Dzikr-e-Khair di bulan Ramadhan mengenai Tiga Almarhum: Almarhum Mln. Zulfikar Ahmad Damanik Sahib dari Indonesia; Almarhum Dokter Peer Muhammad Naqiyuddin Sahib dari Islamabad-Pakistan dan Almarhum Ghulam Mustafa Sahib dari Tilford, UK.
Beberapa nasehat kepada para Waqif Zindegi, Beberapa Nasehat kepada para dokter atau petugas kesehatan, Beberapa Nasehat kepada para ibu Ahmadi terkait shalat anak-anaknya, Beberapa Nasehat kepada para Ahmadi umumnya
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 01 Mei 2020 (Hijrah 1399 Hijriyah Syamsiyah/Ramadhan 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Saat ini saya akan menyampaikan berkenaan dengan beberapa almarhum yang telah wafat pada hari-hari yang lalu. Setiap orang dari antara mereka memiliki profesi yang berbeda, kesibukan yang berbeda, dan standar pendidikannya pun berbeda. Akan tetapi, ada satu hal yang sama, yaitu mereka adalah orang-orang yang menunaikan janji baiat sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk mendahulukan agama diatas duniawi, menunaikan hak baiat terhadap Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam, memiliki hubungan utuh, setia dan ikhlas dengan Khilafat Ahmadiyah, menunaikan huququl ibad dan membuktikan ajaran Islam yang indah yang untuk mengamalkannya Allah Ta’ala telah mengutus hamba sejati Baginda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (saw) yaitu Hadhrat Masih Mau’ud (as). Amalan nyata ajaran tersebut pada hakikatnya dijumpai di dalam diri mereka.
Saya telah mengatakan ada satu hal yang sama, ini bukan hanya satu melainkan banyak sekali keistimewaan-keistimewaan pada mereka. Setelah mendengar kisah-kisah mereka, timbul keyakinan bahwa pada zaman ini hanya dengan menyatukan diri dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as)-lah, kita dapat mengetahui cara-cara menciptakan jalinan hakiki antara seorang hamba dan Allah Ta’ala, memperoleh keyakinan sempurna Allah Ta’ala Maha Hidup dan memperoleh standar tinggi untuk tetap ridha atas kehendak-Nya.
Di antara para almarhum yang ingin saya sebutkan salah satunya adalah mubalig kita, Bpk. Zulfikar Ahmad Damanik, muballigh daerah di Indonesia, yang telah wafat pada tanggal 21 April dalam usia 42 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun. Almarhum lahir pada 24 Mei 1978 di Sumatra. Nama ayah beliau Syahrul Damanik. Nama kakek beliau Syahnur Damanik. Masuknya Ahmadiyah dalam keluarga beliau melalui kakek beliau yang telah baiat melalui Maulana Zaeni Dahlan pada tahun 1944.
Almarhum muballigh Jemaat Bpk. Zulfikar Damanik menempuh pendidikan di Jamiah Ahmadiyah Indonesia dari tahun 1997-2002. Pada masa dulu itu, di sana course-nya lebih sedikit beberapa tahun. Setelah itu kemudian beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat sebagai mubalig Jemaat di berbagai tempat selama 18 tahun. Beliau berkhidmat sebagai muballigh [daerah] di beberapa daerah.
Diantara keluarga yang ditinggalkan ialah istri beliau ibu Maryam Sidiqah. Selain itu, ada empat anak: Zajib Ahmad [15 tahun], Eisyah Khaula Friscia [9 tahun], Khaira Fatimah [7 tahun] dan Khaistira Nasira. Dua anak perempuannya berusia kurang dari 15 tahun dan yang laki-laki berusia 15 tahun. Anak yang keempat berusia 8 bulan. Semuanya masuk dalam gerakan Waqf-e-Nou.
Muballigh kita di sana, Bpk. Mirajudin menerangkan, “Almarhum Bpk. Zulfikar merupakan muballigh yang sangat berhasil dan pekerja keras. Dimanapun ditempatkan beliau menunaikan pekerjaan-pekerjaan tarbiyat, rabtah dan tablig dengan sangat baik. Beliau berbicara secara lembut dengan setiap orang dan bersahabat dengan semua orang, ketika bertemu beliau senantiasa menunjukkan wajah penuh senyum. Tidak pernah menuntut sesuatu, bahkan senantiasa menekankan untuk berdoa.”
Inilah keistimewaan yang merupakan ruh waqif zindegi dan hendaknya ada dalam diri mereka (waqifin zindegi), yakni jika harus meminta, maka senantiasalah minta kepada Allah Ta’ala dan jangan pernah menuntut. Ini merupakan keistimewaan teramat penting yang setiap Waqif Zindegi hendaknya berusaha untuk memilikinya. Dengan karunia Allah Ta’ala, beliau termasuk di antara para mubalig yang mendapatkan taufik untuk banyak membaiatkan dalam jumlah besar dan karena itu beliau pun mendapatkan kesempatan datang jalsah di sini dengan di bawah pengaturan Jemaat. Di lapangan beliau selalu bekerja dengan perencanaan yang baik, yang karenanya di setiap tempat beliau memperoleh keberhasilan.
Begitu juga Bpk. Asif Mu’in (Asep Mulyana, Muballig Jemaat) menulis seraya menyebutkan kebaikan-kebaikan beliau: Beliau memiliki banyak sekali kebaikan. Seorang yang sangat saleh, mukhlis, dan taat. Pada hari-hari ketika sakit pun—beliau sakit dalam jangka waktu cukup lama—beliau selalu mendahulukan pengkhidmatan-pengkhidmatan pada Jemaat. Tuan Asif mengatakan, “Ketika almarhum bertugas sebagai Muballigh Daerah Riau, saya pergi kepada beliau – Bpk. Asif pernah mendapat taufik bekerja di bawah koordinasi beliau — beliau menggerakkan dengan kepemimpinan sangat tinggi, beliau menjalin rabtah yang kuat dengan pemerintahan dan berbagai institusi, yang karenanya beliau mendapatkan kesempatan beberapa kali untuk memberikan lecture di berbagai universitas. Selain itu, beliau pun banyak sekali menjalin rabtah dengan lost generation di daerah lalu memperkenalkan kembali Jemaat kepada mereka, beliau menjadikan program seperti ini terus berjalan di daerah beliau.
Beliau mendapt taufik untuk mendirikan kembali Jemaat Senggigi, setelah kurang lebih 20 tahun. orang yang disebut sebagai lost generation di sana itu, untuk menjalin rabtah orang-orang itu, mereka [Almarhum Pak Zulfikar dan tim] harus pergi ke pulau-pulau kecil dengan menggunakan perahu. Dari satu pulau ke pulau sekitar satu setengah sampai dua jam perjalanan.
Meskipun sedang sakit, beliau tetap gigih dan mengatakan, ‘Selama di dalam diri saya ada kekuatan untuk berkhidmat, saya akan terus berkhidmat hingga nafas terakhir.’ Hasil perjalanan tersebut, dengan karunia Allah Ta’ala empat keluarga kembali dalam pangkuan Jemaat. Karena menderita penyakit dialysis, beliau menjalani pengobatan di rumah sakit, dalam keadaan itu pun beliau hadir dalam acara Jemaat lokal dan seorang khudam di sana bertanya kepada beliau, ‘Mengapa anda begitu bersusah payah?’
Beliau menjawab kepadanya, ‘Sepanjang masih ada nyawa dalam diri saya, saya akan terus berusaha untuk hadir dalam semua program Jemaat, meskipun saya sakit, tetapi saya berkeinginan untuk senantiasa terus sibuk dalam tugas-tugas pengkhidmatan terhadap agama.’”
