Mengundang Ahmadiyah ke Nusantara
Jemaat Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889. Atas petunjuk dan perintah Allah Ta’ala, beliau mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan juga Isa yang dijanjikan[1] akan datang diantara umat Islam di akhir zaman yang tugas utamanya menghidupkan agama dan menegakkan syariat Islam. Di kota Ludhiana India, beliau untuk pertama kalinya menerima “janji bai’at” dari para pengikutnya, dan dari sinilah benih Jemaat Ahmadiyah pertama kalinya ditabur kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam perjalanan waktu yang lebih seratus tahun, benih itu telah tumbuh dengan suburnya dan berkembang menjadi sebuah pohon raksasa yang pucuknya menjulang tinggi ke angkasa dan akarnya menghujam dalam ke perut bumi, sehingga tiada prahara dan badai taufan yang sanggup mengungkit dan menumbangkannya.
Pohon itu kini berbunga dan berbuah sepanjang masa tiada henti, yang benih-benihnya dihembus angin kencang sehingga tersebar jauh ke segala penjuru dunia. “Aku akan sampaikan tabligh engkau ke pelosok-pelosok dunia”[2], demikian wahyu Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad yang diyakini oleh orang-orang Ahmadi sebagai janji kemenangan dari Tuhan kepada beliau dan pengikut-pengikutnya.
Keberangkatan Tiga Serangkai ke India
Salah satu benih yang diterbangkan angin itu atas takdir Ilahi tersebar di Kepulauan Nusantara yang subur makmur terletak di lintasan khatulistiwa itu. Adapun kedatangan Muballigh Ahmadiyah pertama ke Nusantara didahului dengan kisah keberangkatan tiga orang pemuda Indonesia ke India. Ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan, ketiganya berasal dari Sumatera Barat Padang Panjang. Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin merupakan lulusan Sumatera Thawalib[3], sedangkan Zaini Dahlan merupakan lulusan Madrasah Darun Nabwah. Pada Desember 1922, Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin meninggalkan negeri kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan agama, sedangkan Zaini Dahlan mengalami hambatan sehingga beliau tidak dapat berangkat bersama dan pergi menyusul kemudian. Mereka masih berusia sangat muda ketika pergi merantau jauh, yang paling tua baru berusia duapuluh tahun sementara yang paling muda baru berusia enambelas tahun.
Pada awalnya mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam, namun para guru[4] mereka di Sumatera Thawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran Islam modern[5]. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan Ahmad Nuruddin, sedangkan Zaini Dahlan menyusul kemudian. Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka – sesuai dengan takdir Ilahi- bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Nusantara, khususnya bagi Ahmadiyah. Ketika ketiga pemuda Nusantara itu sampai di Lahore, mereka teringat akan seorang bernama Kwaja Kamaluddin. Mereka sebelumnya pernah membaca surat kabar Cahaya Sumatera ketika di tanah air, bahwa Kwaja Kamaluddin adalah orang yang pernah menjadi Imam Masjid di London, Inggris. Setelah bertanya kesana-kemari, mereka berhasil menemukan alamat Islamic College di kota Lahore, yang di sebelahnya Kwaja Kamaluddin tinggal. Mereka tidak sempat bertemu dengan Kwaja Kamaluddin karena ketika itu sedang berada di London, tapi mereka diterima oleh wakilnya yakni Maulana Abdussatar, seorang tua yang alim dan hafiz Qur’an.
Mengenal Ahmadiyah
Maulana Abdussatar mengajar mereka tanpa kitab tafsir, berbeda dengan ulama-ulama yang pernah mereka jumpai, sehingga hal ini membangkitkan kekaguman mereka. Mereka mulai merasa puas dan tertarik oleh keterangan-keterangan yang diberikan Maulana itu. Dalam pelajaran tafsir, sampailah mereka pada satu ayat mengenai Nabi Isa a.s. dan Maulana Abdussatar bertanya kepada mereka, bagaimana pendapat guru-guru dan ulama mereka di Indonesia tentang Nabi Isa a.s. itu. Mereka menjawab bahwa di Indonesia ada dua pendapat mengenai hal ini: Pertama, Nabi Isa masih hidup di langit, ini pendapat Haji Abdulkarim Amarullah[6]; dan kedua, Nabi Isa a.s. mungkin diangkat ke langit dan mungkin juga pergi entah kemana, atau wafat entah dimana, ini pendapat Zainuddin Labay El Yunusi.
Menanggapi kedua pendapat ini Maulana Abdussatar berkata bahwa yang mempunyai pendapat pertama adalah orang alim karena berpendirian, sedang yang mempunyai pendapat kedua tidak mempunyai pendirian. Sejak itu, ketiga pemuda itu mendapat ilmu baru bahwa: (1) Nabi Isa telah wafat seperti halnya para nabi lainnya. (2) Keadaan dunia sekarang telah rusak dan membutuhkan seorang dokter ruhani. Dokter ruhani yang dimaksud adalah Imam Mahdi yang kedatangannya dinubuwatkan oleh Y.M Rasulullah SAW.
Mereka tidak begitu saja menerima pendapat Maulana tersebut. Mereka mengirim surat kepada para Ulama di Sumatera meminta fatwa dan keterangan guna menangkis pendapat Maulana tersebut. Ditekankan juga oleh mereka dalam suratnya bahwa fatwa salah atau benar sangat mereka harapkan agar jangan sempat tertipu. Akan tetapi surat-surat tersebut satupun tidak berbalas, kecuali surat yang mereka kirim kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek di Bukitinggi yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat. Oleh karena mereka tidak mempunyai senjata lagi untuk membantah Maulana itu, maka mereka akhirnya bertekuk lutut serta membenarkan paham tersebut, dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore.
Ketiga pemuda Indonesia itu yakni Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan bai’at secara bersama di tangan Maulana Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore pada musim panas di bulan Juli 1923. Dari sinilah pertama kalinya mereka mengenal Ahmadiyah yang selanjutnya akan mengubah perjalanan hidup mereka. Karena kecintaan mereka kepada Imam Mahdi a.s., timbullah keinginan mereka untuk berziarah ke makam dan tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad di Qadian. Maulana Abdussatar menasihatkan agar mereka meminta izin kepada Sekretaris Ahmadiyah Lahore yang bernama Babu Mansur. Ketika mereka menyatakan keinginan itu, berubahlah raut muka Sekretaris yang biasanya berseri-seri itu menjadi kecut dan pucat. Ia mengatakan bahwa tidak baik bagi mereka pergi ke Qadian. Sikap Sekretaris itu menimbulkan tanda tanya besar dalam hati mereka, mengapa tidak baik mengunjungi makam dan tempat kelahiran Imam Mahdi?
Belajar di Qadian
Keinginan untuk mengunjungi tempat kelahiran dan makam Imam Mahdi tersebut lantas disampaikan mereka kepada gurunya Maulana Abdussatar, dengan suatu desakan supaya mereka diizinkan pergi. Atas desakan itu akhirnya Maulana Abdussatar tak dapat menyembunyikan lagi apa yang harus dirahasiakannya. Ia lalu berkata: “Kalau kalian betul-betul ingin belajar, tinggalkanlah Lahore dan pergilah ke Qadian, sebab di sanalah terdapat pusat Ahmadiyah sebenarnya.”[7] Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah di Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu tetap berniat pergi ke Qadian, Pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud.
Sementara itu datanglah dari Qadian kira-kira sepuluh orang pelajar Ahmadi yang akan menempuh ujian gelar H.A[8] di Lahore. Pelajar-pelajar dari Qadian tersebut telah mendengar kedatangan Abubakar Ayyub dan kawan-kawan ke Lahore. Itulah sebabnya mereka datang berkunjung ke asrama untuk menemui ketiga pemuda Indonesia itu. Diantara mereka terjadi tanya-jawab, antara lain mengenai fasilitas pendidikan di Qadian. Mendengar keterangan-keterangan pelajar dari Qadian itu, ketiga pemuda ini tertarik dan tidak sabar lagi untuk berangkat kesana.
Mereka kemudian memohon izin kepada para pemimpin Ahmadiyah Lahore, dan ketika mereka menemui Dr. Muhammad Hussein, ia tampak marah dan melarang mereka pergi ke Qadian. Akan tetapi pemuda-pemuda ini tetap pada pendirian mereka, dengan alasan ingin belajar secara teratur disana. Akhirnya pimpinan Ahmadiyah Lahore itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap mereka, karena sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa mereka bebas memilih tempat belajar dan tidak terikat dengan siapapun.
Pada akhir tahun 1923, berangkatlah mereka menuju Qadian. Dari Lahore mereka naik kereta api sampai Batala yang jaraknya sekitar 70 mil. Dari kota kecil Batala ke Qadian, mereka harus menempuh jarak 11 mil lagi yang terpaksa ditempuh dengan menaiki delman. Hujan menyebabkan jalan becek dan penuh lumpur. Kendati demikian, ada suatu keanehan yang mereka rasakan, yakni perasaan senang dan tenteram di dalam hati mereka meski perjalanan yang mereka tempuh bukan main beratnya. Begitu memasuki Qadian, dari jauh mereka lihat sebuah menara putih yang menjulang di atas sebuah bukit kecil. Menara tersebut belakangan mereka kenal dengan nama Minaratul Masih. Bukan hal yang aneh ketika ketiga pemuda itu segera bai’at di tangan Khalifatul Masih II, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. Dengan demikian mereka lah bangsa Indonesia (Nusantara) pertama yang menerima kebenaran Ahmadiyah. Peristiwa bai’at ketiga pemuda itu kelak akan mengubah wajah masyarakat Islam Nusantara di masa-masa yang akan datang.
