MAKNA TAUHID ILAHI
“Tauhid Ilahi yang hakiki merupakan pengakuan yang dituntut Tuhan berupa keimanan bahwa Tuhan dalam Wujud-Nya adalah bersih dari segala sekutu, apakah berbentuk berhala, seorang manusia, matahari, bulan, ego atau akal muslihat seseorang dan lain sebagainya, menganggap tiada siapa pun yang memiliki kekuasaan yang bisa menentang Diri-Nya, tidak juga seseorang yang diperlukan untuk menopang-Nya, tidak menganggap ada wujud lain yang bisa mengaruniakan berkat atau kenistaan, tidak juga sebagai pembantu atau asisten. Ia juga akan mengkhususkan kasihnya, ibadahnya, persujudannya, harapannya dan ketakutannya hanya kepada Dia saja.
Tidak ada Tauhid yang bisa sempurna tanpa mematuhi tiga persyaratan berikut. Pertama, adanya Ketunggalan Wujud yang bermakna bahwa keseluruhan alam semesta ini non-eksisten dibanding dengan-Nya karena bersifat fana dan tidak nyata. Kedua, adalah Ketunggalan sifat-sifat, dengan pengertian bahwa Rabbubiyat dan Ke-Ilahi-an hanya terbatas bagi Wujud-Nya saja, sedangkan yang lainnya yang muncul sebagai penopang atau penolong adalah bagian dari suatu sistem yang ditegakkan oleh Tangan-Nya sendiri. Ketiga, Ketunggalan dalam kasih, ketulusan dan pengabdian, dengan pengertian tidak akan pernah menganggap siapa pun sebagai sekutu-Nya untuk menerima kasih dan ibadah seseorang.”
(Answer to four questions of Sirajuddin, Christian, Ruhani Khazain, vol. 12, hal. 349-350, London, 1984).
***
“Tauhid Ilahi merupakan Nur yang menerangi hati manusia setelah ia berhasil memupuskan sepenuhnya sesembahan atau pujaan internal atau eksternal dirinya, dimana Nur ini akan meresap ke seluruh partikel wujud dirinya. Kesadaran akan Tauhid Ilahi ini tidak bisa begitu saja diperoleh sendiri oleh seorang manusia karena hanya didapat melalui perkenan Tuhan dan bimbingan Rasul-Nya. Untuk itu manusia harus memfanakan egonya dan menanggalkan kesombongan syaitan yang menyatakan bahwa ia adalah seorang yang terpelajar. Ia harus menganggap dirinya sepenuhnya bodoh dan menyibukkan dirinya dengan bersujud. Barulah nanti Nur Tauhid akan turun dari Tuhan kepada dirinya dan Nur ini akan mengaruniakan suatu kehidupan baru baginya.”
(Haqiqatul Wahyi, Qadian, Magazine Press, 1907; Ruhani Khazain, vol. 22, hal. 148, London, 1984).
Memahami Tauhid Ilahi Melalui Bimbingan Para Nabi
“Sejak awal diciptakannya dunia, pengakuan akan keberadaan wujud Tuhan selalu dikaitkan dengan pengakuan kepada seorang Nabi. Adalah suatu hal yang mustahil bisa memperoleh pemahaman Ketauhidan kecuali melalui bimbingan seorang Nabi. Seorang Nabi merupakan cermin untuk pemahaman wujud Tuhan. Hanya melalui cermin ini saja wujud Tuhan bisa dilihat. Saat Allah Yang Maha Kuasa ingin memanifestasikan Diri-Nya kepada dunia maka Dia akan mengutus seorang Nabi sebagai manifestasi Kekuasaan-Nya serta kepada siapa Dia memperlihatkan sifat Rabbubiyat-Nya. Barulah dunia akan menyadari bahwa Tuhan itu ada. Adalah bagian dari Ketauhidan Ilahi untuk beriman kepada mereka yang telah ditunjuk sejalan dengan kaidah abadi Allah swt sebagai sarana untuk mengenal Tuhan. Tanpa keimanan demikian maka keyakinan kepada Tauhid Ilahi tidak akan bisa disempurnakan. Tidak akan mungkin mencapai keimanan murni mengenai Ke-Esaan Tuhan jika tidak menyadari mukjizat dan tanda-tanda samawi yang diperlihatkan seorang Nabi dalam usahanya membimbing manusia ke arah pemahaman yang sempurna.
Para Nabi ini merupakan kelompok manusia yang berorientasi kepada Tuhan dan melaluinya kemudian Tuhan memanifestasikan Wujud-Nya yang tidak kelihatan dan tersembunyi tersebut. Khazanah yang tersembunyi yang bernama Tuhan selalu ditemukan hanya melalui para Nabi. Memperoleh keimanan pada Ketauhidan Ilahi tanpa melalui seorang Nabi merupakan hal yang bertentangan dengan logika dan berlawanan dengan pengalaman semua mereka yang mencari Tuhan.”
(Haqiqatul Wahyi, Qadian, Magazine Press, 1907; Ruhani Khazain, vol. 22, hal. 115-116, London, 1984).
Syarat Keimanan pada Tauhid Ilahi
“Keimanan kepada Tauhid Ilahi akan melahirkan kecintaan kepada Allah Yang Maha Perkasa ketika manusia menyadari bahwa semua kesialan dan keberuntungan ada di Tangan-Nya, bahwa hanya Dia-lah Yang Maha Pengasih dan setiap partikel hanya datang daripada-Nya tanpa intervensi siapa pun. Ketika seorang manusia berhasil mencapai tingkatan suci ini maka ia akan diakui sebagai seorang yang beriman kepada Tauhid Ilahi. Salah satu persyaratan dari keimanan kepada tauhid Ilahi adalah tidak akan menyembah batu, manusia lainnya atau benda apa pun, bahkan seharusnya merasa jijik atas tindakan demikian. Syarat kedua adalah tidak terlalu melebih-lebihkan pentingnya sarana material. Syarat ketiga, manusia bersangkutan harus menafikan ego dan tujuannya sendiri. Seringkali manusia merasa kemampuan sifat dan fisik dirinya amat hebat sehingga membayangkan bahwa ia telah berhasil mencapai suatu kemaslahatan dengan dayanya sendiri. Ia demikian mengandalkan kemampuan dirinya sendiri sehingga menyifatkan semua keberhasilan atas kemampuannya tersebut. Keimanan hakiki pada Tauhid Ilahi akan bisa dicapai jika seseorang juga menafikan kemampuan dirinya sendiri. (Malfuzat, vol. III, hal. 79-82).
Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, ISBN 185372-765-2