Pedoman Itikaf Selama 10 Hari Terakhir Ramadhan

pedoman itikaf ramadhan

Apa yang Dimaksud dengan Itikaf?

Arti kata Itikaf adalah mengasingkan diri atau terikat pada sesuatu. Menurut terminologi Islam Itikaf artinya menyendiri di masjid dengan niat menjalankan Itikaaf sambil berpuasa. Itikaaf, sebagaimana halnya puasa, juga di temukan di agama-agama lain. Misalnya, di dalam Al-Qur’an (2:126) tertulis:

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

“Dan ingatlah ketika Kami jadikan Rumah itu sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat aman; dan jadikanlah tempat berdiri Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Sucikanlah rumah-Ku itu untuk orang-orang yang tawaf, ‘itikaf, rukuk dan yang sujud.”

Apa Pahala Itikaaf?

Hadits berikut menjelaskan tentang keberkatan Itikaaf:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang mendirikan shalat pada malam Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Bukhari & Muslim]

Diriwayatkan dalam hadis Ibnu Majah, “Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah menjelaskan berkaitan dengan orang yang beritikaf: “Ia berdiam diri dari dosa-dosa dan dialirkan baginya kebaikan seperti orang yang melakukan semua kebaikan.”

“Barangsiapa yang mengasingkan diri untuk Itikaaf dengan penuh keimanan dan mengharapkan (pahala), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Kanzul Ummal]

Periode Dilakukannya Itikaf?

Kita dapat melakukan i’tikaf kapan saja, tetapi sunnah Nabi Muhammad (saw) adalah beliau beritikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Aisyah (ra):

Nabi (saw) beritikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga wafat, kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggalnya.” [HR Bukhari]

Kapan Itikaf Dimulai?

Itikaf dimulai pada pagi hari tanggal 20 Ramadhan setelah subuh. Seperti diketahui Rasulullah (saw) beritikaf selama 10 hari, maka periode 10 hari akan dapat digenapi jika dimulai pada pagi hari tanggal 20 Ramadhan.

“Jika Rasulullah hendak itikaf, beliau shalat subuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat itikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil, maka dibuatlah.” [HR Muslim no 2007]

Dimana Melakukan Itikaf?

Tempat yang ideal untuk melakukan itikaf adalah di masjid Jami’, yaitu masjid yang biasa dilakukan shalat Jumat sehingga kita dapat menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah dan juga shalat jumat tanpa harus meninggalkan masjid.

Al-Qur’an memerintahkan untuk menjalankan itikaf ‘ketika kamu beri’tikaf dalam masjid-masjid” (2:188) karena masjid adalah tempat khusus untuk mengingat dan beribadah kepada Allah, dan sunnah juga mendukung pelaksanaan i’tikaf di masjid.

Jika Tidak memungkinkan Dilakukan di Masjid, Boleh Itikaf Dilakukan di Rumah?

Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) menjelaskan:

“I’tikaf dapat dilakukan di luar masjid, tetapi tidak akan mendatangkan berkah yang sama seperti jika dilakukan di masjid.” (Famuudaat Muslih Mau’ud, hal 171)

Allah mengetahui dan memahami kondisi yang terpaksa. Dia akan menilai kita berdasarkan niat kita.

Apakah Wanita Boleh Beritikaf?

Wanita juga boleh melakukan Itikaf di masjid tetapi lebih baik mereka melakukannya di rumah yang ditentukan untuk sholat. Dalam Kitab Fikih Hanafi, ‘Al-Hidaya’, dijelaskan:

Terkait:   Puasa Menyucikan Rohani

“Seorang wanita harus melakukan Itikaaf di “ruang sholat” rumahnya.” Setiap rumah harus memiliki ‘Masjid-ul-Bait’ (area khusus di dalam rumah) di mana ketika menghadapi kesulitan seseorang dapat ke sana dan berdoa. Ini membawa banyak berkah dan merupakan cara para sahabat (ra) Rasulullah (saw). Wanita harus salat di sana dan laki-laki salat nawafil dan sunnah di sana. Dalam keadaan luar biasa ketika tidak ada masjid lain di dekatnya, laki-laki juga dapat melakukan Itikaaf di tempat ini.

