Riwayat Utsman bin ‘Affan (seri-9)

Riwayat Utsman bin ‘Affan (seri-9)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 110, Khulafa’ur Rasyidin Seri 16)

riwayat utsman bin affan, mirza masroor ahmad

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 09 April 2021 (Syahadat 1400 Hijriyah Syamsiyah/26 Sya’ban 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Baca juga:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Masih melanjutkan mengenai Hadhrat ‘Utsman (ra), yaitu tentang bagaimana kedudukan Hadhrat ‘Utsman dan bagaimana para sahabat melihat beliau; baik di masa kehidupan Nabi (saw) dan juga setelahnya. Terkait hal ini ada sebuah riwayat: Nafi’ meriwayatkan dari Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) bahwa beliau berkata, كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ، ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رضى الله عنهم‏ “Di masa Nabi (saw), kami kerap menganggap satu sama lain sebagai lebih mulia, dan beranggapan Hadhrat Abu Bakr adalah yang terbaik lalu Hadhrat ‘Umar bin Khaththab lalu Hadhrat ‘Utsman bin Affan (r.anhum).” Riwayat Bukhari.[1]

Dalam riwayat lain di Bukhari tertera: Nafi’ meriwayatkan dari Hadhrat Ibnu ‘Umar (r.anhuma) bahwa beliau bersabda, كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لاَ نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ، ثُمَّ نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لاَ نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ‏ “Kami saat di masa Nabi (saw) tidak pernah menyamakan siapapun dengan Hadhrat Abu Bakr, begitu pun dengan Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat ‘Utsman, dan selanjutnya kepada para sahabat Nabi (saw). Tidak ada yang menganggap dirinya lebih unggul dari mereka itu.”[2]

Kemudian, tentang riwayat-riwayat mengenai disebutkannya Hadhrat ‘Utsman diantara orang-orang yang terbaik setelah Nabi (saw), ada riwayat dari Muhammad Al-Hanafiyah bin Ali bin Abi Thalib dimana ia mengatakan, قُلْتُ لأَبِي أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَبُو بَكْرٍ ‏.‏ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ ‏.‏ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولَ عُثْمَانُ “Saya bertanya kepada ayah saya, Hadhrat Ali, tentang siapakah sosok yang terbaik diantara manusia setelah Rasulullah (saw) maka beliau berkata, ‘Abu Bakr.’ Saya bertanya, ‘Setelah beliau siapa?’ Beliau berkata, ‘Umar’, selanjutnya dengan takut saya bertanya, ‘lalu siapa?’, maka beliau menjawab, ‘Hadhrat ‘Utsman.’

Kemudian saya berkata, ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ ‘Wahai Ayah, bukankah Ayah setelah itu?’ Beliau menjawab, مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ‘Saya hanyalah sesosok orang biasa diantara segenap kaum Muslimin.’”[3]

Mengenai hubungan Nabi (saw) dengan Hadhrat ‘Utsman (ra), pandangan beliau (saw) terkait kedudukannya dapat diperkirakan dari peristiwa, dimana Rasulullah (saw) tidak menshalatkan jenazah seseorang yang membenci Hadhrat ‘Utsman. Secara jelas adalah sebagai berikut: Hadhrat Jabir menyampaikan, أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِجَنَازَةِ رَجُلٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا رَأَيْنَاكَ تَرَكْتَ الصَّلاَةَ عَلَى أَحَدٍ قَبْلَ هَذَا “Ada jenazah seseorang yang dibawa ke hadapan Rasulullah (saw) supaya beliau menshalatkannya. Namun beliau tidak menshalatkan jenazahnya. Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sebelumnya saya tidak pernah melihat, di mana engkau tidak menshalatkan jenazah seseorang.’ Atas hal ini beliau bersabda, إِنَّهُ كَانَ يَبْغَضُ عُثْمَانَ فَأَبْغَضَهُ اللَّهُ ‘Orang ini membenci Hadhrat ‘Utsman, sehingga Allah Ta’ala pun membencinya.’”[4]

Kemudian terkait sifat adil yang dimiliki Hadhrat ‘Utsman terdapat riwayat dimana beliau tetap memberikan hukuman kepada saudara laki-laki beliau yang juga telah terbukti bersalah.

‘Ubaidullah bin `Adi bin Al-Khiyar menjelaskan, أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الأَسْوَدِ بْنِ عَبْدِ يَغُوثَ قَالاَ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تُكَلِّمَ عُثْمَانَ لأَخِيهِ الْوَلِيدِ فَقَدْ أَكْثَرَ النَّاسُ فِيهِ‏.‏ فَقَصَدْتُ لِعُثْمَانَ حَتَّى خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً، وَهِيَ نَصِيحَةٌ لَكَ‏ “Hadhrat Miswar bin Makhramah dan Hadhrat Abdurrahman bin Aswad bin Abdi Yaghuts keduanya berkata kepada saya, ‘Apa yang menjadi halanganmu untuk berbicara kepada Hadhrat ‘Utsman tentang saudara laki-lakinya, Walid, karena orang-orang telah sangat banyak menyebut-nyebut hal tersebut, akibat perkara yang salah.’ Saya pun pergi kepada Hadhrat ‘Utsman. Beliau baru berangkat untuk mengerjakan shalat. Saya lalu bertanya, ‘Ada satu hal penting yang ingin saya katakan kepada Anda dan ini semata untuk kebaikan Anda.’

Hadhrat ‘Utsman berkata, يَا أَيُّهَا الْمَرْءُ ـ قَالَ مَعْمَرٌ أُرَاهُ قَالَ ـ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ‏ ‘Betapa hebatnya! Apakah Mu’ammar yang telah mengatakan ini kepada Anda semua. Saya berpikir, merekalah yang telah mengatakannya dan Anda datang seraya membawa pesan mereka.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Saya memohon perlindungan kepada Allah dari Anda sekalian.’[5]

فَانْصَرَفْتُ، فَرَجَعْتُ إِلَيْهِمْ إِذْ جَاءَ رَسُولُ عُثْمَانَ فَأَتَيْتُهُ، فَقَالَ مَا نَصِيحَتُكَ فَقُلْتُ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ بَعَثَ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، وَكُنْتَ مِمَّنِ اسْتَجَابَ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ، فَهَاجَرْتَ الْهِجْرَتَيْنِ، وَصَحِبْتَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَأَيْتَ هَدْيَهُ، وَقَدْ أَكْثَرَ النَّاسُ فِي شَأْنِ الْوَلِيدِ‏ Setelah mendengar ini, ia – yaitu orang yang telah bertemu dengan Hadhrat ‘Utsman – pun beranjak dari sana dan pergi kepada orang-orang itu. Saat itu pun utusan dari Hadhrat ‘Utsman datang, dan saya mendekatinya. Ia [utusan itu] bertanya, ‘Apa yang dimaksud kebaikan menurut Anda? Karena Anda telah tadi berkata [kepada Khalifah ‘Utsman], ‘Saya menginginkan kebaikan untuk Anda.’

Maka saya berkata, “Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad (saw) dengan kebenaran, dan Kitab suci telah diturunkan atas beliau. Anda pun adalah dari antara orang yang telah menerima seruan Allah dan Rasul-Nya (saw) lalu Anda pun telah melakukan dua hijrah. Anda telah menemani Rasulullah (saw) dan Anda telah melihat cahaya Rasulullah’ lalu saya berkata, ‘Walid yang adalah saudara laki-laki Hadhrat ‘Utsman, orang-orang telah banyak membicarakannya.’[6]

Hadhrat ‘Utsman berkata, أَدْرَكْتَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‘Apakah engkau telah mengalami zaman Rasulullah (saw)?’

Beliau bertanya kepada saya. Saya mengatakan, لاَ وَلَكِنْ خَلَصَ إِلَىَّ مِنْ عِلْمِهِ مَا يَخْلُصُ إِلَى الْعَذْرَاءِ فِي سِتْرِهَا‏ ‘Tidak, namun saya mengetahuinya dari hal-hal yang engkau sampaikan. Saya tidak mengalami masa itu, namun hal tentang itu sampai pada saya, yaitu yang ada di zaman Nabi (saw), dimana terkait itu, seorang wanita perawan pun sampai mengetahui hal itu.’

Hadhrat ‘Utsman bersabda, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم بِالْحَقِّ، فَكُنْتُ مِمَّنِ اسْتَجَابَ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَآمَنْتُ بِمَا بُعِثَ بِهِ، وَهَاجَرْتُ الْهِجْرَتَيْنِ كَمَا قُلْتَ، وَصَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَبَايَعْتُهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَصَيْتُهُ وَلاَ غَشَشْتُهُ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ مِثْلُهُ، ثُمَّ عُمَرُ مِثْلُهُ، ثُمَّ اسْتُخْلِفْتُ، أَفَلَيْسَ لِي مِنَ الْحَقِّ مِثْلُ الَّذِي لَهُمْ ‘Sesungguhnya Allah telah mengirimkan Muhammad (saw) dengan kebenaran dan saya termasuk diantara orang-orang yang telah menerima seruan Allah dan Rasul-Nya dan mengimani semua hal yang bersamanya beliau (saw) telah diutus. Saya telah dua kali berhijrah, sebagaimana telah Anda katakan, senantiasa ada bersama Rasulullah (saw) dan telah baiat kepada beliau. Demi Allah, saya tidaklah mendurhakai beliau dan tidaklah pernah menipu beliau hingga waktu dimana Allah pun mewafatkannya. Lalu, Hadhrat Abu Bakr pun menjadi wujud yang saya taati dan demikian pula saya menaati Hadhrat ‘Umar. Saya menaati keduanya. Kemudian saya dipilih menjadi khalifah. Maka apakah bukan merupakan hak saya, sebagaimana yang dulu ada pada mereka, yaitu pada kedua khalifah?”

Saya berkata, “ya, mengapa tidak?”

