Para Ulama dalam Memahami Nubuatan-nubuatan para Nabi yang Tampaknya Tidak Terpenuhi
Iftekhar Ahmed, dari lembaga Ahmadiyya Archive and Research Centre (ARC, Pusat Penelitian dan Arsip Ahmadiyah)
Penerjemahan oleh Dildaar Ahmad Dartono
Tergantung pada nubuatan mana yang kita tinjau secara rinci, alasan tidak terpenuhinya nubuatan tersebut bisa beragam. Berikut ini saya akan membahas dua kemungkinan alasan terjadinya hal tersebut.
Perlu dicatat di sini bahwa pembahasan berikut ini tentu saja didasarkan pada asumsi bahwa seseorang yang diutus oleh Allah (ma’mur min Allah) tidak mendasarkan nubuatannya pada dugaan, perhitungan atau estimasi kasar, spekulasi atau pendapat, tetapi pada kabar yang diperolehnya dari Allah.
Kemungkinan pertama: Kesalahan dalam ijtihad (al-khata’ ‘ala l-ijtihad)
Salah satu alasan terjadinya perbedaan tersebut adalah kemungkinan kesalahpahaman dalam ijtihad, yaitu dalam memahami rincian wahyu, dalam hal ini, wahyu yang terkait dengan nubuatan.
Ada perbedaan pendapat di antara para ulama Islam yang mulia tentang apakah mungkin para nabi melakukan ijtihad atau tidak, yaitu membuat penilaian independen (mandiri) atau tidak. Sebagian di antara mereka menganggap hal ini mustahil secara rasional, namun sebagian besar menganggapnya mungkin. Mereka yang menganggap mungkin, pada gilirannya, memiliki perbedaan pendapat mengenai apakah benar-benar terjadi bahwa para nabi melakukan ijtihad. Mereka yang menganggap para nabi telah melakukan ijtihad – sekali lagi, yang merupakan mayoritas – memiliki perbedaan pendapat mengenai apakah mungkin bagi para nabi untuk melakukan kesalahan dalam ijtihad atau tidak.
Ibn Amir al-Hajj (w. 879/1474) menulis dalam at-Taqrir wa-t-tahbir, komentarnya tentang at-Tahrir fi ushul al-fiqh karya al-Kamal ibn al-Humam (w. 861/1457):
( وقد ظهر من المختار جوازا لخطأ عليه – عليه السلام)
أي على اجتهاده (إلا أنه لا يقر عليه) أي على الخطأ (بخلاف غيره) من المجتهدين، وهذا قول أكثر الحنفية
“Dan dari contoh yang sudah ditetapkan (al-mukhtar), jelaslah kemungkinan beliau (Rasulullah) melakukan kekeliruan dalam hal itu, yakni dalam berijtihad. Tetapi, beliau (saw) tidak terus dalam kondisi itu, yakni dalam kekeliruan, tidak seperti orang-orang selain beliau, dari mereka yang berijtihad. Dan ini adalah pendapat mayoritas madzhab Hanafi.[1]
Ahli hukum dan teolog Syafi‘i, Sayf ad-Din al-Amidi (w. 631/1233) menulis dalam al-Ihkam fi ushul al-ahkam: القائلون بجواز الاجتهاد للنبي
عليه السلام اختلفوا في جواز الخطإ عليه في اجتهاده، فذهب بعض أصحابنا إلى المنع من ذلك. وذهب أكثر أصحابنا والحنابلة وأصحاب الحديث والجبائي وجماعة من المعتزلة إلى جوازه، لكن بشرط أن لا يقر عليه
“Mereka yang berpendapat bahwa Nabi (saw) dapat melakukan ijtihad berbeda pendapat tentang apakah beliau dapat melakukan kesalahan dalam ijtihadnya. Sebagian sahabat kami [Mazhab Syafi’i] berpendapat bahwa tidak mungkin [Nabi (saw) melakukan kesalahan dalam ijtihadnya], sedangkan sebagian besar sahabat kami, Hambali, Ashab al-Hadis, Jubba’i, dan sebagian Mu’tazilah berpendapat bahwa hal itu mungkin, tetapi dengan syarat Nabi (saw) tidak tetap berada di dalamnya [dalam kesalahan terus karena akan diingatkan Tuhan].”[2]
Bahkan, jumhur ulama, yakni mayoritas ulama, berpendapat bahwa Nabi (saw) dapat melakukan kesalahan dalam ijtihadnya. Oleh karena itu, ulama kontemporer (masa kini) bernama Wahbah az-Zuhayli (w. 2015) menulis dalam karyanya at-Tafsir al-munir:
ومن أجاز الاجتهاد للنبي صلي اللّٰه عليه وسلم وهم الجمهور يقول: يجوز عليه الخطأ، لكنه لا يقر على الخطأ
“Dan orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi (saw) dapat berijtihad, dan mereka merupakan mayoritas, mengatakan: Mungkin saja beliau melakukan kesalahan dalam hal ini, dan beliau tidak akan tetap dalam kesalahan tersebut.”[3]
Namun ulama kontemporer lainnya, ‘Abd al-Karim an-Namlah (w. 2014), menulis dalam karyanya al-Muhadhdhab fi ‘ilm usul al-fiqh al-muqaran:
إنه يجوز الخطأ في اجتهاد النبي – صلي اللّٰه عليه وسلم۔، لكنه لا يقر عليه، وهو مذهب الجمهور
“Nabi (saw) bisa saja melakukan kesalahan dalam ijtihadnya, namun belaiau tidak tetap pada kesalahan tersebut, dan ini merupakan pendapat mayoritas.”[4]
Jasser Auda, seorang ahli hukum Islam kontemporer dan tokoh Islam yang aktif secara global (mendunia), yang dianggap sebagai otoritas dalam bidang tujuan hukum Islam (maqasid ash-shari‘ah), menulis: “Dasar perbedaan pendapat lainnya mengenai prinsip-prinsip ijtihad Nabi (saw) adalah ruang lingkup wahyu yang disebutkan dalam Al-Quran. Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan makna, ‘apa pun yang diucapkan Nabi adalah wahyu.’ Penafsiran ini ditolak oleh mayoritas madzhab, yang mendefinisikan ada kelompok ‘urusan duniawi’ dan ada yang ‘kekhususan’ dalam hadits-hadits Nabi [saw], sebagaimana dijelaskan di atas. Terdapat perdebatan terkait di antara para ahli hukum, yang setuju dengan prinsip ijtihad kenabian, tentang apakah ijtihad ini rentan terhadap kesalahan atau tidak.
Meskipun Al-Quran menyebutkan bahwa Tuhan memang mengoreksi Nabi [saw] pada sejumlah kesempatan, sejumlah ahli hukum didasarkan pada konsep ketidakbersalahan (‘ismah atau ma’sum, perlindungan dari berbuat salah) menolak kemungkinan kesalahan dalam penilaian kenabian independen [ijtihad nabi]. Akan tetapi, sebagian besar madzhab mengakui kemungkinan kesalahan dalam pertimbangan kenabian dengan syarat, ‘hal itu akan segera dikoreksi/diperbaiki oleh wahyu’, kecuali jika berkaitan dengan beberapa ‘urusan duniawi.’”[5]
Berikut ini beberapa contoh untuk menggambarkan fenomena ini.
