Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 18 Maret 2022 (Aman 1401 Hijriyah Syamsiyah/15 Sya’ban 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Sebelumnya, mengenai peri kehidupan Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra), masih membahas tentang bagaimana pendapat dan perlakuan beliau kepada para penolak zakat. Ada penjelasan tambahan dari Tarikh Tabari yakni: “Kabilah Asad (أسد), Gatfan (غطفان), dan Thayy (طيئ) telah bersatu di tangan Thulaihah bin Khuwailid (طليحة) yang telah menda’wakan kenabian palsu, kecuali beberapa orang saja dari antara mereka. Orang-orang Kabilah Asad berkumpul di Sumaira (سميراء).”
Nama tempat ini yakni Samirah berasal dari nama seorang pemuda dari kaum ‘Ad. Ini merupakan satu kaum yang terdapat di perjalanan menuju Makkah. Sekeliling wilayah ini ada satu gunung berwarna hitam yang karenanya ia bernama demikian.
“Orang-orang Fazarah dan Gatfan, berkumpul di selatan Thaibah (طيبة) bersama pemimpin mereka masing-masing. Kabilah Tey telah berkumpul di perbatasan daerah mereka. Orang-orang dari kalangan Tsa’labah bin Sa’d (ثعلبة بْن سعد), Murrah (مرة), dan ‘Abs (عبس) pun telah berkumpul di Rabzah (الربذة), di tempat bernama Abraq (الأبرق) bersama pendukung mereka.” Rabzah adalah salah satu lembah diantara lembah di Madinah dengan jarak tempuh 3 hari perjalanan. Abraquz Zabdah berasal dari daerah Kabilah Banu Zubyan.
“Beberapa orang dari Banu Kinanah pun baru saja bertemu mereka, namun daerah itu tidak dapat termasuk ke dalam daerah mereka sehingga mereka menjadi 2 golongan. Golongan pertama bermukim di Abraq dan golongan kedua pergi ke Dzul Qassah (ذي القصة).” Dzul Qassah juga adalah tempat yang berjarak 40 mil dari Madinah.
Tulayhah mengirim Hibal (حبال) untuk membantunya. Hibal adalah keponakan Tulayhah. Demikianlah, Hibal menjadi pemimpin orang-orang Dzul Qassah, yang mana dibawahnya terdapat Kabilah Asad, Laits (ليث), Dail (الديل) dan Mudlij (مدلج) yang juga ada di bawah perlindungannya. Auf bin Fulan bin Sinan (عوف بْن فلان بْن سنان) diangkat menjadi pemimpin Kabilah Murrah di Abraq. Haris bin Fulan (الحارث ابن فلان) yang berasal dari Banu Subaih (بني سبيع) diangkat menjadi pemimpin atas kabilah Tsa’labah dan ‘Abs. Semua kabilah itu mengirim utusan mereka ke Madinah.
Setiap kabilah mengirim utusannya lalu mereka pergi bersama ke Madinah sebagai satu kafilah. Mereka yang datang tinggal di tempat tokoh-tokoh Madinah. Semua orang menjadikan mereka sebagai tamu, kecuali Hadhrat Abbas. Mereka membawanya ke hadapan Hadhrat Abu Bakr (ra) dimana mereka mengajukan syarat akan terus bermakmum di belakang beliau tetapi mereka tidak akan membayar zakat.
Meski demikian, Allah telah mendudukkan Abu Bakr di atas kebenaran. Hadhrat Abu Bakr bersabda, لو منعوني عقالا لجاهدتهم عليه ‘Seandainya mereka tidak memberikan tali pengikat unta sebagai zakat, saya akan berjihad melawannya.’ Mendengar pendirian Hadhrat Abu Bakr ini, ketika kelompok para penentang zakat ini pulang dari Madinah.”[1]
Keadaan mereka saat itu digambarkan oleh seorang sejarawan [‘Ali Muhammad ash-Shalabi] sebagai berikut: “Ketika kelompok itu menyaksikan pendirian beliau, maka mereka pun kembali ke Madinah, namun ada 2 (dua) hal di benak mereka saat mereka kembali ke Madinah. Pertama, belum ada perbincangan tentang bagaimana keadaan mereka yang menolak zakat. Dalam hal ini, Hukum Islam telah jelas, dan Khalifah tidak akan mundur dari keyakinan dan pendirian beliau, terutama tatkala segenap umat Muslim telah sepakat dengan pendapat beliau setelah adalnya dalil yang jelas, dan mereka [segenap Muslim] telah bertekad bulat untuk mendukung Hadhrat Abu Bakr.
Kedua, mereka menganggap keadaan kaum Muslim yang tengah lemah dan berjumlah sedikit sebagai ghanimah sehingga mereka berpikir untuk menyerang Madinah secara dahsyat. Dengan ini, pemerintahan Islam akan runtuh. Inilah tekad mereka yaitu menghancurkan Islam dan ingin mengambil alih [Madinah]. Alhasil, mereka kembali menuju kabilah mereka dan menyampaikan bahwa saat ini jumlah orang-orang di Madinah sangat sedikit dan mendorong mereka untuk menyerang Madinah. Sementara itu Hadhrat Abu Bakr senantiasa siap menghadapi apapun.”[2]
“Setelah kepulangan utusan itu, beliau memerintahkan untuk melakukan penjagaan secara teratur di setiap pos. Beliau mengutus Hadhrat Ali, Hadhrat Zubair, Hadhrat Talhah, dan Hadhrat Abdullah bin Mas’ud untuk pekerjaan ini. Di riwayat lain, tertera juga nama Hadhrat Sa’ad bin Abi Waqqas dan Hadhrat Abdurrahman bin Auf yang ditugaskan berjaga di pos penjagaan.
Selain itu, Hadhrat Abu Bakr pun memerintahkan segenap penduduk Madinah untuk berkumpul di Masjid dan bersabda kepada mereka, إن الأرض كافرة، وقد رأى وفدهم منكم قلة، وإنكم لا تدرون أليلا تؤتون أم نهارا! وأدناهم منكم على بريد. وقد كان القوم يأملون أن نقبل منهم ونوادعهم، وقد أبينا عليهم، ونبذنا إِلَيْهِم عهدهم، فاستعدوا ‘Seluruh tanah [Arab] telah menjadi kafir, dan utusan mereka telah melihat jumlah Anda sekalian yang kecil, dan Anda tidak mengetahui pada hari atau malam apa mereka akan menyerang Anda. Kelompok mereka yang terdekat hanya berjarak 1 Barid dari sini, yakni 12 mil. (1 Barid = 12 Mil). Beberapa orang ada yang berharap agar kita menerima syarat mereka dan mengadakan perdamaian dengan mereka, namun kita tidak menrimanya dan menolak syarat-syarat mereka. Maka dari itu, bersiaplah Anda sekalian!’
Perkiraan Hadhrat Abu Bakr sangat tepat, karena hanya dalam waktu 3 (tiga) malam setelah kepulangan utusan mereka, mereka menyerang Madinah di waktu malam. Mereka [penyerang Madinah] membagi pasukan mereka menjadi 2 (dua) bagian supaya ada yang berfungsi sebagai bala bantuan di saat yang diperlukan. Pasuka bala bantuan ini berada di Dzi Hiss” (Salah satu mata air milik Banu Fazarah dan berada di antara Rabzah dan Nakhal). Jadi, mereka yang menyerang ini tiba di pos penjagaan Madinah di waktu malam.
Di sana [di pos penjagaan Madinah] telah ditempatkan tentara Muslim. Bersama mereka juga ada beberapa yang naik ke tempat tinggi. Para penjaga menyadari keberadaan musuh dan segera mengabarkan perihal pergerakan mereka kepada Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr lalu mengirimkan pesan kepada mereka supaya mereka tetap berada di tempat mereka dan para tentara pun melaksanakannya. Kemudian, Hadhrat Abu Bakr membawa segenap Muslim yang berada di Masjid menuju tempat tersebut dengan mengendarai unta lalu mereka menundukkan segenap musuh. Kaum Muslim berupaya mengejar mereka dengan unta-unta itu hingga mereka pun menjadi 2 (dua) bagian. Pasukan bantuan mereka bergerak mengisi tempat-tempat air mereka dengan udara lalu mengikatnya dan melawan kaum Muslim. Mereka menginjak tempat air kulit itu dengan kaki-kaki mereka di depan segenap unta itu untuk mengagetkan mereka. Karena Unta paling tidak menyukai sesuatu yang mengagetkan seperti [bunyi] tempat air itu, maka seluruh unta kaum Muslim pun menjadi kaget dan melarikan diri, semetara setiap Muslim yang mengendarainya tidak sanggup mengendalikan mereka hingga akhirnya kaum Muslim tiba di Madinah. Memang saat itu tidak ada kerugian yang menimpa kaum Muslim dan musuh pun tidak mendapatkan apapun.