Maka beliau berkata, فَمَا هَذِهِ الأَحَادِيثُ الَّتِي تَبْلُغُنِي عَنْكُمْ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ شَأْنِ الْوَلِيدِ، فَسَنَأْخُذُ فِيهِ بِالْحَقِّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ‘Lalu apa alasan tentang hal yang terus Anda katakan kepada saya itu, tentang masalah Walid, sebagaimana telah Anda katakan, maka kita Insya Allah akan menghukumnya dengan hukuman yang sesuai, yakni hukuman sesuai kejahatannya, dimana orang mengatakannya apakah ia akan menghukumnya juga.’ ثُمَّ دَعَا عَلِيًّا فَأَمَرَهُ أَنْ يَجْلِدَهُ فَجَلَدَهُ ثَمَانِينَ‏ Setelah itu beliau memanggil Hadhrat Ali dan bersabda kepadanya, ‘cambuklah ia.’ Maka beliau pun mencambuknya sebanyak 80 kali.”[7]

Hadhrat Sayyid Zainal Abidin dalam menafsirkan hadits ini menjelaskan: ini adalah riwayat Bukhari, dan mengenai hukuman keras yang dijatuhkan kepada Walid bin ‘Uqbah ini adalah terkait dakwaan minum minuman keras. Dari kesaksian telah terbukti bahwa itu adalah minuman keras seperti masa jahiliyah, bukanlah manqa’ dan minuman dari korma.

Hadhrat ‘Utsman tidak menghiraukan hubungan keluarga. Bahkan beliau menggandakan hukuman akibat adanya hubungan keluarga. Bukannya 40, tetapi bahkan 80 cambuk. Dan jumlah ini pun telah terbukti seperti yang dilakukan oleh Hadhrat ‘Umar juga.[8]

Kemudian dalam satu riwayat disebutkan, Atha bin Yazid mengatakan, أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ، رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِإِنَاءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الإِنَاءِ فَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “Berkata Humran, hamba sahaya yang telah dimerdekakan Hadhrat ‘Utsman, bahwa dirinya melihat Hadhrat ‘Utsman bin Affan ketika beliau meminta satu tempayan berisi air, dan beliau hingga tiga kali mencuci kedua tangan beliau dengannya. Beliau memasukkan tangan kanan beliau ke dalamnya lalu berkumur-kumur, membersihkan hidung, membasuh wajah lalu tiga kali membasuh kedua tangan sampai siku lalu beliau membasuh rambut beliau lalu membasuh kedua kaki beliau tiga kali hingga mata kaki, lalu bersabda, Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ‘Siapa yang berwudu seperti cara saya berwudhu ini lalu melakukan shalat dua rakaat seperti ini yang di dalamnya ia tidak mencampurkan dengan nafsunya, maka apa saja dosa yang sebelumnya ia lakukan, semua itu akan diberikan ampunan.’”[9]

Mengenai Adzan kedua yang ditambahkan di waktu Jumat hal ini terjadi di masa Hadhrat ‘Utsman. Mengenai azan sebelumnya, secara jelasnya adalah sebagai berikut, عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ Zuhri telah meriwayatkan dari Saib bin Yazid bahwa azan (seruan panggilan) pertama di hari Jumat adalah sebagaimana yang terjadi di masa Nabi (saw), Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar (r.anhuma); yaitu, ketika imam telah duduk di mimbar. Setelah turun dari mimbar (selesai khotbah), barulah iqamat. Di masa Hadhrat ‘Utsman (ra), saat itu orang-orang telah sedemikian banyak sehingga beliau menambahkan azan ketiga di Zaura. Abu Abdullah berkata, Zaura adalah satu tempat yang ada di Pasar Madinah.[10]

Tentang hal ini pun tertera di buku Fiqh Ahmadiyah, dengan berdasarkan pada hadits dimana pada masa Nabi (saw), di masa Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar (r.anhuma), di waktu jumat hanya dikumandangkan satu azan yang disampaikan di dekat mimbar, yang memang berada di dalam masjid. Lalu kemudian di masa Hadhrat ‘Utsman dimulai tentang azan kedua, yang dikumandangkan di sisi pintu masjid, dimana [muazin] berdiri diatas satu pijakan batu yang dinamakan Zaura.[11]

Di kitab syarh (komentar) Sahib Bukhari, yakni Ni’matul Bari (نعمتہ الباری فی شرح صحیح البخاری اردو) tertera penjelasan hadits ini bahwa Ibnu Syihab az-Zuhri meriwayatkan dari Saib, “Mengenai azan ketiga yang terdapat di dalam bab ini, yang dimaksud itu adalah iqamat. Jadi, sebelumnya ada dua azan lalu dijadikan tiga azan.”[12]

Dalam riwayat yang saya bacakan pertama, tertera bahwa saat itu jumlah muslim telah sangat banyak sehingga beliau menambahkan azan ketiga di Zaura. Maksud azan ketiga adalah, sebagaimana azan pertama dan kedua, takbir iqamat pun dinamakan sebagai azan juga. Dengan demikian ada tiga kali seruan untuk shalat.

Terkait tidak adanya shalat Jumat di hari Id pun terdapat riwayat yaitu dari Abu Abid, hamba sahaya yang telah dimerdekakan dari Ibnu Azhar, ia menjelaskan, أَنَّهُ شَهِدَ الْعِيدَ يَوْمَ الأَضْحَى مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ “Ia saat berada di belakang Hadhrat ‘Umar di kesempatan shalat Id di hari Idul Adha, sebelum beliau menyampaikan khotbah, beliau mengimami shalat lalu menyampaikan khotbah di hadapan orang-orang seraya berseru, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْعِيدَيْنِ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَأَمَّا الآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُونَ نُسُكَكُمْ‏ ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah (saw) telah melarang kalian untuk berpuasa di kedua hari id. Hari Id yang pertama ialah hari diwajibkan telah berbuka dari berpuasa dan hari Id kedua adalah hari dimana kalian memakan hasil pengurbanan kalian.’”[13]

Abu Abid berkata, ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ “Kemudian saya bermakmum di belakang Hadhrat ‘Utsman bin Affan sekali dalam kesempatan Id dimana itu pun adalah hari Jumat. Sebelum khotbah, beliau memimpin shalat lalu beliau menyampaikan khotbah di hadapan orang-orang seraya bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ‏ ‘Wahai manusia, ini adalah hari dimana dua Id pun berkumpul. Bagi mereka yang tinggal di sekitar Madinah yang ingin menunggu shalat Jumat, ia dapat menjalankannya; dan bagi mereka yang ingin pulang, saya mengizinkan mereka pulang.’”[14]

Ada satu hal yang tertera di dalam buku Fiqh Ahmadiyah dimana mengenainya saya masih belum menemukan bukti yang jelas. Di sana tertera bahwa apabila jumat dan Id berkumpul dalam satu hari, setelah shalat Id hendaknya jangan melakukan shalat jumat dan tidak pula Zhuhur; bahkan, lakukanlah shalat ashar di waktu ashar. Mengenai ini Ata bin Rabah berkata, اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلاَّهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ “Pada zaman berkuasanya ‘Abdullah ibnuz Zubair satu ketika Jumat dan Idul fitri berkumpul dalam hari yang sama. Hadhrat Abdullah bin Zubair bersabda, ‘Dua shalat Id (Jumat dan ‘Id) dijamak dalam satu hari. Keduanya dilaksanakan secara bersamaan.’ Jadi, beliau melaksanakan kedua rakaatnya sebelum waktu tengah hari. Setelah itu tidak ada shalat hingga waktu ashar.”[15] Yakni, di hari itu hanya shalat ashar lah yang dijalankan. Terkait ini masih perlu ada penelitian lebih lanjut. Ini jugalah yang disabdakan sebelumnya oleh Hadhrat Khalifatul Masih Rabi’ dan beliau pun telah menelitinya.[16]

Sebelumnya saya berpikir untuk tidak melakukannya. Namun tidak kunjung ditemukan satu riwayat pun yang secara langsung merupakan amalan Nabi (saw) dimana beliau pun meninggalkan shalat Zhuhurnya. Hanya satu riwayat ini yaitu dari Hadhrat Abdullah bin Zubair. Mengenai ini perlu ada penelitian lebih lanjut. Mengenai Kitab Fiqh Ahmadiyah tersebut, menurut saya akan ada revisi ulang dan hal ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh, yaitu mengenai kebenaran apakah shalat zhuhur pun tidak dilaksanakan. Tidak mengapa jika shalat Jumat tidak dilaksanakan [bila terjadi Shalat Id di hari Jumat]. Namun, pernyataan bahwa shalat Zhuhur pun agar tidak dilaksanakan, hingga kini tidak ada riwayat langsung dari Nabi (saw) atau dari para Khalifah Rasyidin yang ditemukan kecuali dari riwayat itu saja sejauh penelitian yang sekarang tengah saya jalankan.

Terkait:   Putusan yang Dikeluarkan Setelah Pengkhianatan Bani Quraizhah

Terkait mandi di hari jumat, ada riwayat dimana Hadhrat Abu Hurairah berkata, بَيْنَمَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ دَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَعَرَّضَ بِهِ عُمَرُ فَقَالَ مَا بَالُ رِجَالٍ يَتَأَخَّرُونَ بَعْدَ النِّدَاءِ “Hadhrat ‘Umar ibnu al-Khaththab tengah memberikan khotbah di hadapan orang lalu Hadhrat ‘Utsman bin Affan pun datang. Maka Hadhrat ‘Umar pun memberikan isyarah mengenai beliau seraya bersabda, “Apa yang terjadi pada orang-orang sehingga ia datang terlambat meskipun setelah azan?”

Atas hal ini Hadhrat ‘Utsman berkata, يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا زِدْتُ حِينَ سَمِعْتُ النِّدَاءَ أَنْ تَوَضَّأْتُ ثُمَّ أَقْبَلْتُ “Wahai Amirul Mukminin, saya segera berwudhu di saat mendengarkan azan dan berangkat kemari”.

