Sariyah Kurz bin Jabir r.a. & Gazwah Dzi Qarad

Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Hz. Rasulullah saw. – Sariyah Kurz bin Jabir r.a. & Gazwah Dzi Qarad

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 24 Januari 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Sedang dibahas tentang berbagai sariyah yang dilakukan pada masa Rasulullah saw.. Hari ini, dalam rangkaian ini, saya pertama akan membahas tentang Sariyah Kurz bin Jabir. Sariyah ini terjadi pada bulan Syawal tahun 6 Hijriah menuju ke arah Suku Uraniyyin. Menurut sebagian riwayat, ini adalah Sariyah Said bin Zaid, namun sebagian besar berpendapat bahwa ini adalah Sariyah Kurz bin Jabir. Ada juga yang berpendapat bahwa ini adalah Sariyah Jarir bin Abdullah, namun pendapat ini dibantah karena Jarir bin Abdullah masuk Islam empat tahun setelah Sariyah ini.

Latar belakang terjadinya sariyah ini adalah bahwa ada beberapa orang datang kepada Rasulullah saw.. Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, Kitābl Jihād dan Kitābud Diyāt, diriwayatkan dari Hz. Anas r.a. bahwa mereka adalah delapan orang dari suku Ukl dan Urainah. Menurut Ibnu Jarir dan Abu Awanah, empat orang dari mereka berasal dari Urainah, tiga dari Ukl, dan orang kedelapan bukan dari kedua suku tersebut dan tidak diketahui asalnya. Mereka datang kepada Rasulullah saw. dan berbincang-bincang tentang Islam. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa mereka telah berbaiat masuk Islam dan mereka dalam keadaan sakit. Abu Awanah menyebutkan bahwa mereka sangat lemah, warna kulit mereka sangat kuning, dan perut mereka membengkak. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kami perlindungan dan makanan.” Mereka lalu tinggal di serambi Masjid Nabawi.

Ketika mereka telah sembuh, tubuh mereka tidak cocok dengan cuaca Madinah. Yakni, penyakit dan kondisi lemah karena kelaparan memang sudah hilang, tetapi menurut mereka keadaan cuaca kota Madinah secara umum tidak cocok dengan mereka. Menurut Ibnu Ishaq, mereka mendapati cuaca yang tidak cocok sehingga menjadi lemah. Meski dari satu sisi telah sembuh dari kelemahan akibat kelaparan, namun di sisi lain muncul penyakit-penyakit lain.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa saat itu di Madinah sedang terjadi wabah yang disebut Bursam. Bursam adalah penyakit yang mempengaruhi pikiran dan menyebabkan pembengkakan di kepala dan dada. Mereka mengatakan bahwa penyakit ini telah muncul [di Madinah] dan cuaca Madinah tidak cocok dengan mereka. Mereka mengatakan, “Kami adalah peternak, bukan petani. Tolong sediakan kami susu.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Saya tidak punya apa-apa lagi, tetapi kalian bisa pergi ke unta-unta penghasil susu,” dan beliau pun mengirim mereka ke daerah padang rumput. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk pergi ke padang rumput Faifa dan Khabar. Faifa Al-Khabar adalah sebuah padang pasir dekat Madinah.

Bagaimanapun, dari riwayat ini terlihat bahwa mereka tidak tinggal lama di Madinah, melainkan segera keluar dari Madinah dan kesehatan mereka membaik setelah meminum susu unta. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengizinkan mereka untuk pergi ke unta-unta zakat agar mereka bisa meminum susunya. Maka mereka pergi ke unta-unta tersebut dan meminum susunya. Ketika mereka telah sembuh, tubuh mereka kembali normal dan perut mereka mengecil, mereka justru menjadi murtad dan menggiring unta-unta penghasil susu itu pergi. Di satu sisi ada perlakuan penuh kasih sayang dari Rasulullah saw., namun di sisi lain ada sikap mereka yang berkhianat setelah sembuh.

Diceritakan bahwa mereka berhasil menemukan Yasar, budak yang dibebaskan oleh Rasulullah saw., beserta beberapa temannya. Mereka membawa pergi unta-unta betina penghasil susu tersebut setelah menjadi murtad. Namun, kaum Muslimin menantang mereka dan menangkap mereka, dan mereka berperang dengan gigih. Mereka juga melakukan pembunuhan. Mereka memotong tangan dan kaki Yasar serta menusukkan duri ke lidah dan matanya hingga ia meninggal. Orang-orang ini selain merampok dan mencuri unta-unta, juga membunuh para penggembala Muslim. Mereka membunuh Yasar terlebih dahulu, lalu membunuh penggembala lainnya. Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. dan berkata bahwa mereka telah membunuh rekannya. Salah satu dari mereka selamat dan sampai ke hadapan Rasulullah saw. dan menceritakan bahwa orang-orang tersebut telah membawa pergi unta-unta.

Muhammad bin Umar meriwayatkan bahwa seorang wanita dari Bani Amr bin Auf mengendarai keledainya melewati tempat itu dan menemukan Yasar tergeletak di bawah pohon. Ketika ia melewatinya, Yasar telah meninggal. Wanita itu kembali ke kaumnya dan memberitahukan kejadian tersebut. Maka mereka berangkat dan membawa jenazah Yasar ke arah Quba.

