Apakah Pemahaman tentang kenabian zhilli dan buruzi ada dalam tradisi Islam?
Dalam menjalankan mandat Tuhan, Hadhrat Masih Mau’ud as (Mirza Ghulam Ahmad) menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan kekhasan pangkat kenabian yang dianugerahkan Allah kepada beliau, dimana hampir semua istilah tersebut dikenal dalam tradisi skolastik Islam. Seperti: Zhilli (bayangan); Buruzi (pantulan/pancaran/manifestasi ruhani); Matsil (perumpamaan); Ghairul Haqiqi (bukan hakiki); Majazi (kiasan); Juz’i (bagian); Ghairul Tasyri’i (tidak membawa syariat); Ghairul Mustaqil (tidak independen atau tidak berdiri sendiri); Ummati (umat atau pengikut), dan lain sebagainya.
Adapun yang terbesit dalam benak Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas saat menggunakan istilah-istilah tersebut adalah sesuai pemahaman yang telah beliau uraikan dalam banyak karya beliau. Dimana penggunaannya sedikit banyak berpedoman pada istilah-istilah tradisional, namun tidak selalu berpatokan pada hal yang dimaksud.
Terkait masalah ini, harus diingat kaidah ilmu tafsir, لا مُشَاحَّة في الاصطلاح (la mushahhata fil-istilah: Tidak ada perdebatan tentang istilah), sebab istilah itu sendiri tidak memiliki arti sama sekali dan baru bisa diperdebatkan ketika menyangkut pada makna, kandungan dan substansinya.
Jika seseorang ingin mengetahui cara Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas menempatkan istilah-istilah yang beliau gunakan dalam makna semantik, maka mau tidak mau orang tersebut harus mendalami karya-karya beliau dan menggali sendiri informasinya. Namun yang pasti bahwa esensi, maksud dan inti dari persamaan semua istilah-istilah tersebut tidak diragukan lagi dapat ditemukan dalam sejarah keilmuan Islam.
Konsep Buruzi (الْبُروز)
Sejak awal abad ke-4 H (10 Masehi), umat Islam setidaknya telah terpecah menjadi tiga firqah (kelompok) terkait hakikat kedatangan nabi Isaas yang kedua kali.
Dalam menggambarkan doktrin salah satu dari tiga firqah tersebut, sejarawan dan juga filsuf Abu Nasr al-Mutahar Ibn Tahir al-Maqdis (yang dikenal lewat karya-karyanya sekitar tahun 966 M) menulis melalui pendekatan teologis dalam tarikhnya yang berjudul, كـتـاب البَدْءُ و التّاريخِ (Kitabul-Bad’ wat-tarikh: Kitab tentang Penciptaan dan Sejarah) sebagai berikut:
وَقَالَتْ فِرْقَةُ نُزولِ عِيسَى خُروجَ رَجُلٍ شَبيهٍ بِعيسَى فِي الفَضْلِ والشَّرَفِ كَمَا يُقالُ لِلرَّجُلِ الخَيْرُ هوَ مَلِكٌ وَلَالشِّرِّيرِ هوَ شَيْطانٌ يُرادُ بِهِ التَّشْبيهُ لَا الأَعْيانُ
“Salah satu firqah (kelompok) berkata: Turunnya nabi Isa adalah munculnya seorang manusia yang menyerupai Nabi Isa dalam hal keagungan dan kemuliaannya. Sama seperti khalayak yang mengatakan bahwa orang baik adalah malaikat dan orang jahat adalah setan, dimana hal itu hanya menggambarkan sebuah kemiripan dan bukan sebuah kenyataan yang sebenarnya.” (Mutahhar ibn Tahir al-Maqdisi. Kitabul-Bad’ wa-t-ta’rikh, ed. Clement Huart, Paris, Ernest Leroux, Vol. 2. hal. 196).