Hadhrat ‘Umar bersabda, وَالْوُضُوءَ أَيْضًا أَلَمْ تَسْمَعُوا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏ “‏ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ “Hanya berwudhu? Apakah engkau tidak mendengar Rasulullah (saw) telah bersabda, “Apabila engkau pergi untuk shalat jumat, hendaknya ia mandi.” Jika air tersedia maka mandilah.’”[17]

Dalam mata rantai hadits, sangatlah sedikit hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Hadhrat ‘Utsman dibandingkan dengan para sahabat lainnya. Jumlah hadits yang diriwayatkan oleh beliau ialah 146 dimana ada 3 yang muttafaqun ‘alaih (terdapat baik di Bukhari dan Muslim). Ada 8 yang hanya di Bukhari, dan ada 6 yang hanya di Muslim. Jadi, ada 16 hadits beliau yang terdapat dalam shahihain. Sebab kurangnya riwayat yang bersumber dari beliau adalah, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat ‘Utsman adalah محتاط (sangat diperhatikan perihal kehati-hatiannya).

Hadhrat ‘Utsman (ra) bersabda bahwa dalam meriwayatkan sabda Nabi (saw), مَا يَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَكُونَ أَوْعَى أَصْحَابِهِ عَنْهُ وَلَكِنِّي أَشْهَدُ لَسَمِعْتُهُ يَقُولُ “Saya membatasi diri saya karena mungkin daya hafalan saya tidaklah lebih baik dari sahabat yang lain. Hal ini menjadi halangan bagi saya apakah saya menyampaikannya atau tidak; karena sebagaimana daya menghafal saya yang tidak sebaik para sahabat lain dan ternyata perkataan sahabat itulah yang benar sehingga saya sangat berhati-hati dalam meriwayatkan sesuatu. Namun demikian saya bersaksi bahwa saya telah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ ‘Siapa saja yang ingin menisbahkan perkataan yang tidak saya katakan, maka biarkanlah ia membuat tempat kembalinya di api neraka.’”[18] Oleh karena itu, beliau Hadhrat ‘Utsman sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits.

Abdurrahman bin Hatib menyampaikan, ما رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَانَ إِذَا حَدَّثَ أَتَمَّ حَدِيثًا، وَلا أَحْسَنَ مِنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، إِلا أَنَّهُ كَانَ رَجُلا يَهَابُ الْحَدِيثَ “Saya tidak melihat ada satu sahabat pun yang menyampaikan perkataan Rasulullah (saw) secara menyeluruh dan lebih baik daripada apa yang ‘Utsman sampaikan, namun beliau justru merasa takut dalam meriwayatkan hadits.”[19]

Humran bin Aban (حُمْرَانَ بْنِ أَبَانَ) berkata, عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَظَهْرِ قَدَمَيْهِ ثُمَّ ضَحِكَ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ أَلَا تَسْأَلُونِي عَمَّا أَضْحَكَنِي فَقَالُوا “Satu ketika Hadhrat ‘Utsman bin Affan meminta air untuk berwudu. Beliau berkumur lalu membersihkan hidung dengan air, tiga kali membasuh muka, tiga kali membasuh telapak tangan masing-masing sampai siku tangan, membasuh atas kepala dan leher lalu beliau pun tersenyum. Kemudian beliau bersabda kepada para sahabat beliau, ‘Mengapa Anda tidak bertanya tentang sebab saya tersenyum?’

Mereka berkata, مِمَّ ضَحِكْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‘Wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda tersenyum?’

Beliau bersabda, رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِمَاءٍ قَرِيبًا مِنْ هَذِهِ الْبُقْعَةِ فَتَوَضَّأَ كَمَا تَوَضَّأْتُ ثُمَّ ضَحِكَ فَقَالَ أَلَا تَسْأَلُونِي مَا أَضْحَكَنِي فَقَالُوا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ‘Saya telah melihat Rasulullah (saw) pernah meminta air di dekat tempat ini lalu beliau pun berwudu seperti halnya demikian saya telah berwudu. Beliau (saw) pun tersenyum seraya bersabda kepada sahabat, “Apakah Anda sekalian tidak bertanya mengapa saya tersenyum?”

Mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tersenyum?”

Beliau bersabda, إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ وَجْهَهُ حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ خَطِيئَةٍ أَصَابَهَا بِوَجْهِهِ فَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ كَانَ كَذَلِكَ وَإِنْ مَسَحَ بِرَأْسِهِ كَانَ كَذَلِكَ وَإِذَا طَهَّرَ قَدَمَيْهِ كَانَ كَذَلِكَ‏ “Ketika seorang insan meminta air wudhu dan ia membasuh wajahnya, maka Allah memaafkan semua dosanya yang berhubungan dengan wajahnya itu; lalu tatkala ia membasuh kedua sikunya, seperti itulah yang terjadi; lalu ketika ia membasuh kepalanya, maka seperti itulah yang terjadi; lalu ketika ia menyucikan kakinya, maka seperti itulah yang terjadi.”’”[20] Riwayat ini hendaknya disampaikan bersama riwayat sebelumnya dalam hal terkait wudhu.

Berkenaan dengan pernikahan dan putra putri beliau, terdapat Riwayat yang menyatakan bahwa beliau memiliki 8 istri. Semua pernikahan itu dilakukan paska masuk Islam. Nama nama istri dan putra putri beliau diantaranya: [1] Hadhrat Ruqayyah binti Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (رقية بنت رسول الله). Dari beliau terlahir putra yang bernama Abdullah bin ‘Utsman. [2] Hadhrat Ummu Kultsum binti Rasulullah (أم كلثوم بنت رسول الله). Setelah kewafatan Hadhrat Ruqayyah, Hadhrat ‘Utsman menikahi beliau. [3] Hadhrat Fakhitah binti Ghazwan (فاختة بنت غزوان), saudari kandung seorang Amir bernama Hadhrat Utbah bin Ghazwan. Dari beliau terlahir putra yang bernama Abdullah yang disebut dengan Abdullah Asghar. [4] Hadhrat Ummu Amru binti Jundub Asadiyah (أم عمرو بنت جندب الأزدية). Dari beliau terlahir Amru, Khalid, Aban, ‘Umar dan Maryam. [5] Hadhrat Fathimah binti Al-Walid Al-Makhzumiyyah (فاطمة بنت الوليد المخزومية), dari beliau terlahir Sa’id, dan Ummu Sa’id. [6 Hadhrat Ummu Al-Banin binti Uyaynah bin Hishn Al-Fazariyyah (أم البنين بنت عيينة بن حصن الفزارية), dari beliau terlahir Abdul Malik. [7] Hadhrat Ramlah binti Syaibah bin Rabiah (رملة بنت شيبة بن ربيعة الأموية), dari beliau terlahir Aisyah, Ummu Aban dan Ummu Amru. [8] Hadhrat Nailah binti Al-Furafishah (نَائِلَةُ ابْنَةُ الْفُرَافِصَةِ). Sebelumnya Nailah adalah seorang Nasrani, namun sebelum Rukhstanah beliau baiat masuk Islam dan terbukti menjadi seorang Muslimah yang baik. Dari beliau terlahir seorang putri yang bernama Maryam. Ada pendapat juga yang mengatakan bahwa beliau pun memiliki putra bernama Anbasah.

Berdasarkan satu Riwayat, ketika Hadhrat ‘Utsman disyahidkan, beliau memiliki empat istri. Yakni Hadhrat Ramlah, Hadhrat Nailah, Hadhrat Ummu Al-Banin dan Hadhrat Fakhitah. Adapun Riwayat lain mengatakan bahwa ketika terjadi pengepungan di rumah beliau, Hadhrat ‘Utsman telah menceraikan Hadhrat Ummu Al-Banin.[21]

Dalam menjelaskan tafsir surat An-Nur, Hadhrat Khalifatul Masih Awwal bersabda, “Allah Ta’ala berfirman bahwa ada seberkas nur yang merupakan nur makrifat yang dengannya tampak perbedaan antara yang baik dan buruk. Nur tersebut terdapat di rumah-rumah yang di dalamnya disebutkan nama Tuhan pagi dan petang. Orang yang tinggal di dalam rumah tersebut adalah tajir (pedagang besar). Meskipun rumahnya kecil, namun suatu hari Allah Ta’ala akan memperbesar rumah-rumah itu. Sebagaimana pengumpul Al-Qur’an adalah Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq, selanjutnya Hadhrat ‘Umar kemudian Hadhrat ‘Utsman menerbitkannya. Lalu Hadhrat Ali yang menyebarkan ilmu sejati ruhani kepada dunia.” Hadhrat Khalifatul Masih Awwal bersabda, “Saya juga pernah mempelajari secara langsung beberapa makrifat Al Quran dari Hadhrat ‘Ali (ra).”

Hadhrat Khalifatul Masih Awwal bersabda, “Dalam Ruku-Ruku (serial ayat-ayat) ini, Allah Ta’ala juga memberitahukan bahwa Khilafat tidak akan pernah ada di antara kalangan Anshar, melainkan akan ada di antara kaum Muhajirin. Dia juga menyatakan mereka (para Khalifah) akan ditentang oleh umat Muslim dan juga orang-orang kafir. Persis seperti inilah penentangan terhadap Hadhrat Abu Bakr (ra) karena beberapa orang [Muslim] tidak mendukung Khilafat. Allah Ta’ala telah memberikan contoh kedua kelompok tersebut sebagai berikut; orang yang menganggap fatamorgana di gurun seperti air; sementara lainnya adalah mereka yang menentang meskipun berada di dalam samudera Syariat.”

