Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw – Perang Khandaq – Seri 4

Khotbah jumat perang khandaq

Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw – Perang Khandaq – Seri 4


Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 27 September 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Seperti yang telah saya sebutkan juga dalam khotbah sebelumnya, Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menjelaskan keadaan yang terjadi selama Perang Ahzab. Saya akan menjelaskan rinciannya. Beliau r.a. bersabda:

Karena sebagian besar Madinah dilindungi oleh parit, dan di sisi lain ada beberapa bukit, bangunan permanen, dan kebun, untuk itu pasukan musuh tidak bisa langsung menyerang. Jadi, orang-orang kafir memutuskan untuk mencoba menarik suku Yahudi ketiga yang masih tersisa di Madinah, yaitu Bani Quraizhah, ke pihak mereka untuk membuka jalan menuju Madinah.

Maka, setelah bermusyawarah, Abu Sufyan, komandan pasukan kafir, menugaskan Huyayy bin Akhtab, pemimpin Bani Nadhir yang telah diusir, yang hasutannya telah menyebabkan seluruh Arab berkumpul untuk menyerang Madinah, untuk melakukan apa pun yang diperlukan guna membujuk Bani Quraizhah bergabung dengan mereka. Kemudian Huyayy bin Akhtab pergi ke benteng-benteng orang Yahudi dan berusaha untuk bertemu dengan para pemimpin Bani Quraizhah. Awalnya, mereka menolak untuk bertemu. Namun, ketika Huyayy menjelaskan kepada mereka bahwa saat ini seluruh Arab telah datang untuk menghancurkan umat Islam, dan kota ini (Madinah) tidak mungkin bisa menghadapi seluruh Arab dalam situasi apa pun. Dia mengatakan bahwa pasukan yang sekarang berhadapan dengan umat Islam seharusnya tidak disebut sebagai pasukan, melainkan seperti lautan yang bergelora. Dengan argumen-argumen ini, akhirnya ia berhasil membujuk Bani Quraizhah untuk melakukan pengkhianatan dan melanggar perjanjian mereka.

Rencana mereka adalah pasukan kafir akan mencoba menyeberangi parit dari depan, dan ketika mereka berhasil, Bani Quraizhah akan menyerang bagian Madinah tempat wanita dan anak-anak berada, yang telah dibiarkan tanpa perlindungan karena adanya kepercayaan (umat muslim) kepada Bani Quraizhah. Ini akan menghancurkan kekuatan pertahanan umat Islam sekaligus. Dan dalam sekejap mata, semua pria, wanita, dan anak-anak Muslim akan dibunuh. Adalah hal yang pasti bahwa jika kaum kafir berhasil dalam strategi ini, meskipun hanya sedikit, tidak akan ada lagi tempat yang aman bagi umat Islam.

Bani Quraizhah adalah sekutu umat Islam, dan bahkan jika mereka tidak bergabung dalam perang terbuka, umat Islam masih berharap bahwa tidak akan ada serangan yang bisa dilakukan terhadap Madinah dari arah mereka. Itulah sebabnya bagian itu dibiarkan sama sekali tanpa perlindungan. Karena alasan ini, bagian yang menghadap ke arah mereka dibiarkan sama sekali tanpa perlindungan. Bani Quraizhah dan kaum kafir, setelah menilai situasi ini, memutuskan bahwa ketika Bani Quraizhah bergabung dengan kaum kafir, mereka tidak akan membantu kaum kafir secara terbuka, agar umat Islam tidak mengambil tindakan untuk melindungi sisi Madinah ini juga. Mereka menunjukkan kelicikan yang sangat. Yakni agar tidak ada serangan umat muslim ke arahnya, yakni di area yang berbatasan dengan wilayah Bani Quraizhah, dan agar umat Islam tidak curiga.

Strategi mereka ini sangat berbahaya. Bergabungnya Bani Quraizhah dengan musuh secara diam-diam pada saat pasukan Islam sedang menghadapi serangan besar-besaran dari pasukan kafir, membuat perlindungan terhadap sisi Madinah di mana benteng-benteng Bani Quraizhah berada menjadi hampir mustahil. Bahkan bukan hanya perlindungan yang menjadi mustahil, tapi juga ancaman serangan menjadi jauh lebih besar. Bagaimanapun, dalam situasi ini, kekhawatiran umat Islam adalah wajar dan diperlukan upaya untuk mengatasinya. Untuk itu, Nabi saw. memutuskan untuk menugaskan 500 orang untuk melindungi Madinah.

Para penulis sejarah kehidupan Rasulullah saw. menjelaskan rinciannya sebagai berikut: Ketika berita tentang pelanggaran perjanjian oleh Bani Quraizhah sampai ke umat Islam, ketakutan mereka meningkat dan mereka mulai khawatir tentang wanita dan anak-anak. Keadaan umat Islam menjadi seperti yang Allah Taala firmankan:

اِذْ جَاۤءُوْكُمْ مِّنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ اَسْفَلَ مِنْكُمْ وَاِذْ زَاغَتِ الْاَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ الظُّنُوْنَا۠ ۗ

“(Ingatlah) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika mata terbelalak dan hati menyesak naik ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam sangkaan.” (Al-Ahzab:11)

Rasulullah saw. dan umat Islam berada di hadapan musuh. Mereka tidak bisa mundur dari sana dan secara bergantian menjaga parit di berbagai tempat. Para penulis biografi menyebutkan delapan lokasi parit yang dijaga, dan Hz. Zubair bin Awwam r.a. ditunjuk sebagai pengawas keseluruhan.

Karena Bani Quraizhah telah mengakhiri perjanjian dan bergabung dengan suku-suku yang mengepung, berita mulai menyebar bahwa mereka dapat menyerang Madinah kapan saja. Ketika Nabi saw. menerima berita ini, beliau mengirim Hz. Salma bin Aslam r.a. dengan 200 orang dan Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dengan 300 orang untuk melindungi Madinah. Beliau saw. memerintahkan mereka untuk berjaga di berbagai tempat pada malam hari dan secara berkala meneriakkan takbir “Allāhu Akbar”.

Hadhrat Sahibzada Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan keadaan ini sebagai berikut:

Saat itu, keadaan di Madinah dari segi sebab lahiriah sangatlah genting dan memprihatinkan. Ribuan musuh yang haus darah berkemah di sekitar kota, siap menyerang dan menghancurkan umat Islam kapan saja ada kesempatan. Di dalam kota, ada Bani Quraizhah yang berkhianat, yang ratusan pemuda bersenjatanya bisa menyerang umat Islam dari belakang kapan saja. Wanita dan anak-anak Muslim di kota kini menjadi sasaran empuk mereka setiap saat. Situasi ini, yang kenyataannya tidak bisa disembunyikan dari siapa saja yang berakal, menimbulkan kekhawatiran dan kebingungan yang besar di kalangan umat Islam yang lemah. Orang-orang munafik mulai berkata dengan terang-terangan,

 مَّا وَعَدَنَا اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اِلَّا غُرُوْرًا

Yakni ternyata janji-janji Allah dan Rasul-Nya tentang kemenangan umat Islam hanyalah janji-janji palsu. (Al-Ahzab:13)

Beberapa orang munafik datang kepada Rasulullah saw. dan mulai berkata, “Wahai Rasulullah saw., rumah-rumah kami di kota sama sekali tidak aman. Izinkan kami tinggal di rumah untuk melindunginya.” Sebagai jawaban, turunlah wahyu Ilahi:

 ۗوَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ ۗاِنْ يُّرِيْدُوْنَ اِلَّا فِرَارًا

“Ini tidak benar bahwa rumah-rumah mereka tidak aman, sebenarnya mereka hanya mencari alasan untuk melarikan diri dari medan perang.” (Al-Ahzab:14)

Namun inilah saat bagi umat Islam yang tulus untuk menunjukkan iman mereka. Al-Qur’an menyatakan:

وَلَمَّا رَاَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْاَحْزَابَۙ قَالُوْا هٰذَا مَا وَعَدَنَا اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَصَدَقَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ ۖوَمَا زَادَهُمْ اِلَّآ اِيْمَانًا وَّتَسْلِيْمًاۗ

“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan penyerahan diri.” (Al-Ahzab:23)

Meskipun demikian, semua orang sama-sama merasakan gentingnya dan berbahayanya keadaan tersebut. Oleh karena itu Allah Taala berfirman:

اِذْ جَاۤءُوْكُمْ مِّنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ اَسْفَلَ مِنْكُمْ وَاِذْ زَاغَتِ الْاَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ الظُّنُوْنَا۠ ۗ

“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (Al-Ahzab:11)

Saat itu benar-benar merupakan ujian berat bagi orang-orang beriman, dan umat Islam mengalami goncangan yang sangat hebat. Dalam keadaan berbahaya seperti itu, bagaimana mungkin jemaat kecil umat Islam, yang di dalamnya termasuk orang-orang yang lemah dan beberapa orang munafik, bisa menghadapi musuh? Mereka bahkan tidak memiliki cukup orang untuk mengatur penjagaan yang memadai di titik-titik lemah. Akibatnya, tugas berat siang dan malam telah menguras tenaga umat Islam. Di sisi lain, karena pengkhianatan Bani Quraizhah, penting juga untuk memperkuat penjagaan di jalan-jalan kota agar wanita dan anak-anak tetap aman.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wasallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 31)

Tentara kafir berusaha mengganggu umat Islam dengan berbagai cara. Terkadang mereka menyerang di satu titik lemah, dan ketika umat Islam berkumpul untuk mempertahankannya, mereka segera berbalik dan menyerang di titik lain, sehingga umat muslim pun terpaksa harus mengejar mereka ke sana. Kadang-kadang mereka menyerang dua atau tiga tempat sekaligus, yang mengakibatkan pasukan Muslim terpecah menjadi beberapa bagian. Dan kadang-kadang situasi menjadi sangat kritis, hampir saja pasukan kafir berhasil memanfaatkan titik lemah untuk memasuki batas kota. Umat Islam umumnya menghadapi serangan-serangan ini dengan panah, tetapi kadang-kadang pasukan kafir menggunakan taktik di mana satu kelompok menembakkan hujan panah untuk menahan umat Islam di belakang, sementara kelompok lain menyerang dan mencoba melompati bagian parit yang lemah. Taktik perang ini berlanjut dari pagi hingga sore, bahkan kadang-kadang hingga malam hari.

Dalam sejarah, disebutkan bahwa pada suatu kesempatan, Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabat, terutama kaum Anshar, tentang kemungkinan mengadakan perdamaian dengan suku Ghatafan. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menjelaskan detailnya sebagai berikut:

Hari-hari itu sangatlah sulit, mencemaskan dan berbahaya bagi umat Islam. Semakin lama pengepungan berlangsung, kekuatan pertahanan umat Islam semakin melemah. Meskipun hati mereka penuh dengan iman dan ketulusan, tubuh mereka yang tunduk pada hukum alam terus melemah. Ketika Nabi Muhammad saw. melihat situasi ini, beliau saw. memanggil para pemimpin Anshar, Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. dan Hz. Sa’ad bin Ubadah r.a., menjelaskan kepada mereka seluruh keadaan yang ada, dan meminta saran tentang apa yang harus dilakukan dalam kondisi ini. Beliau saw. juga menyebutkan kemungkinan untuk menghindari perang dengan memberikan sebagian hasil Madinah kepada suku Ghatafan.

Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. dan Sa’ad bin Ubadah r.a. dengan satu suara menjawab, “Ya Rasulullah!Jika Anda telah menerima wahyu Ilahi tentang hal ini, kami tunduk sepenuhnya. Dalam hal ini Anda bisa melaksanakan usulan tersebut dengan senang hati.” Nabi saw. menjawab, “Tidak, tidak ada wahyu yang turun kepada saya dalam hal perkara ini. Saya hanya bertanya kepada kalian sebagai bentuk musyawarah karena kesulitan yang kalian hadapi.” Kedua Sa’dain (Sa’ad bin Mu’adz r.a. dan Sa’ad bin Ubadah r.a.) kemudian menjawab, “Kalau begitu, saran kami adalah: Jika kami tidak pernah memberikan apa pun kepada musuh ketika kami masih dalam keadaan musyrik, mengapa kami harus memberikannya sekarang setelah menjadi Muslim?” Demi Allah, kami tidak akan memberi mereka apapun selain mata pedang. Sekarang hanya perang yang menjadi pilihan.”

Karena kekhawatiran Rasulullah saw. terutama ditujukan kepada kaum Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah, dan kemungkinan besar tujuan dari musyawarah ini hanyalah untuk mengetahui keadaan jiwa kaum Anshar, yaitu apakah mereka gelisah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini. Dan jika mereka memang gelisah, beliau saw. ingin menghibur mereka. Oleh karena itu, beliau menerima saran mereka (yaitu saran dari kedua Sa’ad) dengan penuh kegembiraan, dan perang pun berlanjut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun parit berfungsi sebagai tembok pertahanan yang kuat, ini sama sekali tidak berarti bahwa umat Islam sepenuhnya aman dan terlindungi. Pertama, orang-orang munafik dan terutama para pejuang seperti Bani Quraizha berada di dalam Madinah sendiri, dan setelah melanggar perjanjian, mereka menjadi musuh yang berbahaya. Di sisi lain, meskipun ada parit, ada beberapa tempat di mana ada bahaya serangan musuh dan ada kemungkinan musuh menyeberang parit dan masuk. Mengingat situasi yang mengkhawatirkan ini, penjagaan terus-menerus dilakukan di berbagai tempat, dan dalam penjagaan ini, Nabi Muhammad saw. sendiri hadir. Beliau saw. sendiri melakukan pengawasan dan juga terus menyemangati para sahabat. Semua kegiatan ini berlanjut siang dan malam, dan malam-malam di Madinah ini adalah malam-malam yang sangat dingin, ditambah lagi dengan kesulitan kelaparan.

Hz. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pergi berjaga di celah parit. Ketika beliau saw. kedinginan, beliau saw. kembali ke saya, dan ketika beliau saw. telah merasa hangat, beliau saw. kembali ke celah parit, sambil bersabda, “Aku khawatir orang-orang bisa datang dari arah ini.”

Hz. Aisyah menuturkan bahwa suatu hari, Nabi saw. sedang beristirahat dengan cara yang sama dan sangat kelelahan sehingga beliau saw. berkata, “Seandainya ada orang baik yang mau berjaga di tempat ini malam ini.” Tepat saat beliau mengatakan ini, beliau saw. mendengar suara senjata. Rasulullah saw. bertanya, “Siapa itu?” dan Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. menjawab, “Ya Rasulullah, saya Sa’ad.” Sa’ad berkata, “Saya datang untuk menjaga Nabi saw., namun alih-alih memintanya menjaga diri beliau saw., Nabi saw. memerintahkannya untuk pergi ke tempat tertentu di mana parit lemah dan berjaga di sana. Para sahabat Nabi saw. menunjukkan cinta dan kesetiaan yang luar biasa kepada beliau saw.. Mereka menawarkan diri mereka, sementara Nabi saw. lebih mengutamakan mereka daripada diri beliau sendiri. Beliau sawa. begitu berani, tidak memikirkan keselamatan sendiri tetapi mengkhawatirkan para penduduk Madinah. Beliau saw. sering hadir di berbagai tempat, dan bahkan ketika beristirahat di tenda, sebagian besar waktu beliau saw. dihabiskan untuk bersujud dan berdoa kepada Allah.

Hz. Ummu Salamah r.a. menuturkan: “Aku tengah bersama Rasulullah saw. di kesempatan perang Khandaq dan saat itu cuaca sangat dingin. Di satu malam aku melihat beliau saw. berdiri di dalam kemah beliau dan salat di hadapan Allah Taala dengan sangat panjang. Kemudian beliau saw. keluar dari tenda, dan aku mendengar beliau saw. bersabda: ‘Para prajurit berkuda kaum musyrik tengah berusaha menyeberangi parit.’ Kemudian beliau saw. memanggil Abad bin Bisyr r.a.. Abad r.a. menjawab: ‘Labbaik, saya hadir.’ Rasulullah saw. bertanya: ‘Apakah ada orang lain bersamamu?’ Ia menjawab: ‘Ya, ada beberapa orang lain bersamaku, dan mereka sedang berjaga di sekitar kemah Anda.’ Beliau saw. bersabda, ‘Bawalah rekan-rekanmu, dan berjagalah menyusuri parit. Para tentara berkuda kaum musyrik sedang menyusuri parit. Mereka berkeinginan untuk menyerang kalian saat sedang lengah.’ Beliau saw. bersabda:

اللھمّ فادفع عناشرھم وانصرنا علیھم واغلبھم فلا یغلبھم احد غیر کم

“Ya Allah, jauhkanlah kami dari kekejian mereka, tolonglah kami dalam menghadapi mereka, dan kalahkanlah mereka, karena tidak ada yang dapat mengalahkan mereka kecuali Engkau.”

Hz. Abad pergi bersama rekan-rekannya. Saat itu Abu Sufyan bin Harb tengah menyusuri bagian parit yang lebih sempit. Ketika kaum Muslimin mengetahui keberadaan mereka, kaum Muslimin lantas melempari mereka dengan batu dan memanah mereka, yang karenanya kaum musyrik terpaksa mundur dan kembali dari tempat mereka. Hz. Abad r.a. menerangkan: “Aku kembali menghadap Rasulullah saw. Aku melihat Beliau saw. tengah salat. Kemudian aku menyampaikan berita ini kepada Rasulullah saw.” Hz. Ummu Salamah r.a. menuturkan: “Semoga Allah Taala mengasihi Abad bin Bisyr. Beliau paling banyak berada di dekat kemah Rasulullah saw. dibandingkan seluruh sahabat lainnya. Beliau terus menerus menjaga Rasulullah saw.”

Hz. Muslih Mauud ra. menerangkan:

Keberanian Rasulullah saw. dan kepedulian besar beliau terhadap kaum Muslimin sangatlah besar hingga beliau saw.a di malam yang dingin kerap bangun untuk memeriksa dan menjaga tempat yang berbahaya. Hz. Aisyah r.a. meriwayatkan: “Ketika Beliau saw. lelah dan kedinginan, beliau saw. kembali untuk menghangatkan diri sejenak di bawah selimut, tetapi beliau saw. segera kembali berjaga saat tubuh beliau hangat. Demikianlah karena terus menerus berjaga, beliau saw. menjadi sangat kelelahan, dan di waktu malam beliau saw. bersabda: “Seandainya saja ada seorang Muslim yang tulus yang bisa berjaga sehingga saya bisa beristirahat.”

Terkait:   Ekspedisi ke Banu Fazarah & Eksekusi Hukuman Mati Abu Rafi’

Tiba-tiba terdengar suara Sa’ad bin Waqqas r.a. dari luar. Beliau bertanya: “Mengapa engkau datang?” Sa’ad menjawab: “Aku datang untuk menjaga Anda.” Beliau saw. bersabda: “Aku tidak perlu dijaga. Engkau pergilah ke tempat itu, dimana salah satu bagian parit yang lemah dan berjagalah di sana supaya kaum Muslimin tetap aman.” Maka dari itu, Sa’ad r.a. pergi berjaga di tempat tersebut, lalu Beliau saw. beristirahat.

Ada suatu hal yang mengherankan, dan dijelaskan di sini, yaitu ketika Rasulullah saw. baru tiba di Madinah dan saat itu bahaya sangat meningkat, saat itu juga Hz. Sa’ad r.a. datang untuk berjaga. Pada masa itu, suatu hari Rasulullah saw. mendengar suara senjata  dan bertanya, “Siapa itu?” (Hz. Muslih Mau’ud r.a. di sini menulis Abad bin Bishr, namun karena sebelumnya beliau r.a. bersabda tentang Abad bin Bisyr, sehingga di Anwarul Ulum jilid 22, nama inilah yang tertera, jadi ini adalah kesalahan penulisan. Ini diambil dari rujukan Sirat Halabiyah, dan di Sirat Halabiyah yang tertera adalah Abad bin Bisyr. Saya sampaikan ini karena beberapa orang nantinya menulis kepada saya bahwa di tempat lain tertulis beda. Alhasil, nama yang sebenarnya adalah Abad bin Bisyr. Jadi mungkin ada salah penulisan, atau Hz. Muslih Mau’ud r.a. keliru dalam menyampaikan)

Alhasil, beliau r.a. bersabda: Abad bin Bisyr berkata: “Saya, wahai Rasul!” Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Saat ini, kaum musyrik tengah berusaha untuk menyeberangi parit. Pergilah ke sana dan hadapilah mereka. Biarkanlah kemah aku ini.”

Saat pertempuran ini, ada juga peristiwa keberanian Hz. Safiyah. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Para istri Rasulullah saw. dan juga Hz. Safiyah binti Abdul Mutalib r.a., yang adalah bibi beliau saw., bersama para wanita muslim lainnya tengah berada di satu benteng yang disebut Farig (yakni di benteng itu ada para istri Rasulullah saw., para kerabat Rasulullah saw, dan juga wanita muslim lainnya, dan Hz. Hassan bin Tsabit r.a. berada di sana menjaga benteng itu). Ketika diumumkan tentang pelanggaran janji Banu Quraizhah, maka orang-orang Yahudi di sana pun sibuk berupaya untuk menimpakan kerugian kepada kaum muslim dengan berbagai cara.

Hz. Safiyah r.a. yang adalah bibi Rasulullah saw. menerangkan: “Suatu saat, datang sepuluh orang Yahudi dan pergi mengitari benteng kita, seolah sedang mencari waktu dan kesempatan untuk masuk dan menyerang ke dalam. Tiba tiba ada seorang Yahudi yang datang hingga sangat dekat ke dinding benteng. Saya melihatnya dan berkata kepada Hasan: “Wahai Hasan, kemarilah, dan hadapilah orang yahudi itu.” Hassan menjawab: Wahai putri Abdul Muthalib, Demi Allah, Anda mengetahui bahwa aku bukanlah orang yang seperti demikian. Jika aku memiliki keberanian, aku pasti akan pergi bersama Rasulullah saw.” Hz. Safiyah r.a. bersabda: Ketika Hassan menjawab seperti ini, aku lantas menggenggam satu kayu dan keluar dari benteng, lalu aku memukulkan kepalanya dengan kayu itu sedemikian kerasnya hingga memecahkan kepalanya dan ia pun jatuh tersungkur di sana. Aku kembali dan berkata kepada Hassan, “Keluarlah dan ambillah barang miliknya”, yakni ambillah apa saja miliknya sebagai harta ganimah. Hassan berkata, “Wahai putri Abdul Mutalib, aku sama sekali tidak memerlukan barang miliknya”. Kemudian aku berkata, “Kalau begitu, ambillah kepalanya dan lemparkanlah ke arah orang-orang Yahudi, supaya mereka takut dan tidak kembali lagi kemari”. Hz. Hasan berkata, “Aku tidak memiliki keberanian seperti itu”. Alhasil Hz. Safiyah r.a. mengambil kepalanya dan melemparkannya ke arah orang-orang Yahudi melalui dinding benteng. Atas hal ini, orang-orang Yahudi itu pun menjadi takut dan mereka berkata: “Kita mengetahui bahwa Muhammad saw. tidak meninggalkan para wanita muslim sendirian. Pasti ada para penjaga yang menjaga mereka. Akhirnya orang-orang itu pun pergi dari sana. Ketika Rasulullah saw. diberi kabar tentang hal ini, maka beliau saw. pun memberi bagian harta ganimah kepada Hz. Safiyah r.a. seperti halnya kepada pasukan muslim laki-laki.

Dalam “Sirat Khatamun-Nabiyyin”, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Keadaan para wanita dan anak-anak di kota adalah bahwa Rasulullah saw.  mengumpulkan para wanita dan anak-anak di bagian kota tertentu yang menyerupai benteng. Namun, tidak cukup banyak Muslim yang bisa dikirim untuk melindungi mereka secara memadai, terutama saat serangan musuh di medan perang sedang gencar. Akibatnya, wanita dan anak-anak Muslim hampir tidak terlindungi, yaitu hanya pria yang tidak mampu berperang lah yang tersisa untuk melindungi mereka. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan kesempatan ini, orang-orang Yahudi berencana menyerang bagian kota tempat wanita dan anak-anak berkumpul. Mereka mengirim seorang mata-mata ke daerah tersebut. Saat itu, hanya ada satu sahabat, Hassan bin Tsabit r.a., seorang penyair, yang berada di dekat para wanita. Ia tidak mampu pergi ke medan perang karena jantungnya yang sangat lemah.

Ketika para wanita melihat mata-mata Yahudi ini mengitari sekitar tempat tinggal mereka dengan corak yang mencurigakan, Hz. Shafiyyah binti Abdul Muthalib r.a., bibi Rasulullah saw., berkata kepada Hz. Hassan r.a.: “Orang Yahudi ini adalah musuh kita, dan dia kesana kemari untuk memata-matai dan berbuat keji. Jadi bunuhlah ia agar tidak menjadi penyebab fitnah”. Namun, Hz. Hassan r.a. tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Hz. Shafiyyah r.a. kemudian menghadapi orang Yahudi itu sendiri, membunuhnya, dan atas sarannya, kepala mata-mata itu dipotong dan dilemparkan ke arah tempat orang-orang Yahudi berkumpul untuk mencegah mereka menyerang wanita Muslim, dan agar mereka berpikir bahwa ada banyak laki-laki yang menjaga tempat ini. Alhasil, siasat ini berhasil, dan orang-orang Yahudi mundur karena takut.

Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. juga menerangkan peristiwa ini. Beliau r.a. bersabda:

Bani Quraizhah menunggu kesempatan untuk menyusup ke Madinah tanpa menimbulkan kecurigaan di kalangan Muslim dan membunuh para wanita dan anak-anak. Oleh karena itu, suatu hari mereka mengirim seorang mata-mata untuk menyelidiki apakah para wanita dan anak-anak tengah sendirian atau dilindungi oleh para prajurit muslim. Mata-mata ini mengintai di sekitar tempat beberapa keluarga muslim yang rentan terhadap serangan musuh berkumpul. Ia melihat dengan saksama apakah ada tentara muslim yang bersembunyi untuk menjaga mereka. Saat baru saja mengintai, Hz. Safiyah r.a. yang adalah bibi Rasulullah saw., melihatnya. Saat itu, secara kebetulan hanya ada satu pria muslim yang berada di sana dan beliau pun tengah sakit. Hz. Safiyah r.a. berkata kepadanya, “Orang ini sudah lama berkeliling di daerah sekitar kaum wanita, dan ia belum juga pergi dari sini, dan ia terus melihat ke segala tempat. Pasti ia adalah seorang mata-mata. Oleh karena itu, hadapilah dia, jangan sampai musuh mengetahui keadaan kita sebenarnya dan menyerang kemari.” Sahabat yang tengah sakit itu menolaknya. Maka saat itu Hz. Safiyah r.a. sendiri mengambil sebatang bambu besar dan, dengan bantuan wanita lain, berhasil membunuh mata-mata tersebut. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa ia adalah seorang Yahudi dan mata-mata dari Bani Quraizhah.

Peristiwa ini membuat umat Islam semakin khawatir bahwa sisi Madinah ini juga sudah tidak aman lagi. Namun, tekanan musuh dari depan begitu kuat sehingga mereka tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi sisi ini. Meskipun demikian, Rasulullah saw. tetap mengutamakan perlindungan para wanita dan menugaskan 500 dari 1.200 tentara untuk melindungi mereka di kota, meninggalkan hanya 700 tentara untuk menjaga parit dan menghadapi pasukan musuh yang berjumlah 18-20 ribu.

Terkait:   Kegembiraan Sejati dalam Meraih Id Hakiki

Tertera juga peristiwa tentang Hazrat Ali r.a. yang membunuh Amr bin Abdu Wud Amiri. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Ketika pasukan kafir mengepung Madinah, para pemimpin mereka sepakat untuk menyerang bersama-sama. Mereka mencari tempat sempit di parit di mana mereka bisa mengirim pasukan berkuda mereka hingga menuju Rasulullah saw. dan para sahabat. Akhirnya mereka menemukan tempat sempit yang sedang tidak dijaga oleh umat Islam pada saat itu. Ikrimah bin Abu Jahal, Naufal bin Abdullah, Dhirar bin Khattab, Hubairah bin Abu Wahb, dan Amr bin Abdu Wud berhasil menyeberangi parit di tempat itu.

Amr bin Abdu Wud dianggap sebagai pejuang yang setara dengan seribu orang di kalangan Arab. Dia terluka dalam Perang Badar dan tidak bisa ikut dalam Perang Uhud karena luka-lukanya. Dia telah bersumpah tidak akan meminyaki kepalanya sampai dia (na’ūdzubillāh) membunuh Muhammad saw. Dengan sikap yang sangat takabur, dia berteriak menantang umat Islam, “Wahai orang-orang yang menantikan surga, datanglah, aku akan membawamu ke surga, atau kalian akan membawaku ke neraka.” Ketika tidak ada yang menanggapi, Hazrat Ali r.a. lantas berkehendak untuk maju, tetapi Nabi saw. awalnya menahannya. Namun, setelah Amr menantang untuk kedua atau ketiga kalinya, Nabi saw. mengizinkan Hz. Ali r.a., dan beliau saw. mengikatkan sorban beliau di kepala Hz. Ali r.a., dan memberikan pedang beliau, dan mengirimnya untuk bertarung diiringi dengan doa.

Hz. Ali r.a. maju dan berkata kepada Amr, “Aku pernah mendengar bahwa kamu telah berjanji, jika ada seorang di antara Quraisy yang meminta dua hal kepadamu, maka kamu pasti akan menerima salah satunya”. Amr menjawab, “Ya”. Hz. Ali r.a. berkata, “Pertama-tama aku katakan kepadamu, jadilah seorang muslim, berimanlah kepada Rasulullah saw., dan jadilah orang yang mewarisi karunia-karunia Tuhan.” Amr berkata, “Ini tidaklah mungkin”. Hz. Ali r.a. lalu berkata, “Jika kamu tidak menerima hal ini, maka majulah dan bersiaplah untuk berhadapan denganku”. Atas hal ini Amr tersenyum dan berkata, “Aku belum pernah memikirkan bahwa ada seseorang yang akan dapat mengatakan hal ini kepadaku”. Kemudian ia menanyakan nama dan silsilah keturunan Hz. Ali r.a., dan setelah mendapatkan jawabannya, ia berkata, “Ayahmu dahulu adalah temanku. Oleh karena itu pergilah kamu dari sini, dan kirimlah orang lain yang lebih besar darimu. Kamu masih anak anak, seperti halnya keponakanku. Aku tidak ingin menumpahkan darahmu. Kirimkanlah seorang yang lebih tua dari antaramu”. Hz. Ali r.a. berkata, “Kamu tidak ingin menumpahkan darahku, tetapi aku tidak akan mundur untuk menumpahkan darahmu”. Mendengar hal ini, Amr menjadi sangat marah dan melompat, menaiki kudanya, lalu memotong nadi kuda miliknya dan menjatuhkannya. Ia membunuh kudanya dan kembali turun untuk menghadapi Hz. Ali r.a.. Dengan penuh api kemarahan, ia bergegas maju menuju Hz. Ali r.a. dan menyerang beliau r.a. dengan begitu keras sehingga pedangnya mengenai perisai beliau dan melukai dahi beliau r.a.. Akan tetapi, bersamaan dengan itu Hz. Ali seraya menyerukan “Allahu Akbar” melakukan serangan sedemikian rupa sehingga musuh itu terus mencoba menyelamatkan diri, dan pedang Hz. Ali r.a. memotong dari bahu hingga ke bawah, dan Amr terjatuh seraya terluka parah lalu tewas di tempat. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Amr menerima salah satu dari tiga pilihan, di mana permintaan yang pertama adalah bahwa Hz. Ali r.a. berkata kepadanya, “Pergilah kamu kembali”. Atas hal ini Amr menjawab, “Ini tidak mungkin”. Kemudian permintaan kedua adalah, “Jadilah seorang muslim”, dan yang ketiga adalah, “Majulah untuk menghadapiku”.

Setelah kematian Amr, rekan-rekannya menjadi sedemikian rupa ketakutan dan mereka lantas melarikan diri dengan kuda mereka. Hz. Zubair r.a. mengejar dan membunuh Naufal bin Abdullah. Hz. Ali r.a. juga menyerang Hubairah bin Abu Wahb (suami dari saudari Hz. Ali r.a., yaitu Umm Hani) dengan pedang hingga memotong tulang selangka kudanya. Menurut riwayat lain, setelah kematian Amr, Hubairah dan Dhirar bin Khattab juga lalu menyerang Hz.Ali r.a., tetapi kemudian mereka melarikan diri setelah mendapat serangan balik. Hubairah bahkan meninggalkan baju besinya saat melarikan diri, meskipun dia dianggap sebagai penunggang kuda terbaik Quraisy.

Ada riwayat bahwa Dhirar bin Khattab, yang adalah saudara Hz. Umar r.a., saat ia melarikan diri, ia dikejar oleh Hz. Umar r.a.. Dhirar berhenti dan hampir menyerang Umar r.a. dengan tombak, tetapi tidak jadi. Dia hanya berkata kepada Hz. Umar r.a., “Umar, ingatlah kebaikanku, aku tidak menyerangmu saat ini”. Hz. Umar r.a. pun, mungkin karena mengingat kebaikannya ini, atau mungkin ini adalah juga merupakan doa Hz. Umar r.a. yang terkabul, bahwa pada akhirnya, saat Fatah/Penaklukan Mekah, Dhirar masuk Islam dan kemudian ikut serta dalam perang-perang Islam, dan menunjukkan keberanian yang besar di pertempuran, dan pada akhirnya ia mati syahid dalam Perang Yamamah (menurut sebagian riwayat, beliau tidak mati syahid, tetapi terus hidup lama dan meninggal sebagai Muslim).

Setelah terbunuhnya Amr bin Abdu Wud, kaum kafir mengirim pesan kepada Rasulullah saw. bahwa mereka akan membeli jasadnya dengan uang 10.000 dirham. Beliau saw. bersabda, “Ambillah dia, kami tidak mengambil harga orang yang mati.”

Menurut beberapa riwayat, Naufal bin Abdullah terbunuh pada kesempatan yang terpisah. Rinciannya adalah bahwa suatu hari dia mencoba melompati parit dengan kudanya, tetapi gagal dan ia bersama kudanya jatuh ke dalam parit, sehingga Allah Taala pun membinasakannya. Ketika ia jatuh di parit, lehernya patah dan ia tewas. Ketika kaum musyrikin mengirim utusan untuk mengambil mayatnya dan menawarkan uang tebusan kepada Nabi saw., beliau saw. bersabda: “Kami tidak membutuhkan uang diatnya, dan kami tidak  melarang kalian untuk menguburkannya.”

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menerangkan tentang peristiwa terbunuhnya Naufal. Beliau r.a. menulis:

“Musuh yang menyerang terkadang berhasil untuk menyeberangi parit. Suatu hari, beberapa pemimpin pasukan kafir berhasil menyeberangi parit, tetapi umat Islam melakukan serangan balik yang luar biasa sehingga memaksa mereka untuk mundur. Pada saat itulah Naufal, seorang pemimpin besar kaum kafir, yang berhasil menyeberangi parit, terbunuh. Ia adalah seorang pemimpin kaum kafir yang sangat besar hingga Kaum kafir pun, karena khawatir jenazah Naufal akan dirusak, dan jangan sampai kelak mereka akan menanggung rasa malu, maka mereka pun siap untuk menawarkan 10.000 dirham kepada Nabi saw. untuk mengembalikannya. Mereka mungkin berpikir umat Islam akan memotong hidung dan telinga Naufal seperti yang mereka lakukan terhadap paman Nabi saw. di Perang Uhud. Namun, ajaran Islam sangatlah berbeda. Islam tidak mengizinkan melecehkan jenazah. Oleh karena itu Rasulullah saw. menjawab dengan bersabda: “Apakah kalian mengira kami akan melakukan sesuatu pada mayat ini, mayat ini tidaklah berguna bagi kami hingga kami harus meminta uang sebagai gantinya dari kalian. Bawalah jenazah orang ini dengan sekehendak kalian. Kami tidak memiliki keperluan apapun dengannya.”

Rincian lebih lanjut Insya Allah akan disampaikan di kesempatan selanjutnya.

Minggu ini, mulai hari ini,  Ijtima Lajnah dan Anshar juga dimulai. Seperti yang saya sampaikan kepada para Khudam, saya juga akan menyampaikan hal ini kepada para Lajnah dan Anshar, bahwa secara khusus di hari-hari ini, laluilah sebanyak-banyaknya waktu Anda sekalian dalam doa. Berilah perhatian khusus pada membaca shalawat. Semoga Allah Taala memberikan taufik kepada Anda semua untuk mengamalkan ini dan berusaha memenuhi tujuan ijtima. Janganlah Anda melewati ijtima ini sebagai suatu acara rekreasi atau obrolan semata. Semoga Allah Taala memberkati Ijtima ini dalam segala segi.[1]


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd. dan Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.