Dalam riwayat Ṣaḥīḥ Muslim disebutkan bahwa ada 20 pemuda Ansar yang sedang bersama Rasulullah saw. Beliau saw. mengutus mereka. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengirim 20 penunggang kuda untuk mengikuti jejak mereka. Yakni, ketika para perampok itu membawa pergi unta-unta dan berita sampai kepada beliau saw., maka beliau saw. mengirim 20 orang sahabat untuk menangkap mereka.

Beberapa nama di antara mereka tercatat, yaitu Hz. Salma bin Akwa r.a., Hz. Abu Rahm r.a., Hz. Abu Dzar Al-Ghifari r.a., Hz. Buraidah bin Husaib r.a., Hz. Rafi’ bin Muqis r.a. dan saudaranya Hz. Jundub r.a., Hz. Bilal bin Harits r.a., Hz. Abdullah bin Amr bin Auf Al-Muzani r.a., Hz. Jawal bin Suraqah Al-Tsa’labi r.a., dan Hz. Suwaid bin Shakhr Al-Juhani r.a.. Mereka semua dari kalangan Muhajirin, lalu Hz. Kurz bin Jabir Al-Fihri r.a. ditunjuk sebagai pemimpin mereka.

Rasulullah saw. mengirim mereka untuk mengejar musuh. Bersama mereka dikirim seorang pelacak jejak yang mengikuti jejak musuh. Beliau saw. memanjatkan doa untuk kehancuran musuh dengan bersabda, “Ya Allah, butakan mereka dari jalan dan persempitlah jalan mereka, lebih tipis dari kulit unta,” maksudnya agar mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan. Allah Taala mengabulkan doa tersebut dan mereka tertangkap pada hari itu juga. Ketika fajar menyingsing, mereka dibawa menghadap Rasulullah saw..

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hz. Kurz bin Jabir dan rekan-rekannya mencari mereka hingga malam tiba. Mereka bermalam di Harrah. Keesokan paginya, ketika mereka tidak tahu ke mana arah musuh pergi, tiba-tiba mereka menemukan seorang wanita yang membawa pundak unta. Mereka menangkapnya dan bertanya tentang hal itu. Wanita itu menjawab bahwa ia melewati suatu kaum yang telah menyembelih unta dan memberinya bagian pundak ini, dan mereka berada di hutan itu. Ia juga diberi sepotong daging paha. Wanita itu berkata, “Ketika kalian melihat mereka, kalian akan mengetahui dari melihat asap mereka.”

Mereka pun berangkat hingga tiba di tempat musuh yang saat itu mereka baru selesai makan. Para sahabat meminta mereka untuk menyerah, dan mereka semua menjadi tawanan tanpa ada yang tersisa. Para sahabat mengikat mereka dan membawa mereka ke Madinah dengan menunggang kuda. Rasulullah saw. saat itu berada di tempat bernama Raghabah, yang bersambung dengan Jurf, yang berjarak tiga mil dari Madinah.

Hz. Anas r.a. meriwayatkan: “Saya keluar bersama beberapa pemuda mengikuti mereka hingga bertemu Rasulullah saw. di lembah Raghabah di tempat berkumpulnya aliran air. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan untuk membawa jarum-jarum besi yang dipanaskan. Setelah dipanaskan, Rasulullah saw. membalas dengan menusukkan jarum-jarum tersebut ke mata mereka karena mereka telah menusukkan jarum ke mata para penggembala muslim. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa ketika mereka dibawa kepada Rasulullah saw., beliau memerintahkan untuk memotong tangan mereka di satu sisi dan kaki mereka di sisi lain, menusukkan jarum panas ke mata mereka, dan menempatkan mereka di bawah terik matahari hingga mereka meninggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mata mereka ditusuk dengan jarum panas dan mereka diletakkan di bawah terik matahari. Mereka meminta air namun tidak diberi. Anas menceritakan bahwa ia melihat salah satu dari mereka sangat kehausan karena panas yang mereka alami, hingga mereka meninggal. Luka mereka tidak ditutupi dan tidak diobati.

Abu Qilabah menerangkan: “Merekalah orang-orang yang telah membunuh, mencuri, murtad setelah masuk Islam, dan memerangi Allah dan Rasul-Nya.”

Ibnu Sirin menyatakan bahwa peristiwa tentang orang-orang Urainah ini terjadi sebelum turunnya hukum hudud. Secara zahir, orang muslim itu tampak melakukan kezaliman besar, namun ajaran Islam berkenaan dengan hal ini turun setelahnya. Allah Taala menurunkan ayat:

اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Terkait:   Keteladanan Sahabat Rasulullah (Seri 76)

“Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusuhan di negeri ini, hendaklah mereka dibunuh atau disalib atau pun dipotong tangan dan kaki mereka disebabkan oleh permusuhan mereka, atau mereka diusir dari negeri ini. Hal demikian adalah kehinaan bagi mereka di dunia ini, dan di akhirat pun mereka akan mendapat azab yang besar.” (Al-Maidah:34)

Setelah itu, Rasulullah saw. tidak pernah lagi menusukkan jarum ke mata siapapun, tidak memotong lidah, dan tidak memberikan hukuman lebih dari memotong tangan dan kaki. Setelah itu, setiap kali beliau saw. mengirim pasukan, beliau saw. melarang memutilasi tubuh manapun. Beliau  saw. menganjurkan bersedekah dan melarang memutilasi.