Hadhrat Khalifatul Masih I (ra) lebih lanjut menyatakan, “Hasil akhirnya adalah burung nasar akan memakan daging mereka. Di antara Khulafa-e-Rashidin, Hadhrat Abu Bakr (ra) telah menghadapi kesulitan besar. Sementara tentara di bawah komando Hadhrat Usamah (ra) telah diutus [untuk ekspedisi ke perbatasan Romawi], pemberontakan dimulai di tanah Arab. Orang-orang di Makkah hampir saja menjadi bagian dari pemurtadan ini, namun orang bijak dari kalangan mereka datang tepat pada waktunya dan mengingatkan mereka bahwa merekalah yang terakhir menerima Islam dan sekarang jika mereka murtad maka menjadi orang pertama yang meninggalkan Islam.[22] Atas hal ini, mereka menahan diri untuk tidak menjadi bagian dari ini.”

Beliau bersabda, “Pada kalimat إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ idza fariiqum minhum mu’ridhuun – ‘jika segolongan dari mereka berbalik punggung’, berkenaan dengan kelompok yang disebutkan ini, mereka tidak pernah berhasil dan mendapat dukungan Ilahi pada zaman Hadhrat Abu Bakr, tidak juga pada zaman Hadhrat ‘Umar dan tidak juga pada zaman Hadhrat ‘Utsman dan Hadhrat Ali. Namun, kelompok kedua adalah kelompok yang selalu berhasil dan ditolong yaitu yang mengatakan سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا sami’na wa atha’na (mendengar dan taat). Demikian pula, sebagaimana dalam Al-Qur’an difirmankan, وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Ulaaika humul muflihuun.”[23]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Sesungguhnya saya mengetahui bahwa tidak akan ada orang yang dapat benar-benar menjadi Mukmin (orang beriman) atau Muslim (orang Islam) sebelum menyerap semua corak sifat Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Usman, dan Hadhrat Ali ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin. Mereka tidak cinta duniawi melainkan mewaqafkan kehidupan mereka di jalan Allah semata.”[24]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Akidah ini adalah sangat penting bahwa Hadhrat Shiddiiq Akbar [Abu Bakr] radhiyallahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Faruqi ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu, Hadhrat Dzun Nuurain [‘Utsman] radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan Hadhrat Ali al-Murtadha radhiyallahu ta’ala ‘anhu, semuanya secara fakta dan peristiwa adalah amiin (terpercaya) dalam hal menjaga agama dan memiliki keimanan yang lurus dengan sesungguh-sungguhnya. Hadhrat Abu Bakr radhiyallahu ta’ala ‘anhu adalah Adam Tsani (Adam kedua) bagi Islam dan demikian pula Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat ‘Utsman radhiyallahu ta’ala ‘anhuma, seandainya keduanya tidak tepercaya dalam agama, maka kini sangat sulit bagi kita untuk menyampaikan bahwa setiap ayat Alqur’an Syarif adalah berasal dari Allah Ta’ala.” [25]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: وأَيمُ الله إنه تعالى قد جعل الشيخَين والثالثَ الذي هو ذو النُّورَين، كأبواب للإسلام وطلائع فوج خير الأنام، فمن أنكر شأنهم وحقّر برهانهم، وما تأدّب معهم بل أهانهم، وتصدى للسب وتطاوُل اللسان، فأخاف عليه من سوء الخاتمة وسلب الإيمان. والذين آذوهم ولعنوهم ورموهم بالبهتان، فكان آخر أمرهم قساوة القلب وغضب الرحمن. وإني جربتُ مرارا وأظهرتها إظهارًا، أن بغض هؤلاء السادات من أكبر القواطع عن الله مظهرِ البركات، ومن عاداهم فتُغلَق عليه سُدَدُ الرحمة والحنان، ولا تُفتح له أبواب العلم والعرفان، ويتركه الله في جذبات الدنيا وشهواتها، ويسقط في وهاد النفس وهوّاتها، ويجعله من المبعدين المحجوبين “Demi Allah! Dia telah menjadikan Syaikhain (Dua sesepuh yakni Abu Bakr dan ‘Umar) serta yang ketiga, Dzun nurain (‘Utsman) sebagai pintu gerbang bagi Islam dan pasukan utama Sang Khairul Anaam (sebaik-baik makhluk yaitu Muhammad Rasulullah saw). Siapa yang mengingkari kemuliaan mereka, melecehkan dalil-dalil otentik mereka, tidak bersikap hormat kepada mereka, bahkan terus merendahkan mereka dan mencaci maki dan bermulut lancang kepada mereka, saya khawatir akan nasib akhir kehidupan dan rusaknya iman orang-orang yang seperti itu. Adapun konsekuensi bagi orang-orang yang menyakiti, melaknat dan melontarkan tuduhan kepada mereka adalah hati mereka akan keras dan murka Tuhan Yang Maha Rahman akan menimpa mereka.

Saya telah mengamati dan secara terbuka mengungkapkan hal ini tak terhitung banyaknya bahwa menaruh kebencian dan permusuhan terhadap orang-orang mulia ini adalah salah satu faktor utama yang memutuskan ikatan manusia dengan Tuhan, Yang Maha Pemberi berkah. Siapapun yang menaruh permusuhan terhadap mereka, maka jalan untuk meraih rahmat dan belas kasihan atas orang itu akan ditutup. Pintu ilmu dan makrifat tidak akan dibuka lagi baginya, Allah Ta’ala akan membiarkan mereka dalam keinginan dan kesenangan duniawi dan mereka dilemparkan ke jurang nafsu duniawi dan Dia mengusir mereka dari ambang Ilahi dan mereka tetap luput.”[26]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) kemudian bersabda, “Apapun kemajuan Islam yang dicapai setelah Nabi (saw) adalah melalui tiga sahabat ini, yaitu Hadhrat Abu Bakr, ‘Umar (ra) dan ‘Utsman (ra).”[27]

Kemudian dalam menjelaskan perihal kaum Ahlu Tasyayyu’ (Syiah), Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, وكيف نشكوكم على سبّكم وإنكم تلعنون الصحابة كلهم إلا قليلا كالمعدومين، وتلعنون أزواج رسول الله أمّهات المؤمنين، وتحسبون كتاب الله كلاما زِيدَ عليه ونقص، وتقولون إنه بياض عثمان وأنه ليس من رب العالمين. فلعَنكم الله بفسقكم وصرتم قومًا عمين. وحسبتم الإسلام كواد غير ذي زرع خاليا من رجال الله المقرّبين. فأيُّ عِرض بقي مِن أيديكم يا معشر المسرفين؟ “Apa yang bisa dikatakan tentang caci-maki yang kalian lontarkan, Anda telah lancang kepada segenap sahabat, kecuali segelintir diantara mereka. Selain itu, kalian mengutuk istri-istri Nabi (saw), para Ibu orang-orang Beriman. Kalian juga mengklaim Al Quran telah dikurangi dan ditambahkan dan menyatakan Al-Qur’an saat ini adalah Al-Qur’an ‘Utsman (ra) dan bukan dari Allah Ta’ala. Kalian menganggap Islam seperti tanah terlantar yang benar-benar kering dan tandus, artinya benar-benar kosong dari hamba-hamba Tuhan yang benar.” Beliau (as) lebih lanjut bersabda, “Setelah melewati semua batasan ini, kehormatan apa lagi yang tersisa dalam diri kalian?”[28]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan, “عُلّمتُ من ربي في أمر الخلافة على وجه التحقيق، وبلغتُ عمق الحقيقة كأهل التدقيق، وأظهر عليّ ربي أن الصِدّيق والفاروق وعثمان، كانوا من أهل الصلاح والإيمان، وكانوا من الذين آثرهم الله وخُصّوا بمواهب الرحمن، وشهد على مزاياهم كثير من ذوي العرفان. تركوا الأوطان لمرضاة حضرة الكبرياء، ودخلوا وطيس كل حرب وما بالَوا حَرَّ ظهيرة الصيف وبرد ليل الشتاء، بل ماسوا في سبل الدين كفتية مترعرعين، وما مالوا إلى قريب ولا غريب، وتركوا الكل لله ربّ العالمين. وإن لهم نشرًا في أعمالهم، ونفحات في أفعالهم، وكلها ترشد إلى روضات درجاتهم وجنات حسناتهم. ونسيمهم يُخبر عن سرّهم بفوحاتها، وأنوارهم تظهر علينا بإناراتها. فاستدِلُّوا بتأرُّجِ عَرفهم على تبلُّج عُرفهم، ولا تتبِعوا الظنون مستعجلين. ولا تتكئوا على بعض الأخبار، إذ فيها سمّ كثير وغلوّ كبير لا يليق بالاعتبار، وكم منها يشابه ريحًا قُلّبًا، أو برقًا خُلّبًا، فاتّقِ الله ولا تكن من متّبعيها” “Saya telah diberikan pengetahuan yang mendalam oleh Tuhan saya tentang Khilafat. Dan seperti para peneliti lainnya, saya juga bisa menyelidiki masalah ini secara mendalam dan Tuhan saya telah mengungkapkan kepada saya bahwa ash-Shiddiq (Hadhrat Abu Bakr (ra)), al-Farooq (Hadhrat ‘Umar (ra)) dan Utsman (ra) adalah orang-orang beriman yang saleh, yang termasuk di antara orang-orang pilihan Allah Ta’ala dan disukai dengan karunia khusus dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Lebih jauh, banyak dari antara orang bijak yang menjadi saksi akan kebajikan mereka. Mereka terpaksa meninggalkan tanah air mereka demi menarik keridhaan Allah Ta’ala.

Mereka senantiasa bergabung dalam setiap panasnya peperangan pada zamannya. Panas teriknya tengah hari di musim panas dan dinginnya malam pada musim dingin tidak mereka pedulikan. Mereka terus berjuang di jalan agama laksana barisan para pemuda yang tangkas dan gagah. Mereka tidak condong kepada orang-orang yang dekat di sekitar mereka dan tidak pula kepada orang-orang yang jauh, mereka telah meninggalkan segala sesuatu demi Allah, Tuhan sekalian alam.