Setelah beberapa lama tinggal di asrama dan belajar secara teratur, mereka mengirim surat kepada keluarga dan teman-teman mereka di tanah air. Dengan menceritakan mengenai sekolah tempat belajar mereka, mereka mengajak teman-temannya itu untuk datang ke Qadian. Maka berdatanganlah pemuda-pemuda lainnya dari Indonesia ke Qadian untuk menuntut pelajaran agama, sehingga semuanya berjumlah 15 orang: Aboebakar Ayyoeb, Ahmad Noeroeddin, Zaini Dahlan, H. Mahmoed (Padang), Mohammad Noer (Loeboekbasoeng), Abdoel Qoyyoem (Tapaktoean), Moehammad Samin (Tapaktoean), Samsoeddin Rao-rao (Batoesangkar), Samsoeddin (Rengat), Moh. Joesyak (Sampoer), Moh. Ilyas (Padangpanjang), Hajioedin (Rengat), Abdoel Azis Shareef (Padang), Moh. Idris, Abdoel Samik (dahulu bernama Abdoel Moerod, dari Padangpanjang).
Mengundang Khalifah
Pada bulan Juli 1924, Hadhrat Khalifatul Masih II Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. mengadakan perjalananan ke Eropa sekaligus menghadiri konferensi Agama-agama di London. Di hadapan para pemuka berbagai agama, beliau menyampaikan makalah[9] yang diterjemahkan dan dibacakan oleh Choudry Muhammad Zafrullah Khan, seorang Ahmadi mukhlis yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri Pakistan pertama setelah pecahnya India dan Pakistan.
Hadhrat Khalifah kembali ke Qadian pada tanggal 24 Nopember 1924, dan sebagaimana biasa khalayak umum diizinkan mengundang Hadhrat Khalifatul Masih sepulang dari perlawatan itu. Atas anjuran dari Maulana Abdur Rahman Jat, para pemuda Nusantara mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II dalam suatu jamuan teh, disamping itu juga diundang sekitar 40 orang pemuka Jemaat lainnya. Dalam pertemuan “tea party” dengan Khalifatul Masih II itu, Ahmad Nuruddin membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, Abdul Qoyyum membacakan syair karya Masih Mau’ud a.s., dan Haji Mahmud menyampaikan pidato sambutan dalam bahasa Arab. Inti pidato sambutan itu menyampaikan permohonan atas nama seluruh pemuda Nusantara agar Hadhrat Khalifatul Masih, sebagaimana telah berkenan melawat ke Barat, begitu pula hendaknya sudi berkenan melawat ke Timur, terutama ke Nusantara. Pidato itu dibacakan oleh Haji Mahmud dengan suara putus-putus dan air mata yang berhamburan menahan haru yang tidak tertahankan. Hadhrat Khalifah menjawab pidato Haji Mahmud itu, yang juga Hudhur sampaikan dalam bahasa Arab, bahwa mereka jangan khawatir dan berduka cita (putus asa) karena itu adalah tanda-tanda orang yang tidak beriman. Hadhrat Khalifatul Masih II ra. meyakinkan mereka bahwa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. adalah Zulqarnain (yang memiliki dua tanduk), satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur. Hudhur menyampaikan bahwa sekarang belum sempat melawat ke sana, tetapi untuk memenuhi permintaan para pemuda Nusantara itu beliau berjanji akan mengirim utusan beliau ke Nusantara.
Sebagai realisasi dari janji tersebut, maka pada bulan Agustus 1925 Departemen Da’wat wa Tabligh atas perintah Hadhrat Khalifatul Masih II mengutus Maulana Rahmat Ali HAOT[10] ke Nusantara. Sebelum berangkat ia mempelajari bahasa Melayu[11] dulu dari pelajar Nusantara di Qadian, menggunakan buku “Empat Serangkai” yang sengaja dipesan dari Nusantara.
Utusan Ahmadiyah Pertama ke Nusantara
Maulana Rahmat Ali HAOT dilahirkan pada tahun 1893. Setelah lulus sebagai pelajar generasi pertama Madrasah Ahmadiyah di Qadian tahun 1917, beliau menjadi guru Bahasa Arab dan Agama pada Ta’limul Islam High School di Qadian. Tahun 1924 beliau dipindahtugaskan ke Departemen Tabligh (Nazarat Da’wat Tabligh). Dari tahun 1925 sampai 1950 beliau bertugas sebagai Muballigh di Nusantara. Kemudian beberapa tahun setelahnya, beliau ditugaskan sebagai Muballigh di Pakistan Timur. Tanggal 31 Agustus 1958, beliau wafat di Rabwah Pakistan.
