Peristiwa-peristiwa pada Pertempuran Khaibar

perang khaibar

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 4 April 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝١ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ۝٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ۝٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۝٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۝٦
 صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ۝٧

Sebelum Ramadan, disampaikan berbagai segi tentang sirat kehidupan Rasulullah saw. yang berkaitan dengan peperangan, dan dibahas tentang Perang Khaibar. Hari ini pun saya akan menyampaikan beberapa hal berkenaan dengannya. Bersamaan dengan kegembiraan atas kemenangan Khaibar, pada hari-hari itu juga ada kabar gembira lain bagi Hazrat Rasulullah saw. yang tentangnya beliau saw. bersabda, “Aku tidak bisa mengatakan mana yang lebih membuatku gembira, kemenangan Khaibar atau hal ini”. Hal tersebut adalah kembalinya Hazrat Ja’far bersama para muhajirin Habsyah dari Habsyah. Seperti yang kita ketahui, beberapa Muslim yang tertekan oleh kekejaman dan penindasan penduduk Makkah lalu berhijrah ke Habsyah, di antaranya adalah sepupu Nabi saw., Hazrat Ja’far bin Abi Thalib r.a..

Setelah Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. mengirim Hazrat Amr bin Umayyah Damri r.a. ke Habsyah dengan membawa surat untuk Raja Najasyi yang isinya meminta agar para muhajir Muslim yang masih tinggal di sana dikirim kembali ke Madinah kepada beliau saw.. Maka, setelah tinggal di negeri asing selama 14 atau 15 tahun, mereka berangkat dengan dua kapal menuju Madinah. Ketika mereka mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang berada di Khaibar, karena tidak sabar ingin segera bertemu beliau saw., mereka tidak menuju ke Madinah melainkan langsung menuju ke Khaibar. Ketika Rasulullah saw. melihat Hazrat Ja’far r.a., beliau saw. berdiri dan memeluknya. Beliau saw. mencium keningnya di antara kedua matanya dan bersabda:

مَا أَدْرِي بِأَيِّهِمَا أَنَا أَسَرُّ: بِفَتْحِ خَيْبَرَ أَمْ بِقُدُومِ جَعْفَرَ؟

“Aku tidak tahu mana di antara dua hal ini yang lebih membuatku gembira, kemenangan Khaibar atau kedatangan Ja’far?”

Bersama mereka juga datang Hazrat Abu Musa Al-Asy’ari r.a. dengan lebih dari 50 orang dari kaumnya.

Nama Hazrat Abu Musa Al-Asy’ari r.a. adalah Abdullah bin Qais dan beliau berasal dari suku Asy’ari. Beliau datang ke Makkah bersama beberapa orang dari kaumnya dan setelah memeluk Islam, kembali kepada kaumnya. Beberapa waktu kemudian, beliau berangkat dalam perjalanan laut untuk berhijrah ke Madinah bersama dua saudaranya dan sekitar 50 orang dari kaumnya. Namun, selama perjalanan, karena angin kencang, kapal mereka terdampar di pantai Habsyah. Di Habsyah, mereka bertemu dengan Hazrat Ja’far r.a. dan mulai tinggal di sana. Sekarang ketika Hazrat Ja’far r.a. bersiap untuk pergi ke Madinah, orang-orang Muslim dari suku Asy’ari ini juga ikut serta. Bersamaan dengan mereka, beberapa orang dari suku Daus juga bergabung. Di antara mereka ada Hazrat Abu Hurairah r.a., Tufail bin Amr dan para pengikutnya. Beberapa orang dari suku Asyja’ juga bergabung. Rasulullah saw. memberikan sebagian dari harta ganimah Khaibar kepada semua pendatang ini. Mengenai keutamaan orang-orang yang datang dengan kapal, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

Hazrat Ja’far r.a. dan para Muslim lainnya yang datang bersamanya melalui perjalanan kapal disebut sebagai Aṣḥābus-Safīnah (para musafir dengan kapal laut). Ketika mereka tiba di Madinah, 15 tahun telah berlalu dan kaum Muhajirin di sana telah ikut dalam beberapa peperangan serta telah lebih dulu berhijrah. Oleh karena itu, tampaknya terjadi pembicaraan di antara mereka bahwa mereka memiliki keutamaan yang lebih besar daripada orang-orang ini. Yakni kaum Muhajirin yang tinggal di sini, yang datang ke Madinah bersama Rasulullah saw., memiliki keutamaan lebih besar daripada mereka yang berhijrah ke Habsyah. Suatu kali, istri Hazrat Ja’far r.a., Hazrat Asma binti Umais r.a., datang untuk menemui Ummul Mukminin, Hazrat Hafsah r.a.. Di sana, Hazrat Umar r.a. juga hadir dan bertanya, “Siapakah wanita ini?” Hazrat Hafsah r.a. menjawab bahwa ia adalah Asma binti Umais. Hazrat Umar r.a. berkata, “Oh, wanita dari Habsyah itu? Yang melakukan perjalanan laut?” Hazrat Asma r.a. menjawab, “Ya, benar.”

Mendengar hal ini, Hazrat Umar r.a. berkata, “Kami telah mendahului kalian dalam hijrah ke Madinah, karena itu kami lebih dekat kepada Rasulullah saw. dibandingkan kalian.” Mendengar perkataan ini, Hazrat Asma r.a. berbicara dengan rasa sedih dan marah, “Demi Allah, tidaklah demikian. Kalian memang tinggal bersama Rasulullah saw., beliau saw. memberi makan kepada yang lapar di antara kalian dan menasihati semua di antara kalian. Sementara kami berada jauh dari tanah air kami, di negeri asing yang jauh di wilayah musuh. Kami menghadapi berbagai macam ketakutan dan kecemasan di sana. Kami menanggung semua kesulitan ini demi Allah dan Rasul-Nya saw..” Lalu ia bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan makan sampai aku menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw.. Aku akan menyampaikan persis seperti yang Anda katakan, tidak kurang tidak lebih. Aku akan menceritakan semuanya kepada beliau saw..” Kemudian ia menghadap Nabi saw. dan menceritakan seluruh kejadian tersebut.

Mendengar hal ini, Rasulullah saw. bersabda,

لَيْسَ بِهَا حَقٌّ بِي مِنْكُمْ، وَلَهُ وَلِأَصْحَابِهِ هِجْرَةٌ وَاحِدَةٌ، وَلَكُمْ وَأَنْتُمْ أَهْلُ السَّفِينَةِ هِجْرَتَانِ.

