Khilafah ‘alaa Minhaajin Nubuwwah
Jalees Ahmad, Al Hakam
1400 tahun yang lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berbicara kepada para sahabat beliau Radhiyallahu Anhum dan menjelaskan masa depan Islam:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً عَاضّاً فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Kenabian akan tetap berada di antara kalian selama Allah menghendaki, dan Allah akan mencabutnya ketika Dia menghendaki. Kemudian akan berlaku masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘alaa minhaajin-nubuwwah), dan akan tetap berada selama Allah berkehendak, dan Allah akan mencabutnya ketika Dia menghendaki. Kemudian diikuti masa kerajaan yang di dalamnya manusia akan menghadapi cobaan dan kesengsaraan (mulkan ‘adhan), dan kerajaan itu akan tetap ada selama Allah menghendakinya, dan Allah akan menyingkirkannya ketika Dia menghendaki. Kemudian setelah itu akan muncul kerajaan yang menindas (mulkan jabbariyyah), dan akan terus ada selama Allah berkehendak, kemudian Dia akan menghapusnya ketika Dia menghendakinya. Kemudian sekali lagi akan muncul khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwah). Setelah itu beliau diam.” (Musnad Ahmad bin Hanbal, Kitab al-Riqaq, Bab al-Andhar wa al-Tahdhir)
Itulah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menguraikan peristiwa-peristiwa Islam di masa mendatang. Dalam hadits terdapat empat tahap yang akan kita bahas dalam artikel ini. Hadits ini diperkuat oleh sebuah ayat Al-Qur’an. Dalam Surah an-Nur, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan beramal sholeh bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu Khalifah di bumi ini, sebagaimana Dia telah menjadikan Khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia pasti akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan pasti Dia akan memberi mereka keamanan dan kedamaian sebagai pengganti sesudah ketakutan mencekam mereka. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku, dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang durhaka.” (Surah an-Nur, 24:56)
Berdasarkan ayat ini, seperti disebutkan dalam Tafsir Lima Jilid bahwa janji pendirian Khilafah jelas dan tidak dapat disangkal. “Karena Rasulullah sekarang menjadi satu-satunya pembimbing umat manusia sepanjang masa, maka Khilafahnya harus terus ada dalam satu bentuk atau lainnya di dunia hingga akhir zaman, sementara semua Khilafah lainnya telah musnah.” (Tafsir Lima Jilid, Surah al-Nur, 24:56, hal. 2289)
Penegakkan Khilafah setelah kenabian merupakan tema yang berulang sepanjang sejarah. Khilafah didirikan untuk menyebarkan lebih luas misi nabi kepada umat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu kesempatan bersabda:
مَاكَانَتْنُبُوَّةٌقَطُّاِلَّاتَبِعَتْهَاخِلَافَةٌ
“Tidak ada kenabian yang tidak diikuti oleh Khilafah.” (Kanzul Ummal, Hadits 32246)
Tiga Jenis Khulafa yang Disebutkan dalam Al-Quran
Dalam Tafsir Lima Jilid, di bawah ayat dalam Surah an-Nur yang disebutkan di atas, kita membaca tentang tiga jenis Khilafah yang disebutkan dalam Al-Quran. Jenis pertama adalah khulafa yang merupakan para nabi Allah, contohnya, Nabi Adam (as): “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi” (Surah al-Baqarah, 2:31), dan Nabi Daud: “Wahai Daud, Kami telah menjadikanmu seorang khalifah di bumi” (Surah Shad, 38:27), keduanya disebutkan dalam Al-Quran sebagai khulafa.
