Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Berbagai Ekspedisi dalam Kehidupan Rasulullah saw.
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 25 April 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Masih membahas tentang berbagai pengiriman pasukan pada zaman Rasulullah saw.. Dalam hal ini, tertera tentang sariyyah Hazrat Ghalib bin Abdullah Laisi r.a. ke arah Fadak. Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. pergi ke arah Bani Murrah di Fadak bersama 30 orang pada bulan Sya’ban tahun 7 Hijriah. Bani Murrah telah mensyahidkan rekan-rekan sahabat Hazrat Basyir bin Sa’d saw.. Hal ini telah disebutkan sebelumnya. Ketika Rasulullah saw. menerima kabar tentang kesyahidan rekan-rekan Hazrat Basyir bin Sa’d r.a., beliau saw. mempersiapkan Hazrat Zubair bin Awwam r.a. dan bersabda, “Pergilah hingga kalian sampai ke tempat para sahabat Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. telah syahid, dan jika Allah memberikan kemenangan kepada kalian, maka jangan lepaskan seorang pun dari mereka (musuh). Musuh-musuh yang telah berbuat zalim, yang telah membunuh, yang telah mensyahidkan kaum Muslim, jangan lepaskan mereka.”
Rasulullah saw. mempersiapkan 200 sahabat untuk menyertai beliau dan memberikan bendera untuk mereka. Ketika Hazrat Ghalib r.a. mendekati musuh, beliau mengirim mata-mata. Yakni, Hazrat Ghalib r.a. mengirim mata-mata. Beliau mengirim Hazrat ‘Ulbah bin Zaid r.a. bersama sepuluh orang ke arah tempat tinggal musuh. Mereka melihat sekelompok orang dan kembali kepada Hazrat Ghalib r.a. untuk melaporkan seluruh keadaan. Hazrat Ghalib r.a. maju hingga begitu dekat dengan musuh sehingga bisa melihat mereka. Musuh tertidur dengan tenang. Hazrat Ghalib r.a. menyampaikan puji sanjung kepada Allah, lalu berseru kepada rekan-rekan beliau, “Aku mewasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan agar kalian menaatiku dan tidak membangkang kepadaku, serta tidak menentang perintahku, karena orang yang tidak taat, pendapatnya tidak diperhitungkan.” Dalam riwayat lain disebutkan dengan kata-kata, “Janganlah kalian membangkang kepadaku, karena Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa menaati pemimpinku berarti ia menaatiku, dan barangsiapa menentangnya berarti ia menentangku.’ Maka jika kalian menentangku, berarti kalian menentang Nabi kalian.”
Kemudian beliau menghubungkan tali persaudaraan di antara mereka dan berkata, “Wahai fulan, engkau bersama fulan, dan wahai fulan, engkau bersama fulan. Janganlah ada di antara kalian yang berpisah dari saudaranya. Jangan sampai salah seorang dari kalian datang kepadaku lalu aku bertanya, ‘Di mana saudaramu?’ dan kamu menjawab, ‘Aku tidak tahu.’
Kemudian beliau berkata, “Ketika aku mengucapkan takbir, ucapkanlah takbir bersamaku.” Ketika perang dimulai, kaum Muslimin mengepung musuh, lalu Hazrat Ghalib r.a. mengucapkan takbir. Para sahabat yang lain juga mengucapkan takbir dan menghunus pedang mereka. Musuh pun keluar siap untuk berperang. Pertempuran berlangsung beberapa saat dan kaum Muslimin membunuh mereka sebagaimana yang dikehendaki. Pada hari itu, slogan kaum Muslimin adalah “Amit, Amit” (datangkanlah kematian). Kaum Muslimin membawa beberapa unta dan kambing sebagai harta ganimah perang. Setiap orang mendapat bagian sepuluh unta atau sepuluh kambing sebagai pengganti satu unta.
Kemudian ada sebuah sariyyah, yaitu sariyyah Hazrat Syuja’ bin Wahb r.a. yang dikirim ke Siy. Sariyyah ini terjadi pada bulan Rabiulwal tahun 8 Hijriah di bawah pimpinan Hazrat Syuja’ bin Wahb r.a. ke Siy, satu tempat yang berjarak lima malam perjalanan dari Madinah, terletak antara Makkah dan Basrah. Nama ayah Hazrat Syuja’ r.a. adalah Wahb bin Rabi’ah. Hazrat Syuja’ r.a. termasuk di antara para sahabat terkemuka yang memeluk Islam pada masa-masa awal. Enam tahun setelah kenabian Rasulullah saw., atas isyarat beliau saw., Hazrat Syuja’ r.a. bergabung dengan kafilah kedua muhajirin ke Habasyah dan pergi ke sana. Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kabar palsu bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam, Hazrat Syuja’ r.a. kembali dari Habasyah ke Makkah. Ketika Rasulullah saw. mengizinkan para sahabat untuk berhijrah ke Madinah, Hazrat Syuja’ r.a. bersama saudaranya, Uqbah bin Wahb meninggalkan tanah Makkah dan pergi ke Madinah. Hazrat Syuja’ r.a. ikut serta bersama Rasulullah saw. dalam semua peperangan termasuk Badar, Uhud, dan Khandaq. Beliau syahid dalam Perang Yamamah pada usia sedikit lebih dari 40 tahun.
Tentang rincian sariyyah ini, dijelaskan bahwa Rasulullah saw. terus menerima laporan bahwa dari daerah Siy, Bani Hawazin sedang membantu musuh-musuh Islam dan merampok anggota suku-suku sekutu Muslim lalu bersembunyi di hutan-hutan.
Pada bulan Rabiulawal tahun delapan Hijriah, Rasulullah saw. menugaskan Hazrat Syuja’ r.a. dengan 24 mujahidin untuk menumpas Bani Hawazin yang juga dikenal sebagai Bani Amir. Hazrat Syuja’ r.a. bersama para mujahidin melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari hingga tiba-tiba mereka sampai di perkampungan Bani Amir pada pagi hari dan melancarkan serangan. Hazrat Syuja’ r.a. memerintahkan para mujahidin untuk tidak mengejar mereka. Mereka mendapatkan banyak unta dan kambing yang kemudian mereka bawa ke Madinah dan membagikan harta ganimah perang. Setiap orang mendapat bagian lima belas unta. Sariyyah ini berlangsung selama 15 hari.