“Mereka tidak memiliki hak lebih besar daripada kalian, bahkan mereka dan para sahabatnya hanya melakukan satu kali hijrah, sedangkan kalian, yaitu orang-orang yang berlayar ke Habasyah, telah melakukan dua kali hijrah.”

Dengan demikian, beliau saw. menghibur mereka dan menghilangkan kesedihan mereka. Ketika Hazrat Asma r.a. mendengar hal ini, beliau menyampaikan kehormatan dan kebahagiaan ini kepada teman-temannya. Hazrat Asma r.a. menuturkan, “Kemudian orang-orang dari Habsyah datang kepada saya secara berkelompok dan dengan penuh semangat mendengarkan sabda penuh berkat dari Rasulullah saw.ini dari saya. Tidak ada hal lain di dunia yang memberi mereka kebahagiaan sebesar itu, dan tidak ada hal lain yang memiliki kedudukan setinggi sabda Rasulullah saw. ini bagi mereka”. Ia menuturkan, “Beberapa dari mereka bahkan datang berulang kali kepada saya untuk mendengarkan sabda Rasulullah saw. ini”.

Di sini terdapat riwayat tentang seorang hamba sahaya Habsyi yang telah masuk Islam dan kemudian mati syahid. Dalam riwayat disebutkan bahwa ada seorang hamba sahaya Habsyi bernama Yasar milik seseorang dari Khaibar yang bertugas menggembalakan ternaknya. Ketika ia melihat penduduk Khaibar mengangkat senjata untuk melawan Rasulullah saw., ia bertanya kepada mereka, “Apa tujuan kalian?” Mereka menjawab, “Kami akan berperang melawan orang yang mengaku dirinya sebagai nabi.” Ungkapan tentang Rasulullah saw. itu tertanam dalam hatinya, yaitu ia meyakini bahwa pasti ada sesuatu yang istimewa tentang kedudukan dan pendakwaan kenabian Rasulullah saw.. Ia kemudian pergi membawa kambing-kambingnya untuk digembalakan. Kaum Muslimin menangkapnya dan membawanya kepada Rasulullah saw.. Dalam riwayat lain yang lebih rinci disebutkan bahwa hamba sahaya itu sendiri yang datang kepada Rasulullah saw. dengan membawa kambing-kambingnya.

Rasulullah saw. berbicara dengannya. Hamba sahaya itu bertanya, “Kepada apakah engkau menyeru?” Rasulullah saw. menjawab, “Aku mengajakmu kepada Islam dan agar engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, dan agar engkau tidak menyembah selain Allah.” Hamba sahaya itu bertanya, “Jika aku bersaksi demikian, apa yang akan kudapatkan? Dan jika aku beriman kepada Allah, apa yang akan kudapatkan?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika engkau beriman kepada-Nya, maka bagimu surga.” Maka hamba sahaya itu masuk Islam dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya aku adalah orang yang berkulit hitam, wajahku tidak tampan, aku berbau tidak sedap, dan aku tidak memiliki harta. Jika aku berperang melawan mereka dan aku terbunuh, apakah aku akan masuk surga? Rasulullah saw. bersabda, “Ya, kamu akan masuk surga.” Hamba sahaya Habsyi itu berkata, “Wahai Rasulullah saw., kambing-kambing ini adalah amanah yang ada padaku. Apa yang harus kulakukan dengan mereka?” Rasulullah saw. bersabda, “Keluarkanlah mereka dari pasukan dan bawalah ke padang kosong lalu lepaskan mereka. Sesungguhnya Allah Taala akan menunaikan amanahmu untukmu.” Artinya, kambing-kambing itu akan sampai kepada pemiliknya.

Orang-orang yang menuduh bahwa Hazrat Rasulullah saw. berperang untuk mendapatkan harta ganimah, khususnya terkait Khaibar, mereka menuduh bahwa ini adalah kezaliman karena telah merampas harta Yahudi secara tidak sah. Jika hal ini benar, maka dalam kondisi perang itu, sekelompok kambing milik musuh itu, dan keadaan para sahabat di Khaibar yang sangat kelaparan – mereka sangat lemah karena kelaparan dan tidak ada makanan – maka kambing-kambing ini adalah harta ganimah perang yang gratis yang bisa mereka gunakan, tetapi Rasulullah saw. bahkan dalam keadaan perang pun memerintahkan untuk mengembalikan kambing-kambing itu demi menunaikan hak amanah. Alhasil, ia melakukan seperti yang diperintahkan. Kambing-kambing itu berkumpul lalu keluar seolah-olah ada yang menggiring mereka hingga setiap kambing sampai kepada pemiliknya. Kemudian ia maju dan berperang. Ia bergabung dalam peperangan. Hingga sebuah anak panah mengenainya dan ia syahid. Padahal ia belum pernah melakukan satu sujud pun. Ia baru saja masuk Islam dan belum pernah melakukan salat dan sebagainya, lalu kaum Muslimin membawanya ke dalam pasukan mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Masukkanlah ia ke dalam tenda.” Para sahabat memasukkannya ke dalam tenda Rasulullah saw.. Hazrat Anas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang kepadanya dan ia telah syahid.

Beliau saw. bersabda, “Allah telah menjadikan wajahmu indah, menjadikanmu harum, dan memperbanyak hartamu”. Beliau saw. mendoakannya dan bersabda, “Allah Taala telah memasukkanmu ke surga”.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menceritakan kejadian ini sebagai berikut:

Pada hari-hari pengepungan Khaibar, seorang penggembala milik pemimpin Yahudi yang biasa menggembalakan kambing-kambing mereka masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sekarang saya tidak bisa pergi ke orang-orang itu lagi, dan kambing-kambing milik orang Yahudi ini adalah amanah yang ada pada saya. Sekarang apa yang harus saya lakukan dengan kambing-kambing ini?” Beliau saw. bersabda, “Arahkan muka kambing-kambing itu ke arah benteng dan dorong mereka. Allah Taala akan menyampaikan mereka kepada pemiliknya.” Maka ia melakukan seperti itu dan kambing-kambing itu pergi ke dekat benteng, dari mana penduduk benteng memasukkan mereka ke dalam.

Terkait:   Riwayat Abu Bakr ash-Shiddiiq ra (Seri 4)

Di Khaibar ini juga ada disebutkan beberapa hal tentang masalah fikih. Hazrat Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan bahwa pada hari Khaibar, Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai peliharaan. Demikian pula dalam sebuah riwayat Bukhari, Hazrat Ali r.a. menyatakan bahwa pada hari Khaibar, Nabi saw. melarang daging keledai peliharaan dan nikah mut’ah.

Ada juga disebutkan tentang perjanjian damai antara penduduk Fadak dengan Rasulullah saw.. Fadak terletak dekat Khaibar, berjarak enam malam perjalanan dari Madinah. Ketika Rasulullah saw. menuju ke Khaibar dan mendekatinya, beliau saw. mengutus Muhayyisah bin Mas’ud ke Fadak. Beliau saw. memerintahkan untuk menyeru mereka kepada Islam dan memperingatkan bahwa mereka juga bisa diserang karena mereka juga sudah sering membuat kekacauan atau dengan cara tertentu menyusahkan umat Islam atau melakukan berbagai hal yang merugikan. Beliau saw. bersabda, “Kalian bisa diserang seperti yang sedang terjadi terhadap Khaibar”. Hazrat Muhayyisah r.a. menuturkan, “Saya pergi menuju mereka dan tinggal bersama mereka selama dua hari, tetapi mereka terus ragu-ragu dan berkata, ‘Di Khaibar ada 10.000 pejuang, di antaranya ada orang-orang seperti Amir, Yasir, Harits, dan pemimpin Yahudi, Marhab. Kami tidak berpikir Muhammad saw. akan bisa mencapai mereka.'” Hazrat Muhayyisah r.a. melanjutkan, “Ketika saya melihat keburukannya dan keras kepalanya, saya berniat untuk kembali, lalu mereka, orang-orang dari suku itu, berkata, ‘Kami akan mengirim beberapa orang kami bersama engkau yang akan membawa pesan perdamaian dari kami,’ dan mereka menduga bahwa Rasulullah saw. tidak akan bisa menaklukkan Khaibar. Mereka memang mengatakan bahwa mereka akan mengirim orang-orang, tetapi pikiran mereka tetap bahwa Khaibar tidak akan ditaklukkan. Jadi mereka terus berlaku seperti itu. Mereka terus menunda-nunda dan berkata, ‘Baiklah, kami akan mengirim orang-orang.’ Akhirnya beberapa orang datang kepada mereka dan memberi berita bahwa Muhammad saw. telah menaklukkan benteng Na’im. Mendengar hal ini, penduduk Fadak menjadi takut dan mereka mengirim salah seorang pemimpin mereka bersama sekelompok orang untuk menghadap Rasulullah saw.. Orang itu bernama Nun bin Yusha’. Ia datang menghadap dan memohon kepada Rasulullah saw., “Mohon berdamailah dengan kami dengan syarat Anda mengampuni kami dan membiarkan kami pergi dari Fadak dengan membawa harta benda kami.” Rasulullah saw. menerima permintaan mereka.

Ada juga riwayat lain yang menyebutkan bahwa penduduk Fadak berdamai dengan Rasulullah saw. dengan syarat mereka menyerahkan setengah tanah mereka kepada beliau saw. dan mempertahankan setengahnya untuk mereka sendiri. Karena pemukiman ini diperoleh tanpa peperangan, maka ini menjadi harta fai’ untuk Rasulullah saw.. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menggunakan pendapatan dari Fadak untuk biaya pengeluaran. Mengenai harta ganimah perang Khaibar dan pembagiannya, ada sebuah riwayat. Hazrat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, “Kami pergi bersama Rasulullah saw. menuju Khaibar dan dalam harta ganimah perang kami tidak mendapatkan emas dan perak, hanya unta, ternak, barang-barang, dan kebun-kebun”.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa harta ganimah adalah berupa pakaian dan barang-barang. Hanya senjata yang diperoleh dari beberapa benteng, yang rinciannya adalah 1000 tombak, 400 pedang, dan 500 busur panah. Diriwayatkan dari Bashir bin Yasar, “Rasulullah saw. membagi Khaibar secara keseluruhan menjadi 36 bagian. Beliau saw. menyisihkan setengahnya, yaitu 18 bagian, untuk kaum Muslimin, yang masing-masing terdiri dari 100 bagian, sehingga semuanya menjadi 1800 bagian. Nabi saw. juga mendapat suatu bagian seperti bagian salah satu dari mereka; yakni bagian Nabi saw. sendiri sama dengan bagian yang lainnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa prajurit berkuda mendapat tiga bagian dan prajurit biasa mendapat satu bagian.

Beliau saw. mengkhususkan setengah sisanya untuk menghadapi keadaan, urusan, dan peristiwa yang akan datang serta hal-hal yang akan dihadapi oleh kaum Muslimin di masa depan. Itu masuk ke dana cadangan dan itu adalah Watih, Katibah, dan Salalim beserta yang terkait dengannya. Ini adalah harta jaidad yang ada di sana. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa dari Katibah diambil bagian khumusnya demi Allah Taala, yakni bagian untuk Nabi, bagian untuk kerabat, anak yatim, dan orang miskin, serta nafkah untuk para istri suci Nabi, dan bagian untuk orang-orang yang menjadi perantara antara Rasulullah saw. dan penduduk Fadak. Di antara mereka adalah Hazrat Muhaisah bin Mas’ud r.a.. Rasulullah saw. memberinya 30 wasaq gandum dan 39 wasaq kurma dari situ. 1 wasaq terdiri dari 60 sha’. 1 sha’ setidaknya setara dengan 2,5 kilogram. Dengan demikian, diperkirakan sekitar 4.500 kilogram gandum dan 4.500 kilogram kurma yang diberikan.

Harta ganimah perang Khaibar umumnya hanya dibagikan kepada orang-orang yang hadir dalam Perjanjian Hudaibiyah. Namun, sebagai pengecualian, selain mereka, Hazrat Jabir bin Abdullah bin Amr r.a. juga diberi bagian. Begitu pula, orang-orang yang kembali dari Habsyah dan Hazrat Abu Hurairah r.a. serta beberapa orang lainnya juga diberi bagian dari harta ganimah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa bagian khumus (seperlima) yang diperuntukkan bagi Nabi saw. digunakan untuk membeli senjata dan pakaian, serta diberikan kepada keluarga beliau saw., Bani Muthalib, janda-janda yatim mereka, dan orang-orang yang meminta-minta.

Ibnu Ishaq menulis: “Yang bertanggung jawab atas pembagian di Khaibar adalah Jabbar bin Shakhr al-Anshari dari Bani Salamah dan Zaid bin Tsabit dari Bani Najjar. Keduanya bertugas menghitung dan membagikan harta ganimah perang.”

Ibnu Sa’d menulis: “Rasulullah saw. memerintahkan untuk mengumpulkan harta ganimah. Maka harta itu pun dikumpulkan. Beliau saw. menunjuk Farwah bin Bayadi sebagai pengawas dan memberikan tanggung jawab penghitungan kepada Hazrat Zaid bin Tsabit r.a..”

Abdullah bin Mughaffal menuturkan, “Saya mendapatkan sebuah kantong kulit.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kantong itu berisi lemak. “Saya berkata, ‘Saya tidak akan memberikan ini kepada siapa pun.’ Saya lewat di hadapan Nabi saw. dan merasa malu, lalu saya membawanya di bawah ketiak dan pergi ke teman-teman saya dan menyembunyikannya. Di tengah jalan saya bertemu dengan pengawas harta ganimah. Ia memegang ujung kantong itu dan berkata, ‘Bawa kemari, kami akan membagikannya.’ Saya berkata, ‘Tidak, demi Allah saya tidak akan memberikannya kepadamu.’ Ia mulai menarik kantong itu dariku. Beliau saw. melihat dan tersenyum, lalu bersabda kepada pengawas, ‘Biarkan ia.’ Maka pengawas pun melepaskan saya. Saya membawa barang milik saya kepada teman-teman saya, kemudian kami menyantapnya. Inilah ungkapan kasih sayang beliau saw. terhadap para sahabatnya. Baiklah, jika ia telah mengambilnya, biarkan ia membawanya pergi.

Ibnu Ishaq menulis: “Rasulullah saw. memberikan ayam peliharaan dan hewan ternak kepada Ibnu Luqaim.” Yakni, apa pun yang ada dibagikan.

Wanita-wanita yang ikut serta dalam perang Khaibar juga diberi bagian. Ibnu Ishaq menulis: “Beberapa wanita muslim ikut bersama Rasulullah saw. ke Khaibar, maka beliau saw. memberikan mereka sebagian dari harta fai. Namun, mereka tidak diberi bagian yang berasal dari harta ganimah.”

Seorang wanita dari Bani Ghifar berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw. bersama beberapa wanita dari Bani Ghifar. Kami semua berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin pergi bersama Anda.’ Saat itu beliau saw. sedang menuju ke Khaibar. Ia berkata, ‘Kami akan merawat yang terluka dan membantu kaum Muslim.’ Beliau saw. bersabda, ‘Pergilah dengan keberkatan Allah. Baiklah, kalian diizinkan.’ Maka kami pun berangkat bersama beliau saw.. Ketika Rasulullah saw. menaklukkan Khaibar, beliau saw. juga memberi kami bagian dari harta ganimah. Rasulullah saw. mengambil sebuah kalung dan mengalungkannya di leher saya. wanita itu berkata, ‘Demi Allah, kalung itu selalu bersama, yaitu tergantung di leher saya. Saya tidak pernah terpisah dengannya bahkan sedetik pun.’ Bahkan sahabat wanita ini berwasiat agar kalung itu dikuburkan bersamanya, sehingga tidak ada tangan yang bisa membuka ikatan yang telah diikat oleh Nabi saw.. Nama wanita dari suku Bani Ghifar ini disebutkan sebagai Umayyah binti Qais Abu Salt.

Dari Hazrat Abdullah bin Unais r.a. meriwayatkan, “Saya pergi ke Khaibar bersama Rasulullah saw. dan istri saya yang sedang hamil. Di tengah perjalanan, istri saya melahirkan, lalu saya memberi kabar kepada Rasulullah saw.. Beliau saw. bersabda, ‘Rendamlah kurma untuknya, dan ketika sudah cukup lunak, suruhlah ia untuk meminumnya.’ Yakni, rendam dalam air, dan sari yang dihasilkan itu berikan kepadanya. Saya melakukan hal tersebut, dan ia tidak merasakan kesakitan, kelemahan yang dialaminya setelah melahirkan pun hilang. Ketika kami telah menaklukkan Khaibar, para wanita tidak mendapat bagian dari harta ganimah. Namun, Rasulullah saw. memberi mereka bagian dari harta fai (harta yang diperoleh tanpa peperangan) dari Fadak. Beliau saw. juga memberi bagian untuk istri saya dan anak saya yang lahir di tengah perjalanan.”

Di sini tertera juga tentang pengembalian lembaran Taurat kepada orang-orang Yahudi. Ketika harta ganimah dikumpulkan dari benteng-benteng Khaibar, di antaranya terdapat beberapa gulung lembaran Taurat. Orang-orang Yahudi menghadap Rasulullah saw. dan meminta agar lembaran Taurat tersebut dikembalikan. Maka Rasulullah saw. memerintahkan agar agar lembaran-lembaran itu dikembalikan dengan aman. Taurat yang tertulis pada lembaran itu pun dikembalikan. Ini menunjukkan keagungan sikap toleransi beragama Rasulullah saw. dan penghormatan beliau terhadap perasaan dan gejolak keagamaan dengan memerintahkan agar Taurat mereka dikembalikan dengan aman. Tidak seperti zaman sekarang di mana kitab-kitab dibakar, atau Al-Qur’an dibakar karena permusuhan terhadap umat Islam. Beliau saw. justru mencontohkan bahwa lembaran-lembaran kitab mereka harus dijaga dan dikembalikan.

Disebutkan juga tentang Perang Wadiul Qura saat kembali dari Khaibar. Setelah kemenangan Khaibar, Rasulullah saw. tinggal di sana beberapa hari. Kemudian beliau saw. berangkat kembali bersama pasukan Islam dan terjadi pertempuran menghadapi orang-orang Yahudi di Wadiul Qura.

