di satu tempat. Tegaskanlah pada mereka untuk memutuskan. Kamu sendiri berjaga di dekat pintu dengan membawa pedang.’”[25]

Pada riwayat yang saya sebut terdahulu telah saya sampaikan mengenai perintah Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Hadhrat Thalhah untuk menjaga rapat Dewan pemilihan Khalifah. Akan tetapi, kesimpulan yang Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) ambil berdasarkan riwayat dari berbagai rujukan, tugas pengawasan tersebut diserahkan kepada Miqdad Bin Aswad untuk mengawasi selama pemilihan Khilafat.

Beliau (Hadhrat ‘Umar ra) bersabda, ‘Siapa pun yang mendapat suara terbanyak, para anggota lainnya harus baiat kepada orang terpilih itu. Jika ada anggota yang menentang keterpilihannya, bunuhlah ia. Namun jika suara terbagi dua dan berjumlah sama yaitu masing-masing tiga suara, Abdullah bin Umar boleh memberikan saran mengenai siapa yang menjadi Khalifah. Jika keputusan tersebut tidak disetujui para anggota, siapapun yang dipilih oleh Abdurahman bin Auf-lah yang akan menjadi Khalifah.’[26]

Akhirnya, kelima sahabat tadi bermusyawarah karena saat itu Thalhah sedang berada di luar Madinah. Namun, mereka tidak menghasilkan satu keputusan.

Setelah berdiskusi panjang, Abdurahman bin Auf berkata, ‘Siapa yang ingin menarik namanya, silakan.’

Ketika semuanya terdiam, Hadhrat Abdurahman bin Auf berkata, فَأَنَا أَنْخَلِعُ مِنْهَا، فَقَالَ عُثْمَانُ: أَنَا أَوَّلُ مَنْ رضى ‘Saya adalah orang pertama yang akan menarik nama.’ Hal ini lalu diikuti Hadhrat ‘Utsman dan kedua sahabat lainnya. Hadhrat Ali tetap terdiam.

Akhirnya, para anggota Dewan Pemilihan mengambil janji dari Hadhrat Abdurahman bin Auf bahwa beliau tidak akan berat sebelah dalam memutuskan nanti. Hadhrat Abdurrahman berjanji demikian. Para anggota Dewan Pemilihan menyerahkan semua tugas dan tanggungjawab kepada Hadhrat Abdurahman bin Auf dalam hal keputusan penetapan siapa yang akan menjadi Khalifah.

Selama tiga hari Hadhrat Abdurahman bin Auf (ra) berkeliling Madinah mengunjungi tiap rumah. Beliau menanyakan kepada setiap penduduk, baik pria maupun wanita mengenai siapa yang paling tepat mendapatkan jabatan Khalifah. Semuanya memperlihatkan persetujuannya atas Khilafat Hadhrat ‘Utsman. Selanjutnya, beliau (Hadhrat Abdurahman bin Auf) memberikan keputusannya terhadap Hadhrat ‘Utsman sebagai Khalifah dan Hadhrat ‘Utsman pun menjadi Khalifah.”[27]

Terdapat satu riwayat lainnya lagi namun cukup panjang yang insya Allah akan saya sampaikan pada tema Hadhrat Abdurrahman Bin Auf nantinya. Bisa juga disampaikan pada bahasan terpisah insya Allah. Atau mungkin saja, riwayat panjang tersebut disampaikan pada tema khilafat Hadhrat Usman (ra) atau kehidupan Hadhrat Umar (ra). Masih ada beberapa bagian lagi riwayat hidup, kebaikan dan sirat Hadhrat Abdurrahman Bin Auf (ra). Insya Allah akan disampaikan pada khotbah yang akan datang.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Saifullah Mubarak Ahmad (Qadian, Bharat/India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: Website www.islamahmadiyya.net


[1] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Wakaalah (كتاب الوكالة), (باب إِذَا وَكَّلَ الْمُسْلِمُ حَرْبِيًّا فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوْ فِي دَارِ الإِسْلاَمِ، جَازَ)

[2] Thabari. ‘Abdu ‘Amru artinya hamba ‘Amru.

[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[4] Tarikh ath-Thabari.