Nubuat Nabi Nuh as
Ketika Nabi Nuh (as) selesai membangun bahteranya, Allah memerintahkannya untuk menaikinya, karena Allah akan menyebabkan datangnya banjir. Berikut ini adalah apa yang dikatakan dalam Al-Quran:
حَتّٰۤي اِذَا جَآءَ اَمۡرُنَا وَفَارَ التَّنُّوۡرُ ۙ قُلۡنَا احۡمِلۡ فِيۡهَا مِنۡ كُلٍّ زَوۡجَيۡنِ اثۡنَيۡنِ وَاَهۡلَكَ اِلَّا مَنۡ سَبَقَ عَلَيۡهِ الۡقَوۡلُ وَمَنۡ اٰمَنَ ؕ وَمَاۤ اٰمَنَ مَعَهٗۤ اِلَّا قَلِيۡلٌ
Hingga ketika datang perintah Kami dan berpancaran-lah sumber-sumber mata air bumi; Kami berfirman, Naikkanlah ke atas bahtera itu dua dari setiap jenis jantan dan betina, dan keluarga engkau kecuali mereka yang keputusannya telah ditetapkan – dan mereka yang telah beriman.” Dan tiada yang beriman kepadanya melainkan sedikit. (QS. Hud, 11: 41)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah berjanji untuk menyelamatkan keluarganya, di antara yang lainnya. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui dari kejadian yang dijelaskan dalam Al-Quran, putra Nuh tidak diselamatkan, melainkan tenggelam dalam banjir. Kemudian Nuh (as) menghadap Allah mengenai keadaan ini:
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya dan berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya putraku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau benar, dan Engkau adalah Hakim yang paling adil di antara sekalian hakim.” (QS. Hud, 11: 46)
Namun, Allah menjelaskan kepadanya bahwa anaknya tidak akan menjadi bagian dari keluarganya dan memperingatkannya untuk tidak mengomentari hal-hal yang tidak diketahuinya:
قَالَ يٰنُوۡحُ اِنَّهٗ لَيۡسَ مِنۡ اَهۡلِكَ ۖ اِنَّهٗ عَمَلٌ غَيۡرُ صٰلِحٍ ۖ فَلَا تَسۡـَٔلۡنِ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهٖ عِلۡمٌ ۖ اِنِّيۡۤ اَعِظُكَ اَنۡ تَكُوۡنَ مِنَ الۡجٰهِلِيۡنَ
Allah berfirman, “Hai Nuh sesungguhnya ia bukanlah dari keluarga engkau; sebenarnya ia orang yang amalnya tidak baik. Maka janganlah meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Aku nasihati engkau, supaya engkau tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (Surat Hud, 11: V.47)
Nuh kemudian menyadari kesalahannya dan menyesalinya:
قَالَ رَبِّ اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ ۗوَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْٓ اَكُنْ مِّنَ الْخٰسِرِيْنَ
Ia berkata, Nuh. “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya, dan “sekiranya Engkau tidak mengampuniku dan tidak mengasihiku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud, 11: 48)
Banyak ahli tafsir Al-Qur’an yang hebat dan relevan telah dengan jelas menyatakan bahwa ini adalah kesalahan ijtihad Nabi Nuh (as) dan ini adalah bukti para nabi dapat melakukan kesalahan dalam ijtihad mereka. Demikianlah tulis komentator [ahli tafsir] Al-Quran yang terkenal dan terpelajar, Fakhr ad-Din ar-Razi (w. 606/1210) dalam bukunya Mafatih al-ghayb, yang juga dikenal sebagai at-Tafsir al-kabir:
وقول نوح: لا عاصم اليوم من أمر اللّٰه إلا من رحم لا يدل إلا على أنه عليه السلام كان يقرر عند ابنه أنه لا ينفعه إلا الإيمان والعمل الصالح، وهذا أيضا لا يدل على أنه علم من ابنه أنه كان كافرا فعند هذه الحالة كان قد بقي في قلبه ظن أن ذلك الابن مؤمن، فطلب من اللّٰه تعالى تخليصه بطريق من الطرق إما بأن يمكنه من الدخول في السفينة، وإما أن يحفظه على قلة جبل، فعند ذلك أخبره الله تعالى بأنه منافق وأنه ليس من أهل دينه، فالزلة الصادرة عن نوح عليه السلام هو أنه لم يستقص في تعريف ما يدل على نفاقه وكفره، بل اجتهد في ذلك وكان يظن أنه مؤمن، مع أنه أخطأ في ذلك الاجتهاد، لأنه كان كافرا فلم يصدر عنه إلا الخطأ في هذا الاجتهاد، كما قررنا ذلك في أن آدم عليه السلام لم تصدر عنه تلك الزلة إلا لأنه أخطأ في هذا الاجتهاد، فثبت بما ذكرنا أن الصادر عن نوح عليه السلام ما كان من باب الكبائر وإنما هو من باب الخطأ في الاجتهاد، واللّٰه أعلم
“Dan ucapan Nuh (as), ‘Tidak ada tempat berlindung bagi seseorang pada hari ini dari ketetapan Allah, kecuali orang yang Allah berikan rahmat-Nya,’ semata-mata menunjukkan bahwa ia telah menjelaskan kepada putranya bahwa tidak ada yang bermanfaat baginya kecuali iman dan amal saleh, dan hal itu juga tidak menunjukkan bahwa ia (Nuh) mengetahui putranya adalah seorang kafir. Dalam keadaan demikian, masih ada keyakinan dalam hatinya bahwa putranya adalah seorang yang beriman, maka ia memohon kepada Allah Ta’ala untuk menyelamatkannya dengan satu atau lain cara, baik dengan memberinya kesempatan untuk masuk ke dalam bahtera atau dengan melindunginya di puncak gunung. Maka Allah Ta’ala pun mengabarkan kepadanya bahwa ia [putranya] adalah seorang munafik dan bukan bagian dari penganut agamanya. Kesalahan yang dilakukan Nuh (as) ketika itu adalah ia tidak menyelidiki secara saksama keterangan yang menunjukkan kemunafikan dan kekafiran [putranya]; malahan ia (Nuh) berijtihad dan ia mengira bahwa dirinya (putranya) adalah seorang yang beriman, padahal ia (Nuh) telah salah dalam berijtihad ini. Karena ia [putranya] itu kafir, maka ia [Nuh (as)] hanya melakukan kesalahan dalam ijtihad ini. Sebagaimana telah kami nyatakan bahwa Adam (as) tidak melakukan kesalahan itu kecuali karena ia telah salah dalam ijtihad itu. Maka, terbukti dengan apa yang telah kami sebutkan bahwa apa yang dilakukan Nuh (as) bukanlah termasuk dosa besar, melainkan hanya kesalahan dalam ijtihad. Dan Allah lebih mengetahui.”[6]
Selain itu, masih banyak ulama lain yang menyatakan kejadian ini merupakan kesalahan ijtihad, seperti Ibnu Taimiyah (w. 728/1328 ), Nizam ad-Din an-Nisaburi (w. 730/1330), al-Khatib ash-Shirbini (w. 977/1570), Muhammad ibn Bistam al-Wani (w. 1096/1685), dan lain-lain.