Muhammad bin Umar Al-Waqidi dan Ibnu Sa’d menyebutkan: Ada lima belas unta yang mereka bawa dari padang rumput. Pembalasan diberikan kepada mereka setimpal dengan apa yang mereka lakukan kepada kaum Muslimin, namun setelah turunnya ajaran Islam yang lebih lengkap, perlakuan seperti itu tidak pernah terjadi lagi terhadap musuh.

Meskipun ini adalah jawaban atas peristiwa tersebut, tetapi jawaban yang lebih terperinci dan tanggapan terhadap keberatan beberapa orang tentang mengapa perlakuan yang kejam seperti itu dilakukan terhadap musuh – seperti yang diajukan oleh para pengkritik Islam – telah dijawab dengan sangat baik oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn. Beliau menulis:

Ini adalah masa yang sangat berbahaya bagi kaum Muslimin karena seluruh negeri sedang menyala dengan api permusuhan yang dipicu oleh Quraisy dan Yahudi. Sesuai dengan keputusan baru mereka, mereka berencana untuk menyerang Madinah secara sembunyi-sembunyi dari pada melakukan serangan langsung. Karena penipuan dan pengkhianatan adalah bagian dari sifat suku-suku Arab yang masih liar, mereka berusaha merugikan kaum Muslimin dengan segala cara. Jadi, Peristiwa yang akan kita bahas ini merupakan bagian dari rangkaian upaya buruk mereka yang berakhir dengan cara yang mengerikan.

Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Rinciannya adalah sebagai berikut: Pada bulan Syawal tahun 6 Hijriah, delapan orang dari suku Ukl dan Urainah datang ke Madinah. Mereka menunjukkan kecintaan dan ketertarikan terhadap Islam lalu masuk Islam. Setelah tinggal beberapa waktu, mereka mengalami masalah pencernaan karena cuaca dan cara hidup di Madinah, dan mereka menggunakan ini sebagai alasan untuk menghadap Rasulullah saw. dan menjelaskan kesulitan mereka. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami adalah orang-orang pedalaman yang terbiasa hidup dengan hewan ternak dan tidak terbiasa dengan kehidupan kota, karena itu kami jatuh sakit.” Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian merasa tidak nyaman di Madinah, pergilah ke luar kota tempat hewan ternak kami berada.” Beliau saw. menunjukkan keramahan dan sikap kasih sayang beliau saw., dan bersabda: “Silahkan meminum susu unta itu dan kalian akan sembuh dengan tinggal di tempat yang sehat.”

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa mereka sendiri yang meminta, “Wahai Rasulullah, jika Anda mengizinkan, kami ingin pergi ke luar Madinah di mana hewan ternak Anda berada,” dan beliau saw. pun mengizinkan mereka. Alhasil, mereka pun pergi ke padang rumput di luar Madinah di mana unta-unta kaum Muslimin berada.

Ketika orang-orang malang ini telah menetap di sana dan mengamati situasi sekitar, setelah menjadi sehat dan kuat karena hidup di udara terbuka dan meminum susu unta, suatu hari mereka tiba-tiba menyerang para penggembala [muslim] dan membunuh mereka. Mereka membunuhnya dengan kejam. Orang-orang itu menyembelih mereka seperti hewan, dan ketika masih ada sisa nyawa, lalu menusukkan duri gurun yang tajam ke lidah mereka agar ketika mereka mencoba bersuara atau meronta karena haus, duri-duri itu akan menambah penderitaan mereka. Para penjahat ini tidak berhenti di situ, mereka mengambil jarum-jarum panas dan menusukkannya ke mata para muslim yang sekarat. Dengan cara ini, orang-orang muslim yang tidak bersalah ini meninggal dalam keadaan tersiksa di padang terbuka. Di antara mereka ada seorang pelayan pribadi Rasulullah saw. bernama Yasar yang ditugaskan untuk menggembalakan unta-unta beliau saw..

Setelah para penjahat ini selesai membunuh kaum Muslimin dengan cara yang keji, mereka lalu mengumpulkan semua unta dan menggiringnya pergi. Berita ini sampai kepada Rasulullah saw. melalui seorang penggembala yang berhasil meloloskan diri. Segera setelah itu, beliau saw. mengirim sekelompok dua puluh sahabat untuk mengejar mereka. Meskipun para musuh telah menempuh jarak yang cukup jauh, namun dengan karunia Allah, kaum Muslimin berhasil mengejar dan menangkap mereka dengan cepat, mengikat mereka dengan tali dan membawa mereka kembali.

Pada saat itu, belum turun wahyu kepada Rasulullah saw. tentang bagaimana memperlakukan orang yang melakukan tindakan semacam ini. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip lama beliau saw. bahwa selama belum ada syariat baru dalam Islam, hendaknya mengikuti cara Ahli Kitab, maka sesuai dengan syariat Nabi Musa a.s., beliau saw. memerintahkan agar mereka diperlakukan setimpal sebagaimana mereka memperlakukan para penggembala muslim, sebagai bentuk qisas (pembalasan setimpal). Ini adalah ajaran Nabi Musa a.s. yang masih diikuti sampai turunnya hukum-hukum syariat [Islam] secara lengkap. Bagaimanapun, Hukuman ini dijatuhkan agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Maka dengan sedikit perubahan, mereka dihukum mati di padang terbuka di luar Madinah. Namun Allah telah menentukan ajaran yang berbeda untuk Islam, sehingga setelahnya, bahkan dalam bentuk pembalasan dan qisas sekalipun, hukuman mutilasi dilarang. Artinya, dinyatakan terlarang untuk merusak tubuh orang yang terbunuh atau memotong-motong anggota tubuh sebagai bentuk balas dendam dan sebagainya.

