Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 33)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 167, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 33)

  • Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz melanjutkan uraian tentang sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadhrat Abu Bakr ibn Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
  • Sebuah jasa agung dan sangat unik di masa kekhalifahan beliau ialah pengumpulan al-Qur’an, dalam arti seluruh tulisan ayat-ayat al-Qur’an dikumpulkan dan disusun dalam satu jilid naskah.
  • Pembahasan mengenai para ahlu dzimmah atau dzimmi yaitu kalangan pengikut agama selain Islam. Perlakuan pemerintah Islam terhadap mereka.
  • Pembahasan mengenai Awwaliyaat-e-Abu Bakr (اوّلیات ابو بکر) atau jasa-jasa kepeloporan beliau.
  • Pembahasan beberapa Hadits atau sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
  • Pembahasan dalam beberapa Kitab Tarikh (sejarah) dan Sirah (biografi) mengenai berbagai segi kehidupan dan keteladanan Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
  • Penjelasan pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihish shalaatu was salaam mengenai Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).
  • Penjelasan Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu mengenai Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).
  • Hudhur (atba) akan menyebutkan lebih lanjut berbagai mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra) di khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 September 2022 (Tabuk 1401 Hijriyah Syamsiyah/ Shafar 1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]

(آمين)

Pada kesempatan yang lalu tengah dibahas mengenai kinerja-kinerja luar biasa di masa Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Dalam konteks ini, ada beberapa rincian penjelasan mengenai hak-hak para dzimmi. Dzimmi adalah orang-orang yang menyetujui untuk taat pada pemerintahan Islam dengan tetap berpegang teguh pada agama mereka dan pemerintahan Islam bertanggung jawab atas perlindungan mereka.

Tidak seperti kaum Muslimin, orang-orang ini dibebaskan dari wajib militer dan zakat pun tidak dikenakan pada mereka. Oleh karena itu, sebagai imbalan atas perlindungan jiwa dan harta benda serta hak asasi manusia lainnya, dari mereka dipungut pajak yang biasa disebut jizyah. Besarnya hanya empat dirham per tahun untuk setiap orang dan hanya dikenakan pada orang dewasa yang sehat dan mampu bekerja. Orang-orang yang tua, cacat, fakir miskin dan anak-anak dibebaskan darinya, bahkan sebaliknya, para penyandang disabilitas dan orang-orang yang membutuhkan tersebut mendapatkan bantuan dari Baitul Mal Islam.

Selama penaklukkan Irak dan Suriah, banyak kabilah dan masyarakat yang menjadi rakyat pemerintahan Islam atas dasar jizyah. Dalam perjanjian yang dibuat dengan mereka, ditetapkan juga klausul-klausul semacam ini bahwa biara dan gereja mereka tidak akan dihancurkan, demikian juga benteng yang mereka gunakan sebagai pertahanan dalam menghadapi musuh pada saat diperlukan, tidak akan dirobohkan. Mereka tidak dilarang untuk membunyikan lonceng, tidak juga dilarang untuk membawa salib pada kesempatan festival, yakni mereka pun dapat melakukan pawai salib.

Dalam perjanjian damai yang dibuat Hadhrat Khalid bin Walid (ra) dengan penduduk Hira semasa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), selain hal-hal lainnya, disepakati juga bahwa orang-orang yang lanjut usia, yang tidak mampu untuk bekerja atau menderita suatu penyakit atau kesulitan apa pun, atau orang yang sebelumnya kaya, kemudian sedemikian rupa jatuh miskin, sehingga saudara seagamanya harus memberinya sedekah, maka pemungutan jizyah akan dihapuskan atau ditiadakan darinya dan selama ia tinggal di Daarul Hijrah dan Daarul Islam di mana ada pemerintahan Islam di sana, biaya hidup dia dan keluarganya akan dipenuhi dari Baitul Mal umat Islam. Namun, jika orang-orang tersebut meninggalkan Daarul Hijrah dan Daarul Islam lalu pindah ke negara lain maka umat Islam tidak akan bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga mereka.

Menurut sebuah riwayat, tertulis dalam perjanjian Hadhrat Khalid bin Walid (ra) dengan penduduk Hira bahwa orang-orang yang membutuhkan dan para penyandang disabilitas (cacat tubuh) serta para rahib yang meninggalkan kehidupan duniawi akan dibebaskan dari jizyah.

Selanjutnya adalah pengkhidmatan besar berupa penghimpunan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Penghimpunan Al-Qur’an adalah pencapaian besar dan tiada tara di masa Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra). Latar belakangnya adalah berkaitan dengan perang Yamamah melawan Musailamah Al-Kadzab. Sejumlah 1.200 Muslim mati syahid dalam pertempuran Yamamah dan mayoritas di antara mereka adalah para sahabat agung dan hafiz al-Qur’an, dan menurut sebuah riwayat, jumlah Hafiz yang syahid mencapai 700 orang. Dalam situasi tersebut, Allah Ta’ala menganugerahkan keterbukaan hati kepada Hadhrat ‘Umar (ra) untuk mengumpulkan Al-Qur’an di satu tempat. Beliau menyampaikannya kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), yang diriwayatkan secara rinci dalam Shahih Bukhari sebagai berikut: عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ، أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ أَرْسَلَ إِلَىَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ـ رضى الله عنه ـ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ، فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنَ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ. قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ، وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ. قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَتَّهِمُكَ، وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْىَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتَتَبَّعِ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَىَّ مِمَّا أَمَرَنِي مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعُسُبِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ آخِرَ سُورَةِ التَّوْبَةِ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرَهُ {لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ} حَتَّى خَاتِمَةِ بَرَاءَةَ، فَكَانَتِ الصُّحُفُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَيَاتَهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ ـ رضى الله عنه ‘Ubaid bin Sabbaq meriwayatkan bahwa Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra) menuturkan, “Setelah pertempuran dengan penduduk Yamamah, Hadhrat Abu Bakr (ra) memanggil saya dan saya melihat Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) juga duduk di sebelah Hadhrat Abu Bakr (ra). Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Umar datang kepada saya dan beliau berkata bahwa dalam pertempuran Yamamah banyak Qori’ atau Hafiz Qur’an yang mati syahid dan beliau khawatir banyak Qori’ atau Hafiz Qur’an akan syahid dalam berbagai pertempuran, yang akibatnya banyak bagian dari Al-Qur’an dikhawatirkan akan hilang. Oleh karena itu Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, “Menurut saya, anda harus memerintahkan untuk menghimpun Al-Qur’an.”’

Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata kepada Hadhrat Zaid (ra), ‘Saya telah memberitahu ‘Umar (ra) bahwa bagaimana bisa melakukan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah (saw)?

Atas hal itu, ‘Umar (ra) berkata, “Demi Allah! Dalam pekerjaan ini yang ada hanyalah kebaikan dan kebaikan.” ‘Umar (ra) mengatakan hal ini pada saya berulang kali sehingga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada saya keterbukaan hati untuk pekerjaan ini dan saya menjadi sependapat dengan ‘Umar (ra).’”

Hadhrat Zaid (ra) meriwayatkan, “Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Wahai Zaid! Sungguh engkau adalah seorang pemuda dan sosok yang bijaksana dan kami menganggap engkau suci dari suatu tuduhan atau aib. Engkau juga biasa menuliskan wahyu untuk Rasulullah (saw). Jadi, sekarang carilah dan kumpulkanlah olehmu Al-Qur’an.’”

Hadhrat Zaid (ra) berkata, “Demi Allah! Jika beliau mempercayakan saya dengan tanggung jawab untuk memindahkan gunung dari satu tempat ke tempat lain, itu tidak akan lebih berharga bagi saya daripada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Ini adalah tugas besar yang dipercayakan kepada saya. Saya berkata, ‘Bagaimana Anda bisa melakukan apa yang Rasulullah (saw) tidak melakukannya?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, “Demi Allah! Pekerjaan ini sepenuhnya baik.”

Hadhrat Abu Bakr (ra) berulang kali mengatakan ini sehingga Allah Ta’ala menganugerahkan saya keterbukaan hati untuk pekerjaan ini, yang untuknya Dia telah menganugerahkan keterbukaan hati kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra). Alhasil, saya mulai mencari Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah-pelepah pohon kurma, batu-batu putih dan dada (hafalan) orang-orang, bahkan hingga bagian terakhir dari surah At-Taubah saya dapatkan dari Hadhrat Abu Huzaimah Anshori, yang tidak didapatkan dari orang lain selain beliau. Ayatnya sebagai berikut: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari antaramu; berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, ia sangat mendambakan kesejahteraan bagimu …’ (Al-Qur’an, at-Taubah, 9:128) hingga akhir surah At-Taubah [yaitu ayat ke-129].”