[5] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[6] Mushannaf Abdurrazzaq (مصنّف عبد الرزاق), (كِتَابُ الطَّهَارَةِ ), (بَابُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ). Shahih Muslim, Kitab tentang shalat, bab jika Jamaah Shalat mengedepankan seseorang karena Imam terlambat datang (باب تقديم الجماعة من يصلي بهم إذا تأخر الإمام ولم يخافوا مفسدة بالتقديم).

[7] Shahih Muslim, Kitab tentang shalat, bab jika Jamaah Shalat mengedepankan seseorang karena Imam terlambat datang (باب تقديم الجماعة من يصلي بهم إذا تأخر الإمام ولم يخافوا مفسدة بالتقديم).

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[9] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab oleh Ibn Abdul Barri, bagian mengenai Tamyiizil Ashhaab, bab ‘Abdurrahman bin Auf; Do’a ini diambil dari firman Allah Ta’ala dalam surat Ath Taghabun, وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah yang beruntung”

[10] Ath-Thabaqaat al-Kubra.

[11] Thabari bab mengenai (ذكر أسماء قضاته وكتابه وعماله على الصدقات) bahasan mengenai pelantikan Khalifah ‘Umar (ذكر استخلافه عمر بن الخطاب) riwayat dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf (عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ).

[12] Usdul Ghaabah. Tercantum juga dalam Ar-Rauḍul-Anf, By Imām Abul-Qāsim ‘Abdur-Raḥmān Suhailī: مَهْلًا يَا خَالِدُ دَعْ عَنْك أَصْحَابِي، فَوَاَللهِ لَوْ كَانَ لَك أُحُدٌ ذَهَبًا ثُمّ أَنْفَقْته فِي سَبِيلِ اللهِ مَا أَدْرَكْت غُدْوَةَ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِي وَلَا روحته.

[13] Kitab biografi para Sahabat Al-Isti’aab fi ma’rifatil Ash-haab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) karya Ibnu Abdil Barr.

[14] Abū Nuʿaym al-Aṣbahānī (d. 1038 CE) dalam Kitabnya, – Maʿrifat al-ṣaḥāba (أبو نعيم الأصبهاني – معرفة الصحابة). Dari Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf pernah berkata kepada para anggota Syura, هَلْ لَكُمْ أَنْ أَخْتَارَهُ لَكُمْ وَأَتَفَضَّى مِنْهَا؟ “Apakah kalian rela kupilihkan bagi kalian?” فَقَالَ عَلِيٌّ : أَنَا أَوَّلُ مَنْ رَضِيَ ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : Ali berkata, “Saya yang pertama ridha. Saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, أَنْتَ أَمِينٌ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ وَأَمِينٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ ‘Engkau Abdurrahman di langit pun amiin (orang yang dapat dipercaya) dan di bumi pun juga amiin.’”

[15] Riwayat dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf (عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ) dalam kitab Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. tercantum juga dalam Kitab Siyaar A’lamin Nubala (سِيَرُ أعْلام النبَلاء) karya Imam Adz-Dzahabi (الإمام الذهبي) yang menceritakan teriakan yang dimaksud ialah dengan bertakbir. Tercantum juga hal serupa dalam Mukhtashar Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir (مختصر تاريخ دمشق لابن عساكر) karya Muhammad bin Mukarram bin Ali Jamaluddin Ibnu Manzhur al-Anshaari (محمد بن مكرم بن على، أبو الفضل، جمال الدين ابن منظور الانصاري الرويفعى الإفريقى (المتوفى: 711هـ)).

[16] Kitab biografi para Sahabat Al-Isti’aab fi ma’rifatil Ash-haab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) karya Ibnu Abdil Barr.

[17] Sahih Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-maghazi atau peperangan (كتاب المغازي ), Bab Ghazwah Uhud (باب غزوة أحد ), hadis no 4045.

[18] Surah al-Ahzab ayat 7 menyebutkan, “Nabi itu lebih dekat kepada orang-orang mukmin daripada kepada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan keluarga yang sedarah adalah lebih dekat satu sama lain, menurut Kitab Allah, daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajir, kecuali jika kamu berbuat kebaikan terhadap sahabatmu. Yang demikian itu di dalam Kitab Alquran telah tertulis.”