Inilah gejolak semangat waqif zindegi yang hendaknya ada dalam diri setiap waqif zindegi, bukan malah menunjukkan kekhawatiran-kekhawatiran seperti yang ditunjukan sebagian orang hanya karena perkara yang tidak seberapa.
Demikian pula Bpk. [Yosnefil] Muzaffar (mubaligh Jemaat) menulis: “Saya mendapatkan kesempatan belajar bersama beliau di Jamiah. Terakhir kali berjumpa di Qadian, yakni berangkat ke Qadian dengan belia. Sebelum pergi ke Qadian ketika almarhum banyak sakit, almarhum selalu berdoa, ‘Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan umur, sehingga saya bisa pergi ke Qadian.’ Beliau mengatakan, ‘Allah Ta’ala telah menganugerahkan taufik untuk umrah ke baitullah, dan kesempatan untuk bermulaqat dengan Khalifah e Waqt pun telah diperoleh, kini tinggal keinginan untuk berziarah ke Qadian.’ Oleh karena itulah Allah Ta’ala pun dengan karunia-Nya telah menyempurnakan keinginan beliau dan beliau mendapatkan kesempatan untuk ziarah ke Qadian.” Tahun ini tidak ada jalsah, tetapi orang-orang ini telah sampai sebelum adanya larangan, demikianlah mereka mendapatkan kesempatan untuk beribadah secara bebas.
Bpk. Muballig ini menulis: “Karena musim yang ekstrim dan dingin yang sangat, kesehatan beliau sangat memburuk dan karenanya beliau terpaksa harus pulang cepat ke Indonesia, tetapi dalam keadaan yang kritis seperti itu pun iradah baik beliau telah terpenuhi. Demikianlah, beliau mendirikan shalat di Baitud Du’a dan masjid Mubarak, dan memperoleh kesempatan untuk berdoa.
Dengan menempatkan beliau di kursi roda, saya (Bpk.Yosnefil Muzaffar) pun membawa beliau berziarah ke Bahesti Maqbarah, beliau pun berdoa di sana. Beliau adalah muballig pekerja keras. Meskipun sakit berat, beliau tidak pernah berputus asa dan pekerjaan Jemaat apa pun yang ditugaskan kepada beliau, beliau menunaikannya dengan baik.”
Begitu pula, Bpk. Sajid (Ahmad Sutikno, seorang muballigh) menulis: “Meskipun senior, beliau tidak pernah malu untuk meminta pendapat dari junior-junior dalam urusan-urusan pertabligan. Beliau sangat rendah hati dan memiliki iradah yang sangat kuat. Tahun lalu beliau sakit, tetapi begitu sembuh, beliau menghadiri ijtima Khuddam dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh.”
Ada Bpk. Basuki yang menulis: “Dalam tiga tahun terakhir sejak saya ditempatkan di kantor Missi, dan sering menghubungi para muballigh yang bekerja di lapangan terkait dengan program-program pertabligan, saya melihat beliau bekerja dengan sangat baik dalam membuat program tablig. Dan untuk menyukseskan program-program tablig, beliau melakukan pengaturan para da’I dan muballigh lokal dengan cara yang baik dan dengan mahir. Beliau senantiasa mengatakan kepada saya, ‘Jumlah angka yang baiat hendaknya terus di-up date agar para da’i yang bekerja di lapangan terus termotivasi.’”
Cara ini, yakni jika jumlah angka yang baiat diperlihatkan, dan diberitahukan kepada para da’i kemudian mereka terus ditanya, dengan ara demikian para da’i tetap aktif dan para mubayin pun dapat disertakan dalam nizam-nizam lainnya.
Bpk. Sarmad (muballigh) mengatakan: “Semangat bertablig beliau sungguh kuat, ketika kami ingin membuka lahan-lahan pertablighan di daerah Sumatara Utara (Sumut) II, mulai dari Cabang Piasa Hulu (Buntu Pane) sampai ke Sosa dan perbatasan propinsi Sumut dan Riau. Beliau menyusun pos-pos Pertablighan dgn penuh semangat dan optimisme, dan tim tabligh dengan program tersebut sempat berjalan beberapa kali, karena waktu itu terkendala dengan dana, program tersebut terkendala. Tetapi hasil dari program tersebut muncul dan kebanyakan mubayin di daerah tersebut berasal dari sana. Beliau selalau mengatakan, ‘Jangan pernah putus asa, karena tugas kita adalah bertablig dan menanam benih, bisa saja panen dan buahnya menjadi bagian yang lain. Bagaimanapun beliau adalah seorang yang bertekad kuat dan orang yang menunaikan waqafnya dengan setia.”
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau, beliau telah memenuhi janji baiatnya begiu juga janji waqaf telah beliau penuhi dengan indahnya. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau. Semoga Allah Ta’ala menjaga istri dan putra putri beliau dan menjadi pencukup bagi mereka.
Almarhum kedua yang akan saya sampaikan bernama Dr Peer Muhammad Naqiyuddin Sahib dari Islamabad-Pakistan, wafat pada tanggal 18 April. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Seminggu atau sepuluh hari sebelum kewafatan, mulai tampak gejala virus corona dalam tubuh beliau, lalu beliau dibawa ke rumah sakit. Awalnya keadaan beliau mulai stabil, namun pada tanggal 18 kesehatan beliau menurun kembali sehingga dipindahkan ke ICU (Instalasi Gawat Darurat). Namun sekitar sore harinya beliau menghembuskan nafas terakhir. Diantara keluarga yang ditinggalkan, selain istri terdapat satu putra dan empat putri. Kesemuanya sudah menikah dan tinggal di rumahnya masing-masing.
Leluhur beliau dari garis kakek maupun nenek semuanya keturunan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Jika dirunut ke atas, silsilah garis leluhur beliau bertemu dengan Hadhrat Sufi Ahmad Jaan Sahib. Kakek beliau garis ayah bernama Hadhrat Peer Mazharul Haq dan dari garis ibu bernama Hadhrat Master Nazir Husain Sahib, keduanya meraih kemuliaan termasuk kedalam sahabat besar Hadhrat Masih Mau’ud (as). Hadhrat Peer Mazharul Haq Sahib mendapatkan kehormatan sebagai teman sekelas Hadhrat Muslih Mauud di Madrasah Ahmadiyah.
Ketika kecil beliau hijrah dari Ludhiana ke Qadian dan lebih kurang selama 6 bulan Peer Mazharul Haq Sahib dan lain lain mendapatkan kehormatan untuk tinggal di rumah Hadhrat Masih au’ud (as). Ibunda almarhum adalah cucu Hakim Muhammad Husain Sahib Marham Isa.
Pada tahun 1947, ketika perpisahan India-Pakistan, – ketika beliau berusia sekitar 1 tahun yang lahir tahun 1946 sehingga usia beliau terhitung 74 tahun hingga wafatnya – beliau bersama keluarga hijrah dari Qadian (India) ke Lahore (Pakistan) pada awalnya lalu pindah lagi ke Malesi kabupaten Wahari. Pada tahun 1947 beliau mendapatkan gelar MBBS dari Nashtar Medical College. Pada tahun antara 1975 dan 1976 beliau pindah ke Islamabad. Beliau mendapatkan pekerjaan di Rumah sakit Poliklinik negeri. Setelah cukup lama mengabdi di sana beliau tinggalkan pekerjaan lalu pergi ke Iran. Beliau bekerja 2 sampai 3 tahun di sana lalu kembali ke Pakistan. Di Islamabad beliau membuka klinik pribadi dan menjalankan kliniknya tersebut sejak 25 sampai 30 tahun yang lalu. Dengan karunia Allah Ta’ala sangat sukses, beliau sangat mengkhidmati orang-orang miskin.