Pada tanggal 15 Agustus 1925, berlangsunglah sebuah upacara di Qadian, melepas utusan pertama Jemaat Ahmadiyah untuk Nusantara, Maulana Rahmat Ali HAOT. Sebuah pesan disampaikan oleh Hadhrat Khalifah kepada Maulana Rahmat Ali bahwa: “Hendaklah ia senantiasa berdoa, Jika kita mempunyai sesuatu, maka sesuatu itu adalah doa, dan berdoalah kepada Tuhan dalam setiap pekerjaan”.
Selain itu, Hazrat Khalifah juga berkenan memberi wejangan seperti berikut:
- Jangan memakai cara berdebat.
- Berbicaralah dengan ulama-ulama yang mencintai ilmu.
- Berbicaralah dengan ulama yang memusuhi secara empat mata.
- Bertablighlah kepada pemuka masyarakat.
- Bertablighlah secara bertahap dan teratur, pertama kepada orang yang baik-baik kemudian kepada orang-orang yang tidak baik.
- Setia dan taatlah kepada kebijakan pemerintah.
- Jangan mencari muka pemerintah, tetapi mintalah apa yang menjadi hak-mu.
- Dimana ada orang-orang Ahmadi bentuklah badan pengurus.
- Sibuklah berdoa setiap saat.
- Kirimlah laporan secara teratur kepada Khalifah supaya situasi dapat dipantau.
- Ciptakanlah kebiasaan bertabligh kepada orang-orang Ahmadi baru dan jadikanlah mereka teladan yang baik supaya orang-orang mengerti hakikat Ahmadiyah.
- Ciptakanlah perdamaian untuk keamanan umum dan pemerintah.
- Jauhilah politik supaya dapat berhubungan dengan masyarakat secara bebas.
- Bertablighlah secara korespondensi, tentukan tempat pertablighan.
- Jangan lalai menjalankan tugas.
- Tiga perempat dari iuran, belanjakan disana dengan ikhlas dan jujur sisanya kirim ke pusat.
- Jagalah kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman. Orang-orang akan masuk Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.
- Majukan Jemaat dengan penuh keikhlasan.
Ketika bunga-bunga di awal musim rontok akan mulai berguguran, pada tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali dilepas oleh Hadhrat Khalifatul Masih II dan handai tolan dari Qadian menuju Batala, kemudian Calcutta selanjutnya berlayar menuju Indonesia. Beliau sampai di kota Penang, selanjutnya menyeberang ke Sabang, hingga akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1925 sampailah ia di Tapaktuan Aceh. Di sinilah benih pertama Ahmadiyah mulai ditabur.
Baca juga:
Kiprah Ahmadiyah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
[1] “La Mahdiyaa Illa Isa”,
[2] “Me teri tabhligo zammin ta punca ungga”,
[3] Sumatera Thawalib, sebuah pesantren Islam di Padang Panjang, Sumatera Barat yang didirikan tahun 1921, ketika itu dipimpin oleh Dr. Haji Abdulkarim Amarullah. Ada beberapa sekolah waktu itu di ranah Minang seperti Tarbiyah Candung, Parabek, Diniyah Putri, Tawalib, INS Kayutanam, Kweekschool Bukittinggi, Sekolah Raja Bukittinggi; yang banyak menghasilkan para tokoh bangsa.
[4] Zainuddin Labay el Yunusiah dari Dinniyah School Padang panjang dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, ulama terkemuka di Bukittinggi.
[5] Alasan kedua tokoh Ulama itu ialah karena orang-orang yang menuntut ilmu di Mesir sudah cukup banyak sehingga mereka dianjurkan ke Hindustan (India) saja yang mutunya juga tidak kalah dengan perguruan agama di Timur Tengah itu.
[6] Pendapat beliau ini kemudian berubah seperti tercantum dalam “Al-Qaulus Shahih” yang menyatakan Nabi Isa a.s. telah wafat.
[7] Maulana Abdussatar mengakui bahwa ia hanya mencari nafkah bekerja pada Ahmadiyah Lahore sebagai korektor karangan-karangan Maulana Muhammad Ali. Ia sendiri telah bai’at di tangan Khalifatul Masih II.
[8] Honour of Arabic
[9] Ahmadiyyat or the True Islam
[10] Honour of Arabic Oriental Teacher
[11] Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Nusantara.