Mengenai kejadian ini, beliau menulis: Kami tidak perlu menulis banyak tentang hal ini, karena bagaimanapun, kezaliman adalah dimulai dari pihak orang-orang kafir yang tanpa alasan yang sah, semata-mata karena permusuhan terhadap Islam, melakukan perlakuan kejam dan brutal terhadap kaum Muslimin yang tidak bersalah. Apa yang dilakukan sebagai hukuman terhadap mereka semata-mata adalah sebagai qisas dan balasan untuk mereka. Yakni, hukuman yang diberikan kepada musuh adalah qisas, dan itu terjadi dalam kondisi di mana seluruh negeri sedang menyala karena api permusuhan dan kebencian terhadap Islam. Keputusan ini juga dibuat sesuai dengan syariat Nabi Musa a.s., namun Islam kemudian tidak mempertahankannya dan melarang cara seperti itu untuk masa depan. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada orang yang berakal sehat yang akan bisa menentangnya.

Pada kesempatan ini perlu diingat bahwa orang-orang ini datang ke Madinah dengan niat buruk sejak awal dan kemungkinan besar diarahkan oleh suku mereka untuk tinggal di antara kaum Muslimin dan untuk menimpakan kerugian bagi kaum Muslimin. Mungkin juga mereka sudah memiliki niat buruk terhadap Rasulullah saw. sendiri, dan ketika pada akhirnya mereka tidak mendapat kesempatan untuk melakukannya selama tinggal di Madinah, mereka lalu memutuskan untuk melakukan aksinya di luar Madinah.

Niat mereka juga terlihat dari perlakuan mereka terhadap para penggembala Muslim, yakni ini tidak seperti yang dilakukan pencuri dan perampok biasa, tetapi ada unsur dendam yang kental di dalamnya. Jika mereka awalnya masuk Islam dengan tulus dan niat mereka berubah setelah melihat unta, seharusnya mereka hanya mencuri unta dan melarikan diri, dan jika ada penggembala yang menghalangi, paling-paling mereka akan membunuhnya lalu pergi. Namun cara mereka membunuh para penggembala muslim, menempatkan diri mereka dalam bahaya, dan sengaja memperpanjang tindakan pembunuhan yang kejam dengan tetap tinggal beberapa saat untuk menyiksa korban, jelas menunjukkan bahwa tindakan mereka bukan hasil dari keserakahan sekejap, melainkan murni berdasarkan permusuhan dan hasil dari dendam dan kebencian yang mendalam.

Sebagai jawaban terhadap tindakan kejam mereka, apa yang dilakukan Rasulullah saw. semata-mata adalah sebagai qisas dan balasan yang dilakukan sesuai dengan syariat Nabi Musa a.s. sebelum turunnya hukum Islam. Namun segera setelah itu, hukum-hukum Islam diturunkan dan penyiksaan semacam itu, bahkan dalam konteks pembalasan, dinyatakan tidak sah. Sebagaimana disebutkan dalam kata-kata pada Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī:

اِنَّ النَّبِیّ صلی اللہ علیہ وسلم بعد ذلِك کان یحث علی الصدقة و ینھی عن المثلة

yakni setelah kejadian itu, Nabi saw. selalu menganjurkan perbuatan ihsan, perlakuan belas kasih, dan melarang memutilasi dalam keadaan apapun.”

Beberapa peneliti Barat, termasuk Muir, ketika membahas kejadian ini, seperti biasa mengkritik bahwa cara pembunuhan para perampok pembunuh ini adalah kejam. Namun jika kita mempertimbangkan seluruh keadaan saat itu, Islam sama sekali bersih dalam masalah ini karena sebenarnya ini bukan keputusan Islam, melainkan keputusan Nabi Musa a.s., yang syariatnya tidak dibatalkan oleh Nabi Isa a.s. melainkan dipertahankan.

Ya, jika para pengkritik ini lalu mengacu pada perkataan Nabi Isa a.s. bahwa “Jika ditampar di pipi kanan, berikan juga pipi kiri, jika seseorang ingin mengambil bajumu, berikan juga jubahmu, dan jika seseorang memaksamu berjalan satu mil, berjalanlah dua mil dengannya,” maka mereka mungkin berhak mengkritik. Namun pertanyaannya adalah, apakah ajaran ini bisa diamalkan menurut orang yang berakal sehat? Dan selama lebih dari 2000 tahun ini, pernahkah ada laki-laki atau perempuan Kristen, jemaat kristen atau pemerintahan Kristen yang telah menerapkan ajaran ini?

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 29)

Untuk berkhotbah di mimbar, ini memang ajaran yang bagus, tetapi untuk mengamalkan dalam  dunia nyata, ajaran ini tidak memiliki bobot dan tidak ada orang yang berakal sehat yang bisa siap menerapkannya. Dalam hal ini, mengkritik umat Islam dengan memainkan perasaan seperti ini adalah bukti kebodohan diri mereka sendiri.