Kemudian ada sariyyah Hazrat Ka’b bin Umair r.a. ke arah Dzat Atlah. Sariyyah ini terjadi pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun 8 Hijriah. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ka’b bin Umair Al-Ghifari r.a. ke arah Dzat Atlah yang terletak di belakang Wadiul-Qura di wilayah Syam dan berada di sekitar Mu’tah, berjarak sekitar 600 mil dari Madinah.
Hazrat Ka’b r.a. disertai 15 sahabat. Rasulullah saw. telah menerima kabar bahwa Bani Qudhah telah mulai mempersiapkan pasukan besar di Dzat Atlah, di luar Wadiul-Qura, untuk menyerang kaum Muslimin. Ketika sampai di Dzat Atlah, Hazrat Ka’b r.a. menemukan pasukan musuh yang sangat besar. Hal ini terjadi karena ketika Hazrat Ka’b r.a. berangkat dan mendekati Dzat Atlah, seorang mata-mata musuh melihat mereka dan segera memberitahu orang-orangnya tentang kedatangan kaum Muslimin. Mereka bersiap-siap dan membentuk pasukan besar. Para sahabat menyeru mereka kepada Islam, namun mereka menolak dan mulai memanah para sahabat. Ketika para sahabat Rasulullah saw. melihat tindakan mereka ini, mereka berperang dengan penuh pengorbanan hingga akhirnya semua gugur sebagai syahid. Di antara para sahabat ini, ada satu sahabat yang terluka di antara yang terbunuh, ia berhasil meloloskan diri dari sana.
Menurut satu riwayat, orang itu adalah Hazrat Ka’b bin Umair r.a. sendiri. Tertulis bahwa ketika malam menjadi dingin, ia menaiki tunggangan dan datang kepada Rasulullah saw. dan memberitahukan kepada beliau saw. tentang kejadian tersebut. Berita ini sangat menyedihkan bagi beliau saw.. Rasulullah saw. segera berniat untuk mengirim pasukan ke arah mereka, namun kemudian beliau saw. mendapat kabar bahwa orang-orang itu telah pindah dari tempat itu ke tempat lain, sehingga beliau saw. menunda niat tersebut.
Kemudian Gazwah Mu’tah. Ini terjadi pada bulan Jumadilawal tahun 8 Hijriah atau September 629 Masehi. Mu’tah adalah sebuah pemukiman di wilayah Balqa’ di perbatasan Syam, yang berjarak sekitar 600 mil dari Madinah. Perang ini juga disebut Ghazwah Jaisyul-Umara’ karena Rasulullah saw. menunjuk lebih dari satu pemimpin untuk pasukan ini sebelum keberangkatannya. Tentang sebab-sebab terjadinya perang ini, tertulis bahwa sebelumnya Rasulullah saw. mengutus Hazrat Harits bin Umair r.a. sebagai utusan dengan membawa surat beliau kepada penguasa Basrah. Ketika ia sampai di tempat bernama Mu’tah, Syurahbil bin Amr al-Ghassani mendatanginya dan bertanya, “Ke mana kamu akan pergi?” Ia menjawab, “Saya akan pergi ke Syam.” Syurahbil bertanya, “Apakah kamu utusan Muhammad Rasulullah saw.?” Ia menjawab, “Ya, saya adalah utusan Rasulullah saw..” Syurahbil memerintahkan untuk mengikatnya. Ia berkata kepada para pengikutnya, “Ikatlah ia.” Kemudian Syurahbil membunuhnya. Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah saw., hal ini sangat membuat beliau saw. bersedih. Beliau saw. memanggil para sahabat dan memberitahu mereka tentang kesyahidan Hazrat Harits bin Umair r.a. dan tentang orang-orang yang telah membunuhnya. Karena sebab inilah terjadi Gazwah Mu’tah.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan sebab-sebab dan latar belakang perang ini dengan menulis:
Ketika Rasulullah saw. kembali dari ziarah Ka’bah, beliau saw. mulai menerima kabar bahwa suku-suku Arab Kristen di perbatasan Syam sedang mempersiapkan serangan terhadap Madinah atas hasutan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir. Oleh karena itu, beliau saw. mengirim satu kelompok terdiri dari 15 orang ke arah perbatasan Syam dengan tujuan untuk menyelidiki sejauh mana kebenaran kabar angin ini. Ketika orang-orang ini tiba di perbatasan Syam, mereka melihat bahwa sebuah pasukan sedang berkumpul di sana. Alih-alih kembali dan melaporkan kepada Rasulullah saw., semangat tablig yang pada masa itu, yang menjadi tanda sejati seorang mukmin, menjadikan mereka dengan berani maju dan mulai mengajak orang-orang itu kepada Islam. Orang-orang yang telah dihasut oleh musuh-musuh dan ingin menyerang dan menaklukkan tanah air Muhammad Rasulullah saw., mereka tidak akan terpengaruh oleh seruan kepada tauhid ini. Mereka tidak akan terpengaruh oleh tabligh. Begitu para sahabat ini mulai menyampaikan ajaran Islam kepada mereka, para musuh yang berada di sekitar mengambil busur dan mulai menghujani mereka dengan anak panah. Ketika umat Islam melihat bahwa sebagai tanggapan atas tablig mereka, alih-alih menyajikan dalil, orang-orang ini justru melemparkan panah, para sahabat tidak melarikan diri dan tidak menyelamatkan nyawa mereka dari kerumunan ribuan orang ini. Sebaliknya, sebagai Muslim sejati, kelima belas orang itu berdiri teguh menghadapi ratusan ribu orang tersebut dan semuanya gugur di tempat itu juga. Di masa ini, Mereka yang mengaku muslim juga memperlakukan orang-orang Ahmadi dengan cara yang sama. Rasulullah saw. ingin mengirim pasukan lain untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan tindakan yang begitu zalim. Sementara itu, beliau saw. menerima berita bahwa pasukan yang sedang berkumpul di sana telah bubar dan tersebar, sehingga beliau saw. menunda rencana tersebut untuk beberapa waktu.