Senada dengan itu, Muhyiddin ibn ‘Arabi (wafat 1240 M), salah seorang ahli tasawuf (sufi) yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam, menulis dalam Tafsir Al-Qur’annya mengenai mi’raj dan turunnya nabi Isaas:
رَفعَ عِيسَى عَلَيْه السَّلامُ اتِّصالَ روحِهِ عِنْدَ المُفارَقَةِ عَنْ العالَمِ اَلْسُفْليِّ بِالْعَالَمِ العُلْويِّ . [ … ] وَجَبَ نُزولُهُ فِي آخِرِ الزَّمانِ ، بِتَعَلَّقِهِ بِبَدَنٍ آخَرَ
“Naiknya nabi Isaas terkoneksi dengan ruhnya yang terpisah dari dunia bawah menuju ke dunia atas. […] Ia harus turun di akhir zaman, melalui penyatuannya dengan tubuh yang lain.” (Muhyiddin ibn ‘Arabi. Tafsir Ibn ‘Arabi, 1867, Kairo, Matba‘t Bulaq, Vol. 1, hal. 165).
Inilah Konsep yang di kalangan filsuf Islam ternama dikenal sebagai buruzi yaitu spiritual projection atau pantulan/manifestasi kerohanian.
Oleh karena itu pengikut mazhab Hanafi, Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Kafawi (wafat 1094 H/1683 M) menulis dalam karya leksikalnya, Kulliyatul ‘Ulum (Totalitas Ilmu Pengetahuan) tentang Istilah ilmiah tersebut sebagai berikut:
والْبُروزُ : هوَ أَنْ يَفِيضَ الرّوحُ مِنْ أَرْواحِ الكُمَّلِ عَلَى كامِلٍ كَمَا يَفِيضُ عَلَيْهُ التَّجَلّياتُ وَهُوَ يَصيرُ مَظْهَرَهُ وَيَقُولُ أَنَا هوَ
“Buruz: adalah tatkala ruh manusia yang kamil mengalir ke dalam wujud manusia yang sempurna. Sama seperti Tajalli Allah yang mengalir dalam diri seseorang dan ia menjadi tempat penzahiran-Nya. Sehingga ia berkata “aku adalah Dia.” (Ayyub ibn Musa al-Kafawi, 1998. al-Kulliyyat: Mu‘jam fil mustalahat wal furuqul lughawiyyah, ed. ‘Adnan Darwish; Muhammad al-Misri, Beirut, Mu’assasat al-Risalah, hal. 305).
Definisi tersebut dapat ditelusuri kembali pada pendiri tariqah Nurbakhsyiyah, Muhammad Ibn Abdullah Nurbakhsh al-Khurasani (wafat 1464 M). Ia menulis dalam kitabnya Risalatul Huda (Risalah Petunjuk):
وَمِثْلُ ذَلِكَ الظُّهورِ كَانَ مِنْ بَرْزَاتِ المُكَمِّلِ لَا مِنْ التَّناسُخِ ، والْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ التَّناسُخَ وُصولَ رُوحٍ إِذَا فارَقَ مِنْ جَسَدٍ إِلَى جِنينَ قابِلٍ لِلرُّوحِ ، يَعْنِي فِي الشَّهْرِ الرّابِعِ مِنْ وَقْتِ سُقوطِ النُّطْفَةِ وَقَرارَها فِي الرَّحِمِ ، وَكَانَ ذَلِكَ المُفارَقَةُ مِنْ جَسَدٍ والْوُصولِ إِلَى أُخَرَ مَعًا مِنْ غَيْرِ تَرَاخٍ ، والْبُروزُ أَنْ يَفِيضَ رُوحٌ مِنْ أَرْواحِ المُكَمِّلِ عَلَى كامِلٍ ، كَمَا يُقْبَضُ عَلَيْهُ التَّجَلّياتُ وَهُوَ يَصيرُ مَظْهَرَهُ ، وَيَقُولُ أَنَا هوَ
“Perwujudan [realitas Muhammad dalam tubuh manusia berasal dari proses] pantulan rohani (barzaat) orang-orang mulia dan bukan dari proses reinkarnasi (tanasukh). Perbedaannya adalah reinkarnasi (tanasukh) terjadi saat ruh meninggalkan raganya dan masuk ke dalam sebuah embrio yang sudah siap untuk menerima ruh itu. Artinya pada saat menginjak bulan ke empat tatkala sperma yang membuahi rahim telah berwujud, maka saat itu terjadi proses pemindahan sebuah ruh dari satu raga, masuk ke raga yang lain (yaitu wujud yang ada dalam rahim tersebut) secara instan tanpa jedah waktu. Sementara buruzi terjadi tatkala ruh manusia yang kamil mengalir ke dalam wujud manusia yang sempurna. Sama seperti Tajalli Allah yang mengalir dalam diri seseorang, sehingga orang itu menjadi tempat penzahiran-Nya. Dan ia berkata “aku adalah Dia.” (Shahzad Bashir, 2001, The Risalat al-huda of Muhammad Nurbakhsh, Critical Edition with Introduction in Rivista Degli Studi Orientali, 75 (1-4): hal. 107).