Tipe kedua khalifah yang disebutkan dalam Al-Quran adalah para nabi yang merupakan khulafa dari nabi lain. Misalnya, para Nabi Israili semuanya adalah khalifah Nabi Musa (as). Mengacu pada khulafa ini, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan chaaya, dengan itulah para nabi yang patuh kepada kami menghakimi orang-orang Yahudi dengannya.” (QS. Al-Maidah, 5:45)
Tipe ketiga adalah “khulafa non-nabi dari seorang nabi, dengan maupun tanpa kekuasaan duniawi, seperti orang-orang saleh yang unggul dalam pengetahuan tentang Hukum syariat. Misi mereka adalah untuk melindungi dan memelihara syariat agar tidak dirusak.” (Tafsir Lima Jilid, Surah 24: Ayat 56, h. 2289)
Ayat 56 Surah An-Nur ini “mencakup semua kategori khulafa yaitu khulafa’ur Rasyiddin dari Rasulullah, Al-Masih yang Dijanjikan, para penerusnya, dan para pembaharu rohani atau mujaddid.” (Ibid)
Melihat Makna Hadits ‘Khilafah ‘alaa Minhaajin Nubuwwah’
Dalam hadits yang dikutip di awal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memaparkan secara terstruktur peristiwa-peristiwa masa depan Islam. Beliau bersabda bahwa setelah kenabian, Khilafah akan menyusul. Setelah Khilafah, akan ada kerajaan yang kemudian akan diikuti oleh pemerintahan monarki. Kemudian, salah satu aspek utama yang tidak boleh diabaikan adalah apa yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya. Beliau bersabda bahwa akan muncul “Khilafah yang mengikuti jejak kenabian” (Khilafah ‘alaa Minhaajin Nubuwwah), kemudian beliau tidak berkata apa-apa lagi dan terdiam.
Jika kita menilik catatan sejarah, kita melihat bahwa pasca wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khilafah berdiri dengan terpilihnya Abu Bakar (ra) sebagai Amirul Mukminin; kemudian berturut-turut digantikan oleh Umar, Utsman, Ali, Radhiyallahu Ta’ala Anhum. Khilafah ini dikenal dengan “Khilafah Rasyidah” yang bertahan dari tahun 632-661 M.
Setelah “Khilafah” yang disebutkan dalam hadits yang dikutip di atas, muncul-lah kerajaan-kerajaan. Era “kerajaan” ini berlangsung dari tahun 661-1516 M. Periode ini dipenuhi oleh para pemimpin dari Bani Umayyah (661-749 M), Bani Abbas (749-1516 M) dan Bani Fatima (10-12 M).
Terkait dengan pergantian ini, kata-kata yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah مُلْكًا عاضًّا yang artinya akan terbentuk kerajaan yang terbagi-bagi. Kata عاضًّا berasal dari عضا. Umumnya dikatakan, dalam bahasa Arab, عضا الشاة yaitu ia memotong domba atau kambing menjadi beberapa bagian atau porsi. عضي القوم artinya, dia membagi manusia ke dalam beberapa bagian atau golongan. (Dictionary of the Holy Quran with Referencs and Explanation of the Text, hal. 578)
Setelah mempelajari sejarah tidaklah berlebihan mengatakan bahwa nubuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah tergenapi, persis huruf demi hurufnya.
Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan penerus berikutnya sebagai مُلْكًا جَبْرِيَّةً yang artinya penerus ini akan kuat dan lalim dan, sebagaimana diperlihatkan dalam lembaran sejarah, hal itu benar-benar terwujud. Monarki yang kuat ini adalah monarki Turki Utsmani, yang umumnya dikenal sebagai Ottoman. Dari pemerintahan Abbasi atau Abbasiyah di Mesir, yang berkuasa hingga 1516 M, gelar khalifah dipindahkan ke monarki Ottoman, yang akhirnya mengalami akhir yang tragis pada tahun 1924.
Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV (rh), menjelaskan hadits yang disebutkan di atas:
“Terdapat dua penyebutan Khilafah alaa minhaajin nubuwwah. Pertama, langsung setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang kedua, setelah berakhirnya ketiga fase tersebut. Jadi, Malikul Aaz [kerajaan tirani] sama sekali tidak dapat mewariskan sistem minhaajin nubuwwah. Hal itu menunjukkan bahwa, seperti halnya fase yang pertama, Khilafah sejati juga akan lahir karena adanya nubuwwah. Pada fase kedua, yang akan terjadi jauh setelahnya, Khilafah yang akan diciptakan oleh Allah akan menjadi alaa minhaajin nubuwwah, yang artinya akan ada seorang nabi sebelum Khilafah itu, jika tidak, Khilafah itu tidak akan muncul.“
“Rujukan tersebut haruslah ditujukan kepada Nabi Isa (as), sebagaimana beliau dianggap akan turun ke bumi ini oleh non-Ahmadi, dan sebagaimana beliau diyakini oleh kita akan lahir di dalam ummah ini dan terikat kepada Isa (as). Bagaimanapun, Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah yang baru tidak akan dapat dimulai tanpa kedatangan beliau. Hal itu dapat dimengerti.