Tindakan mereka dijiwai dengan wewangian dan perbuatan mereka dengan aroma. Semua ini mengarahkan pada taman-taman yang sesuai dengan mereka dan kebun buah-buahan dari amal saleh mereka. Demikian pula, hembusan aromatik zephyr mereka [lembut, angin harum] mengungkapkan kualitas mereka, dan cahayanya menjadi nyata bagi kita dengan semua pancarannya. Jadi, Anda harus memastikan kilauan maqom mereka dari aroma wangi mereka dan janganlah tergesa-gesa untuk mengikuti prasangka buruk. Dan jangan hanya mengandalkan narasi tertentu karena di dalamnya penuh dengan racun dan dilebih-lebihkan dan tidak bisa dipercaya. Banyak dari narasi tersebut yang seperti angin kencang dan merusak dan seperti kilat yang menipu seseorang untuk berpikir bahwa akan ada hujan. Jadi, takutlah kepada Allah dan jangan ikuti riwayat seperti itu.” [29]

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 16)

Dengan demikian berakhirlah penjelasan berkenaan dengan kehidupan Hadhrat ‘Utsman (ra). Untuk selanjutnya akan disampaikan perihal kisah kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) insyaAllah.

Tim Alislam telah menyiapkan versi pertama dari situs baru pencarian Al-Qur’an – holyquran.io. Situs web ini dapat diakses secara terpisah dari situs alislam. kita dapat melakukan pencarian untuk setiap bab, ayat, kata atau pokok bahasan dalam bahasa Arab, Inggris dan Urdu melalui mesin pencari terbaru. Hasil pencarian dapat dilihat melalui terjemahan jemaat dan ghair. Di bawah setiap ayat, kita dapat membaca tafsirnya, topik dan berbagai ayat lainnya yang berhubungan dengannya. Pekerjaan lebih lanjut dalam memproduksi konten sedang berlangsung dan versi berikutnya akan disiapkan pada Jalsah Salana UK 2021, Insya Allah. Selain itu, versi modern dari readquran.app di situs alislam juga telah disiapkan di mana kita dapat membaca, mendengarkan dan melakukan pencarian Al-Qur’an. Bersamaan dengan tafsir bahasa Inggris, ada juga catatan Tafsir-e-Saghir, terjemahan literal dari Al-Qur’an dalam bahasa Inggris dan indeks dari semua topik. Ini juga termasuk berbagai fitur lain yang akan bermanfaat untuk tilawat Al-Qur’an sehari hari. Semoga proyek ini dapat menjadi sarana untuk menyebarkan ajaran Al-Qur’an ang indah ke seluruh dunia dan semoga anggota Jemaat juga memperoleh manfaat sebanyak banyaknya darinya.

Saya juga ingin menghimbau Anda untuk mendoakan para Ahmadi di Pakistan. Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaan mereka dan memberikan kemudahan bagi mereka. Demikian pula, semoga Allah Ta’ala memberikan ketabahan kepada para Ahmadi di Aljazair dan memperbaiki keadaan yang saat ini mereka alami.

Sekarang saya akan sampaikan dzikr khair (kenangan baik) beberapa jenazah dan akan menyalatkannya nanti. Banyak sekali permohonan yang diterima, namun sulit untuk menyampaikan semuanya (dalam khotbah). Saya akan sampaikan sebagiannya selebihnya telah termasuk namun tidak disebutkan Namanya. Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirah dan kasih sayangNya kepada mereka. Saya akan bacakan beberapa diantaranya. Pertama Yth. Muhammad Sadiq Durgarampuri Sahib dari Dhaka Bangladesh. Pada 14 nevember 2020 wafat pada usia 75 tahun. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Selain beberapa posisi lain dalam jemaa, beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat untuk waktu yang lama sebagai sekr nasional Waqf e nou. Beliau melakukan kunjungan secara rutin untuk melakukan pertemuan dengan para waqf e nou dan juga orang tua mereka kejemaat jemaat yang jauh jauh. Beliau juga rajin pergi ke masjid meskipun dalam keadaan sakit. Beliau adalah musi, Meninggalkan istri 3 putra dab 1 putri.

Jenazah berikutnya, seorang almarhumah bernama Mukhtaran Bibi Sahibah istri dari Rashid Ahmad Athwal Sahib Darul Yaman Rabwah. Beliau adalah mertua dari Naeem Bajwa Sahib Principal Jamiah Mubashirin Burkinafaso. Beliau wafat pada 16 januari, inna lillaahi wa innaa ilaihi rajiuwn. beliau telah mendapatkan taufik berkhidmat di Majlis Amilah Lajnah Imaillah Darul Yaman Gharbi selama 17 tahun. Beliau mendapat taufik untuk memberikan pengorbanan harta di berbagai negeri. Allah Ta’ala telah memberikan taufik kepada beliau untuk berkorban harta senilai ratusan ribu rupees. Beberapa jam sebelum wafat, Ketika mata beliau terbuka berkata: Dimana gelang gelang (emas) saya? Beliau mengatakan kepada putra beliau: Tolong kamu jual gelang gelang ini dan uangnya serahkan kepada pak ketua yang nilainya sekitar 350 ribu rupees, almarhumah berpesan untuk membeli antena parabola untuk keperluan MTA.

Pada tahun 1995 dua putra beliau wafat karena kecelakaan. Almarhumah tabah dalam menghadapi insiden tersebut. Tidak pernah menyebut nyebut dan mengeluhkan kejadian itu dan ridha atas keridhaan Allah Ta’ala. Beliau sangat gemar bertabligh. Beliau gigih bertabligh dengan pergi ke perkampungan sekeliling Rabwah hingga tempat yang jauh. Beliau mencintai Al Quran. Selain tilawat sendiri secara rutin beliau pun mengajar yassarnal Quran kepada anak anak di lingkungan beliau. Almarhumah adalah seorang musiah. Selain suami, beliau meninggalkan satu putra dan 4 putri. 3 putri beliau menetap di London dan satu di Burkina faso. Putri-putri beliau yang di London aktif berkhidmat di jemaat. Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirah kepada beliau.

Jenazah berikutnya, Manzoor Ahmad Syad Sahib yang wafat pada 17 januari pada usia 82 tahun. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Jemaat masuk kedalam keluarga beliau melalui ayah beliau Hadhrat Mia Abdul Karim Sahib sahabat Hadhrat Masih Mauud as, pada tahun 1903. Ketika Hadhrat Masih Mauud as berkunjung ke Jehlem untuk menghadiri persidangan Karam Deen, Syad sahib pindah ke Karachi pada tahun 1956. Kemudian beliau mendapat taufik untuk berkhidmat di Karachi sebagai Qaid dan bekerja dengan sangat baik pada badan Khuddam disana Beliau juga mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai ketua jemaat di Drag road koloni dan sebagai Naib Amir di daerah Karachi. Beliau juga termasuk diantara delegasi yang menyambut Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi di Sakhar pada tahun 1984. Sampai keberangkatan Hudhur beliau terus menyertai di Airport. Pada tahun 2010 beliau pindah ke London. Beliau memberikan waktu secara rutin di klinik homeopathy di Baitul Futuh. Ketika wafat beliau tengah mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai sekretaris tarbiyat dan dan sekretaris tarbiyat mubayiin baru. Almarhum adalah seorang mushi. Dua cucu beliau adalah seorang muballigh dan berkhirmat di UK. Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirahnya dan kasih sayangNya kepada beliau.

Jenazah berikutnya, Hameedah Akhtar Sahibah istri dari Abdur Rahman Saleem Sahib dari USA. Wafat pada tanggal 19 Januari, pada usia 92 tahun. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Allah Ta’ala memberikan taufik kepada beliau untuk berkhidmat di Lajnah Imaillah Karachi dan Rawalpindi untuk masa yang Panjang yakni 50 tahun. Beliau juga pernah berkhirmat sebagai sekretaris umum dan ketua LI dan pengawas qiyadat. Beliau sangat mencintai Khilafat. Beliau juga menasihatkan anak anak untuk menjalin hubungan dengan khilafat dengan penuh ketulusan. Sepanjang umur beliau dawam mendirikan shalat fardhu dan tahajjud. Beliau mengatur secara khusus untuk menilawatkan Alquran dan mengajarkannya. Bleiau mengajarkan ALquran kepada anak anak beliau sendiri dan juga orang lain. Beliau juga mendapatkan kemuliaan untuk umrah. Beliau seorang musiah. Beliau meninggalkan 5 putra dan 2 putri. Sebagian besar diantaranya berkhidmat di jemaat dalam berbagai posisi. Diantaranya Dr Abdus Salam Sahib dan Dr Khaleeq Malik Sahib berkhidmat dengan sangat baik. Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirah dan kasih sayangnya kepada beliau.

Jenazah berikutnya adalah Mukarram Nasir Peter Lotsin Sahib, seorang Ahmadi berkebangsaan asli Jerman. Beliau wafat pada 20 Januari, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Putri beliau menuturkan, pada suatu hari tahun 1983, orang tua saya melewati pasar utama kota Hannover. Tiba tiba pandangan beliau tertuju ke sebuah stall yang didalamnya hanya terdapat meja yang diatasnya terpajang beberapa buku perkenalan. Dibalik meja tengah berdiri dua pemuda yang berasal dari luar negeri. Beliau berkenalan dengan para pemuda itu. Ternyata itu adalah stall tabligh Jemaat Ahmadiyah, sebagai perwakilan Islam. Almarhum melontarkan beberapa pertanyaan kepada para pemuda itu dan membawa pulang beberapa literatur jemaat. Setelah membaca literatur tersebut almarhum mengadakan pertemuan lagi dengan pihak jemaat.

Para Ahmadi itu mengundang makan beliau bulan Ramadhan. Putri beliau menuturkan: Kedua orang tua saya pergi untuk menghadiri buka bersama di rumah mereka Para Ahmadi itu menggelar karpet di lantai dan meletakkan hidangan diatas kertas surat kabar karena tidak ada tempat duduk saat itu. Orang tua saya menyantap dan menyukai masakannya, namun lebih dari sekedar itu orang tua saya sangat terkesan dengan kesederhanaan dan pengkhidmatan tamu yang dilakukan oleh para Ahmadi itu. Setelah menyantap hidangan lalu kami berbincang bincang. Setelah itu kami saling mengunjungi satu sama lain.