Amir Jemaat Islamabad, Bpk. Dokter Abdul Bari menulis, “Almarhum lebih dari 12 tahun berkhidmat sebagai Qadhi (Hakim) di Jemaat Islamabad. Putusan yang beliau berikan selalunya bersandar pada Al Quran dan Sunnah sehingga memberikan kepuasan pada kedua belah pihak. Almarhum memiliki akhlak mulia, rendah hati, penyayang, penolong orang miskin dan merupakan figure yang dicintai orang-orang. Menebar senyuman kepada semua orang yang bertemu.
Beliau berprofesi sebagai dokter dan siang malam sibuk mengkhidmati umat manusia. Klinik beliau senantiasa terbuka lebar bagi para pasien miskin dan memerlukan di kalangan Jemaat. Seringnya beliau memberikan pengobatan gratis kepada mereka.
Tidak terbatas bagi para Ahmadi saja, bagi para pasien non Ahmadi pun hati dan klinik beliau senantiasa terbuka lebar. Beliau adalah wujud yang memberikan manfaat bagi umat manusia. Pergaulan beliau sangat luas diantara banyak sekali ghair Ahmadi. Allah Ta’ala juga menganugerahkan quwwat bayaan (kemahiran dalam menjelaskan) kepada beliau dan tidak membiarkan hilang kesempatan untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada kawan-kawan ghair Ahmadi. Dalam keadaan seperti saat ini pun beliau tetap bertabligh.”
Almarhum menuturkan kepada Bpk. Dokter, “Pada tahun 1970, setelah lulus ujian MBBS, saya pergi menjumpai kakek saya Hadhrat Peer Mazharul Haq Sahib di Rabwah. Saya menyampaikan kabar suka kepada sang kakek bahwa saya (almarhum) merupakan pemuda pertama dalam keluarga yang akan menjadi dokter. Mendengar itu kakek sangat bahagia. Selain memberikan nasihat lain kepada saya, kakek menasihatkan kepada saya, ‘Selain mengobati doakanlah juga pasien karena Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, tabib yang tidak mendoakan pasiennya dan hanya meyakini pengobatannya saja, sebenarnya dapat menyebabkan syirik.’”
Almarhum mengatakan, “Saya berprofesi sebagai dokter sudah 50 tahun dan selama itu saya mengamalkan nasihat kakek saya dan tidak hanya memberikan tarif murah, saya juga bersikap penuh simpati kepada para pasien, bahkan tanpa jeda setiap hari melaksanakan shalat nafal dua rakaat dan mendoakan para pasien.”
Inilah cara-cara yang hendaknya ditempuh oleh para tabib dan dokter kita. Jangan hanya mengandalkan kemahiran dalam bidangnya saja, jangan hanya yakin pada obat-obatan saja, melainkan selain bersikap penuh simpati kepada pasien, pastikanlah untuk selalu mendoakan mereka, akan jauh lebih baik lagi jika dapat melaksanakan shalat nafal.
Istri beliau, Ibu Uzma Naqi menuturkan, “Suami saya sangat mukhlis dan ahmadi yang taat, beliau sangat tergila-gila dengan tabligh. Selama hidup beliau telah banyak membaiatkan banyak orang. Beliau juga telah membuat banyak orang meyakini kebenaran Jemaat yakni banyak orang yang tidak baiat dikarenakan takut, namun sekurang-kurangnya mereka telah diyakinkan mengenai kebenaran Jemaat dan membuat mereka kehabisan dalil. Setelah itu hubungan dengan mereka baik dan itupun disebabkan oleh sikap simpatik almarhum kepada para pasien. Beliau juga selalu melaksanakan dua rakaat nafal untuk para pasien. Disebabkan rasa simpatik itu, almarhum Dokter sahib selalu pergi ke klinik walaupun virus corona tengah mewabah, berpikiran supaya jangan sampai pasiennya sedih. Ketika terjangkit demam beliau mengambil libur.
Satu keistimewaan beliau yang luar biasa adalah selain memeriksa pasien dengan penuh simpati dan mendoakannya. Beliau juga merupakan seorang putra yang sangat taat pada orang tua, suami teladan dan seorang ayah yang penuh cinta kasih. Beliau seorang wujud yang penuh kasih kepada saudara-saudari, perhatian pada teman dan bermanfaat bagi umat manusia.
Beliau memiliki jalinan yang dalam dengan Tuhan Yang Maha Hidup, sangat rajin berdoa dan Tuhan yang Maha Hidup pun mengabulkan doa-doa beliau. Seorang putri kami masih belum memiliki keturunan setelah beberapa tahun perkawinan sehingga almarhum banyak berdoa untuk itu. Suatu hari kami menginap di rumah putri kami tersebut. Pada waktu subuh sekeluar dari kamar mandi untuk shalat tahajjud atau mungkin pada waktu shalat almarhum menunduk sedikit. Ketika ditanya, beliau menjawab, ‘Di dekat ranjang tadi ada seorang anak.’ (Terjadi dalam pandangan kasyaf). Menurut penuturan lainnya juga beliau melihat seorang anak dalam pandangan kasyaf. Anak itu berada diatas ranjang, almarhum mengatakan, ‘Saya merasa anak itu akan jatuh, karena itu saya menundukkan badan untuk menyangga anak tersebut.’
Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, Allah ta’ala memberikan karunia dengan memberikan anak laki laki kepada putri beliau itu, padahal dokter yang menangani pun tidak begitu berharap.”
Semoga Allah ta’ala menjadikan anak tersebut anak yang saleh dan pengkhidmat agama.
Keponakan yang juga menantu beliau, Bpk. Arshad I’jaz menuturkan, “Almarhum merupakan paman tertua saya. Sejak memasuki usia dewasa saya mendengar banyak hal mengenai beliau dan menyaksikan Almarhum adalah seorang yang rajin berdoa, simpatik kepada orang miskin dan senantiasa mengedepankan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan yang sangat rentan dan sesulit-sulitnya sekalipun. Ketika saya memerlukan musyawarah dalam urusan keJemaatan, rumah tangga ataupun duniawi, tanpa segan-segan yang pertama kali di benak adalah menemui paman (almarhum).”
Beliau lebih lanjut menuturkan, “Ada satu lagi kasyaf yang diterima oleh paman yang mungkin saja ada yang sudah mengetahuinya yakni mengenai MTA. Sekitar tahun 2010, ketika secara umum Mobile Phone (Handphone) belum dikenal dan Mobile Touch Screen (layar sentuh) juga sekarang belum begitu dikenal, di Pakistan sekurang kurangnya. Saat itu saya tengah duduk di dekat paman, mendengarkan penuturan beliau. Paman mengabarkan, ‘Beberapa masa yang lalu saya melihat ada pengumuman layaknya adzan lalu beberapa orang mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menempelkannya ke telinga. Ketika ditanyakan, ternyata saat itu tengah berlangsung Khutbah Khalifah dan orang-orang tengah mendengarkan khutbah menggunakan alat itu. Saat ini kita menyaksikan hal itu terjadi setiap minggu.’”