“Namun dalam fase pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Khilafah itu pada akhirnya akan hilang dan akan diangkat. Mengenai Khilafah yang akan datang di Akhir Zaman, beliau tidak menyebutkan hal ini. Beliau terdiam setelah ini yang artinya fase-fase sebelumnya tidak akan mengikuti persis seperti yang terjadi dalam Khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwah sebelumnya. Jadi, tidak akan ada mujaddidin yang datang, sebagaimana mereka muncul setelah terangkatnya Khilafah pertama. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandang Khilafah kedua berakhir dengan mujaddidiyat, beliau seharusnya menyebutkan hal tersebut. Beliau tidak menyebutkan adanya kemerosotan langsung setelah Khilafah kedua. Jadi solusi apa pun yang beliau tawarkan untuk kemerosotan pasca Khilafah pertama, beliau tidak menyebutkannya dalam kaitannya dengan Khilafah kedua yang, tentu saja, akan menjadi Khilafah beliau. Namun, hal itu akan terus berlanjut untuk waktu yang lama.” (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, 12 Maret 1998, Liqaa Ma‘al Arab)
Fase keempat, yang akan muncul dan berlangsung hingga Hari Kiamat, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah “Khilafah ‘alaa minhajin nubuwwah”. Kalimat ini sangat penting karena menegaskan bahwa ketika Khilafah ditegakkan kembali, maka ia akan berdasarkan pada ajaran kenabian. Hadits ini, jika dikaji dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya, akan mengacu pada kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan tegaknya Khilafah yang akan menjadi kebangkitan Islam “bahkan jika iman telah naik ke Tsurayya.”
Dengan munculnya Hadhrat Masih Mau’ud (as), Kekaisaran Ottoman mendekati akhir dari despotisme monarki, dan yang akan datang adalah munculnya Khilafah yang berdasarkan pada kenabian.
Pada tahun 1889, tahun yang sama ketika Hadhrat Masih Mau’ud (as) mendirikan Jamaah Muslim Ahmadiyah, Commitee of Union and Progress (Komite Persatuan dan Kemajuan), sebuah gerakan reformasi politik yang disebut Young Turks (Turki Muda), menginginkan penggantian monarki Kekaisaran Ottoman dengan pemerintahan konstitusional. Peristiwa dalam sejarah ini tak pelak lagi mengarahkan pemerintahan Ottoman menuju kehancuran terakhirnya. Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menubuatkan kemunduran dan akhir yang tidak menyenangkan bagi kekaisaran ini ketika Hüseyin Kâmi mengunjungi Qadian pada tahun 1897.
27 Mei 1908 dan Tergenapinya sebuah Nubuat
Pada tanggal 27 Mei 1908, sabda penuh berkat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwa’ terpenuhi ketika Hazrat Maulvi Nuruddin (ra), yang merupakan orang pertama yang berbaiat di tangan Imam Mahdi (as), diangkat sebagai Khalifatul Masih pertama. Pada hari inilah Khilafah Ahmadiyah berdiri. Sejak saat itulah, Khilafah ini telah melaksanakan misi Imam Mahdi dan telah menyampaikan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke seluruh penjuru bumi.