Kemudian lembaran-lembaran tulisan Al-Qur’an ini berada di tangan Hadhrat Abu Bakr (ra) hingga kewafatan beliau. Kemudian berada di tangan Hadhrat ‘Umar (ra) selama masa hidup beliau. Setelah itu berada di tangan Hadhrat Hafshah binti ‘Umar (ra).[1]

Imam al-Baghawi, dalam bukunya Syarhus Sunnah, seraya menuliskan catatan kaki pada hadits-hadits berkenaan dengan penghimpunan Al-Qur’an, mengatakan: فِيهِ الْبَيَانُ الْوَاضِحُ أَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ الدَّفَّتَيْنِ الْقُرْآنَ الَّذِي أَنْزَلَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ أَنْ زَادُوا فِيهِ، أَوْ نَقَصُوا مِنْهُ شَيْئًا، وَالَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى جَمْعِهِ مَا جَاءَ بَيَانُهُ فِي الْحَدِيثِ، وَهُوَ أَنَّهُ كَانَ مُفَرَّقًا فِي الْعُسُبِ، وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ، فَخَافُوا ذَهَابَ بَعْضِهُ بِذَهَابِ حَفَظَتِهِ، فَفَزِعُوا فِيهِ إِلَى خَلِيفَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَدَعَوْهُ إِلَى جَمْعِهِ، فَرَأَى فِي ذَلِكَ رَأْيَهُمْ، فَأَمَرَ بِجَمْعِهِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، بِاتِّفَاقٍ مِنْ جَمِيعِهِمْ، فَكَتَبُوهُ كَمَا سَمِعُوا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ أَنْ قَدَّمُوا شَيْئًا أَوْ أَخَّرُوا، أَوْ وَضَعُوا لَهُ تَرْتِيبًا لَمْ يَأْخُذُوهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَقِّنُ أَصْحَابَهُ، وَيُعَلِّمُهُمْ مَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ مِنَ الْقُرْآنِ عَلَى التَّرْتِيبِ الَّذِي هُوَ الآنَ فِي مَصَاحِفِنَا، بِتَوْقِيفِ جِبْرِيلَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِيَّاهُ عَلَى ذَلِكَ، وَإِعْلامِهِ عِنْدَ نُزُولِ كُلِّ آيَةٍ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ تُكْتَبُ عُقَيْبَ آيَةِ كَذَا فِي السُّوَرِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا، رُوِيَ مَعْنَى هَذَا عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ”Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya (saw), dikumpulkan oleh para sahabat tanpa penambahan atau pengurangan, dan alasan dari penghimpunan Al-Qur’an oleh para sahabat telah dinyatakan dalam hadits bahwa, sebelumnya Al-Qur’an terserak di pelepah-pelepah kurma, batu tulis, lempengan-lempengan dan hafalan para Hafiz Qur’an. Para sahabat khawatir bahwa beberapa bagian dari Al-Qur’an akan hilang karena kesyahidan para Hafiz, oleh karena itu mereka datang ke hadapan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan menyarankan beliau untuk mengumpulkan Al-Qur’an di satu tempat. Pekerjaan ini dilakukan dengan persetujuan seluruh sahabat, sehingga mereka menyusun Al-Qur’an persis seperti yang mereka dengar dari Rasulullah (saw) tanpa menempatkan yang awal di belakang dan yang akhir di depan. Rasulullah (saw) biasa memperdengarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya dan mengajari mereka Al-Qur’an dalam urutan yang persis sama seperti mushaf-mushaf Al-Qur’an yang ada di hadapan kita sekarang. Susunan ini diajarkan oleh Jibril. Ia biasa memberita tahu Rasulullah (saw) pada saat turunnya ayat bahwa ayat ini hendaknya dituliskan dalam surah ini dan setelah ayat ini…”[2]

Pengumpulan Al-Qur’an dilakukan pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra). Hadhrat Ali (ra) meriwayatkan mengenai hal ini, رَحِمَ اللَّهُ أَبَا بَكْرٍ , هُوَ أَوَّلُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ “Semoga Allah Ta’ala menurunkan rahmat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliaulah yang pertama kali melestarikan Al-Qur’an dalam bentuk kitab.”[3]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda berkenaan dengan penghimpunan Al-Qur’an: “Apa yang belum dilakukan hingga saat itu adalah Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu jilid. Ketika sejumlah 500 (lima ratus) Hafiz (penghapal) Al-Qur’an terbunuh dalam pertempuran ini (yakni pertempuran Yamamah), maka Hadhrat ‘Umar (ra) menghadap Hadhrat Abu Bakr (ra) dan mengatakan bahwa 500 Hafiz Al-Qur’an telah syahid dalam satu pertempuran, sedangkan masih banyak pertempuran di hadapan kita. Jika para Hafiz lainnya juga syahid, orang-orang akan meragukan Al-Qur’an, oleh karena itu Al-Qur’an harus dikumpulkan dalam satu jilid.

Hadhrat Abu Bakr (ra) pada awalnya menolak hal ini, namun akhirnya menerima saran beliau. Hadhrat Abu Bakr (ra) menunjuk Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra) untuk tugas ini, yang mana biasa menuliskan Al-Qur’an di masa kehidupan Hadhrat Rasulullah (saw) dan menunjuk para sahabat agung untuk membantu beliau. Meskipun ribuan sahabat adalah penghafal Al-Qur’an, namun tidak mungkin mengumpulkan ribuan sahabat pada saat penulisan Al-Qur’an sehingga Hadhrat Abu Bakr (ra) memerintahkan agar Al-Qur’an disalin dari naskah tertulis dan di samping itu, dilakukan tindakan kehati-hatian, yaitu setidaknya ada dua Hafiz Qur’an lainnya untuk mengkonfirmasinya [memberikan kesaksian atas kebenarannya]. Maka, Al-Qur’an yang ditulis pada kulit-kulit binatang dan tulang-tulang dikumpulkan di satu tempat dan dikonfirmasi oleh para Hafiz Qur’an. Jika ada keraguan tentang Al-Qur’an, itu hanya bisa berkenaan dengan periode antara kewafatan Rasulullah (saw) dengan saat itu.

Tetapi dapatkah seorang yang bijak menerima bahwa kitab yang dibaca setiap hari dan yang pada setiap bulan Ramadhan dibacakan dengan suara lantang oleh para Hafiz kepada kaum Muslimin lainnya dan yang seluruh isi kitabnya dari awal hingga akhir dihafal oleh ribuan orang dan kitab yang meskipun belum dikumpulkan dalam satu jilid, tetapi puluhan sahabat biasa menuliskannya dan keseluruhannya ditulis dalam potongan-potongan, seseorang dapat merasakan kesulitan untuk mengumpulkannya dalam satu jilid? Dan kemudian, mungkinkah timbul kesulitan bagi seseorang yang pada zaman Rasulullah (saw) ia ditugaskan untuk menuliskan Al-Qur’an dan ia sendiri seorang Hafiz, dan ketika Al-Qur’an dibaca setiap hari, mungkinkah ada kekeliruan dalam jilid yang dihimpun tersebut dan para Hafiz yang lain tidak mendapatinya? Jika kesaksian semacam ini diragukan, maka tidak ada dalil yang tersisa di dunia. Faktanya adalah, tidak ada suatu tulisan yang eksis di dunia ini dengan kesinambungan yang sedemikian rupa seperti halnya Al-Qur’an.”

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (shallaLlahu ‘alaihi wa sallam) (Manusia-Manusia Istimewa seri 44)

Kemudian beliau (ra) berargumen, “Al-Qur’an dalam keadaan aslinya dan tidak ada perubahan di dalamnya yang dapat diajukan keberatan telah terjadi perubahan ini dan itu. Ini adalah jawaban atas keberatan yang diajukan bahkan hingga hari ini.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda seraya memberikan jawaban atas suatu keberatan, “Salah satu keberatan yang diajukan adalah, seluruh Al-Qur’an tidak ditulis pada masa Rasulullah (saw). Jawabannya, itu tidak benar. Sungguh, seluruh Al-Qur’an ditulis pada masa Rasulullah (saw). Mereka yang mengatakan bahwa itu tidak ditulis adalah keliru. Telah ditulis. Ha ini sebagaimana riwayat dari Hadhrat ‘Utsman (ra), ketika suatu bagian Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah (saw) biasa memanggil para juru tulis dan bersabda, ‘Tuliskan ayat ini di tempat ini.’ Ketika bukti sejarah ini ada maka mengatakan Al-Qur’an tidak sepenuhnya ditulis pada zaman Rasulullah (saw) adalah kebodohan.

Pertanyaannya, lantas mengapa ditulis pada zaman Hadhrat Abu Bakr (ra)?

Jawabannya adalah pada zaman Rasulullah (saw), Al-Qur’an tidak dalam satu jilid seperti sekarang. Timbul gagasan pada Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa jangan sampai orang-orang beranggapan Al-Qur’an tidak terjaga. Oleh karena itu, kalimat yang diucapkan beliau (ra) kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam hal ini adalah, وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ – inni ara an ta-mura bi-jam’il Qur-aani – artinya, ‘Saya merasa sudah selayaknya Anda memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam bentuk satu kitab.’ Beliau tidak mengatakan, ‘Tuliskanlah.’

Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) memanggil Hadhrat Zaid (ra) dan memerintahkan, ‘Kumpulkanlah Al-Qur’an.’ Jadi, beliau bersabda: فَاجْمَعْهُ – fa-ijma’hu atau fajma’hu – yang artinya, ‘Maka, kumpulkanlah di satu tempat.’[4] Beliau tidak memerintahkan, – uktubhu – اُكتبْه ‘Tuliskanlah.’

Oleh karena itu, kalimat-kalimat itu sendiri memberitahukan bahwa pada saat itu persoalannya adalah mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dalam satu jilid, bukan persoalan penulisannya. Di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr (ra), Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu jilid, dan kemudian di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Utsman (ra) terjadi kemajuan lebih lanjut yaitu, seluruh Arab, bahkan seluruh dunia Islam disatukan pada satu qira’at.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan mengenai penerbitan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Hadhrat ‘Utsman (ra), “Setelah masa Hadhrat Abu Bakr (ra), pada masa Hadhrat ‘Utsman (ra), muncul keluhan bahwa orang-orang dari berbagai suku membaca Al-Qur’an dengan qira’at berbeda-beda dan ini berdampak buruk pada orang-orang bukan Muslim yang beranggapan ada banyak versi mushaf Al-Qur’an. Yang dimaksud qira’at adalah, satu kabilah (sekelompok orang berasal dari keluarga besar di suatu daerah) membaca suatu huruf dengan tanda baca fathah, yang lainnya membacanya dengan tanda kasrah dan yang lainnya lagi membacanya dengan tanda baca dhammah dan ini tidak ditemukan dalam bahasa lain kecuali bahasa Arab. Oleh karena itu, ketika seseorang yang tidak memahami bahasa Arab mendengar ini, dia akan mengir yang satu mengucapkan seperti ini, yang lainnya mengucapkan seperti itu, padahal mereka mungkin mengatakan hal yang sama.

Alhasil, untuk menghindari fitnah tersebut, Hadhrat ‘Utsman menyarankan untuk membuat salinan-salinan dari mushaf yang telah ditulis di zaman Hadhrat Abu Bakr (ra) lalu mengirimkannya ke berbagai negeri, dan beliau memerintahkan supaya Al-Quran hanya dibaca sesuai dengan qiraat ini, dan tidak dibaca dengan qiraat lain.

Apa yang disabdakan oleh Hadhrat ‘Utsman ini sama sekali tidak bertentangan. Di masa Rasul yang mulia (saw), bangsa Arab menjalani kehidupan sesuai dengan kabilah-kabilah mereka, yakni setiap kabilah saling terpisah dengan kabilah lainnya sehingga mereka pun telah terbiasa dengan dialek mereka masing-masing (yakni mereka memiliki gaya bahasa mereka masing-masing). Namun setelah mereka bertemu dan berbaiat di tangan Rasul yang mulia (saw), bangsa Arab menjadi memiliki peradaban, dimana bahasa Arab tidak hanya menjadi bahasa umum, namun bahkan menjadi bahasa pengetahuan. Banyak orang Arab yang kemudian sanggup untuk membaca dan menulis, sehingga atas sebab ini setiap orang – dari kabilah manapun juga ia berasal – dengan kemudahan ini mereka lantas dapat mempergunakan lafaz-lafaz yang merupakan bahasa pengetahuan bagi mereka, dimana pada hakikatnya ini pun merupakan bahasa negara mereka. Alhasil, tidak ada lagi suatu alasan bahwa tatkala segenap orang telah terbiasa dengan suatu bahasa pengetahuan, namun mereka tetap saja diberikan izin untuk terus membaca Al-Quran Syarif dengan cara baca kabilah mereka, dimana ini akan memberi kesan buruk bagi kaum non Arab.

Maka dari itu, Hadhrat ‘Utsman menuliskan Al-Quran Syarif dengan harakat-harakat (pelafalan vokal) sesuai dengan gaya bahasa Makkah lalu membagikan salinan-salinannya ke segenap penjuru negeri, dan beliau memberi perintah bahwa di masa yang akan datang Al-Quran Syarif tidak akan dibaca dengan dialek kabilah manapun kecuali dialek Makkah. Karena ketidakpahaman atas hal ini, para penulis Eropa dan dari bangsa-bangsa lain selalu melontarkan keberatan bahwa Hadhrat ‘Utsman telah membuat suatu Al-Quran baru, atau Hadhrat ‘Utsman telah mengadakan suatu perubahan baru di dalam Al-Quran, sementara hakikatnya adalah seperti yang telah dijelaskan tadi.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, ومع ذلك لا شك أن القرآن وحي متلوٌّ، وكله متواتر قطعي، حتى النقاط والحروف، وأنزله الله باهتمام شديد كامل بحراسة الملائكة. ثم ما ترَك النبي ﷺ دقيقة من الاهتمامات في أمره، وداومَ على أن يكتب أمام عينه آيةً آية كما كان ينـزل حتى جمَع كله، ورتَّب الآيات وجمَعها بنفسه النفيسة، وكان يُداوم على قراءته في الصلاة وغيرها، حتى ارتحل من دار الدنيا ولحِق بالرفيق الأعلى، ولاقى محبوبه رب العالمين. ثم بعد ذلك قام الخليفة الأول أبو بكر الصدّيق ؓ لتعهُّد جميعِ سوره بترتيب سمع من النبي ﷺ، ثم بعد الصدّيق الأكبر وفّق الله الخليفة الثالث فجمَع القرآن على قراءة واحدة بحسب لغة قريش وأشاعه في البلاد. ومع ذلك كان الصحابة كلهم يقرأون القرآن كالحفّاظ، وكان كثير منه في صدور المؤمنين، وكانوا يقرأونه في الصلاة وخارجها، بل كانوا بعضهم حافظ القرآن كله، وكانوا يتلونه في آناء الليل والنهار، وكانوا على تلاوته مداومين “Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran adalah wahyu yang langsung dari Tuhan, dimana seluruhnya hingga huruf dan titiknya pun tidak ada yang berubah, dan Allah Ta’ala telah menurunkannya dengan pengaturan yang sempurna di bawah penjagaan para malaikat. Lalu dalam hal ini, Nabi yang mulia (saw) tidak membiarkan satu hal pun luput dalam segala segi penyusunannya, dimana beliau melakukan pengawasan yang langsung dan teratur di depan mata beliau dalam menuliskan setiap ayat Al-Quran yang turun, hingga pada akhirnya beliau selesai menghimpun keseluruhannya, lalu beliau sendiri menyesuaikan setiap ayatnya berdasarkan urutannya, dan menyatukannya. Lalu baik di dalam shalat dan di luar shalat, beliau dawam menilawatkannya, hingga pada akhirnya beliau beranjak dari dunia ini dan berjumpa dengan Sang Sahabat dan Kekasih Sejati beliau, Tuhan Semesta Alam.” Kemudian setelah ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Setelah ini, Hadhrat Khalifah Awwal Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) mengupayakan untuk menghimpun kembali semua surah-surah sesuai dengan urutan yang telah beliau dengar dari Nabi yang mulia (saw). Kemudian sepeninggal Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra), Allah Ta’ala menganugrahkan taufik kepada Khalifah ketiga, Hadhrat ‘Utsman (ra) dimana beliau menghimpun Al-Quran dalam satu qiraat yaitu cara Quraisy, lalu beliau menyebarkannya ke seluruh negeri.”[5]

Ada pertanyaan bahwa sampai kapankah Sahifah Siddiqi itu terjaga. Tentang hal ini tertera bahwa Sahifah Siddiqi merupakan Al-Quran Karim yang mana Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) telah meminta untuk menyusunnya dalam satu jilid di bawah pengawasan Hadhrat Zaid bin Tsabit. Mushaf ini terus ada bersama Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) hingga kewafatan beliau. Selanjutnya mushaf ini berpindah ke Hadhrat ‘Umar dimana Hadhrat ‘Umar mengamanatkan ini kepada Ummul Mukminin Hadhrat Hafshah dan mewasiatkan kepadanya agar mushaf ini tidak diberikan kepada siapapun juga, namun mushaf ini dapat dimanfaatkan bagi mereka yang ingin menyalin darinya atau mengoreksi bacaan miliknya. Maka dari itu, Hadhrat ‘Utsman di dalam masa kekhalifahannya beliau meminjam mushaf ini dari Hadhrat Hafshah (ra) lalu menyalinnya menjadi beberapa mushaf, kemudian mengembalikannya lagi kepada Hadhrat Hafshah (ra).

Tatkala pada tahun 54 Hijriah, Marwan menjadi pemimpin (gubernur) di Madinah, saat itu ia ingin mengambil mushaf tersebut dari Hadhrat Hafshah (ra), namun Hadhrat Hafshah (ra) menolaknya. Setelah kewafatan Hadhrat Hafshah (ra), Marwan mengambil mushaf itu dari Hadhrat Abdullah bin ‘Umar, namun ia (Marwan) menghilangkannya (memusnahkannya).[6] Tetapi, Hadhrat ‘Utsman telah menjaganya terlebih dahulu dengan menyalinnya.