Kemudian keponakan beliau menulis, “Hubungan keluarga dengan Hadhrat Sufi Ahmad Jaan tidak hanya dianggap menambah kehormatan bagi diri beliau sendiri bahkan menasihatkan kepada anggota keluarga lainnya, ‘Jalinlah hubungan pribadi dengan Allah Ta’ala. Dengan hanya berstatuskan keluarga seorang wujud suci saja bukanlah suatu kehebatan, karena yang utama adalah jalinan pribadi kalian dengan Tuhan.’
“Setiap saat beliau sangat gemar da’wat ilallaah, bahkan sudah sedemikian tergila-gila dengannya.”
Hal ini dituliskan oleh keponakan beliau dan banyak lagi yang lainnya namun tidak mungkin dapat disampaikan semuanya.
“Beliau sangat gemar bertabligh dan melakukannya dengan menyampaikan dalil dalil Al Quran dengan cara yang baik. Secara khusus beliau biasa mengundang para tamu ghair ahmadi kerumah pada saat jalsah salanah lalu mereka dikhidmati dengan makanan yang sangat baik, kemudian mengatur supaya para tamu menyimak pidato jalsah sehingga pintu tabligh menjadi terbuka.
Ketika virus corona menyebar, paman tidak menghentikan pergi ke klinik, sehingga berkali kali saya menelepon beliau dan berusaha untuk meyakinkan beliau untuk tidak usah pergi ke klinik. Namun almarhum mengatakan, ‘Jika dokter duduk saja di rumah, apa yang bisa diperbuat oleh pasien.’ Beliau lalu memberikan dalil-dalil untuk meyakinkan saya sehingga saya dibuatnya bungkam. Dalam keadaan sangat sakit pun almarhum tetap pergi ke klinik dan selalu mengatakan, ‘Kita datang kemari untuk mengabdi dan tugas, klinik ini tidak hanya bertujuan untuk mencari uang saja.’”
Putri beliau, Ibu Nurin Aisyah Nuruddin menuturkan, “Ayah saya adalah seorang ayah yang penuh kasih saying dan rajin berdoa. Dalam segala urusan, beliau selalu menasihatkan kami untuk berdoa dan menjalin hubungan pribadi dengan Allah Ta’ala. Dalam masalah apapun beliau mengatakan, ‘Berdoalah dan ayah pun akan mendoakan.’ Beliau lalu memohon petunjuk dari Allah ta’ala dan mengabarkan kepada kami bahwa beliau melihat mimpi begini atau Allah Ta’ala mengabarkan demikian.
Sesuai profesi, beliau mengobati ribuan orang dan juga memberikan pengobatan dan pengawasan secara gratis kepada ribuan orang. Beliau begitu rupa murahnya tarif yang beliau tetapkan sehingga pasien beliau mayoritas adalah orang-orang yang miskin.”
“Ayah saya merupakan Al Quran berjalan. Jika kami menanyakan petunjuk Al Quran dalam hal apapun kepada beliau, pertama beliau bacakan ayatnya secara lisan lalu menjelaskan terjemahannya dan menerangkannya kepada kami. Sedemikian rupa beliau mencintai khilafat sehingga seketika khutbah akan mulai satu jam sebelumnya, beliau langsung mempersiapkan alat-alatnya supaya orang lain pun datang ke rumah kami untuk menonton khutbah. Disebabkan kecintaan kepada kehilafat trsebut, beliau mengundang para ahmadi untuk menyimak pidato penutupan pada kesempatan jalsah salanah. Beliau menampilkan prosesi baiat internasional. Seiring dengan memperlihatkan prosesi jalsah, beliau pun menyuguhkan berbagai hidangan dan mengatakan bahwa para tamu ini adalah tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as).”
Putri beliau, Ibu Wardah menuturkan, “Sejak kecil beliau menanamkan kebiasaan dalam diri kami untuk shalat, membaca Al Quran, puasa, membayar candah tepat pada waktunya dan juga bersedekah. Ketika kami bersaudara mencari jodoh, beliau hanya melihat sisi agamanya dari calon pendamping kami, tidak memperdulikan sisi duniawinya. Sejak kecil beliau mengajarkan kepada kami bahwa setiap keinginan tidak segera dapat terpenuhi untuk itu hendaknya tanamkan sifat sabar dan berdoa.”
Menantu beliau, Bpk. Abdul Quddus menuturkan, “Hubungan saya dengan beliau layaknya seperti ayah. Saya selalu ingin berjumpa dengan beliau sebab akan mendapatkan pencerahan tentang suatu hal baru, penjelasan suatu ayat atau perihal akhlak dari sudut pandang yang baru. Pada awal mula pernikahan kami, saya masih merasa segan dengan mertua, namun beliau beliau begitu rupa mennghilangkan jarak sehingga rasa segan itu hilang. Almarhum tidak memiliki ketertarikan dengan urusan duniawi, politik, trend (yang sedang populer dan diikuti) dan kecenderungan zaman. Topik-topik kegemaran beliau hanya ibadah, Al-Qur’an, ilmu agama dan akhlak. Beliau menentang bid’ah secara kuat layaknya benteng yang mana tidak ada yang dapat menggoyahkannya. Pada saat pernikahan dan lain lain beliau menentang keras adanya tradisi buruk. Jika ada anak-anak perempuan yang menyanyikan lagu dan darinya ada celah-celah untuk syirik, beliau langsung menghentikannya dengan keras.”
Putri beliau, Qurratul ‘Ain Hadyah menulis, “Almarhum menasihati saya untuk jangan memendam suatu kebencian di dalam hati pada seseorang, anggaplah pihak mertua sebagai keluarga sendiri, jangan menyakiti siapapun dengan ucapan maupun amalan dan bersikap baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita bukanlah suatu perbuatan yang istimewa. Yang terpenting adalah perlakukanlah orang yang bersikap buruk kepada kita.”
Ajaran ini merupakan ajaran Islam yang mengenainya Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengajarkan kepada kita di zaman ini. Inilah akhlak luhur yang akan menarik perhatian orang lain kepada kita dan akan menarik mereka. Kerusakan lebih berdosa daripada pembunuhan sehingga demi menghentikan fasad (kerusakan) hendaknya tempuhlah kehinaan layaknya pendusta meskipun kalian dalam posisi yang benar. Ini merupakan nasihat mulia yang diajarkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as) kepada kita dan inilah nasihat yang jika terus diajarkan oleh para orang tua kepada anaknya, maka dapat tercipta satu lingkungan yang indah.
Putra beliau, Peer Muhyiddin Sahib menuturkan, “Saya melihat dalam mimpi Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Raabi’ (IV) tengah memberikan daras di rumah kami. Saya pun hadir. Hudhur bersabda kepada saya, ‘Ini bukanlah rumah, tapi pintu. Darinya kamu mendapatkan keberkatan. Jangan tingalkan pintu ini. Ayah kamu adalah waliyullah. Yakinlah bahwa ayah kamu adalah waliyullah.’
Almarhum banyak membantu orang-orang miskin. Banyak sekali keluarga yang beliau ambil tanggung jawab untuk memberikan sembako bulanan, pendidikan anak-anaknya dan juga pengobatan. Lebih dari 50 % jumlah pasien setiap harinya yang digratiskan biaya berobatnya.”
Menantu beliau Abdus Samad sahib menuturkan, “Almarhum sangat mencintai Al Quran, ketika akan memberikan referensi beliau pasti baca dulu ayatnya lalu disampaikan terjemahnya. Jika ada ghair yang meminta tanda atau mukjizat yang membuktikan kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud (as), beliau menjawab, ‘Akulah mukjizat’
Almarhum adalah seorang ahmadi yang ideal. Beliau merupakan penggenapan contoh Ahmadi ideal seperti yang diharapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as). Dalam tabiat beliau dijumpai hal ini yakni siapapun yang berjumpa dengan beliau, akan merasakan timbulnya kecenderungan dalam diri orang tersebut pada kebaikan. Inilah yang merupakan sifat-sifat seorang ahmadi yang baik yakni orang yang bergaul dengannya menjadi baik. Tidak hanya itu saja, beliau mengatakan, ‘Akulah tanda kebenaran.’