Nubuatan Nabi Ibrahim
Selanjutnya, ada contoh kasyaf Nabi Ibrahim (as) yang dikutip dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَہُ السَّعۡیَ قَالَ یٰبُنَیَّ اِنِّیۡۤ اَرٰی فِی الۡمَنَامِ اَنِّیۡۤ اَذۡبَحُکَ فَانۡظُرۡ مَاذَا تَرٰی ؕ قَالَ یٰۤاَبَتِ افۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ ۫ سَتَجِدُنِیۡۤ اِنۡ شَآءَ اللّٰہُ مِنَ الصّٰبِرِیۡنَ ﴿۱۰۳﴾ فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّہٗ لِلۡجَبِیۡنِ ﴿۱۰۴﴾ۚ وَنَادَیۡنٰہُ اَنۡ یّٰۤاِبۡرٰہِیۡمُ ﴿۱۰۵﴾ۙ قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡیَا ۚ اِنَّا کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿۱۰۶﴾
Maka ketika anak itu telah cukup usia untuk bekerja bersamanya, ia berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu sebagai kurban. Maka pikirkan apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepada Engkau, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar dalam keyakinanku. Dan ketika keduanya telah berserah diri terhadap kehendak Allah dan ia, Ibrahim, telah menelungkupkan putranya pada dahinya, maka Kami berseru kepadanya, “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah menyempurnakan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi ganjaran kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. as-Saffat, 37: 103-106)
Jadi, Nabi Ibrahim (as) melihat dalam penglihatan itu bagaimana ia mempersembahkan putranya, Ismail, sebagai kurban. Beliau mengira kasyaf ini berarti bahwa beliau(Ibrahim) harus benar-benar membawa putranya ke tempat penyembelihan, padahal ijtihadnya ini salah dan Allah tidak menghendaki ia menyembelih putranya.
Dalam konteks ini, misalnya, ahli hukum, pakar kaidah hukum, dan ahli logika terkemuka ‘Abd al-‘Ali bin Nizam ad-Din al-Lakhnawi (w. 1225/1810), yang lebih dikenal dengan nama Bahr al-‘Ulum, menulis dalam Fawatih ar-Rahamut, komentarnya terhadap karya teori hukum Musallam ath-tsubut fi ushul al-fiqh karya Muhibb Allah al-Bihari (w. 1119/1707):
وإذا جاز صدور الخطأ في الاجتهاد من الانبياء والعمل بحكم خطأ من سيدهم الذي كان نبيا وآدم بين الماء والطين صلوات اللّٰه وسلامه عليه وآله الطاهرين وأصحابه المعظمين، فأي استبعاد في وقوع الخطأ لإبراهيم عليه السلام في تعبير رؤياه التي رأى فيها أنه يذبح ابنه بل أمر في المنام بذبح الكبش ورآه مذبوحا لكن في صورة الولد فلم يعبره وزعم أنه مأمور بذبح الولد، والدليل أنه رأى أنه يذبحه، كما قال: إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي الۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ، فلو لم تكن الرؤيا معبرا لوقع ذبح ابنه أو تكون كاذبة، وكلاهما باطلان
Dan karena adalah hal yang bisa saja terjadi adanya kesalahan ijtihad yang dilakukan oleh para nabi, sebagaimana juga bisa terjadi ada perintah keliru yang dilakukan oleh Junjungan mereka [junjungan para Nabi, yaitu, Nabi Muhammad (saw)], yang sudah menjadi nabi ketika Adam masih dalam tahap peralihan antara air dan tanah liat […], maka bagaimana mungkin terlihat aneh bahwa Ibrahim (as) membuat kekeliruan dalam menafsirkan penglihatannya di mana ia melihat dirinya menyembelih putranya, di mana dalam penglihatan itu ia diperintahkan untuk menyembelih seekor domba jantan, dan ia melihatnya (domba itu) disembelih, tetapi dalam bentuk anak laki-laki, dan ia (Ibrahim) tidak menafsirkannya, malahan mengira ia diperintahkan untuk menyembelih anak laki-laki itu. Dan buktinya adalah ia melihat dirinya menyembelihnya [yaitu, anak laki-laki], seperti yang ia katakan, ‘Aku telah melihat dalam mimpi bahwa aku mempersembahkanmu sebagai kurban.’ Dan jika penglihatan itu tidak ditafsirkan, maka penyembelihan putranya akan terjadi, atau [penglihatan] itu akan salah, dan kedua hal itu berarti tidak sahih.”[7]
Sekarang, beberapa contoh dari kehidupan Rasulullah (saw) yang keliru dalam ijtihadnya mengenai nubuatan diberikan di bawah ini.
Rasulullah (saw) dan tujuan hijrah
Dinyatakan dalam sebuah hadits:
عَنْ أبِي مُوسى، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قالَ: «رَأيْتُ فِي المَنامِ أنِّي أُهاجِرُ مِن مَكَّةَ إلى أرْضٍ بِها نَخْلٌ، فَذَهَبَ وهَلِي إلى أنَّها اليَمامَةُ أوْ هَجَرٌ، فَإذا هِيَ المَدِينَةُ يَثْرِبُ
Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari ra bahwa Nabi (saw) bersabda, “Aku melihat dalam sebuah penglihatan bahwa aku sedang berhijrah dari Mekkah ke sebuah negeri yang ditumbuhi pohon kurma. Maka, kukira itu adalah al-Yamamah atau Hajar, tetapi ternyata itu adalah Yatsrib (yakni, Madinah).” (Sahih al-Bukhari)
Hadits ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Nabi (saw) telah menafsirkan penglihatan itu secara berbeda dari yang dimaksudkan oleh Tuhan, yang berarti itu merupakan kesalahan pemahaman beliau dalam ijtihad.
Rasulullah (saw) dan umrah yang tidak terjadi
Contoh lain adalah perjalanan Nabi (saw) dan para sahabatnya ke Mekkah untuk melakukan umrah, yang berakhir dengan kesepakatan al-Hudaibiyya sebagai ganti haji. Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal diriwayatkan oleh al-Miswar bin Makhramah ra:
خرج رسول اللّٰه ﷺ عام الحديبية يريد زيارة البيت لا يريد قتالاً، وساق معه الهدي سبعين بدنة، وكان الناس سبعمائة رجل، فكانت كل بدنة عن عشرة
“Pada tahun Hudaibiyya, Rasulullah (saw) berangkat dengan tujuan untuk berziarah ke Baitullah, bukan untuk berperang. Mereka membawa tujuh puluh ekor unta untuk dikurbankan. Jumlah mereka adalah tujuh ratus orang, sehingga setiap unta diperuntukkan bagi sepuluh orang.”