Rasulullah saw. pada saat yang sama menulis surat kepada pemimpin suku Ghassan yang merupakan gubernur Basra yang ditunjuk oleh pemerintah Romawi atau Kaisar Roma sendiri. Kemungkinan besar surat tersebut berisi keberatan tentang kejadian yang disebutkan di atas, bahwa beberapa suku Syam sedang mempersiapkan serangan ke wilayah Islam dan bahwa mereka telah membunuh 15 Muslim tanpa alasan. Surat ini dikirim melalui seorang sahabat bernama Al-Harits. Dalam perjalanannya ke Syam, beliau berhenti di suatu tempat bernama Mu’tah dan bertemu dengan Sarjil, seorang pemimpin suku Ghassan (Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis Sarjil yang merupakan salah satu gubernur yang ditunjuk oleh Kaisar. Saya pikir ini adalah kesalahan penulisan, nama aslinya adalah Syurahbil yang merupakan salah satu gubernur yang ditunjuk oleh Kaisar). Ia bertanya kepada Hazrat Al-Harits r.a., “Ke mana kamu pergi? Apakah kamu utusan Rasulullah saw.?” Ia menjawab, “Ya.” Mendengar ini, Syurahbil menangkapnya, mengikatnya dengan tali, dan memukulinya hingga syahid.
Meskipun sejarah tidak memberikan penjelasan tentang hal ini, namun kejadian ini menunjukkan bahwa orang ini, Syurahbil, kemungkinan adalah salah satu pemimpin pasukan yang sebelumnya telah membunuh 15 sahabat. Oleh karena itu, pertanyaannya “Apakah kamu salah satu utusan Muhammad Rasulullah saw.?” menunjukkan bahwa ia khawatir Rasulullah saw. akan mengadukan kepada Kaisar bahwa orang-orang dari wilayahnya menyerang penduduk wilayah Muslim. Ia mungkin takut bahwa raja akan meminta pertanggungjawaban darinya karena hal ini. Jadi ia menganggap bahwa keselamatannya terletak pada membunuh utusan itu, agar pesan tidak tersampaikan dan tidak ada penyelidikan. Namun Allah Taala tidak membiarkan niat buruknya terwujud, dan kabar tentang syahidnya Hazrat Harits r.a. sampai kepada Rasulullah saw. dengan suatu cara. Maka untuk menghukum kejadian pertama dan kejadian ini, beliau saw./ mempersiapkan pasukan sebanyak 3.000 orang dan mengirimnya ke arah Syam di bawah pimpinan Hazrat Zaid bin Haritsah r.a., yang merupakan hamba sahaya yang telah beliau saw. merdekakan.
Pada kesempatan ini, disebutkan tentang penunjukan pimpinan pasukan Rasulullah saw. sebagai berikut: Rasulullah saw. menunjuk Hazrat Zaid bin Haritsah r.a. sebagai pemimpin pasukan 3.000 orang, dan bersabda, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far bin Abi Thalib akan menjadi pemimpin, dan jika Ja’far bin Abi Thalib mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah akan menjadi pemimpin, dan jika ia juga mati syahid, maka kaum Muslimin boleh memilih siapa pun yang mereka inginkan sebagai pemimpin mereka.”
Seorang Yahudi bernama Nu’man yang hadir di sana saat itu berkata, “Wahai Abul Qasim (orang-orang Yahudi memanggil Rasulullah saw. dengan nama ini), jika Anda adalah seorang nabi, maka semua orang yang Anda sebutkan namanya, baik sedikit maupun banyak, akan mati syahid.” Kemudian ia melanjutkan, “Ketika para nabi Bani Israil menunjuk seseorang sebagai pemimpin kaum dan kemudian berkata jika si fulan terbunuh maka si fulan akan menjadi pemimpin, bahkan jika mereka menyebutkan nama seratus orang, mereka semua akan terbunuh.” Lalu Yahudi itu berkata kepada Hazrat Zaid r.a., “Wahai Zaid, buatlah wasiat. Jika Muhammad saw. adalah nabi yang benar, maka kamu tidak akan kembali lagi.” Hazrat Zaid r.a. menjawab, “Aku bersaksi bahwa beliau saw. adalah rasul yang benar dan suci.”
Ketika Rasulullah saw. sedang menunjuk para pemimpin, terjadilah peristiwa ini, saat Hazrat Ja’far r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, Ayah ibuku berkorban demi engkau. Saya telah mengira engkau akan menunjuk Zaid sebagai pemimpin atas diriku. Engkau bersabda bahwa keluargaku memiliki kedudukan tinggi, namun aku tidak ditunjuk.” Beliau saw. bersabda, “Pergilah engkau, engkau tidak tahu apa yang lebih baik.” Rasulullah saw. memberikan bendera putih kepada Hazrat Zaid r.a. dan menasihatinya, “Ketika sampai di tempat syahidnya Harits bin Umair, mereka mengajak orang-orang kepada Islam. Jika mereka menerima maka itu baik, jika tidak maka mintalah pertolongan kepada Allah Taala dan berperanglah melawan mereka.” Rasulullah saw. mengucapkan salam perpisahan kepada mereka dan juga memberi wasiat.
Rinciannya adalah sebagai berikut. Orang-orang bersiap-siap berangkat dan pasukan berkumpul di tempat bernama Jurf yang berjarak tiga mil dari Madinah. Rasulullah saw. juga datang ke Tsaniyatul Wada’ untuk mengucapkan salam perpisahan kepada mereka. Sebelum keberangkatan untuk berperang, Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada pasukan Islam seraya bersabda:
“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Taala dan berbuat baik kepada sesama Muslim yang bersama kalian. Berperanglah atas nama Allah melawan orang-orang yang mengingkari Allah. Jangan berkhianat, jangan curang, jangan membunuh bayi yang masih menyusu, jangan membunuh wanita, dan jangan membunuh orang tua renta. Jangan menebang pohon kurma, jangan menebang pohon apapun, dan jangan merobohkan bangunan.”