Ketika ghair ahmadi menganggap sebagian dalil yang beliau sampaikan sebagai lelucon, almarhum mengatakan: Saya tidak sedang bercanda, tapi merupakan hakikat lalu beliau meyakinkan orang tersebut dengan dalil bahwa sebagai ahmadi dan banyak sekali ahmadi yang mengamalkan ajaran yang benar, mereka merupakan tanda hidup dan mukjizat akan kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud (as).”
Inilah standard yang seyogyanya diupayakan oleh para Ahmadi untuk dimiliki yakni bukannya mencari-cari tanda kebenaran yang sudah lama, jadilah sebagai wujud tanda.
Bpk. Abdur Rauf, Naib Amir Islamabad menuturkan, “Banyak orang yang menyatakan, ‘Kami tidak mengenal dokter lain, apa yang harus kami lakukan.’
Banyak diantaranya para Ahmadi miskin yang tidak pernah mengalami masalah pengobatan, tanpa fikir pergi ke klinik almarhum dan berobat di sana.
Banyak sekali ghair Ahmadi yang menyatakan, ‘Almarhum adalah sesepuh dalam rumah kami, kami selalu meminta musyawarah almarhum sebelum mengerjakan sesuatu.’
Yang meminta musyawarah dari beliau tidak hanya ahmadi bahkan ghair ahmadi juga. Sebagian permasalahan atau perselisihan dalam keluarga ghair ahmadi diselesaikan oleh almarhum. Karena klinik beliau sudah ada di daerah tersebut sejak sekitar 40 tahun lebih lalu yang mana sebelumnya ayah mereka lalu anak keturunannya. Almarhum menceritakan kepada saya mengenai kisah banyak orang. Sebagian ghair ahmadi mewasiatkan kepada anak-anaknya sebelum kewafatannya untuk meminta penyelesaian permasalahan atau perseteruan keluarga kepada almarhum dokter sahib.
Pada tahun 2019 lalu Jumat terakhir pada bulan juni setelah melaksanakan jumat, almarhum datang ke kantor saya (Bpk. Abdur Rauf, Naib Amir Islamabad). Setelah menutup pintu berkata, ‘Saya ingin menceritakan sesuatu kepadamu dan hal ini hanya diketahui oleh istri saya saja. Empat hari lalu saya bermimpi tengah berada dalam suatu medan peperangan dimana mayat-mayat bergelimpangan. Saya berdiri diantara para syuhada itu dan berpikir kenapa saya tidak termasuk kedalam orang yang syahid ini?
Selanjutnya, terdengar suara Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Siapa yang terkena 5 luka, berarti ia syahid.”
Saya melihat ke belakang terdapat Hadhrat Masih Mau’ud (as) tengah berdiri diatas tempat tinggi layaknya seorang komandan pasukan. Saya mulai menghitung luka-luka saya. Ada tiga luka yang sangat dalam di kaki terdapat goretan-goretan ringan. Mulailah saya memanjatkan istighfar yang banyak. Setelah itu mata saya terbuka.
Saya berpikir apa maksud dari mimpi tersebut. Dengan hebatnya dimasukkan kedalam benak saya fikiran akan candah supaya dilakukan perhitungan. Saya telah melakukan kelalaian. Ketika esok harinya saya bangun untuk melaksanakan shalat subuh timbul pemikiran hebat dalam benak saya bahwa saya masih belum melakukan perhitungan candah. Saya lalu lakukan penghitungan dan memang benar ada sejumlah uang yang masih belum terhitung candahnya. Pada hari ini saya telah menyerahkan cek senilai 1 juta rupees kepada sekr Maal. Sejak saat itu saya banyak-banyak beristighfar.’”
Keponakan beliau Azizur Rahman sahib putra Mujibur Rahman Sahib Advokat menuturkan, “Sering kali saya mendengar kisah masa kecil dan kehidupan beliau. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan pun, dengan karunia Allah Ta’ala disertai dengan doa ayahnya, beliau dapat menjadi dokter. Almarhum pernah menuturkan bahwa beliau pernah mengalami masa-masa tidak ada uang untuk membeli kertas dan bekerja. Almarhum mengumpulkan amplop bekas lalu membukanya dan digunakannya untuk mencatat. Begitu juga ketika belajar di sekolah kampung. Di sana tidak ada guru matematika sehingga beliau pergi ke kampung lain untuk mempelajari matematika dari gurunya. Setelah itu beliau mengajarkan ilmu tersebut kepada kawan-kawan sekelas di kampung beliau.
Ketika kecil, suatu hari setelah bermain bersama kakak beliau, beliau tertidur tanpa melakukan shalat isya. Kisah ini menarik. Ketika ibu beliau membangunkan dan bertanya, ‘Kamu sudah shalat?’
Beliau yang saat itu masih anak anak menjawab sambil mata sayup, ‘Sudah.’
Pada tengah malam ibu beliau membangunkan beliau sambil menangis, ‘Kamu telah berbohong mengatakan sudah shalat, Allah Ta’ala telah mengabarkan hal itu pada saya melalui kasyaf.’ Kemudian sejak saat itu kami tidak pernah meninggalkan shalat.”
Seperti itulah hendaknya maqam para ibu ahmadi yakni terdapat kekhawatiran dalam hal tarbiyat anak, shalatnya anak dan mendoakan anak anaknya. Ketika berdoa dengan rintihan, Allah Ta’ala pun menampilkan pemandangannya kepada mereka bahwa kenyataannya anak-anakmu itu belum shalat, bangunkan mereka. Lalu ibunda beliau membangunkan mereka sambil menangis yang mana hal itu sangat berpengaruh bagi mereka (almarhum dan kaka) sehingga semenjak saat itu sampai seumur hidup tidak pernah meninggalkan shalat. Beliau sering menyampaikan rujukan dari Al Quran. Beliau selalu mengatakan, jika tidak tercipta jalinan hidup dengan Allah Ta’ala, berarti hak baiat kepada Hadhrat Masih Mauud tidaklah terpenuhi. Karena tujuan dari pengtusan Huzur As adalah untuk menciptakan jalinan hidup dengan Allah Ta’ala.
Keponakan beliau, Dokter Ataur Rahman Sahib menuturkan, “Almarhum selalu melakukan tadabbur Al-Qur’an dan memiliki wawasan yang luas Al-Quran. Beliau menghafal banyak ayat-ayat Al Quran yang panjang. Meskipun keadaan Pakistan saat ini beliau tetap mengundang para penentang keras ke rumah lalu memperlihatkan prosesi jalsah dan khutbah kepada mereka di MTA. Kebanyakan orang terkesan dengan tabligh beliau dan dengan karunia Allah Ta’ala banyak buah baiat yang diraih. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat Almarhum.
Jenazah berikutnya adalah Yth. Ghulam Mustafa Sahib yang sebelumnya tinggal di London pindah ke Tilford di sini. Beliau adalah sukarelawan yang berkhidmat di kantor Private Secretary (Sekretaris Pribadi), UK. Beliau wafat pada 25 April lalu pada usia 69 tahun. Inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuwn.