Kemudian beliau menceritakan peristiwa al-Hudaibiyyah dan peristiwa perjanjian damai, dan bahwa salah satu klausul perjanjian tersebut adalah:
وأنك ترجع عنا عامنا هذا فلا تدخل علينا مكة، وأنه إذا كان عام قابل خرجنا عنك فتدخلها بأصحابك، وأقمت فيهم ثلاثًا معك سلاح الراكب
“Tahun ini kamu harus meninggalkan kami dan tidak boleh memasuki Mekkah bersama kami. Tahun depan kami akan meninggalkanmu untuk memasukinya bersama teman-temanmu dan tinggal di sana selama tiga malam sementara kamu boleh memanggul senjata seorang penunggang kuda.»
وقد كان أصحاب رسول اللّٰه ﷺ خرجوا وهم لا يشكون في الفتح لرؤيا رآها رسول اللّٰه ﷺ فلما رأوا ما رأوا من الصلح والرجوع، وما تحمل رسول اللّٰه ﷺ على نفسه، دخل الناس من ذلك أمر عظيم حتى كادوا أن يهلكوا
“Para sahabat Rasulullah (saw) telah berangkat tanpa keraguan akan kemenangan [yakni, melaksanakan umrah] karena penglihatan yang telah dilihat oleh Rasulullah saw, dan ketika mereka melihat perundingan untuk perdamaian dan penarikan pasukan serta apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah (saw) atas dirinya sendiri, mereka merasa putus asa, hampir sampai pada titik kematian.”[8]
Ahli tafsir Al-Qur’an yang terkenal dan dihormati, Ibnu Katsir (w. 774/1373) menulis dalam tafsir Al-Qur’annya:
فلما وقع ما وقع وقعت في نفوس بعض الصحابة من ذلك شيء، حتى سأل عمر بن الخطاب رضي الله عنه في ذلك فقال له فيما قال: أفلم تكن تخبرنا أنا سنأتي البيت ونطوف به؟ قال: بلى، أفأخبرتك أنك تأتيه عامك هذا؟ أخبرتكم أني رأيت البيت، ودخلنا وطفنا، قلت لكم: سيقع في هذا العام؟ قال: لا. قال: فإنك آتيه ومطوف به.
“Dan ketika apa yang telah terjadi telah terjadi, maka timbullah sesuatu dalam hati sebagian sahabat, sehingga Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah (saw) tentang hal itu, katanya: ‘Bukankah engkau telah mengabarkan kepada kami bahwa kami akan pergi ke Baitullah dan tawaf di sana?’ Beliau berkata: ‘Tentu saja! Namun, apakah aku telah mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan pergi ke sana tahun ini? Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa aku telah melihat Baitullah, lalu kita memasukinya dan tawaf di sana. Apakah aku sudah memberitahumu bahwa itu akan terjadi tahun ini?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Beliau berkata: ‘Jadi, kamu pasti akan pergi ke sana dan tawaf.’”[9]
Jelas bahwa Rasulullah juga menafsirkan penglihatan ini berarti bahwa beliau dan para sahabatnya akan memasuki Mekkah pada tahun yang sama, jika tidak, akan aneh untuk melakukan hal yang begitu jauh.
Rasulullah (saw) dan pergantian gubernur Mekkah
Contoh lain diberikan oleh as-Suhayli (w. 581/1185) dalam ar-Rawd al-unuf, yang merupakan komentarnya tentang as-Sirah an-Nabawiyyah oleh Ibn Hisham (w. 218/834). Dia menulis:
وقال أهل التعبير: رأى النبي ﷺ في المنام أسيد بن أبي العيص واليا على مكة مسلما، فمات على الكفر، فكانت الرؤيا لولده عتاب حين أسلم، فولاه رسول اللّٰه ﷺ مكة
“Para mufassir mengatakan bahwa Nabi (saw) melihat dalam sebuah penglihatan bahwa Usayd bin Abi al-‘Ays adalah Gubernur Mekkah dalam keadaan sebagai seorang Muslim. Akan tetapi, ia meninggal dalam keadaan masih kafir, dan penglihatan itu terpenuhi melalui putranya, ‘Attab Usayd bin Abi al-‘Ays, ketika ia memeluk Islam dan Rasulullah (saw) mengangkatnya sebagai Gubernur Mekkah.”[10]
Mimpi dan penglihatan para nabi adalah wahyu Ilahi
Yang harus diperjelas di sini adalah bahwa penglihatan para nabi bukan sekadar mimpi biasa, tetapi wahyu. Misalnya, ‘Aisyah (ra) meriwayatkan tentang Rasulullah (saw):
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللّٰهِ صلى اللّٰه عليه وسلم مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ
“Awalnya turunnya wahyu Allah kepada Rasul Allah adalah berupa mimpi dalam tidurnya. Beliau tidak pernah melihat mimpi kecuali mimpi itu menjadi kenyataan seperti terangnya siang.” (Sahih al-Bukhari)
Dari Ibnu Abbas (w. 68/687), Ubaid bin Umair ra (w. c. 68/687), asy-Syafi’i (204/820) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241/855) diriwayatkan secara sahih bahwa mereka berkata:
رؤيا الأنبياء وحي
ru-yal ambiyaa-i wahyun “Mimpi para nabi adalah wahyu.”
Al-Haythami (w. 974/1566) bahkan mengatakan dalam Fatawa-nya bahwa ada konsensus (ijma‘ atau kesepakatan) tentang fakta ini.
Kemungkinan kedua dari ‘nubuatan yang tidak terpenuhi’: Nubuatan yang bersyarat.
Alasan lain untuk perbedaan tersebut adalah nubuatan terkadang bisa bersyarat.