Pekerjaan-pekerjaan yang pertama kali diselesaikan oleh Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra), atau jasa-jasa yang pertama-tama ditorehkan melalui diri beliau, disebut juga dengan istilah Awwaliyyat-e-Abu Bakr [kepeloporan Abu Bakr (ra)]. Terdapat berbagai hal yang mana beliau adalah yang pertama dalam menjalankannya.

Beliau adalah yang pertama menerima Islam.

Kedua, beliau adalah yang pertama membuat masjid yaitu di depan rumah beliau di Makkah. Kemudian ketiga, beliau adalah yang pertama melawan Quraisy Makkah untuk melindungi Rasul Akram (saw) di Makkah. 

Keempat, beliau adalah yang pertama membeli dan memerdekakan banyak hamba sahaya yang mendapat berbagai penganiayaan karena menerima Islam. 

Kelima, beliau adalah yang pertama menghimpun Al-Quran Karim dalam satu jilid. 

Keenam, beliau adalah yang pertama menyebut Al-Quran itu sebagai mushaf. 

Ketujuh, beliau adalah yang pertama menjadi Khalifah Rasyidah. 

Kedelapan, beliau adalah yang pertama menjadi Amir Haji di masa kehidupan Rasulullah (saw). 

Kesembilan, beliau adalah yang pertama menjadi imam shalat bagi kaum muslim di masa kehidupan Rasulullah (saw). 

kesepuluh, beliau adalah yang pertama mendirikan Baitul Mal di dalam Islam.

Sebelas, beliau adalah yang khalifah pertama Islam yang menerima tunjangan tetap dari kaum muslim. 

Kesebelas, beliau adalah khalifah pertama yang menetapkan nama sebagai pengganti beliau. Beliau menulis nama Hadhrat ‘Umar untuk mengganti beliau. 

Ketiga belas, beliau adalah khalifah pertama yang di saat menerima baiat, ayahanda beliau yakni Hadhrat Abu Quhafah masih hidup. 

Keempat belas, beliau adalah sosok pertama diberi julukan di dalam Islam oleh Rasulullah (saw). 

Kelima belas (ke-15), beliau adalah sosok pertama dimana keempat generasi keluarga beliau berkedudukan sebagai sahabat. Ayahanda beliau Hadhrat Abu Quhafah adalah sahabat (ra). Hadhrat Abu Bakr (ra) sendiri adalah sahabat. Putra beliau, Hadhrat Abdurrahman bin Abu Bakr (ra) adalah sahabat, dan cucu beliau Hadhrat Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakr (ra) adalah Sahabat.[7] 

Mengenai sifat perawakan jasmani Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra), tertera, عن عائشة رضى الله تعالى عنها أنها نظرت إلى رجل من العرب مر وهى في هودجها فقالت ما رأيت رجلا أشبه بأبي بكر من هذا فقلنا لها صفى أبا بكر فقالت رجل أبيض نحيف خفيف العارضين أحنى لا يستمسك إزاره يسترخى عن حقويه معروق الوجه غائر العينين ناتئ الجبهة عاري الأشاجع “Hadhrat Aisyah (ra) meriwayatkan tentang wajah penuh berkat beliau. Hadhrat Aisyah menyampaikan bahwa beliau pernah melihat seseorang Arab yang sedang berjalan kaki, sementara beliau saat itu ada di atas tandu beliau. Hadhrat Aisyah bersabda, ‘Saya belum pernah melihat orang yang sedemikian serupa dengan Hadhrat Abu Bakr (ra).’

Kami berkata kepada Hadhrat Aisyah, ‘Mohon jelaskan wajah Hadhrat Abu Bakr (ra) kepada kami.’

Hadhrat Aisyah (ra) pun bersabda, ‘Hadhrat Abu Bakr (ra) berkulit putih, bertubuh kurus, kedua pelipisnya tipis, punggung beliau sedikit membungkuk ke depan, kain ikat celana beliau pun tidak terletak di pinggang dan kerap turun ke bawah. Wajah beliau kurus dan tidak berisi. Kedua mata beliau terletak ke arah dalam dan dahi beliau tinggi.’”[8]

Ibnu Sirin menuturkan, سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَضَبَ فَقَالَ لَمْ يَبْلُغِ الْخِضَابَ كَانَ فِي لِحْيَتِهِ شَعَرَاتٌ بِيضٌ . قَالَ قُلْتُ لَهُ أَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَخْضِبُ قَالَ فَقَالَ نَعَمْ بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ “Saya bertanya kepada Hadhrat Anas bin Malik, ‘Apakah Hadhrat Abu Bakr (ra) mewarnai rambutnya?’

Ia menjawab, ‘Ya, beliau mewarnai rambut dan janggut beliau dengan henna (mehndi) dan Katm.’”[9] Katm adalah sejenis tanaman. 

Mengenai rasa takut kepada Allah, sifat zuhd dan takwa, tertera: عَنْ رَبِيعَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ: أَعْطَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضًا، وَأَعْطَى أَبَا بَكْرٍ أَرْضًا، وَجَاءَتِ الدُّنْيَا، وَاخْتَلَفْنَا فِي عِذْقِ نَخْلَةٍ، فَقُلْتُ أَنَا: هِيَ فِي حَدِّي، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: هِيَ فِي حَدِّي، فَكَانَ بَيْنَنَا كَلَامٌ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ كَلِمَةً كَرِهْتُهَا، وَنَدِمَ أَبُو بَكْرٍ عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَبِيعَةُ ارْدُدْ عَلَيَّ مِثْلَهَا حَتَّى تَكُونَ قِصَاصًا، فَقُلْتُ: لَا أَفْعَلُ، فَقَالَ: لَتَفْعَلَنَّ، أَوْ لَأَسْتَأْذِنَنَّ عَلَيْكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: لَا أَفْعَلُ، فَقَامَ أَبُو بَكْرٍ وَتَرَكَ الْأَرْضَ، فَانْطَلَقَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَانْطَلَقْتُ فِي أَثَرِهِ، فَجَاءَنِي نَاسٌ مِنْ أَسْلَمَ فَقَالُوا: رَحِمَاللَّهُ أَبَا بَكْرٍ يَسْتَعْدِي عَلَيْكَ وَهُوَ الَّذِي قَالَ لَكَ مَا قَالَ؟ قَالَ: فَقُلْتُ: أَتَدْرُونَ مَنْ هَذَا؟ هَذَا أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، وَهَذَا ثَانِيَ اثْنَيْنِ، وَهَذَا ذُو شَيْبَةِ الْإِسْلَامِ , إِيَّاكُمْ يَلْتَفِتُ فَيَرَاكُمْ تُبْصِرُونِي فَيَغْضَبُ، فَيَأْتِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَغْضَبُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغَضَبِهِ، فَيَغْضَبُ اللَّهُ , عَزَّ وَجَلَّ , لِغَضَبِهِمَا , فَيَهْلَكُ رَبِيعَةُ، ارْجِعُوا. فَرَجَعُوا، وَانْطَلَقَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَتَبِعْتُهُ، حَتَّى أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَحَدَّثَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «مَالَكَ وَلِلصِّدِّيقِ؟» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ قَالَ لِي كَلِمَةً كَرِهْتُهَا، فَقَالَ لِي: ارْدُدْ عَلَيَّ مِثْلَهَا، فَأَبَيْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “أَجَلْ فَلَا تَرُدَّ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ قُلْ: غَفَرَ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ” فَقُلْتُ: غَفَرَ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ، فَوَلَّى أَبُو بَكْرٍ وَهُوَ يَبْكِي “Hadhrat Rasul yang mulia (saw) memberikan sejumlah tanah kepada Hadhrat Rabiah dan Hadhrat Abu Bakr (ra). Keduanya berselisih perihal satu pohon. Saat perselisihan itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) mengatakan suatu hal yang keras, tetapi setelah itu beliau menyesalinya dan bersabda, ‘Rabiah, Anda pun katakanlah sesuatu yang keras supaya menjadi qishash (balasan) atasnya. Sebagaimana saya telah berkata dengan keras, katakanlah juga kepada saya seperti demikian.’ Namun Hadhrat Rabiah menolaknya. Keduanya lalu datang ke hadapan Nabi yang mulia (saw) dan menceritakan semuanya. Atas hal ini beliau (saw) bersabda, ‘Rabiah, janganlah Anda memberi jawaban yang keras, tetapi berdoalah, “Semoga Allah memaafkanmu, wahai Abu Bakr (ra)!”’ Mendengar ini, Hadhrat Rabiah pun mengamalkan seperti demikian. Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) mendengar hal ini, beliau sedemikian rupa tersentuh dimana beliau pulang sembari menangis tersedu-sedu.”[10]

