Mengapa Khilafah Ahmadiyah Tidak Memiliki Agenda Politik?

khilafah ahmadiyah agenda politik

Pertanyaan: Mengapa kita bangga mengatakan bahwa Khilafah tidak memiliki agenda politik padahal Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan para Khalifahnya memiliki agenda politik yang sangat kuat?

Ini adalah pertanyaan utama dan apa yang dimaksudkan dalam pertanyaan itu harus dipertanyakan terlebih dahulu. Khilafah Ahmadiyah memang memiliki tujuan politis yang hendaknya dicapainya.

Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifah Kedua Ahmadiyah menjelaskan:

“Oleh karena itu, adalah tugas kita untuk menegakkan ajaran Islam di dunia, menyelesaikan perselisihan manusia menurut Syariah, dan memberikan sanksi pelanggaran dalam hal-hal non-penal (bukan pidana) menurut keputusan Islam, kecuali jika pemerintah menahan kita dan mengatakan, ‘Kami tidak mengizinkan kalian dalam urusan ini untuk mengaturnya menurut aturan kalian sendiri.’

“Terlepas dari itu, perlu untuk memberlakukan tatanan Islam terkecil sekalipun dan sedapat mungkin membangun struktur pemerintahan Islam di dunia. Tetapi, kita tidak dapat dan tidak akan ikut campur dalam bagian-bagian yang dipegang pemerintah. Jika pihak yang memusuhi kami menyebut upaya dan perjuangan kami ini sebagai upaya ‘menetapkan aturan kami sendiri’, kami tidak peduli. Bahkan kami mengatakan bahwa kami ingin menegakkan aturan Islam di dunia, tetapi ini adalah aturan rohani, dan kami tidak pernah menyembunyikan bahwa kami ingin menegakkan aturan Islam di dunia; sebaliknya kami secara terbuka mengatakan bahwa insya Allah, pada akhirnya kami akan mendirikan pemerintahan Islam di dunia.

Apa yang kami sangkal adalah kami akan mendirikan pemerintahan Islam dengan kekuatan pedang dan pemberontakan; melainkan kami akan menegakkan aturan Islam dengan menaklukkan hati manusia.

“Adakah yang bisa membayangkan bahwa seandainya hari ini saya menjadi penguasa yang dapat mengubah semua orang Inggris menjadi Islam, mengubah para menteri di sana menjadi Islam dan mengubah anggota parlemen menjadi Islam dan untuk mendirikan pemerintahan Islam di sana, maka saya akan melewatkan kesempatan ini? Sedikitpun saya tidak ragu untuk mencoba memasukan orang-orang ini ke dalam Islam secepat mungkin dan mendirikan pemerintahan Islam di Inggris, tetapi karena ini bukan dalam kekuasaan saya, saya tidak dapat melakukannya. Kalau tidak, saya tidak menyangkal bahwa saya memiliki ide ini di dalam hati saya dan tentu saja keinginan hati saya agar raja-raja kita menjadi Muslim, para menteri juga menjadi Muslim, bahwa anggota parlemen juga menjadi Muslim dan bahwa semua rakyat Inggris juga menjadi Muslim.”[1]

Terkait:   Pidato Seratus Tahun Khilafah Ahmadiyah oleh Hazrat Khalifatul Masih V

Kesalahpahaman konseptual mendasar yang harus diklarifikasi sebelum melangkah lebih jauh adalah terjemahan dan pengalihan premis pemisahan gereja dan negara, yang berasal dari istilah di kalangan penganut agama Kristen, ke Islam sebagai pemisahan agama dan politik.

Islam bukanlah agama dalam pengertian istilah Kristen, tetapi sebuah konsep hidup yang holistik. Istilah iman dalam bahasa Arab, kadang-kadang diterjemahkan sebagai iman atau keyakinan karena keterbatasan bahasa, jauh dari konsep Kristen, karena komponen iman ada tiga bagian:

1. Pembenaran dengan hati (tasdiq bil-qalb)

2. Pengucapan dengan lisan (qaul bil-lisan)

3. Praktik atau melalui tindakan (‘amal bi-l-jawarih).

[Teks Arabnya ialah أَنَّ الْإِيمَانَ تَصْدِيقٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ][2]

Lebih jauh lagi, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah memerintahkan untuk memperbaiki keburukan dengan tangan, dan menyebut bahwa orang yang hanya menganggap keburukan sebagai kejahatan di dalam hati merupakan tingkat iman yang paling rendah. Selain itu, tidak mungkin untuk berasumsi bahwa Khalifah – otoritas agama tertinggi yang didukung oleh Allah– hanya akan menunjukkan tingkat keimanan yang paling rendah itu.

Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah tingkat iman yang paling lemah.”[3]

Jadi, politik adalah bagian kehidupan sehari-hari setiap Muslim dan setiap lembaga Islam.