Para ulama teologi Islam – dalam hal ini khususnya Sunni (ahlus sunnah) – telah menggunakan berbagai istilah untuk konsep Islam tentang takdir Tuhan, seperti ajal (takdir), qadar (takdir yang ditetapkan) atau qada’ (ketetapan), yang kemudian mereka bagi ke dalam berbagai kategori, yang dua kategori utamanya mengandung istilah seperti mubram, mutlaq atau mutsbat di satu sisi, dan muqayyad atau mu‘allaq di sisi lain. Misalnya, Ibnu Battah al-‘Ukbari (w. 387/997), seorang penulis utama doktrin teologi Hanbali, menyatakan dalam karyanya al-Ibanah al-kubra, kumpulan besar hadis tentang keyakinan, Al-Qur’an, takdir Tuhan, dan hal-hal doktrinal lainnya:
” الْأَجَلُ أَجَلَانِ ” أَجَلٌ مُطْلَقٌ ” يَعْلَمُهُ اللَّهُ ” وَأَجَلٌ مُقَيَّدٌ ” وَبِهَذَا يَتَبَيَّنُ مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) فَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمَلَكَ أَنْ يَكْتُبَ لَهُ أَجَلًا وَقَالَ : ” إنْ وَصَلَ رَحِمَهُ زِدْتُهُ كَذَا وَكَذَا ” وَالْمَلَكُ لَا يَعْلَمُ أَيَزْدَادُ أَمْ لَا ؛ لَكِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يَسْتَقِرُّ عَلَيْهِ الْأَمْرُ فَإِذَا جَاءَ ذَلِكَ لَا يَتَقَدَّمُ وَلَا يَتَأَخَّرُ “
“Ajal itu ada dua macam: ajal mutlak (mutlaq) yang diketahui Allah, dan ajal terbatas (muqayyad). Maka jelaslah makna sabda beliau (saw): ‘Barangsiapa yang menginginkan agar rezekinya dilimpahkan dan umurnya dipanjangkan, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.’ Maka Allah memerintahkan malaikat untuk menuliskan ajal baginya, lalu berfirman: ‘Jika ia menyambung silaturahmi, maka tambahlah (umurnya) si fulan.’ Malaikat tidak mengetahui apakah ajalnya akan bertambah atau tidak. Akan tetapi Allah mengetahui apa yang akan terjadi, dan apabila hal itu terjadi, maka ia tidak akan bertambah dan tidak akan tertunda.”[11]
Selanjutnya, ulama golongan Hanafi bernama Muzhir ad-Din az-Zaydani (w. 727/1326) menjelaskan dalam karyanya al-Mafatih fi sharh al-Masabih, yang merupakan tafsir (penjelasan atau syarh) atas kumpulan hadits Masabih as-sunnah karya al-Baghawi (w. 516/1122):
واعلمْ أنَّ لله تعالى قضى في خلقه قضاءين مبرَمًا ومُعَلَّقًا، وأمَّا القضاءُ المُعَلَّقُ فهو عبارةٌ عما قَدَّرَه في الأَزَل مُعَلَّقًا بفِعْل، كما قال: إنْ فَعَلَ الشيءَ الفلانيَّ فكان كذا أو كذا، وإن لم يفعلْه فلا يكونُ كذا وكذا. وهو من قَبيل ما يتطرَّقُ إليه المَحْوُ والإثباتُ، كما قال تعالى في مُحْكَم كتابه {يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ} [الرعد].
وأما القضاء المُبْرَمُ؛ فهو عبارةٌ عما قَدَّره سبحانه في الأزل من غير أن يُعَلِّقَه بفعل، فهو في الوقوع نافذٌ غايةَ النَّفَاذ، بحيث لا يتغيَّرُ بحالٍ، ولا يتوَّقفُ على الَمْقضيِّ عليه ولا الَمْقضيِّ له؛ لأنه من عِلْمِه بما يكون وبما كان، وخلافُ معلومه مستحيلٌ قطعًا، وهذا مِن قَبيلِ ما لا يتطرَّقُ إليه المَحْوُ والإثبات، قال الله عز وجل: و {لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ} [الرعد: 41]، وقال تعالى:{مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ} [ق: 29]، وقال صلى الله عليه وسلم:”لا مردَّ لقضائه، ولا مانعَ لحكمه”.
“Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan dalam ciptaan-Nya dua ketetapan, yang satu kekal (mubram) dan yang satu bersyarat (mu‘allaq). Adapun ketetapan bersyarat, maka itu adalah pernyataan dari apa yang telah ditetapkan-Nya sejak masa pra-azali, yang dikondisikan dengan suatu perbuatan, seolah-olah Dia berkata: Jika dia berbuat begini, maka akan terjadi ini atau itu, dan jika dia tidak berbuat begini, maka tidak akan terjadi ini atau itu. Dan itu termasuk ketetapan yang dapat dihapuskan (mahw) dan ditetapkan (itsbat), sebagaimana Dia, Yang Maha Agung, berfirman dalam apa yang menentukan dari kitab-Nya: ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki’ (13:40).
“Adapun ketetapan yang kekal, maka ketetapan itu adalah pernyataan dari apa yang telah ditetapkan-Nya sejak sebelum azali, tidak disyaratkan dengan suatu perbuatan, dan kemunculannya adalah mutlak pasti, sehingga tidak berubah dalam keadaan apa pun, dan tidak bergantung pada apa yang ditetapkan atasnya atau untuk apa ditetapkan; karena ketetapan itu adalah pengetahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi dan apa yang telah terjadi, dan menentang apa yang diketahui-Nya adalah mutlak mustahil, dan ketetapan itu adalah ketetapan yang tidak dapat dihapus dan ditetapkan. Allah berfirman: ‘tidak ada yang dapat membatalkan keputusan-Nya’ (13:42), dan Dia, Yang Maha Agung, berfirman: ‘Keputusan [yang ditetapkan] oleh-Ku tidak dapat diubah’ (50:30). Dan beliau [Nabi saw] bersabda: ‘Tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan takdir-Nya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan takdir-Nya.’”[12]
Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852/1449), salah seorang mufassir hadis yang paling terkenal dan ternama, juga mengomentari subjek ini. Beliau menulis:
ثَانِيهمَا : أَنَّ الزِّيَادَة عَلَى حَقِيقَتهَا , وَذَلِكَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْم الْمَلَك الْمُوَكَّل بِالْعُمُرِ , وَأَمَّا الْأَوَّل الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَة فَبِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْم اللَّه تَعَالَى , كَأَنْ يُقَال لِلْمَلَكِ مَثَلًا : إِنَّ عُمْر فُلَان مِائَة مَثَلًا إِنْ وَصَلَ رَحِمه , وَسِتُّونَ إِنْ قَطَعَهَا. وَقَدْ سَبَقَ فِي عِلْم اللَّه أَنَّهُ يَصِل أَوْ يَقْطَع , فَاَلَّذِي فِي عِلْم اللَّه لَا يَتَقَدَّم وَلَا يَتَأَخَّر , وَاَلَّذِي فِي عِلْم الْمَلَك هُوَ الَّذِي يُمْكِن فِيهِ الزِّيَادَة وَالنَّقْص وَإِلَيْهِ الْإِشَارَة بِقَوْلِهِ تَعَالَى : ( يَمْحُو اللَّه مَا يَشَاء وَيُثْبِت وَعِنْده أُمّ الْكِتَاب ) فَالْمَحْو وَالْإِثْبَات بِالنِّسْبَةِ لِمَا فِي عِلْم الْمَلَك , وَمَا فِي أُمّ الْكِتَاب هُوَ الَّذِي فِي عِلْم اللَّه تَعَالَى فَلَا مَحْو فِيهِ الْبَتَّة. وَيُقَال لَهُ الْقَضَاء الْمُبْرَم , وَيُقَال لِلْأَوَّلِ الْقَضَاء الْمُعَلَّق
“Yang kedua dari dua [yaitu cara untuk mendamaikan hadits yang sedang dibahas dengan Surah al-A’raf, 7: V.35] adalah bahwa pertambahan [umur] itu adalah aktual, dan itu terkait dengan ilmu malaikat yang bertanggung jawab atas pertambahan umur, dan untuk hal pertama yang ditunjukkan ayat [7:35], itu terkait dengan ilmu Allah Ta’ala, seolah-olah telah dikatakan kepada malaikat, misalnya: ‘Umur si fulan, misalnya, adalah seratus tahun jika ia memelihara hubungan kekerabatannya, dan enam puluh tahun jika ia memutuskannya’, dan itu telah ada dalam ilmu Allah apakah ia menyambung atau memutuskannya, maka apa yang ada dalam ilmu Allah tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang, dan apa yang ada dalam ilmu malaikat adalah apa yang dapat bertambah dan berkurang, dan untuk itulah firman-Nya, merujuk: ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah sumber segala sesuatu.’ [QS. ar-Ra’d, Surat 13: Ayat 40] Jadi, penghapusan dan penetapan mengacu pada apa yang ada dalam pengetahuan malaikat, dan apa yang ada dalam sumber semua perintah (umm al-kitab) adalah apa yang ada dalam pengetahuan Allah, Yang Maha Tinggi, dengan demikian, tidak ada penghapusan di dalamnya sama sekali. Dan ini disebut sebagai takdir yang tidak dapat diubah, sedangkan hal pertama disebut sebagai takdir yang bersyarat.”[13]
Jadi, salah satu dari dua ketetapan ini merujuk pada hal-hal yang berada di luar batas kehendak dan tindakan manusia dan yang tidak dapat diubah sama sekali, misalnya, jenis kelamin, tempat dan hari lahir, kondisi fisik, dll., sedangkan yang lain dari dua ketetapan ini merujuk pada hal-hal yang berada dalam batas-batas kehendak dan tindakan manusia. Ke arah mana pun manusia mengarahkan kehendak dan tindakannya, sementara kehendak Allah selaras dengannya, hasilnya akan sesuai dengannya.