Selain itu, beliau saw. berpesan kepada para pemimpin pasukan, “Ketika kalian bertemu dengan orang musyrik, serulah mereka kepada salah satu dari tiga hal. Terimalah apa pun yang mereka setujui dan jangan menyakiti mereka. Ajaklah mereka untuk berpindah dari kota mereka ke kota kaum Muhajirin. Jika mereka melakukannya, beritahu mereka bahwa mereka akan mendapatkan hak yang sama seperti kaum Muhajirin dan memiliki kewajiban yang sama seperti kaum Muhajirin. Jika mereka menolak, mintalah mereka untuk bergabung dengan kaum Arab pedalaman yang Muslim. Bagi mereka yang tinggal di desa, hukum Allah yang sama akan berlaku seperti untuk Muslim lainnya, tetapi mereka tidak akan mendapatkan bagian dari harta ganimah perang dan harta fai sampai mereka berjihad bersama kaum Muslimin. Jika mereka menolak ini juga, maka mintalah jizyah dari mereka. Jika mereka setuju, terimalah dan jangan menyakiti mereka. Jika mereka menolak ini juga, maka mintalah pertolongan kepada Allah Taala untuk melawan mereka dan berjihadlah melawan mereka. Jika kalian mengepung benteng atau kota, dan mereka meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, jangan berikan jaminan atas nama Allah dan Rasul-Nya. Artinya, jangan membuat perjanjian dengan menggunakan nama tersebut sebagai perantara, tetapi berikanlah jaminan atas nama kalian sendiri dan leluhur kalian. Karena jika kalian melanggar janji kalian dan janji leluhur kalian, itu akan lebih ringan daripada melanggar janji Allah dan Rasul-Nya.”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan rinciannya sebagai berikut:
Rasulullah saw. memerintahkan Hazrat Zaid bin Haritsah r.a. untuk menjadi pemimpin pasukan. Jika beliau gugur, maka Hazrat Ja’far bin Abi Thalib r.a. akan menjadi pemimpin. Jika beliau gugur, maka Hazrat Abdullah bin Rawahah r.a. akan menjadi pemimpin. Jika ia juga gugur, maka kaum Muslimin harus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Saat itu, seorang Yahudi sedang duduk di majelis beliau. Ia berkata, “Wahai Abul Qasim, jika engkau benar, maka ketiga orang ini pasti akan gugur, karena Allah Taala mewujudkan apa yang keluar dari mulut para nabi-Nya.” Kemudian ia berpaling kepada Hazrat Zaid r.a. dan berkata, “Aku berkata jujur kepadamu, jika Muhammad Rasulullah saw. adalah nabi Allah yang benar, maka engkau tidak akan pernah kembali dalam keadaan hidup.” Hazrat Zaid r.a. menjawab, “Aku kembali atau tidak, namun Muhammad Rasulullah saw. adalah nabi Allah yang benar.”
Keesokan harinya pada pagi hari, pasukan ini berangkat dan Rasulullah saw. beserta para sahabat pergi untuk melepas mereka. Selama masa hidup Rasulullah saw., belum pernah ada pasukan sebesar ini yang dikirim untuk misi penting di bawah pimpinan panglima Muslim tanpa dipimpin langsung oleh beliau. Rasulullah saw. berjalan bersama pasukan ini sambil terus memberikan nasihat kepada mereka. Akhirnya, beliau saw. berhenti di tempat di luar Madinah, tempat beliau saw. memasuki Madinah dan tempat penduduk Madinah biasanya mengucapkan selamat jalan kepada para musafir mereka. Beliau saw. berdiri di sana dan bersabda, “Aku menasihati kalian untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama Muslim yang bersama kalian. Berangkatlah berperang dengan menyebut nama Allah dan berperanglah melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian yang berada di Syam. Pergilah berperang melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian yang berada di Syam. Ketika kalian sampai di Syam, kalian akan menemui orang-orang yang duduk di tempat ibadah sambil menyebut nama Allah. Jangan mengganggu mereka dengan cara apapun, jangan menyakiti mereka, dan jangan menyebabkan kesusahan bagi mereka. Jangan membunuh wanita di negeri musuh, jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh orang buta, dan jangan membunuh orang tua. Jangan menebang pohon dan jangan menghancurkan bangunan”.
Setelah memberikan nasihat ini, Rasulullah saw. kembali dari sana dan pasukan Islam berangkat menuju Syam. Di tempat lain juga, beliau saw.menyatakan hal yang sama dan menyebutkan semuanya; dan ini adalah kebijaksanaan Allah Taala bahwa kejadian ini terpenuhi persis seperti itu, yaitu, apa yang beliau saw. sabdakan tentang para syuhada pemimpin pasukan yang akan syahid. Pertama Hazrat Zaid r.a. syahid, kemudian Hazrat Ja’far r.a. mengambil alih kepemimpinan pasukan. Beliau juga syahid dan setelahnya Hazrat Abdullah bin Rawahah r.a. mengambil alih komando pasukan. Beliau juga syahid dan hampir saja terjadi kekacauan dalam pasukan, namun seketika Hazrat Khalid bin Walid r.a., atas permintaan beberapa Muslim, mengambil bendera dengan tangannya. Allah Taala memberikan kemenangan kepada umat Islam melalui beliau dan beliau membawa pasukan kembali dengan selamat. Pembahasan ini masih berlanjut dan insya Allah akan dilanjutkan nanti.
Saat ini saya ingin menyebutkan beberapa syuhada dan beberapa almarhum, dan saya akan memimpin salat jenazah gaib mereka, insya Allah. Syahid yang saya sebutkan adalah Tn. Laiq Ahmad Chima yang syahid minggu lalu di Karachi. Beliau adalah putra Chaudhry Nazir Ahmad Chima. Beliau disyahidkan pada tanggal 18 April. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Kerumunan orang menyerang dan membunuh beliau dengan cara yang sangat kejam. Almarhum berusia 47 tahun.