Antara Taima dan Khaibar terdapat sebuah lembah yang di dalamnya terdapat banyak pemukiman. Lembah ini disebut Wadiul Qura. Pada zaman dahulu, kaum ‘Ad dan Tsamud tinggal di sini. Kedua kaum ini disebutkan dalam Al-Qur’an Suci. Kaum-kaum ini tinggal di sana. Sebelum Islam, orang-orang Yahudi datang dan menetap di pemukiman-pemukiman ini, mereka mengembangkan pertanian dan irigasi dengan sangat maju sehingga tempat ini menjadi salah satu pusat Yahudi. Pada kesempatan ini, ada sebuah riwayat dari Hazrat Abu Hurairah r.a.. Beliau meriwayatkan: “Kami menaklukkan Khaibar, kemudian kami bersama Rasulullah saw. tiba di Wadiul Qura. Bersama beliau saw. ada seorang hamba sahaya bernama Midham, yang dihadiahkan untuk beliau saw. oleh Bani Dhibab. Ketika ia sedang menurunkan pelana unta Rasulullah saw., tiba-tiba sebuah anak panah yang tidak diketahui asalnya mengenainya hingga ia meninggal. Orang-orang berkata, “Mubarak atas kesyahidannya.” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kain yang ia ambil dari harta ganimah pada hari Khaibar sebelum pembagian dilakukan kini menjadi api yang membakarnya.” Maksudnya, ia telah mencuri kain tersebut dari harta ganimah yang sedang dikumpulkan. Ketika seseorang mendengar hal ini dari Nabi saw., ia menyadari betapa berbahayanya situasi ini yakni orang tersebut akan masuk neraka karena mencuri kain itu. Maka ia datang membawa satu atau dua tali untuk alas kaki dan berkata, “Ini adalah barang yang saya ambil.” Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Satu atau dua tali sandal pun bisa menjadi penyebab seseorang masuk ke dalam api neraka. Bahkan benda terkecil sekalipun, jika dicuri, akan menjadi sebab hukuman bagimu.”

Terkait:   Kehidupan Hadhrat Rasulullah SAW (II) : Ekspedisi di Masa-Masa Awal

Bagaimanapun, dalam rincian perang ini, lebih lanjut tertulis bahwa Rasulullah saw. mengatur barisan sahabat untuk berperang menghadapi Yahudi di sini. Beliau saw. memberikan satu bendera kepada Hazrat Saad bin Ubadah r.a., satu bendera kepada Hazrat Hubab bin Mundzir r.a., satu bendera kepada Hazrat Sahl bin Hunaif r.a., dan satu bendera kepada Hazrat Abbad bin Bisyr r.a.. Kemudian Rasulullah saw. mengajak Yahudi kepada Islam dan memberitahu mereka bahwa jika mereka menerima Islam, mereka akan menyelamatkan nyawa dan harta mereka, dan perhitungan mereka akan diserahkan kepada Allah. Namun, orang-orang Yahudi menolak dan bersiap untuk berperang. Pertama-tama, seorang Yahudi keluar untuk bertarung, lalu Hazrat Zubair r.a. membunuhnya. Kemudian Yahudi lain keluar, dan Hazrat Ali r.a. membunuhnya. Setelah itu, Yahudi lain keluar, dan Hazrat Abu Dujanah r.a. membunuhnya. Pertempuran berlanjut seperti ini hingga malam, sampai total sebelas orang Yahudi terbunuh.

Ketika hari berikutnya tiba, saat matahari belum terbit, orang-orang Yahudi menyerah sehingga Rasulullah saw. meraih kemenangan di Wadiul Qura. Allah Taala memberikan harta benda orang-orang Yahudi di sana kepada beliau saw. sebagai ganimah, dan kaum Muslimin memperoleh banyak harta dan barang. Rasulullah saw. membagikan harta ganimah di antara kaum Muslimin di Wadiul Qura dan menyerahkan tanah dan kebun kurma kepada orang-orang Yahudi untuk dikelola, sebagaimana beliau saw. menjadikan orang-orang Yahudi Khaibar sebagai pengelolanya juga, dengan bersabda, “Baiklah, kalian pegang ini, berusahalah, dan teruslah membayar (bagian hasilnya).”

Allamah Baladuri menyebutkan: “Rasulullah saw. menunjuk Hazrat Amru bin Sa’id bin Al-‘As r.a. sebagai gubernur Wadiul Qura. Beliau tinggal di Wadiul Qura selama empat hari, kemudian kembali ke Madinah.”

Rincian lebih lanjut tentang ini, insya Allah, akan dibahas nanti. Saat ini saya akan menyampaikan tentang beberapa almarhum, dan kemudian insya Allah setelah salat akan ada salat jenazah gaib untuk mereka.

Pertama adalah Maulana Muhammad Karimuddin Syahid Sahib, yang merupakan Sadr Sadr Anjuman Ahmadiyya Qadian. Beliau wafat beberapa hari yang lalu di bulan Ramadan pada usia 87 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi. Almarhum juga seorang Musi. Ayah beliau baiat dan bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah dan bekerja di berbagai tempat sebagai pegawai swasta. Mereka tinggal di desa yang tidak memiliki fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga Seth Muhammad Moinuddin Sahib dari Chinta Kunta, Hyderabad Kolkata, mengirim Karimuddin Sahib ke Qadian untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1954, beliau masuk ke Madrasah Ahmadiyya untuk belajar. Beliau lulus pada tahun 1957, kemudian mempersiapkan diri untuk Maulvi Fazil dan lulus ujian Maulvi Fazil dari Universitas Punjab Chandigarh pada tahun 1960. Setelah itu, beliau pergi ke Rabwah untuk pendidikan lebih lanjut dan belajar di Jamiah Ahmadiyah selama dua tahun. Beliau memperoleh gelar Syahid. Dengan demikian, beliau adalah mubalig pertama di India yang memperoleh gelar Syahid.

Beliau mendapat taufik untuk melakukan berbagai pengkhidmatan di Qadian, dan di masa ini beliau ditunjuk sebagai anggota Sadr Anjuman Ahmadiyah Qadian sebagai ulama dan tetap menjadi anggota hingga 2021. Kemudian beliau juga mendapat taufik berkhidmat sebagai Additional Nazim Irshad Waqf-e-Jadid luar negeri. Beliau juga mendapat taufik berkhidmat sebagai Sadr Umumi. Beliau juga mendapat taufik berkhidmat sebagai Sadr Majlis Waqf-e-Jadid. Kemudian beliau juga berkhidmat sebagai Prinsipal Jamiah untuk dua periode. Beliau juga berkhidmat sebagai Sadr Dewan Qadha di Darul Qadha dan juga sebagai Sadr Majlis Karpardaz. Kemudian pada tahun 2021, saya menunjuk beliau sebagai Sadr Sadr Anjuman Ahmadiyah dan beliau tetap berkhidmat di posisi ini hingga wafat.

Inam Ghori Sahib, Nazir A’la Qadian menuturkan, “Almarhum adalah sosok yang sangat sederhana dan menjalani kehidupan dengan sifat kanaah yang luar biasa.” Ini adalah kenyataan. Saya juga telah melihat ini. “Almarhum hidup dengan pakaian putih sederhana dari tunjangan yang diberikan oleh Jemaat, dan sangat tidak suka mengambil pinjaman untuk pengeluaran. Beliau adalah seorang penulis yang sangat baik dan berkualitas tinggi.”