Ketetapan bersyarat berlaku khususnya untuk kategori nubuatan tertentu, yaitu apa yang disebut wa’id, ancaman.
Sebuah hadis sahih dari Rasulullah (saw) menyatakan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ وَعَدَهُ اللّٰهُ عَلَى عَمَلٍ ثَوَابًا فَهُوَ مُنْجِزُهُ لَهُ، وَمَنْ أَوْعَدَهُ اللّٰهُ عَلَى عَمَلٍ عِقَابًا ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Barangsiapa yang dijanjikan Allah pahala atas suatu perbuatan, maka Dia akan menggenapinya. Dan siapa pun yang Dia ancam dengan azab atas suatu perbuatan, Dia dapat memilih [memberi hukuman atau pengampunan].”[14]
Fakhr ad-Din ar-Razi menulis tentang hal ini dalam tafsirnya tentang Al-Quran:
جميع الوعيدات مشروطة بعدم العفو، فلا يلزم من تركه دخول الكذب في كلام اللّٰه تعالى
“Semua ancaman [Tuhan] disyaratkan dengan tidak adanya pengampunan, dan tidak terjadinya [ancaman hukuman] tidak berarti adanya kepalsuan dalam firman Allah Ta’ala.”[15]
Nubuatan bersyarat: Nabi Yunus (as)
Contoh relevan dari hal ini ditemukan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam riwayat tentang Nabi Yunus. Mengenai kaum Yunus disebutkan:
فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ اٰمَنَتْ فَنَفَعَهَآ اِيْمَانُهَآ اِلَّا قَوْمَ يُوْنُسَۗ لَمَّآ اٰمَنُوْا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنٰهُمْ اِلٰى حِيْنٍ
Maka mengapa tidak ada suatu kota pun yang beriman, lalu keimanannya itu akan ber faedah baginya kecuali kaum Yunus? Ketika mereka beriman, Kami singkirkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami berikan mereka perbekalan untuk sementara waktu. (QS. Yunus, 10: Ayat 99)
Dalam berbagai tafsir Al-Qur’an, disebutkan bahwa Nabi Yunus bernubuat kepada kaumnya bahwa Allah akan menurunkan azab-Nya kepada mereka dalam waktu empat puluh hari. Ini sebagaimana yang dikatakan Fakhr ad-Din ar-Razi, misalnya:
روي أن يونس عليه السلام بعث إلى نينوى من أرض الموصل فكذبوه فذهب عنهم مغاضباً، فلما فقدوه خافوا نزول العقاب، فلبسوا المسوح وعجوا أربعين ليلة، وكان يونس قال لهم إن أجلكم أربعون ليلة. فقالوا: إن رأينا أسباب الهلاك آمنا بك، فلما مضت خمس وثلاثون ليلة ظهر في السماء غيم أسود شديد السواد، فظهر منه دخان شديد وهبط ذلك الدخان حتى وقع في المدينة وسود سطوحهم فخرجوا إلى الصحراء، وفرقوا بين النساء والصبيان وبين الدواب وأولادها فحن بعضها إلى بعض فعلت الأصوات، وكثرت التضرعات وأظهروا الإيمان والتوبة وتضرعوا إلى اللّٰه تعالى فرحمهم وكشف عنهم
Diriwayatkan bahwa Yunus (as) diutus ke Niniwe dari tanah Mosul, tetapi mereka menolaknya, dan kemudian ia meninggalkan mereka dengan marah. Ketika mereka mendapati Yunus (as) tidak ada, mereka takut hukuman akan menimpa mereka, dan mengenakan jubah pendeta dan memohon selama empat puluh malam, dan Yunus berkata kepada mereka, ‘Masa hukuman kalian (ajal) adalah empat puluh malam,’ dan mereka menjawab, ‘Ketika kami melihat datangnya kehancuran, kami akan percaya kepada kalian.’ Dan terjadilah, ketika tiga puluh lima malam telah berlalu, muncullah di langit awan yang sangat hitam, dan asap tebal keluar darinya, dan asap itu turun hingga jatuh di kota dan menghitamkan atap-atapnya. Akibatnya, mereka keluar ke padang gurun. Dan mereka memisahkan diri mereka antara wanita dan anak-anak, antara hewan dan anak-anak mereka, dan sebagian dari mereka berpaling kepada sebagian yang lain, dan suara-suara menjadi lebih keras, dan permohonan meningkat, dan mereka menunjukkan iman dan pertobatan, dan mereka berdoa kepada Allah, Yang Maha Tinggi, sehingga Dia mengasihani mereka dan menghilangkannya dari mereka.”[16]
Namun, pemahaman tentang jenis-jenis ketetapan dalam uraian-uraian sebelumnya masih belum cukup rumit dari satu aspek penting, itulah sebabnya saya menambahkan di sini penjelasan lain oleh Ahmad as-Sirhindi (w. 1034/1624), wali Naqshbandi terbesar dari Mughal India. Dalam kompilasi surat-suratnya yang terkenal, ia menulis [dalam bahasa Persia atau Parsi]:
قضا بر دو قسم است، قضاء معلق و قضاء مبرم. در قضاء معلق احتمال تغيير وتبديل است، و در قضاء مبرم تغيير و تبديل را مجال نيست، قال اللّٰه سبحانه و تعالي: {مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ} اين در قضاء مبرم است، و در قضاء معلق ميفرمايد: {يَمۡحُواْ اللّٰهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ الۡكِتَٰبِ}
حضرت قبله گاهي ام قدّس سرّه ميفرمودند كه حضرت سيد محي الدين جيلاني قدّس سرّه در بعضي از رسائل خود نوشته اند كه در قضاء ِ مبرَم هيچكس را مجال نيست كه تبديل بدهد مگر مرا كه اگر خواهم انجا همتصرّف بكنم، وازين سخن تعجّب بسيار ميكردند واستبعاد ميفرمودند، واين نقل مدتها در خزينهٔ ذهنِ اين فقير بود تاآنكه حضرتِ حق سبحانه وتعالي باين دولتِ عظمي مشرف ساخت، […] بمحض فضل و كرم ظاهر ساختند كه قضاء معلق بردوگونه است، قضائي است كه تعليق او را در لوح محفوظ ظاهر ساخته اندو ملائكه را بر ان اطلاع داده، وقضائيكه تعليقِ اونزدِ خدا ست جلّ شانُه، وبس ودر لوح محفوظ صورتِ قضاءِ مبرم دار، و اين قسم اخير از قضاء معلّق نيز احتمالِ تبديل دارد، در رنگ قسم اول از انجا معلوم شد كه سخنِ سيد مصروف با ينقسم اخير است كه صورت قضاء مبرم وارد نه بقضاء كه بحقيقت مبرم است
Ada dua jenis ketetapan. Ketetapan bersyarat (qada’-i mu‘allaq) dan ketetapan yang tidak dapat diubah (qada’-i mubram). Dalam ketetapan bersyarat, ada kemungkinan perubahan dan penggantian, dan dalam ketetapan yang tidak dapat diubah, tidak ada ruang untuk perubahan dan penggantian. Allah, yang Maha Terpuji dan Maha Agung, berfirman, مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ ‘Kalimat yang telah Aku berikan tidak dapat diubah’. Ini adalah kasus dengan ketetapan yang tidak dapat diubah, dan tentang ketetapan bersyarat, Dia berfirman: يَمۡحُواْ اللّٰهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ الۡكِتَٰبِ ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan dengan-Nya-lah sumber semua perintah.’