Ya, lihatlah ajaran Nabi Musa a.s. yang, tidak seperti Nabi Isa a.s., beliau a.s. adalah seorang pembuat hukum sejati yang memahami hakikat hukum dengan baik. Atau jangan lihat perkataan orang Kristen, tetapi ujilah dengan melihat amalan mereka, maka akan jelas bahwa tidak ada agama yang bisa menandingi Islam dalam hal pengamalan. Karena apa yang dikatakannya itulah yang dilakukannya, dan tidak ada perbedaan antara kata dan perbuatannya.

Perkataan dan perbuatan umat islam, keduanya berada di tingkat yang begitu tinggi sehingga tidak ada orang yang berakal sehat, yang bersikap netral, yang bisa mengkritiknya, dan bahkan pujian lah yang keluar dari hati mereka. Islam tidak seperti syariat Nabi Musa a.s. yang mengatakan untuk selalu membalas dendam, dan tanpa membedakan situasi dan kondisi, laksanakanlah terus hukuman qisas, dan juga tidak seperti ajaran Kristen yang mengarahkan untuk tidak memberikan hukuman dalam situasi apa pun, bahkan jika penjahat melakukan kejahatan, malah memperkuat kejahatannya dengan membantunya. Sebaliknya, Islam meninggalkan jalan berlebihan dan berkekurangan, serta memberikan ajaran pertengahan yang menjadi dasar perdamaian sejati di dunia, yaitu:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya ada disisi Allah.”

Artinya, setiap kejahatan harus dihukum setimpal atau sesuai dengan tingkat kekerasannya, tetapi jika keadaan memungkinkan bahwa memaafkan atau bersikap lemah lembut akan memberi harapan untuk perbaikan, maka memaafkan atau bersikap lemah lembut adalah lebih baik, dan orang seperti itu akan mendapat pahala yang baik di sisi Allah. Inilah ajaran yang diberikan Islam dalam hal ini, dan tidak ada seorang yang berakal sehat mana pun yang bisa menyangkal bahwa ini adalah ajaran terbaik yang mempertimbangkan semua segi kebutuhan manusia.

Bahkan dalam hal hukuman, Islam telah memberi batasan agar tidak melampaui batas yang wajar, dan sepenuhnya melarang tindakan kejam seperti mutilasi. Sebaliknya, orang-orang Kristen, meskipun dengan adanya ajaran yang sebatas ucapan saja dari Nabi Isa a.s. itu, contoh perlakuan mereka terhadap musuh dan tindakan-tindakan yang telah dan sedang mereka lakukan dalam peperangan merupakan lembaran terbuka dalam sejarah dunia yang tidak perlu disebutkan lagi di sini. Apa yang tidak mereka lakukan?

Sekarang saya akan membahas tentang sebuah gazwah yang disebut Gazwah Dzi Qarad. Para sejarawan dan ahli hadis berbeda pendapat tentang kapan terjadinya. Para ahli hadis menyatakan bahwa perang ini terjadi antara Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar, yaitu antara Dzulqa’dah tahun 6 Hijriah dan Muharram tahun 7 Hijriah, sementara para sejarawan menyatakannya terjadi setelah Perang Lihyan, yaitu pada Jumadil Awal tahun 6 Hijriah.

Menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim, Perang Dzi Qarad terjadi tiga hari sebelum Perang Khaibar, dan mereka membahasnya setelah Perjanjian Hudaibiyah dan sebelum Khaibar. Allamah Ibnu Hajar menulis bahwa riwayat yang disampaikan Imam Ahmad dan Imam Muslim dari Iyas bin Salamah mendukung bahwa perang ini terjadi tiga hari sebelum Khaibar. Dalam riwayat tersebut, Salamah bin Akwa terlebih dahulu meriwayatkan Perjanjian Hudaibiyah kemudian peristiwa Dzi Qarad, lalu di akhir mengatakan bahwa setelah itu mereka kembali ke Madinah dan baru tinggal tiga hari di Madinah sebelum berangkat ke Khaibar. Sebaliknya, di antara para sejarahan, Allamah Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’d mengatakan bahwa Perang Dzi Qarad terjadi pada tahun 6 Hijriah sebelum Perjanjian Hudaibiyah.

Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menganalisa hal ini, meskipun tidak secara lengkap, namun dalam daftar isi untuk bagian selanjutnya dari bukunya, beliau menetapkan Perang Dzi Qarad terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah, sebelum Perang Khaibar.

Perang Dzi Qarad juga disebut Perang Ghabah karena unta-unta Rasulullah saw. biasa merumput di sana. Ghabah adalah sebuah padang di belakang Gunung Uhud, sekitar empat mil dari Madinah ke arah Syam. Disebut Perang Dzi Qarad karena Uyainah bin Hishn yang telah menyerang dan membawa pergi unta-unta Rasulullah saw., dan beliau saw. mengejarnya sampai Dzi Qarad. Dzi Qarad adalah sebuah mata air yang terletak sekitar 12 mil dari Madinah.

Rinciannya adalah sebagai berikut:

Rasulullah saw. memiliki 20 unta penghasil susu dan beberapa unta lainnya yang biasa merumput di padang rumput Baidha di jalan menuju Khaibar hingga gunung di seberangnya. Ketika terjadi kekeringan, unta-unta itu dibawa ke arah Ghabah. Seorang penggembala biasa membawa susu mereka setiap sore kepada Rasulullah SAW.