Abdul Qadir ibn Muluk al-Badauni (wafat 1004 H /1615 M), seorang sejarawan dan juga Mufti Agung pertama India yang hidup pada masa Kekaisaran Mughal menulis di dalam kitabnya, Najatur Rashid (Keselamatan bagi yang memegang petunjuk), sebuah karya yang membahas tentang teologi dan sufi sebagai berikut:
بزرگان اهل کشف و عيان بروز را قایل اند نه بتناسخ. و میان تناسخ و بروز فرقی است. بارزچه تناسخ آن است که روحی از بدن مرده جدا شود (و) بی فاصله در بدن که مستعد حيات شده باشد در آید، و قالب اول ضايع و يهمل ماند. و این معامله نزد تناسخيه بيک ساعت بقولی نی می کشد.
و بروز آن است که روح مکملی بروح کاملی تجلی کند، چنانچه مالک و متصرف و مدبر بر در شهر، آن کامل همين مكمل شود، بی آنکه روح آن کامل از بدن مفارقت نماید و اختلاف درین است که آیا در بروز این شرط است که آن مکمل درین عالم باشد یا نه. و ظاهر این است که عام تر باشد ، چه بسیاری از اولیای در زمان حیات خود نیز بر بعضي كاملان بروز کرده اند. و این بدان ماند که نور چراغ ضعیف در پرتو چراغ قوی مغلوب شود بي آنکه معدوم گردد. گاه تو این معنی را قبول کنی که جن را قدرت تصرف و تغلب بر بعضی از نفوس ناقصه انسانی هست . چنانچه بارها مشاهده شده . پندارم که در بروز نيز نه خواهی ایستاد ت، چه تصرف انبيا و اصفیا کمتر از تصرف جنیان نه خواهد بود.
و ازین جاست که بسیاری از اولیای الله این مقام رسیده بعضی دعوی عیسویت و بعضی دعواهای دیگر کرده اند
“Para pemimpin kelompok ahli kasyaf dan tasawuf (sufi) menganut pemahaman buruzi, bukan reinkarnasi (tanasukh). Ada perbedaan antara buruzi dan reinkarnasi (tanasukh). Reinkarnasi merupakan proses saat jiwa dipisahkan dari raga yang sudah mati, lalu masuk ke raga yang akan mengawali sebuah kehidupan. Dan raga yang mati itu akan terbengkalai serta tak berharga. Menurut para penganut reinkarnasi, proses ini berlangsung hanya sekejap.
Sebaliknya Buruzi merupakan proses ketika ruh orang yang mulia memanifestasikan dirinya dalam ruh orang yang sempurna, baik pada seorang majikan, masyarakat maupun penguasa sebuah kota. Dengan demikian keberadaan ruh orang yang sempurna tersebut telah membawanya kepada kemuliaan, tanpa harus meninggalkan raganya.
Pertanyaan adalah apakah ruh orang yang mulia itu harus berada di dunia ini atau tidak. Secara umum yang terjadi adalah banyak dari antara para orang suci (wali) yang ruhnya dipancarkan kepada beberapa ruh orang yang sempurna. Hal ini mirip seperti cahaya lampu yang redup dikuasai dengan sinar lampu yang terang tanpa harus memadamkan cahaya lampu redup tersebut. Apabila anda menerima anggapan bahwa Jin mampu menguasai dan menundukan jiwa manusia yang tidak sempurna, seperti yang sudah disaksikan berkali-kali, maka saya kira anda pun tidak akan menentang konsep buruzi ini. Sebab bagaimana mungkin kemampuan para nabi dan orang-orang suci lebih rendah dibandingkan Jin?