Guruku [Khwajah Baqi bi-llah (w. 1012/1603)], semoga rahasianya disucikan, mengatakan bahwa Sayyid Muhyi d-Din [‘Abd al-Qadir] Jilani [w. 561/1166], semoga rahasianya disucikan, telah menulis dalam salah satu suratnya, ‘Tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan untuk mengubah ketetapan yang tidak dapat diubah (qada’-i mubram), tetapi aku memiliki kemampuan untuk mengubahnya jika aku mau.’ Guruku cukup terkejut dengan pernyataan ini dan merasa sulit untuk menyelesaikannya. Untuk waktu yang lama, perkataan ini tertidur di alam bawah sadarku.
Akhirnya, Tuhan Sang Kebenaran Yang Terpuji Yang Maha Agung, menganugerahiku kebahagiaan yang luar biasa dari hal itu, dan dengan demikian memuliakanku. […] Dengan kasih karunia dan rahmat-Nya yang murni, Tuhan mewahyukan kepadaku bahwa ketetapan bersyarat (qada’-i mu‘allaq) ada dua jenis: [1] Yang keadaan bersyaratnya (ta‘liq) dicatat dalam loh yang terpelihara (lauh mahfuz), dan para malaikat mengetahuinya sebagai ketetapan bersyarat. [2] Yang keadaan bersyaratnya hanya diketahui oleh Tuhan, dan dicatat dalam loh yang terpelihara sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah (qada’-i mubram). Dari situ, saya dapat memahami bahwa apa yang Sayyid Muhyi d-Din katakan berlaku untuk jenis ketetapan kedua ini yang tampaknya merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah (qada’-i mubram), meskipun sebenarnya itu adalah ketetapan bersyarat (qada’-i mu‘allaq) dan tidak berlaku untuk ketetapan yang benar-benar tidak dapat diubah.”[17]
Jadi, ada ketetapan Ilahi yang dapat tampak bahkan bagi penerima wahyu sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah yang pasti akan terjadi, sedangkan, pada kenyataannya, ketetapan ini bersyarat.
Terkadang, ada keadaan tersembunyi, ketika menyangkut wahyu dan nubuat, yang tidak diketahui oleh penerimanya.
Perang Badar dan Syarat-Syarat Tersembunyi Kemenangannya
Berikut ini hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah (saw) mengenai hari perang Badar yang Rasulullah (saw) mempunyai janji Ilahi berupa kemenangan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ـ رضى اللّٰه عنهما ـ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى اللّٰه عليه وسلم وَهْوَ فِي قُبَّةٍ اللّٰهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ، اللّٰهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ . فَأَخَذَ أَبُو بَكْرٍ بِيَدِهِ فَقَالَ حَسْبُكَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ، فَقَدْ أَلْحَحْتَ عَلَى رَبِّكَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata bahwa Nabi (saw) ketika berada di tenda berkata, ‘Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu untuk digenapinya janji-Mu. Ya Allah! Jika Engkau menghendaki (memusnahkan orang-orang yang beriman), niscaya Engkau tidak akan disembah lagi setelah hari ini.’ Abu Bakar memegang tangannya dan berkata, ‘Cukuplah ini, wahai Rasulullah! Kamu telah meminta kepada Tuhanmu dengan mendesak.’” (Sahih al-Bukhari)
Mengomentari hadits ini, al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014/1606), ulama hadis golongan Hanafi yang terkenal, menulis dalam Mirqat al-mafatih, komentarnya tentang Mishkat al-masabih:
وَهُوَ قَوْلُهُ: (اللَّهُمَّ أَنْشُدُكَ) : بِضَمِّ الشِّينِ أَيْ أَطْلُبُكَ وَأَسْأَلُكَ (عَهْدَكَ) أَيْ: أَمَانَتَكَ (وَوَعْدَكَ) ، أَيْ: إِنْجَازَهُ (اللَّهُمَّ إِنْ تَشَأْ) أَيْ: عَدَمَ الْعِبَادَةِ، أَوْ عَدَمَ الْإِسْلَامِ، أَوْ هَلَاكَ الْمُؤْمِنِينَ (لَا تُعْبَدْ) : بِالْجَزْمِ عَلَى جَوَابِ الشَّرْطِ (بَعْدَ الْيَوْمِ) : لِأَنَّهُ لَا يَبْقَى عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مُسْلِمٌ، وَفِيهِ إِشْعَارٌ بِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ، مَعَ أَنَّهُ لَا خُلْفَ فِي وَعْدِهِ، بَلْ وَلَا فِي وَعِيدِهِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْخُلْفُ! فِي خَبَرِهِ، فَالْخَوْفُ إِنَّمَا هُوَ لِاحْتِمَالِ اسْتِثْنَاءٍ مُقَدَّرٍ، أَوْ قَيْدٍ مُقَرَّرٍ، أَوْ وَقْتٍ مُحَرَّرٍ، وَهَذَا مُجْمَلُ الْمَرَامِ فِي هَذَا الْمَقَامِ
“…dan di dalamnya terdapat pengumuman bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak berkewajiban melakukan sesuatu, meskipun Dia tidak mengingkari janji-Nya (wa‘d) dan ancaman-Nya (wa‘id), karena tidak mungkin ada kesalahan dalam risalah-Nya. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan [Nabi saw] hanyalah bahwa mungkin saja ada pengecualian yang telah ditetapkan sebelumnya, atau suatu syarat yang telah ditetapkan sebelumnya, atau suatu waktu yang telah ditetapkan sebelumnya [yang tidak Nabi ketahui].”[18]
Juga, sarjana Deobandi kontemporer Anwarshah Kashmiri (w. 1933) menulis dalam Fayd al-Bari, komentarnya tentang Sahih al-Bukhari, tentang hadits ini:
وإنَّما خَشِيَ النبيُّ صلى الله عليه وسلّم مع وعد النصر، لأن المتكلِّمَ قد تكون في كلامه شروطٌ وقيودٌ، ولا يُدْرِكُهَا المُخَاطَبُ. ومن طريق الخاشع أنه لا يتشجَّعُ نظرًا إلى تلك القيود
“Sebaliknya, meskipun ada janji kemenangan, Nabi (saw) masih merasa khawatir, karena Sang Penyampai [yaitu Tuhan] mungkin telah menetapkan keadaan dan batasan dalam firman-Nya yang tidak diketahui oleh penerima wahyu [penerima wahyu ilahi].”[19]
Kesimpulannya, tidak terpenuhinya beberapa nubuat bisa jadi disebabkan oleh berbagai alasan, tergantung pada nubuatan yang dimaksud, misalnya, kesalahpahaman dalam penafsiran atau ijtihad wahyu, atau kenyataan bahwa tidak semua nubuatan harus tanpa syarat, dan sebagainya.