Menurut rincian, pada hari kejadian diterima kabar bahwa para penentang berkumpul di luar Aula Ahmadiyah dan membuat keributan. Karena itu, untuk meninjau situasi – itu adalah hari Jumat – Tn. Laiq Ahmad Chima dikirim. Almarhum syahid tiba di lokasi. Para penentang mengenali Tn. Laiq Chima dan menyerangnya, menyeretnya hingga jarak tertentu ke persimpangan. Di sana mereka mensyahidkannnya dengan cara yang kejam menggunakan batu bata dan batu. Dalam keadaan sekarat, seorang pemilik toko di sana berusaha memberi beliau air minum, namun ia juga dilarang paksa untuk memberi air. Polisi tiba di lokasi lebih dari setengah jam setelah kejadian, setelah itu jenazah dibawa ke rumah sakit, tempat kewafatannya dikonfirmasi.
Ahmadiyah masuk di keluarga almarhum syahid melalui kakek buyutnya, yakni Tn. Chaudhry Hakim Ali dari Chistian, Distrik Bahawalpur, yang mendapat taufik menerima Ahmadiyah dengan baiat pada masa Khalifah pertama. Almarhum tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi, namun beliau membuka bengkel sendiri dan melakukan pekerjaan servis mobil dan sepeda motor. Bisnis bengkel beliau berkembang sangat pesat. Karena nama baik beliau, berbagai instansi pemerintah juga mempercayakan perbaikan kendaraan mereka kepada beliau. Hal ini juga menyebabkan hubungan sosial beliau sangat luas.
Dengan karunia Allah, almarhum syahid adalah seorang Musi. Beliau selalu siap melaksanakan tugas-tugas Jemaat dan melakukan pengkhidmatan. Beliau rajin melaksanakan salat Tahajud dan salat lima waktu. Beliau secara rutin mengajak anak-anaknya untuk salat berjamaah. Beliau juga memantau pelaksanaan salat para karyawan Ahmadi di bengkel dan anggota keluarga beliau di rumah. Meskipun sibuk bekerja, beliau selalu mengutamakan pelaksanaan salat dengan meninggalkan pekerjaannya. Tidak seperti kebanyakan pebisnis pada umumnya yang sibuk dan kurang memperhatikan salat, beliau tidak pernah mengqada salat. Beliau bersifat sangat ramah dan penuh kasih sayang. Beliau memiliki hubungan yang akrab dengan semua orang. Beliau memiliki hubungan erat dengan Khilafat. Beliau selalu mendengarkan program-program MTA, khususnya khotbah yang disiarkan di MTA. Beliau selalu siap untuk menghadiri sidang pengadilan dan melaksanakan tugas Jemaat. Dua hari sebelum peristiwa syahid, beliau juga mendapat ancaman dari pihak lawan yang bersikap sangat keras di pengadilan. Beliau telah menerima ancaman sebelumnya juga. Beliau memiliki kecintaan yang mendalam terhadap Al-Quran. Sebelumnya beliau tidak bisa membacanya dengan baik, namun di usia dewasa beliau belajar Al-Quran dan kemudian rutin membacanya serta mendengarkan rekamannya. Beliau selalu memutar rekaman Al-Quran di bengkelnya.
Sebelum peristiwa syahid, seorang teman meminta kepada beliau untuk mengatur donor darah karena penyakitnya. Menanggapi hal itu, almarhum syahid menjawab bahwa ia akan pergi mendonorkan darahnya setelah salat Jumat. Namun Allah berkehendak lain dan Allah Taala menganugerahkan kepada beliau derajat syahid.
Beliau memiliki dua istri. Istri pertamanya, Ny. Maryam Laiq mengatakan, “Beliau selalu memperhatikan kebutuhan kami. Beliau mendidik anak-anak dengan cara terbaik dan sangat memperhatikan pelaksanaan salat. Beliau memperlakukan kedua istrinya sedemikian rupa sehingga mereka hidup seperti dua saudara perempuan. Meskipun pendidikan formalnya terbatas, beliau memiliki pengetahuan umum yang sangat luas. Topik pembicaraan beliau sering kali tentang para nabi. Beliau juga terus mendidik saya dalam berbagai hal.”
Istri kedua, Ny. Farah Laiq, menuturkan, “Beliau juga memberikan tarbiyat kepada saya. Orang tua saya tidak mendidik saya seperti yang dilakukan suami saya dalam waktu dua tahun setelah pernikahan kami.”
Saudara almarhum syahid menuturkan, “Almarhum sering membicarakan tentang kesyahidan dan mengatakan bahwa ini adalah nikmat yang diberikan kepada orang-orang yang beruntung. Beliau sering berkata, ‘Jika tiba waktuku untuk berkorban, aku akan siap menerima peluru di dadaku.’” Selain itu, beliau juga mengatakan, “Bagaimanapun kondisi penentangan, kita harus selalu pergi ke masjid untuk melaksanakan salat karena inilah saat untuk menunjukkan keberanian
Putranya, Hezkiel Ahmad, yang baru berusia 12 tahun, mengatakan bahwa ayahnya telah menasihatinya untuk tidak takut. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak takut dengan kesyahidan ayahnya dan telah menunjukkan keberanian dan ketabahan yang luar biasa. Ia berkata, “Saya juga akan berani seperti ayah saya dan siap menerima peluru di dada saya.”
Almarhum meninggalkan dua istri, tujuh anak, satu saudara perempuan, dan satu saudara laki-laki yang lebih muda. Putri tertuanya berusia 17 tahun, sementara anak perempuan termudanya berusia 1,5 tahun. Berdasarkan mimpi, ia telah memberitahu istrinya bahwa ia bermimpi akan memiliki satu anak lagi. Istri keduanya mengatakan bahwa ketika ia melakukan tes, Allah Taala juga memberkatinya dengan nikmat keturunan.