Uyainah bin Hishn Al-Fazari menyerang dengan 40 penunggang kuda dari Bani Ghatafan dan membawa pergi unta-unta tersebut. Menurut satu riwayat, pemimpin mereka adalah Abdurrahman, putra Uyainah, sementara Uyainah sendiri berada di belakang untuk memberikan bantuan. Selama serangan, musuh membunuh Dzarr, putra Hz. Abu Dzarr r.a. yang menjadi penggembala unta-unta tersebut, dan menawan Laila, istri Hz. Abu Dzarr r.a., sementara istri putra Hz. Abu Dzarr r.a. yang juga berada di sana berhasil selamat dari musuh.

Tentang siapa Uyainah bin Hishn, mengenai dirinya tertulis bahwa ia adalah pemimpin suku Bani Fazarah saat Perang Ahzab. Ketika tiga pasukan kafir bersama Bani Quraizhah berencana melancarkan serangan besar terhadap Madinah, ia memimpin salah satu pasukan tersebut. Uyainah masuk Islam setelah Fatah Makkah. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa ia masuk Islam sebelum Fatah Makkah dan ikut serta di dalamnya, juga dalam Perang Hunain dan Thaif. Rasulullah saw. mengutusnya dengan 50 penunggang kuda untuk memerangi Bani Tamim, namun tidak ada sahabat Ansar atau Muhajirin yang ikut di dalamnya dan latar belakang sariyah ini adalah karena Bani Tamim telah menghalangi petugas zakat Rasulullah saw..

Kemudian pada masa kekhalifahan Hz. Abu Bakar r.a., ia terjebak dalam fitnah kemurtadan bersama para pemberontak dan ketika Tulaihah mengaku sebagai nabi, ia bergabung dengannya. Ia awalnya muslim, kemudian murtad dan ikut dengan Tulaihah, lalu ketika dibawa sebagai tawanan kepada Hz. Abu Bakar r.a., beliau memaafkannya dan ia kembali masuk Islam. Keadaan keimanannya memang seperti itu.

Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. telah melarang Hz. Abu Dzarr Al-Ghifari r.a. pergi ke Ghabah, namun beliau tetap pergi meski telah diperingatkan. Rinciannya, sebelum serangan Uyainah, Hz. Abu Dzarr r.a. meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk pergi ke padang penggembalaan unta. Beliau saw. bersabda, “Aku khawatir tentangmu, jangan-jangan musuh akan menyerangmu dari arah itu, karena kita tidak aman dari Uyainah dan kelompoknya, dan tempat itu berada di wilayah mereka.”

Hz. Abu Dzarr r.a. bersikeras, lalu Rasulullah saw. bersabda, “Aku khawatir putramu akan terbunuh dan istrimu akan ditawan, dan engkau akan datang dengan hanya membawa tongkat.” Hz. Abu Dzarr r.a. berkata, “Sungguh mengherankan bagiku bahwa meski Rasulullah saw. menyatakan kekhawatirannya, aku tetap bersikeras. Demi Allah, terjadilah seperti yang beliau saw. katakan. Aku berada di rumah dan unta-unta Rasulullah saw. telah dibawa kembali ke kandang. Mereka telah diberi minum dan diperah susunya. Kemudian kami tidur, lalu di malam hari Uyainah menyerang kami dengan 40 penunggang kuda. Mereka berhenti dan berteriak, lalu putraku keluar dan mereka membunuhnya.”

Terkait hal ini, ada juga riwayat tentang Hz. Salamah bin Akwa r.a. yang mengejar musuh. Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī disebutkan bahwa Hz. Salamah bin Akwa r.a. berkata, “Aku keluar sebelum azan pertama Subuh. Unta-unta perah Rasulullah saw. sedang merumput di Dzi Qarad. Bersamaku ada Rabah, budak Rasulullah saw.. Aku bertemu dengan seorang anak Abdurrahman bin Auf yang memberitahu bahwa unta-unta Rasulullah saw. telah diambil. Aku bertanya siapa yang mengambilnya, ia menjawab orang-orang Ghatafan.”

Hz. Salamah r.a. berkata, “Aku berteriak tiga kali ‘Yā Ṣabāhā!‘ (seruan yang digunakan saat bahaya), sehingga orang-orang di Madinah mendengarnya. Aku mengirim Rabah untuk memberitahu Rasulullah saw.. Kemudian aku berlari cepat ke depan hingga mencapai para perampok yang sedang memberi minum hewan mereka. Aku mulai memanah mereka, dan aku adalah pemanah yang mahir. Aku berkata, ‘Aku adalah Ibnu Akwa, dan hari ini adalah hari kebinasaan orang-orang hina!'” Beliau keluar sendirian untuk menghadapi mereka dan terus mengucapkan kalimat ini dengan suara keras.

“Ketika aku berada di antara pepohonan, aku memanah mereka, dan ketika sampai di lembah sempit, aku naik ke gunung dan melempar batu kepada mereka hingga aku berhasil membebaskan semua unta mereka.” Dalam Ṣaḥīḥ Muslim disebutkan, “Aku terus mengejar mereka hingga tidak ada satu pun unta Rasulullah saw. yang tidak aku tinggalkan di belakangku, dan aku juga merebut 30 selimut yang mereka buang untuk meringankan beban saat melarikan diri. Setiap kali mereka membuang sesuatu, aku meletakkan batu sebagai tanda agar Rasulullah saw. dan para sahabatnya dapat mengenalinya. Aku terus mengejar dan memanah mereka, bertarung seorang diri.”