Untuk alasan inilah, maka dari sekian banyak para waliyullah yang mencapai tahap tersebut, ada beberapa di antaranya mengklaim sebagai Nabi Isa dan selebihnya mengaku sebagai sosok yang lain.” (Abdul Qadir ibn Muluk Shah Bada’uni, Najatur Rashid, ed. Sayyid Mu‘in al-Haqq, Lahore, Idarah-i Tahqiqat-i Pakistan, The University of the Punjab, 1972, pp. 72-73).
Syamsuddin Muhammad ibn Yahya al-Lahiji (wafat 1506 M), lebih dikenal sebagai Syekh Asiri Lahiji, seorang pemikir, penyair dan sufi terkemuka dari Tariqah Nurbakshi dalam kitabnya, Mafatihul I’jaz (Kunci Keajaiban) sebuah karya terkenal dari seorang Sufi asal Persia yang banyak dibaca selama periode akhir abad pertengahan. Karya tersebut diuraikan secara rinci dalam kitab Gulsan-i Raz (Taman Mawar Sufi), sebuah karya syair ternama dari Penyair Sufi, Mahmud Shabistari (wafat 720 H/ 1340 M) sebanyak lebih dari dua puluh halaman yang menjelaskan bahwa:
“Realitas (hakikat Muhammad) mewujud ke dalam raga manusia yang hidup melalui proses buruzi (manifestasi rohani). Hal ini terjadi pada berbagai tingkatan, sehingga manusia kamil (sempurna) yang hidup pada suatu periode sejarah tertentu adalah wadah dari pancaran keruhanian Muhammadsaw sesuai dengan tingkat kesempurnaan rohani yang tersedia pada zaman itu.” (Muhammad ibn Yahya Lahiji, Mafatih al-i‘jaz fi sharh Gulshan-i raz, eds. Muhammad Riza Barzgar Khaliqi, ‘Iffat Karbasi, Tehran, Zavvar, 1992, hal. 265-87).
Ulama dan juga hakim dari Persia, Qadi Kamaluddin Husein Ibn Mu‘inuddin ‘Ali al-Maybudi (w. 1504 M), yang kemungkinan berafiliasi dengan tariqah Nurbakhshi, berkorespondensi dengan al-Lahiji dalam bab tentang kenabian dan kewalian dalam karya utamanya, Sharhi Divani ‘Ali (Penjelasan tentang Puisi ‘Ali) yang juga dikenal sebagai al-Fawatih sebagai berikut:
و بعضی برانند که روح عیسی در مهدی بروز کند و نزول عیسی عبارت از این بروز است و مطابق این است حدیث: لامهدي الاّ عيسي بن مريم.
“Sebagian ulama mengatakan bahwa ruh Isaas akan diburuzikan (dipancarkan) ke dalam diri Imam Mahdi. Dimana maksud turunnya Isaas adalah sebuah proses manifestasi ruh ini (kepada sosok Imam Mahdi). Hal ini sesuai dengan pandangan hadits nabi yang berbunyi, ‘Laa Mahdiyya illa ‘Isa ibn Maryam’ (Ia tidak hanya bergelar Al-Mahdi tapi juga bergelar Isa putra Maryam).’ (Husein ibn Mu‘inuddin al-Maybudi, Sharhi Divanul Mansub ila li Imam, Tehran, 1868, hal. 89).
Kalimat yang sama persis pun dituangkan kembali kata demi katanya oleh Ulama tasawuf mazhab Hanafi, Syekh Muhammad Akram ibn Syekh Muhammad Ali Sabiri Quddusi Barasawi Al-Delhi, dalam kitabnya Iqtibasul Anwar yang dikenal juga dengan nama Sawati‘ al-anwar, sebuah karya besar dari ulama Tariqah Chishti itu yang terdiri dari empat bab dan diselesaikannya pada tahun 1729.