Bagaimana Ketika Itikaf, Perempuan Mengalami Menstruasi?

Jika seorang perempuan menstruasi selama Itikaaf, dia harus menghentikan itikaf karena tidak pantas untuk tetap berada di masjid dalam keadaan itu dan dia tidak bebas dan tidak dapat berpuasa.

Bagaimana Niat Itikaf?

Seseorang harus memulai Itikaaf dengan niat tulus, karena semua perbuatan tergantung pada niatnya. [Bukhari]

Berikut ini adalah bagaimana Rasulullah (saw) berdoa jika pergi ke Masjid:

“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan hak peminta kepada-Mu, dan aku juga meminta dengan hak jalanku ini. Sesungguhnya aku keluar bukan untuk keburukan, bukan untuk kesombongan, bukan untuk riya dan bukan untuk dipuji. Aku keluar agar terhindar dari murka-Mu dan mengharap ridha-Mu. Maka, aku meminta agar Engkau melindungiku dari siksa neraka dan mengampuni dosaku, sebab tidak ada yang mengampuni dosa selain-Mu.” (Ibnu Majah, no 770)

Untuk niat tidak ada lafaz khusus ditentukan dalam memulai itikaf. Seseorang yang ingin melakukan ‘Masnun Itikaaf‘ (Itikaaf yang disunnahkan oleh Rasulullah) harus memiliki niat yang kuat untuk tinggal di masjid selama sepuluh hari, kecuali keadaan yang tidak terduga, dan bersimpuh di hadapan Allah dan bertekad: “Ya Allah, aku tidak akan pergi dari sini sampai Engkau mengasihiku.”

Bagaimana Jika Tidak Bisa Melakukan Itikaaf Selama 10 hari?

Hal itu itu tidak akan dianggap sebagai ‘Masnun Itikaaf’. Namun, prinsip umum fikih Islam adalah, “sekalipun sesuatu tidak dapat dilakukan sepenuhnya, ia tidak boleh ditinggalkan seluruhnya.” Oleh karena itu, jika seseorang tidak dapat melakukan sesuai dengan itikaf yang sesuai sunnah maka seseorang dapat mengurangi beberapa hal. Misalnya, dapat mengurangi jumlah hari jika tidak dapat melakukannya selama sepuluh hari.

Mengenai puasa Ramadhan yang wajib, Allah memberikan banyak kelonggaran kepada orang-orang beriman yang sakit atau dalam perjalanan, dan difirmankan bahwa Allah memberi kemudahan bukan kesukaran (2:186). Jadi untuk Itikaaf, yang merupakan ibadah nafal, maka Allah pasti akan menghargai dan menghargai dan memberikan ganjaran kepada orang yang berupaya melakukan khalwat ini, sekalipun ia tidak dapat melakukan sepenuhnya, karena keadaan-keadaan tertentu.

Orang-orang yang tidak beritikaf yang tidak sampai sehari penuh, tetapi tetap berupaya untuk berdiam di masjid untuk mengingat Allah, ia akan tetap menadapatkan pahala. Oleh karena itu, jika seseorang dalam kondisi tidak berpuasa, tetapi berusaha menghabiskan waktu di masjid dan mengingat Allah, ia dapat memperoleh pahala itikaf. Di masa lalu, para Imam Fikih telah menyebutkan situasi ini dan cenderung untuk melakukan hal yang paling ringan dari sebuah perintah untuk menumbuhkan semangat menjalankan itikaf. Oleh karena itu, siapa pun yang tidak dapat melaksanakan Itikaf dengan cara yang ideal dapat melakukannya pada tingkat yang lebih rendah dan berupaya mendapatkan pahala untuk tingkat ibadah tersebut.