Di dalam satu riwayat tertera, أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَهُوَ فِي دَارِهِ جَاءَ طَيْرٌ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَوَقَعَ عَلَى شَجَرَةٍ حَمَامٌ أَوْ عُصْفُورٌ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: «طُوبَى لَكَ يَا طَيْرُ، مَا أَنْعَمَكَ عَلَى هَذِهِ الشَّجَرَةِ، تَأْكُلُ مِنْ هَذِهِ الثَّمَرَةِ، ثُمَّ تَمُوتُ، ثُمَّ لَا تَكُونُ شَيْئًا لَيْتَنِي مَكَانَكَ» “Suatu saat Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) melihat seekor burung di pohon. Beliau bersabda, ‘Wahai burung, ada kabar suka untukmu. Demi Allah, saya ingin seandainya saya sepertimu. Kamu duduk diatas pohon dan memakan buah-buahan lalu terbang dan mati. Tidak ada perhitungan kelak untukmu dan tidak pula azab. والله! لوددت أني كنت شجرة في جانب الطريق مر علي جمل فأخذني فأدخلني فاه فلاكني ثم ازدردني ثم أخرجني بعرا ولم أكن بشرا Demi Allah, saya ingin bilamana saya menjadi satu pohon di tepi jalan lalu ada unta berjalan mendekati saya lalu menarik saya dan memasukkan saya ke dalam mulutnya lalu mengunyah dan menelan saya dengan cepat, lalu mengeluarkan saya dalam bentuk kotorannya dan saya bukanlah seorang manusia.’”[11]

Terkait:   Jalsah Salana UK 2023: Bimbingan dan Nasehat

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) tentang surah An-Naba ayat 41, yang artinya, وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا “dan orang kafir itu berkata, ‘Seandainya dahulu saya adalah tanah.’”, dalam menafsirkan ayat ini beliau menjelaskan, “Sebagian golongan Muslim, memiliki kebencian sedemikian rupa kepada Sahabat Nabi (saw) hingga mereka berkata, ‘Saat meninggal, Hadhrat Abu Bakr (ra) mengucapkan kalimat ini. Dengan ini maka terbuktilah kekafirannya.’ (Maksudnya, mereka mengatakan bahwa karena beliau kerap menilawatkan ayat ini وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا sehingga ia adalah kafir, na’udzubillah – نعوذ بالله من ذلك -).”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Meski demikian, jika riwayat ini terbukti benar, jika ini adalah suatu hal yang benar dan ayat ini adalah berkaitan dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) maka hubungan ayat ini dengan keimanan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah demikian — bukan seperti perkataan orang-orang kafir dan malahan menolak kata-kata mereka — yakni Abu Bakr (ra) berkata, “Seandainya Allah Ta’ala memperlakukan saya demikian bahwa Dia tidak membalas (mengganjar pahala) amal baik saya dan tidak pula menghukum kesalahan-kesalahan saya.” Dan ini menggambarkan ucapan seorang mukmin sempurna. Di dalam hadits-hadits pun terkait Rasul yang mulia (saw) tertera bahwa beliau kerap bersabda, “Aku tidak akan diampuni karena amal-amalku, tetapi aku akan diampuni karena karunia Allah Ta’ala semata.”

Kata ‘kafir’ dalam hal ini digunakan sebagai kiasan dan ini bermakna [tatkala] orang-orang tersebut menyebut kafir kepada seseorang – yaitu Hadhrat Abu Bakr (ra) – yang paling dekat dalam berperang bersama Rasul yang mulia (saw), yang telah mengorbankan seluruh hartanya kepada Rasulullah (saw), yang telah mempersunting putrinya yang berusia 11 tahun kepada beliau sementara usia beliau (saw) adalah 55 atau 56 tahun, yang telah menemani beliau (saw) saat hijrah, dan yang saat menghadapi seluruh Makkah hanya Hadhrat Abu Bakr (ra) lah yang berdiri bersama beliau (saw). Al-Quran menyebut ini secara kiasan bahwa sosok yang penuh pengorbanan ini justru dikatakan kafir sementara orang-orang itu yang tidak ada arti amal perbuatannya dibanding amal beliau (ra) justru mengaku diri beriman. Jadi, jika dianggap ayat ini terkait Hadhrat Abu Bakr (ra) maka lafaz ini adalah bermakna kiasan. Sosok yang penuh pengorbanan ini justru dikatakan kafir, sementara orang-orang itu yang dalam amalannya pun tidak ada bandingannya dengan beliau, mereka justru tetap dikatakan mukmin.”

Tatkala waktu kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah dekat, Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda kepada Hadhrat Aisyah, “Wahai putriku, kamu mengetahui bahwa yang paling aku cintai dan hargai diantara segenap orang adalah kamu, dan aku dahulu telah menghibahkan tanahku di suatu tempat untukmu. Jika kamu telah menguasainya, dan mengambil manfaat darinya, maka sungguh itu dahulu adalah milikmu. Namun kini mereka adalah pemilik dari segenap warisanku. Aku menghendaki agar kamu mengembalikannya. Yaitu kembalikanlah hibah itu, karena bukanlah kamu yang menguasainya dulu, sehingga tanah itu adalah ada dalam hak guna saya, supaya [tanah] itu kelak akan terbagi di antara segenap keturunan saya sesuai dengan Kitabullah, lalu aku akan bertemu dengan Tuhanku dalam keadaan aku tidak melebihkan seorang anakku dari semua anak lainnya.”

Mendengar ini Hadhrat Aisyah berkata, “Perintah Ayahanda akan dilaksanakan tanpa terkecuali.”

Saya akan menyampaikan peristiwa berikut. Saya sebelumnya pun pernah menyampaikannya. Namun ini saya sampaikan kembali sehubungan dengan karakteristik beliau. Tatkala Allah Ta’ala mengenakan jubah Khilafat kepada beliau, di keesokan harinya Hadhrat Abu Bakr (ra) yang biasa berdagang pakaian, beliau seperti biasa mengangkat karung berisi pakaian-pakaian untuk beliau bawa ke pasar.

Di jalan, beliau berjumpa dengan Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah. Mereka berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah (saw)! Kemana Hudhur (yang mulia) hendak pergi?”

Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, “Ke pasar.”

Mereka berkata, “Hudhur adalah pemimpin umat Muslim. Kami akan menetapkan tunjangan untuk Hudhur. Hudhur mohon pulanglah karena kami akan menetapkan tunjangan untuk Hudhur dan tidak perlu lagi berdagang.”

Allamah Ibnu Sa’ad terkait rincian tunjangan ini menjelaskan, “Hadhrat Abu Bakr (ra) mendapatkan 2 kain. Ketika kain itu telah lama, beliau lalu mengembalikannya dan mengambil yang lain. Terkait kendaraan untuk perjalanan, beliau pun mengambil anggaran untuk beliau sendiri dan orang-orang yang bersama beliau sejumlah yang sesuai dengan pengeluaran di masa sebelum Khilafat.[12]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Hadhrat Abu Bakr (ra) pada masa itu merupakan raja untuk seluruh dunia Islam, namun apa yang beliau dapatkan? Beliau adalah penjaga rupiah publik, namun beliau tidak memiliki kendali sendiri atas rupiah tersebut. Memang, Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah seorang saudagar besar, tetapi karena beliau biasa mempersembahkan harta di jalan Allah Ta’ala segera setelah mendapatkannya. Karena itu, setelah beliau menjadi Khalifah paska kewafatan Rasulullah, saat itu beliau tidak memiliki uang tunai maka pada hari kedua paska terpilih sebagai Khalifah, beliau membawa setumpuk pakaian lalu pergi untuk menjualnya.

Hadhrat ‘Umar (ra) bertemu dengan beliau di jalan dan bertanya, ‘Apa yang akan Hudhur lakukan?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Saya juga harus makan kan? Lantas jika saya tidak menjual pakaian, lalu dari mana saya akan bisa makan?’

Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ini tidak boleh terjadi. Jika Hudhur tetap berjualan pakaian, siapa yang akan melakukan tugas Khilafah?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Jika saya tidak melakukan pekerjaan ini, lalu bagaimana dapat memenuhi kebutuhan hidup?’

Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, ‘Hudhur dapat mengambil tunjangan dari Baitul-Mal.’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Saya tidak mungkin melakukannya. Apa hak saya dari Bait Al-Mal?’

Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ketika Al-Qur’an mengizinkan harta Bait-ul-Mal dapat digunakan untuk mereka yang melakukan pekerjaan keagamaan, mengapa Hudhur tidak mengambilnya?’

Maka setelah itu, ditetapkanlah tunjangan untuk beliau dari Baitul-Mal, tetapi untuk standar masa itu, besaran tunjangan yang beliau terima itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan dan pakaian.”