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-5)

Dalam kitab sejarah, sesuai dengan hadis lainnya, juga tertulis bahwa tidak semua unta berhasil diambil kembali, beberapa berhasil dibawa pergi oleh musuh.

Di sisi lain, ketika berita kejadian ini sampai kepada Rasulullah saw., di Madinah diumumkan  bahwa ada bahaya, lalu diserukan “Ya Khailallāhu arkabī” (Wahai pasukan berkuda Allah, naikilah kuda). Segera para penunggang kuda mulai berkumpul di sekitar beliau saw.. Yang pertama datang adalah Hz. Miqdad r.a., kemudian Hz. Abbad bin Bisyr r.a., Hz. Sa’d bin Zaid r.a., Hz. Usaid bin Hudhair r.a., Hz. Ukasyah r.a., Hz. Muhriz bin Nadhlah r.a., Hz. Abu Qatadah r.a., dan Hz. Abu Ayyasy r.a..

Rasulullah saw. menunjuk Hz. Sa’d bin Zaid r.a. sebagai pemimpin dan bersabda, “Kejarlah musuh sampai aku menyusul kalian bersama yang lain.” Beliau saw. bersabda, “Kalian pergilah duluan, aku akan menyusul.” Rasulullah saw. berangkat dengan 500 sahabat, ada juga yang mengatakan 700 sahabat. Beliau saw. menunjuk Hz. Ibnu Ummi Maktum r.a. sebagai wakil beliau di Madinah dan menetapkan Hz. Sa’d bin Ubadah r.a. dengan 300 sahabat untuk menjaga Madinah. Rasulullah saw. mengikatkan bendera pada tombak Hz. Miqdad bin Aswad r.a..

Dalam Gazwah ini, ada sebuah kejadian yang diceritakan bahwa Ibnu Ishaq berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada Hz. Abu Ayyasy r.a., “Tidakkah engkau berikan kudamu kepada seseorang yang lebih baik darimu dalam menunggang  kuda agar ia bisa menyusul musuh?” Hz. Abu Ayyasy r.a. menjawab, “Wahai Rasulullah, aku adalah penunggang terbaik.” Ia berkata, “Aku mengatakannya kepada Rasulullah saw., lalu aku memacu kudaku, tetapi baru 50 yard kudaku menjatuhkanku ke tanah. Aku heran karena Rasulullah saw. menyuruhku memberikan kuda kepada penunggang yang lebih baik, sementara aku mengklaim sebagai penunggang terbaik.” Kemudian Rasulullah saw. memberikan kuda Hz. Abu Ayyasy r.a. kepada Hz. Mu’adz bin Ma’ish r.a..

Hz. Salamah r.a., yang sedang mengejar musuh, meriwayatkan bahwa ketika hari mulai terang, Uyainah datang membantu mereka. Ini menunjukkan bahwa Uyainah hadir di sana. Ia berada di sebuah lembah sempit. Hz. Salamah r.a.mengatakan ia naik ke gunung. Uyainah bertanya, “Siapa ini?” Pengikutnya menjawab, “Sejak pagi hingga sekarang kami dalam kesulitan karenanya. Ia mengejar kami, memanahi kami, dan mengambil kembali hewan-hewan kami. Ia telah merebut semua barang kami.” Uyainah berkata, “Jika ia tidak yakin ada orang yang mengikutinya, ia pasti sudah meninggalkan kalian sejak lama.” Ia cerdik dan mengatakan pasti ada pasukan lain yang mengikutinya. “Beberapa dari kalian pergilah ke arahnya.”

Empat orang naik ke gunung menuju Hz. Salamah r.a.. Beliau berkata kepada mereka, “Apakah kalian mengenalku?” Mereka bertanya, “Siapa kamu?” Beliau menjawab, “Aku Ibnu Akwa. Demi Zat yang telah memuliakan Muhammad saw., tak seorang pun dari kalian bisa menangkapku, dan jika aku mengejarnya, ia tak bisa lolos dariku.” Salah satu dari mereka berkata, “Aku juga berpikir begitu.” Lalu mereka kembali karena takut.

Hz. Salamah r.a. melanjutkan, “Aku tetap di tempat sampai melihat para penunggang kuda Rasulullah saw. yang beliau kirim lebih dulu, muncul dari balik pepohonan. Yang pertama adalah Hz. Muhriz bin Nadhlah Al-Akhram Al-Asadi r.a., diikuti Hz. Abu Qatadah Al-Anshari r.a. dan Hz. Miqdad bin Aswad r.a.. Aku memegang tali kekang kuda Hz. Akhram r.a. dan berkata, ‘Wahai Akhram, berhati-hatilah agar mereka tidak membunuhmu. Tunggu sampai Rasulullah saw. dan para sahabatnya tiba.’ Beliau menjawab, ‘Wahai Salamah, jika kau beriman kepada Allah dan hari akhir, dan kau tahu bahwa surga itu benar dan neraka itu benar, janganlah menghalangi antara aku dan kesyahidan.'” Beliau berbicara dengan gagah berani.

Hz. Salamah r.a. berkata, “Saya membiarkannya. Kemudian Hz. Akhram r.a. bertempur dengan Abdurrahman bin Uyainah. Akhram melukai Abdurrahman beserta kudanya, namun Abdurrahman menombaknya hingga syahid dan mengambil alih kudanya.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hz. Akhram r.a. dibunuh oleh Aubar. Aubar dan putranya menunggang unta yang sama. Hz. Ukasyah r.a. melemparkan tombak dan membunuh keduanya dengan satu serangan.

