PENANGGUHAN JIHAD
B.A. Rafiq
Salah satu kesalahpahaman yang tersebar luas terhadap pendiri Jamaah Ahmadiyah adalah beliau telah melarang Jihad demi untuk menyenangkan pemerintah Inggris dan mendapatkan keuntungan darinya.
Sebelum kita masuk pada sanggahan dari propaganda yang menyesatkan ini, maka akan sangat membantu jika kita kemukakan dulu arti dari konsep Jihad. Akar kata Jihad dalam bahasa Arab adalah ‘jahada‘ yang berarti ketahanan/kesabaran dalam kondisi sulit. Oleh karena itu, Jihad artinya adalah upaya yang paling maksimal untuk mencapai tujuan dan melakukan segala upaya untuk mewujudkannya.
Dalam Kamus Tajul ‘Urus dijelaskan:
“Arti sesungguhnya dari Jihad adalah melakukan apapun dan mengerahkan segala upaya untuk mencapai tujuan dengan segenap kemampuan diri. Jihad terdiri dari tiga jenis, yaitu, melawan musuh dengan segala upaya, menggunakan segala kemampuan untuk melawan setan dan berusaha semaksimal mungkin agar segala upaya setan dapat dikalahkan di dunia ini; berjuang dengan gigih melawan hawa nafsu pribadi. Ayat suci Al-Qur’an berbunyi “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” mengandung ketiga jenis Jihad tersebut.
Jadi Jihad ada 3 Jenis. Pertama, Jihad melawan diri sendiri yang dalam istilah Islam disebut sebagai jihad yang paling besar (Jihad Akbar). Kedua, Jihad dengan dilancarkan untuk melawan setan dan segala tipu dayanya, atau disebut Jihad besar (Jihad Kabir). Ketiga, Jihad melawan musuh yang mengancam kebebasan beragama, atau yang disebut jihad kecil (Jihad Ashgar). Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) telah menjelaskan bahwa jihad melawan diri sendiri dan hawa nafsunya merupakan jihad Akbar. Disebutkan dalam hadist, bahwa sekembalinya dari perang (Tabuk) Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) bersabda:
Kita telah kembali dari Jihad Kecil (Jihad Ashgar) kepada Jihad Akbar (Jihad Melawan diri sendiri.
(Kashaf)
Beliau juga bersabda:
“Mujahid yang paling mulia di antara semua mujahid adalah dia yang melawan dirinya sendiri.”
Kehidupan Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) dibagi menjadi dua periode, yaitu kehidupan di Mekah dan kehidupan di Madinah. Dalam periode Mekkah, Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) dan para sahabat telah menjadi sasaran berbagai macam penganiayaan, akan tetapi mereka tidak diizinkan untuk berjihad dengan menggunakan pedang. Setelah hijrah ke Madinah, barulah Allah taala memberikan izin kepada umat Islam untuk melawan berbagai serangan musuh dengan menggunakan pedang. (Baca juga: Jihad dengan Pedang)
Sekarang jelaslah bahwa semua kesempatan dalam kehidupan Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) diperuntukkan untuk Jihad. Jadi keliru jika mengatakan bahwa beliau tidak melakukan Jihad dalam periode Mekkah dan hanya berjihad dalam periode Madinah. Yang benar adalah setiap periode dalam kehidupan beliau dan para sahabat diberikan untuk melakukan beberapa jenis Jihad. Ketika di Mekkah Jihad dilakukan, meskipun tidak ada peperangan ataupun pembunuhan para musuh. Di periode Madinah, Jihad dilanjutkan dengan cara yang sama, tetapi di sini juga ditambahkan dengan Jihad berupa peperangan.
Pandangan Jihad Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
Sekarang kita melihat bagaimana sikap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (Hazrat Masih Mau’ud) terhadap Jihad dengan peperangan. Pada masa kehidupannya, pemerintahan Inggris telah menguasai seluruh benua India, termasuk wilayah yang sekarang disebut Pakistan. Sebelum Inggris, wilayah ini dikuasai oleh Sikh yang telah merampas segala kebebasan beragama, terutama bagi umat Islam, yang bahkan mengalami kesulitan untuk menunaikan ibadah kepada Allah dengan bebas. Terkait dengan hal ini, Hazrat Masih Mau’ud menjelaskan:
“Umat Islam belum juga lupa akan suatu masa ketika di tangan orang-orang Sikh, mereka seperti dimasukkan dalam perapian yang menyala-nyala, dan bukan hanya dunia mereka yang hancur tetapi agama mereka bahkan lebih buruk lagi. Sulit bagi mereka untuk menunaikan kewajiban agama mereka, sampai-sampai di satu kesempatan seorang Muslim dibunuh hanya karena mengumandangkan Azan.
(Maklumat, 10 Juli 1900)
Telah diketahui bahwa Sikh sangat membenci Islam. Umat Islam pria, wanita, dan anak-anak tanpa ampun dipenggal, perkampungan mereka dirusak, wanita-wanita diperlakukan tidak senonoh, dan ribuan mesjid dirusak.” (Sikh Literatur Ensiklopedia, Hal. 1127)
Setelah pemerintah Inggris menggantikan pemerintahan Sikh di bagian negeri ini, diadakan sebuah pengadilan (darbar) di Alahabad pada tanggal 1 November 1858, yang diumumkan atas nama Ratu Victoria:
“Kami menyatakan bahwa berdasarkan kehendak dan kebijaksanaan kami bahwa tidak seorangpun dari rakyat kami yang akan dianiaya karena keyakinan atau praktik keagamaannya, tidak juga akan dirampas keamanannya. Di mata hukum, semua orang sama-sama memiliki hak atas perlindungan yang tidak memihak.”
Pada kondisi ini, tidak seperti Sikh, pemerintah Inggris tidak menganggap umat Islam layak dibunuh dan umat Islam diberi kebebasan dalam beragama dan menjalankan keyakinannya.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
Pemerintah telah memberikan kebebasan penuh kepada semua orang untuk menyebarkan agama mereka masing-masing dan dengan cara ini setiap orang berkesempatan untuk mempelajari dan merenungkan pokok-pokok ajaran setiap agama … Itulah sebab kami menyebutkan kebaikan pemerintah Inggris dalam tulisan dan pidato kami.”
(Roaded Jalsa Dua)
Didalam selebaran Tohfa Qaisariyya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan tentang doktrin Jihad sebagai berikut:
“Prinsip kedua yang menjadi dasar pendirian saya adalah meluruskan doktrin Jihad yang telah disalahartikan oleh sebagian umat Islam yang tidak mengerti. Diriku telah dianugerahi pemahaman oleh Allah taala bahwa praktik-praktik yang saat ini dianggap sebagai Jihad sangat bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Tidak ada keraguan bahwa terdapat perintah di dalam Al-Qur’an untuk mengangkat senjata. Tetapi peperangan itu lebih masuk akal daripada perang nabi Musa, dan lebih bisa diterima daripada perang Yusya’ bin Nun. Peperangan ini semata-mata didasarkan pada alasan bahwa – mereka yang telah mengangkat pedang untuk membantai orang-orang Islam dan menumpahkan darah mereka secara tidak adil serta melakukan kekejaman yang keji – maka mereka juga harus dibalas dengan pedang, meskipun balasan seperti ini tidak membawa keparahan seperti perang Musa. Sebaliknya hukuman kepada mereka dapat dihapuskan, jika ia orang Arab yang mencari perlindungan dengan menerima Islam atau orang non-Arab melakukan hal yang sama ditambah membayar jizyah. Prosedur ini sesuai dengan hukum alam… Singkatnya, inilah dasar Jihad di masa Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam), yaitu kemurkaan Tuhan telah bangkit terhadap para pelanggar. Tetapi tidaklah dikatakan jihad dengan merencanakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang adil dari pemerintah yang ramah seperti halnya kerajaan ratu yang terhormat, melainkan hal itu adalah pemikiran yang penuh ketidaksopanan dan ketidaktahuan. Bertindak jahat terhadap pemerintah yang telah menjamin kebebasan warganya dan menegakkan keamanan dengan teguh, di mana praktik-praktik keagamaan dapat dilakukan sepenuhnya, maka hal itu merupakan tindakan kriminal, bukan jihad… Karena itu, Allah Taala telah menetapkan prinsip kepadaku bahwa pemerintah yang baik, seperti pemerintah Inggris, harus dipatuhi dan dihargai dengan tulus. Aku dan jamaahku, mematuhi prinsip ini. Aku telah menulis beberapa buku dalam bahasa Arab, Persia dan Urdu mengenai hal ini dan telah menguraikan secara rinci betapa umat Islam di India Inggris menjalani hidup mereka dengan nyaman di bawah Pemerintah Inggris dan betapa mereka dapat dengan bebas menyebarkan agama mereka dan menjalankan kewajiban agama mereka tanpa gangguan dan halangan, betapa kelirunya menanamkan ide Jihad melawan Pemerintah yang penuh berkah dan cinta damai ini.
(Tohfah Qaisariyya, hal 9-10)
Jadi hal ini memperjelas bahwa dalam pandangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak ada dasar untuk melakukan jihad dengan pedang melawan pemerintah Inggris di India, karena tidak ada satu syarat pun yang dapat memenuhi terlaksananya Jihad di India.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidaklah sendiri memiliki pandangan bahwa Jihad dengan pedang terhadap pemerintah Inggris di India tidak diperkenankan. Semua ulama terkemuka di masa beliau membuat pernyataan yang sama yang dari pernyataan itu mereka menahan dari tindakan-tindakan yang dapat ditafsirkan sebagai jihad dengan pedang, jadi pernyataan mereka dinampakkan melalui tindakan. Sebagai gambaran kami cantumkan beberapa pernyataan tersebut.
(1) Maulvi Muhammad Husain Sahib dari Batala, yang merupakan salah satu pemimpin terkemuka Ahli Hadis, mengumumkan:
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam untuk memerangi, ataupun menolong serta membiayai pihak-pihak yang melawan pemerintah dari agama apapun, baik Yahudi, Kristen atau lainnya, ketika di bawah mereka kita hidup dalam keamanan dan bebas untuk menjalankan aktifitas agama. Dengan begitu, bagi Umat Islam India, segala penentangan maupun pemberontakan terhadap Pemerintahan Inggris adalah terlarang.’
(Ishaatus Sunnah, Vol. VI, No. 10)
Beliau juga juga menyerukan:
“Saudaraku sekalian, saat ini bukanlah lagi zaman pedang. Sudah seharusnya pedang digantikan oleh pena.
(Ishaatus Sunnah, Vol. VI, No. 12)
(2) Maulvi Muhammad Jafar Sahid dari Thanesar, telah mencatatkan dalam karya biografinya yang terkenal tentang Hazrat Syed Ahmad Sahib Brelwi, seorang Mujaddid Islam abad ke-13:
“Ini adalah pernyataan yang benar bahwa ketika beliau melanjutkan Jihad melawan Sikh seseorang bertanya kepada beliau perihal mengapa dirinya menyeru sejauh ini untuk berjihad melawan orang-orang Sikh? Mengapa beliau tidak melancarkan Jihad kepada Inggris, yang merupakan penguasa negeri ini dan menolak kebenaran Islam? Mereka bisa bertempur di tanah mereka sendiri dan mengambil alih India dari mereka. Beliau pasti akan mendapatkan dukungan dari ratusan ribu orang dari upaya ini. Melakukan perjalanan ke Afganistan dengan menempuh ratusan mil ke wilayah Sikh dan menetap di sana selama bertahun-tahun untuk memerangi orang-orang Sikh adalah rencana begitu sulit sehingga orang-orang tidak mau mengikuti upaya ini. Terhadap hal ini Syed Sahib menjawab bahwa beliau tidak berniat untuk mengambil alih daerah kekuasaan manapun dari Inggris ataupun Sikh dan kemudian beliau memerintah. Satu-satunya alasan mengapa beliau merancang upaya Jihad melawan kaum Sikh ialah karena mereka telah menindas umat Islam dan telah menghalangi mereka dalam menjalankan kewajiban agama seperti mengumandangkan Azan. Jika saat ini ataupun setelah keberhasilan mereka, kaum Sikh menghentikan penganiayaan terhadap umat Islam, maka ia tidak lagi memiliki alasan untuk memerangi mereka. Pemerintahan Inggris adalah non-Muslim, tetapi mereka tidaklah menindas umat Islam dengan cara apapun, mereka juga tidak menghalangi dalam melaksanakan kewajiban agama dan ibadah mereka. Umat Islam dapat leluasa menyebarkan keyakinan mereka, dan beribadah dengan bebas di bawah pemerintahan mereka. Mereka tidak hanya mempersilahkan umat Islam untuk beribadah dengan bebas, mereka bahkan siap untuk menghukum siapa saja menyerang umat Islam. Beliau menegaskan bahwa tujuan utama upaya beliau adalah penyebaran Tauhid Ilahi dan kebangkitan kembali sunnah Rasulullah sang Khatamul Anbiya, dan di bawah pemerintah Inggris beliau melaksanakan tujuan itu tanpa hambatan. Untuk itu mengapa beliau harus melakukan jihad terhadap pemerintah Inggris dan harus menumpahkan darah kedua belah pihak yang berbeda agama.
Mendengar jawaban itu, sang penanya akhirnya mengerti tujuan hakiki dari Jihad.
(Biografi dari Hazrat Syed Ahmad, hal. 71)
Pada kesempatan lainnya Maulwi Muhammad Jafar Sahib menyatakan:
“Hal ini juga benar bahwa di saat Maulana Ismail Syaheed tengah menyampaikan khutbah selama beliau tinggal di Calcutta, seseorang bertanya kepada beliau apakah tepat melancarkan Jihad melawan Pemerintah Inggris. Sebagai jawabannya, Maulana menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan Jihad melawan sebuah pemerintah yang adil dan tidak fanatik. Di sisi lain, tirani kaum Sikh di Punjab telah mencapai tahap untuk dilakukan Jihad melawan mereka.
(Biografi Hazrat Syed Ahmad, hal. 57)
(3) Maulvi Muhammad Hussain Sahib dari Batala menuliskan:
“Pada saat ini tidak ada hal yang mensyaratkan untuk Jihad. Oleh karena itu, di India, mulai dari Calcutta ke Peshwar, dari Sindh sampai ke Deccan, tidak ada yang berhak untuk melakukan Jihad melawan Pemerintah Inggris.
(Ishaatus Sunnah, Vol. IX, No. I)
(4) Sir Syed Ahmad Khan, Pendiri Aligarh College, telah menulis pada tahun 1885 sebagai berikut:
“Konspirasi besar oleh umat Islam dan hasil kesepatakan mereka bahwa mereka harus bersatu dalam melancarkan jihad melawan non-Muslim dan harus mendapatkan kebebasan dari Pemerintah (Inggris) adalah hal yang sangat tidak berdasar. Umat Islam menikmati keamanan penuh di bawah Pemerintah ini dan tidak ada alasan melakukan Jihad melawannya. Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, seorang Maulwi yang sangat terkenal, Muhammad Ismael, berkhotbah tentang Jihad di India mengajak orang-orang untuk bergabung bersama dirinya. Pada saat itu beliau mengatakan dengan jelas bahwa masyarakat India yang hidup aman di bawah pemerintahan Inggris tidak memiliki alasan untuk mengobarkan Jihad terhadap Pemerintah itu.
(Causes of the Indian Rebellion, hal. 104)
(5) Maulwi Murtaza Ahmad Khan Sahib telah mencatatkan bahwa Khalifah Islam Sultan Abdul Hamid II dari Turki mengumumkan sebuah deklarasi kepada Inggris bahwa umat Islam di India tidak diperkenankan berperang melawan Inggris karena mereka terbukti sebagai sahabat dan bersimpati dengan Khilafah Islam. (History of The Nations of the World, hal. 639)
(6) Maulvi Syed Nazir Hussain Sahib Delahwi mengatakan:
Karena tidak ada syarat untuk melakukan Jihad di negeri ini, maka melakukan Jihad di negara ini hanyalah akan berujung pada kehancuran serta dosa semata.
(Fatawa Naziriyya, Vol. IV, hal. 472)
Beliau juga mengumumkan bahwa pemberontakan yang terjadi pada tahun 1857 bukanlah hal yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi merupakan tindakan orang yang tidak beriman yang terlibat dalam pelanggaran perjanjian dan kekacauan serta dendam. Segala keterlibatan atau bantuan apapun yang diberikan untuk upaya itu adalah dosa. (Ishaatus Sunnah, Vol VI, No. 10)
(7) Maulana Maudoodi Sahib menyatakan:
“Saat umat Islam dikalahkan dan Pemerintah Inggris mulai berkuasa, umat Islam dengan bebas tinggal di negeri ini dengan penuh kebebasan menjalankan syariat-syariat mereka, negeri ini tidak lagi menjadi daarul harb.
(Book on Interest, hal. 1)
Semua hal di atas menunjukkan bahwa seluruh umat Islam yang berpikir jernih telah mengungkapkan rasa terima kasih kepada Pemerintah Inggris yang telah membebaskan mereka dari segala penindasan dan persekusi agama oleh Sikh dan memberi mereka kebebasan beragama sepenuhnya. Para ulama Islam kompak menyatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan melakukan Jihad terhadap Inggris. Mereka tidak hanya sebatas pernyataan, tetapi ditampakkan melalui tindakan bahwa syarat Jihad tidak terpenuhi di India sehingga Jihad melawan Inggris tidak diperbolehkan. Seandainya tidak demikian, para ulama Islam India pasti akan mengibarkan panji Jihad melawan Inggris.
Jika para penentang kami percaya bahwa Jihad adalah wajib untuk melawan Inggris di India, maka mereka akan disalahkan dengan tuduhan bahwa mereka telah gagal menjalankan kewajiban ini. Menurut Jamaah Ahmadiyah, segala alasan serta persyaratan dilakukannya Jihad tidaklah terpenuhi di India sehingga Jihad bukanlah keharusan bagi mereka dan dengan tidak memulai jihad itu mereka tidak dapat disalahkan atas segala tuduhan. Namun bagi mereka yang percaya bahwa mereka yang terikat kewajiban tetapi mereka lalai melaksanakannya, tentu saja mereka adalah orang yang berdosa.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah mengemukakan ajaran Islam yang benar tentang Jihad:
“Saat ini tidak diragukan bahwa tidak terdapat sebab-sebab untuk diadakan Jihad di negeri ini. Oleh karena itu, umat Islam di negeri ini dilarang untuk berperang atas nama agama maupun membunuh siapapun yang tidak menerima syariat Islam. Allah Ta’ala dengan jelas melarang Jihad dengan pedang di waktu aman serta damai.
(Tohfah Golarvia, hal. 82)
Dan sangat jelas tidak ada ulama yang membolehkan Jihad ketika syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Perlu diingat bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak melarang Jihad sepenuhnya. Beliau menganjurkan jamaahnya untuk melakukan Jihad sepanjang waktu.
“Jihad di zaman ini adalah berusaha menegakkan kalimat-kalimat Islam, membantah keberatan-keberatan para penentang, menyebarkan keagungan Islam, membuktikan kebenaran Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) ke seluruh dunia. Ini adalah Jihad, sampai Allah Taala menurunkan kondisi lain di dunia.”
(Surat yang ditujukan kepada Mir Nasir Nawab Sahib)
Dalam surat tersebut kalimat ‘Sampai Allah Ta’ala menurunkan keadaan yang lain di dunia‘ perlu digaris bawahi. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa beliau tidak menolak konsep Jihad dengan pedang tetapi beliau meyakini bahwa kewajiban untuk Jihad seperti itu ditangguhkan di zaman ini karena tidak adanya kondisi yang mewajibkannya. Beliau tidak menghapuskan Jihad dengan pedang, dan beliau memang tidak bisa melakukannya karena beliau terikat oleh Al-Qur’an. Beliau hanya menjelaskan penangguhannya. Beliau mengemukakan hadits bahwa Rasulullah (Shallallahu alaihi wa sallam) telah menubutkan bahwa Nabi Isa yang Dijanjikan tidak akan berperang dengan pedang karena masa kedatangannya adalah masa kebebasan beragama.
Pada akhirnya, kita perlu melihat pernyataan Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (Khalifatul Masih II) yang menjelaskan sikap Jamaah Ahmadiyah terhadap Jihad. Beliau menjelaskan:
“Sebagaimana shalat adalah wajib, maka ketika kondisinya muncul, maka berperang demi keyakinan adalah wajib… Harus diingat bahwa dari hal-hal yang ditetapkan sebagai prinsip utama keyakinan salah satunya adalah Jihad… Dia yang berpaling dari Jihad ketika terdapat kondisi yang mewajibkannya maka ganjarannya adalah neraka.
(Laporan Majlis Musyawarah, 1950)
Ketika tidak terdapat hal-hal yang menjadikan Jihad wajib, Jamaah Ahmadiyah dengan sekuat tenaga melakukan Jihad dengan Al-Qur’an, yang telah disebut sebagai Jihad Agung, serta Jihad melawan diri sendiri yang disebut sebagai Jihad Akbar. Ahmadiyah terus melakukan upaya membantah tuduhan umat Kristen serta kaum Arya Samaji terhadap Islam. Setelah berdirinya negara Pakistan, saat pasukan Dogra dan tentara India menekan Muslim Kashmir, Jemaat Ahmadiyah Pakistan adalah satu-satunya yang membentuk pasukan sukarela yang disebut Pasukan Furqan untuk berjuang di Kashmir bersama-sama dengan pasukan Pakistan, jadi mereka mengadakan Jihad dengan pedang. Beberapa pemuda dari Pasukan Furqan turut gugur dalam pertempuran tersebut. Jadi, ketika tiba saatnya untuk berjihad dengan pedang, Jamaah Ahmadiyah ikut serta di dalamnya dan jika kondisi Jihad dengan pedang pedang muncul kembali, insya Allah Ahmadiyah akan akan menunaikan panggilan jihad dengan pedang.
Sumber: Alislam.org – Suspension of Jihad
Penerjemah: Mayang Asri
Editor: Jusmansyah