Terkait:   Haruskah Anak Puasa Selama Ramadhan?

Ketika Itikaf Bisakah Keluar dari Bilik Itikaf?

Hadhrat Masih Mau’ud as, menjelaskan kepada dua sahabat yang sedang melakukan Itikaaf:

“Selama Itikaaf kalian tidak mesti tinggal di dalam saja. Kalian dapat pergi ke atap karena sinar matahari lebih hangat. Kamar-kamar di bawah sini dingin. Kalian juga dapat berbicara tentang hal-hal penting. Seseorang harus memperhatikan hal-hal yang penting. Setiap perbuatan seorang mukmin (jika dilakukan dengan niat yang benar dan memperhatikan kesakralan itikaf) adalah suatu bentuk ibadah.” (Fiqhul Masih hal. 220)

Ini adalah prinsip yang sangat cocok, ada sebagian orang yang terlalu membatasi diri mereka, tetapi ada juga yang terlalu lunak. Maka yang terbaik adalah mengambil jalan tengah dan terus menilai diri kita sendiri.

“Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah (saw) lebih giat beribadah melebihi hari-hari lainnya. (Muslim, no. 2009)

Bisakah kita Meninggalkan Tempat Itikaaf?

Untuk melaksanakan Itikaf yang seutuhnya, seseorang tidak boleh meninggalkan Masjid dengan alasan apapun selain untuk mengurus kebutuhan dan tuntutan yang mendesak.

Secara umum, menurut Aisyah (ra), “Nabi Suci (saw) tidak pernah meninggalkan masjid dan memasuki kediamannya kecuali untuk buang air kecil.” Oleh karena itu, pergi keluar ke kamar kecil merupakan kebutuhan. Seseorang juga dapat keluar untuk melakukan shalat Jum’at, jika di tempatnya tidak diadakan. Demikian juga, jika tidak ada pengaturan khusus, seseorang dapat pulang ke rumah untuk mandi atau ke pasar untuk makan. Dalam keadaan seperti ini, seseorang dapat pergi jauh tetapi harus segera kembali setelah memenuhi kebutuhan.

Riwayat shahih menunjukkan bahwa seseorang dapat meninggalkan masjid karena alasan-alasan tertentu lainnya. Misalnya, suatu ketika Safiyya (ra) pergi ke masjid untuk mengunjungi Nabi Muhammad (saw) saat beliau sedang melaksanakan Itikaaf. Ketika tiba waktunya untuk berangkat, Nabi (saw) meninggalkan masjid dan mengantarnya pulang. Pada umumnya, dalam situasi ketika berada di depan umum, Rasulullah (saw) membatasi interaksi dengan orang-orang yang ditemui beliau. Aisyah (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) akan menanyakan tentang orang sakit sambil berjalan, bukannya berhenti, dan beliau tidak akan mengubah arah jalannya. [HR Abu Daud]

Kapan saya Harus Mencari Lailatul Qadar?

Selama sepuluh hari terakhir Ramadhan, terdapat malam tertentu di antara malam ganjil, atau disebut Lailatul Qadar. Malam ini mungkin terjadi di tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadhan.

Abu Sa’id Al Khudriy ditanya, “Apakah engkau mendengar Rasulullah (saw) berbicara tentang Lailatul Qadr? Beliau menjawab:

“Kami pernah beriktikaf bersama Nabi (saw) pada sepuluh malam pertengahan dari bulan Ramadan. Kemudian beliau keluar pada sepuluh malam yang akhir lalu memberikan khotbah kepada kami dan berkata, “Sungguh aku diperlihatkan (dalam mimpi) tentang Lailatulqadar namun aku lupa atau dilupakan waktunya yang pasti. Namun carilah pada sepuluh malam-malam akhir dan pada malam yang ganjil. Sungguh aku melihat dalam mimpi, bahwa aku sujud di atas tanah dan air (yang becek). Oleh karena itu siapa yang sudah beriktikaf bersama Rasulullah (saw) maka pergilah untuk melanjutkannya, orang-orang kemudian kembali ke masjid. Dan tidaklah kami melihat awan yang tipis sekalipun di langit hingga kemudian tiba-tiba datang awan yang banyak, lalu hujan turun hingga air menetes (karena bocor) lewat atap masjid yang terbuat dari dedaunan kurma. Kemudian setelah salat (Subuh) selesai aku melihat Rasulullah (saw) sujud di atas air dan tanah yang becek hingga aku melihat sisa-sisanya pada dahi Beliau. [Bukhari, 1877]

Hazrat Khalifatul Masih II (ra) menjelaskan:

Terkait:   Tujuan Puasa Untuk Pensucian Rohani

“Kalian memulai Itikaaf di masjid pada pagi hari tanggal 20. Terkadang (periode Itikaaf) berlangsung sepuluh hari dan terkadang sebelas hari. Pada suatu kesempatan, Rasulullah (saw) pergi ke luar untuk memberi tahu para sahabatnya tentang waktu khusus untuk penerimaan doa ketika beliau melihat dua orang berselisih pendapat satu sama lain. Beliau mengatakan bahwa beliau lupa waktunya tetapi beliau mengatakan bahwa malam itu dapat ditemukan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Para sufi telah menulis bahwa waktunya bisa datang di hari-hari selain itu juga, tetapi umumnya selama hari-hari terakhir Ramadhan ada waktu khusus untuk penerimaan doa. Hadhrat Masih Mau’ud as menyatakan melalui pengalamannya bahwa peristiwa itu datang pada malam ke-27 Ramadhan.”

Apa Doa ketika Mendapati Lailatul Qadar?

‘Aisyah (ra) pernah bertanya kepada Rasulullah (saw), “Wahai Rasululah, apa pendapatmu bila kudapati malam Lailatul qadar, apa yang harus kuucapkan? Beliau menjawab, ucapkanlah:

اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّی

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibul ‘afwa fa’ fu ‘anni (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai memaafkan, maka maafkanlah aku) [HR Ibnu Majah, Kitab Doa, No. 3840]

Apa saja Amalan Khusus selama Itikaaf?

Aisyah ra meriwayatkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi (saw) bila memasuki sepuluh akhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung beliau (bersungguh-sungguh dalam ibadah), menghidupkan malam-malamnya dengan beribadah, dan membangunkan keluarga beliau untuk beribadah.” (HR. Bukhari Bab Keutamaan Malam Lailatul Qadar, No. 1884)

Kita harus mengikuti semangat Rasulullah (saw) ini, tetapi tentu saja setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda, jadi kita harus melakukan amal sesuai dengan kemampuan kita.

Lakukanlah apa yang kita bisa. Rasulullah (saw) pernah ditanya, amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab, Yang dikerjakan terus menerus walaupun sedikit, lalu beliau bersabda, “Beramallah sesuai kemampuan kalian.” [HR Bukhari, no. 5984)

  • Membaca Al-Qur’an secara mendalam berserta terjemahan dan tafsirnya
  • Mempelajari kehidupan Rasulullah saw
  • Mempelajari kehidupan Masih Mau’ud (as)
  • Mempelajari arti dan terjemahan shalat
  • Membaca buku-buku Islam dan Jemaat, khususnya kehidupan Rasulullah (saw) dan tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau’ud dan para khalifahnya.
  • Mengerjakan shalat-shalat nafal
  • Berupaya menghilangkan kebiasaan buruk, ghibah, gosip, malas salat tepat waktu dll.
  • Meningkatkan perbuatan baik, mengerjakan ibadah nafal, fokus pada Al-Qur’an, sabar dll.

Disiapkan oleh Deperteman Tarbiyyat USA)

Alislam.org

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.