Beliau baiat pada tahun 1983 di masa Khalifah ketiga. Pada tahun 1986 pindah ke London dan tinggal di mesjid. Setibanya beliau langsung menyampaikan permohonan waqaf. Sehubungan pendidikan beliau tidak tinggi, sehingga karena itu mungkin waqf beliau tidak diterima. Meskipun demikian, beliau terus bekerja layaknya seorang waqif zindegi. Sebelumnya ditugaskan di dapur lalu dipindahkan ke kantor.
Kemudian beliau memperluas bisnis pribadi beliau sehingga Allah Ta’ala memberikan karunia kemajuan. Sebelumnya tangan beliau “kosong”, namun Allah ta’ala mencurahkan keberkatan dalam bisnis beliau sehingga mendapatkan taufik untuk dapat membeli beberapa properti. Selanjutnya beliau mendapatkan taufik mendapatkan taufik untuk dapat membuat properti. Demikianlah Allah Ta’ala memberikan keberkatan dalam usaha beliau dan beliau pun membelanjakannya sebagian untuk orang-orang yang membutuhkan dan Jemaat.
Akan tetapi, seperti yang saya katakan beliau hidup seperti layaknya waqf zindegi baik itu pada masa khalifah keempat dan juga masa saya. Artinya, ketika beliau ingin mengambil cuti untuk pergi ke suatu tempat atau luar negeri untuk tujuan bisnis atau untuk cuti panjang, beliau mengambil cuti secara resmi menyampaikan bahwa saya memohon izin cuti untuk pergi ke suatu tempat. Beliau bertugas layaknya seorang waqif zindegi dan selalu berkata, meskipun saya bukan resmi waqif zindegi namun saya menganggap diri saya sebagai waqif. Alhasil, beliau memenuhi janji kepada Allah Ta’ala untuk mewaqafkan hidup dengan penuh kesetiaan.
Ketika tinggal di mesjid, pada mulanya diajak oleh seseorang untuk bekerja di restauranny dan beliau ditugaskan sebagai waiter, namun beliau tidak menyukai pekerjaan tersebut. Pada hari berikutnya beliau tinggalkan pekerjaan itu dan berkata saya fikir daripada mendapatkan uang namun tidak berguna, lebih baik mencuci wadah di langgar khana Masih Mauud. Beliau lalu mulai bekerja di dapur Masjid Fazal bersama dengan Wali shah Sahib. Lalu beliau juga bertugas sekian lama sebagai anggota pengamanan khas.
Pada tahun 1993 Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi menugaskan beliau di kantor Private Secretary dan sampai saat ini beliau melaksanakan tugas tersebut dengan sangat baik. Almarhum adalah musi. Keluarga yang ditinggalkan diantaranya selain istri 2 putri dan satu putra.
Istri beliau Mahmudah Mustafa Sahibah menuturkan, “Kami hidup bersama sekitar 34 tahun. Selama itu saya dapat memberikan kesaksian bahwa setiap langkah beliau demi Allah Ta’ala. Beliau memiliki banyak sekali keistimewaan, beliau seorang suami, ayah dan saudara yang mukhlis dan menjaga hubungan kekerabatan. Beliau adalah seorang yang berpandangan jauh, bermanfaat bagi setiap orang, berkhidmat dengan tulus dan pemberani. Beliau adalah pribadi yang fana terhadap Khilafat.
Beliau pernah berkata, ‘Ketika saya baiat di Pakistan, saya berjanji pada diri sendiri untuk selalu hidup dekat dengan khilafat.’
Saat itu beliau tidak memiliki sarana namun dengan karunia Allah Ta’ala beliau memenuhi janji tersebut dan Allah Ta’ala pun menyediakan sarananya. Beliau sangat gemar berkorban harta.”
Istri beliau menuturkan, “Saya ingat ketika putra kami lahir, saya katakan kepada beliau, ‘Saya berpikir untuk menyerahkan setengah perhiasan saya kepada Jemaat.’
Almarhum serta merta menjawab, ‘Kenapa setengah-setengah, berikan saja semuanya.’
Kisah lama, ketika ada gerakkan untuk membangun mesjid untuk Afrika, saat itu beliau tidak memiliki rumah, namun sebebrapapun uang yang terkumpul saat itu beliau berikan semuanya untuk mesjid. beliau sangat irit untuk pengeluaran diri sendiri. Namun ketika membelanjakan untuk orang lain tanpa fikir fikir. Selalunya ketika mendahulukan agama, saat itu seperti seorang mukmin sejati meraih keduanya dunia dan akhirat. Beliau selalu mengajak saya dalam berbagai tugas, supaya sayapun mengetahui banyak hal dan beliau yakin sepenuhnya kepada saya.
Selanjutnya beliau menuturkan, “Mustafa Sahib satu satunya Ahmadi dalam keluarga beliau. Ketika baiat, beliau bertekad untuk tidak akan mengambil bagian warisan ayah beliau dan berdoa, ‘Ya Allah! Jika memang Al-Masih Engkau ini benar dan saya baiat dengan meyakininya benar, maka berikanlah hamba dari sisi Engkau dan jangan biarkan hamba bergantung pada siapa pun.’
Allah Ta’ala mengabulkan keinginan beliau tersebut dan membuktikan bahwa langkah yang telah kamu tempuh yakni baiat pada hakikatnya adalah benar lalu Allah Ta’ala menolong beliau dengan beragam cara. Beliau membuatkan mesjid besar di kampungnya karena berpikiran kapan saja orang-orang ghair ini bisa menjadi Ahmadi. Selain itu beliau juga sering membantu saudara dari kerabat beliau dengan beragam cara. Beliau sangat yakin dengan pengabulan doa-doanya. Istri beliau menuturkan dan banyak sekali kejadian yang beliau tulis sendiri nantinya.”
Putri beliau Tsubiah Mustafa menulis, “Tujuan kehidupan ayah saya adalah untuk mencintai Dzat Allah Ta’ala dan nizam khilafat yang telah didirikan-Nya. Beliau sangat bertawakkal pada Allah Ta’ala. Beliau sering menceritakan pada kami bahwa beliau berdoa pada suatu saat dan dikabulkan. Beliau selalu berusaha untuk bagaimana mendapatkan tabarruk Khalifatul Masih. Ketika mendapatkan tabarruk, beliau pasti menyimpan bagian untuk diri sendiri dan sedikit-sedikit dibagikan kepada orang-orang supaya mereka mendapatkan keberkatannya. Beliau juga mengumpulkan tabarruk di rumah dengan niat supaya dapat memberikan bagian diantaranya kepada para tamu jalsah.”
Beliau menuturkan, “Banyak orang yang mengenal ayah saya mengatakan, ‘Kami merasa seperti menjadi menjadi anak yatim dengan kewafatan beliau.’ Beliau sangat banyak membantu orang-orang miskin. Ketika kami tinggal di London, kami pindah dari Tooting ke Gressenhall, Almarhum secepatnya berusaha untuk mendapatkan rumah yang besar supaya mendapatkan taufik mengkhidmati para tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan sebaik-baiknya dan selalu mengatakan, ‘Jika ingin mendapatkan rumah, maka harus tetap berada dalam naungan khilafat, jangan jauh dari Khilafat.’”
Putri beliau mengatakan, “Ayah saya membantu setiap orang dengan penuh ketulusan. Jika ada seseorang yang berada dalam kesulitan, maka sebisa mungkin beliau berusaha untuk membantunya. Di hari-hari ketika beliau sakit, beliau memberikan nasihat terakhirnya kepada saya, ‘Selalu jalinlah ikatan dengan Jemaat, dawamlah dalam shalat dan membaca Al-Quran maka Allah senantiasa akan menyertai.’”