Ibn Abi Mulaikah meriwayatkan, كَانَ رُبَّمَا سَقَطَ الْخِطَامُ مِنْ يَدِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فَيَضْرِبُ بِذِرَاعِ نَاقَتِهِ فَيُنِيخُهَا فَيَأْخُذُهُ قَالَ فَقَالُوا لَهُ أَفَلَا أَمَرْتَنَا نُنَاوِلُكَهُ فَقَالَ إِنَّ حَبِيبِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا “Jika tongkat kendali unta terjatuh dari tangan Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau akan mendudukkan unta lalu mengambil sendiri kendali tersebut. Dikatakan kepada beliau, ‘Mengapa Hudhur tidak memerintahkan kami saja agar kami yang mengambil dan mengangkatkannya untuk Hudhur?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Kekasih saya, Rasul Allah (saw) memerintahkan saya untuk tidak meminta apapun dari orang lain.’”[13] Kehati-hatian beliau hingga sedemikian rupa.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra)  bersabda, “Nabi yang mulia (saw) pernah mendengar suara beberapa orang di masjid yang menanyakan, ‘Keutamaan apa yang dimiliki oleh Abu Bakr (ra) melebihi kami? Sebagaimana Abu Bakr (ra) melakukan perbuatan baik, demikian juga kami melakukan perbuatan baik.’

Nabi (saw) bersabda, ‘Hai manusia, keutamaan yang dimiliki oleh Abu Bakr (ra) bukan karena shalat dan puasa, melainkan karena kebaikan yang ada di dalam hatinya.’”[14] Artinya, kebaikan yang ada dalam hatinya dan kecintaannya kepada Rasulullah dan rasa takutnya kepada Allah Ta’ala memiliki standar yang menjadikannya lebih istimewa dan amalannya sesuai dengan itu. Bukan hanya di hati.

Dalam menyampaikan tafsir satu ayat Al Quran, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan perihal maqam kedudukan Hadhrat Abu Bakr (ra), sebagai berikut: “Allah Ta’ala berfirman dalam hal ini, ‘Engkau harus terus beribadah sasmpai mencapai tingkat keyakinan sempurna hingga semua hijab (tutupan) dan selubung kegelapan hilang dan engkau dapat memahami bahwa diri engkau tidak seperti yang sebelumnya, melainkan sekarang engkau adalah negeri baru, bumi baru dan langit baru serta makhluk (ciptaan) baru.’

Kehidupan kedua inilah yang oleh para sufi disebut sebagai keberlangsungan hidup. Ketika seseorang mencapai tingkatan ini, hanya nafas Ruh Allah yang ada di dalam dirinya. Malaikat turun ke atasnya. Inilah rahasia sehingga Nabi (saw) mengatakan mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Jika ada yang ingin melihat orang mati berjalan di bumi, lihatlah Abu Bakr (ra) dan derajat Abu Bakr (ra) semata-mata bukan karena amal perbuatan lahiriahnya, melainkan karena apa yang ada di dalam hatinya.’”

Hadhrat Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan, عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمْ خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَنَزَلُوا رُفَقَاءَ رُفْقَةٌ مَعَ فُلَانٍ وَرُفْقَةٌ مَعَ فُلَانٍ قَالَ فَنَزَلْتُ فِي رُفْقَةِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ مَعَنَا أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَنَزَلْنَا بِأَهْلِ بَيْتٍ مِنْ الْأَعْرَابِ وَفِيهِمْ امْرَأَةٌ حَامِلٌ فَقَالَ لَهَا الْأَعْرَابِيُّ أَيَسُرُّكِ أَنْ تَلِدِي غُلَامًا إِنْ أَعْطَيْتِنِي شَاةً وَلَدْتِ غُلَامًا فَأَعْطَتْهُ شَاةً وَسَجَعَ لَهَا أَسَاجِيعَ قَالَ فَذَبَحَ الشَّاةَ فَلَمَّا جَلَسَ الْقَوْمُ يَأْكُلُونَ قَالَ رَجُلٌ أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ الشَّاةُ فَأَخْبَرَهُمْ قَالَ فَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ مُتَبَرِّيًا مُسْتَنْبِلًا مُتَقَيِّئًا “Suatu ketika kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah (saw) dan ketika berkemah, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang bersama si fulan dan ada yang bersama si fulan.” Hadhrat Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan, “Saya berkemah bersama Hadhrat Abu Bakr (ra). Kami ditemani seorang penduduk desa dari suku Badui. Di rumah Badui tempat kami tinggal, ada seorang wanita yang sedang mengandung. Orang Badui ini berkata kepada wanita tersebut, ‘Apakah kamu ingin melahirkan seorang anak laki-laki? Jika kamu memberi saya seekor kambing, kamu akan melahirkan seorang anak laki laki.’ Wanita itu memberinya seekor kambing.

Orang Badui tersebut membacakan kepadanya beberapa mantra. Kemudian ia menyembelih kambingnya dan ketika orang-orang duduk untuk makan, seorang pria berkata, ‘Apakah kamu tahu bagaimana kambing ini diperoleh?’

Kemudian dia menceritakan seluruh kisahnya bagaimana dia mengambil seekor kambing dari wanita hamil dengan mengiming-imingi (memberikan harapan) akan lahirnya seorang putra dan akan mendoakannya.

Perawi mengatakan, “Saya melihat Hadhrat Abu Bakr (ra) hadir juga ada di antara mereka yang sedang makan. Beliau mengekspresikan (memperlihatkan) rasa jijik lalu memasukkan jarinya ke dalam tenggorokannya dan memuntahkan makanan itu.”[15] Hal itu maksudnya beliau bersabda, “Saya tidak bisa memakan makanan yang diperoleh dengan cara-cara syirik.”

Hadhrat Aisyah (ra) meriwayatkan, كَانَ لأَبِي بَكْرٍ غُلاَمٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَىْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ الْغُلاَمُ تَدْرِي مَا هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا هُوَ قَالَ كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ، إِلاَّ أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ، فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ. فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَىْءٍ فِي بَطْنِهِ “Hadhrat Abu Bakr (ra) memiliki seorang hamba sahaya (budak) yang biasa memberikan bagian dari penghasilannya dan Hadhrat Abu Bakr (ra) biasa makan dari penghasilannya.

Suatu hari budak itu membawa sesuatu dan Hadhrat Abu Bakr (ra) memakannya. Budak itu bertanya kepada beliau, ‘Apakah Anda tahu apa itu?’

Hadhrat Abu Bakr (ra) bertanya, ‘Apa ini?’

Budak itu berkata, ‘Pada zaman jahiliyah saya pernah meramal seseorang, padahal saya tidak mengetahui apa apa tentang ramalan, saya hanya menipunya saja. Tadi saya berjumpa dengan orang tersebut dan dia memberi saya sesuatu sebagai imbalan dari ramalan yang pernah saya lakukan dulu.’

Mendengar itu, Hadhrat Abu Bakr (ra) memasukkan jarinya ke tenggorokan dan memuntahkan semua yang ada di perut.”[16] Seolah-olah beliau bersabda, “Saya tidak bisa makan makanan terlarang seperti ini.”

Diriwayatkan dari Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra), قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّىْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ ”  “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Siapa yang menyeret kain celananya dengan didasari ketakabburan, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kebangkitan.’ Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah! Satu sisi pakaian saya tetap longgar kecuali jika saya memperhatikannya secara khusus.’ Rasulullah (saw) bersabda, ‘Engkau tidaklah melakukannya didasari dengan kesombongan.’”[17]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Suatu ketika, Rasul yang mulia (saw) mengatakan, ‘Siapa yang pakaiannya menggantung ke bawah akan masuk neraka.’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menangis setelah mendengar ini karena pakaiannya seperti yang dikatakan. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Engkau bukan salah satu dari mereka.’ Oleh karena itu, niat memiliki pengaruh yang besar dan menjaga martabat adalah hal yang perlu.”[18]

Kemudian, diriwayatkan mengenai ketaatan sempurna, kesetiaan, kecintaan dan hormat Hadhrat Abu Bakr (ra) kepada Rasulullah (saw), اسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَسَمِعَ صَوْتَ عَائِشَةَ عَالِيًا فَلَمَّا دَخَلَ تَنَاوَلَهَا لِيَلْطِمَهَا وَقَالَ لاَ أَرَاكِ تَرْفَعِينَ صَوْتَكِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجَعَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَحْجُزُهُ وَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُغْضَبًا فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حِينَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ ” كَيْفَ رَأَيْتِنِي أَنْقَذْتُكِ مِنَ الرَّجُلِ ” . قَالَ فَمَكَثَ أَبُو بَكْرٍ أَيَّامًا ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَهُمَا قَدِ اصْطَلَحَا فَقَالَ لَهُمَا أَدْخِلاَنِي فِي سِلْمِكُمَا كَمَا أَدْخَلْتُمَانِي فِي حَرْبِكُمَا . فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” قَدْ فَعَلْنَا قَدْ فَعَلْنَا ”  “Suatu hari, Hadhrat Aisyah sedang berbicara dengan nada tinggi kepada Nabi (saw) di rumah. Ketika itu ayahnya, Hadhrat Abu Bakr (ra), datang. Melihat situasi tersebut, Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak bisa tahan dan beranjak maju untuk menampar putrinya yang berbicara seperti ini di depan Rasulullah (saw).