Selain itu, Sufi terbesar India dan juga pemikir reformis, Imam Rabbani Mujaddid Alf Thani Ahmad Sirhindi (wafat 1624 M) menjelaskan dalam salah satu suratnya yang kemudian dikumpulkan serta diterbitkan menjadi Maktubat:
و بروز کہ بعضی از مشایخ گفته اند بتناسخ مساس ندارد زیرا که در تناسخ تعلق نفس ببدن ثانی از برایی ثبوت حیات است و برایی حصول حس و حرکت آن بدن است و در بروز تعلق نفس ببدن دیگر از برایی حصول این غرض نیست بلکه مقصود از این تعلق حصول کمالات است مر آن بدن را و وصول بدرجات است
“Adapun buruzi yang telah dibicarkan beberapa ulama tidak ada kaitannya dengan reinkarnasi (tanasukh). Dalam Reinkarnasi sebuah ruh bersatu dengan raga lain untuk memberikannya kehidupan, menciptakan perasaan dan pergerakan dalam tubuhnya. Sementara Buruzi adalah penyatuan ruh dengan tubuh lain yang tujuannya bukan seperti itu, melainkan tujuannya guna menerima kemuliaan yang dimiliki ruh orang lain serta untuk meningkatkan level derajatnya.” (Maktubat Imam Rabani, Vol.2, Letter no.58).
Beralih ke zaman para ulama Khalafi (terbaru), Sayyid Muhammad Dhawqi Shah (wafat 1951), seorang ulama tasawuf Islam yang memiliki catatan terperinci mengenai konsep buruzi dalam karya rujukannya tentang Sufisme, Sirr-i Dilbaran (Rahasia Para Waliyullah) menulis:
بروز: كسى عارفِ كامل ىا شیخِ مكمّل كا كسى شخصِ ناقص كى جانب متوجّہ ہونا۔ فیض پہنچانا اور اُسے اپنا سا بنا كر اپنا مظہر بنا لینا۔ اسى معنى میں كہا جاتا ہے كہ فلاں بزرگ فلاں بزرگ كى صُورت مىں نمودار ہوئے اور مراد اس سے یہ ہوتى ہے كہ اُن بزرگ مكمّل كا پرتو كامل طور پر دُوسرے بزرگ پر پڑا اور دونوں كى صورتِ معنوى یكساں ہوگئى۔ صورتِ ظاہرى كا ایك ہو جانا بھى كچھ بعید نہیں۔ یہ تناسخ نہیں ہے۔ تناسخ كے مدّعى تو اس كے قائل ہیں كہ ایك كى رُوح سے دُوسرے كى زندگى كا قیام ہوتا ہے لیكن بروز سے مقصد نہ تو دُوسرے كى زندگى كا قائم ركھنا ہے نہ اس میں حِس و حركت كا پیدا كرنا ہے بلكہ كمالاتِ باطنى اور كمالاتِ معنوى كا فیضان مقصود ہوتا ہے۔
“Buruz: adalah tatkala kecenderungan seorang arif kamil (ulama paling mulia) atau syeikh yang sempurna kepada sosok kurang sempurna mendatangkan manfaat keruhaniaan kepadanya. Dan menjadikan mereka mazhar-nya (perwujudan) dengan menjadikan mereka seperti dirinya. Dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa orang suci nan mulia tersebut telah menampakkan dirinya dalam rupa orang suci lainnya. Artinya gambaran ruhani orang suci nan mulia itu dipindahkan secara sempurna kepada orang suci yang kedua, sehingga bentuk hakiki keduanya menjadi sama. Dan juga bukan tidak mungkin apabila terjadi kesamaan rupa secara lahiriah antara keduanya, namun ini semua bukanlah perpindahan jiwa (reinkarnasi). Sebab para pendukung perpindahan jiwa (reinkarnasi) meyakini bahwa satu jiwa dapat memberikan kehidupan bagi orang lain. Sementara tujuan dari buruzi bukanlah untuk mempertahankan nyawa orang lain atau menciptakan perasaan dan gerakan tubuh dalam diri orang tersebut. Namun tujuannya adalah untuk meraih kesempurnaan batin dan kesempurnaan ruhani.” (Muhammad Dhawqi, Sirr-i dilbaran, Karachi, Mahfil-i Dhawqiyyah, 1980, hal. 90).