Putri sulung beliau – yang sebelumnya adalah putri bungsu – Madiha Mushtofa menuturkan, “Memang ayah kami berasal dari desa dan tidak begitu terpelajar, namun pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan cara hidup beliau sangat terpelajar mengungguli orang lain. Di dunia pada masa sekarang ini sangat sedikit didapati orang yang memberikan kedudukan yang setara terhadap laki-laki dan perempuan dalam arti yang sebenarnya. Beliau tidak pernah menganggap putri-putrinya sebagai beban, bahkan sering kali mengatakan bahwa siapa saja yang mempunyai anak perempuan, maka ia telah sukses, hari-hari kerja kerasnya telah selesai dan hari-hari istirahatnya telah dimulai.
Beliau telah menunaikan kewajiban untuk memberikan pendidikan dan tarbiyat yang setara kepada putra dan putrinya. Meskipun beliau mencintai putra-putri beliau, namun beliau tidak pernah meninggalkan hak-hak Allah dan hak-hak hamba. Pada saat pernikahan putri beliau atau ketika ada suatu pekerjaan lainnya, beliau tidak pernah meninggalkan shalat. Beliau bertawakal kepada Allah Ta’ala. Beliau merasa khawatir bahwa jangan sampai dikarenakan suatu kekurangan dalam ibadah akan membuat Allah Ta’ala murka.”
Putra beliau Bpk. Sarfaraz Mahmud menuturkan, “Ketika kami tinggal di Tooting, pada saat itu kami secara rutin pergi ke mesjid Fazl untuk melaksanakan shalat. Ketika sewaktu-waktu kami tidak bisa pergi ke mesjid, beliau memastikan bahwa kami semua melaksanakan shalat berjama’ah di rumah. Almarhum mengatakan kepada saya, ‘Hal apa pun yang kamu inginkan dalam hidup ini, hanya Allah Ta’ala lah yang bisa memenuhinya.’ Jika waktu shalat tiba maka beliau tinggalkan semua pekerjaan dan mengutamakan melaksanakan shalat terlebih dahulu.”
Kemudian putra beliau menuturkan, “Hingga saya berusia 15 tahun beliau selalu mengajak saya untuk shalat subuh. Kami mendapatkan keberkatan dari doa-doa beliau. Sepulang dari mesjid beliau mengevaluasi shalat subuh saya apakah saya pergi ke mesjid atau kah tidak, jika sedang malas maka beliau akan mengatakan, ‘Ketidaksetiaan kepada Allah Ta’ala adalah semata-mata kerugian bagimu, Allah Ta’ala tidak lah memerlukan shalat-shalatmu, setiap orang melaksanakan untuk faedah dirinya sendiri.’
Dikarenakan beliau sakit kami memanggil ambulans. Waktu itu beliau bernafas dengan sangat berat, namun dalam keadaan seperti itu pun beliau melaksanakan shalat dengan berdiri, tidak sambil duduk atau berbaring. Ketika menuruni tangga untuk pergi ke rumah sakit beliau berulang kali mengingatkan supaya kami selalu melaksanakan shalat secara berjama’ah dan tepat waktu.
Beliau mengkhidmati tamu-tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan baik. Ketika kami mempunyai rumah yang besar, kami menampung kurang lebih 40 orang tamu jalsah. Ketika pindah ke dekat mesjid, beliau mempunyai rumah yang kecil, di sini pun menampung kurang lebih 25 tamu. Menampung 25 tamu adalah hal yang sulit, namun beliau melakukannya dengan senang hati. Saya pun beberapa kali menanyakan kepada beliau, beliau menjawab, ‘Kita bisa dan kita akan berikan rumah untuk para tamu.’
Beliau selalu mengatakan, ‘Kalian harus selalu maju dalam agama dan dunia. Namun ingatlah! Hal ini tidak mudah. Ketika kapan pun di hadapkan pada urusan-urusan dunia, maka utamakanlah agama di atas dunia.’ Ini yang selalu beliau nasihatkan kepada anak-anak beliau.
Beliau selalu menasihatkan kepada saya, ‘Semua milik kita adalah amanah dari Allah Ta’ala dan Jemaat. Tugas kita adalah menjaganya dan kembangkanlah amanat ini dengan niat untuk memberikan manfaat bagi Jemaat.’ Beliau selalu menasihatkan supaya jangan terlambat dalam membayar candah dan beliau sendiri membayar candah pada tanggal satu setiap bulan. Beliau mengatakan, ‘Janganlah beranggapan Jemaat memerlukan candah kita, bahkan dengan membayar candah, kita akan menyerap nikmat-nikmat Allah Ta’ala.’
Ketika di hari-hari sakit beliau yang terakhir dan dipasangkan ventilator, sebelum beliau koma, kata-kata terakhir yang beliau ucapkan kepada saya adalah, ‘Sarfaraz! Tanggal satu di bulan ini sudah lewat. Pergilah dan lihatlah di lemari, semua berkas ada di sana. Perhitungan candah ayah tertulis di sebuah buku. Bayarkanlah seluruh candah ayah dan selalu lah ingat nasihat ayah, yaitu bayarlah candah pada tanggal pertama di setiap bulan dan jangan melambat-lambatkannya.’
Mertua beliau, Tn. Karamatullah mengatakan, “Yang tercinta Tn. Musthofa memperlakukan istrinya dengan sangat baik dan memperlakukan saya layaknya ayah kandungnya sendiri. Tn. Mushtofa menjalani seluruh hidupnya dengan beribadah kepada Allah Ta’ala dan mengkhidmati Khilafat.”
Demikian juga menantu beliau, Tn. Bilal menuturkan, “Beliau mengumpulkan kopi naskah doa-doa Qur’ani dan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) lalu membagikannya kepada saya, putra-putri beliau yang lain dan juga para kerabat lainnya. Beliau meminta kami membacanya dan menghafalkan doa-doa Qurani tersebut. Saya melihat beliau meminta naskah daras yang disampaikan di Mesjid Fazl dan membacanya ulang di rumah. Beliau berikan itu kepada semuanya untuk dibaca, memfotonya dengan HP lalu mengirimkannya kepada saudara-saudara Ahmadi lainnya dan putra-putri beliau. Setelah itu beliau menelepon mereka dan menanyakan apakah mereka telah membacanya atau kah belum. Seperti itu juga lah beliau melakukan tabligh.
Beliau sangat menghormati tamu. Di hari-hari biasa ada saja orang yang beliau bawa ke rumah sebagai tamu dan pada hari-hari Jalsah 24 jam beliau mengantar-jemput tamu dan selalu mengatakan kepada setiap orang, ‘Tidak perlu bertanya. Anggap lah rumah sendiri dan datanglah.’
Beliau secara khusus sangat mengutamakan tamu-tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau selalu mengatakan bahwa pintu rumah beliau terbuka. Jika ada seseorang yang pada saat Jalsah pernah tinggal di rumah beliau, lalu pada tahun berikutnya menginap di tempat lain maka beliau merasa khawatir jangan-jangan ada suatu kekurangan dari beliau dalam hal penerimaan tamu yang karenanya tamu tersebut tidak datang lagi. Kemudian jika mendapatkan kesempatan bertemu dengan tamu tersebut maka beliau akan membawanya dengan paksa ke rumah beliau. Beliau mengatur pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis duniawi beliau sedemikian rupa supaya tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Beliau meninggalkan pekerjaan-pekerjaan beliau dan pergi shalat ke mesjid.”