Mubalig Halqah Society, Tn. Tausif menuturkan: “Almarhum dawam melaksanakan salat lima waktu berjamaah di salat center. Beliau melaksanakan tahajud, menunaikan ibadah-ibadah sunah, taat dan patuh kepada khilafat, memperhatikan orang-orang miskin, berusaha semaksimal mungkin untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Jika ada orang yang membutuhkan di jalan, beliau segera membantunya. Jika melihat mobil seseorang rusak di jalan, beliau berhenti dan membantu mereka. Beliau diam-diam membantu orang-orang yang membutuhkan. Beliau tidak berhenti dalam kebaikan dan melayani tanpa pamrih dalam segala hal. Beliau memiliki keyakinan hakiki pada Zat Allah Taala. Beliau menganggap setiap pekerjaan dan keberhasilannya sebagai hasil dari karunia Allah Taala. Meskipun dalam keadaan sulit dan menghadapi pertentangan, beliau selalu menunaikan salat tepat waktu secara berjamaah di salat center. Beliau adalah orang yang berwatak lembut. Jika dalam keadaan marah seseorang mengatakan sesuatu kepada beliau, beliau tetap diam dan tidak pernah membalas, melainkan tersenyum dan meninggalkan pertemuan tersebut.
Demikian pula Sekretaris Mal telah menulis, atau Ketua Jemaat menuturkan, “Suatu kali perhitungan kami salah. Karena kesalahan, kami mengatakan kepadanya bahwa ada candah yang tertunggak; namun beliau tidak bertanya apakah memang ada tunggakan atau tidak, dan langsung membayarnya, padahal jumlahnya cukup besar yaitu seratus ribu rupee. Kemudian mereka memberitahukan kepada beliau bahwa perhitungan kami salah. Anda tidak memiliki tunggakan, dan ini adalah kelebihan pembayaran, maka beliau berkata, ‘Tidak apa-apa, apa yang telah saya berikan di jalan Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali.’ Beliau beserta keluarganya akan pindah ke luar negeri dan persiapannya sudah lengkap.” Penulis menuturkan, “Satu hari sebelumnya beliau berkata kepada saya, ‘Kami akan pindah ke luar negeri di mana ada kebebasan beragama. Keinginan saya adalah untuk mengajarkan anak-anak azan dan takbir dengan suara lantang dan cara yang baik agar ketika mereka pergi ke sana dan melaksanakan salat berjamaah di rumah, mereka dapat mengumandangkan azan dengan penuh kesungguhan dan kemudian menunaikan salat.’”
Semoga Allah Taala meninggikan derajat almarhum syahid dan juga menjaga keluarga beliau dalam perlindungan-Nya. Semoga Allah Taala segera menyediakan sarana untuk menangkap orang-orang yang memusuhi. Hari ini juga ada sebuah kabar. Di sebuah desa di Qasur, seorang pemuda Ahmadi telah disyahidkan. Rinciannya belum diterima. Semoga Allah Taala segera mengadakan sarana untuk mencengkeram para pelaku kezaliman. Bagi mereka, sekarang hanya bisa dikatakan “Allāhumma mazziqhum kulla mumazzaqin wa saḥḥiqhum taṣḥīqa.” (Ya Allah, hancurkanlah mereka sehancur-hancurnya dan binasakan mereka sebinasa-binasanya).
Jenazah kedua adalah Ny. Amatul Musawwir, istri Tn. Dr. Masud al-Hasan Nuri. Beliau wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Beliau adalah cucu perempuan dari Hazrat Mirza Sharif Ahmad Sahib, cucu dari Hazrat Nawab Amat-ul-Hafiz Begum Sahibah, dan putri dari Mirza Daud Ahmad Sahib. Dengan karunia Allah Taala, beliau adalah seorang musi’ah. Beliau juga adalah sepupu perempuan saya.
Dr. Masud al-Hasan menuturkan, “Hazrat Khalifatul Masih III r.h. sendiri yang mengatur pernikahan kami. Huzur tidak bertanya kepada saya atau orang tuanya, tetapi bertanya kepada ayah saya tentang saya, apakah saya bisa dinikahkan. Pada kesempatan itu, ketika Hazrat Khalifatul Masih III r.a. memberitahu Tn. Kolonel Daud dan istrinya tentang perjodohan tersebut, mereka meminta untuk melakukan istikharah selama beberapa hari. Huzur r.h. bersabda, ‘Saya sudah melakukan istikharah, tidak perlu istikharah lagi. Nikahkanlah.’ Alhasil, pernikahan itu terjadi.”
Beliau menuturkan, “Dengan karunia Allah Taala, selama 51 tahun, kehidupan pernikahan kami penuh dengan cinta, kasih sayang, kesetiaan, dan persahabatan. Istri saya dawam dalam salat dan ibadah. Beliau sangat peduli pada orang miskin dan istimewa dalam menjamu tamu. Beliau memiliki sifat tawakal yang sangat besar dan beberapa tahun terakhir ini beliau sangat tertarik untuk mendalami Al-Quran. Beliau sering bertanya kepada berbagai ulama Jemaat. Beliau juga memiliki minat untuk belajar tentang berbagai agama.”
Kemudian Dr. Sahib menuturkan, “istri saya memiliki peran yang sangat besar dalam pengabdian dan pencapaian pendidikan saya. Jika ada kesempatan untuk berlibur atau pergi berwisata, namun saya harus ke rumah sakit untuk keadaan darurat, istri saya rela berkorban dan berkata, ‘Saya juga tidak akan pergi.’ Demikian pula, beberapa tahun terakhir, sekitar tiga atau empat tahun, istri saya sakit parah. Beliau menanggung penyakit dan kesulitan dengan sangat sabar, tidak pernah mengeluh.”
Putra beliau, Dr. Khalid Nuri, tinggal di Amerika dan juga kerap pergi ke Rumah Sakit Fazl-e-Umar untuk melakukan waqad arzi (waqaf sementara). Beliau mengatakan, “Ibu saya adalah seorang pengkhidmat Jemaat yang tulus. Beliau memiliki kecintaan dan kesetiaan yang luar biasa terhadap khilafat. Beliau tidak pernah terlibat dalam kegiatan sia-sia seperti berbohong, bergosip, atau mengadu domba. Beliau membaca Al-Quran dengan pemahaman yang mendalam. Beliau juga mempelajari buku-buku Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau membaca Tazkirah dengan penuh perhatian dan selalu membawanya. Beliau juga memiliki hobi mengumpulkan benda-benda bersejarah yang langka dan berdiskusi tentangnya dengan para kurator museum dan para peneliti.”