Selama komputer belum mulai digunakan untuk penulisan, beliau mendapat taufik untuk menulis surat kabar Badr serta buku-buku dan majalah Jemaat. Beliau adalah penceramah dan penulis yang baik, dan terus mendapat taufik untuk berpidato di Jalsah Qadian serta acara-acara Jemaat lainnya dan pertemuan-pertemuan tarbiyat. Beliau juga lama mendapat taufik menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam program Rah-e-Huda yang disiarkan langsung di MTA dari Qadian. Beliau menderita penyakit ginjal dan menjadi lemah, namun meskipun demikian beliau terus melaksanakan tugas-tugas beliau dengan penuh semangat, dan teladan beliau benar-benar patut dicontoh. Beliau juga memimpin Jalsah Qadian tahun 2024 yang lalu. Meskipun sakit dan lemah, beliau dengan penuh semangat memimpin selama tiga hari. Beliau membuka acara Jalsah. Demikian pula, beliau juga memimpin Syura yang lalu. Allah Taala telah memberikan taufik berkhidmat di Jemaat selama masa yang panjang, 62 tahun.

Pada hari-hari terakhir hidup beliau, beliau sering menyatakan kepada keluarganya bahwa kelahirannya terjadi di bulan Ramadan, dan beliau ingin melihat apakah wafatnya juga akan terjadi di bulan Ramadan. Maka, beliau wafat pada tanggal 27 Ramadan yang beberkat. Seperti yang telah saya sampaikan, beliau adalah sosok yang sangat pekerja keras dan rendah hati. Beliau selalu berusaha untuk mengerjakan pekerjaan beliau sendiri, tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, bahkan pekerjaan pribadinya pun beliau lakukan sendiri. Beliau adalah sosok yang berilmu dan juga mengamalkannya. Beliau telah menunaikan janji waqf yang telah beliau ikrarkan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah Taala meninggikan derajat beliau.

Pernikahan pertamanya adalah dengan Iqbal Begum Sahibah, yang darinya beliau memiliki dua putra dan dua putri. Setelah Iqbal Begum Sahibah wafat, beliau menikah untuk kedua kalinya. Anak-anak, putri-putri, dan menantu-menantu beliau semuanya mendapat taufik untuk mengkhidmati agama dan jemaat. Semoga Allah Taala menjaga semangat mengkhidmati agama ini dalam keturunan-keturunan beliau juga.

Jenazah kedua adalah Abdul Rashid Yahya Sahib, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Qadha Kanada sampai beberapa waktu yang lalu ketika beliau pensiun. Beliau wafat pada usia 75 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn. Almarhum juga seorang Musi. Ayah beliau telah baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. sekitar tahun 1945 setelah melakukan diskusi, penelitian, dan perdebatan yang panjang serta menyelesaikan semua argumen dengan Maulana Sanaullah Amritsari, Maulana Abul A’la Maududi, dan Maulana Muhammad Ali Sahib MA. Mereka adalah satu-satunya keluarga Ahmadi di seluruh desa, dan meskipun ada perbedaan dalam hal keagamaan, penduduk desa sangat menghormati beliau.

Setelah memperoleh gelar BA dari Talimul Islam College Rabwah, beliau masuk ke Jamiah, kemudian mewakafkan hidupnya dan mulai berkhidmat pada tahun 1975. Awalnya beliau ditugaskan di berbagai tempat di Pakistan, kemudian mendapat taufik untuk berkhidmat di Amerika, Kanada, dan Guatemala. Beliau juga mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai Amir Nasional dan Missionary Incharge di Afrika Selatan. Di Guatemala dan Korea Selatan, beliau mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai Missionary Incharge dan Amir Nasional.

Beliau juga mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai Wakil Principal di Jamiah Ahmadiyah Kanada. Di samping itu, beliau juga mengajar kelas-kelas tafsir Al-Qur’an dan Ilmu Al-Qur’an di sana. Pada tahun 2017, beliau ditunjuk sebagai Ketua Dewan Qadha Kanada dan terus berkhidmat dalam kapasitas ini hingga 2023. Ketika berada di Guatemala, beliau berkesempatan berbicara dengan pemimpin spiritual Buddhis Dalai Lama dan menyampaikan pesan Islam kepadanya. Di antara yang ditinggalkan almarhum adalah tiga putra, tiga putri, dan satu putri lainnya. Putra beliau, Qasim Rashid Sahib, mengatakan bahwa ayahnya sangat menghormati Jemaat dan tidak bisa mentolerir kata-kata apa pun yang menentangnya. Beliau akan sepenuhnya menjawab setiap keberatan terhadap nizam Jemaat. Setelah mendengarkan penuh argumen penentang, beliau akan membuat mereka menyadari kesalahan mereka. Qasim Sahib mengatakan bahwa sepanjang hidupnya, ia melihat ayahnya selalu berkomitmen untuk salat berjamaah dan khususnya salat tahajud. Bahkan dalam keadaan sakit parah sekalipun, beliau berusaha untuk melaksanakan salat berjamaah. Hal ini juga beliau lakukan selama sakitnya yang terakhir.

Dalam tahun terakhir hidupnya, beliau menderita sakit yang cukup parah, namun beliau menanggung penyakitnya dengan penuh kesabaran dan rasa syukur. Beliau terus mengucapkan alḥamdulillāh dan berusaha keras untuk tetap taat. Beliau juga berulang kali menasihati anak-anaknya untuk tetap terikat dengan Khilafat. Beliau selalu mendorong putranya untuk menulis tentang Khilafat di media sosial dengan bangga dan tanpa rasa takut, karena ini adalah solusi nyata bagi persatuan dunia Muslim dan seluruh umat manusia. Beliau memenuhi wakafnya dengan kesetiaan. Pada tahun 1980-an dan 90-an, ketika MTA belum dimulai secara teratur, beliau menyampaikan khotbah-khotbah Hazrat Khalifatul Masih IV r.h. dan Hazrat Khalifatul Masih III r.h. kepada orang-orang. Beliau menyalin sendiri, membuat duplikatnya, dan menyebarkannya kepada orang-orang dalam waktu 24 hingga 48 jam agar pesan Khalifah saat itu dapat sampai kepada orang-orang dan hubungan tetap terjaga.