Muhammad Abdul Qadir Siddiqi (wafat 1962 M), seorang ulama tasawuf dan penerjemah, menulis pada bagian Mukadimah kedua dalam terjemahan bahasa Urdu dari kitab yang berjudulFusush al-Hikam (Bingkai Kebijaksanaan), karya sufi terkenal Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi:
بُروز كى تحقیق یہ ہے كہ اولیا میں سے بعض كى فطرت كسى خاص نبى كى فطرت سے مشابہ ہوتى ہے۔ ہر چند كہ اولیائے كرام كو انبیائے عظام كے كمالات كى سیر كرائى جاتى ہے اور اولیا انبیا كے رنگ میں رنگے جاتے ہىں۔ یا یوں كہو كہ انبیا كے كمالات كا پرتو ان پر پڑتا ہے۔ یا یوں كہو كہ انبیا كى صفات خاصّہ اُن میں سے ظہور و بروز كرتى ہىں۔ مگر تكمیل سیر كے بعد ہر ایك اپنى فطرى مناسبت كے اصلى مقام پر رہتا ہے مثلا حمیّت دین والا ولى نوحىؑ المشرب یا قدم نوحؑ ىا مظہر نوحؑ یا بروز نوحؑ كہلاتا ہے۔ اور رضا و تسلیم والا ابراہیمى المشرب۔ اور عشق و محبت والا موسوى المشرب اور صدق و فنائیت والا عیسوى المشرب اور عبدیت والا جو سب كو جامع ہے محمّدى المشرب كہلاتا ہے۔ بعض دفعہ كہہ دیتے ہیں كہ فلاں ولى میں فلاں نبى كا بروز ہوا ہے جیسے قمر میں شمس كا بروز ہوتا ہے۔ الغرض نبى اصل اور ولى اس كى نقل ہوتا ہے اور انبیا كى اصل محمّدؐ صلى اللہ علىہ وسلّم ہیں۔
“Buruz artinya bahwa sifat beberapa wali mirip menyerupai sifat seorang nabi tertentu. Banyak para wali yang diajak menempuh perjalanan melalui kesempurnaan para nabi, dan para wali diwarnai dengan corak para nabi tersebut. Dengan kata lain, kesempurnaan para nabi dipindahkan kepada mereka. Bisa juga dikatakan bahwa sifat-sifat khusus para nabi tersebut terwujud dan diproyeksikan (buruz) melalui mereka. Namun setelah semua proses perjalanan ini selesai, masing-masing dari mereka tetap berada pada posisi asli mereka sesuai fitrahnya. Misalnya, wali yang menegakkan agama disebut sebagai orang yang memiliki sifat Nuhas, atau yang mengikuti jejak Nuhas, atau sebagai perwujudan (mazhar) Nuhas, atau sebagai (buruz) Nuhas.
Wali yang ridha dan menerima taqdir Ilahi disebut sebagai orang yang memiliki sifat Ibrahim as. Wali yang penuh kasih sayang disebut sebagai orang yang memiliki sifat Musa as. Wali yang jujur dan fana disebut sebagai orang yang memiliki sifat Isaas. Dan wali yang merupakan khadim sempurna yang mengkombinasikan semua kualitas dari sifat-sifat itu disebut orang yang memiliki sifat Muhammadsaw. Terkadang ada yang mengatakan bahwa wali ini atau itu merupakan buruz dari nabi ini atau itu, seperti halnya bulan yang merupakan buruz dari matahari. Singkatnya, Nabi adalah yang asli dan wali adalah tiruannya. Dan yang paling asli dari para nabi adalah Muhammad saw.” (Muhyiddin ibn ‘Arabi, Urdu translation dari Fusush al-Hikam, ed./trans. Muhammad Abdul Qadir Siddiqi, Hyderabad, Darut Tabi Jami ‘ati ‘Uthmaniyyah, 1942, hal. 24).
Meskipun konsep buruz boleh jadi tidak muncul dalam sumber-sumber sebelum abad kesembilan Hijriah atau kelima belas Masehi, namun inti dari gagasan ini adalah para wali yang hadir pada setiap zaman adalah representasi dari Realitas Muhammadsaw dan pewaris dari Nur beliausaw dapat ditemukan dalam sumber-sumber sufi (ahli tasawuf) sejak awal. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabi membaginya menjadi empat tingkatan yaitu kewaliyan (الولاية), Kenabian wali (النبوة الولاية), Kenabian Syari’at (النبوة التشريع), dan Kerasulan (الرسالة). Dimana menurut beliau, meskipun pangkat kerasulan (الرسالة) dan kenabian syari’at (النبوة التشريع) telah berakhir pada masa Rasulullahsaw, namun pangkat Kenabian wali (النبوة الولاية) dan kewaliyan (الولاية) akan tetap berlaku. Hal ini disebabkan masih berlanjutnya Kenabian umum (Nubuwwatul ‘aammah/النبوة العامة) Nabi Muhammad saw dan Realitas Muhammadsaw secara menyeluruh.