Segera setelah Rasulullah (saw) melihat ini, beliau (saw) menghalangi keduanya dan menyelamatkan Hadhrat Aisyah dari hukuman yang akan diberikan oleh Abu Bakr (ra). Ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) pergi, Nabi (saw) bercanda dengan Hadhrat Aisyah, bersabda, ‘Lihatlah bagaimana aku menyelamatkanmu dari orang itu – ayahmu – pada hari ini.’

Setelah beberapa hari, ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) datang lagi, Hadhrat Aisyah sedang tertawa dan penuh canda tawa dengan Rasulullah. Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Ketika bertengkar kalian mengikutsertakan aku, sekarang pun ikutsertakan juga aku dalam suasana riang gembira ini.’ Rasulullah (saw) bersabda, ‘Kami telah mengikutsertakan.’”[19]

Terkait:   Riwayat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (Seri-3)

Hadhrat Uqbah bin Harits (عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ) meriwayatkan, رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ ـ رضى الله عنه ـ وَحَمَلَ الْحَسَنَ وَهْوَ يَقُولُ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ، لَيْسَ شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ. وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ “Saya melihat Hadhrat Abu Bakr (ra) tengah menggendong Hadhrat Hasan dan Hadhrat Abu Bakr (ra) mengatakan, ‘Ayahku dikorbankan untukmu, rupa anak ini adalah rupa Nabi, bukan rupa Ali.’ Mendengar itu Hadhrat Ali tertawa.”[20]

Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) meriwayatkan, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رضى الله عنه حَدَّثَنَا قَالَ يَعْنِي تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِيِّ – وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتُوُفِّيَ بِالْمَدِينَةِ – قَالَ عُمَرُ فَأَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ إِنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ . قَالَ سَأَنْظُرُ فِي أَمْرِي فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ ثُمَّ لَقِيَنِي فَقَالَ قَدْ بَدَا لِي أَنْ لاَ أَتَزَوَّجَ يَوْمِي هَذَا . قَالَ عُمَرُ فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رضى الله عنه فَقُلْتُ إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ . فَصَمَتَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَىَّ شَيْئًا فَكُنْتُ عَلَيْهِ أَوْجَدَ مِنِّي عَلَى عُثْمَانَ فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَعَلَّكَ وَجَدْتَ عَلَىَّ حِينَ عَرَضْتَ عَلَىَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أَرْجِعْ إِلَيْكَ شَيْئًا . قَالَ عُمَرُ قُلْتُ نَعَمْ . قَالَ فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ شَيْئًا فِيمَا عَرَضْتَ عَلَىَّ إِلاَّ أَنِّي قَدْ كُنْتُ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ ذَكَرَهَا وَلَمْ أَكُنْ لأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلَوْ تَرَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَبِلْتُهَا “Ketika Hadhrat Hafshah, putri Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab, menjadi janda paska kewafatan suaminya, Hadhrat Khunais Bin Hudhafa Sahmi, yang merupakan salah satu sahabat Rasulullah (saw). Beliau juga berpartisipasi dalam Perang Badr dan meninggal di Madinah.

Hadhrat ‘Umar berkata, lalu saya menemui Hadhrat Abu Bakr (ra) dan berkata, “Jika Anda mau, saya akan menikahkan Hafshah dengan Anda.”

‘Saya bertemu ‘Utsman ibn Affan seraya menyampaikan tentang Hafshah, “Jika Anda berkenan maka saya akan menikahkan Hafshah binti ‘Umar dengan Anda.” Beliau menjawab, “Saya akan mempertimbangkan masalah ini.” Setelah berlalu beberapa hari, kemudian ‘Utsman berkata, “Menurut hemat saya, sebaiknya saya tidak menikah dulu saat ini.”

 Saya (Hadhrat ‘Umar (ra)) pun menemui Hadhrat Abu Bakr (ra) dan berkata, “Jika Anda menghendaki, saya akan menikahkan Anda dengan Hafshah binti ‘Umar.”

Hadhrat Abu Bakr (ra) pun diam dan beliau pun tidak memberikan jawaban. Dibanding ‘Utsman, saya merasa lebih sedih bahwa beliau pun akan menolaknya. Saya pun menunggu beberapa hari dan Rasulullah (saw) pun mengirimkan pesan lamaran pernikahan kepada Hadhrat Hafshah hingga saya pun menikahkan Hafshah dengan beliau (saw).

Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) menemui saya dan berkata: “Mungkin anda kecewa dengan saya, karena ketika Anda menawarkan Hafshah, saya tidak menjawab apapun.”

Saya katakan kepada Abu Bakr (ra), “Ya, demikianlah.”

Lantas Abu Bakr (ra) berkata, “Sebenarnya, tentang hal yang Anda sampaikan itu, tidak ada halangan dari saya untuk menjawab apa yang Anda telah tawarkan; namun saya mengetahui bahwa Rasulullah (saw) telah berkeinginan untuk menikahi Hafshah dan saya tidak ingin mengungkapkan niat Rasulullah ini kepada Anda. Itu sebabnya saya diam atau menolak. Namun, apabila Rasulullah (saw) melepaskan perjodohan ini, saya pasti akan menerima tawaran Anda ini, yaitu untuk menikahi putri Anda.”’”[21]

Berkenaan dengan penghormatan Hadhrat Ali kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), tertulis bahwa diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Abbas (ra) dimana beliau berkata: إِنِّي لَوَاقِفٌ فِي قَوْمٍ، فَدَعَوُا اللَّهَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَدْ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ، إِذَا رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي قَدْ وَضَعَ مِرْفَقَهُ عَلَى مَنْكِبِي، يَقُولُ رَحِمَكَ اللَّهُ، إِنْ كُنْتُ لأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ، لأَنِّي كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ كُنْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَفَعَلْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَانْطَلَقْتُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ. فَإِنْ كُنْتُ لأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا. فَالْتَفَتُّ فَإِذَا هُوَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ “Saya berdiri di antara orang-orang yang berdoa untuk Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab, ketika jenazah beliau diletakkan di papan setelah kewafatannya. Apa yang saya lihat adalah seseorang datang dari belakang saya dan meletakkan sikunya di bahu saya. Orang itu berkata (ditujukan kepada jenazah Hadhrat ‘Umar), ‘Semoga Allah merahmatimu. Saya memiliki harapan bahwa Allah akan menguburkan Anda bersama dua sahabat kami karena saya telah sering mendengar Rasulullah (saw) mengatakan, “Saya dan Abu Bakr (ra) dan ‘Umar berada di suatu tempat.” Beliau (saw) juga mengatakan, “Saya dan Abu Bakr (ra) dan ‘Umar melakukan sesuatu” lalu beliau (saw) berkata, “Saya dan Abu Bakr (ra) dan ‘Umar pergi.”  Orang itu berkata, ‘Oleh karena itu, saya berharap bahwa Allah Ta’ala akan menempatkan Anda bersama mereka (Rasulullah dan Abu Bakr (ra)).’

Ketika saya – Hadhrat Ibnu Abbas (ra) – berbalik, ternyata orang yang mengatakan itu adalah Hadhrat Ali bin Abi Thalib.”[22]

Selebihnya akan dilanjutkan nanti, insya Allah.[23]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –

 مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –

 وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –

 عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –

 أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsiril Qur’an (كِتَاب تَفْسِيرِ الْقُرْآنِ), Surah al-Anfal (سُورَةُ الْأَنْفَالِ), bab ayat berikut (بَاب قَوْلِهِ {لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ} مِنْ الرَّأْفَةِ) Hadith no. 4679.

[2] Syarhus Sunnah karya Imam al-Baghawi (شرح السنة للبغوي). (البغوي ، أبو محمد) bahasan (كتاب فضائل القرآن باب جمع القرآن).

[3] Kitab Asy-Syari’ah (الكتاب: الشريعة), karya Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain ibn Abdullah al-Ajurri al-Baghdadi (أبو بكر محمد بن الحسين بن عبد الله الآجُرِّيُّ البغدادي) yang wafat pada 360 Hijriyah, bagian mengenai (كتاب الإيمان والتصديق بأن الجنة والنار مخلوقتان), bahasan (باب ذكر أتباع علي بن أبي طالب رضي الله عنه في خلافته لسنن أبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم), no. 908. Tercantum juga dalam al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud (المصاحف لابن أبي داود), bab jam’il Qur’aan (باب جمع القرآن جمع أبي بكر الصديق رضي الله عنه القرآن في المصاحف بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم). Tercantum juga dalam al-Burhani karya az-Zarkasyi (البرهان – الزركشي – ج ١ – الصفحة ٢٣٩). ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaidil Fadhail (عبد الله بن أحمد في زوائد الفضائل 1/138 وإسناده حسن).

