Berkat Berkelanjutan Dari Islam
Tuhan dari suatu agama yang benar harus sejalan dengan logika dan sifat alam sehingga eksistensi Wujud-Nya bisa menjadi bukti bagi mereka yang berakal namun tidak memiliki kitab samawi yang bisa mereka imani. Tuhan demikian harus terbebas dari pemaksaan citra atau kepalsuan. Kesempurnaan seperti itu menjadi ciri dari Tuhan yang dikemukakan oleh Kitab Suci Al-Quran. Para penganut agama lain sudah meninggalkan Tuhan yang asli sebagaimana yang dilakukan umat Kristen, atau mengenakan sifat-sifat rendah dan tidak patut kepada-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh para pagan (penyembah berhala) dan bangsa Arya. Tuhan dalam agama Islam adalah Tuhan yang benar yang bisa dilihat melalui cermin hukum alam dan nyata pada alam itu sendiri. Islam tidak ada menciptakan Tuhan yang baru, tetapi mengemukakan Tuhan yang sama sebagaimana digambarkan oleh nur hati dan kesadaran manusia, serta oleh langit dan bumi.”
“Sifat lain dari suatu agama yang benar adalah bahwa agama itu bukan merupakan kredoktrin yang mati. Berkat dan keagungan yang dikembangkan di dalamnya dari sejak awal, harus tetap ada sampai dengan akhir dunia, demi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Melalui tanda-tanda yang baru, bisa diteguhkan tanda-tanda di masa lalu dan dengan cara ini maka Nur kebenarannya tidak akan usang menjadi dongeng lama. Aku sudah lama selalu menulis bahwa Kenabian sebagaimana pengakuan dari Penghulu dan Junjungan kita Yang Mulia Nabi Muhammad s.a.w. serta bukti-bukti samawi dalam bentuk tanda-tanda yang beliau kemukakan, masih tetap berlaku di dalam Islam dan dikaruniakan kepada para pengikut beliau agar mereka bisa mencapai tingkat pemahaman yang sempurna dan menyaksikan Allah s.w.t. secara langsung.”
“Tanda-tanda yang katanya berasal dari Nabi Isa a.s. adalah dongeng semata dan tidak bisa ditemukan dimana pun, sehingga agama yang mengajarkan penyembahan manusia yang telah mati dengan sendirinya menjadikan agama itu sendiri mati. Kebenaran tidak bisa dibatasi hanya kepada dongeng-dongeng lama. Setiap orang memiliki segudang cerita-cerita tentang apa yang dianggapnya sebagai mukjizat dan keajaiban. Merupakan karakteristik dari Islam bahwa agama ini tidak hanya menyajikan kenyamanan dari hikayat dan dongeng, tetapi juga memberikan kepuasan batin bagi Sang pencari dengan tanda-tanda yang hidup.”
“Seorang pencari kebenaran tidak akan puas dengan penyembahan sia-sia dari sosok yang telah mati dan tidak akan menerima dongeng-dongeng rombengan. Kita ini ibarat memasuki pasaran dunia untuk membeli hanya yang terbaik saja. Kita tidak seharusnya mensia-siakan keimanan kita dengan membarternya dengan barang-barang palsu. Agama yang hidup adalah agama yang memungkinkan kita menemui Tuhan Yang Maha Hidup. Tuhan yang hidup adalah Dia yang bisa mengilhami kita secara langsung atau sekurang-kurangnya membawa kita kepada seseorang yang menerima ilham secara langsung. Aku mengumandangkan ke seluruh dunia bahwa Tuhan dari agama Islam adalah Tuhan yang hidup. Mereka yang tidak lagi bisa diajak bicara adalah karena mereka sudah mati dan jelas bukan Tuhan. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat tanda-tanda mereka pada masa ini. Ia yang tuhannya sudah mati akan dipermalukan di segala bidang, akan direndahkan dan tidak akan ditolong dengan cara apa pun.”
“Tujuanku dalam mengumumkan hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa sebuah agama yang benar tidak akan berubah. Sebagaimana adanya di awal turunnya, akan begitu juga adanya di akhir masa. Sebuah agama yang benar tidak akan pernah menjadi dongeng-dongeng kuno. Islam adalah agama yang benar dan aku menghimbau semua orang, baik Kristiani, Arya, Yahudi, Brahmo dan lain-lain untuk menyaksikan kebenaran Islam. Adakah dari antara mereka itu yang berhasrat mencari Tuhan yang hidup? Kami tidak menyembah sosok mati. Tuhan kami itu hidup. Dia menolong kami melalui ilham, wahyu dan tanda-tanda samawi. Jika ada seorang saja penganut agama Kristen yang serius memang mencari kebenaran, biarlah ia mengadakan suatu perbandingan di antara Tuhan kami yang hidup dengan tuhannya yang mati. Untuk pengujian demikian, kurun waktu empatpuluh hari kiranya memadai.” (Majmua Ishtiharat , vol. 2, hal. 310-312).