“Dalam kegemaran ini, beliau juga melibatkan saya. Di sekitar Rabwah, terutama di bukit-bukit dekat sungai, beliau melihat, mencari, dan menggali beberapa benda.” Ketika datang ke London, beliau juga membicarakan hal yang sama dengan saya dan menunjukkan benda-benda tersebut kepada saya. Putra beliau menulis lebih lanjut: “Beliau memberikan bantuan keuangan penuh untuk pernikahan orang-orang yang kurang mampu dan membiayai anak-anak karyawan. Beliau mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak perempuan. Beliau memastikan bahwa semua kebutuhan mereka terpenuhi dan selalu tersenyum saat bertemu orang-orang. Putri beliau, Mubarakah, menuturkan: Ibu saya sangat gemar membaca. Baik itu buku-buku Hazrat Masih Mau’ud a.s., atau hal-hal tentang Kristen, atau buku-buku tentang Hinduisme. Beliau membaca berbagai topik dan memperoleh banyak pengetahuan tentangnya. Beliau sangat menghormati para Waqf-e-Zindegi. Beliau juga selalu mendukung ayah saya.”
Setelah pensiun, ketika Dokter Sahib melakukan wakaf (pengabdian), istri beliau ikut bersamanya meskipun setelah itu beliau masih bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup menguntungkan secara duniawi. Putri beliau mengatakan: “Ketika kerabat non-Ahmadi ayah saya datang untuk menyampaikan belasungkawa, mereka mengatakan bahwa almarhumah adalah sosok yang mempersatukan keluarga dan memiliki hubungan dengan semua orang.”
Kemudian putri beliau mengatakan: “Ibu saya juga menasihati untuk tidak membicarakan urusan rumah tangga di luar, dan jika ingin menulis sesuatu kepada Khalifatul Masih, maka harus mengikuti nasihat yang diberikan. Beliau juga sering mengatakan untuk tidak membuang-buang waktu dalam pertengkaran dan perselisihan.”
Sopir RS Tahir Heart Institute, Jalal Ahmad Khan, menuturkan, “Beliau adalah sosok yang sangat baik, berakhlak mulia, penuh empati, dan peduli terhadap orang miskin. Selama perjalanan, beliau selalu memperhatikan kami dan meminta untuk memutar CD Al-Qur’an dengan terjemahannya, yang beliau dengarkan sepanjang perjalanan.” Kemudian ia menambahkan: “Beliau sangat memperhatikan anak-anak saya dan istri saya.”
Kemudian ia menuturkan, “Ketika kami pergi ke kota-kota besar, para pedagang, terutama pedagang di Pindi Islamabad yang mengenal beliau dan sering bertemu, biasanya bertanya, ‘Sudah lama sekali Anda tidak datang.’ Pada awalnya mereka bertanya, lalu beliau menjawab, ‘Sekarang kami telah pindah ke Rabwah, tempat rumah sakit Jemaat berada dan suami saya bekerja di sana. Beliau mengatakannya tanpa rasa takut.’ Kami merasa khawatir.” Semoga Allah Taala memperlakukan beliau dengan magfirat dan rahmat.
Jenazah berikutnya adalah Yang Mulia Tn. Hassan Sanogo Abu Bakar. Beliau adalah mubalig lokal di Burkina Faso. Beliau meninggal dunia beberapa hari yang lalu pada usia 63 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Selama bulan suci Ramadan, beliau memberikan daras Al-Quran harian dalam bahasa Jula yang disiarkan di Radio Islam Ahmadiyah. Sehari sebelum wafatnya, pada tanggal 22 Maret, beliau juga memberikan daras. Beliau memperoleh pendidikan awal di Bobo-Dioulasso, sebuah kota di Burkina Faso, dan kemudian pergi ke Mauritania untuk pendidikan tinggi. Setelah belajar di sana, beliau melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar di Mesir.
Beliau kembali setelah memperoleh pendidikan tinggi dan kefasihan berbicara dalam bahasa Arab. Beliau telah menguasai bahasa Arab dengan baik dan berbicara dengan fasih. Setelah kembali dari Al-Azhar, beliau menetap di Pantai Gading dan mendirikan sebuah madrasah di sana yang memiliki ratusan siswa. Karena kefasihan berbicara dan gaya penyampaian yang bagus – beliau belum menjadi Ahmadi saat itu – beliau menjadi terkenal di Pantai Gading. Ketika para mubaligh Ahmadiyah melakukan tablig di daerah tersebut, para penentang mengajukan Tn. Abu Bakar untuk melawan Ahmadiyah. Beliau sangat bangga dengan kemampuan bahasanya. Beliau sendiri mengatakan, “Ketika perdebatan dimulai, itu adalah sebuah pertandingan. Pada hari itu saya datang dengan mengenakan jubah besar dan bersikap sombong, berpikir bahwa hari ini saya akan mengalahkan orang-orang Ahmadi dan menjadi sangat terkenal serta memperoleh kedudukan yang tinggi.” Namun Allah Taala telah menanamkan kesucian dalam fitrah beliau. Beliau segera menyadari bahwa kebenaran ada di pihak Ahmadiyah dan merekalah yang memiliki dalil-dalil.
Beliau diberi buku Al-Qauluṣ-Ṣarīḥ. Setelah mempelajarinya, Tn. Abu Bakar berdebat dengan mubalig Jemaat, Tn. Abdul Rahman Qanate di Abidjan. Allah Taala memberi petunjuk kepada beliau dan segera dengan berani beliau menerima Ahmadiyah. Peristiwa baiatnya terjadi pada tahun 1986. Saat itu beliau masih muda, berusia sekitar 24-26 tahun. Setelah baiat, beliau meninggalkan madrasahnya dan kedudukannya yang tinggi. Pada masa itu di Pantai Gading diadakan kursus singkat untuk para muallim Ahmadi berbahasa Prancis. Beliau mendaftar di sana dan mewakafkan hidupnya. Beliau segera menjadi salah satu mubalig terbaik Jemaat. Beliau memiliki kemampuan pidato yang sangat baik dalam bahasa ibunya, Jula. Beliau adalah pembicara yang bersuara lantang dan berapi-api. Beliau dengan cepat dapat memikat para pendengarnya. Tn. Idris Shahid ditugaskan ke Burkina Faso pada tahun 1990. Beliau juga mendapat izin untuk membawa Yang Terhormat Tn. Abu Bakar Sanogo dari Pantai Gading ke Burkina Faso.