Konsep Zhilli (ظل)
Sebuah konsep yang mirip dengan buruz telah digolongkan oleh para wali dengan istilah zhilli (ظل) yang artinya bayangan.
‘Ali ibn Yusuf al-Shattanawfi (wafat 1314 M), seorang sufi dari tarekat Qadiri menulis dalam Bahjat al-asrar (Kemegahan Misteri), buku awal tentang biografi salah satu ulama dan sufi paling terkemuka, Abdul Qadir al-Jilani (wafat 1166 M), dimana Al-Jilani mengatakan:
الولاية ظل النبوة و النبوة ظل الإلهية
“Al-walayah adalah bayangan (zhill) Kenabian, dan Kenabian adalah bayangan Ilahiyah.” (‘Ali ibn Yusuf al-Shattanawfi, Bahjat al-asrar wa-ma’din al-anwar, Kairo, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1912, hal. 39.)
Ulama Islam dan reformis sufi dari Asia Selatan, Shah Ismail Shahid (wafat 1831 M) menulis dalam karyanya yang penting namun kurang terkenal dalam bahasa Persia, Mansabi Imamat (Kedudukan Imam):
امام نائب رسول ست و امامت ظل رسالت. احکام نائب از احکام منیب توان شناخت، و حقیقت ظل را از حقیقت اصل توان دریافت.
“Imam adalah wakil rasul (naib rasul) dan Imamah adalah bayangan (zhill) dari kerasulan. Keputusan-keputusan wakil (naib) dikenali melalui keputusan-keputusan pemimpin, dan kebenaran dari sang bayangan diketahui melalui kebenaran dari yang aslinya.” (Shah Muhammad Isma‘il Shahid, Darajat-i Imamah, Delhi, Faruqi Press, 1899, hlm. 3.)
Syaikh Ahmad Sirhindi menulis dalam suratnya yang lain:
مقام ولایت ظل مقام نبوت ست و کمالات ولایت ظلال اند مر کمالات نبوت را
“Kedudukan walayah (kewalian) merupakan bayangan (dzilli) dari kedudukan kenabian, dan kesempurnaan walayah merupakan bayangan (dzilli) dari kesempurnaan kenabian.” (Maktubat Imam Rabbani, Jilid 2, Surat no. 71).
Dan dalam surat lainnya, Syaikh Sirhindi menulis:
کمل تابعان انبیاء علیهم الصلوۃ و التسلیمات بحجت کمال متابعت و فرط محبت بلکه بمحض عنایت وموهبت جمیع کمالات انبیاء متبوعه خود را جذب می نمایند و بکلیت برنگ ایشاة منصبغ می گردند حتی که فرق نمی ماند درمیان متبوعان و تابعان الا بالاصالة والتبعیة و الاولیة والاخریة
“Kesempurnaan para pengikut para nabi, disebabkan karena ketulusan yang utuh serta kecintaan yang besar, bahkan hanya berdasarkan rahmat dan karunia semata, mereka mampu menyerap semua kesempurnaan para nabi yang diikuti ke dalam diri mereka serta mewarnainya dengan warna mereka sendiri sampai batas tertentu. Sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengikut dengan yang diikuti, selain perbedaan antara yang atas dan bawah, serta yang awal dan akhir.” (Maktubat Imam Rabbani, Jilid 1, Surat no.248).
Kesimpulannya, adapun yang ingin diungkapkan Hadhrat Masih Mau’ud as terkait dua kata ini adalah bahwa kendati beliau adalah seorang nabi karena Allah dan rasul-Nya menyebutnya nabi, namun beliau dan kenabian beliau hanyalah bersifat zhilli dan buruzi dari Rasulullahsaw dan dari kenabian beliausaw yang tak terbatas itu. Sebab jenis nabi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni nabi yang bersifat Tasyri’i (pembawa syari’at) atau Mustaqil (yang berdiri sendiri) tidak mungkin datang lagi setelah kehadiran Rasulullahsaw.
Sumber: Alhakam.org – Islam Today: The Promised Messiah (as) as a Zilli and Buruzi Prophet
Penerjemah: Mln. Yusuf Awwab