[1] (Ibn Amir al-Hajj, 1999, at-Taqrir wa-t-tahbir, ed. Abd Allah Mahmud Muhammad ‘Umar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Vol. 3, hlm. 380-381); al-Ashfahani
(الأصفهاني – أبو الثناء محمود بن عبد الرحمن بن أحمد الأصفهاني): ش – اختلفوا في جواز خطأ الرسول – عليه السلام – في اجتهاده ، والمختار عند المصنف جواز خطئه في الاجتهاد ، ولكن لا يقر على خطأ في اجتهاده . وقيل بنفي الخطأ عن اجتهاده . واحتج المصنف على المختار بالمعقول والكتاب والسنة . أما المعقول ; فلأنه لو لم يجز خطؤه في الاجتهاد، لكان لمانع ، ضرورة كونه غير ممتنع لذاته . والأصل عدم المانع ، فمن قال بالمانع ، فعليه البيان . بيان المختصر شرح مختصر ابن الحاجب
[2] Sayf ad-Din al-Amidi, 1982, al-Ihkam fi ushul al-ahkam, ed. ‘Abd ar-Razzaq ‘Afifi. Beirut: al-Maktab al-Islami. Jil. 4., hal. 216.
[3] Wahbah az-Zuhayli, 1998, at-Tafsir al-munir, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asir, Vol. 5, p. 258.
[4] ‘Abd al-Karim an-Namlah, 1999, al-Muhadhdhab fi ‘ilm ushul al-fiqh al-muqaran, Riyadh: Maktabat ar-Rushd, Vol. 5, hal. 2353.
[5] Jasser Auda, 2007, Maqasid al-Shariʻah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London; Washington: International Institute of Islamic Thought, hlm. 82.
[6] Fakhr ad-Din ar-Razi, 1981, Tafsir al-Fakhr ar-Razi: al-mushahhar bi-t-Tafsir al-kabir wa-Mafatih al-ghayb, Beirut: Dar al-Fikr. Vol. 18, p. 6.
[7] ‘Abd al-‘Ali bin Nizam ad-Din al-Lakhnawi, 2002, Fawatih ar-rahamut, ed. ‘Abd Allah Mahmud Muhammad ‘Umar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Vol. 2, hal. 413.
[8] Ahmad ibn Hanbal, 1999, Musnad Ahmad ibn Hanbal, ed. Shu’ayb al-Arna’ut, dkk., Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, Vol. 31, pp. 212-219.
[9] Ibn Kathir, 1998, Tafsir al-Quran al-azim, ed. Muhammad Husayn Shams ad-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Vol. 7, hal. 331.
[10] as-Suhayli, 2000, ar-Rawd al-unuf, ed. ‘Umar ‘Abd as-Salam as-Salami, Beirut: Dar Ihya’ at-Turath al-‘Arabi. Vol. 7, hal. 235.
[11] Ibnu Battah, 1994, al-Ibanah ‘an shari‘at al-firaq an-najiyah wa-mujanabat al-firaq al-madhmumah, ed. ‘Utsman ‘Abd Allah Adam al-Athyubi, Riyadh: Dar al-Rayah li-n-Nashr wa-t-Tawzi‘, Vol. 3. p. 168.
[12] Muzhir ad-Din az-Zaydani (مظهر الدين الزيداني), 2012, al-Mafatih fi sharh al-Masabih (المفاتيح في شرح المصابيح – جـ ٦) bab (باب فضائل سيد المرسلين صلوات الله عليه), ed. Nur ad-Din Thalib, Beirut: Dar an-Nawadir, Vol. 6, hal. 96)
[13] Ibn Hajar al-‘Asqalani (ابن حجر العسقلاني – أحمد بن علي بن حجر العسقلاني), 1959, Fath al-Bari bi-sharh Sahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري) syarh Hadits (شرح حديث ( من سره أن يبسط له في رزقه وأن ينسأ له في أثره فليصل رحمه)), ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi; Muhibb ad-Din al-Khatib. Beirut: Dar al-Ma‘rifah. Vol. 10, p. 416)
[14] Bahr al-fawa’id al-mashhur bi-Ma’ani l-akhbar li-l-Kalabadadhi.
[15] Fakhr ad-Din ar-Razi, 1981, Tafsir al-Fakhr ar-Razi: al-mushahhar bi-t-Tafsir al-kabir wa-Mafatih al-ghayb, Beirut: Dar al-Fikr. Vol. 7, hlm. 198-199.
[16] Fakhr ad-Din ar-Razi, 1981, Tafsir al-Fakhr ar-Razi: al-mushahhar bi-t-Tafsir al-kabir wa-Mafatih al-ghayb, Beirut: Dar al-Fikr. Vol. 17, hal. 172.
[17] Ahmad Sirhindi, 1977, Maktubat-i Imam-i Rabbani, ed. Husayn Hilmi ibn Sa‘id Istanbuli, Istanbul: Işık Kitabevi, Vol. 1, Surat 217, hlm. 350-351.
[18] al-Mulla ‘Ali al-Qari. 2002. Mirqat al-mafatih sharh Mishkat al-masabih. Beirut: Dar al-Fikr. Vol. 9. p. 3781. (نام کتاب : مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح نویسنده : القاري، الملا على جلد : 9 صفحه : 3781)
[19] Anwarshah Kashmiri. 2005. Fayd al-Bari ‘ala Sahih al-Bukhari. ed. Muhammad Badr al-Mirtahi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Vol. 5. p. 9. (نام کتاب : فيض الباري على صحيح البخاري نویسنده : الكشميري، محمد أنور شاه جلد : 5 صفحه : 9)
Sumber: Alhakam.org