Pada suatu kesempatan, Hazrat Khalifatul Masih I (ra) menjelaskan:
“Tidak semua agama di dunia memiliki orang suci yang dibimbing oleh Tuhan. Islam memiliki karunia dan kebaikan yang menyediakan orang-orang yang dibimbing oleh Tuhan yang berdoa untuk penyakit [rohani]; orang-orang yang siap siaga di jalan Allah dan menyadari akibat buruk dari kejahatan dan permusuhan; orang-orang yang memperjuangkan kesejahteraan. Setiap kali muncul rasa puas diri dan ketidakpedulian pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah telah berjanji untuk mengangkat para Khalifah.” (Al-Hakam, 17 Juli 1902)
Jika kita menelaah berbagai peristiwa sejarah dan menyaksikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah terpenuhi, maka tampaklah bahwa setiap saat dan telah direncanakan oleh Allah untuk menegakkan kebangkitan Islam melalui Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Khilafah berdasarkan ajaran kenabian. Agar Khilafah sejati dapat ditegakkan, maka haruslah berdasarkan kenabian.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
“Sangat disayangkan bahwa mereka yang menganut paham ini tidak merenungkan dengan saksama kata ‘khalifah’ – yang dipahami melalui [istilah] istikhlaf – karena khalifah berarti ‘penerus’; dan penerus seorang Rasul dalam arti hakiki hanyalah orang yang memiliki kesempurnaan seorang Rasul secara zill [bayangan]. Itulah sebabnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin kata khulafa diterapkan kepada para penguasa yang sewenang-wenang karena khalifah pada hakikatnya merupakan zill [bayangan] dari wujud Rasul. Dan karena tidak ada manusia yang abadi, maka Allah Ta’ala menghendaki agar para Rasul, yang merupakan manusia terbaik dan paling terhormat, tetap hidup melalui zill (bayangannya) hingga Hari Pembalasan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala menetapkan Khilafah, agar dunia tidak akan pernah kehilangan berkah Kenabian di zaman mana pun. Maka, orang yang meyakini bahwa Khilafah hanya bertahan selama tiga puluh tahun, mengabaikan alasan keberadaan Khilafah ini karena ketidaktahuannya. Orang seperti itu tidak mengetahui bahwa Allah Ta’ala tidak pernah menghendaki bahwa setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keberkahan kerasulan hanya bertahan selama tiga puluh tahun dalam corak jubah Khalifah, dan setelah itu Dia tidak akan peduli sekalipun dunia mengalami kehancuran.” (Syahdatul Qur’an hlm. 91-92)
Hadits tentang penegakan Khilafah berdasarkan jejak kenabian juga menjelaskan pelajaran yang sangat penting bagi umat Islam. Para ulama Islam sering mengatakan bahwa pintu kenabian telah tertutup. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menubuatkan tentang kedatangan Khilafah setelah kedatangan seorang nabi? Apakah umat Islam telah menutup pintu untuk melihat petunjuk dengan menutup pintu kenabian?
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah terwujud. Saat ini, Khilafah Ahmadiyah adalah Khilafah yang telah ditakdirkan untuk berdiri. Khilafah inilah yang, Insya Allah, akan tetap ada hingga Hari Kiamat. Khilafah inilah yang mengemban misi ilahi untuk menyebarkan Islam sejati kepada dunia.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
“Allah Ta’ala menghendaki agar semua ruh yang berdiam di seluruh pelosok bumi, baik di Eropa mupun di Asia, kesemuanya yang bertabiat baik akan ditarik kepada Tauhid dan akan dihimpun-Nya di dalam satu agama. Inilah kehendak Allah, yang karena-Nya aku diutus ke dunia. Kalian juga hendaklah mengikuti kehendak ini, tetapi dengan lemah-lembut, dengan akhlak dan dengan banyak berdo’a secara sungguh-sungguh (Al-Wasiat, h. 8-9)
Hadits yang diulas ini, tanpa diragukan lagi benar-benar telah tergenapi. Umat Islam yang masih berpegang pada kisah-kisah luar biasa tentang kenaikan dan turunnya Nabi Isa secara fisik, akan gagal mengenali berkat agung yang telah Allah anugerahkan ke dunia ini, yaitu Khilafah. Inilah berkat dan kabar gembira yang diwahyukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umat Islam 1.400 tahun yang lalu.
“Oleh sebab itu wahai saudara-saudara! Kerena sejak dahulu begitulah Sunnatullah, bahwa Allah Ta’ala menunjukkan dua Kudrat-Nya, supaya diperlihatkan-Nya bagaimana cara menghapuskan dua kegirangan yang bukan-bukan dari musuh, maka sekarang tidak mungkin Allah Ta’ala akan meninggalkan Sunnah-Nya yang tidak berubah-ubah itu. Maka janganlah kamu bersedih hati karena uraianku yang aku terangkan di hadapanmu ini. Jangan hendaknya hatimu jadi kusut, karena bagimu perlu pula melihat Kudrat yang Kedua. Kedatangannya kepadamu membawa kebaikan bagimu, karena ia selamanya akan tinggal bersama kamu, dan sampai hari kiamat silsilahnya tidak akan berakhir.” (Al-Wasiyat, h. 7)
“Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka.” (QS. An-Nur, 24: 56)
Penerjemah: Wa Ode Ifulia
Sumber: Alhakam.org