Setelah menelaah dan meneliti selama beberapa bulan, pada tahun 1984 kedua orang tua saya baiat masuk ke dalam jemaat muslim ahmadiyah. Baiat terjadi pada hari eid. Almarhum pergi ke Hamburg bersama dengan kawan kawan local dan mendapatkan kemuliaan untuk baiat di sana. Beliau juga mendapatkan kesempatan untuk berpidato pada kesempatan Jalsah Salanah.

Ibu saya memiliki ketertarikan yang khas terhadap agama. Kecintaan beliau untuk mencari agama yang benar telah mengalihkan perhatian beliau pada jemaat Ahmadiyah. Setelah itu timbul jalinan dengan Tuhan Yang Maha Hidup. Beliau juga sering menyakiskan berbagai tanda pengabulan doa. Bagaimana Allah Ta’ala memperlihatkan tandaNya kepada beliau.”

Putri beliau menuturkan, “Salah satu penglihatan ibu saya mengalami kerusakan, namun setelah mengikuti jalsah salanah UK pada tahun 1986 tiba tiba pandangan kembali membaik. Sebelumnya mata beliau sama sekali tertututp, kemudian mat aitu juga secara perlahan lahan mulai dapat melihat. Beliau meyakini bahwa kejadian itu tidak kurang dari sebuah mukjizat. Mukjizat ini muncul setelh selama 11 tahun beliau luput dari pandangan sebelah mata. Beliau mengatakan bahwa ini semata mata murni karena doa dan keberkatan doa doa yang dipanjatkan pada saat jalsah salanah.

Ketika tengah berada di London ibu saya juga sering tinggal di rumah seorang Ahmadi berkebangsaan Jerman bernama Khadijah. Suatu hari ayah dan ibu saya keluar dari rumah Ahmadi tadi untuk berjalan-jalan. Jarak yang ditempuh sudah cukup jauh sehingga lupa jalan pulang ke rumah Ahmadi itu. Seiring dengan hari semakin gelap, kekhawatiran beliau pun semakin bertambah. Beliau-beliau berdua berdiri di suatu jalan yang lalu lintasnya sangat sibuk dan benar-benar tidak tahu ada dimana beliau saat itu. Ketika malam semakin larut dan lupa arah, saat itu ibu saya terus berdoa. Baru saja selesai berdoa ternyata beliau melihat ada menantu Khadijah Sahiba datang mengendarai mobil menghampiri beliau dan mengatakan, ‘Mai, silahkan masuk ke mobil, saya akan antar ibu ke rumah.’ Pemandangan pengabulan doa ini semakin memberikan kesegaran dan keteguhan pada keimanan beliau. Peristiwa pengabulan doa ini semakin menyegarkan dan memperkuat keimanan beliau.

Laiq Munir Sahib, Mubaligh Jerman menulis, seluruh keluarga Leitsin Sahib adalah Ahmadi. Saat itu kami biasa mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya keluarga Ahmadi Jerman. Beliau seorang yang sangat tulus, tidak banyak bicara dan baik. Leitsin Sahib selalu terdepan dalam pengorbanan harta. Beliau biasa memberikan ceramah dalam program-program pertablighan. Ketika nama Hadhrat Masih Mau’ud (as) disebut mata beliau menjadi berkaca-kaca. Dalam suatu pertemuan pertablighan Almarhum menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan cara yang begitu indah sehingga seorang Jerman yang berusia 70 tahun datang menghampiri saya dan mengatakan bahwa saya tidak pernah mendapatkan penjelasan-penjelasan mengenai Islam yang seperti ini sebelumnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum dan meneguhkan anak keturunan Almarhum di Jemaat.

Jenazah selanjutnya, yang terhormat Raziah Tanwir Sahibah dari Kanada, istri dari Khalil Ahmad Tanwir Sahib, Mubaligh Jemaat yang merupakan Wakil Prinsipal Jamiah Rabwah. Beliau wafat di Kanada pada 27 Januari di usia 58 tahun. Beliau mengidap penyakit kangker. Almarhum dari semenjak kecil sangat tertarik dengan tugas-tugas keagamaan yang mana ini tetap teguh hingga akhir hayatnya. Beliau mendapatkan kesempatan berkhidmat sebagai penulis dan akuntan di kantor Lajnah Imaillah Pakistan, kantor majalah bulanan ‘Misbah” dan berbagai departemen lainnya dan pengkhidmatan ini terus berlangsung hingga beliau sakit. Almarhum mendapatkan taufik banyak bekerjasama dengan Hadhrat Chotti Apa Sahibah dan mempelajari banyak hal serta mendapatkan taufik dari doa-doa beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.

Jenazah selanjutnya, Mia Manzur Ahmad Ghalib Sahib, putra Mia Sher Muhammad Sahib dari Dudah, Distrik Sargodha. Beliau wafat pada 7 Februari. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Kakak laki-laki beliau mendapatkan taufik menerima Jemaat pada tahun 1955. Kemudian beliau pindah ke Rabwah bersama kakak laki-laki beliau dan di sana beliau baiat. Putra beliau yang ada di Belgia menuturkan, “Beliau seorang yang sangat mencintai Khilafat dan dalam ketaatan kepada Khalifah beliau tidak melakukan penafsiran, melainkan mengamalkan persis seperti yang disampaikan Khalifah dan saya mengenal beliau secara pribadi. Dan sungguh beliau seorang yang mengkhidmati Jemaat dengan penuh keikhlasan dan kesetiaan serta menaati Khilafat. Beliau seorang yang mengutamakan agama di atas dunia, seorang pengkhidmat agama, ramah terhadap tamu, sederhana, peduli dengan orang-orang miskin, penuh kasih sayang dan memiliki kepribadian yang memikat hati. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Maal, Sekretaris Waqfi jadid, Sekretaris Tahrik Jadid di Khuddamul Ahmadiyah Daerah, Ansharullah Daerah dan di Jemaat pada level daerah di Sargodha dan beliau melaksanakan pengkhidmatannya dengan sangat baik. Seorang cucu beliau Safir Ahmad Sahib adalah Mubaligh Jemaat yang saat ini berkhidmat di Private Secretary. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Bushra Hamid Anwar Adni Sahibah, istri dari Hamid Anwar Sahib, dari Eden, Yaman dan merupakan ibunda dari yang terhormat Muhammad Ahmad Anwar Sahib, seorang sukarelawan kita di MTA serta mertua dari Munir Ahmad Odeh Sahib, Direktur Produksi MTA. Beliau wafat pada 14 Februari di usia 69 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah cucu dari Hadhrat Haji Muhammad Din Sahib Diyalwi dan Hadhrat Husein Bibi Sahibah yang merupakan sahabat dari Hadhrat Masih Mau’ud (as) Beliau juga mendapatkan taufik berkhidmat di MTA. Beliau dalam jangka waktu yang lama bekerja secara rutin mengirimkan seluruh data program Liqaa Ma’al ‘Arab dan bersamaan dengan itu beliau juga berkhidmat di Al-‘Arabiyyah. Beliau merasa senang melakukan segala macam pengkhidmatan terhadap Jemaat. Beliau seorang wanita yang penyabar dan bersyukur. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya pada Almarhum.

Jenazah selanjutnya, yang terhormat Nurush Shubah Zafar Sahibah, istri dari Muhammad Afzal Zafar Sahib, Mubaligh Jemaat Alderaid, Kenya yang wafat pada 25 Maret di usia 62 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah putri bungsu dari Mubaligh Jemaat, Almarhum Maulana Muhammad Said Anshari Sahib. Adik Ipar dari Almarhum Nasim Bajwah Sahib, UK. Suami beliau Muhammad Afzal Sahib menulis, dengan karunia Allah Ta’ala beliau disiplin melaksanakan shalat lima waktu, rajin tahajud dan secara dawam menilawatkan Al-Quran setiap hari. Beliau sangat yakin pada doa. Beliau sendiri setiap saat selalu sibuk dalam berdoa dan juga senantiasa menasihatkan anak-anak beliau untuk banyak berdoa. Kemudian beliau juga secara rutin menyimak khotbah-khotbah Khalifah-e-waqt dan setelahnya untuk tarbiyat anak beliau menyampaikan kembali poin-poin pilihan kepada mereka. Beliau sering menceritakan peristiwa-peristiwa menggugah iman dari hadits, tarikh dan buku-buku Jemaat dan selalu menasihatkan untuk berkhidmat pada agama dan senantiasa menjalin hubungan dengan Khilafat.

Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushiah dan sangat dawam dalam pembayaran candah. Beliau senantiasa ikut serta dalam setiap pengorbanan harta. Allah Ta’ala telah menganugerahkan kelapangan dada kepada beliau dalam mengkhidmati tamu. Beliau menuturkan, selama 21 tahun saya bersama Almarhum dan dalam kebersamaan tersebut Almarhum senantiasa sangat simpatik dan terpuji. Kebersamaan ini patut untuk dipuji. Istri pertama Zafar Sahib bersama dengan 4 orang anaknya syahid dalam sebuah kecelakaan ketika beliau menjadi mubaligh di Fiji. Ini adalah pernikahan kedua Zafar Sahib dan dari istrinya yang pertama beliau memiliki dua putri. Almarhumah memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu kandung kepada mereka yang mana ini diungkapkan sendiri oleh putri-putrinya bahwa Almarhumah tidak membiarkan kami merasa bahwa beliau bukan ibu kandung kami. Almarhum juga senantiasa memberikan tarbiyat yang baik kepada mereka dan mengajari mereka, dan bahkan tidak hanya memperlakukan putri-putrinya dengan baik, beliau juga memperlakukan mertua terdahulu saya sedemikian rupa sehingga mereka pun terkesan dengan keindahan akhlak beliau.