Ummu Salamah ialah salah satu istri Nabi Muhammad (saw). Para Sahabat menyebut ‘ibu’ atau ‘ibuku’ kepada beliau-beliau. Begitu juga sebaliknya, para istri Nabi (saw) menyebut ‘anakku’ kepada setiap Muslim.

[19] Kitab biografi para Sahabat Al-Isti’aab fi ma’rifatil Ash-haab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب) karya Ibnu Abdil Barr.

[20] Muwatha karya Imam Malik, Kitab tentang Madinah (كتاب الْمَدِينَةِ). Tercantum juga sabda Nabi (saw) diatas di Kitab Shahih al-Bukhari, (كتاب الطب), bab mengenai wabah tha’un(باب مَا يُذْكَرُ فِي الطَّاعُونِ).

[21] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d bahasan mengenai Syura (ذِكْرُ الشُّورَى وَمَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِمْ)

[22] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d bahasan mengenai Syura (ذِكْرُ الشُّورَى وَمَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِمْ)

[23] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d bahasan mengenai Syura (ذِكْرُ الشُّورَى وَمَا كَانَ مِنْ أَمْرِهِمْ).

[24] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang keutamaan para Sahabat (فَضَائِلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رَآهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ مِنْ أَصْحَابِهِ), bab Kisah Bai’at ‘Utsman (بَاب قِصَّةِ الْبَيْعَةِ وَالِاتِّفَاقِ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا). Khalifah ‘Umar (ra) sebenarnya membuat kebijakan tawanan non Islam tidak boleh tinggal di Darul Khilafat (Pusat atau Markas tempat tinggal Khalifah), namun sebagian Sahabat memohon izin dibolehkan membawa tawanan non Muslim untuk dipekerjakan ke Madinah yang dengan berat hati diiznkan. Penyerang Khalifah ‘Umar (ra) saat shalat Shubuh berjamaah ialah orang Persia yang mendapat julukan Abu Lu-luah, budak Mughirah bin Syu’bah. Khalifah ‘Umar (ra) mengimami shalat dengan membaca Surah Yusuf dan An-Nahl. Setelah beliau ditikam 3 kali saat shalat itu, pelaku melarikan diri sambil membabi-buta menikam kanan dan kiri yang menimbulkan korban-korban meninggal dan luka. Kemudian, imam shalat diserahkan kepada Hadhrat ‘Abdurrahman bin ‘Auf (ra). Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Abbas (ra) mendapat tugas dari Khalifah ‘Umar untuk memeriksa identitas pelaku yang akhirnya tertangkap. Setelah dikabari, Khalifah ‘Umar bersabda diantaranya, قَاتَلَهُ اللَّهُ لَقَدْ أَمَرْتُ بِهِ مَعْرُوفًا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مِيتَتِي بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِي الْإِسْلَامَ “Alhamdu lillah Yang telah menjadikan kematianku di tangan orang bukan Islam.” Tiga hari kemudian, wafatlah Khalifah ‘Umar (ra).

[25] Al-Bidaayah wan Nihaayah (البداية والنهاية – ابن كثير – ج ٧ – الصفحة ١٦٣); Tarikh al-Kaamil karya Ibnu Atsir (الكامل في التاريخ), bab peristiwa yang terjadi pada tahun 23 Hijriyyah (ثم دخلت سنة ثلاث وعشرين):إذا وضعتموني في حفرتي فاجمع هؤلاء الرهط في بيت حتى يختاروا رجلا .. Di samping bertugas sebagai imam shalat, Hadhrat Shuhaib (ra) juga mendapat tugas dari Khalifah ‘Umar (ra) di kepanitiaan pemilihan Khalifah supaya Dewan dipastikan rapat. Abu Thalhah al-Anshari mengumpulkan 50 orang Anshar juga untuk berjaga. Tarikhul Khulafa’ karya Imam as-Suyuthi ialah yang menyebut pemisahan tugas mereka masing-masing bahwa pengawasan pemilihan berada di pundak Hadhrat Miqdad sementara Hadhrat Shuhaib sebagai Imam shalat.

[26] Tarikh ath-Thabari.

[27] Khilafat Rashida karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.