Demikian juga saudara ipar beliau, Tn. Choudry Sahil Ahmad menuturkan, “Beliau adalah sosok yang begitu fana dalam tiga hal, yang pertama adalah ibadah, yang kedua hubungan dengan khilafat dan yang ketiga adalah pengkhidmatan terhadap tamu. Rumah almarhum pada hari-hari Jalsah penuh oleh tamu-tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan tampak seperti hostel (sarae, penginapan).”
Karyawan Private Secretary, Tn. Aslam Khalid menuturkan, “Setiap hari saya bertemu dengan beliau di kantor. Beliau adalah sosok yang memiliki banyak kelebihan. Beliau selalu terdepan dalam kebaikan, membantu orang miskin, mengkhidmati tamu, unggul dalam pembayaran candah-candah, berusaha melakukan segala macam kebaikan, beliau mengambil alih pekerjaan semua orang di kantor layaknya seseorang yang rakus dan beliau mengerjakannya sendiri dengan penuh semangat. Beliau selalu mengatakan, ‘Ini adalah pekerjaan saya. Ini adalah pekerjaan yang tepat dan saya merasa bahagia.’”
Tn. Fahim Ahmad Bhati, seorang sukarelawan di kantor Private Secretary menuturkan, “Sejak tahun 1992 beliau mulai bekerja di kantor. Pada masa itu staf masih kurang. Beliau bekerja dengan sangat disiplin. Beliau adalah seorang karyawan yang setia dan berdedikasi. Sosok yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya kelebihan yang paling menonjol dan membuat iri adalah keta’atan terhadap Khilafat dan senantiasa memohon petunjuk ari khalifah dalam hal-hal yang kecil sekalipun. Allah Ta’ala memberikan kelapangan harta kepada beliau. Ketika membicarakan hal ini beliau selalu mengatakan bahwa ini semua beliau dapatkan berkat bekerja di kantor ini.”
Tn. Dokter Thariq Bajwa mengatakan, “Saya bersahabat dengan beliau sejak tahun 1980 dan saya mendapatkan kesempatan melihat beliau dari dekat sejak beliau masuk Jemaat hingga wafat. Beliau memiliki begitu banyak kelebihan, bertawakal kepada Allah Ta’ala dan seorang yang mencintai Khilafat. Beliau datang ke Sindh dan tinggal bersama salah seorang kerabat jauh beliau karena tengah menghadapi persidangan kasus lahan di Punjab. Beliau datang dari sana untuk menyelamatkan diri dari Polisi. Singkatnya, beliau mengenal Ahmadiyah di sana dan hingga tiga tahun berturut-turut beliau ditablighi. Di masa-masa itu pun beliau secara dawam mengumandangkan azan di mesjid Jemaat.
Pada akhirnya beliau segera baiat setelah melihat sebuah mimpi, yaitu Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) datang ke rumah beliau. Beliau (rh) tersenyum dan berkata, ‘Diperlukan dua orang Khudam.’ Kemudian beliau (rh) memberikan isyarat kepada Tn. Salim dan Almarhum dan mengatakan, ‘Kamu dan satu lagi kamu, kemarilah.’ Setelah melihat mimpi tersebut lalu Almarhum baiat.
Sebelum baiat pun Almarhum sudah biasa ikut serta dalam Ijtima dan kegiatan Jemaat lainnya. Setelah baiat Almarhum semakin meningkat dalam keikhlasan. Beliau menyimak khutbah-khutbah dan acara-acara tanya-jawab dengan penuh perhatian. Beliau begitu percaya diri dan mengatakan, ‘Untuk menghadapi para maulwi ghair Ahmadi cukup saya saja. Tidak akan ada yang bisa berhadapan dengan saya.’
Beliau mendapatkan taufik untuk umrah beberapa kali dan pada tahun 2010 Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau karunia untuk berhaji. Beliau juga mencintai Qadian. Beliau sering pergi ke sana. Beliau ingin mempunyai rumah di markaz. Beliau lalu membuat rumah di sana dan menyerahkannya kepada Jemaat.”
Dokter Ibrahim Nashir Bhatti yang mengobati beliau mengatakan, “Saya tidak mengenal Tn. Ghulam Mushtofa dalam waktu yang lama.” Beliau memberikan konsultasi dan merawat Almarhum di hari-hari sakit Almarhum yang terakhir. Secara kebetulan beliau dokter di rumah sakit tersebut dan Almarhum menjadi pasien beliau di sana.
Dokter Ibrahim menuturkan, “Saya mendapatkan kesempatan merawat beliau pada saat sakitnya yang terakhir. Di masa yang singkat tersebut saya mencatat beberapa hal yang menarik untuk disampaikan.
Meskipun beliau menderita sakit keras yang disebabkan virus Corona ini, beliau selalu ridho dengan taqdir Allah Ta’ala. Saya ingat ketika saya menemui beliau dan mengatakan kepada beliau bahwa dikarenakan parahnya sakit beliau ini, sepertinya tidak ada kemungkinan untuk bisa sembuh. Mendengar hal ini Tn. Mushtofa terdiam sejenak lalu mengatakan, ‘Apa pun yang menjadi kehendak Allah Ta’ala saya ridha terhadapnya.’ Tidak nampak kesedihan dan kegelisahan di wajah beliau. Beliau begitu tenang.”
Kemudian Tn. Dokter menyampaikan hal lainnya yang membuat saya sangat terkesan akan kecintaan beliau terhadap khilafat. Beliau menuturkan, “Dikarenakan parahnya keadaan beliau kami harus memasang CPAP, yaitu alat yang sangat menyakitkan untuk memompa oksigen, yang terkadang membuat pasien pingsan dan menimbulkan keadaan yang mengerikan. Ketika beliau merasakan sakit disebabkan oleh pemasangan mesin tersebut, keluarga beliau mendatangi beliau dan mengatakan bahwa ada pesan dari Khalifah, yakni pesan dari saya (Huzur). Pesan tersebut adalah, ikutilah petunjuk dari para Dokter.
Ketika Almarhum mendapatkan pesan saya ini, seketika beliau menjadi rileks dan dengan tenang beliau menjalani proses tersebut. Semangat beliau meningkat dan timbul suatu kekuatan dalam tubuh beliau.”
Tn. Dokter menuturkan, “Demikian juga saya melihat beliau tidak meminum obat Homoeopathy – yang mungkin bisa membuat keadaan lebih baik – hanya karena saya (Dokter Ibrahim) menyarankan seperti itu. Ini adalah suatu contoh kecintaan dan kesetiaan terhadap Khilafat yang tidak ada bandingannya yang sangat berkesan bagi saya.”
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat para Almarhum yang telah memperlihatkan kesetiaan kepada Allah Ta’ala dan agama, dan sebagaimana mereka berusaha untuk memenuhi janji baiat mereka, semoga Allah Ta’ala memperlakukan mereka dengan kasih sayang lebih dari itu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as), mereka ini termasuk ke dalam golongan para syuhada.
Semoga Allah Ta’ala menjaga dan memelihara putra-putri mereka dan diberikan taufik oleh Allah Ta’ala untuk dapat mengikuti dan meneruskan kebaikan-kebaikan para Almarhum. Semoga mereka menjadi orang-orang yang menciptakan hubungan dengan Allah Ta’ala dan senantiasa menjalin hubungan dengan Jemaat dan Khilafat, dan doa-doa yang dipanjatkan para orang tua mereka untuk mereka, semoga Allah Ta’ala senantiasa mengabulkannya untuk mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK), Mln. Muhammad Hasyim dan Mln. Ataul Ghalib Yudi Hadiana. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.