Di sini beliau ikut serta dalam jihad tablig dan segera mulai meraih kesuksesan di daerah-daerah berbahasa Jula, dan banyak jemaat baru didirikan melalui tablig di sini. Pada tahun 1999, beliau dikirim ke wilayah Dori di Burkina Faso, di mana juga terjadi pensyahidan. Di daerah ini, bahasa Arab umum digunakan. Para ulama setempat berusaha mempengaruhi orang-orang dengan menunjukkan pengetahuan bahasa Arab mereka. Di sini beliau berdebat dengan para ulama besar dan mengalahkan mereka. Beliau bertablig hingga ke desa-desa terpencil sampai-sampai para ulama non-Ahmadi enggan menghadapi beliau dan takut berdebat. Beliau menjadi terkenal di seluruh wilayah sebagai syekh dan ulama besar. Banyak jemaat didirikan di wilayah ini. Demikian pula pada tahun 1991, beliau berhubungan dengan Imam Ibrahim Badiga Sahib Syahid Mahdiabad dan rekan-rekannya, yang segera melakukan baiat dan kemudian pada tahun 2023 meraih kesyahidan dan menjadi bintang-bintang cemerlang Ahmadiyah.
Pada tahun 2002, ketika stasiun radio Ahmadiyah pertama didirikan di Bobo-Dioulasso, Tn. Abu Bakar adalah penceramah nomor satu di radio. Beliau adalah seorang dai ilallah yang sangat bersemangat. Melalui tablig beliau, pesan Ahmadiyah mencapai jutaan orang dan ribuan orang mendapat taufik untuk menerima Ahmadiyah. Selama beberapa tahun, beliau mendapat taufik untuk berkhidmat di Majlis Amilah Nasional. Saat wafat pun beliau menjabat sebagai Sekretaris Rishta Nata. Pada tahun 2012, beliau ditugaskan ke kota Sikasso di Mali. Di sini beliau mendapat taufik untuk melakukan pengkhidmatan luar biasa. Pada tahun 2019, ketika beberapa pemuda di Bobo-Dioulasso membuat kekacauan melawan Nizam Jemaat, saya mengirim beliau kembali ke Bobo-Dioulasso dan menugaskan beliau di sana. Di sini beliau juga ditunjuk sebagai ketua Jemaat. Dengan keberanian besar, kebijaksanaan, kerja keras dan doa, beliau mengakhiri fitnah ini dan semua orang memperbarui baiat mereka. Di antara yang ditinggalkan termasuk ibu, istri, saudara, tiga anak, dan cucu-cucu.
Istri beliau, Aisha Coulibaly, mengatakan, “Beliau selalu siap untuk berkhidmat demi Islam. Meskipun kesehatannya memburuk, beliau selalu memprioritaskan program Jemaat dan perjalanan tablig. Terkadang saya berkata kepada beliau bahwa kondisi beliau sedang tidak baik dan sebaiknya beristirahat sejenak, namun beliau menjawab, ‘Saya telah mewakafkan hidup saya dan akan terus berusaha mengkhidmati agama hingga nafas terakhir saya.’” Istri beliau mengatakan, “Sejak kami menikah, saya belum pernah melihat sehari pun beliau mengatakan tidak bisa melaksanakan tahajud karena sakit. Saya melihat setiap kali ada masalah Jemaat atau pengkhidmatan agama, beliau segera membantu meskipun kemudian jatuh sakit. Beliau memperlakukan kerabat, tamu, dan tetangga dengan sangat baik. Beliau bertemu setiap orang dengan penuh kasih sayang. Beliau memiliki kepribadian yang patut dicontoh. Beliau sangat mencintai Al-Qur’an dan pecinta Rasulullah saw.”
Inilah teladan seorang waqf-e-zindegi dan mubalig yang harus selalu diingat oleh para mubalig kita. Semoga Allah Taala terus menganugerahkan Jemaat orang-orang yang memiliki semangat waqf seperti ini.
Tn. Idris Shahid, mantan Amir Jemaat Burkina Faso, menulis: “Beliau melakukan pekerjaan tablig dengan sangat tekun dan berhasil. Beliau memiliki wajah yang selalu ceria, menyampaikan dalil yang kuat secara ilmiah dan selalu berusaha menjaga standar tinggi dalam pengkhidmatan.”
Muballigh lokal, Tn. Darabul-Hasan, mengatakan, “Ustad Abu Bakar adalah pecinta sejati Rasulullah saw.. Suatu hari, ketika menjelaskan tafsir ayat 38 Surah Al-Ahzab tentang pernikahan Rasulullah saw. dengan Hazrat Zainab r.a., air mata beliau mengalir saat menyebutkan pernyataan-pernyataan tidak berdasar dari para ulama non-Ahmadi. Beliau sedih bagaimana orang-orang ini menisbahkan pernyataan bodoh dan tidak masuk akal kepada Penghulu Alam saw. karena ketidakpahaman mereka.” Jika mereka berbicara seperti itu, itu tidak dianggap sebagai penistaan terhadap kenabian Rasulullah saw., tetapi para Ahmadi yang justru menghormati Rasulullah saw, mereka dianggap melakukan penistaan. Bahkan menyebut nama Rasulullah saw. pun dianggap penistaan.
Kemudian dikatakan bahwa beliau sangat menjaga salat tahajud bahkan selama perjalanan. Beliau sangat menjunjung tinggi kesetiaan kepada khilafat. Jika ada yang berbicara menentang Nizam Jemaat, beliau selalu tampil di depan untuk membela Nizam Jemaat seperti pedang yang terhunus. Beliau tidak pernah menyimpan kebencian atau dendam terhadap siapa pun. Semoga Allah Taala meninggikan derajat beliau dan memberikan taufik kepada anak-anak beliau untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan beliau. Semoga Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mewarisi doa-doa beliau.[1]
Khotbah II:
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim