Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 13)

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesulitan-kesulitan dan kesedihan-kesedihan yang dihadapi umat Muslim setelah kewafatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peranan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam menyelesaikannya

Kesulitan pertama: keadaan yang paling rentan dan mencekam adalah duka lara yang meliputi setelah kewafatan Rasulullah (saw) yang membuat segenap para Sahabat seperti kehilangan akal sehat disebabkan oleh duka yang teramat dalam.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam buku Tuhfah Golerwiyah mengenai dua hal dalam pemikiran umat Muslim yang dijauhkan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) yaitu masih dan akan terus hidupnya Nabi Muhammad (saw) dan Nabi ‘Isa (as).

Kesulitan besar kedua yang meliputi dan bagaimana Hadhrat Abu Bakr mengatasinya adalah menata umat Muslim dalam untaian mufakat dan kesatuan ketika pemilihan Khilafat.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam buku Tuhfah Golerwiyah mengenai hal ini. Persamaan Hadhrat Abu Bakr (ra) dengan Hadhrat Yasyu’ bin Nun, murid Nabi Musa (as).

Perkara ketiga yang sangat penting dan bagaimana Hadhrat Abu Bakr mengatasinya, itu adalah keberangkatan laskar Usamah ke perbatasan Rumawi menghadapi pasukan Rumawi atau bawahannya.

Usulan penundaan pengutusan pasukan dari banyak Sahabat mengingat telah bangkitnya kemurtadan dan pemberontakan di seluruh penjuru Arab.

Penjelasan Kitab-Kitab Hadits dan Tarikh perihal tanggal keberangkatan, jumlah pasukan, tujuan-tujuan ekspedisi militer ini, kepulangan dan sebagainya.

Penjelasan Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) mengenai peristiwa ini.

Penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam buku beliau berbahasa Arab ‘Sirrul Khilafah’ perihal pasukan Usamah dan keadaan genting umat Muslim saat itu: dari dalam menghadapi kemurtadan dan kemunafikan serta pemberontakan sedangkan dari luar menghadapi ancaman agresi Rumawi.

Nasehat-nasehat Hadhrat Abu Bakr (ra) kepada pasukan Usamah menjelang keberangkatan yang menjadi pedoman pasukan Muslim dalam perang agar tidak melukai orang-orang sipil yang tidak ikut berperang.

Pengaruh keberangkatan pasukan Usamah dan dampaknya berdasarkan sudut pandang penulis Muslim dan bukan Muslim.

Kesulitan keempat yang harus dihadapi oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah para penolak zakat serta kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka.

Penjelasan berdasarkan kutipan kitab-kitab Hadits dan Tarikh.

Penjelasan dari ahli-ahli sejarah dan Fiqh mengenai jenis-jenis kemurtadan dan sikap-sikap penentangan terhadap Khilafat Hadhrat Abu Bakr (ra). Penjelasan ‘Ali Muhammad ash-Shalabi [sejarawan modern], penjelasan al-Khathabi [ahli Fiqh abad ke-4 Hijriyah dari Afghanistan], penjelasan Qadhi ‘Iyadh [ahli Fiqh dari Andalusia atau Spanyol abad ke-6 Hijriyah], penjelasan Doktor ‘Abdurrahman [ahli Fiqh abad modern dari Saudi Arabia].

Uraian berdasarkan tulisan Hadhrat Sayyid Zainul Abidin Waliullah Shah Sahib, seorang ahli Hadits Jemaat Ahmadiyah mengenai sebuah Hadits terkait penolakan Zakat.

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Doa untuk umat Islam.

Dzikr-e-Khair dan shalat jenazah gaib untuk Almarhum yang terhormat Sayyidah Qaishar Zhafr Hasyimi Sahibah, istri Zhafr Iqbal Hasyimi Sahib dari Lahore yang wafat pada beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 11 Maret 2022 (Aman 1401 Hijriyah Syamsiyah/07 Sya’ban 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]

(آمين)

Telah saya bahas kesulitan-kesulitan yang dihadapi setelah terpilihnya Hadhrat Abu Bakr sebagai Khalifah. Diantaranya ialah kesulitan pertama yang telah saya jelaskan dan itu adalah kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) yang dirasakan oleh setiap umat Muslim namun yang paling terdampak adalah Hadhrat Abu Bakr yang notabene adalah sahabat Rasulullah (saw) sejak belia, selain itu bagaimana maqom beliau (ra) dalam kesetiaan kepada Rasulullah (saw) dan meraih wawasan hingga ke kedalaman baiat yang mana tidak diraih oleh yang lainnya, namun pada masa itu beliau (ra) memperlihatkan keberanian dan keimanan yang sangat dalam.

Dijelaskan bahwa keadaan yang paling rentan dan mencekam adalah duka lara yang meliputi setelah kewafatan Rasulullah (saw) yang membuat segenap para sahabat seperti kehilangan akal sehat disebabkan oleh duka yang teramat dalam. Disebabkan oleh kewafatan yang tiba-tiba tersebut, tidak ada yang dapat mengendalikan diri, tidak ada yang dapat menggambarkan bagaimana rasanya berpisah dengan Rasulullah (saw).

Peristiwa kewafatan Rasulullah (saw) sedemikian rupa pahit dan menyedihkan sehingga membuat para sahabat terkemuka kehilangan kesadaran. Bagaimana buruknya keadaan seorang pemberani seperti Hadhrat Umar karena tergila gila oleh kecintaan kepada Rasulullah (saw). Beliau berdiri sambil menghunus pedang mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa Muhammad (saw) telah wafat, saya akan penggal lehernya.”

Ini merupakan reaksi yang menggoyahkan umat Islam ketika mendengarnya yakni apakah Rasulullah (saw) benar-benar telah wafat atau tidak? Bahkan, disebabkan oleh kecintaan tersebut hampir saja para pecinta itu melupakan pelajaran dasar Tauhid dan mengatakan, “Tidak. Rasulullah (saw) tidak mungkin wafat dan tidak juga wafat.”

Ketika itu Hadhrat Abu Bakr masuk ke masjid Nabawi lalu berbicara kepada hadirin yang tengah berkumpul saat itu, mengatakan, “Wahai manusia, أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوت Ketahuilah, siapa saja yang menyembah Muhammad (saw) maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan siapa saja yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati.”

Meskipun kecintaan beliau yang tidak terhingga kepada Hadhrat Rasulullah (saw) yang mana tidak ada tandingannya, beliau tetap memberikan pelajaran Tauhid lalu bersabda, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ  “Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Lantas mengapa beliau tidak akan wafat. Apakah jika beliau mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu dan meninggalkan Islam?”

Seperti itulah dengan penuh semangat dan bijak, pada saat itu Hadhrat Abu Bakr menyemangati para sahabat dalam keadaan demikian dan menjadi pelipur lara bagi hati para pecinta yang tengah dilanda nestapa. Di sisi lain beliau pun menopang bangunan tauhid yang tengah goyah.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Segenap anggapan yang timbul di benak para sahabat berkenaan masih hidupnya Rasulullah (saw) telah dijauhkan oleh beliau (ra) dengan menggunakan rujukan Al-Qur’an dalam kesempatan pertemuan yang sifatnya umum. Bersamaan dengan itu juga beliau menjauhkan anggapan keliru yang terdapat di dalam benak sebagian orang bahwa nabi Isa (as) masih hidup. Anggapan keliru itu muncul disebabkan tidak merenungkan Hadits-Hadits Rasulullah (saw) secara seksama.”[1]

Kesedihan besar kedua yang meliputi dan bagaimana Hadhrat Abu Bakr mengatasinya adalah menata umat Muslim dalam untaian mufakat dan kesatuan ketika pemilihan Khilafat. Setelah kewafatan Rasulullah (saw) timbul peluang kekhawatiran lainnya yakni berkumpulnya kaum Anshar di Saqifah Banu Saidah dimana pada awalnya seolah olah Anshar tidak bersedia untuk mengakui siapapun dari antara Muhajirin sebagai Amir atau Khalifah. Begitu pula tampak kaum Muhajirin tidak bersedia untuk mengakui siapapun dari antara kaum Anshar sebagai Amir dan hampir saja selisih pendapat berujung pada pedang, namun dalam keadaan yang mencekam seperti itu Allah Ta’ala memberikan pengaruh pada lisan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan pada segi lain lain Allah Ta’ala mencondongkan kalbu orang-orang kepada Hadhrat Abu Bakr sehingga segala perselisihan dan pertentangan ini berubah kembali menjadi kasih sayang dan persatuan.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as), “Sebagaimana setelah kewafatan Hadhrat Musa (as), Bani Israil patuh dan tidak membantah perkataan Hadhrat Yasyu’ bin Nun dan semuanya memperlihatkan ketaatannya, seperti itu pulalah yang terjadi dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan semua orang menangis ketika berpisah dengan Rasulullah (saw) lalu menerima kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr dengan segenap ketulusan.”[2]

Perkara ketiga yang sangat penting dan bagaimana Hadhrat Abu Bakr mengatasinya, itu adalah keberangkatan laskar Usamah. Rasulullah (saw) telah mempersiapkan laskar tersebut untuk berperang melawan pasukan Romawi di perbatasan negeri syam. Setelah peperangan Mautah dan Tabuk Rasulullah (saw) merasa khawatir jangan sampai disebabkan oleh pertentangan yang meningkat antara Muslim dan Kristen dan disebabkan oleh kekacauan yang ditimbulkan oleh Yahudi, Pasukan Romawi menyerang Arab. Adapun para perang Mautah, Hadhrat Zaid, Hadhrat Ja’far dan Hadhrat Abdullah bin Rawahah yang merupakan komandan pasukan Muslim saat itu silih berganti syahid. Mautah adalah sebuah kota yang terketak di tanah subur sebelah timur Urdun (Yordania).[3]

Berkenaan dengan itu Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَعَى زَيْدًا وَجَعْفَرًا وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ، قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ فَقَالَ Nabi yang mulia (saw) menceritakan syahidnya Hadhrat Zaid, Hadhrat Ja’far dan Hadhrat Abdullah bin Rawahah kepada para sahabat sebelum kabar lebih dulu sampai kepada orang-orang, أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ، ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ ـ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ ـ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ‏ “Zaid telah memegang panji (bendera) lalu syahid. Selanjutnya, Ja’far memegang bendera itu dan syahid juga. Kemudian, Abdullah bin Rawahah memegang bendera itu dan ia pun syahid.” Ketika menceritakan mengenai hal ini, air mata bercucuran mengalir dari mata Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) lalu bersabda, “Bendera itu lalu dipegang oleh satu pedang (Khalid bin Walid) dari pedang-pedang Allah yang dengan perantaraannya Allah memberikan kemenangan atas musuh.”[4]

Setelah itu Rasulullah (saw) sendiri mengajak umat Islam menuju ke arah Tabuk, namun pihak musuh setelah tampil ke medan tempur tidak berani untuk menghadapi pasukan Muslim. Mereka berlindung kawasan bagian dalam negeri Syam dan beranggapan terhindar dari serangan pasukan Muslim sebagai suatu keselamatan. Dampak dari peperangan tersebut, rencana Romawi yang terkait umat Islam semakin membahayakan. Mereka mulai mempersiapkan agresi ke perbatasan Arab. Karena itulah, Rasulullah (saw) memerintahkan Usamah untuk berangkat ke Syam untuk melakukan pencegahan.[5]

Tujuan lainnya adalah untuk membalas kewafatan para syahid pada perang Mutah. Persiapan laskar Usamah telah selesai dua hari sebelum kewafatan Rasulullah (saw) dan telah dimulai sebelum sakitnya beliau. Beliau (saw) telah memerintahkan berperang menghadapi Romawi pada akhir bulan Shafar. Beliau memanggil Hadhrat Usamah dan bersabda, سِرْ إِلَى مَوْضِعِ مَقْتَلِ أَبِيكَ فَأَوْطِئْهُمُ الْخَيْلَ فَقَدْ وَلَّيْتُكَ هَذَا الْجَيْشَ  “Berangkatlah menuju tempat pensyahidan ayahmu, kelilingilah kawasan tersebut dengan kuda-kuda kalian. Saya tetapkan engkau sebagai komandan laskar ini.”[6]  

Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi yang mulia (saw) bersabda, أن يوطئ الخيل تخوم البلقاء والداروم من أرض فلسطين “Kelilingilah Balqa dan Darum dengan kuda-kuda kalian.”[7] Itu artinya, hadapilah mereka yang ingin berperang dengan kekuatan penuh.

Balqa merupakan daerah di negeri Syam yang terletak diantara Damsyiq dan Wadi’ul Qurra.[8] Terkait Daaruum (الداروم), dikatakan itu adalah nama sebuah tempat di Palestina, dekat Ghaza (غزة), terletak di jalur menuju Mesir.[9] Berkenaan dengan tempat-tempat itu tertulis ta’aruf (pengenalan identifikasi) seperti itu.

Dalam memerintahkan untuk berangkat ke negeri Syam, beliau bersabda, فَأَغِرْ صَبَاحًا عَلَى أَهْلِ أُبْنَى وَحَرِّقْ عَلَيْهِمْ وَأَسْرَعِ السَّيْرَ تَسْبِقُ الأَخْبَارَ ، فَإِنْ ظَفَّرَكَ اللَّهُ فَأَقْلِلِ اللُّبْثَ فِيهِمْ وَخُذْ مَعَكَ الأَدِلاَّءَ وَقَدِّمِ الْعُيُونَ وَالطَّلاَئِعَ أَمَامَكَ “Pada pagi harinya lakukanlah serangan ke penduduk Ubna.” Ubna adalah nama area yang terletak di daerah Balqa (البلقاء), negeri Syam. “Berangkatlah dengan cepat supaya sebelum kalian tiba di sana mereka tidak mendapatkan kabar rencana ini. Jika Allah Ta’ala memberikan kesuksesan kepada kalian, maka jangan lama-lama berada di sana. Bawa juga penunjuk jalan dan tunjuk orang yang akan mencari kabar di sana dan mengabarkan padamu dengan benar.”[10]

Hadhrat Rasulullah (saw) mengikatkan bendera dengan tangan beliau sendiri untuk Usamah lalu bersabda, يَا أُسَامَةُ اُغْزُ بِسْمِ اللّهِ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَقَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاَللّهِ “Berjihadlah dengan nama Allah di jalan-Nya. Perangilah mereka yang mengingkari Allah…”[11]

Hadhrat Usamah berangkat dengan membawa bendera tersebut lalu menyerahkannya kepada Hadhrat Buraidah bin al-Hushaibi al-Aslami (بُرَيْدَةَ بْنِ الْحُصَيْبِ الْأَسْلَمِيّ) kemudian beliau mengumpulkan laskar tersebut di kawasan Jurf (الْجُرْفِ). Jurf merupakan tempat yang berjarak 3 mil dari Madinah.

Alhasil, diantara orang-orang terpandang dari kalangan Muhajirin dan Anshar tidak ada satu pun yang tersisa kecuali semuanya diundang untuk ikut dalam perang tersebut. Mereka ialah Hadhrat Abu Bakr (أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ), Hadhrat Umar (عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ), Hadhrat Abu Ubaidah bin Al Jarrah (أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ), Hadhrat Saad bin Abi Waqqas (سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ), Hadhrat Said bin Zaid (سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ), Hadhrat Qatadah bin Nu’man (قَتَادَةُ بْنُ النُّعْمَانِ) dan Hadhrat Salamah bin Aslam (سَلَمَةُ بْنُ أَسْلَمَ بْنِ حَرِيشٍ) semuanya ikut serta.

Ada beberapa orang yang melontarkan keberatan kepada Hadhrat Usamah dengan mengatakan, يُسْتَعْمَلُ هَذَا الْغُلَامُ عَلَى الْمُهَاجِرِينَ الْأَوّلِينَ؟ “Pemuda belia ini dijadikan komandan bagi para Muhajirin awal?” فَغَضِبَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضَبًا شَدِيدًا، فَخَرَجَ وَقَدْ عَصَبَ عَلَى رَأْسِهِ عِصَابَةً وَعَلَيْهِ قَطِيفَةٌ ثُمّ صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمّ قَال Mendengar keberatan tersebut, Rasulullah (saw) sangat marah, saat itu beliau tengah mengikat kepala dengan kain sapu tangan dan menutupi tubuh dengan kain lalu menaiki mimbar dan dan membaca puji sanjung Ilahi serta bersabda, أَمّا بَعْدُ يَا أَيّهَا النّاسُ فَمَا مَقَالَةٌ بَلَغَتْنِي عَنْ بَعْضِكُمْ فِي تَأْمِيرِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ؟ وَاَللّهِ لَئِنْ طَعَنْتُمْ فِي إمَارَتِي أُسَامَةَ لَقَدْ طَعَنْتُمْ فِي إمَارَتِي أَبَاهُ مِنْ قَبْلِهِ وَاَيْمُ اللّهِ إنْ كَانَ لِلْإِمَارَةِ لَخَلِيقًا وَإِنّ ابْنَهُ مِنْ بَعْدِهِ لَخَلِيقٌ لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبّ النّاسِ إلَيّ وَإِنّ هَذَا لَمِنْ أَحَبّ النّاسِ إلَيّ وَإِنّهُمَا لَمُخِيلَانِ لِكُلّ خَيْرٍ فَاسْتَوْصُوا بِهِ خَيْرًا فَإِنّهُ مِنْ خِيَارِكُمْ “Wahai manusia! Keberatan seperti apa yang dilontarkan oleh sebagian kalian atas ditetapkannya Usamah sebagai komandan? Seperti halnya kalian keberatan atas dipilihnya Usamah sebagai komandan, kalian pun sebelum ini berkeberatan atas penetapan ayahnya yaitu Zaid sebagai komandan. Demi Tuhan! Sebagaimana Zaid memiliki kemampuan untuk memimpin, begitu juga Usamah memiliki hal yang sama. Mereka termasuk orang-orang yang sangat saya cintai. Kedua orang ini layak untuk mendapatkan setiap kebaikan.”

Selanjutnya, Nabi (saw) memerintahkan, “Ambillah sebuah pelajaran kebaikan darinya, yaitu Usamah ini, karena ia termasuk salah satu orang terbaik diantara kalian.”[12]

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 bulan Rabiul Awwal, hari Sabtu dua hari menjelang kewafatan Rasulullah (saw). Umat Muslim yang tengah berangkat bersama dengan Hadhrat Usamah berpisah dari Rasulullah (saw) dan ikut serta bersama dengan laskar. Kesehatan Rasulullah (saw) semakin memburuk, namun beliau (saw) menekankan untuk mengirim Usamah bersama laskar.

Pada hari Ahad (Minggu) keadaan kesehatan Rasulullah (saw) semakin buruk dan ketika Hadhrat Usamah kembali menuju laskar, Rasulullah (saw) dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pada hari itu orang-orang memberikan obat kepada beliau. Hadhrat Usamah menundukkan kepala lalu mengecup Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) tidak mampu berbicara lalu beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit dan meletakkannya diatas kepala Usamah. Hadhrat Usamah berkata, فَأَعْرِفُ أَنّهُ كَانَ يَدْعُو لِي “Saya beranggapan beliau (saw) tengah mendoakan saya.”

Hadhrat Usamah kemudian bersiap pergi menuju laskar. Rasulullah (saw) pada hari Senin sadarkan diri lalu bersabda kepada Usamah, اُغْدُ عَلَى بَرَكَةِ اللّهِ “Berangkatlah dengan keberkatan Tuhan.” Hadhrat Usamah lalu pamit kepada Rasul dan berangkat serta memerintahkan pasukan untuk berangkat. Saat tengah berangkat itu ada orang yang datang membawa pesan dari ibunya yang bernama Ummu Ayman yang menyatakan akhir hayat Rasulullah (saw) sudah semakin tampak, keadaan beliau (saw) sudah semakin memprihatinkan. Mendengarkan kabar tersebut, Hadhrat Usamah bersama dengan Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah kembali hadir ke hadapan Rasulullah (saw), saat itu beliau tengah melewati detik-detik terakhir kewafatan.

Pada tanggal 12 bulan Rabiul Awwal [tahun ke-11 Hijriyyah), di hari Senin, setelah matahari terbenam, Rasulullah (saw) wafat, yang karena itu pasukan Muslim kembali dari daerah Jurf ke Madinah lalu Hadhrat Buraidah menancapkan bendera Hadhrat Usamah di dekat pintu rumah Rasulullah (saw).

Berdasarkan satu riwayat, ketika laskar Usamah telah berada di Dzi Khusyab, Rasulullah (saw) wafat.[13] Daerah Dzi Khusyab merupakan nama sebuah lembah diantara Madinah menuju syam.

Setelah baiat kepada Hadhrat Abu Bakr, Abu Bakr memerintahkan kepada Hadhrat Buraidah untuk membawa bendera tersebut ke rumah Usamah lalu berangkat untuk tujuan semula bersama laskar yang dipersiapkan oleh Rasulullah (saw). Hadhrat Buraidah membawa bendera tersebut dan membawa ke tempat pertama laskar berada.[14]

Jumlah laskar tersebut diriwayatkan 3000 orang.[15] Sementara itu, di dalam riwayat lainnya, disebutkan Usamah bin Zaid dikirim ke Syam bersama dengan 700 orang.[16]

Dalam satu Riwayat dikatakan bahwa pada hari kedua setelah kewafatan Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr memerintahkan untuk mengumumkan, “Misi pasukan Usamah harus segera diselesaikan. Jangan ada satu pun laskar Usamah yang tertinggal di Madinah, namun mereka semua harus menemui laskar mereka di Jurf.”[17]

Setelah kewafatan Rasulullah (saw) telah menyebar kabar kemurtadan di setiap kabilah, baik di kalangan orang-orang khusus atau pun umum di Arab. Tampaklah pula kemunafikan. Pada saat itu orang-orang Yahudi dan Nasrani melebarkan pandangannya [sangat bahagia dan mencari-cari celah kesempatan memanfaatkan kelemahan orang Muslim].

Kewafatan Nabi yang mulia, kurangnya jumlah umat Islam dan disebabkan banyaknya jumlah musuh membuat keadaan mereka ibarat domba-domba yang siap diserang yaitu sungguh tidak berimbang dan sama sekali tak berdaya. Orang-orang mengatakan kepada Hadhrat Abu Bakr, إِنَّ هَؤُلَاءِ – يَعْنُونَ جَيْشَ أُسَامَةَ – جُنْدُ الْمُسْلِمِينَ، وَالْعَرَبُ عَلَى مَا تَرَى قَدِ انْتَقَضَتْ بِكَ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُفَرِّقَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ عَنْكَ Yang mereka anggap sebagai laskar Muslim hanya laskar Usamah saja dan seperti yang anda lihat orang-orang Arab telah membangkang kepada anda. Untuk itu tidaklah sesuai jika membiarkan pasukan Muslim terpisah dari kita yakni dengan mengirim laskar Usamah.

Hadhrat Abu Bakr bersabda: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ ظَنَنْتُ أَنَّ السِّبَاعَ تَخْتَطِفُنِي لَأَنْفَذْتُ جَيْشَ أُسَامَةَ كَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – “Sekalipun hewan buas menyeretku, aku tetap akan mengirim laskar tersebut sesuai dengan perintah Rasul dan aku akan tetap melaksanakan perintah Rasulullah (saw).”[18]

Dalam satu Riwayat dikatakan bahwa Hadhrat Abu Bakr bersabda, وَاَلّذِي لَا إلَهَ إلّا هُوَ لَوْ جَرّتْ الْكِلَابُ بِأَرْجُلِ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا رَدَدْت جَيْشًا وَجّهَهُ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ . وَلَا حَلَلْت لِوَاءً عَقَدَهُ . فَوَجّهَ أُسَامَةَ “Demi Dzat yang tidak ada sembahan selainnya, sekalipun anjing-anjing menyeret kaki para istri Rasulullah (saw), saya tidak akan memanggil kembali laskar yang telah dikirim oleh Rasulullah (saw). Tidak juga saya akan membuka bendera yang telah diikat oleh Rasulullah (saw).”[19]

Terkait:   Tanda-tanda Kebenaran Hadhrat Masih Mau'ud as

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika Rasul yang mulia (saw) wafat, seluruh Arab menjadi murtad. Insan pemberani seperti Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat ‘Ali, setelah melihat kekacauan tersebut terheran-heran. Ketika menjelang kewafatannya, Hadhrat Rasulullah (saw) mempersiapkan sebuah laskar untuk menyerang ke daerah Romawi dan Hadhrat Usamah diangkat sebagai komandannya. Belum lagi laskar tersebut berangkat, Rasulullah (saw) telah terlebih dulu wafat.

Ketika orang-orang Arab murtad setelah kewafatan beliau, para sahabat berpandangan bahwa jika dalam waktu pemberontakan seperti ini pasukan Usamah tetap dikirim untuk menghadapi wilayah Romawi maka hanya akan tersisa mereka yang tua, anak-anak dan wanita dan tidak ada lagi jalan untuk menjaga Madinah. Maka dari itu, mereka mengusulkan supaya ada utusan dari beberapa sahabat terkemuka yang akan pergi menemui Hadhrat Abu Bakr untuk memohon agar pengiriman pasukan tersebut ditunda hingga pemberontakan reda. Hadhrat Umar dan beberapa sahabat lain hadir di hadapan Hadhrat Abu Bakr dan beliau menyampaikan permohonan tersebut.

Ketika Hadhrat Abu Bakr mendengar hal ini, maka beliau memberi jawaban kepada utusan tersebut dengan sangat marah, ‘Apakah Anda semua menghendaki bahwa setelah kewafatan Rasul yang mulia (saw), pekerjaan paling pertama dari putra Abu Quhafah adalah ia menahan Pasukan yang telah diperintahkan Rasul yang mulia (saw) untuk diberangkatkan?’ lalu bersabda, ‘Demi Tuhan, seandainya pasukan musuh masuk ke Madinah, hingga anjing pun menarik-narik jenazah para wanita Muslim, saya tetap tidak akan menahan pasukan yang telah diputuskan oleh Rasul yang mulia (saw) untuk diberangkatkan.’ Keberanian dan kepahlawanan ini muncul di dalam diri Hadhrat Abu Bakr karena Allah Ta’ala telah berfirman, مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ ‘Muhammad utusan Allah dan orang-orang yang besertanya bersikap tegas kepada orang-orang ingkar.’ Seperti ketika suatu kawat biasa bertemu dengan petir yang hebat, timbul kekuatan yang luar biasa di dalamnya. Demikian pula sebagai buah dari menjalin hubungan dengan Muhammad Rasulullah (saw), para sahabat beliau pun menjadi pemenuhan ayat أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ ‘bersikap tegas kepada orang-orang ingkar.’”[20]

Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) di dalam karya beliau Sirrul Khilafah (“سر الخلافة”) menjelaskan tentang keberangkatan pasukan Usamah, قال ابن الأثير في تاريخه : وَلَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَوَصَلَ خَبَرُهُ إِلَى مَكَّةَ، وَعَامِلِهِ عَلَيْهَا عَتَّابِ بْنِ أَسِيدِ ، اسْتَخْفَى عَتَّابُ وَارْتَجَّتْ مَكَّةُ، وَكَادَ أَهْلُهَا يَرْتَدُّونَ (الجزء الأول صفحة 134) وقال أيضا: وَارْتَدَّتِ الْعَرَبُ إِمَّا عَامَّةً أَوْ خَاصَّةً مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ، وَظَهَرَ النِّفَاقُ، وَاشْرَأَبَّتْ يَهُودُ وَالنَّصْرَانِيَّةُ، وَبَقِيَ الْمُسْلِمُونَ كَالْغَنَمِ فِي اللَّيْلَةِ الْمَطِيرَةِ؛ لِفَقْدِ نَبِيِّهِمْ، وَقِلَّتِهِمْ وَكَثْرَةِ عَدُوِّهِمْ. فَقَالَ النَّاسُ لِأَبِي بَكْرٍ: إِنَّ هَؤُلَاءِ – يَعْنُونَ جَيْشَ أُسَامَةَ – جُنْدُ الْمُسْلِمِينَ، وَالْعَرَبُ عَلَى مَا تَرَى قَدِ انْتَقَضَتْ بِكَ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُفَرِّقَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ عَنْكَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ ظَنَنْتُ أَنَّ السِّبَاعَ تَخْتَطِفُنِي لَأَنْفَذْتُ جَيْشَ أُسَامَةَ كَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، ولا أردّ قضاءً قضى به رسول الله “Ibnu al-Atsir menulis di dalam buku tarikhnya, ‘Tatkala Rasulullah (saw) wafat dan kabar kewafatan beliau telah sampai di Makkah dan gubernur Mekkah bernama ‘Attab bin Asid maka ‘Attab pun terdiam diri sedangkan Makkah bergejolak dan hampir saja penduduknya menjadi murtad.’[21] Selanjutnya ia menulis, ‘Bangsa Arab telah menjadi murtad dan setiap kabilah baik awam maupun khas telah munafik, yakni mereka telah menjadi murtad. Telah nyata kemunafikan di setiap kabilah baik awam maupun khas. Lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani mulai mengangkat kepala mereka dan menyaksikannya. Keadaan umat Muslim – karena kewafatan Nabi-nya dan karena sedikitnya jumlah mereka sementara jumlah musuh yang banyak – adalah laksana kawanan kambing dan domba di malam penuh hujan. Atas hal ini, orang-orang berkata kepada Abu Bakr, “Yang dianggap sebagai laskar oleh orang-orang hanyalah pasukan yang dipimpin oleh Usamah dan Anda pun menyaksikan orang-orang Arab telah memberontak kepada Anda. Jadi, tidaklah tepat jika anda memberangkatkan pasukan Muslim ini.”

Atas hal ini Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Saya bersumpah demi Dzat yang jiwa saya ada di genggaman-Nya; seandainya saya pun yakin bahwa binatang buas akan menghabisi saya, saya tetap akan mengirim pasukan Usamah sesuai dengan perintah Rasulullah (saw). Saya tidak dapat membatalkan keputusan yang telah diberikan oleh Rasulullah (saw).”’”[22]

Alhasil, Hadhrat Abu Bakr telah menegakkan perintah Rasulullah (saw) sebagaimana mestinya, dan telah melaksanakannya. Beliau memerintahkan para sahabat yang termasuk di dalam pasukan Hadhrat Usamah untuk kembali ke dalam barisan. Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Setiap orang yang sebelumnya ikut di dalam pasukan Usamah dan Rasulullah (saw) telah memerintahkannya untuk ikut serta, mereka sama sekali janganlah mundur dan saya tidak akan memberikan mereka izin untuk mundur. Mereka harus ikut meskipun dengan berjalan kaki, dan jangan ada satu pun diantara mereka yang tertinggal.”[23] Alhasil, pasukan ini pun kembali siap.

Beberapa Sahabat ada yang masih menyampaikan pendapat mereka karena melihat keadaan yang rapuh supaya pengiriman pasukan ini ditunda. Menurut satu riwayat, Hadhrat Usamah berkata kepada Hadhrat Umar, ارْجِعْ إِلَى خَلِيفَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذِنْهُ يَأْذَنْ لِي فَأُرْجِعَ النَّاسُ ، فَإِنَّ مَعِيَ وُجُوهَ النَّاسِ وَحْدَهُمْ ، وَلا آمَنُ عَلَى خَلِيفَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَثِقْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَثْقَالِ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَخَطَّفَهُمُ الْمُشْرِكُونَ “Mohon tuan sampaikan kepada Hadhrat Abu Bakr untuk membatalkan keberangkatan laskar supaya kita dapat balik lagi untuk menghadapi orang-orang yang murtad dan juga dapat melindungi Khalifah Rasul Allah, keluarga Rasul dan segenap kaum Muslim terjaga dari serangan-serangan kaum musyrik.”

Beberapa sahabat Anshar pun berkata kepada Hadhrat Umar, فَإِنْ أَبَى إِلا أَنْ نَمْضِيَ وَأَبْلِغْهُ عَنَّا ، وَاطْلُبْ إِلَيْهِ أَنْ يُوَلِّيَ أَمْرَنَا رَجُلا أَقْدَمَ سِنًّا مِنْ أُسَامَةَ “Jika Hadhrat Abu Bakr tetap berkeinginan untuk memberangkatkan laskar, sampaikanlah permohonan kami kepada beliau supaya menetapkan seorang yang usianya lebih dewasa dari Usamah sebagai komandan (pemimpin pasukan).”

Atas permintaan Hadhrat Usamah, Hadhrat Umar pun menghadap kepada Hadhrat Abu Bakr dan menyampaikan kepada beliau apa yang telah dikatakan oleh Hadhrat Usamah. Atas hal ini, Hadhrat Abu Bakr bersabda, لَوِ اخْتَطَفَتْنِي الْكِلابُ وَالذِّئَابُ لَمْ أَرُدَّ قَضَاءً قَضَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Seandainya anjing-anjing dan serigala-serigala sekalipun menerjang dan menghabisi saya, saya tetap akan menjalankan keputusan ini sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Rasulullah (saw).” Maknanya, “Saya tidak akan mengubah keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah (saw). Saya tetap akan melaksanakan keputusan ini kendati tidak ada seorang pun yang tersisa selain saya di tempat-tempat ini.”

Setelah itu Hadhrat Umar menyampaikan pesan dari orang-orang Anshar, “Golongan Anshar menghendaki seseorang yang lebih dewasa usianya dari Usamah untuk menjadi Amir.”

Atas hal ini Hadhrat Abu Bakr berdiri. Sebelumnya beliau duduk, lalu beliau memegang janggut Hadhrat Umar dan bersabda, ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَعَدِمَتْكَ يَابْنَ الْخَطَّابِ ، اسْتَعْمَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَأْمُرُنِي أَنْ أَنْزِعَهُ “Wahai putra al-Khaththab! Semoga ibumu kehilanganmu! Rasulullah (saw)-lah yang telah mengangkatnya sebagai Amir lalu Anda meminta saya untuk menyingkirkannya dari kedudukan Amir itu?”[24]

Ketika Hadhrat Umar kembali kepada orang-orang, mereka bertanya kepada beliau, “Bagaimana jadinya?” Hadhrat Umar berkata dengan nada tinggi, امْضُوا ثَكِلَتْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ. مَا لَقِيتُ فِي سَبَبِكُمُ الْيَوْمَ مِنْ خَلِيفَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Tinggalkan saya segera! Semoga ibu kalian kehilangan kalian – Hadhrat Umar kecewa terhadap mereka dan mengungkapkan ketidaksukaanya – karena kalianlah saya dimarahi Khalifah Rasulullah (saw) – maksudnya, Hadhrat Abu Bakr sangat menganggap buruk ucapan saya – .” [25]

Ketika laskar Usamah telah berkumpul di daerah Jurf berdasarkan perintah Hadhrat Abu Bakr, saat itu pun Hadhrat Abu Bakr berangkat ke sana. Beliau lalu memeriksa pasukan Muslim dan memberi nasihat kepada mereka. Pemandangan saat keberangkatan pun sangat mengagumkan. Pada saat itu Hadhrat Usamah tengah berada di atas kendaraan [hewan tunggangan, unta atau kuda] sedangkan Hadhrat Abu Bakr yang merupakan Khalifatur Rasul berjalan kaki.

Hadhrat Usamah bertanya: يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَرْكَبَنَّ أَوْ لأَنْزِلَنَّ “Wahai Khalifah Rasulullah (saw)! Jika Hudhur (Tuan) tidak menaiki kendaraan, izinkan saya turun dan berjalan kaki juga.”

Hadhrat Abu Bakr bersabda, وَاللَّهِ لا تَنْزِلُ ، وَوَاللَّهِ لا أَرْكَبُ ، وَمَا عَلِيَّ أَنْ أُغَبِّرَ قَدَمَيَّ سَاعَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ ، فَإِنْ لِلْغَازِي بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا سَبْعُمِائَةِ حَسَنَةٍ تُكْتَبُ لَهُ ، وَسَبْعُمِائَةِ دَرَجَةٍ تُرْفَعُ لَهُ ، وَتُمْحَى عَنْهُ سَبْعُمِائَةِ خَطِيئَةٍ ، حَتَّى إِذَا انْتَهَى “Demi Tuhan! Kamu tidak boleh turun. Saya juga tidak akan naik kendaraan. Tidak bolehkah saya mengotori kedua kaki saya dengan debu-debu untuk melangkah di jalan Allah walaupun beberapa saat? Sebab, ketika seorang pejuang yang ikut serta dalam suatu ghazwah melangkahkan kaki maka sebagai ganjarannya telah Allah tetapkan 700 kebaikan baginya dan akan dianugerahkan kepadanya 700 derajat ketinggian dan 700 keburukannya akan dihilangkan.” [26]

Kemudian, Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada Hadhrat Usamah, “Jika menurut Anda tepat, maka biarkanlah Hadhrat Umar membantu saya dalam tugas-tugas saya.” Maka Hadhrat Usamah pun mengizinkannya.[27]

Setelah peristiwa tersebut, kapan pun Hadhrat Umar jumpa dengan Hadhrat Usamah selalu mengucapkan, السَّلامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الأَمِيرُ ‘Assalamu ‘alaika, ayyuhal Amiir’ – “Wahai Amir (Komandan)! Semoga kesejarahteraan tercurah kepada Anda.”

Sebagai jawabannya Hadhrat Usamah berkata, غَفَرَ اللَّهُ لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‘Ghafarallaahu laka yaa Amiiral mu’miniin.’ – “Wahai Amirul Mukminiin semoga Allah Ta’ala menganugerahkan magfirah (ampunan)nya kepada tuan.”[28]

Hal ini terus berlanjut. Di bagian paling akhir, Hadhrat Abu Bakr Siddiq bersabda kepada segenap pasukan, يَا أَيُّهَا النَّاسُ قِفُوا أُوصِكُمْ بِعَشْرٍ فَاحْفَظُوهَا عَنِّي : لا تَخُونُوا ، وَلا تَغِلُّوا ، وَلا تَغْدِرُوا ، وَلا تُمَثِّلُوا ، وَلا تَقْتُلُوا طِفْلا صَغِيرًا ، وَلا شَيْخًا كَبِيرًا ، وَلا امْرَأَةً ، وَلا تَعْقِرُوا نَخْلا وَلا تُحَرِّقُوهُ ، وَلا تَقْطَعُوا شَجَرَةً مُثْمِرَةً ، وَلا تَذْبَحُوا شَاةً وَلا بَقَرَةً وَلا بَعِيرًا إِلا لِمَأْكَلَةٍ “Saya menasihatkan Anda semua akan 10 hal yaitu janganlah Anda sekalian berkhianat, janganlah mencuri dari harta ghanimah, janganlah mengingkari janji, janganlah melakukan mutslah (yakni memotong bagian tubuh seseorang, janganlah memotong hidung, telinga, mencungkil matanya, dan merusak wajah mereka); janganlah membunuh anak-anak kecil, orang-orang tua dan para wanita; janganlah memotong pohon kurma dan janganlah membakarnya; janganlah menebang pohon yang berbuah lebat; janganlah menyembelih kambing, sapi, dan unta kecuali untuk dimakan;  وَسَوْفَ تَمُرُّونَ بِأَقْوَامٍ قَدْ فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الصَّوَامِعِ ، فَدَعُوهُمْ وَمَا فَرَّغُوا أَنْفُسَهُمْ لَهُ ، وَسَوْفَ تَقْدَمُونَ عَلَى قَوْمٍ يَأْتُونَكُمْ بِآنِيَةٍ فِيهَا أَلْوَانُ الطَّعَامِ ، فَإِذَا أَكَلْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ ؛ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا  “Kalian pasti akan melewati suatu kaum yang telah membaktikan diri untuk beribadah di gereja-gereja, janganlah mengganggu mereka dan biarkanlah mereka ada pada keadaan mereka (yakni janganlah mengganggu siapapun rahib atau pendeta nasrani di sana). Kalian juga akan mendapati orang-orang yang menyajikan beragam makanan dalam wadah-wadah yang jika kalian memakannya, makanlah dengan terlebih dahulu membaca basmalah (menyebut nama Allah) (Maksudnya, janganlah kalian menjadi tidak memakan apa yang telah mereka hidangkan kepada Anda dan menyebutnya haram. Makanlah dengan mengucapkan basmalah); وَتَلْقَوْنَ أَقْوَامًا قَدْ فَحَصُوا أَوْسَاطَ رُءُوسِهِمْ وَتَرَكُوا حَوْلَهَا مِثْلَ الْعَصَائِبِ ، فَاخْفِقُوهُمْ بِالسَّيْفِ خَفْقًا ، انْدَفِعُوا بِاسْمِ اللَّهِ أَقْنَاكُمُ اللَّهُ بِالطَّعْنِ وَالطَّاعُونِ Kalian pasti akan memasuki suatu kaum yang meniadakan (mencukur) rambutnya pada bagian tengahnya, namun mereka menyisakan rambut pada bagian sisi-sisinya seperti halnya kain pengikat. Maka sampaikanlah kabar mereka melalui pedang.” Mengenai orang-orang ini, terdapat riwayat yang berbeda. Tertera bahwa ada suatu golongan Nasrani dimana mereka bukanlah rahib, namun mereka sebagai pemimpin agama dan mereka terus menyulut api peperangan melawan kaum Muslim, dan mereka pun ikut serta dalam peperangan. Maka dari itulah Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Bagi para rahib yang berada di dalam gereja-gereja, janganlah mereka diusik dan berperang dengan mereka, namun Anda harus berperang melawan orang-orang seperti tadi dan mereka yang ada di belakang yang menyulut peperangan, karena mereka adalah orang-orang yang berperang dan juga yang menyulut peperangan.” Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Berangkatlah dengan nama Allah. Semoga Allah menjaga Anda sekalian dari setiap luka atau penyakit dan wabah.”[29]

Kemudian, Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada Hadhrat Usamah agar ia melaksanakan apa saja yang telah diperintahkan oleh Rasulullah (saw) kepadanya dan jangan sampai ada kekurangan apapun dalam menjalankan perintah Rasulullah (saw).[30] Setelah itu Hadhrat Abu Bakr membawa Hadhrat Umar untuk kembali ke Madinah.

Hadhrat Abu Bakr memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid di akhir bulan Rabiul Awwal tahun ke-11 Hijriah. Menurut satu riwayat lain, beliau memberangkatkannya pada 1 Rabiul Tsani 11 Hijriyah (tanggal 1 bulan Rabiul Akhir tahun ke-11 Hijriyah). Setelah menempuh perjalanan 20 malam, Hadhrat Usamah tiba di dekat pemukimann warga Ubna dan menyerang mereka secara tiba-tiba. Yel-yel yang dikumandangkan kaum Muslim pada pertempuran tersebut adalah, يَا مَنْصُورُ أَمِتْ ‘Ya manshuru, amit!’ – “Wahai yang mendapat pertolongan, bertempurlah.” Artinya, seranglah siapapun yang datang untuk melawan. Siapapun yang datang mereka segera membunuhnya, dan siapapun yang tertangkap mereka menawannya.

Hadhrat Usamah menggerakkan para prajurit berkuda beliau di medan perang. Di hari itu, mereka sibuk mengurus semua harta ghanimah yang mereka peroleh. Hadhrat Usamah menunggangi kuda milik Ayahandanya yang bernama Sabhah (سبحة) dan melawan mereka serta membunuh pembunuh ayahnya. Tatkala sore tiba, Hadhrat Usamah memerintahkan semua orang untuk kembali dan mempercepat perjalanannya. Beliau tiba di Wadiul Qura dalam waktu 9 malam dan beliau memberangkatkan kafilah untuk menyampaikan kabar suka ke Madinah yaitu kabar selamatnya pasukan Islam. Kafilah itu berangkat dan tiba di Madinah dalam waktu 6 malam.

Di perang ini, tidak ada satu pun Muslim yang disyahidkan. Tatkala pasukan yang telah berhasil dan menang ini tiba di Madinah, Hadhrat Abu Bakr pun bersama para Muhajirin dan warga Madinah seraya gembira atas keberhasilannya, keluar dari Madinah untuk menerima mereka. Hadhrat Usamah masuk ke Madinah dengan menunggangi kuda ayahandanya dan Hadhrat Buraidah bin Husaib berada di depan beliau seraya mengangkat bendera hingga beliau pun tiba di Masjid Nabawi. Setiba di Masjid, beliau shalat 2 raka’at lalu pulang ke rumah. Menurut beberapa riwayat lain, pasukan ini kembali ke Madinah setelah 40 hingga 70 hari. [31]

Tertera bahwa ini merupakan bentuk kecintaan Hadhrat Abu Bakr kepada Rasulullah (saw), karena terhadap bendera yang telah Rasulullah (saw) ikat dan berikan sendiri kepada Usamah, Hadhrat Abu Bakr bersabda, والله لا أحل عقدة عقدها رسول الله ﷺ “Bagaimana mungkin saya putra Abu Quhafah membuka ikatan bendera yang telah diikat sendiri oleh tangan Nabi yang amat mulia (saw).” Alhasil, saat pasukan Usamah kembali, ikatan bendera itu tetap tidak dibuka dan bendera itu terus ada di rumah Usamah hingga kewafatan Hadhrat Usamah.

Mengenai pengaruh pasukan Usamah ini, tertulis bahwa pengaruh keberangkatan pasukan ini sangat penting dan berkelanjutan. Pertama, semua orang yang sebelumnya dengan keras menyatakan bahwa hendaknya pasukan Usamah tidak diberangkatkan dengan alasan keadaan saat itu, pada akhirnya mereka mengetahui betapa keputusan Khalifah sangat tepat dan bermanfaat. Dan mereka mengetahui betapa Hadhrat Abu Bakr memiliki pandangan yang sangat mendalam dan memiliki pemahaman serta firasat.

Kedua, sebelum keberangkatan pasukan ini, para kabilah Arab berpikir bahwa kekuatan kaum Muslim telah lemah dan mereka berpikir kini kaum Muslim tidak memiliki kekuatan apapun. Maka keberangkatan pasukan ini cukup memberikan pengaruh atas mereka.

Ketiga, di perbatasan-perbatasan Arab, telah muncul rasa takut dari kekuatan-kekuatan luar Arab khususnya bangsa romawi pada kaum Muslim. Orang-orang Romawi berkata, “Bagaimana bisa bangsa Arab, yang mana Nabi mereka telah wafat, namun tetap menyerang negeri Romawi?”

Sir Thomas Walker Arnold, ahli pendidikan dan orientalis Inggris terkenal menulis tentang pasukan Usamah, “AFTER the death of Muhammad, the army he had intended for Syria was despatched thither by Abu Bakr, in spite of the protestations made by certain Muslims in view of the then disturbed state of Arabia. He silenced their expostulations with the words: ‘‘I will not revoke any order given by the Prophet. Medina may become the prey of wild beasts, but the army must carry out the wishes of Muhammad.’’ This was the first of that wonderful series of campaigns in which the Arabs overran Syria, Persia and Northern Africa—overturning the ancient kingdom of Persia and despoiling the Roman Empire of some of its fairest provinces.” Terjemahannya sebagai berikut, “Setelah kewafatan Muhammad (saw), Abu Bakr memberangkatkan pasukan Usamah, yang sebelumnya telah diperintahkan oleh Nabi yang mulia (saw) untuk bergerak menuju Syam. Meskipun kaum Arab tengah dirundung kegentaran, dan sebagian umat Islam pun berbeda pendapat, Hadhrat Abu Bakr menjawab penolakan mereka dan membuat mereka terdiam dengan sabda beliau yaitu, ‘Saya tidak akan membatalkan perintah apapun yang diterima dari Rasulullah (saw) meskipun Madinah akan menjadi santapan binatang-binatang buas. Bagaimanapun juga, kehendak Hudhur (saw) atas pasukan ini pasti akan dipenuhi.’ Ini merupakan yang pertama diantara gerakan-gerakan luar biasa beliau, yang pada akhirnya Syam, Iran, dan Afrika Utara pun kelak ditaklukkan dan Kekaisaran Persia kelak dilenyapkan dan negeri-negeri besar dan utama yang ada dibawah kerajaan Romawi pun menjadi terbebaskan.”[32]

Demikian pula di satu tempat lain tertera mengenai hal ini yaitu di dalam Encyclopedia of Islam, dibawah nama Hadhrat Usamah, The newly-elected caliph Abu Bakr ordered the expedition to be resumed, in accordance with the Prophet’s wishes, though the tribes were already in revolt. Usama reached the region of al-Balka in Syria, where Zayd had fallen, and raided the village of Ubna…… His victory brought joy to Medina, depressed by news of the ridda, thus acquiring an importance out of proportion to its real significance, which caused it later to be regarded as the beginning of a campaign for the conquest of Syria. Khalifah yang baru terpilih, Abu Bakr memerintahkan agar pasukan Usamah kembali merapatkan barisan untuk menyempurnakan kehendak-kehendak Nabi (saw). Meskipun sejak awal telah tersebar pemberontakan dari berbagai kabilah, Usamah tetap begerak ke Syam dan tiba di daerah Balqa, yaitu tempat dimana Zaid telah terbunuh, lalu Usamah menyerang permukiman Ubna. Dengan kemenangan beliau, para warga Madinah yang sebelumnya telah sangat khawatir dengan berita-berita kemurtadan, mereka larut dalam kegembiraan. Alhasil, gerakan ini memberikan manfaat yang lebih dari sekadar keberangkatan pasukan, dan ini menjadi suatu tonggak awal bagi penaklukan Syam di kemudian hari.”[33]

Kemudian, satu hal lain yang harus dihadapi oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah para penolak dan pengingkar zakat serta kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka. Tatkala kabar kewafatan Rasulullah (saw) tersebar di seluruh Arab, gelombang pemberontakan dan penolakan pun mulai menyeruak. Allamah Ibnu Ishaq (محمد بن إسحاق) menuturkan, ارتدت العرب عند وفاة رسول الله ﷺ ما خلا أهل المسجدين مكة والمدينة “Di waktu kewafatan Rasulullah (saw), seluruh Arab melakukan penentangan, kecuali mereka yang berada di dua (2) masjid yakni Makkah dan Madinah.”[34]

Terkait:   Kehidupan Hadhrat Rasulullah SAW (VI): Peristiwa di Dalam Perang Badar

Setelah kewafatan Rasulullah (saw), para warga Makkah memang terlindungi dari melakukan penentangan. Rincian tentang ini sebagai berikut: Suhail bin Amru, yang telah menerima Islam di peristiwa Fath Makkah pernah menjadi tawanan di perang Badr karena sebagai kaum kafir. Ia menjadikan mulutnya sebagai senjata menyerang Islam. Saat itu Hadhrat Umar berkata kepada Rasulullah (saw), “Ya Rasulullah (saw), mohon agar Hudhur izinkan saya menanggalkan kedua gigi depannya karena ia menggunakannya untuk menyerang sehingga dengan ini ia tidak akan pernah lagi dapat berpidato [menyerang Islam].”

Rasulullah (saw) bersabda, دعه يا عمر، فعسى أن يقوم مقامًا تحمده عليه “Wahai Umar! Biarkan dia. Tidak lama lagi dia akan menempati kedudukan yang membuatmu memujinya.”

Hadhrat Umar (ra) ingin menjatuhinya hukuman. Namun Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, “Tidak! Jangan katakan apa pun! Akan tiba kesempatan ketika ia akan berdiri pada suatu kedudukan dan ia akan menyampaikan pembicaraan yang akan membuatmu memujinya.”[35]

Singkatnya, ‘Allamah Ibnu Ishaq menuturkan, “Kedudukan ini datang ketika Hadhrat Rasulullah (saw) wafat. Orang-orang Makkah menjadi terguncang. Ketika Quraisy melihat orang-orang Arab menjadi murtad dan ‘Attab bin Usaid, Amir yang ditetapkan oleh Hadhrat Rasulullah (saw) untuk penduduk Makkah hanya berdiam diri, maka pada kesempatan itu Hadhrat Suhail bin Amru (ra) berdiri menyampaikan pidato dan mengatakan, يا معشر قريش، لا تكونوا آخر من أسلم وأول من ارتد، والله إن هذا الدين ليمتدن امتداد الشمس والقمر من طلوعهما إِلَى غروبهما “Wahai orang-orang Quraisy! Janganlah kalian menjadi orang yang paling akhir memeluk Islam dan paling awal murtad meninggalkannya. Demi Allah! Agama ini [yaitu Islam] akan membentang luas sebagaimana rembulan dan matahari membentang luas dari mulai terbit hingga terbenamnya.” Demikian juga Hadhrat Suhail (ra) menyampaikan sebuah pidato yang panjang. Pidato ini menyentuh hati orang-orang Makkah dan mereka berhenti. Hadhrat ‘Attab bin Usaid (ra) yang berdiam diri pun dipanggil. Quraisy menjadi teguh dalam Islam. [36]

Mereka yang memilih murtad ada beberapa jenis. Seorang penulis Sirah (biografi) Hadhrat Abu Bakr (ra) [yaitu penulis Ali Muhammad ash-Shalabi] menulis mengenai mereka sebagai berikut, “Kemurtadan pun memiliki beragam bentuk. Sebagian orang meninggalkan Islam sepenuhnya dan memilih menyembah berhala. Sebagian orang mendakwakan kenabian. Sebagian orang tetap mengakui Islam dan melaksanakan sholat namun berhenti membayar zakat. Sebagian orang merasa senang dengan kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) dan terjerumus dalam adat kebiasaan dan amalan-amalan jahiliah. Sebagian orang menjadi mangsa keragu-raguan dan menunggu-nunggu siapa yang akan meraih kejayaan. Semua corak penjelasan tersebut disampaikan oleh para Ulama ahli Sirah (biografi dan sejarah) dan ahli Fiqh.

Imam al-Khathabi menuturkan bahwa orang-orang murtad terbagi menjadi dunia jenis: Jenis pertama adalah mereka yang murtad dari agama, meninggalkan keyakinan dan kembali pada kekafiran. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama adalah orang-orang yang beriman kepada Musailamah Al-Kadzab dan Aswad ‘Ansi. Orang-orang ini membenarkan pendakwaan mereka dan mengingkari kenabian Hadhrat Rasulullah (saw). Kelompok kedua adalah mereka yang murtad dalam Islam dan menolak perintah-perintah syariat. Mereka meninggalkan sholat, zakat serta perkara-perkara lainnya dan kembali pada agama jahiliah.

Jenis orang-orang murtad yang kedua adalah mereka yang membeda-bedakan antara sholat dan zakat. Mereka mengakui sholat, namun mengingkari kewajiban zakat dan menolak kewajiban untuk menyerahkannya pada Khalifah. Di antara mereka yang menghentikan zakat juga terdapat orang-orang yang ingin membayar zakat, namun para pemimpin mereka mencegah mereka darinya.[37]

Dari berbagai pengkategorian orang-orang murtad yang bermacam-macam ini, yang paling mendekati adalah pengkategorian yang dilakukan oleh Qadhi ‘Iyadh. Namun beliau membagi menjadi tiga jenis: pertama adalah mereka yang menyembah berhala; kedua adalah mereka yang mengikuti Musailamah al-Kadzdzab dan Aswad Ansi. Keduanya mendakwakan kenabian. Yang ketiga adalah mereka yang tetap dalam Islam, namun mengingkari zakat dan menjadi korban penafsiran bahwa kewajiban zakat terbatas hingga masa Nabi Muhammad (saw) saja.[38]

Kemudian Doktor Abdurrahman menuturkan bahwa orang-orang murtad terbagi menjadi empat jenis: Yang pertama adalah mereka yang menjadi penyembah berhala. Yang kedua adalah mereka yang menjadi pengikut para pendakwa kenabian palsu, yaitu Aswad Ansi, Musailamah Kadzab dan Sajjah. Yang ketiga adalah mereka yang mengingkari kewajiban zakat. Dan yang keempat adalah mereka yang tidak mengingkari kewajiban zakat, namun menolak untuk memberikannya pada Hadhrat Abu Bakr (ra).”[39]

Yang paling menonjol di antara mereka menolak zakat adalah kabilah-kabilah yang ada di dekat Madinah, yaitu Kabilah Abs dan Dzubyan dan kabilah-kabilah yang berdampingan dengan mereka, yaitu Banu Kinanah, Ghathfan dan Fazarah.[40] Kabilah Hawazin merasa ragu-ragu, mereka pun ingkar dari pembayaran zakat.[41]

Terdapat riwayat mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra) meminta masukan dari para sahabat berkenaan dengan para pengingkar zakat. Hadhrat Abu Bakr (ra) mengumpulkan para sahabat besar dan meminta saran dari para sahabat mengenai berperang dengan orang-orang yang mengingkari zakat. Yakni mereka yang mengatakan dirinya sebagai Muslim, tetapi ingkar dari membayar zakat.

Hadhrat Umar bin Khattab (ra) dan sebagian besar umat Islam berpendapat, “Kita hendaknya jangan berperang dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hendaknya bersatu dengan mereka melawan orang-orang murtad.” Sebagian tidak setuju dengan pendapat ini, namun jumlah mereka sedikit.[42]

Berdasarkan satu riwayat, para sahabat memberikan saran kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) supaya membiarkan para pengingkar zakat pada keadaan mereka dan bersikap persuasif terhadap mereka hingga keimanan menjadi teguh di hati mereka, kemudian zakat dipungut dari mereka. Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak menyetujui dan menolak pendapat ini.[43]

Hadhrat Abu Bakr (ra) mendukung pendapat yang menyatakan bahwa hendaknya berperang dengan para pengingkar zakat dan memaksa mereka membayar zakat. Beliau begitu bersikeras dalam perkara ini sehingga ketika berdiskusi beliau mengatakan dengan kata-kata yang keras bahwa, “Demi Allah! Jika orang-orang yang mengingkari zakat menolak memberikan kepadaku seutas tali yang biasa mereka bayarkan pada zaman Rasulullah (saw), maka aku akan memerangi mereka.”[44] Dalam satu riwayat Bukhari terdapat penjelasan dari rincian peristiwa ini sebagai berikut.

Berkenaan dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang telah murtad, tertulis dalam Sirah Ibnu Hisyam, وَلَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَظُمَتْ بِهِ مُصِيبَةُ الْمُسْلِمِينَ، فَكَانَتْ عَائِشَةُ، فِيمَا بَلَغَنِي، تَقُولُ: لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْتَدَّتْ الْعَرَبُ، وَاشْرَأَبَّتْ الْيَهُودِيَّةُ وَالنَّصْرَانِيَّةِ، وَنَجَمَ النِّفَاقُ، وَصَارَ الْمُسْلِمُونَ كَالْغَنَمِ “Setelah kewafatan Rasulullah (saw), musibah yang diderita umat Islam semakin bertambah. Riwayat Hadhrat Aisyah sampai kepada saya, beliau (ra) mengatakan bahwa setelah kewafatan Rasulullah (saw), bangsa Arab menjadi murtad, sedangkan Yahudi dan Kristen bangkit sedangkan kemunafikan menjadi tampak.”[45]

(عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ) Hadhrat Abu Hurairah menuturkan, لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنَ الْعَرَبِ قَالَ عُمَرُ لأَبِي بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ، إِلاَّ بِحَقِّهِ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ “. فَقَالَ وَاللَّهِ لأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالاً كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ. فَقَالَ عُمَرُ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ “Setelah kewafatan Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) terpilih sebagai Khalifah, orang-orang yang telah memendam keinginan untuk keluar dari Islam pu murtad. Dalam keadaan demikian, Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Bagaimana Anda akan memerangi orang-orang itu padahal Rasulullah (saw) pernah bersabda, “Telah diperintahkan padaku untuk berperang melawan mereka hingga mereka mengikrarkan Laa ilaaha illallaah.” Artinya, tidak akan berperang melawan orang-orang yang menyatakan Laa ilaaha illallaah. “Siapa yang mengikrarkan Laa ilaaha illallaah maka ia akan aman harta dan jiwanya dariku kecuali atas dasar kebenaran dan penghisabannya tanggung jawab Allah Ta’ala.”

Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Demi Tuhan! Siapa yang membedakan diantara shalat dan zakat, saya akan berperang melawannya, karena zakat merupakan hak maal. Demi Tuhan! Jika mereka menolak untuk memberikan tali pengikat lutut yang mana biasa mereka berikan kepada Rasulullah (saw), maka saya akan berperang melawan mereka karena hal itu.’

Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab mengatakan, ‘Demi Allah! Saya melihat Allah Ta’ala telah membuka dada (meyakinkan dan memberi keberanian) pada Abu Bakr untuk berperang sehingga saya paham bahwa ini semata-mata merupakan sikap yang benar.’”[46] Maksudnya, Hadhrat Umar (ra) kemudian mengakui bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) mengatakan hal yang benar.

Dalam menjelaskan hadits [عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ] – “mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam”, Hadhrat Sayyid Zainul Abidin Waliullah Shah Sahib menulis: “Kalimat [إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ] lebih memperjelas pokok bahasan ini.[47] Jika seorang Muslim mengikrarkan laa ilaaha illallaah, namun tidak menjaga hak-hak Islam maka ia juga akan dimintai pertanggungjawaban. Ia tidak dapat selamat hanya dengan beriman saja. Kalimat [إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ] – kecuali dengan hak Islam – memiliki dua macam pengertian: pertama adalah berkaitan dengan hak-hak Islam. Haq adalah bentuk mashdar yang juga mencakup makna jamak. Kedua, pengertiannya adalah, di mana Islam menetapkan perlunya untuk mengambil harta-harta dan jiwa-jiwa tersebut. Arti [حَقَّ الْاَمْرَ] ialah [أَوْجَبَهُ، أَثْبَتَهُ] yakni mewajibkannya atau menetapkannya sebagai suatu keharusan.[48] Ini juga digunakan dalam makna muta’addi (transitif atau kata yang memerlukan objek). Keselamatan individu-individu dalam umat juga bergantung pada pemenuhan hak-hak. Seperti halnya tidak membayar pajak merupakan pemberontakan dan wajib dihukum, demikian juga tidak membayar zakat.

Hadhrat Umar (ra) pada awalnya tidak sepakat dengan Hadhrat Abu Bakr (ra), namun ketika mendengar argumentasi Hadhrat Abu Bakr (ra) dengan kata [إلا بحقه] maka beliau menerima pendapat Hadhrat Abu Bakr (ra). Dari peristiwa ini jelaslah bahwa hanya mengatakan laa ilaaha illallaah dengan mulut dalam keadaan tanpa adanya amalan saleh, sama sekali tidak memiliki hakikat apa pun.

Judul bab ini adalah ayat : فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ
Dalam hal ini, seraya mengulangi pokok bahasan dari ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman:
فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ Dan jika mereka bertobat, menegakkan salat dan membayar zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu dalam agama. Hendaknya mereka jangan ditentang.

Dari kata-kata ini terbukti bahwa orang yang meninggalkan salah satu dari tiga perkara tersebut bukanlah Muslim . Menjalankan lima rukun Islam adalah kewajiban.

Dengan bersabda illaa bil haq, Hadhrat Rasulullah (saw) sendiri telah menetapkan infaaq fii sabiilillaah sebagai hak kelompok-kelompok yang lemah dalam masyarakat. Yakni menjadi kewajiban orang-orang yang berkemampuan untuk mentaati perintah-perintah Islam dan mereka harus membayar kewajiban finansial yang dikenakan kepada mereka. Dalam corak ini hak-hak mereka pun akan tetap terjaga. Argumen Hadhrat Abu Bakr (ra) dengan kata-kata illaa bil haq ini menunjukkan visi yang luas dan mendalam. Dalam pandangan Hadhrat Abu Bakr (ra), tidak membayar zakat adalah pemberontakan dan orang yang tidak membayar zakat bukanlah anggota dari masyarakat Islam dan memeranginya atas pemberontakannya tersebut adalah keharusan.

Memang Islam memberikan kebebasan dalam hal agama dengan perkataan laa ikrooha fid-diin, yakni tidak ada paksaan dalam agama, namun seseorang yang secara lahiriah mendakwakan keislaman dan bergabung dalam masyarakat Islam serta berada dalam perlindungannya dan mengambil manfaat dari keberkatan-keberkatannya serta mengambil keuntungan secara penuh dari hak-hak kolektifnya, tetapi ia tidak menjalankan tugas-tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh Islam kepadanya dalam posisi sebagai anggota masyarakat Islam maka orang yang seperti itu tidak memiliki hak keamanan dan perlindungan kolektif. Di dunia ini tidak ada satu pemerintahan pun yang bisa menerima orang-orang yang melanggar hukum dan melakukan pemberontakan. Sistem zakat dalam Islam sejatinya berkaitan dengan masyarakat, bukan dengan seseorang. Hasil-hasilnya dan dampak-dampaknya pun berkaitan dengan masyarakat, bukan perseorangan.”[49]

Berdasarkan satu riwayat, pada kesempatan tersebut Hadhrat Umar (ra) berkata, يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللهِ، تَأَلَّفِ النَّاسَ وَارْفِقْ بِهِمْ “Wahai Khalifah Rasulullah (saw)! Bersikaplah persuasif dan lemah lembut kepada orang-orang.”

Atas hal itu Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata kepada Hadhrat Umar (ra), جَبَّارٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خَوَّارٌ فِي الْإِسْلَامِ “Pada masa jahiliah engkau sangat pemberani dan dalam masa Islam sekarang engkau memperlihatkan kepengecutan.” [50]

Bagaimanapun, saya akan menjelaskan berkenaan dengan perang menghadapi para pengingkar zakat dan dampak-dampaknya pada pihak internal maupun eksternal pada kesempatan yang akan datang.

Hari ini saya ingin menyampaikan kembali berkenaan dengan situasi dunia saat ini, berdoalah semoga Allah Ta’ala memberikan akal sehat dan pemahaman kepada kedua pemerintahan dan mereka dapat berhenti dari menumpahkan darah manusia.

Bersamaan dengan itu, kita umat Islam hendaknya bisa mengambil pelajaran dari perang ini bahwa bagaimana mereka telah bersatu, namun umat Islam meskipun mereka mengikrarkan satu kalimat yang sama, mereka tidak pernah bersatu. Mereka menghancurkan satu negara, menghancurkan Iraq, menghancurkan Syiria, kehancuran sedang terjadi di Yaman dan mereka mengundang negara lain untuk menyerang suatu negara Muslim dan mereka juga melakukannya sendiri, bukannya bersatu. Sekurang-kurangnya Umat Islam hendaknya mengambil pelajaran dari persatuan mereka. Semoga Allah Ta’ala mengasihi umat Islam dan persatuan ini hanya bisa terwujud dalam corak ketika mereka menerima Imam Zaman yang diutus oleh Allah Ta’ala di zaman ini untuk tujuan tersebut.

Semoga Allah Ta’ala memberikan akal dan pemahaman. Dan bersamaan dengan itu, berdoalah untuk dunia semoga mereka memperbaiki situasi mereka dan mempergunakan sumber daya dan sarana mereka untuk mencegah dunia dari perang, bukannya mereka sendiri terlibat dalam perang ini.

Setelah shalat saya akan menyalatkan satu jenazah, yaitu Sayyidah Qaishar Zhafr Hasyimi (سيدة قيصر ظفر هاشمي) Sahibah, istri Zhafr Iqbal Hasyimi (ظفر إقبال هاشمي) Sahib dari Lahore yang wafat pada beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah cucu seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), yaitu Hadhrat Sayyid Muhammad Ali Bukhari Sahib. Ayahanda beliau adalah Syed Nazir Ahmad Bukhari.

Setelah menikah beliau tinggal di beberapa tempat. Pada 1961, beliau menikah. Setelah itu pada 1981 beliau pindah ke Allamah Iqbal Town, Lahore. Di sana beliau mendapatkan taufik untuk berkhidmat di Lajnah dan melakukan pengkhidmatan sebagai Sadr dan juga Sekretaris.

Beliau adalah sosok wanita yang disiplin dalam salat dan puasa, rajin berdoa, pengkhidmat tamu, penyabar, senantiasa bersyukur, sangat salehah dan mukhlis. Beliau memiliki jalinan ikatan kecintaan dan ketaatan yang kuar dengan Khilafat. Beliau selalu terdepan dalam mengikuti gerakan-gerakan pengorbanan harta. Beliau biasa membayar candah di awal tahun perjanjian. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushiah. Di antara yang ditinggalkan, selain istri, juga termasuk 5 putra dan 1 putri.

Seorang putra beliau, Mahmud Iqbal Hasyimi Sahib dipenjara di jalan Allah yang mana saat ini berada di penjara Lahore. Beliau memang tidak diizinkan keluar dari penjara, namun pihak manajemen penjara bersikap lunak, mereka membawa jenazah ibunda kepada beliau dan beliau berkesempatan melihat ibunda beliau untuk terakhir kalinya.

Atas tuduhan penggunaan syiar-syiar Islami telah diberikan hukuman yang begitu berat terhadap para Ahmadi, sampai-sampai tidak diizinkan keluar dari penjara untuk menyalatkan jenazah. Sedangkan para pembunuh-pembunuh besar mendapatkan izin untuk keluar. Bagaimanapun, semoga Allah Ta’ala mengasihi pemerintahan negara ini. Pada 2019 sebuah kasus didaftarkan terhadap Mahmud Iqbal Sahib beserta ketiga kawan beliau. Mereka telah diberikan jaminan, tetapi jaminannya dicabut pada Agustus 2021 dan pengadilan kembali melakukan penangkapan mereka bahkan di pengadilan. Semoga Allah Ta’ala juga segera menyediakan sarana kebebasan bagi mereka.

Seorang cucu Almarhumah, Hashim Iqbal Hasyimi Sahib adalah mubaligh yang bertugas di sini, di UK. Semoga Allah Ta’ala juga memberikan taufik kepada beliau untuk dapat mengamalkan kebaikan-kebaikan nenek beliau dan memberikan taufik kepada anak keturunan Almarhumah untuk juga dapat mengamalkannya. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh kepada Almarhumah. [51]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Tuhfah Golerwiyah, Ruhani Khazain jilid 17, h. 184 (تحفہ گولڑویہ،روحانی خزائن جلد17صفحہ184).

[2] Tuhfah Golerwiyah, Ruhani Khazain jilid 17, h. 186 (تحفہ گولڑویہ،روحانی خزائن جلد17صفحہ186).

[3] Abu Bakr Shiddiq Akbar karya Muhammad Husain Haikal (ابوبکرصدیق اکبر از محمد حسین ہیکل مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی صفحہ 123مکتبہ جدید لاہور); Urdu Dairah Ma’arif Islamiyah jilid 21, h. 731 pada kata Mu-tah (اردو دائرہ معارف اسلامیہ جلد21 صفحہ 731 زیر لفظ مؤتہ).

[4] Shahih al-Bukhari, Kitab Keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم) bab Manaqib Khalid bin Walid (باب مَنَاقِبُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ رضى الله عنه), 3757; tercantum juga di Shahih al-Bukhari, Kitab ekspedisi (كتاب المغازى), bab mengharap kesyahidan (باب غَزْوَةُ مُوتَةَ مِنْ أَرْضِ الشَّأْمِ), 4262. Peperangan terjadi di tempat yang amat jauh dari Madinah yaitu di Mu-tah, di wilayah Yordania sekarang. Sebelum pasukan pulang atau mengutus kurir untuk memberikan laporan, Nabi (saw) telah lebih dahulu menceritakan jalannya peperangan kepada para Sahabat yang ada di Madinah.

[5] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Abu Bakr ash-Shiddiq al-Akbar (أبوبكر الصديق الأكبر، لمحمد حسين هيكل), terjemahan Urdu oleh Syaikh Muhammad Ahmad Yaniyati, halaman 124, Maktabah Jadir, Lahore (ابوبکرصدیق اکبر از محمد حسین ہیکل مترجم شیخ محمد احمد پانی پتی صفحہ 124مکتبہ جدید لاہور).

[6] ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبير لابن سعد المجلد الثاني  سَرِيَّةُ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ); tercantum juga dalam Fathul Bari (فتح الباري ج8), pada terbitan bhasa Urdu oleh Qadimi Kutub Khanah Aram Bagh, Karachi (فتح الباری لابن حجر جلد 8 صفحہ192 قدیمی کتب خانہ مقابل آرام باغ کراچی).

[7] Ar-Rahiq al-Makhtum (كتاب الرحيق المختوم) karya Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri (صفي الرحمن المباركفوري), (أدوار الدعوة ومراحلها أدوار الدعوة 2 – الدور المدني الحياة في المدينة المرحلة الثالثة آخر البعوث); (الكامل في التاريخ – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٣١٧); (دليل المسجد الأقصى المبارك) Dalil al-Masjid al-Aqsha al-Mubarak karya Yusuf Jumah Salamah (يوسف جمعة سلامة). as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية (ابن هشام)) pengutusan Usamah ke tanah Palestina (بعث أسامة بن زيد إلى أرض فلسطين).

[8] Tarikh Madinah Dimashq karya Ibnu Asakir; Mukhtashar Madinah Dimashq karya Ibnu Manzhur dan Ansabul Asyraf karya al-Biladuri. Tentang tempat itu terdapat riwayat bahwa seorang keturunan Nabi Luth ‘alaihis salaam bernama Baaliq (بالق بن عمان بن لوط) bermukim di area itu. Kitab Tarikh karya Ulama Islam menyebutkan Nabi Luth ‘alaihis salaam mempunyai empat putra dan dua putri, Ma-ab, Amman, Jalan dan Malkan serta Zaghr dan Rayyah. Dua putri Luth yang menikah dengan laki-laki di tempat hijrah Nabi Luth masing-masing juga mempunyai anak bernama Ma-ab dan Amman. Hal ini berbeda dengan Perjanjian Lama pasal 19 yang menyebutkan Loth hanya mempunyai dua putri yang menurunkan Bani Amon dan Moab. Nama beberapa kota di Palestina, Suriah dan Yordania sekarang ialah berasal dari nama-nama anak-cucu Nabi Luth.

Terkait:   Khutbah Idul Adha 2017

[9] Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان جلد1 صفحہ579دار الکتب العلمیۃ بیروت). Darum ialah nama kuno dari sebuah kota kaum Luth sedangkan sekarang dinamai Der Balah (دير البلح) di Palestina. Tarikh ath-Thabari (تاریخ طبری جلد 2صفحہ 224دارالکتب العلمیۃ بیروت 2012ء); Farhank Sirat (فرہنگ سیرت صفحہ119زوار اکیڈمی پبلیکیشنز کراچی 2003ء).

[10] Kitab Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi. Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (نام کتاب : الطبقات الكبرى – ط دار صادر نویسنده : ابن سعد    جلد : 2  صفحه : 190) pada bagian Ekspedisi Usamah bin Zaid (سَرِيَّةُ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ): أغز بسم الله في سبيل الله فقاتل من كفر بالله . Tercantum juga dalam Subulul Huda war Rasyaad (سبل الهدى والرشاد، في سيرة خير العباد، وذكر فضائله وأعلام نبوته وأفعاله وأحواله في المبدأ والمعاد) karya Muhammad bin Yusuf ash-Shalihi asy-Syaami (محمد بن يوسف الصالحي الشامي) bab ke-80 (الباب الثمانون في سرية اسامة بن زيد بن حارثة رضي الله عنهم الى أبنى وهي بأرض الشراة بناحية البلقاء); as-Siratul Halbiyyah (السيرة الحلبية = إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون), Sariyah dan Ekspedisi utusan Nabi (saw) (سراياه صلى الله عليه وسلم وبعوثه), Sariyah Usamah (سرية أسامة بن زيد بن حارثة رضي الله تعالى عنه إلى أبنى); Kitab Syarh az-Zurqani ‘alal Mawaahib (كتاب شرح الزرقاني على المواهب اللدنية بالمنح المحمدية) karya Muhammad ‘Abdul Baqi az-Zurqani (الزرقاني، محمد بن عبد الباقي), bahasan ekspedisi utusan terakhir (المجلد الرابع تابع كتاب المغازي آخر البعوث النبوية); Ightiyaalun Nabi karya Syaikh Najah ath-Thai (إغتيال النبي (ص) – الشيخ نجاح الطائي – الصفحة ١٣١).

[11] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi.

[12] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi (المجلد الثاني  سَرِيَّةُ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ).

[13] al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية الجزء6)

[14] ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الکبریٰ جلد 2 صفحہ 146-147 دارالکتب العلمیۃ بیروت 1990ء); (البدایۃ والنھایۃ جلد 3 جزء 6 صفحہ 302 دار الکتب العلمیۃ بیروت); Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان جلد 1 صفحہ101دار الکتب العلمیۃ بیروت); Farhank Sirat (فرہنگ سیرت صفحہ 114،87 زوار اکیڈمی پبلی کیشنز کراچی 2003ء).

[15] Syarh az-Zurqani ‘alal Mawahib (شرح الزرقاني علی المواهب اللدنية ج4), halaman 155, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996 (صفحہ 155 دارالکتب العلمیۃ بیروت 1996ء).

[16] al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية الجزء6)

[17] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٤٦٠)

[18] Al-Kaamil Fit Taarikh (الکامل في التاريخ ج2 ص199); Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi; Mukhtasar Siratur Rasul (مُخْتَصَرُ سِيْرَةِ الْرَّسُوْلِ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (لِشَيخِ الإِسلامِ محمَّدِ بْنِ عَبدِ الوَهَّابِ رَحمِهُ اللهُ تَعَالَى).

[19] al-Bidayah wan Nihayah (البداية والنهاية ج3), uz ke-6 halaman 302, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2001 (البدایۃ والنھایۃ جلد 3 جزء 6 صفحہ 302 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001ء); Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ244، دارالکتب العلمیۃ، بیروت، 2012ء); al-Kamil fit Taarikh (الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ 199 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء).

[20] Sair Ruhani – Perjalanan Ruhani – seri ke-6, Anwarul ‘Uluum – kumpulan karya Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) jilid ke-22, halaman 594-596 (سیر روحانی (6)، انوارالعلوم جلد22صفحہ593-594).

[21] Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fit Taarikh, peristiwa-peristiwa pada tahun ke-11 Hijriyyah (ذِكْرُ أَحْدَاثِ سَنَةِ إِحْدَى عَشْرَةَ) jatuh sakitnya Rasulullah (saw) dan kewafatan beliau (ذِكْرُ مَرَضِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَوَفَاتِهِ).

[22] Sirrul Khilafah, Ruhani Khazain jilid 8 (روحانی خزائن جلد 8) karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) (اردو ترجمہ سرالخلافۃ صفحہ 188-189حاشیہ شائع کردہ نظارت اشاعت ربوہ). Rujukan Ibnu al-Atsir tercantum dalam al-Kamil fit Taarikh  (الكامل في التاريخ – ابن الأثير – ج ٢ – الصفحة ٣٣٤) bahasan (ذِكْرُ إِنْفَاذِ جَيْشِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ).

[23] Syarh az-Zurqani ‘alal Mawaahib al-Laduniyyah (شرح الزرقانی علی المواہب اللدنیہ جلد4 صفحہ 155 دارالکتب العلمیۃ بیروت 1996ء)

[24] Syarh az-Zurqani ‘alal Mawaahib al-Laduniyyah (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ 199-200 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء)

[25] Tarikh ath-Thabari (ماخوذ از تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری جلد2 صفحہ246، دارالکتب العلمیۃ، بیروت، 2012ء); as-Sirah al-Halbiyyah (ماخوذ از السیرۃ الحلبیۃ جلد3 صفحہ 293 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2002ء); Tarikh Dimashq karya Ibn Asakir (تاريخ دمشق لابن عساكر).

[26] al-Kamil fit Tarikh (ماخوذ از الکامل فی التاریخ جلد2 صفحہ 200 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), dzikr ma qala dzalika (ذكر من قال ذلك), nomor Hadits 963, Vol. 2, p. 246, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1987.

[27] Tarikh ath-Thabari (تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری جلد2 صفحہ246، دارالکتب العلمیۃ، بیروت، 2012ء)

[28] (السیرۃ الحلبیۃ جلد3 صفحہ 294 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2002ء); Tarikh Dimashq karya Ibn Asakir (تاريخ دمشق لابن عساكر), (حرف الألف), (ذكر من اسمه أسامة), (أُسَامَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ بْنِ شَرَاحِيلَ). Hadhrat Usamah bertanya kepada Hadhrat Umar, “Anda berkata demikian?” (تَقُولُ لِي هَذَا ؟). Hadhrat Umar menjawab, لا أَزَالُ أَدْعُوكَ مَا عِشْتُ : الأَمِيرَ ، مَاتَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتَ عَلَيَّ أَمِيرٌ . “…pada saat Nabi (saw) wafat, Anda adalah Amir (komandan) saya.”

[29] Muwatha karya Imam Malik (موطأ الإمام مالك), Kitab tentang Jihad (كتاب الجهاد), bab larangan membunuh kaum wanita dan anak-anak saat perang (باب النَّهْي عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ فِي الْغَزْوِ). Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٤٦٣) dan al-Kamil fit Tarikh (الكامل في التاريخ – ج 2 – 1 – 29). Tarikh ath-Thabari (ماخوذ از تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری جلد2 صفحہ246، دارالکتب العلمیۃ، بیروت 2012ء)

[30] Tarikh ath-Thabari (ماخوذ از تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری جلد2 صفحہ246، دارالکتب العلمیۃ، بیروت 2012ء)

[31] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi: وَكَانَ مَخْرَجُهُ مِنْ الْجُرْفِ لِهِلَالِ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ سَنَةَ إحْدَى عَشْرَةَ فَغَابَ خَمْسَةً وَثَلَاثِينَ يَوْمًا، عِشْرُونَ فِي بَدْأَتِهِ وَخَمْسَةَ عَشَرَ فِي رَجْعَتِهِ .

[32] The Preaching of Islam By T.W. Arnold. Chapter III. Page 41. London Constable and Company Ltd. 1913.

[33] The Encyclopaedia of Islam vol. 10 Page 913 Under Usama Printed by Leiden brill 2000.

[34] Al-Bidayah (البداية والنهاية/الجزء السادس/فصل في تصدي الصديق لقتال أهل الردة ومانعي الزكاة) karya Ibnu Katsir (ابن كثير) (البدایۃ والنھایۃ لابن کثیرجلد3 جزء 6 صفحہ309 فصل فی تنفیذ جیش اسامہ بن زید، دارالکتب العلمیۃ بیروت2001ء). Fiqhus Sirah (كتاب فقه السيرة النبوية لمنير الغضبان) karya Munirul Ghadhbaan (منير الغضبان).

[35] Kitab Usdul Ghabah (كتاب أسد الغابة ط الفكر) karya Abu al-Hasan Ibnu al-Atsir (ابن الأثير، أبو الحسن), (المجلد الثاني باب السين باب السين والهاء 2325 – سهيل بن عمرو القرشي).

[36] Usdul Ghabah (اسد الغابۃ جلد2 صفحہ 585 سہیل بن عمروؓ۔ مطبوعہ دار الکتب العلمیہ بیروت); Al-Kamil fit Taarikh karya Ibnu Atsir juga menyebutkan, ولما توفي رسول الله، صلى الله عليه وسلم، ووصل خبره إلى مكة وعامله عليها عتاب بن أسيد بن أبي العاص بن أمية استخفى عتاب وارتجت مكة وكاد أهلها يرتدون، فقام سهيل بن عمرو على باب الكعبة وصاح بهم، فاجتمعوا إليه، فقال: يا أهل مكة لا تكونوا آخر من أسلم وأول من ارتد، والله ليتمن الله هذا الأمر كما ذكر رسول الله، صلى الله عليه وسلم، فلقد ررأيته قائماً مقامي هذا وحده وهو يقول: قولوا معي لا إله إلا الله تدن لكم العرب وتؤد إليكم العجم الجزية، والله لتنفقن كنوز كسرى وقيصر في سبيل الله، فمن بين مستهزىء ومصدق فكان ما رأيتم، والله ليكونن الباقي. فامتنع الناس من الردة. . Suhail mencari-cari walikota Makkah, Uttab bin Usaid yang tengah mengurung diri dan ketakukan melihat potensi orang-orang Makkah keluar Islam. Suhail mengajak Uttab menemui kumpulan besar orang-orang Makkah dan Suhail berpidato. Ia pun mengucapkan pidato yang sama dengan Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq di Madinah. Ia berkata: من كان يعبد محمدا فإنّ محمدا قد مات, ومن يعبد الله فإن الله حي لا يموت “Barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H, juz 3, h. 178). Suhail juga mengutip ayat-ayat berikut: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ} Sesungguhnya, engkau akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati.(Surah az-Zumar, 39:31), {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ} Dan, Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. Sesungguhnya telah berlalu rasul-rasul sebelum nya. Jadi, jika ia mati atau terbunuh, akan berpalingkah kamu atas tumitmu?(Surah Ali Imran, 3:145), {كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ}  “Setiap jiwa pasti akan merasakan maut (kematian)” (Surah al-Anbiya, 21:36), {كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ}  “Segala sesuatu akan binasa kecuali Wujud-Nya(Surah al-Qashash, 89)

[37] al-Khathabi dalam Ma’alimus Sunan (معالم السنن للإمام الخطابي), Kitab tentang zakat (كتاب الزكاة): Jenis kemurtadan pertama: أن أهل الردة كانوا صنفين صنف منهم ارتدوا عن الدين ونابذوا الملة وعادوا إلى الكفر وهم الذين عناهم أبو هريرة بقوله وكفر من كفر من العرب وهذه الفرقة طائفتان إحداهما أصحاب مسيلمة من بني حنيفة وغيرهم الذين صدقوه على دعواه في النبوة وأصحاب الأسود العنسي ومن كان من مستجيبيه من أهل اليمن وغيرهم وهذه الفرقة بأسرها منكرة لنبوة محمد ﷺ مدعية النبوة لغيره فقاتلهم أبو بكر رضي الله عنه حتى قتل الله مسيلمة باليمامة والعنسي بصنعاء وانفضت جموعهم وهلك أكثرهم، والطائفة الأخرى ارتدوا عن الدين وأنكروا الشرائع وتركوا الصلاة والزكاة إلى غيرهما من جماع أمرالدين وعادوا إلى ما كانوا عليه في الجاهلية فلم يكن يسجد لله سبحانه على بسيط الأرض إلا في ثلاثة مساجد مسجد مكة ومسجد المدينة ومسجد عبد القيس بالبحرين في قرية يقال لها جُوَاثا . Jenis kemurtadan kedua: والصنف الاخر هم الدين فرقوا بين الصلاه والزكاة فأقروا بالصلاة وأنكروا فرض الزكاة ووجوب آدائها إلى الإمام وهؤلاء على الحقيقة أهل بغي وإنما لم يدعوا بهذا الاسم في ذلك الزمان خصوصا لدخولهم في غمار أهل الردة فأضيف الاسم في الجملة إلى الردة إذ كانت أعظم الأمرين وأهمهما وأرخ مبدأ قتال أهل البغي بأيام علي بن أبي طالب إذ كانوا متفردين في زمانه لم يختلطوا بأهل شرك وفي ذلك دليل على تصويب رأي علي رضي الله عنه في قتال أهل البغي وأنه إجماع من الصحابة كلهم، وقد كان في ضمن هؤلاء المانعين للزكاة من كان يسمح بالزكاة ولا يمنعها إلا أن رؤساءهم صدوهم عن ذلك . Ma’alimus Sunan adalah nama kitab karya Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim Al-Khathabi Al-Busti (أبو سليمان حَمْد بن محمد بن إبراهيم بن الخطاب البستي الخطابي الشافعي) yang merupakan salah satu kitab syarh (komentar) atas Sunan Abu Daud. Penulis buku ini lahir pada bulan Rajab 319 H (931 Masehi) di negeri Bust (بُسْتَ) [sekarang namanya ialah Laskargah (لشكر گاه) ibukota wilayah Halmand (هلمند) di Afghanistan] dan wafat pada tahun 388 H (988 Masehi). Beliau seorang ahli fiqih dalam bidang hadis, adab, syair, dan bahasa. Beliau banyak merantau untuk mendalami ilmunya. Bahasan ini tercantum juga dalam Kitab Ensiklopedia Pemahaman Keislaman umum (كتاب موسوعة المفاهيم الإسلامية العامة), kumpulan para penulis (مجموعة من المؤلفين), (الراء  11 – الردة).

[38] Syarh Shahihi Muslim lil Qadhi ‘Iyadh al-musamma Ikmalul Mu’limi bi-fawaaidi Muslim (شَرْحُ صَحِيح مُسْلِمِ لِلقَاضِى عِيَاض المُسَمَّى إِكمَالُ المُعْلِمِ بفَوَائِدِ مُسْلِم), bab (باب الأمر بقتال الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله محمد رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة، ويؤمنوا بجميع ما جاء به النبىّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ): وكان أهل الردة ثلاثة أصناف: صنف كفر بعد إسلامه ولم يلتزم شيئاً وعاد لجاهليته أو اتبع مسيلمة أو العنسىَّ وصدَّق بهما، وصنف أقرَّ بالإسلام إلا الزكاة فجحدها وأقر بالإيمان والصلاة، وتأول بعضهم أن ذلك كان خاصاً للنبى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لقوله: {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَة …} الآية . Komentar terhadap Kitab Hadits Shahih Muslim karya Qadhi ‘Iyadh yang dinamai Ikmalul Mu’lim bi-fawaaidi Muslim, penerbit Darul Wafa-Mesir (دار الوفاء للطباعة والنشر والتوزيع، مصر), terbitan tahun 1419 Hijriyah atau 1998 (الأولى، 1419 هـ – 1998 م), ditahqiq (المحقق) oleh Yahya Isma’il (الدكتور يحْيَى إِسْمَاعِيل). Nama lengkap penulis buku ini adalah Iyadh bin Musa bin Iyadh bin Imrun bin Musa bin Muhammad bin Abdullah bin Musa bin Iyadh al-Yahshubi al-Andalusi al-Maliki (عياض بن موسى بن عياض بن عمرون اليحصبي السبتي، أبو الفضل (المتوفى: 544هـ)). Beliau lahir pada pertengahan bulan Syaban tahun 476  H di kota bernama Sabtah (sekarang Ceuta) di Andalus (Spanyol). Menurut Al-Qadhi Ibnu Khalkan, Qadhi Iyadh wafat pada bulan Ramadhan tahun 544 Hijriyyah. Menurut adz-Dzahabi, Qadhi Iyadh wafat karena ditusuk tombak oleh seseorang sebab menolak mengakui kemaksuman Ibnu Tumart, pendiri gerakan reformasi Al-Muwahhidin yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Sumber: https://www.nu.or.id/tokoh/al-qadhi-iyadh-ulama-multidisipliner-yang-lahir-di-bulan-sya-ban-Z9vVX

[39] Ali Muhammad ash-Shalabi dalam Sirah Abi Bakr ash-Shiddiq (ماخوذ از سیدنا ابو بکر صدیقؓ شخصیت و کارنامے از ڈاکٹر علی محمدصلابی مترجم صفحہ272-273مکتبہ الفرقان مظفرگڑھ پاکستان).  Doktor Abdurrahman yang dimaksud ialah Dr. Abdur-Rahman ibn Salih ibn Salih al-Mahmood dari suku Bani Tamim (عبد الرحمن بن صالح بن صالح المحمود من أل سلمي من بني تميم، ولد في مدينة البكيرية من القصيم سنة 1373 هـ/1954) dalam bukunya al-Hukmu bighairi ma anzalaLlahu (الحكم بغير ماأنزل الله، د. عبدالرحمن المحمود، ص239). Beliau lahir di kota al-Bakariyya dari Propinsi al-Qassim, Saudi Arabia pada tahun 1373  AH (1953 Masehi). Beliau menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Syari’ah di Riyadh pada 1395 Hijriyah. Beliau meraih gelar Master dan Doktor di Fakultas Ushuluddin di Imam Muhammad Ibn Saud University di Riyadh, Saudi Arabia.

[40] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Hadhrat Abu Bakr Shiddiq terjemahan bahasa Urdu terbitan Irfan Publisher, Lahore (ماخوذ از حضرت ابوبکر صدیق از محمد حسین ہیکل مترجم صفحہ 101 علم و عرفان پبلشرز لاہور)

[41] Tarikh ath-Thabari (تاریخ طبری جلد 2 صفحہ254دار الکتب العلمیۃ لبنان 2012ء)

[42] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Hadhrat Sayyidina Abu Bakr Shiddiq, terbitan Maktabah Jadid, Lahore. (ماخوذ از حضرت سیدنا ابو بکر صدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 135مکتبہ جدید لاہور)

[43] al-Bidayah wan Nihayah (البدایۃ والنھایۃ جلد 3 جزء 6 صفحہ 308 دارالکتب العلمیۃ بیروت2001ء)

[44] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Hadhrat Sayyidina Abu Bakr Shiddiq, terbitan Maktabah Jadid, Lahore. (ماخوذ از حضرت سیدنا ابو بکر صدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 136،135 مکتبہ جدید لاہور)

[45] As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bab (جَهَازُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَفْنُهُ), sub bab (افْتِتَانُ الْمُسْلِمِينَ بَعْدَ مَوْتِ الرَّسُولِ), p. 903, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001. (ماخوذ از حضرت سیدنا ابو بکر صدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 136،135 مکتبہ جدید لاہور)

[46] Sahih al-Bukhari, Kitab tentang Zakat, bab tentang kewajiban Zakat, hadits nomor 1399-1400 (صحیح بخاری کتاب الزکوٰة باب وجوب الزکوٰةحدیث نمبر1400،1399); Shahih al-Bukhari, Kitab al-I’tisham bil Kitaab was Sunnah, bab mengikut Sunnah-Sunnah Rasulullah (saw) (باب الاِقْتِدَاءِ بِسُنَنِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم), nomor 7284-7285.

[47] Sahih al-Bukhari 25, Kitab tentang Iman (كتاب الإيمان), bab ke-17 (بَابُ: {فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ}): عَنْ وَاقِدِ بْنِ  مُحَمَّدٍ، قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ   Dari Waqid bin Muhammad berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.”

[48] Asasul Balaghah  (أساس البلاغة) karya az-Zamakhsyari (الزمخشري), Kitab ha (كتاب الحاء), pada huruf (ح ق ق): قال أبو زيد: حق الله الأمر حقاً: أثبته وأوجبه. وحق الأمر بنفسه حقاً وحقوقاً. وقال الكسائي: حققت ظنه مثل حققته . Tafsir Kabir Surah al-Kahfi ayat 15 karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (حضرة الحاج مرزا بشير الدين محمود أحمد) berdasarkan uraian kitab kamus Aqrab. Tercantum juga dalam Ensiklopedia Jenis-Jenis Majaz dalam Al-Qur’an (موسوعة أساليب المجاز في القرآن الكريم – دراسة ووصف) karya Ahmad Ahmad Muhsin al-Jaburi (أحمد حمد محسن الجبوري ،الأستاذ الدك).

[49] Sahih al-Bukhari, Kitab tentang Zakat, terjemahan Urdu di jilid ke-3 (صحیح بخاری کتاب الزکوٰة مترجم جلد 3 صفحہ 15،14)

[50] Misykaatul Mashabih (ماخوذ ازمشکوٰۃ المصابیح جلد 2 کتاب الفضائل و شمائل حدیث 6024 صفحہ 492 مکتبہ دارالارقم); Mirqaatul Mafaatih Syarh Misykaatul Mashabih (مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح) Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب والفضائل) bab Manaqib Abi Bakr (باب مناقب أبي بكر رضي الله عنه) pasal ketiga (الفصل الثالث) nomor 6034; Tuhfaatul Azhaar (نفحات الأزهار – السيد علي الميلاني – ج ٩ – الصفحة ٢٩٠); Kanzul ‘Ummal (كنز العمال – المتقي الهندي – ج ٦ – الصفحة ٥٢٧); Tarikh al-Khulafa karya as-Suyuthi (تاريخ الخلفاء – عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي) penerbit Mathba’ah as-Sa’adah (الناشر : مطبعة السعادة – مصر) (الطبعة الأولى ، 1371هـ – 1952م) (تحقيق : محمد محي الدين عبد الحميد) peristiwa-peristiwa pada masa Khilafatnya (ما وقع من الأحداث زمن خلافته); Kisah-Kisah tokoh Islam (قصص عظماء الإسلام) karya Usamah Na’im Mushthaf (الشيخ أسامة نعيم مصطف).

[51] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: Majalah Al-Fadhl Internasional [https://www.alfazl.com/2022/03/26/42931/]; www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.