Keponakan beliau, Mansoor Nooruddin Sahib, juga seorang mubalig di Rabwah. Beliau mengatakan bahwa selama sekitar 53 tahun, almarhum menunaikan tanggung jawab wakaf dengan penuh keikhlasan dan kesetiaan. Beliau mengatakan, “Saya telah melihat beliau memenuhi hak sebagai wakil Jemaat yang layak dengan dedikasi tanpa pamrih terhadap wakaf, dan saya melihat beliau sebagai orang yang taat, patuh, dan mencintai Khalifatul Masih. Ketika ditugaskan di Jamiah, beliau mempersiapkan materi pelajaran dan ceramahnya agar para siswa Jamiah dapat lulus menjadi pelajar, murabbi, dan mubalig terbaik. Beliau sering mengatakan bahwa Khalifah telah mempercayakan kepada beliau untuk mengajar siswa Jamiah, karena itu beliau harus memenuhi kepercayaan tersebut.”

Terkait:   Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Perang Khandaq

Mirza Muhammad Afzal Sahib juga mengatakan bahwa sebagai mubalig, beliau memiliki karakter yang sangat sopan dan menyenangkan. Beliau adalah seorang waqf-e-zindegi yang sangat pekerja keras dan serius. Beliau selalu memprioritaskan pengkhidmatan kepada Jemaat di atas segalanya dan tidak pernah ragu untuk membantu.

Abdul Nur Abid Sahib menuturkan bahwa beliau mengajarkan tafsir Al-Quran kepada kami dengan penuh kasih sayang dan kerja keras. Beliau meminta kami mencatat dengan detail dan memeriksa catatan kami dengan sangat teliti. Catatan yang beliau ajarkan masih berguna bagi kami hingga hari ini. Semoga Allah Ta’ala memperlakukan beliau dengan pengampunan dan rahmat-Nya.

Jenazah berikutnya adalah Mirza Imtiaz Ahmad Sahib, Amir Distrik Hyderabad Sindh, putra Mirza Nazir Ahmad Sahib. Beliau juga telah wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn. Ahmadiyah masuk ke keluarga beliau melalui kakek mereka, yang terhormat Alim Din Sahib almarhum, yang pada masa Khilafat pertama, pertama-tama melakukan baiat secara tertulis dan kemudian mendapatkan kehormatan melakukan baiat langsung saat menghadiri Jalsah Salanah di Qadian. Almarhum Mirza Imtiaz Sahib, setelah menyelesaikan pendidikan BA, memulai usaha pribadinya. Beliau membuka toko obat. Dengan karunia Allah Taala, almarhum diberi kesempatan untuk mengkhidmati agama sejak masa mudanya hingga saat-saat terakhir hidupnya.

Beliau secara rutin melaksanakan shalat tahajud dan sering membantu orang miskin dan membutuhkan secara diam-diam tanpa memberitahu siapa pun. Putra beliau menulis bahwa pada saat pemakaman ayahnya, seorang teman Syiah dari Sanjar Chang berkata, “Saya tidak tahu cara salat dan tidak tahu apa-apa tentang puasa. Saya tidak tahu tentang ajaran dan adab Islam. Imtiaz Sahib-lah yang mengajari saya cara salat dan berpuasa.” Tapi hari ini, kitalah yang disebut non-Muslim di sana. Ia mengatakan bahwa sejak saat itu ia tidak pernah meninggalkan salat dan secara teratur beribadah.

Mirza Mashhud Sahib, seorang mubalig, mengatakan bahwa karena sifat baik, kejujuran, dan akhlak mulia beliau, beliau memiliki hubungan baik dengan banyak pemimpin Sindhi di daerah tersebut, dan orang-orang non-Jemaat biasa menitipkan barang berharga kepada beliau.

Shahbaz Sahib, mantan Qa’id Distrik Hyderabad, mengatakan beliau adalah sosok yang jujur, rendah hati, memiliki empati terhadap orang lain, sangat mencintai khilafat, dan memiliki semangat untuk Nizam Jemaat.

Jika pasien tidak memiliki uang, beliau biasa memberikan obat-obatan secara gratis dari kantongnya sendiri. Saat pemakaman beliau, banyak orang datang untuk menyampaikan belasungkawa dan semua mengatakan bahwa dengan kepergian beliau, telah terjadi kekosongan di daerah mereka. Semoga Allah Taala mengampuni almarhum dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.

Jenazah berikutnya adalah yang terhormat Al-Haj Muhammad Balarabi Sahib dari Aljazair yang meninggal beberapa hari yang lalu pada usia 82 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn. Beliau berasal dari Aljazair dan saat ini tinggal di Prancis. Pada tahun 2015, beliau datang bersama istrinya sebagai tamu ke Jalsah Salanah UK dan dengan karunia Allah Taala, mereka melakukan baiat sebelum kembali. Pada hari pertama Jalsah, beliau merasakan kedekatan yang aneh dengan tempat itu, seolah-olah beliau pernah datang ke sana sebelumnya. Beliau menceritakan bahwa selama bertahun-tahun beliau telah bermimpi tentang tempat ini dan suasananya.

Sehari sebelum baiat, beliau juga melihat mimpi serupa yang menjadi dasar keputusannya untuk bergabung dengan Jemaat Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersama istrinya. Dalam Jalsah tersebut, ada total 35 orang dari keluarganya dari Prancis, baik yang Ahmadi maupun non-Ahmadi, dan delapan orang di antaranya mengikuti jejak beliau dan melakukan baiat selama Jalsah.

Beliau sangat berusaha untuk mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Beliau mendaftarkan mereka ke sekolah-sekolah agama untuk mengajarkan salat dan Al-Qur’an. Anak-anak beliau mendapat taufik untuk menerima Ahmadiyah lebih dulu daripada beliau. Anak-anak beliau mengatakan bahwa ayah mereka telah mengajarkan pendidikan agama yang menumbuhkan kecintaan mendalam terhadap agama dan semangat ketaatan dalam hati mereka, sehingga mempermudah mereka untuk menerima Ahmadiyah. Ahmadiyah masuk ke keluarga beliau melalui putra sulungnya, Muhammad Balarabi, yang suatu hari sedang menyetel saluran satelit ketika MTA tiba-tiba muncul dan di sana ia melihat Hazrat Khalifatul Masih IV r.h..