Dari kekalahan yang tampak ini, musuh beranggapan kum Muslim telah lemah dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dengan anggapan kosong ini, mereka menyampaikan kabar tentang ini kepada rekan-rekan mereka yang bermukim di Dzul Qashah (ذي القصة). Mereka meyakininya dan bergerak mendekati kelompok ini. Namun mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah memberi takdir lain atas mereka dan Dia pasti akan menjalankannya.
Sepanjang malam Hadhrat Abu Bakr sibuk menyiapkan pasukan beliau, dan sebelum tiba akhir malam beliau telah selesai mengatur pasukan dan mulai berangkat dengan berjalan kaki. Nu’man bin Muqarrin (النعمان بْن مقرن) ditetapkan sebagai pemimpin di bagian sayap kanan (ميمنته), Abdullah bin Muqarrin (عبد الله بْن مقرن) di bagian sayap kiri (ميسرته) dan Suwayd bin Muqarrin (سويد بْن مقرن) di bagian belakang pasukan yang bersama mereka ada juga yang berkendara.
Matahari belum menyingsing sementara pasukan Muslim dan penentang zakat telah berada di medan yang sama. Musuh belum sepenuhnya menyadari senyapnya derap langkah kaum Muslim, sementara kaum Muslim mulai mendesak mereka dengan pedang mereka. Pertempuran pecah di akhir malam dan sinar matahari belum sepenuhnya terbit dari ufuk, namun para penolak zakat itu telah menghadapi kekalahan mereka dan mereka pun melarikan diri.
Lalu tertera bahwa kaum Muslim mengambil segenap hewan ternak mereka. Saat itu Hibal terbunuh. Hadhrat Abu Bakr mengejar orang-orang tersebut hingga kaum Muslim tiba di Dzul Qassah. Ini adalah kemenangan pertama yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada kaum Muslim. Hadhrat Abu Bakr menetapkan Nu’man bin Muqarrin bersama beberapa orang untuk bermukim di sana, sementara beliau kembali ke Madinah.” Ini dikutip dari Tarikh ath-Thabari.[3]
Ada seorang sejarawan yang menyerupakan perang ini dengan gazwah Badr. Ia menulis, “Saat itu, keyakinan, kebulatan tekat, keteguhan hati dan kehati-hatian yang ditampakkan oleh Hadhrat Abu Bakr menjadikan segenap hati kaum Muslim teringat dengan masa peperangan bersama Rasulullah (saw). pertempuran pertama di masa kekhalifahan Abu Bakr ini sungguh serupa dengan pertempuran Badr. Jumlah kaum Muslim di pertempuran Badr hanya sedikit yakni 313 sementara jumlah tentara musyrik Makkah adalah lebih dari 1000. Demikian pula jumlah kaum Muslim yang bertempur bersama Hadhrat Abu Bakr di saat itu pun sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah segenap kabilah ‘Abs, Dzibyan, dan Gatfan yang sangat banyak dan datang menyerang kaum Muslim.
Di perang Badr, Allah menganugerahkan kemenangan atas orang-orang musyrik. Di saat ini pun Hadhrat Abu Bakr bersama sahabat beliau membuktikan keimanan mereka yang sempurna dan mereka meraih kemenangan atas segenap musuh. Kemudian, seperti halnya perang Badr yang memberi hasil yang jauh ke depan, demikian pula kemenangan yang diraih umat Muslim di pertempuran ini pun sangat berpengaruh bagi Islam di masa yang akan datang.”
“Banu Dzibyan dan Banu ‘Abs yang sangat geram atas kekalahan ini dengan marah menyerang kaum Muslim yang ada di sana dengan tiba-tiba dan menimpakan berbagai kedukaan kepada mereka dan mensyahidkan mereka. Mereka pun membalasnya. Mereka pun mensyahidkan kaum Muslim yang tinggal di daerah mereka. Peristiwa ini ditiru juga oleh kabilah penentang yang lain.
Mendengar berita kezaliman mereka ini, Hadhrat Abu Bakr bersumpah akan memerangi kaum musyrik hingga tuntas dan akan menyerang setiap kabilah yang telah menghabisi kaum Muslim di sana sebagai balasan atas mereka.
Di bawah pimpinan dan bimbingan langsung Hadhrat Abu Bakr, beliau menanggulangi segenap serangan para penolak zakat, sehingga kabilah-kabilah lain yang lemah dan gentar, mereka satu demi satu datang ke Madinah seraya menyerahkan kewajiban zakat mereka. Tatkala kabilah-kabilah yang lemah menyaksikan apa yang menimpa mereka yang kuat itu dan mereka berpikir bahwa ini jugalah yang akan mereka dapatkan dengan menolak zakat, mereka lalu ke Madinah membawa zakat. Ada kabilah yang datang membawa zakat di bagian awal malam, ada yang di pertengahan malam, dan ada yang di akhir malam.
Tatkala mereka menampakkan jumlah mereka di Madinah, orang-orang Madinah beranggapan bahwa jemaat ini datang untuk menakuti mereka, yakni mereka datang memberi kabar buruk. Namun Hadhrat Abu Bakr setiap saat bersabda bahwa mereka datang untuk memberi kabar suka, yakni mereka datang untuk memperkuat Islam dan bukan untuk merugikan Islam. Alhasil, tatkala mereka secara pasti mengetahui bahwa jemaat-jemaat itu datang untuk menguatkan Islam dan jemaat yang akan menyerahkan harta zakat, maka kaum Muslim berkata kepada Hadhrat Abu Bakr, “Hudhur adalah wujud yang penuh berkat. Hudhur senantiasa datang membawa kabar suka.”
Saat itu Hadhrat Abu Bakr pun bersabda, “Golongan yang membawa kabar buruk dan keinginan buruk datang dengan langkah tergesa-gesa, sementara kafilah yang membawa kabar suka datang dengan langkah tenang dan sukacita. Saya telah melihatnya dari cara mereka berjalan.”
Setelah keberhasilan menghadapi para penentang zakat, jumlah harta zakat yang diterima seperti tertera di Tarikh ath-Thabari adalah sebagai berikut, “Di masa itu, harta sedekah sedemikian banyaknya terkumpul di Madinah dan melebihi kebutuhan kaum Muslim. Di saat kemenangan-kemenangan dan kabar suka itu, pasukan Hadhrat Usamah pun tiba di Madinah dengan segenap keberhasilan dan kesuksesan. Setelah kedatangan Hadhrat Usamah, Hadhrat Abu Bakr mengangkatnya sebagai Naib (semacam Amir Maqami atau Amir wilayah pusat atau wakil) beliau di Madinah.
Tertera juga bahwa Hadhrat Abu Bakr mengangkat Sinan adh-Dhamri sebagai wakil beliau, lalu beliau berkata kepada pasukannya, ‘Saat ini Anda beristirahatlah, dan biarkanlah hewan-hewan tunggangan Anda juga untuk beristirahat.’
Sementara itu Hadhrat Abu Bakr menaiki tunggangan beliau dan bergerak bersama yang lain menuju Dzul Qassah. Tetapi kaum Muslim itu berkata kepada Hadhrat Abu Bakr, ننشدك الله يا خليفة رسول الله أن تعرض نفسك! فإنك إن تصب لم يكن للناس نظام، ومقامك أشد على العدو؛ فابعث رجلًا، فإن أصيب أمرت آخر ‘Wahai Khalifatu RasuliLlah ((saw)), kami memohon demi Tuhan kepada Hudhur, supaya Hudhur pun tidak pergi ke sana, karena seandainya (na’udzu billah) sesuatu terjadi pada Hudhur, seluruh nizam akan berantakan. Mohon Hudhur mengirim yang lain untuk pergi supaya jika ada sesuatu yang terjadi padanya, Hudhur dapat mengangkat yang lain untuk itu.’