Putri Almarhum mengatakan, “Ketika beliau datang dalam kehidupan kami, beliau datang sebagai satu cahaya, satu sandaran dan seorang ibu yang penuh kasih sayang dan beliau memberikan kami cinta dan kasih sayang sedemikian rupa sehingga kami tidak merasa beliau bukan ibu kandung kami dan beliau sendiri mempunyai satu orang putri namun beliau tidak pernah membeda-bedakan di antara ketiga orang putrinya. Beliau seorang wanita yang tulus dan berjiwa pengorbanan, bertawakal pada Dzat Allah Ta’ala, senantiasa menasihatkan untuk menjalin ikatan dengan Khilafat Ahmadiyah dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Beliau senantiasa menasihatkan untuk menghormati dan menjalin silaturahmi dengan kaum kerabat.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya pada Almarhumah.

Jenazah selanjutnya Sultan Ali Raihan Sahib, ayahanda dari Muhammad Ahmad Naim Sahib, Mubaligh Markazi Jemaat di Arabic Desk, UK yang wafat pada 26 Maret di usia 83 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Muhammad Ahmad Sahib menulis, “Pada tahun 1958 paman kami baiat setelah mempelajari sendiri Jemaat. Setelah itu beliau bertabligh kepada ayah saya dan mengutusnya ke Jalsah di Rabwah, dan setelah membaca satu-dua buku dengan karunia Allah Ta’ala beliau pun ikut baiat. Setelah baiat, dua bersaudara ini mendapatkan penentangan yang berat dan terjadi upaya-upaya pembunuhan terhadap mereka berdua, namun Allah Ta’ala melindungi. Para Maulwi (Ulama) datang ke kampung dan terus-menerus mengatakan kepada orang-orang kampung, ‘Kenapa kalian tidak bisa membunuh dua anak laki-laki [yang masuk Ahmadiyah] ini?’

Terkait:   Kegembiraan Sejati dalam Meraih Id Hakiki

Namun, Allah Ta’ala senantiasa memberikan perlindungan-Nya. Tetapi, meskipun demikian beliau tetap menjalin hubungan dengan para kerabat dan orang-orang kampung yang Non-Ahmadi hingga akhir hayatnya. Meskipun mereka memusuhi, beliau tetap bersikap baik kepada mereka. Beliau memiliki dua putra dan enam putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya pada Almarhum. Muhammad Ahmad Naim Sahib juga tidak bisa datang ke pemakaman ayahnya.

Kemudian jenazah selanjutnya Maulwi Ghulam Qadir Sahib, Mubaligh Jemaat dan Waqaf Zindegi dari Kalaban, Distrik Rajouri, Provinsi JammuKashmir, yang wafat pada 26 Maret di usia 56 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga Maulwi Ghulam Qadir Sahib melalui kakek beliau, yang terhormat Bahadur Ali Sahib. Tiga belas (13) orang dari keluarga ini dengan karunia Ta’ala saat ini sedang sibuk mengkhidmati Jemaat. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Mubaligh selama 34 tahun 6 bulan. Di manapun ditugaskan Almarhum menjalankan tugas ta’lim dan tarbiyat dengan senang hati dan kerja keras hingga akhir hayatnya. Beliau memiliki kecerdasan dalam bertabligh. Beliau seorang yang teguh menghadapi kesulitan-kesulitan dan penentangan-penentangan di medan pertablighan. Seorang yang sangat sabar, bersyukur, qana’ah dan mubaligh yang pemberani. Di antara yang ditinggalkan, selain istri beliau juga ada 3 orang putra dan 2 orang putri. Seorang putra beliau, Bashiruddin Qadir Sahib sedang menempuh pendidikan di Jamiah Qadian tingkat akhir. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum.

Jenazah selanjutnya, Mahmudah Begum Sahibah Arif, istri dari Muhammad Sadiq Sahib, seorang Darwesy Qadian yang wafat pada 1 April disebabkan oleh gagal jantung. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhumah adalah cucu dari Hadhrat Qazi Ashraf Ali Sahib (ra), sahabat Hadhrat Masih mau’ud (as) dari Alipur Khera, Distrik Minpur, Provinsi Uttar Pradesh dan putri dari Almarhum Qazi Shad Bakhs. Beliau menikah dengan Almarhum Muhammad Arif Shadiq Sahib Darweisy. Almarhum melewati masa-masa sebagai Darweisy bersama dengan suami beliau dengan penuh kesabaran dan rasa syukur. Bahkan ketika menderita kelaparan pun beliau selalu memperlihatkan contoh kesabaran dan tidak pernah menceritakan kesusahan di hadapan siapa pun. Beliau disiplin dalam shalat, bahkan ketika sakit menjelang kewafatan pun Almarhumah sangat gelisah untuk bisa melaksanakan shalat. Almarhumah sangat memberikan perhatian pada tilawat Al-Qur’an, sangat dawam dalam candah-candah. Seorang yang memiliki ikatan yang kuat dengan khilafat dan selalu menasihatkan ini pada anak-anaknya. Almarhumah adalah seorang Mushiah. Almarhumah meninggalkan 3 putra dan 2 putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya.

Jenazah selanjutnya Khalid Sa’adullah Al-Mishri Sahib, dari Yordania yang wafat beberapa hari yang lalu di usia 60 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah Ahmadi pertama di keluarganya. Beliau seorang yang sangat tulus, disiplin dalam shalat, dawam dalam candah dan mentaati nizam Jemaat. Seorang yang berakhlak mulia, pengkhidmat tamu dan ramah. Seorang yang pendiam dan jarang bicara. Bagi beliau sabda Khalifah-e-waqt adalah keputusan final. Beliau secara rutin menonton MTA, khususnya Khotbah Jum’at. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya pada Almarhum.

Jenazah selanjutnya adalah yang terhormat Muhammad Munir Sahib dari Darul Fazl Rabwah yang wafat pada 1 April di usia 73 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Pada tahun 1972 beliau baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. Anggota keluarga beliau yang lainnya tidak ada yang ahmadi, disebabkan hal ini mereka berulang kali menyiksa beliau supaya beliau keluar dari Ahmadiyah, bahkan pada tahun 2003 kepada beliau ditawarkan bahwa jika Anda mau meninggalkan Ahmadiyah, kami akan memberikan uang sehingga anak keturunan Anda pun tidak perlu bekerja mencari uang. Namun beliau tetap teguh dalam Jemaat.

Putri beliau Qomar Munir Sahibah adalah seorang karyawan waqaf zindegi di Islamabad. Istri beliau dan seorang putra beliau, Tahir Waqas juga waqaf zindegi. Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum. Beliau adalah sosok yang sangat baik dan tulus, senantiasa tersenyum, tidak pernah marah terhadap suatu hal. Beliau dawam melaksanakan shalat lima waktu dan biasa membayar semua candah tepat waktu.

Seorang kerabat beliau, Hafiz Saidurrahman Sahib menuturkan, “Ayahanda saya mengajarkan beliau bekerja karena para kerabat yang ghair Ahmadi tidak memperlakukan beliau dengan baik. Maka Almarhum datang kepada ayahanda saya yang memiliki toko di dekat sana. Ayah saya mengajarkan beliau bekerja di tokonya dan Almarhum mulai tinggal di rumah beliau. Beliau secara dawam pergi ke mesjid untuk shalat dan biasa duduk di shaf pertama. Beliau juga sangat senang bertabligh sehingga beliau bersama istri beliau sering pergi ke kampung-kampung di sekitar Rabwah untuk melakukan pertablighan.” Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum.

Jenazah selanjutnya Master Nadzir Ahmad Sahib dari Daarul Barkaat Rabwah yang wafat pada 4 April di usia 80 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga beliau melalui ayahanda beliau, Almarhum Mia ‘Umar Din Sahib bin Mia Karam Din Sahib dari Datazed, Distrik Sialkot. Beliau mendapatkan hidayah di usia 15 tahun dan pada tahun 1914 atau pada Jalsah ke-15 beliau baiat di tangan Khalifah ke-2 (ra) Beliau mendapatkan petunjuk melalui mimpi. Kemudian ketika Master Nadzir Sahib tinggal di Sargodha, para guru di sekolah memboikot beliau. Di sekolah tersebut putra beliau yang berusia 9 tahun dilukai oleh seorang siswa dengan pisau. Master Sahib memperlihatkan kesabaran atas hal ini, pada waktu itu putra beliau ini selamat, namun kemudian ia wafat karena demam. Pada saat menurunkan jenazah putranya ini ke liang lahat, dengan penuh kesabaran dan ketabahan beliau berkata, “Nak! Ayah bangga karena kamu pergi dengan membawa tanda kebenaran Jemaat pada tubuhmu.”

Ketika beliau tinggal di kampung tersebut sebagai guru, dapat menggantikan kekosongan muballig atau Muallim, beliau sendiri melaksanakan tanggung jawab tersebut. Kemudian beliau ditugaskan di dekat Rabwah. Kemudian beliau pindah ke Rabwah dan beliau berkhidmat juga di sana. Beliau mengajarkan Al-Quran kepada banyak anak-anak. Kemudian setelah pensiun beliau belajar membaca Al-Qur’an dengan tartil kepada Qari Asiq Sahib. Lalu beliau juga menyelenggarakan kelas membaca Al-Quran dengan tartil di kelompok dan beliau berupaya supaya tidak ada anak laki-laki atau perempuan yang tidak lulus matrik dan tidak bisa membaca Al-Qur’an. Jika ada yang seperti itu maka beliau akan mengajarinya di rumah beliau. Almarhum sejak masih kecil sudah rajin tahajud dan ketika dikarenakan Corona di Rabwah dikenakan pembatasan pada beliau, yakni yang berusia di atas 60 tahun hendaknya jangan pergi ke masjid, maka beliau melaksanakan shalat lima waktu dan shalat jum’at di rumah dengan penuh perhatian. Berdasarkan satu mimpi beliau merasa yakin bahwa beliau akan wafat di tahun ini dan itu lah yang terjadi.