Setelah itu, beliau melakukan penelitian mendalam tentang Ahmadiyah, khususnya mengenai topik wafatnya Nabi Isa a.s. Akhirnya, pada kesempatan Jalsah Salanah UK tahun 1995, beliau melakukan baiat. Ayahnya baru melakukan baiat sekitar 20 tahun kemudian, sementara putranya telah lebih dulu melakukannya. Almarhum sering bepergian antara Prancis dan Aljazair. Pada tahun 2017, polisi menggerebek rumah almarhum di Aljazair dan menahan anak-anaknya dengan tuduhan sebagai Ahmadi. Dalam situasi ini, beliau menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ketika beliau pergi ke kantor polisi dan ditanya apakah beliau seorang Ahmadi, beliau segera menjawab tanpa ragu-ragu, “Ya, Alhamdulillah saya seorang Ahmadi.” Beliau menjelaskan bahwa mereka menghormati hukum, namun pada hari ketika pihak berwenang mengizinkan, rumah mereka akan menjadi pusat pertama Jemaat Ahmadiyah. Beliau menyatakannya dengan sangat terbuka dan berani. Almarhum memiliki hubungan cinta yang mendalam dengan Khilafat dan Khalifah-e-Waqt. Beliau memiliki semangat yang besar untuk mengkhidmati Jemaat.

Selama bertahun-tahun, rumah mereka di Prancis menjadi pusat berbagai pertemuan dan salat Jumat. Alhaj Muhammad Balarabi meninggalkan istri berusia 81 tahun dan delapan anak, tujuh di antaranya adalah Ahmadi dengan karunia Allah Taala. Salah satu putranya adalah Sekretaris Tablig dan penanggung jawab Desk Arab Prancis. Putri-putri beliau juga mendapat kesempatan untuk mengkhidmati agama. Seorang Ahmadi dari Aljazair menulis bahwa Alhaj Muhammad adalah orang yang sangat baik hati dan dermawan. Beliau selalu bersyukur kepada Allah Taala karena telah diberi kesempatan untuk mengenal dan beriman kepada Imam Zaman a.s. Beliau mengatakan bahwa setelah baiat kepada Imam Zaman, imannya menjadi lebih kuat dan keyakinannya semakin mendalam. Sadr Ansarullah Aljazair mengatakan bahwa beliau selalu menawarkan rumahnya untuk setiap program atau pertemuan Jemaat, bahkan mengkhususkan sebagian rumahnya sebagai pusat salat. Seorang Ahmadi dari Aljazair mengatakan bahwa hubungan beliau dengan Allah Taala sangat istimewa dan merupakan contoh ketakwaan.

Beliau selalu gelisah untuk menunaikan salat tepat waktu dalam segala keadaan, bahkan dalam saat-saat sakit yang parah sekalipun mereka tetap melaksanakan tahajud dan berdoa kepada Allah Taala dengan penuh kekhusyukan dan keyakinan yang kuat. Semoga Allah Taala mengampuni almarhum dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Semoga Dia meninggikan derajat beliau.

Jenazah berikutnya adalah yang terhormat Muhammad Ashraf Sahib Kotri dari distrik Hyderabad. Beliau juga meninggal dunia beberapa hari yang lalu pada usia 70 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn. Beliau adalah ayah dari Naveed Ashraf Sahib, seorang mubalig di Kongo, yang tidak dapat menghadiri pemakaman ayahnya karena sedang bertugas di lapangan. Ahmadiyah masuk ke keluarga mereka melalui Hazrat Nur Ilahi Sahib r.a., seorang sahabat Hazrat Masih Mau’ud a.s., yang merupakan kakek mereka.

Naveed Ashraf Sahib, mubalig di Kongo, menulis: “Kecintaan ayah terhadap agama telah diwariskan dalam darahnya dari nenek moyangnya. Beliau adalah sosok yang sangat saleh, mulia, sangat suka berdoa, dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan khilafat.”

Beliau selalu mendapat taufik untuk berkhidmat dalam Jemaat dalam berbagai kapasitas. Beliau sangat pekerja keras dan sangat ramah dalam menjamu tamu. Pada tahun 1992, beliau juga mendapat kehormatan untuk menjadi tawanan di jalan Allah selama beberapa hari. Beliau membaca Al-Qur’an dan kalam Hazrat Masih Mau’ud a.s. serta para Khulafa dengan penuh kecintaan sehingga setiap pendengar tersentuh hatinya oleh kalam tersebut. Beliau memiliki suara yang sangat merdu. Saat kewafatannya, bahkan seorang penentang keras datang untuk menyampaikan belasungkawa dan mengatakan bahwa beliau adalah orang yang sangat baik dan saleh, belum pernah ia melihat orang seperti itu. Selama penentangan keras yang terjadi di Kotri pada tahun 1992, beliau menunjukkan keberanian dan keteguhan iman yang luar biasa dalam menghadapi para penentang Jemaat. Sehari sebelum wafat, beliau masih menghadiri pertemuan pengurus, membayar candah, dan pada hari kewafatannya beliau menunaikan salat tahajud, membaca Al-Qur’an, menunaikan salat Subuh, lalu sekitar pukul 7:45 pagi beliau menghadap Allah Taala.

Shahbaz Ahmad Sahib, mantan Qaid Hyderabad mengatakan:

“Beliau adalah orang yang banyak mengkhidmati Jemaat, memiliki semangat yang tinggi, sangat berani, dan memiliki semangat luar biasa dalam tablig. Hal terbesar yang saya lihat adalah cara beliau melakukan pengkhidmatan seolah-olah itu adalah pekerjaan pribadi yang dilakukan setiap hari. Begitulah cara beliau mengkhidmati agama. Kami bekerja di sebuah perusahaan dan pada suatu kesempatan, penentangan terhadap Jemaat meningkat pesat. Para mullah menekan manajemen agar memecat beliau. Manajer umum berkata kepada para mullah, ‘Lupakan soal dia Ahmadi, Qadiani atau Mirzai. Beritahu saya satu kelemahan yang bisa menjadi alasan saya memecatnya dari perusahaan.’ Para mullah tidak bisa memberikan jawaban dan dengan demikian pekerjaan beliau tetap berlanjut.”

Di antara yang ditinggalkan adalah istri, tiga putri dan empat putra. Ada juga keturunan-keturunan beliau. Semoga Allah Taala mengampuni beliau dan memperlakukannya dengan kasih sayang. Semoga Dia meninggikan derajat beliau.[1]


الْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ ، وَنُؤْمِنُ بِهٖ ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهٖ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبدُهٗ وَرَسُولُهٗ – عِبَادَ اللّٰهِ رَحِمَكُمُ اللّٰهِ – اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَالۡاِحۡسَانِ وَاِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَیَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡکَرِ وَالۡبَغۡیِ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ – اذْكُرُوا اللّٰهَ يَذْكُرُكُمْ وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.