Lalu Hadhrat Abu Bakr bersabda, لا والله لا أفعل ولأواسينكم بنفسي ‘Demi Allah! Saya tidak akan melakukannya, dan saya akan menyimpan kekhawatiran Anda di dalam kalbu saya.’” [4]
Selanjutnya, mengenai serangan terhadap penduduk Rabdzah tertera, “Hadhrat Abu Bakr mengatur semuanya dan bergerak menuju Dzu Hassah dan Dzul Qassah. – Dzul Qassah adalah tempat berjarak 40 mil dari Madinah. – Nu’man, Abdullah, dan Suwaid tengah berada di bagian mereka masing-masing hingga Hadhrat Abu Bakr mendapati pasukan Rabzah di Abraq. Terjadi pertempuran sengit, dan pada akhirnya Allah menundukkan Harits dan ‘Auf yang merupakan pemimpin kabilah Murrah, Tsa’labah, dan ‘Abs, sementara Fathiyah ditangkap dalam keadaan hidup. Hadhrat Abu Bakr bermukim untuk beberapa hari di Abraq, lalu beliau menjadikan Abraq sebagai tempat penggembalaan kuda-kuda kaum Muslim.
Setelah mendapatkan kekalahan di perang ini, Banu ‘Abs dan Banu Dzibyan bertemu dengan Tulaihah yang berjalan dari Samirah dan tengah berhenti di Buzakhah (بزاخة). Bazakhah pun adalah nama mata air milik Banu Asad, dimana telah terjadi juga pertempuran hebat di masa Hadhrat Abu Bakr melawan Tulaihah Asadi.” [5]
Kemudian sejarawan lain menulis tentang sikap para kabilah yang telah menelan kekalahan, “Saat itu adalah saat yang tepat agar kabilah ‘Abs, Dzibyan, Gatfan, Bani Bakr, dan kabilah penentang lain yang tinggal di dekat Madinah untuk menghentikan pemberontakan dan pembangkangan mereka dan mengikrarkan ketaatan yang sempurna kepada Hadhrat Abu Bakr dan mengamalkan segenap rukun Islam serta bersama kaum Muslim melawan segenap orang-orang yang murtad. Akal sehat menuntut demikian dan keadaan yang terjadi pun mendukung ini semua.
Kekuatan mereka telah tunduk melalui Abu Bakr. Karena keberhasilan yang diperoleh, pengaruh kaum Madinah telah berdiri kuat hingga perbatasan Rumawi. Kekuatan kaum Muslim saat itu telah bertambah, dan mereka tidak lagi ada di bawah bayangan keadaan yang lemah seperti di Perang Badr atau di pertempuran awal lainnya. Kini Mekkah dan Taif pun telah ada bersama mereka, dan kini para pemimpin di kedua kota tersebut dan di seluruh Arab telah menerima mereka. Tokoh-tokoh di kota-kota tersebut telah diakui di seluruh Arab. Kemudian diantara kabilah-kabilah [yang pernah menentang itu], kini telah banyak terdapat kaum Muslim dimana mereka sama sekali tidak akan melakukan pemberontakan. Dengan demikian, kedudukan penentang kini telah sangat lemah.
Mereka memusuhi kaum Muslim. Permusuhan mereka kepada kaum Muslim telah membutakan mata mereka dan hati mereka tidak lagi dapat melihat untung ruginya. Mereka lalu meninggalkan negeri mereka dan bertemu dengan penda’wa kenabian palsu dari Bani Asad yaitu Thulaihah bin Khuwailid. Kaum Muslim yang tinggal di tengah mereka tidak dapat menghentikan mereka dari keinginan mereka. Dengan tibanya mereka itu, kekuatan Thulaihah dan Musailamah pun bertambah, dan mereka mulai memercikkan api pemberontakan yang besar dari Yaman.”
Alhasil, hal ini hendaknya diingat bahwa mereka [sebelumnya] telah memberontak dan telah berperang. Perang ini tidak hanya didasarkan pada suatu penda’waan, namun mereka tengah membalas dendam pemberontakan mereka, dan menjawab perang sebelumnya dengan perang juga.
Mengenai kemenangan atas para penentang zakat dan keberanian serta keteguhan Hadhrat Abu Bakr, Abdullah bin Mas’ud bersabda di dalam satu riwayat beliau, لَقَدْ قُمْنَا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَقَامًا كِدْنَا نَهْلِكُ فِيهِ، لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ مَنَّ عَلَيْنَا بِأَبِي بَكْرٍ، أَجْمَعْنَا عَلَى أَنْ لَا نُقَاتِلَ عَلَى ابْنَةِ مَخَاضٍ وَابْنَةِ لَبُونٍ، وَأَنْ نَأْكُلَ قُرًى عَرَبِيَّةً، وَنَعْبُدَ اللَّهَ حَتَّى يَأْتِيَنَا الْيَقِينُ، فَعَزَمَ اللَّهُ لِأَبِي بَكْرٍ عَلَى قِتَالِهِمْ، فَوَاللَّهِ مَا رَضِيَ مِنْهُمْ إِلَّا بِالْخُطَّةِ الْمُخْزِيَةِ أَوِ الْحَرْبِ الْمُجْلِيَةِ؛ فَأَمَّا الْخُطَّةُ الْمُخْزِيَةُ أَنْ يُقِرُّوا بِأَنَّ مَنْ قُتِلَ مِنْهُمْ فِي النَّارِ، وَمَنْ قُتِلَ مِنَّا فِي الْجَنَّةِ، وَأَنْ يَدُوا قَتْلَانَا وَنَغْنَمَ مَا أَخَذْنَا مِنْهُمْ، وَأَنَّ مَا أَخَذُوا مِنَّا مَرْدُودٌ عَلَيْنَا. وَأَمَّا الْحَرْبُ الْمُجْلِيَةُ فَأَنْ يُخْرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ “Setelah kewafatan Rasulullah (saw), kami berada dalam keadaan dimana jika Allah Ta’ala tidak menurunkan pertolongannya melalui Abu Bakr Siddiq maka kehancuran adalah hal yang pasti bagi kami. Sebelumnya, kami segenap kaum Muslim telah sepakat sepenuhnya bahwa kami tidak akan berperang [melawan penentang zakat] untuk mendapatkan unta-unta zakat dan kami akan sibuk beribadah kepada Allah, hingga kelak kami akan mendapatkan kemenangan yang besar, namun Hadhrat Abu Bakr Siddiq telah bertekad kuat untuk memerangi para penentang zakat. Beliau hanya menyampaikan 2 (dua) hal ke hadapan para penentang zakat, bukan tiga. Pertama, mereka harus menerima kehinaan mereka. Jika mereka tidak menerima maka mereka harus siap untuk bertempur dan diusir dari negerinya. Maksud menerima kehinaan adalah mereka berikrar bahwa kematian mereka kelak adalah kematian neraka sementara umat Muslim menerima surga dan mereka harus membayar setiap jiwa Muslim yang dibunuh oleh mereka.
Mereka tidak akan meminta harta ghanimah yang telah kami dapatkan dari mereka. Sementara itu, mereka harus mengembalikan harta yang mereka ambil dari kami. Adapun hukuman pengusiran bermakna, setelah mendapatkan kekalahan, mereka harus keluar dari daerah mereka, dan tinggal di tempat lain yang jauh.”[6]
Berkenaan dengan hal ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika beberapa kabilah Arab menolak untuk membayar zakat setelah kewafatan Rasulullah (saw), maka Hadhrat Abu Bakr sudah siap untuk berperang menghadapi mereka. Keadaan pada saat itu sedemikian gentingnya sehingga seseorang seperti Hadhrat ‘Umar pun memberikan saran untuk bersikap lunak terhadap mereka. Namun Hadhrat Abu Bakr memberikan jawaban seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, ‘Apalah daya seorang putra Abu Quhafah untuk memansukhkan (membatalkan) perintah yang telah diberikan oleh Rasulullah (saw). Demi Tuhan! Sekalipun zakat yang mereka berikan dulu adalah sebuah tali yang digunakan untuk mengikat unta saja, tetap saya akan memungut tali tersebut dari mereka dan saya tidak akan bernafas dengan tenang sebelum sebelum mereka membayar bagian zakatnya. Seandainya kalian tidak dapat menyertai saya, tidak apa-apa, saya akan menghadapi mereka sendirian.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Sedemikian rupa kesetiaan beliau kepada Rasulullah (saw) yakni dalam keadaan yang genting pun yang mana para sahabat besar memberikan saran yang bertentangan, namun tetap saja beliau bersedia untuk tabah menghadapi berbagai jenis marabahaya untuk memenuhi perintah Rasulullah (saw).”[7]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam satu tempat bersabda, “Pada zaman Hadhrat Abu Bakr, ketika menyebar kekacauan yang ditimbulkan oleh kemurtadan dimana mana, dan shalat berjamaah hanya dilakukan di kampung kampung, begitu juga laskar Islam telah dikirim ke Syam, namun beliau tetap mengirimkan instruksi kepada yang biasa membayar yakni jika ada yang menolak untuk membayar zakat padahal pada zaman Rasulullah (saw) biasa membayarnya sekalipun hanya seutas tali, maka saya akan memungutnya dengan kekuatan pedang.
Bahkan seorang pemberani seperti Hadhrat ‘Umar pun menyarankan, mengingat keadaan, saat ini sebaiknya tidak terlalu bersikeras untuk mengambil zakat, namun Hadhrat Abu Bakr tidak mau menuruti saran Hadhrat Umar. Dari itu dapat diketahui bahwa betapa pertingnya zakat.”[8]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menyampaikan hal ini dalam satu ceramah berkenaan dengan tingkatan takwa. Beliau menjelaskan apa saja tingkatan takwa, betapa pentingnya zakat dan itu penting bagi mereka yang melangkah diatas jalan takwa. Beliau pun bersabda bahwa para Ahmadi hendaknya ingat bahwa zakat sangatlah penting dan hendaknya membayarkannya secara rutin.
Dalam satu kesempatan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ada satu masalah yang penting yaitu zakat, namun orang-orang tidak memahami hal itu. Allah Ta’ala memberikan perintah untuk membayar zakat setelah perintah shalat. Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘Saya akan memperlakukan para penolak zakat sebagaimana Rasulullah (saw) memperlakukan kaum kuffar. Para pria yang seperti itu akan saya jadikan budak pria dan para wanitanya sebagai budak wanita.’
Setelah kewafatan Rasulullah (saw) muncul cobaan begitu rupa yakni seluruh Arab telah murtad kecuali tiga kota yakni Mekah Madinah dan satu kota lainnya. Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Mohon kiranya Hudhur berdamai dengan orang-orang yang menolak untuk membayar zakat. Sebaiknya kita terlebih dulu bertempur menghadapi orang-orang murtad lainnya sehingga yang menjadi prioritas adalah menumpas para pendakwa kenabian palsu, karena kekacauan yang mereka timbulkan lebih berbahaya.’
Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Jika orang-orang tidak mau membayarkan zakat dari harta kekayaannya padahal mereka biasa memberikannya pada zaman Rasulullah (saw) sekalipun nilainya sama dengan anak kambing atau tali pengikat unta maka saya akan memerangi mereka dan jika kalian tidak mau menyertai saya dan meninggalkan saya bahkan jika orang-orang murtad ini menyerang dengan bantuan binatang buas dari hutan, saya akan menghadapinya sendirian.’”[9]
Ini pun merupakan salah satu kutipan dari buku “Keberkatan Khilafat” yang maksudnya ialah hendaknya berusaha sepenuhnya untuk menegakkan syariat dan Khalifah berjuang untuk itu.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam satu kesempatan lain bersabda, “Sebagian orang mengajukan satu keberatan lain, namun Allah Ta’ala telah menjawabnya 13 abad yang lalu Mereka mengatakan bahwa perintah berkenaan dengan ayat وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ ‘syawirhum fil amr – bermusyawarhlah bagi mereka’ [ Surah Ali Imran, 3:160] adalah diberikan kepada Rasulullah (saw), bukan untuk Khilafat. Dalam hal ini orang-orang yang berkeberatan ini hendaknya ingat ketika keberatan yang dilontarkan berkenaan dengan zakat kepada Hadhrat Abu Bakr coraknya sama, mereka mengatakan perintah ini diberikan hanya kepada Rasulullah (saw), yaitu خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا ‘khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkiihim bihaa – Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka’ (Surah at-Taubah, 9:103). Adapun saat ini Rasulullah (saw) telah tiada sehingga tidak ada lagi yang berhak memungut zakat setelah kewafatan beliau.
Dalam menghadapi keberatan tersebut, Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Sekarang yang menjadi lawan bicara dalam ayat tersebut adalah saya, karena Rasulullah (saw) telah wafat.’ Karena syariat telah tegak untuk itu Khalifah lah yang menjadi lawan bicara.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Sama seperti itu juga saya sampaikan kepada para pelontar keberatan bahwa saat ini saya–lah yang menjadi lawan bicara. Jika jawaban yang diberikan oleh Hadhrat Abu Bakr tersebut benar adanya dan memang pasti benar, jawaban saya pun saat ini pasti benar bahwa pada masa ini saya-lah yang menjadi lawan bicara ayat tersebut dan prinsip ini akan selalu berlaku untuk para Khalifah. Ini adalah poin yang harus selalu diingat.”
Beliau (ra) bersabda, “Jika memang keberatan yang kalian sampaikan ini benar adanya, maka terpaksa kalian harus mengeluarkan banyak sekali hukum lainnya dari Al Quran dan ini merupakan kesesatan yang nyata.”[10] Sabda tersebut beliau sampaikan ketika menyampaikan pidato perihal kedudukan Khilafat.
Dalam satu kesempatan lain, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika Hadhrat Rasulullah (saw) wafat, banyak sekali orang bodoh yang kemudian murtad. Terdapat dalam sejarah bahwa hanya tertinggal tiga tempat dimana dilakukan shalat berjamah di masjid mesjidnya. Begitu juga mayoritas orang menolak untuk membayar zakat. Mereka beralasan, ‘Setelah kewafatan Rasulullah (saw) tidak ada yang berwenang untuk memungut zakat dari kami karena hanya beliau yang berwenang memungut zakat.’
Ketika kegentingan seperti ini menyebar di negeri Arab dan Hadhrat Abu Bakr ingin menindak keras mereka lalu Hadhrat ‘Umar dan beberapa sahabat lainnya datang menemui Hadhrat Abu Bakr seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka menyampaikan, ‘Saat ini keadaannya sangat rentan sehingga jika kita bersikap gegabah sedikit saja dapat menimbulkan kerugian yang besar. Atas hal itu, kami mengusulkan agar tidak perlu menghadapi musuh yang besar seperti ini dan dimohon untuk bersikap lunak kepada orang-orang yang menolak untuk memberikan zakat.’
Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Siapa yang takut diantara kalian, silahkan pergi kemana pun kalian suka. Demi Tuhan! Sekalipun tidak ada seorang pun dari kalian yang akan menyertai saya, saya tetap akan menghadapi musuh sendirian sehingga musuh dapat menerobos Madinah untuk membunuh kerabat, kawan dan handai tolan saya lalu menyeret mayat-mayat para wanita di gang-gang Madinah. Meskipun demikian, saya tetap akan berperang melawan mereka. Saya tidak akan berhenti sebelum mereka mau membayar zakat seperti pada zaman Rasulullah (saw), walaupun itu hanya senilai tali unta.’
Sebagaimana Hadhrat Abu Bakr menghadapi kejahatan para musuh dengan penuh keberanian dan pada akhirnya berhasil. Itu semata hanya karena beliau (ra) memahami bahwa pekerjaan ini harus beliau lakukan sehingga beliau mengatakan kepada para sahabat yang memberikan saran dengan mengatakan, ‘Sekalipun kalian menemaniku atau tidak, aku tetap akan menghadapi musuh sendirian, hingga aku dapat mengorbankan jiwaku dijalan Allah Ta’ala.’” Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Jika di dalam suatu kaum memiliki tekad seperti itu maka kaum tersebut akan unggul dalam setiap medan. Tidak ada musuh yang dapat bertahan dihadapannya.”[11]
Inilah yang merupakan rahasia kemajuan suatu kaum yang perlu untuk selalu diingat.
Dalam satu kesempatan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika ribuan orang Arab murtad disebabkan oleh pertentangan masalah zakat sepeninggal Rasulullah (saw), selain itu Musailamah melancarkan serangan ke Madinah, maka Hadhrat Abu Bakr yang merupakan Khalifah pada masa itu mendapatkan kabar bahwa Musailamah tengah melancarkan serangan dengan membawa seratus ribu (100.000) pasukan. Pada saat itu beberapa sahabat menyampaikan saran kepada Hadhrat Abu Bakr dengan mengatakan, ‘Karena kita tengah melewati saat-saat yang sangat genting, orang-orang pun memilih untuk murtad disebabkan oleh selisih pendapat perihal zakat, sementara di tempat lain Musailamah melancarkan serangan dengan membawa pasukan yang sangat banyak, maka dengan memperhatikan keadaan saat ini sebaiknya Hudhur tidak menyinggung perkara zakat dulu saat ini dan diharapkan untuk berdamai dengan mereka.’
Namun, Hadhrat Abu Bakr sedikit pun tidak memperdulikan kekhawatiran tersebut. Beliau mengatakan kepada para pengusul, ‘Apakah kalian ingin membuat saya melakukan sesuatu yang jelas jelas bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulullah (saw)? Perintah zakat berasal dari Allah Ta’ala dan Rasulullah (saw), untuk itu adalah kewajiban saya untuk berjuang sebisa mungkin untuk menjaga hukum hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.’
Para sahabat berkata, ‘Keadaan saat ini menuntut kita agar berdamai dengan mereka.’
Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘Jika anda tidak ingin bertempur dan tidak dapat menghadapi perlawanan musuh, silahkan anda semua pergi dan duduk di rumah masing-masing. Demi Tuhan! Saya akan terus berperang melawan musuh sendirian sebelum mereka mau membayar zakat walau hanya seutas tali unta dan sebelum aku dapat meyakinkan mereka agar mau membayar zakat, saya tidak akan berdamai dengan mereka.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Itulah yang selalu menjadi ciri khas keimanan hakiki.”[12]
Jika itu ada dalam diri kita, maka kita akan dapat menyampaikan pesan hakiki di dunia ini dan akan berhasil insya Allah.
Dalam satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Setelah kewafatan Rasulullah (saw) kabilah kabilah Arab melakukan pembangkangan dan mereka menolak untuk memberikan zakat. Mereka berdalih bahwa selain kepada Rasulullah (saw), Allah Ta’ala tidaklah memberikan wewenang kepada orang lain sebagaimana difirmankan, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ‘Wahai Muhammad (saw)! Ambillah Sebagian dari harta mereka sebagai zakat.’ Di dalamnya tidaklah disebutkan ada orang selain Rasulullah (saw) yang diberikan wewenang untuk mengambil zakat sepeninggal beliau. Namun umat Islam tidak membenarkan dalih tersebut, padahal dalam ayat tersebut yang dituju adalah Rasulullah (saw) secara khusus. Alhasil, mereka yang murtad pada masa itu, dalil besar mereka adalah yang diberikan wewenang untuk mengambil zakat adalah Rasulullah (saw) saja, bukan siapa siapa. Mereka terkecoh dengan berfikiran bahwa hukum hukum yang berkaitan dengan nizam tidak bisa diamalkan untuk selama lamanya, melainkan hukum-hukum tersebut dikhususkan berkaitan dengan wujud Rasulullah (saw).
Namun pemikiran mereka itu adalah keliru, fakta sebenarnya adalah sebagaimana hukum shalat dan puasa tidak berakhir terbatas hingga Rasulullah (saw) saja, begitu pula hukum hukum yang berkaitan dengan nizam bangsa atau suatu negeri, tidaklah terbatas seiring dengan kewafatan beliau, seperti halnya shalat berjamaah yang merupakan ibadah berjamaah, berkenaan dengan hukum hukum tersebut pun adalah perlu agar senantiasa diamalkan dikalangan umat Islam dengan perantaraan para wakil beliau (saw).”[13]
Pada satu kesempatan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika Rasulullah (saw) wafat dan Hadhrat Abu Bakr (ra) terpilih sebagai Khalifah, pada saat itu seluruh Arab murtad. Selain penduduk mekah, Madinah dan satu desa kecil, selebihnya menolak untuk membayar zakat dan berkata, ‘Allah Ta’ala memerintahkan Rasul yang mulia (saw) dengan berfirman, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً “Khudz min amwaalihim shadaqatan, artinya pungutlah olehmu sodaqoh dari sebagian harta mereka.” Karena itu, tidak ada orang lain selain Rasulullah (saw) yang diberikan wewenang untuk memungut harta itu dari kami.’
Alhasil, seluruh Arab murtad dan bersiap untuk bertempur. Yakni tidak hanya murtad bahkan bersiap untuk perang.
Meskipun Islam lemah pada masa Rasulullah (saw), namun kabilah Arab menyerang secara terpisah masing-masing. Kadang yang menyerang hanya satu kabilah. Kadang kabilah lainnya. Pada kesempatan perang Ahzab ketika laskar Kuffar bersatu menyerang umat Islam, hingga saat itu Islam sudah cukup kokoh. Meskipun demikian, kekuatan yang diraih tidak membuat mereka tidak merasa khawatir untuk menghadapi suatu serangan di masa yang akan datang.
Setelah itu, ketika Rasulullah (saw) berangkat untuk menaklukan Mekah, pada saat itu beberapa kabilah Arab tampil untuk membantu beliau. Dengan demikian, jelaslah dari hal ini bahwa Allah Ta’ala memberikan semangat secara bertahap kepada pihak musuh sampai mereka tidak begitu tangguh untuk menyusun kekuatan demi menguasai seluruh negeri.
Namun pada zaman Hadhrat Abu Bakr ra, seketika seluruh Arab murtad, dan yang tersisa hanya Mekah Madinah dan satu kampung kecil. Adapun orang-orang di tempat lainnya menolak untuk membayar zakat bahkan berangkat dengan membawa laskar untuk berperang. Tidak hanya menolak untuk membayar zakat bahkan berangkat membawa laskar untuk berperang. Mereka tidak hanya menolak untuk membayar zakat, bahkan siap untuk berperang. Pada beberapa tempat bahkan mereka memiliki 100 ribu pasukan.
Namun umat Islam hanya memiliki 10 ribu pasukan dan itu pun akan berangkat ke Syam. Itu adalah laskar yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah (saw) ketika menjelang wafat untuk menyerang Rumawi dan beliau menetapkan Usamah sebagai komandannya. Selebihnya adalah orang-orang yang lemah, orang tua atau hanya segelintir pemuda saja.
Melihat keadaan demikian para sahabat berfikir, jika dalam keadaan pemberontakan seperti itu, laskar Usamah tetap diberangkatkan, maka tidak akan dapat dilakukan penjagaan untuk Madinah. Untuk itu perwakilan sahabat besar datang ke hadapan Hadhrat Abu Bakr. Sebelum ini hal tersebut telah dijelaskan, dan berkata: Mohon kiranya keberangkatan laskar Usamah ditahan dulu untuk beberapa waktu. Jika pemberontakan telah mereda, maka silahkan Hudhur melanjutkan pengirmannya. Namun jika memberangkatkan saat ini, tidaklah kosong dari bahaya.
Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda dengan nada marah, ‘Apakah kalian ingin, setelah kewafatan Rasululah (saw), pekerjaan pertama yang dilakukan oleh putra Abu Quhafah adalah menghentikan keberangkatan pasukan yang telah diperintahkan oleh Rasulullah (saw) untuk mengirimkannya? Bagaimanapun laskar ini harus berangkat dan saya pasti akan mengirimkan pasukan yang telah diperintahkan oleh Rasulullah (saw) untuk mengirimkannya. Jika kalian takut dengan pasukan musuh, silahkan tinggalkan saya, saya akan menghadapi semua musuh sendirian.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ini merupakan bukti besar kebenaran يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا Ya’buduunanii laa yusyrikuuna bii syai-an – yang artinya, ‘Seorang mukmin akan beribadah kepada-Ku dan tidak akan menyekutukan siapapun denganKu yakni teguh diatas khilafat atau menyertai Khilafat.’
Itu adalah keadaan yang berlangsung bersama dengan nizam khilafat dan akan terus berlangsung.”
Kemudian beliau (ra) bersabda, “Pertanyaan kedua adalah zakat. Sahabat berkata, ‘Jika Hudhur tidak dapat menunda keberangkatan laskar, sekurang-kurangnya mohon berkenan untuk membuat perjanjian sementara dengan mereka dan katakan kepada mereka, “Kami tidak akan memungut zakat tahun ini dari kalian,” supaya saat ini gejolak amarah mereka akan mendingin dan akan timbul corak terhapusnya perpecahan.’
Namun, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Itu tidak mungkin terjadi.’ (Beliau tidak menuruti saran para sahabat)
Selanjutnya, para sahabat berkata, ‘Jika laskar Usamah berangkat dan jika tidak dibuat perjanjian dengan mereka, lantas siapa yang akan menghadapi musuh? Di Madinah yang tersisa hanya orang-orang tua dan lemah dan hanya segelintir pemuda yang tidak mungkin akan menghadapi pasukan ratusan ribu.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Wahai kawan! Jika kalian tidak dapat menghadapi mereka, Abu Bakr akan siap untuk menghadapi mereka sendirian.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ini adalah pernyataan seseorang yang tidak begitu ahli dalam persenjataan perang dan berkenaan dengannya secara umum dianggap sebagai orang yang berhati lemah. Lantas dari mana timbul keberanian, keyakinan, tekad yang sedemikian rupa seperti tu didalam diri beliau?
Keyakinan itu timbul karena Hadhrat Abu Bakr beranggapan, ‘Saya berdiri pada maqom Khilafat yang diangkat oleh Allah Ta’ala dan saya-lah yang diberikan tanggung jawab untuk semua tugas untuk itu merupakan kewajiban saya untuk bangkit menghadapi mereka. Soal akan berhasil atau tidak, itu semua ada pada wewenang Tuhan. Jika Dia ingin memberikan keberhasilan, maka akan memberikannya sendiri namun jika tidak ingin memberikannya, sekali pun semua laskar bersatu tetap tidak akan berhasil.’”[14]
Hasil luar biasa yang diperoleh dari keputusan Hadhrat Abu Bakr (ra) ini disabdakan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), “Hadhrat Abu Bakr tetap menentang saran para sahabat dan mengirim Usamah Bin Zaid beserta laskarnya ke Mautah. Empat puluh hari kemudian, operasi militer ini menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Madinah dengan kemenangan gemilang. Semua orang menyaksikan dengan mata kepala sendiri turunnya pertolongan Allah dan kemenangan. Kemudian, setelah operasi militer ini, Hadhrat Abu Bakr (ra) mengarahkan perhatian kepada pa (ra) pendakwa kenabian palsu dan memadamkan fitnah ini sedemikian rupa hingga menghancurkannya dan fitnah ini benar-benar terhapus.
Kemudian, hal yang sama terjadi pada orang-orang murtad dan para sahabat terkemuka juga berbeda pendapat dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan mengatakan, ‘Bagaimana bisa mengangkat pedang terhadap orang-orang yang telah mengakui tauhid dan kenabian dan hanya ingkar membayar zakat?’
Namun, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda dengan penuh keberanian dan kegagahan bahwa jika hari ini diberikan izin untuk tidak membayar zakat, lambat laun orang-orang akan meninggalkan salat juga dan Islam hanya tinggal namanya. Singkatnya, dalam keadaan-keadaan demikian Hadhrat Abu Bakr (ra) melawan para penolak zakat dan hasilnya adalah, beliau juga meraih kemenangan dan pertolongan di medan tersebut dan orang-orang yang telah rusak tersebut kembali ke jalan kebenaran.”
Kisah ini insya Allah masih akan saya lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Sebagaimana yang selalu saya himbau bahwa hendaknya banyak-banyaklah berdoa bagi situasi saat ini, janganlah mengendurkannya. Secara khusus berdoalah semoga dunia mengenali penciptanya. Inilah solusi untuk menghindarkan dunia dari kehancuran.Semoga Allah Ta’ala menurunkan kasih sayangnya dan mengabulkan doa-doa kita.
Saya akan menyampaikan riwayat seorang Almarhum. Setelah jumat saya akan menyalatkan jenazahnya. Beliau adalah yang terhormat Maulana Mubarak Nazir Sahib yang pernah menjabat sebagai Principal Jamiah Kanada dan Mubaligh In Charge Kanada. Beliau wafat pada 8 Maret di usia 87 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi. Beliau sosok yang tanpa pamrih, bertawakal kepada Allah, rajin berdoa dan qona’ah. Seorang yang sangat zuhud. Ketika melihat beliau saya selalu merasa sedang melihat seorang suci yang sejati.
Saya ingin menyampaikan berkenaan dengan keluarga beliau. Beliau adalah putra kedua dari seorang mubaligh yang sukses, Maulana Nazir Ahmad Ali Sahib dan yang terhormat Aminah Begum Sahibah. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga beliau melalui kakek beliau, Hadhrat Babu Faqir Ali Sahib yang baiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan kemudian beliau ditetapkan sebagai Kepala Stasiun pertama di Qadian. Di Qadian juga ada rumah kakek beliau yang dikenal dengan nama Faqir Manzil. Sesuai dengan instruksi dari Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), ayahanda Maulana Mubarak Nazir Sahib, yakni Hadhrat Maulana Nazir Ahmad Ali Sahib (رحمه الله – rahimahuLlah) pertama-tama mendapatkan taufik berkhidmat di Ghana pada 1929 dan setelah itu beliau ditugaskan di Sierra Leone.
Pada 1943 ayahanda beliau, Hadhrat Maulana Nazir Ahmad Ali Sahib kembali ke Sierra Leone, maka Mubarak Nazir Sahib juga bersama dengan kedua orang tua beliau berangkat untuk perjalanan menuju Sierra Leone. Pada perjalanan tersebut ada satu peristiwa yang menggugah keimanan dan Maulana Mubarak Nazir Sahib mengisahkannya. Perjalanan ini berlangsung selama 3 bulan dengan menggunakan kapal laut. Pada waktu itu Mubarak Nazir Sahib berusia 12 tahun. Di perjalanan beliau sakit dan karena sakit tersebut tampak bahwa nyawa beliau tidak akan selamat. Sebagaimana saya telah katakan, ini adalah perjalanan dengan kapal laut. Jadi mereka mulai naik kapal atau berganti kapal dan mulai naik pada saat itu, ini adalah peristiwa yang terjadi sebelum perjalanan. Singkatnya beliau telah sakit sebelum naik kapal dan ketika para pengurus kapal melihat keadaan beliau, mereka berkata kepada ayahanda beliau, “Anak anda hampir meninggal. Jika ia meninggal di perjalanan, kami tidak memiliki kamar jenazah di dalam kapal ini untuk meletakkan jenazahnya. Tidak ada sarana untuk itu. Oleh karena itu kami tidak bisa membawa anda dikarenakan keadaan anak Anda.”
Maulana Sahib bersikeras, “Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) telah memerintahkan saya dan dalam keadaan apa pun saya akan menaiki kapal ini.”
Kemudian pengurus kapal memberikan izin kepada beliau untuk naik kapal dengan syarat bahwa beliau harus menulis bahwa, jika putra beliau meninggal di perjalanan, maka jenazahnya akan diizinkan untuk dibuang ke laut. Ketika Kapten Kapal menyampaikan syarat ini, ibunda Mubarak Nazir Sahib mulai menangis dan berkata kepada Maulana Nazir Ali Sahib, “Anak kita ini akan menaiki kapal laut lainnya.”
Maulana Nazir Ahmad Sahib menenangkan istri beliau, “Saya adalah seorang mubaligh. Hadhrat Khalifah telah memberikan tanggung jawab kepada saya dan mengirim saya. Saya tidak tahu kapan kapal laut lain akan bisa didapat. Kamu tenang saja. Mubarak akan baik-baik saja.” Setelah mengatakan ini beliau mengatakan dengan penuh keyakinan kepada Kapten Kapal, “Mana kertas yang harus ditandatangani? Bawalah ke sini.” Kemudian Beliau berkata kepada Kapten, “Jika anak saya meninggal, maka lemparkanlah jenazahnya ke laut. Namun saya perlu sampaikan juga kepada anda bahwa ia akan baik-baik saja.”
Inilah ketawakalan ayahanda beliau pada Dzat Allah Ta’ala, “Saya adalah seorang Waqif Zindegi. Saya berangkat untuk menyebarkan agama-Nya. Allah Ta’ala pasti akan menolong saya dan menjaga anak istri saya.”
Lalu dengan karunia Allah Ta’ala anak berusia dua belas tahun tersebut tidak hanya tetap hidup, melainkan ia mencapai usia 87 tahun dan mendapatkan taufik untuk mengkhidmati Islam dan Ahmadiyah. Beliau juga mengikuti jejak langkah ayahanda beliau mewaqafkan hidup beliau dan beliau sendiri menegakkan teladan-teladan luhur ketawakalan kepada Allah di medan pengkhidmatan agama.
Setelah lulus pendidikan, beliau mendapatkan pekerjaan yang bagus di Departemen Pemerintahan yang mana di sana beliau bekerja untuk beberapa lama. Kemudian setelah membaca pengumuman di Al-Fazl mengenai seruan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) untuk mewaqafkan diri dan dipersilahkan untuk melakukan waqaf ardzi (waqaf sementara), maka beliau berhenti dari pekerjaan beliau dan mengajukan diri beliau ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra) untuk waqaf ardzi dan sesuai instruksi Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra), pada 1963 beliau untuk pertama kali berangkat ke Sierra Leone untuk Waqaf Ardzi di mana ayahanda beliau dulu mendapatkan taufik berkhidmat dalam waktu yang lama dan beliau juga dimakamkan di sana.
Sesampainya di Sierra Leone, pertama-tama beliau datang ke kuburan ayahanda beliau. Pada waktu itu beliau teringat dengan kata-kata dari ayahanda beliau yang disampaikan dalam pidatonya yang menggetarkan jiwa pada 26 November 1945. Beliau mengatakan, “Hari ini kami pergi untuk berjihad demi Allah Ta’ala dan menyebarkan Islam di Afrika Barat. Kematian selalu melekat pada manusia. Jika salah seorang di antara kami meninggal, janganlah berpikir bahwa ini adalah sebidang kecil tanah di bagian dunia yang terpencil. Melainkan anda harus memahaminya sebagai sebidang kecil tanah yang dimiliki oleh Ahmadiyah di bagian dunia yang terpencil menjadi kewajiban para pemuda Ahmadi untuk sampai ke sana dan menyempurnakan tujuan tersebut yang untuknya kami telah menguasai tanah ini dalam bentuk pekuburan.”
Maksud dari perkataan ini adalah sebidang kecil tanah milik Ahmadiyah yang mana di sana merupakan kuburan seorang mubaligh Ahmadiyah dan dikarenakan adanya pekuburan itu, tanah tersebut menjadi dalam penguasaan Jemaat. Alhasil, terdapat tuntutan dari pekuburan kita bahwa kita hendaknnya men-training anak-anak kita dalam corak sedemikian rupa sehingga mereka akan memenuhi tujuan yang hanya untuknya lah kita telah menjalani hidup kita.
Oleh karena itu, Maulana Mubarak Nazir Sahib telah sampai di sana untuk memenuhi wasiyat ayahanda beliau dan seraya hadir di makam ayahandanya, beliau mengatakan, “Labbaik! Saya hadir dan saya datang untuk menjawab seruan Ayahanda.”
Beliau mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai tempat di Sierra Leone. Setelah itu, atas instruksi dari Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ r.h. pada 1985 beliau pulang ke Pakistan. Ketika pulang dari Afrika pada tahun 1985, alih-alih Waqaf Ardzi, kemudian beliau mengajukan permohonan untuk Waqaf Zindegi ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. yang kemudian Hudhur kabulkan. Kemudian pada 1988 beliau dikirim sebagai Mubaligh ke Kanada. Di sana beliau berkhidmat sebagai mubaligh di berbagai tempat.
Pada 2003, ketika diputuskan bahwa Jamiah Kanada dibuka, yang mana Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. merestuinya dan menetapkan beliau sebagai principal, tetapi hingga kewafatan beliau Jamiah belum dibuka saat itu, kemudian di masa saya dibuka dan saya memperluasnya. Beliau yang ditugaskan oleh Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ r.h. sebagai Principal kemudian tetap memegang jabatan tersebut. Beliau adalah Principal pertama Jamiah Ahmadiyah Kanada. Beliau berkhidmat di Jamiah sebagai Principal hingga 2009.
Pada 2010 saya menetapkan beliau sebagai Missionary In Charge Kanada dan mendapatkan taufik untuk berkhidmat sepenuhnya hingga 2018. Total masa pengkhidmatan beliau adalah selama 59 tahun. Waqaf Ardzi beliau ketika di masa muda juga merupakan Waqaf permanen.
Demikian juga Almarhum mendapatkan taufik ikut serta dalam Jalsah-jalsah dan berbagai program sebagai utusan markaz dan pidato-pidato beliau disukai oleh para Ahmadi maupun non-Ahmadi. Beliau banyak menyampaikan pidato-pidato yang sangat menggugah dan menarik bagi para pendengarnya. Pada 2016 beliau mendapatkan taufik untuk melakukan peletakan batu pondasi Nur Hospital mewakili saya. Kemudian artikel-artikel bertema tabligh karya beliau juga banyak diterbitkan di surat kabar-surat kabar seperti National News Canada, Toronto Star dan Ottawa Citizen.
Maulana Mubarak Nazir Sahib mendapatkan taufik menerjemahkan buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yaitu Tajalliyaat-e-Ilahiah dan Fatah Islam ke dalam bahasa Inggris. Kemudian beliau juga menerjemahkan buku “Krisis Teluk” karya Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ r.h.
Beliau meninggalkan istri beliau, Amatul Hafiz Nazir Sahibah, 3 putra dan 2 putri.
Sebagaimana telah saya sampaikan bahwa beliau banyak memiliki sifat-sifat istimewa dan seorang Waqif Zindegi teladan dan merupakan seorang teladan khususnya bagi para mubaligh. Kehidupan beliau merupakan gambaran pengamalan nyata dari mendahulukan agama di atas dunia. Beliau senantiasa mengkhidmati Jemaat dan menjadikan ketaatan kepada Khalifah-e-waqt sebagai tujuan. Sebagaimana telah saya sampaikan, beliau memiliki kemahiran dalam berpidato. Beliau seorang orator hebat, baik dalam bahasa Urdu maupun Inggris. Beliau menyampaikan banyak pidato yang sangat berkesan.
Istri beliau, Amatul Hafiz Sahibah menulis, “Beliau melewati seluruh kehidupan beliau dengan penuh kesalehan dan ketakwaan. Beliau sangat berhati-hati dengan setiap rupiah uang Jemaat dan menjalani hidup beliau dengan sangat sederhana. Setelah meninggalkan Sierra Leone pun beliau secara diam-diam masih tetap memberikan bantuan kepada orang-orang miskin di sana.”
Istri beliau menuturkan, “Saya menyaksikan bahwa di samping sebagai Waqif Zindegi terbaik, beliau juga merupakan suami terbaik dan sosok ayah yang penuh kasih sayang. Beliau senantiasa memikirkan bahwa betapa banyak yang Jemaat telah belanjakan untuk diri saya, maka bagaimana caranya saya bisa memberikan manfaat. Beliau sering kali mengatakan bahwa, “Saya tidak sanggup menanggung kemarahan Khalifah-e-Waqt.”
Anak-anak beliau juga banyak memiliki kesan-kesan. Kesemuanya menulis, “Keimanan ayahanda pada Allah Ta’ala dan akhirat sangat kokoh. Beliau taat kepada Khilafat dan memiliki keyakinan yang teguh terhadap Nizam Jemaat. Kemudian beliau sangat bertawakal pada Allah Ta’ala. Beliau sering kali mengatakan, ‘Allah Ta’ala tidak akan pernah meninggalkanku dan akan selalu datang untuk menolongku.’ Dan perlakuan Allah Ta’ala terhadap beliau pun memang seperti itu. Ketika beliau sebagai Missionary In Charge, kemana pun Amir Sahib mengirim beliau, atau selain itu setelah pensiun pun ketika keadaan beliau telah lemah, terkadang beliau ditugaskan untuk kemanfaataan Jemaat, ke mana pun beliau pergi selalu menghimbau mengenai pengorbanan harta dan orang-orang menjadi terkesan.”
Seorang putri beliau menuturkan, “Beliau sering memberikan saran untuk menjalin hubungan yang kuat dengan Khilafah Ahmadiyah. Beliau selalu berusaha untuk menciptakan di dalam diri kami kecintaan dan penghormatan pada Nizam Jemaat. Adalah menjadi keinginan beliau bahwa kami mengamalkan setiap petunjuk Hadhrat Khalifatul Masih. Sangat jarang ada suatu majlis yang di dalamnya beliau tidak menasihatkan mengenai hal ini. Kemudian ketika para cucu berkumpul, kami semua mengetahui bahwa beliau akan meminta kami duduk kemudian beliau akan memberikan nasihat dan dalam nasihatnya selalu terdapat pesan supaya kami jangan larut dalam kesibukan duniawi. Beliau senantiasa ingin meyakinkan bahwa kami memiliki jalinan dengan Allah Ta’ala dan Khilafat.”
Kemudian putri beliau menuturkan, “Almarhum menyampaikan kepada kami, ‘Tidak ada keraguan bahwa pekerjaan Jemaat akan terselesaikan, jika kalian tidak mengkhidmati Jemaat, Allah Ta’ala akan mendatangkan orang lain yang bekerja dengan lebih baik.’”
Kemudian seorang putri beliau yang kecil menuliskan suatu peristiwa, “Di Sierra Leone, pada waktu pembangunan sebuah Masjid, ketika para buruh bangunan meminta gaji, pembangunan masih berlangsung dan uang sudah habis. Pada saat itu ayahanda tidak memiliki uang untuk diberikan. Meskipun demikian, Mln. Mubarak Nazir Sahib mengatakan kepada mereka supaya datang lagi besok, gaji mereka akan diberikan kepada mereka. Ketika pagi hari tiba dan beliau keluar dari rumahnya, Mubarak Nazir Sahib melihat para buruh telah berdiri menunggu di depan, sedangkan uang masih belum tersedia.
Atas hal ini beliau mengatakan kepada para buruh, ‘Saat ini saya tidak mempunyai uang, namun saya akan berdoa. Tunggulah sebentar. Insya Allah, Allah Ta’ala akan segera menyediakannya.’ Pada saat itu sebuah mobil menghampiri beliau dengan cepat dan memberikan kepada beliau sebuah amplop yang di dalamnya berisi uang dan mengatakan kepada beliau, ‘Seseorang telah mendengar bahwa anda tengah membangun masjid. Oleh karena itu ia telah mengirimkan uang ini, simpanlah oleh anda.’
Sebelumnya ayahanda menanyakan kepadanya mengenai siapa yang telah memberikan uang. Setelah memberikan amplop itu, mobil tersebut pergi dengan cepat. Beliau merasa yakin bahwa Allah Ta’ala telah mendengar doa beliau dan dengan cara demikian beliau telah membayar gaji para buruh.
Inilah ketawakalan beliau kepada Allah Ta’ala dan bagaimana perlakuan Allah Ta’ala kepada beliau. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ketawakalan kepada Allah dan perlakuan Allah Ta’ala kepada beliau yang semacam ini, yang dituliskan oleh orang-orang. Orang-orang dan para mubaligh juga menuliskan hal ini. Sebagaimana telah saya sampaikan, sungguh beliau adalah seorang berilmu yang juga mengamalkan dan oleh karena itulah pidato-pidato beliau sangat berkesan bagi orang-orang. Namun di hadapan Khalifah beliau sangat merendahkan diri.”
Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat beliau, membimbing putra-putri dan anak keturunan beliau untuk dapat mengikuti jejak langkah beliau, menjadikan putra-putri dan anak keturunan beliau pewaris dari doa-doa beliau dan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Jemaat ini para pengkhidmat yang tulus seperti beliau. Khususnya para Mubaligh lulusan Jamiah Kanada, mereka banyak mengalami berbagai peristiwa bersama Almarhum. Bagaimana beliau memberikan tarbiyat, mengajarkan cara bertabligh, mengajarkan akhlak dan agama. Singkatnya, para mubaligh ini banyak mendapatkan keberkatan. Maka mereka tidak cukup hanya mengenang atau menceritakan peristiwa-peristiwa ini, melainkan para mubaligh ini juga hendaknya menjadi contoh amalan nyata dari hal-hal tersebut. Semoga Allah Ta’ala juga memberikan taufik kepada mereka.[15]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3), tahun ke-11 Hijriyyah (سنة إحدى عشرة), berbagai macam kejadian (حوادث متفرقة).
[2] Al-Insyirah war Raf’udh Dhayyiq fi Sirati Abi Bakr ash-Shiddiq syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu (الانشراحُ وَرَفعُ الضِّيق في سِيرة أبي بَكْر الصِّديق شخصيته وَعَصره) karya ‘Ali Muhammad ash-Shalabi (عَلي محمد محمد الصَّلاَّبي), penerbit Darut Tauzi’ wa Nasyr, Kairo-Mesir (دار التوزيع والنشر الإسلامية، القاهرة – مصر), (عام النشر: 1423 هـ – 2002 م)
[3] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3), tahun ke-11 Hijriyyah (سنة إحدى عشرة), berbagai macam kejadian (حوادث متفرقة)
[4] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3), tahun ke-11 Hijriyyah (سنة إحدى عشرة), berbagai macam kejadian (حوادث متفرقة): قال: وقال الناس لكلهم حين طلع: نذير، وقال أبو بكر: هذا بشير، هذا حام وليس بوان؛ فإذا نادى بالخير، قالوا: طالما بشرت بالخير! وذلك لتمام ستين يومًا من مخرج أسامة. وقدم أسامة بعد ذلك بأيام لشهرين وأيام، فاستخلفه أبو بكر على المدينة، وقال له ولجنده: أريحوا وأريحوا ظهركم .
[5] Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3), tahun ke-11 Hijriyyah (سنة إحدى عشرة), berbagai macam kejadian (حوادث متفرقة).
[6] Tarikh al-Kamil bahasan mengenai kemurtadan (ذِكْرُ أَخْبَارِ الرِّدَّةِ]); Futuhul Buldaan karya al-Biladzuri (فتوح البلدان – البلاذري – ج ١ – الصفحة ١١٣). Tercantum (أطلس حروب الردة: في عهد الخليفة الراشد أبي بكر الصديق) karya Sami bin ‘Abdullah al-Maghluts (سامي بن عبدالله المغلوث).
[7] Tafsir Kabir (التفسير الكبير ج8)
[8] Pidato Jalsah Salanah tahun 1911 berjudul Madarijut Taqwa (tingkat-tingkat ketakwaan), Anwarul ‘Ulum jilid 1 (مدارج التقوى، أنوار العلوم ج1)
[9] Barkaat-e-Khilafat Anwarul ‘Ulum jilid 2 (برکات الخلافة، أنوار العلوم ج2)
[10] Manshab-e-Khilafat, Anwarul ‘Uluum, jilid 2 (منصب الخلافة، أنوار العلوم ج2)
[11] Qaumi terqi ke do ushul (قومی ترقی کے دو اصول) atau dua prinsip pokok kemajuan kaum, Anwarul ‘Uluum, jilid 19 (مبدآن مهمان للرقي القومي، أنوار العلوم ج19)
[12] Hamare dzimmah tamam dunya ko fath karne ka kam he atau (ہمارے ذمہ تمام دنیا کو فتح کرنے کا کام ہے) Anwarul ‘Uluum, jilid 18 (واجبنا هو فتح العالم كله، أنوار العلوم ج18)
[13] Khilafah Rasyidah, Anwarul ‘Uluum, jilid 15 (الخلافة الراشدة، أنوار العلوم ج15).
[14] Khilafah Rasyidah, Anwarul ‘Uluum, jilid 15 (الخلافة الراشدة، أنوار العلوم ج15).
[15] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).