[4] Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsiril Qur’an (كِتَاب تَفْسِيرِ الْقُرْآنِ), Surah al-Anfal (سُورَةُ الْأَنْفَالِ), bab ayat berikut (بَاب قَوْلِهِ {لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ} مِنْ الرَّأْفَةِ) Hadith no. 4679.

[5] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam karyanya berbahasa Arab berjudul Hamamatul Busyra – Merpati pembawa kabar baik – (حمامة البشرى، ص 61-62).

[6] Al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud al-Sijistani.

[7] Abū Nuʿaym al-Aṣbahānī (d. 1038 CE) – Maʿrifat al-ṣaḥāba (أبو نعيم الأصبهاني – معرفة الصحابة): قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ: ” لَا نَعْلَمُ أَرْبَعَةً أَدْرَكُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُمْ وَأَبْنَاؤُهُمْ إِلَّا هَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةَ: أَبُو قُحَافَةَ، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ، وَأَبُو عَتِيقِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، وَاسْمُ أَبِي عَتِيقٍ مُحَمَّدٌ

[8] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٦١٥), bahasan berita tentang sifat tubuh Abu Bakr (ذكر الخبر عن صفة جسم أبى بكر رحمه الله)

[9] Sahih Muslim 2341b, (كتاب الفضائل) – The Book of Virtues, (باب شَيْبِهِ صلى الله عليه وسلم) – Chapter: His Grey Hairs.

[10] as-Samarqandi dalam karyanya al-Fawaid al-Muntaqaah al-‘Awaalil Hasan (الفوائد المنتقاة العوالي الحسان للسمرقندي); (فتح الباري شرح صحيح البخاري » كتاب فضائل الصحابة » باب قول النبي صلى الله عليه وسلم لو كنت متخذا خليلا)

[11] Ibnu Abi Syaibah al-Kufi dalam Al-Mushannaf (المصنف – ابن أبي شيبة الكوفي – ج ٨ – الصفحة ١٤٤); Kanzul ‘Ummal tercantum dalam Musnad ash-Shiddiq (35698- {مسند الصديق} عن الحسن) dari Ibnul Mubarak (ابن المبارك، هب) dan (35699- عن الضحاك) (ش وهناد، هب); Kitab al-Mutamannin karya Ibnu Abid Dunya (كتاب المتمنين لابن أبي الدنيا) bahasan (طوبى لك يا طير، ما أنعمك على هذه الشجرة، تأكل من هذه الثمرة، ثم تموت، ثم لا تكون شيئا). Kanzul ‘Ummal (كتاب كنز العمال) karya al-Muttaqi al-Hindi (المتقي الهندي), (حرف الفاء كتاب الفضائل من قسم الأفعال باب فضائل الصحابة فضل الصديق رضي الله عنه خوفه رضي الله عنه).\

[12] Kitab ath-Thabaqaat al-Kubra (كتاب الطبقات الكبرى ط العلمية) karya Ibnu Sa’d (ابن سعد) juz ketiga tentang tingkatan pertama para Sahabat Nabi yaitu kalangan Muhajiran dan Anshar peserta perang Badr (الجزء الثالث  القول في الطبقة الأولى وهم البدريين من المهاجرين والأنصار  طبقات البدريين من المهاجرين  ومن بني تيم بن مرة بن كعب  46 – أبو بكر الصديق) bahasan pembaiatan Abu Bakr (ذكر بيعة أبي بكر).

[13] Musnad Ahmad 65, (مُسْنَدُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) Musnad Abu Bakr as-Siddiq (ra).

[14] Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Abu Bakr atau Ibnu Qayyim al-Jauziyah (أبي عبد الله محمد بن أبي بكر/ابن قيم الجوزية) dalam karyanya Miftah Darus Sa’adah wa Mansyur Wilayatil ‘Ilmi wal Iradah (مفتاح دار السعادة ومنشور ولاية العلم والإرادة) dan al-Manar al-Munif (المنار المنيف); Abul Faidh Muhammad bin Muhammad al-Husaini Murtadha az-Zubaidi (أبي الفيض محمد بن محمد الحسيني/مرتضى الزبيدي) dalam karyanya Ittihafus Saadatil Muttaqiina bi-syarh Ihya ‘Ulumiddin (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين 1-14 ج1) dan Takhrij Ahadis Ihya’u ‘Ulumiddin (نام کتاب : تخريج أحاديث إحياء علوم الدين نویسنده : الزبيدي، مرتضى    جلد : 1  صفحه : 106) bagian (ربع العبادات  كتاب العلم  ): ما فضل أبو بكر بكثرة صلاة ولا بكثرة صيام، ولكن بسر وقر في صدره dan ما سبقكم أبو بكر بكثرة صوم ولا صلاة ولكن بشيء وقر في قلبه; Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam karyanya Fadhailush Shahabah pada bahasan Fadhail Abi Bakr (فضائل الصحابة لأحمد بن حنبل/فضائل أبي بكر الصديق) pada bab (بقية قوله: مروا أبا بكر يصلي بالناس), 110: قال بكر بن عبد الله: إن أبا بكر لم يفضل الناس بأنه كان أكثرهم صلاة وصوما، إنما فضلهم بشيء كان في قلبه ; Mullah ‘Ali Qari (ملا علي قاري) dalam al-Asrarur Marfu’ah (الأسرار المرفوعة): ما فضَلَكُمْ أبو بكرٍ بفضلِ صومٍ ولا صلاةٍ ، ولكنْ بشيءٍ وقرَ في قلبِهِ .

[15] Musnad Ahmad ibnu Hanbal (مسند أحمد بن حنبل), Kitab Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, Musnad Abu Sa’id Al Khudri Radliyallahu ta’ala ‘anhu (مسند أبي سعيد الخدري), nomor Hadits antara 11005 hingga 11090 (الحديث 11006 – 11090). No.11056 |.

[16] Sahih al-Bukhari 3842, Merits of the Helpers in Madinah (Ansaar)كتاب مناقب الأنصار – , Chapter: The days of Pre-Islamic Period of Ignorance – bab masa jahiliyah (باب أَيَّامِ الْجَاهِلِيَّةِ), in-book reference : Book 63, Hadith 67, USC-MSA web (English) reference : Vol. 5, Book 58, Hadith 182; tercantum juga dalam Mishkat al-Masabih 2786, Business Transactions atau Kitab al-Buyu’ – كتاب البيوع – (jual-beli), Chapter: Earning, and Seeking what is Lawful – Section 3 atau bahasan mengenai usaha nafkah, penghasilan dan mencari apa yang halal (باب الكسب وطلب الحلال – الفصل الثالث), in-book reference: Book 11, Hadith 28.

[17] Sahih al-Bukhari 5784, Kitab tentang libas atau pakaian (كتاب اللباس), Chapter: Whoever dragged his Izar without conceit – bab tentang menarik kain sarung pakaian bawahan tanpa didasari kesombongan (باب مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلاَءَ), in-book reference : Book 77, Hadith 2, USC-MSA web (English) reference : Vol. 7, Book 72, Hadith 675. Sahih al-Bukhari 3665, Companions of the Prophet (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Chapter: “If I were to take Khalil …” (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً “). in-book reference : Book 62, Hadith 17, USC-MSA web (English) reference : Vol. 5, Book 57, Hadith 17; Reference : Sunan an-Nasa’i 5335, The Book of Adornment (كتاب الزينة من السنن), Chapter: Isbal Al-Izar (Letting the Izar Hang Below the Ankles) atau bab isbal (باب إِسْبَالِ الإِزَارِ) in-book reference : Book 48, Hadith 296, English translation : Vol. 6, Book 48, Hadith 533.

[18] Malfuzhaat (ملفوظات ج7)

[19] Reference : Sunan Abi Dawud 4999, in-book reference : Book 43, Hadith 227, English translation : Book 42, Hadith 4981, General Behavior (Kitab Al-Adabكتاب الأدب), Chapter: What was narrated about joking – bab mengenai al-Mizah atau bercanda – (باب مَا جَاءَ فِي الْمِزَاحِ).

[20] Sahih al-Bukhari 3750, Book 62, Hadith 95, USC-MSA web (English) reference : Vol. 5, Book 57, Hadith 93, Companions of the Prophet (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Chapter: The merits of Al-Hasan and Al-Husain (باب مَنَاقِبُ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضى الله عنهما).

[21] Sunan an-Nasa’i 3259, The Book of Marriage (كتاب النكاح), Chapter: A Man Marrying Off His Grown Daughter atau bab bila seorang ayah menawarkan putrinya untuk dinikahi (باب إِنْكَاحِ الرَّجُلِ ابْنَتَهُ الْكَبِيرَةَ). Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), (بَاب شُهُودِ الْمَلَائِكَةِ بَدْرًا) no. 4005.

[22] Sahih al-Bukhari 3677, Companions of the Prophet – Kitab tentang para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab sabda Nabi, “Lau kuntu muttakhidzan khalilan” (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ” قَالَهُ أَبُو سَعِيدٍ).

[23] Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan https://www.islamahmadiyya.net/cat.asp?id=116 (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.