Beliau memiliki 3 orang putra, dan mungkin 1 orang putri. Alhasil, dua putra beliau, bahkan tiga putra beliau adalah waqif zindegi. Yang pertama adalah Aziz Sahib yang berkhidmat di sini, di Islamabad, yang kedua Nasim Ahmad Sahib, Mubaligh Jemaat di Rabwah dan yang ketiga Said Adil Sahib yang merupakan mubaligh di Nigeria. Beliau juga tidak bisa hadir dalam pemakaman. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum dan memberikan kesabaran dan ketabahan kepada semua yang ditinggalkan dan memberikan taufik pada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan para Almarhum.[30]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ

وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Fazli ‘Umar Faruq dan Mln. Hasyim. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Abu Bakr setelah Nabi (باب فَضْلِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم), nomor 3655.

[2] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan ‘Utsman (باب مَنَاقِبُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَبِي عَمْرٍو الْقُرَشِيِّ رضى الله عنه), nomor 3697.

[3] Sunan Abi Dawud, Kitab tentang teladan Nabi atau Kitab Al-Sunnah (كتاب السنة), 4629.

[4] Jami` at-Tirmidhi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم) nomor 3709.

[5] Ma’mar atau Mu’ammar bin Rasyid adalah seorang Tabi’in kalangan tertua. Berdasarkan Umdatul Qari (عمدة القاري – ج 16 – 3412 – 3860 – تتمة أحاديث الأنبياء – مناقب الأنصار) ucapan Khalifah ‘Utsman (ra) ialah, “Wahai laki-laki! Aku berlindung kepada Allah daripadamu.”

[6] Al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith ialah saudara satu ibu dengan Hadhrat ‘Utsman (ra) tapi beda ayah. ‘Affan, ayahnya Hadhrat ‘Utsman meninggal jauh sebelum zaman kenabian dan saat itu Hadhrat ‘Utsman masih kecil. Istri ‘Affan yang ibunya Hadhrat ‘Utsman (ra) menikah lagi dengan Uqbah. Uqbah dikenal penentang keras Islam dan tewas di perang Badr.

[7] Sahih al-Bukhari, Kitab Fadhailish Shahabah (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab Manaqib ‘Utsman (باب مَنَاقِبُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَبِي عَمْرٍو الْقُرَشِيِّ رضى الله عنه), 3696.

[8] Urdu Tarjumah Sahih Bukhari, Vol. 7, p. 192, Nazarat-e-Ishaat Rabwah.

[9] Sahih al-Bukhari, Kitab tentang Wudhu (كتاب الوضوء), bab berwudhu tiga kali-tiga kali (باب الْوُضُوءِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا), nomor 159.

[10] Sumber dari Kitab Shahih al-Bukhari, Kitab : Jum’at, Bab : Adzan Pada Hari Jum’at, No. Hadist : 861

[11] Fiqh-e-Ahmadiyya [Ibadat] p. 122.

[12] Ghulam Rasul Sa’eedi (غلام رسول سعیدی) dalam karyanya Ni’matul Bari syarh (komentar) atas Shahih Bukhari. Beliau hidup pada 1937-2016. Beliau tokoh Fiqh ahlus Sunnah di Pakistan.

[13] Shahih al-Bukhari, Kitab pengorbanan (كتاب الأضاحي), bab apa yang dimakan dari daging pengorbanan dan yang untuk perjalanan (باب مَا يُؤْكَلُ مِنْ لُحُومِ الأَضَاحِيِّ وَمَا يُتَزَوَّدُ مِنْهَا) nomor 5571.

[14] Shahih al-Bukhari, Kitab pengorbanan (كتاب الأضاحي), bab apa yang dimakan dari daging pengorbanan dan yang untuk perjalanan (باب مَا يُؤْكَلُ مِنْ لُحُومِ الأَضَاحِيِّ وَمَا يُتَزَوَّدُ مِنْهَا) nomor 5572.

[15] Fiqh-e-Ahmadiyya [Ibadat] p. 177; Sunan Abi Dawud, Kitab Al-Shalat (كتاب الصلاة), bab jika terjadi Hari Id pada hari Jumat (باب إِذَا وَافَقَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ عِيدٍ), Hadith nomor 1072

[16] Khutbat-e-Tahir, Vol. 6, p. 374, Khotbah Jumuah 29 May 1987.

[17] Shahih Muslim, Kitab Shalat Jumat (كتاب الجمعة), Hadits 845 b.

[18] Musnad Ahmad, Musnad Uthman ibn Affan (مُسْنَدُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Hadits 469.

[19] Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Khulafa’ Rashidin (ra), Vol. 1 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], p. 204; Tarikh al-Khulafa karya Imam as-Suyuthi. Musnad Ahmad, Musnad Uthman ibn Affan (مُسْنَدُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Hadits 469.

[20] Musnad Ahmad, Musnad Uthman ibn Affan (مُسْنَدُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), Hadits 415.

[21] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 5, Thumma Dakhalat Sanah Khams wa Thalathin … [Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1998], p. 200; Sirat Amir al-Momineen Uthman (ra) bin Affan, p. 17, Vol. 1, Dar al-Ma‘rifah, Beirut, Lebanon, 2006; Tarikh al-Kamil.

[22] Orang bijak tersebut ialah Suhail bin Amru. Al-Kamil fit Taarikh karya Ibnu Atsir juga menyebutkan, ولما توفي رسول الله، صلى الله عليه وسلم، ووصل خبره إلى مكة وعامله عليها عتاب بن أسيد بن أبي العاص بن أمية استخفى عتاب وارتجت مكة وكاد أهلها يرتدون، فقام سهيل بن عمرو على باب الكعبة وصاح بهم، فاجتمعوا إليه، فقال: يا أهل مكة لا تكونوا آخر من أسلم وأول من ارتد، والله ليتمن الله هذا الأمر كما ذكر رسول الله، صلى الله عليه وسلم، فلقد ررأيته قائماً مقامي هذا وحده وهو يقول: قولوا معي لا إله إلا الله تدن لكم العرب وتؤد إليكم العجم الجزية، والله لتنفقن كنوز كسرى وقيصر في سبيل الله، فمن بين مستهزىء ومصدق فكان ما رأيتم، والله ليكونن الباقي. فامتنع الناس من الردة. . Suhail mencari-cari walikota Makkah, Uttab bin Usaid yang tengah mengurung diri dan ketakukan melihat potensi orang-orang Makkah keluar dari Islam. Suhail mengajak Uttab menemui kumpulan besar orang-orang Makkah dan Suhail berpidato. Menurut Imam Ibnu ‘Atsir dalam Kitab Asad atau Usdu al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah, 1994, juz 2, h. 585, berikut penggalan orasi Sayyidina Suhail bin ‘Amr: يا معشر قريش, لا تكونوا آخر من أسلم وأول من ارتدّ, والله إن هذا الدين ليمتدن امتداد الشمش والقمر من طلوعهما إلي غروبها….  “Wahai orang-orang Quraisy, janganlah kalian menjadi orang yang (paling) akhir memeluk Islam dan (paling) awal murtad (meninggalkannya). Demi Allah, sungguh agama ini pasti akan membentang (penyebaran dan pengikutnya) dengan luas bentangan matahari dan rembulan dari mulai terbit sampai tenggelamnya….” Ia pun mengucapkan pidato yang sama dengan Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq di Madinah. Ia berkata: من كان يعبد محمدا فإنّ محمدا قد مات, ومن يعبد الله فإن الله حي لا يموت “Barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H, juz 3, h. 178)

Suhail juga mengutip ayat-ayat berikut dalam pidatonya: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ}  Sesungguhnya, engkau akan mati, dan sesungguhnya mereka pun   akan mati.(Surah az-Zumar, 39:31), {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ} Dan, Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. Sesungguhnya telah berlalu rasul-rasul sebelum nya. Jadi, jika ia mati atau terbunuh, akan berpalingkah kamu atas tumitmu?” (Surah Ali Imran, 3:145), {كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ}  “Setiap jiwa pasti akan merasakan maut (kematian)” (Surah al-Anbiya, 21:36), {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ}  Segala sesuatu akan binasa kecuali Wujud-Nya” (Surah al-Qashash, 89)

[23] Haqaiqul Furqan (حقائق الفرقان ج3), halaman 223. bahasan ayat ialah Surah an-Nur, 24:49 dan ayat ke-52.

[24] Lecture Ludhianah, Ruhani Khazaain jilid 20 halaman 294: “إنني أعلمُ أن المرءَ لا يُصبحُ مؤمنًا ومسلمًا ما لا يَصْطَبِغُ بِصِبْغَةِ أَبِي بكرٍ وعمرَ وعثمانَ وعليَّ رضوانَ اللهِ عليهم أجمعين. فلم يكونوا يحبون الدنيا بل كانوا قد وقفوا حياتهم في سبيل الله “ ‘Innanii a’lamu anal mar-a laa yushbihu mu-minan wa musliman maa laa yashthabaghu bi shibghati Abi Bakrin wa ‘Umara wa ‘Utsmaana wa ‘Aliyyin ridhwaanullaahu ‘alaihim ajma’iin. Fa lam yakuunuu yuhibbuunad dunyaa bal kaanuu qad waqafuu hayaatahum fii sabiilillaah’

[25] Maktuubaat Ahmad (surat-surat Ahmad) jilid 2 halaman 151, maktuub (surat) nomor 2 untuk Hadhrat Khan Sahib Muhammad Ali Khan, cetakan Rabwah.

[26] Sirr-ul-Khilafah Urdu Tarjumah, pp. 28-29, Nazarat Ishaat Rabwah.

[27] Malfuzat, Vol. 6, p. 414.

[28] Hujjat Allah, Ruhani Khaza’in, Vol. 12, 184-185.

[29] Sirr-ul-Khilafah Urdu Tarjumah, pp. 25-26, Nazarat Ishaat Rabwah

[30] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 30 April 2021, pp. 5-10. Translated by The Review of Religions.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.