Farhan Iqbal, Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Kanada
Kata Khatam artinya stempel atau kesan yang ditimbulkan oleh penggunaannya. Dalam artikel terpisah kami telah menunjukkan bahwa dalam kamus bahasa Arab jelas menunjukkan bahwa inilah arti utama kata Khatam.
Banyak dari pihak non-Ahmadi di media sosial mempertanyakan makna ini dengan mengemukakan beberapa pendapat, serta menuduh para Ahmadi tidak menerapkan kata Khatam yang benar.
Dalam artikel ini, saya akan membahas beberapa penggunaan istilah ini dan menjelaskan bahwa Muslim Ahmad tidak melakukan sesuatu hal yang luar biasa atau salah dalam menerapkan istilah tersebut sesuai konteksnya.
Pertama, harus dipahami bahwa stempel diperuntukkan untuk mengotentikasi atau mengesahkan. Dalam pengertian ini, Nabi Muhammad, shallallahu ‘alaihi wasallam mengesahkan kebenaran para nabi terdahulu dan di masa depan. Perlu dipahami juga bahwa menjadi yang terakhir dari sisi waktu tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa dalam kedudukan Rasulullah, shallallahu ‘alahi wasallam. Sebaliknya menjadi terakhir dalam hal derajat menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam memiliki kedudukan paling tinggi dan mulia di antara para Nabi dan tidak ada nabi lain yang dapat mencapai kedudukan beliau.
Ayat berikut ini sebenarnya mengacu pada gelar Nabi Muhammad dalam arti pujian.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ
“Muhammad bukan bapak salah seorang laki-laki di antaramu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataaman Nabiyyin, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al Ahzab, 33:41]
Dalam menjelaskan kalimat Khatamun Nabiyyin, dalam Tafsir-e-Shageer, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) menjelaskan:
“Yaitu, tanpa pengesahan dan kesaksian dari ajaran beliau (saw), maka tidak ada seorangpun yang dapat mencapai tingkat kenabian atau walayat (kewalian). Orang lain menerjemahkannya sebagai ‘Nabi terakhir’ bukannya ‘materai/segel nabi’. Tetapi terjemahan ini tidak membawa perbedaan pada posisi kami (yaitu Ahmadiyah). Jika kita memperhatikan peristiwa mi’raj Rasulullah saw, maka silsilah para nabi seperti tercantum dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (ra) adalah sebagai berikut:
Sidratul Muntahaa: | Hazrat Muhammad, Nabi Allah (saw) |
Langit ke-7: | Hazrat Ibrahim (as) |
Langit ke-6: | Hazrat Musa (as) |
Langit ke-5: | Hazrat Harun (as) |
Langit ke-4: | Hazrat Idris (as) |
Langit ke-3: | Hazrat Yusuf (as) |
Langit ke-2: | Hazrat Isa (as) dan Hazrat Yahyah (as) |
Langit ke-1: | Hazrat Adam (as) |
Manusia di Bumi |
Jika kita lihat tabel ini dari sudut pandang manusia di bumi, mereka pertama-tama akan melihat nabi Adam (as), dan terakhir mereka akan melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam pengertian ini mereka akan menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi Terakhir di antara semua Nabi. Selain itu, jika kita perhatian hadits yang menyatakan bahwa ketika Adam belum lahir, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah Khatamun Nabiyyin, artinya Rasul Karim shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki maqam (kedudukan) paling tinggi di antara silsilah para nabi. Maka, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencapai puncak selama mi’raj, kedudukan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hakikatnya adalah kedudukan Nabi yang terakhir. Dengan demikian, makna yang sama yang telah kami uraikan tetaplah benar, yakni, Khatamun Nubuwwah artinya adalah derajat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan yang paling agung di antara semua nabi.” (Tafseer-e-Sagheer, hal. 551).
Penggunaan kata Khatam dalam Hadits
Berdasarkan makna kata Khatam dalam kamus, Ahmadiyah dengan jelas berpendapat bahwa kata Khatamun Nabiyyin yang diterapkan kepada Rasulullah (saw) artinya beliau adalah materai para Nabi, dan wujud yang mengesahkan kebenaran semua Nabi, dan beliau memiliki kedudukan puncak atau terakhir di antara semua Nabi, yang menjadikan beliau yang terbaik di antara mereka. Makna-makna ini bukanlah makna baru atau dibuat-buat. Makna-makna ini sepenuhnya sesuai dengan penggunaan istilah Khatam oleh Nabi Muhammad sendiri dalam percakapan dan penuturan beliau. Empat hadits berikut membuktikan pendapat kami.
Khaatam Dalam Arti Cincin
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ، أَنَّهُمْ سَأَلُوا أَنَسًا عَنْ خَاتَمِ، رَسُولِ اللّٰهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ خَاتَمِهِ مِنْ فِضَّةٍ . وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الْيُسْرَى الْخِنْصَرَ .
Hazrat Thabit (ra) meriwayatkan bahwa mereka bertanya kepada Hazrat Anas(ra) tentang cincin Rasulullah (saw) dan beliau berkata, “Seolah-olah saya bisa melihat kilauan cincin peraknya, dan beliau mengangkat jari kelingking kirinya”. [https://sunnah.com/nasai/48/246].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ .
Abu Hurairah(ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) melarang pemakaian cincin meterai emas. [https://sunnah.com/muslim/37/85]
Khaatam Dalam Arti Cap Pengesah
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ نَبِيَّ اللّٰهِ صلى الله عليه وسلم أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى رَهْطٍ أَوْ أُنَاسٍ مِنَ الأَعَاجِمِ، فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْبَلُونَ كِتَابًا إِلاَّ عَلَيْهِ خَاتَمٌ، فَاتَّخَذَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ فَكَأَنِّي بِوَبِيصِ أَوْ بِبَصِيصِ الْخَاتَمِ فِي إِصْبَعِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ فِي كَفِّهِ.
Hazrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) ingin menulis surat kepada sekelompok orang atau beberapa orang non-Arab. Dikatakan kepada beliau, “Mereka tidak menerima surat apapun kecuali yang sudah diberi stempel.” Maka Rasulullah membuatkan cincin perak untuk diri beliau dan di cincin itu diukir ‘Muhammad, Rasulullah’. [Perawi mengatakan] Seolah-olah aku sedang melihat kilauan cincin di jari (atau di telapak tangan) Nabi (saw). [https://sunnah.com/bukhari/77/89]
Khaatam dalam arti pujian.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ ” .
Hazrat Abu Hurairah (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda: Aku telah diberi keutamaan atas para nabi lainnya dalam enam hal: Aku telah diberi perkataan yang ringkas tetapi luas maknanya; Aku telah ditolong dengan ru’ub (Ketakutan di hati musuh); telah dihalalkan bagiku harta rampasan; telah disucikan bagiku bumi dan menjadi tempat ibadah; Aku diutus kepada seluruh umat manusia dan garis keturunan para nabi telah disahkan olehku. [https://sunnah.com/muslim/5/7]
Ini hanyalah empat contoh dari sekian banyak contoh yang cukup untuk menunjukkan bahwa Khatam dapat bermakna stempel pengesahan dan tidak terbatas pada arti terakhir. Bila makna Khatam ini diterapkan pada kalimat Khatamun Nabiyyin, maka artinya adalah Stempel para Nabi. Ini artinya Nabi Muhammad (saw) adalah stempel pengesah bagi semua nabi, baik yang lampau maupun yang akan datang. Ini adalah pemahaman yang sederhana dan logis tentang posisi Jemaat Muslim Ahmadiyah dalam masalah ini.
Penutup para Nabi atau Nabi Terbaik?
Pertanyaan mungkin muncul di sini: Apakah para Ahmadi percaya bahwa Nabi Muhammad (saw) adalah Stempel para Nabi atau yang terbaik dari para Nabi? Jika jawabannya adalah keduanya, bagaimana dua makna dapat diterapkan pada kalimat yang sama?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah Ahmadiyah menerjemahkan Khatamun Nabiyyin sebagai Segel para Nabi sesuai dengan makna utama dari kata Khatam seperti tercantum dalam kamus-kamus. Kami juga memahami kalimat tersebut sebagai ‘yang terbaik di antara para Nabi‘ berdasarkan konotasi turunan (derivasi) dan penggunaan idomatik dari kata Khatam.
Ketika kata Khatam muncul sebagai مضاف (Mudhof atau yang dimiliki), dari sekelompok orang (مضاف الیہ – Mudhaaf Ilaih atau pemilik), maka makna idiom (ungkapan) dari kalimat tersebut adalah yang terbaik dari kelompok tersebut. Penerapan makna idiom dari kata Khatam ini sebenarnya turunan atau hasil logis dari makna utama ‘materai atau penutup‘. Orang yang menjadi ‘Pengesah para Nabi’ pasti dia yang terbaik dari mereka.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahasa harus dipahami dari penggunaannya dan ungkapan (idiom). Ada beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami dalam arti harfiahnya dalam konteks tertentu, seperti ketika orang berkata, ‘I am feeling under the weather‘ [Saya sedang tidak enak badan] atau ‘he went cold turkey on his habit‘ [dia tiba-tiba ‘berhenti total’ dari kebiasaannya] atau ‘this is my neck of the woods‘ [ini adalah wilayahku]. Tidak satupun dari kalimat ini dapat dipahami dalam arti harfiah meskipun kalimat ini masih memiliki beberapa kaitan dengan makna harfiahnya. Perbandingan lebih dekat antara ungkapan bahasa Inggris dengan kalimat Khatamun Nabiyyin adalah ‘be-all‘ (yang paling utama) atau ‘cream of the crop‘. Misalnya dapat dikatakan ‘They are the cream of the crop in the NBA‘ [Mereka adalah yang terbaik di NBA.]
Jadi dengan cara yang sama, kata Khatamun Nabiyyin secara ungkapan (idiom) artinya adalah Nabi Terbaik. Dan menurut pemahaman Ahmadiyah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah segel pengesah dan juga sebaik-baik nabi. Dan sebenarnya makna ‘nabi yang terbaik’ dalam setiap jenis kualitas ataupun keunggulan, merupakan hasil alami dan hakikat sejati dari sebutan Khatam (segel) para nabi.
Sumber: Alislam.org I Structure and Application of the word Khatam