Namun demikian, apa yang perlu dipahami adalah mandat Khalifah tergantung pada mandat dari sosok yang ditunjuk oleh Allah (ma’mur) yang diteruskannya. Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra menjelaskan hal ini dengan kata-kata berikut:

“Jika Allah menganugerahkan kerajaan kepada Nabi-Nya, Khalifah dari Nabi itu juga akan berhak atas kerajaan tersebut dan Allah pasti akan menjaminkan kerajaan atas dirinya. Tetapi jika seorang Nabi kebetulan tanpa kerajaan [kekuasaan politik], dari mana hal itu didapat Khalifahnya? Karena Allah telah menganugerahkan kerajaan duniawi dan rohani kepada Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), maka para Khalifah beliau (saw) juga diberikan kedua karunia ini. Tapi sekarang, karena Allah tidak menganugerahkan kerajaan duniawi kepada Hazrat Masih Mau’ud (as), dengan siapa atau bagaimana Khalifahnya harus berjuang untuk memilikinya?”[4]

Terkait:   Khalifah Sebagai Imam

Beliau juga pernah ditanya, apakah kedaulatan diperlukan untuk seorang Khalifah. Beliau menjawab:

“Arti Khilafat adalah: 1) kerajaan dan 2) penerus; dan di wilayah mana pun seseorang menjadi Khalifah, dia akan bekerja di dalamnya, sesuai dengan asal-usul [dari mana otoritasnya berasal]. Tujuan pengutusan Nabi Muhammad (saw) juga merupakan reformasi rohani (ishlah ruhani). Dalam pengertian bahasa Arab, juga tepat untuk menyebut seorang raja sebagai Khalifah. Setiap penguasa tunggal juga merupakan Khalifah. Namun demikian, kaum Muslim telah mengkhususkan peristilahan itu.”[5]

Di sini sesuatu yang sangat penting telah ditetapkan, yaitu Rasulullah (saw) dan Khalifah-nya memiliki mandat utama yaitu reformasi rohani, dan kekuasaan duniawi dan politik bersifat sekunder (sampingan) saja. Ini juga merupakan alasan mengapa banyak Nabi dan penerus mereka tidak diberikan kekuasaan duniawi. Hal ini juga diakui oleh sejarawan besar dunia, Ibnu Khaldun rahimahuLlah (w. 808/1406). Dia menulis:

 فقد تبين أن الخلافة قد وجدت بدون الملك أولا ثم التبست معانيهما واختلطت ثم انفرد الملك حيث افترقت عصبيته من عصبية الخلافة والله مقدر الليل والنهار وهو الواحد القهار

“Dengan demikian jelas bahwa kekhalifahan pada awalnya ada tanpa otoritas teritorial (kekuasaan wilayah). Kemudian, ciri khas kekhalifahan menjadi kacau-balau. Akhirnya, otoritas teritorial muncul sendiri.”[6]

Ketika menyangkut kesejahteraan umat Islam, maka tugas Ilahi seorang Khalifah untuk memperhatikannya dan sejauh mungkin ia ikut campur dalam masalah-masalah tersebut, karena kesejahteraan rohani umat Islam tidak mungkin dicapai tanpa menjaga kesejahteraan jasmani mereka juga. Untuk itulah sebagai contoh kita melihat bahwa para Khalifah, sepanjang hidup mereka selalu aktif secara politik, begitu juga secara institusional tetapi non-pemerintah. Hadhrat Khalifatul Masih II (ra), misalnya, terpilih sebagai presiden All India Kashmir Committee, yang secara khusus didasarkan pada keprihatinan dan kepentingan umat Islam di Kashmir.

Terkait:   Khilafat: Buah Janji Ilahi

Begitu juga di bawah kepemimpinan pemimpin tertinggi Jamaah Muslim Ahmadiyah saat ini, semua pilihan dan kemungkinan politik dan hukum ditinjau untuk membatasi penghinaan dan pencemaran nama baik Nabi kita tercinta di negara-negara di dunia.

Selain itu, merupakan fakta umum bahwa para politisi dari semua kalangan sering tampil secara pribadi di hadapan Hadhrat Khalifatul Masih V (atba) dan mengambil bimbingan moral (akhlak) dari beliau dalam urusan politik.

Jadi, kita dapat melihat bahwa para Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah dapat melakukan campur tangan dalam politik jika diperlukan dan memungkinkan demi kesejahteraan semua umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Tetapi apa yang dikesampingkan adalah Khilafah Ahmadiyah tidak bercita-cita untuk memegang suatu jabatan atau jabatan politik dan terlibat langsung dalam politik.


[1] Khotbah Jumat, 13 Maret 1936 (خطبہ جمعہ 13؍ مارچ 1936ء) disampaikan oleh Khalifatul Masih ke-2, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) (فرمودہ حضرت مرزا بشیرالدین محمود احمد، المصلح موعود خلیفۃ المسیح الثانیؓ). Link https://www.alislam.org/urdu/khutba/1936-03-13/

[2] Imam Nawawi dalam Kitab Syarh Muslim.

[3] Sahih Muslim, Kitab al-Imaan, Hadis 49a.

[4] Berkah Khilafat, hal. 12.

[5] Majalah Al Fazl, 28 November 1921, hal. 5.

[6] Al-Muqaddima dari Ibn Khaldun, trans. Franz Rosenthal diterjemahkan dari Tarikh Ibnu Khaldun (تاريخ ابن خلدون المسمى بـ «العبر وديوان المبتدأ والخبر في أيام العرب والعجم والبربر ومن عاصرهم من ذوي السلطان الأكبر) pasal ke-28 mengenai perubahan Khilafat menjadi Kerajaan (الفصل الثامن والعثسرون في انقلاب الخلافة إلى الملك); ad-Daulah al-Umawiyah (الدولة الأموية عوامل الازدهار وتداعيات الانهيار) karya Doktor ‘Ali Muhammad Muhammad ash-Shalabi (د. علي محمد محمد الصلابي, مركز الكتاب الاكاديمي). (الفكر السياسي الإسلامي في العصور الوسطى) (تأليف: إرﭭن روزنتال, ترجمة: د. أحمد محمود إبراهيم, وترجمة: د. أسامة شفيع السيد)

Sumber: Alhakam.org

Penerjemah: Mln. Dildaar Ahmad Dartono

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.