Menurut riwayat lain, Hz. Akhram r.a. dibunuh oleh Mas’adah. Tentang peristiwa syahidnya, ada juga cerita tentang mimpi. Sehari sebelum bertempur dengan musuh, Hz. Akhram r.a. bermimpi: “Langit terbuka untukku dan aku naik ke langit hingga mencapai langit ketujuh, kemudian sampai ke Sidratul Muntaha. Saya diberitahu, “Inilah tempatmu.” Ketika saya menceritakan mimpi ini kepada Hz. Abu Bakar r.a., beliau berkata, “Selamat atas kesyahidanmu.” Sehari kemudian beliau syahid.

Setelah Hz. Muhriz r.a., Hz. Abu Qatadah r.a. juga tiba. Penunggang kuda Rasulullah saw., Hz. Abu Qatadah r.a., bertempur dengan Abdurrahman bin Uyainah. Mereka saling melempar tombak. Putra Uyainah melukai kaki kuda Hz. Abu Qatadah r.a., namun Hz. Abu Qatadah r.a. membunuhnya dan mengambil alih kudanya.

Ada juga peristiwa tentang pertempuran Hz. Abu Qatadah r.a. dengan Mas’adah Al-Fazari. Menurut satu riwayat, ketika Hz. Abu Qatadah r.a. mendengar berita serangan musuh, Rasulullah saw. bersama para sahabat sedang berada di Zubab, sebuah bukit kecil hitam di jalan Gunung Uhud saat turun dari Tsaniyatul Wada. Ketika beliau menghadap Rasulullah saw., beliau saw. bersabda, “Wahai Abu Qatadah, majulah, semoga Allah menolongmu.”

Hz. Abu Qatadah r.a. berkata, “Aku berangkat bersama seorang lainnya dan kami segera mencapai musuh. Ia (rekan Hz. Abu Qatadah r.a.) berkata, ‘Abu Qatadah, bagaimana menurutmu? Kita tidak punya kekuatan untuk melawan mereka.’ Temanku menyarankan untuk menunggu kedatangan Rasulullah saw. dengan pasukan lengkap sebelum menyerang, tapi aku menyarankan agar kami menyerang dari dua arah berbeda.”

Mereka menyerang dan membuat musuh kesulitan. Musuh memanah dan sebuah anak panah mengenai dahi Hz. Abu Qatadah r.a.. Ia berkata, “Ketika aku mencabut anak panah itu, rasanya seperti mencabut sepotong besi.” Beliau maju dan bertemu dengan penunggang kuda yang mengenakan helm besi. Orang itu mengenali beliau tapi beliau tidak mengenali orang itu. Orang itu berkata, “Wahai Abu Qatadah, Tuhan telah mempertemukan kita.” Ia membuka helmnya dan ternyata ia adalah Mas’adah Fazari.

(Hz. Abu Qatadah menuturkan), “Mas’adah bertanya: ‘Apa cara bertarung yang kau inginkan; dengan pedang, tombak, atau gulat?’ Saya menjawab: ‘Silahkan kamu pilih.’ Mas’adah memilih gulat. Ia memiliki cara yang aneh untuk berperang di zaman itu, ia turun dari kudanya dan saya juga turun. Saya mengikat kuda saya pada sebuah pohon dan meletakkan senjata saya di sana, dan ia juga melakukan hal yang sama, lalu kami mulai bertarung dan Allah memberikan saya kemenangan atasnya. Saya naik ke atasnya dan berniat untuk bangkit dan mengambil pedang saya, dan ia juga mengambil pedangnya. Kami berada di antara dua laskar, jadi serangan bisa terjadi pada salah satu dari kami. Sesuatu menghantam kepala saya. Kami bertarung hingga mencapai senjata Mas’adah. Saya meraih pedangnya dan ketika ia melihat bahwa pedang itu sudah berada di tangan saya, ia berkata, , “Wahai Abu Qatadah, kasihanilah aku.” Abu Qatadah menjawab, “Tidak, sekarang lihatlah tempatmu di neraka,” lalu saya membunuhnya dan membungkusnya dengan jubah saya. Kemudian saya mengenakan pakaian Mas’adah, mengambil senjatanya, dan menunggangi kudanya karena saat kami bertarung, kuda saya telah lari ke arah musuh dan mereka telah memotong kakinya.”

“Saya maju dengan cepat dan menjumpai keponakan Mas’adah, bersamanya ada tujuh belas penunggang lainnya. Saya memberi isyarat kepada mereka, dan mereka berhenti. Ketika saya mendekati mereka, saya menyerang mereka dan menusuk keponakan Mas’adah dengan tombak dan mematahkan lehernya. Rekan-rekannya melarikan diri, dan saya mengambil unta-unta betina yang ditinggalkan musuh saat serangan Salamah bin Akwa.”

Masih ada rincian lebih lanjut tentang perang ini yang insya Allah akan dijelaskan selanjutnya.[1]

الْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ ، وَنُؤْمِنُ بِهٖ ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهٖ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبدُهٗ وَرَسُولُهٗ – عِبَادَ اللّٰهِ رَحِمَكُمُ اللّٰهِ – اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَالۡاِحۡسَانِ وَاِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَیَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡکَرِ وَالۡبَغۡیِ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ – اذْكُرُوا اللّٰهَ يَذْكُرُكُمْ وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.