Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 169, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr (ra) ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 35)
- Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz melanjutkan uraian tentang sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadhrat Abu Bakr ibn Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Uraian menyegarkan keimanan perihal keistimewaan luhur beliau (ra).
- Riwayat-riwayat Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai manaqib (keistimewaan) Hadhrat Abu Bakr (ra) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
- Penjelasan Hudhur ayyadahullaahu mengenai Hadits 10 (sepuluh) orang yang diberi kabar suka masuk surga. Terdapat juga hadits-hadits lain mengenai para Sahabat dan Sahabiyah lainnya yang diberi kabar suka masuk surga sehingga tidak hanya mutlak 10 orang saja.
- Penjelasan Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu yang merupakan Mushlih Mau’ud dan Khalifatul Masih II, mengenai Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).
- Hudhur (atba) menyebutkan lebih lanjut mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra) di khotbah mendatang.
- Berita kewafatan dan dzikr-e-khair satu Almarhum dan tiga Almarhumah; [1] yang terhormat Abdul Basit Sahib yang merupakan Amir Jemaat Indonesia. Beliau wafat pada tanggal 8 Oktober 2022 di usia 71 tahun. [2] Jenazah selanjutnya, Zainab Ramadan, beliau adalah istri Yusuf Usman Kambala, seorang guru di Tanzania, benua Afrika; [3] Ny Halimah Begum, istri Syekh Abdul Qadeer Sahib Darwish Qadian, India; [4] Ny Mele Anisa Episai Sahib Keni Baska, Muslimah dan Ahmadi pertama di wilayah Karibas, benua Afrika.
- Shalat jenazah setelah shalat Jumatan.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 28 Oktober 2022 (Ikha 1401 Hijriyah Syamsiyah/ 02 Rabi’ul Akhir/Rabi’uts Tsani tahun ke-1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Masih mengenai pembahasan sahabat-sahabat Badr (peserta perang Badr), sebelumnya tengah saya sampaikan tentang Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) dan disebutkan tentang keunggulan-keunggulan beliau. Mengenai kedudukan Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq dan bagaimana pernyataan Rasulullah (saw) tentang beliau, atau kedudukan apa yang telah beliau berikan, terdapat beberapa riwayat tentang hal ini. Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq mendapatkan keutamaan dan keunggulan bahwa di masa kehidupan Mekkah, Rasulullah (saw) setiap hari kerap mengunjungi kediaman Hadhrat Abu Bakr (ra) satu sampai dua kali.
Hadhrat ‘Amru ibnu al-’Aash menjelaskan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَىُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ ” عَائِشَةُ “. فَقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ فَقَالَ ” أَبُوهَا “. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ” ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ “. فَعَدَّ رِجَالاً Nabi (saw) menunjuk beliau sebagai panglima pasukan dan mengutus mereka menuju Dzatus Salasil, sementara saya datang menemui Rasulullah (saw). Saya berkata, ‘Siapa yang paling Anda kasihi diantara orang-orang?’ Beliau (saw) bersabda, ‘Aisyah.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa dari kalangan pria?’ Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ayahnya Aisyah.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa yang berikutnya?’ Rasul (saw) bersabda, ‘’Umar putra al-Khaththab.’ Demikianlah, beliau (as) lalu menyebutkan nama beberapa sahabat.[1]
Hadhrat Salamah bin Akwa (سلمة بن الأكوع) menerangkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, أبو بكر الصديق خير الناس إلا أن يكون نبي “Abu Bakr adalah yang paling mulia dan terbaik diantara semua manusia, kecuali jika ada Nabi.”[2]
Hadhrat Anas bin Malik menyampaikan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ “Seseorang paling penyayang dan berbelas kasih dari antara segenap umat saya adalah Abu Bakr.”[3]
Hadhrat Abu Sa’id menjelaskan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, إِنَّ أَهْلَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى لَيَرَاهُمْ مَنْ تَحْتَهُمْ كَمَا تَرَوْنَ النَّجْمَ الطَّالِعَ فِي أُفُقِ السَّمَاءِ وَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ مِنْهُمْ وَأَنْعَمَا “Mereka yang berderajat tinggi, orang-orang yang ada di bawahnya akan memandang kepadanya, seperti halnya kalian melihat bintang-bintang yang muncul di langit.” Artinya, mereka yang berderajat tinggi, orang-orang yang ada di bawahnya melihat mereka. Sosok-sosok yang berderajat tinggi, mereka berada di derajat yang sedemikian luhur sehingga orang-orang yang berada di bawahnya melihat mereka seperti halnya melihat bintang-bintang yang bermunculan di langit. Yaitu melihat di ufuk langit. “Hadhrat Abu Bakr dan Umar adalah diantara mereka, yakni yang berderajat tinggi. Orang-orang akan memandang mereka seperti halnya orang-orang saat memandang bintang-bintang yang tinggi.” Lalu tentang keduanya Rasulullah (saw) bersabda, “dan betapa unggulnya mereka berdua.”[4]
Hadhrat Abu Hurairah menjelaskan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, مَا لأَحَدٍ عِنْدَنَا يَدٌ إِلاَّ وَقَدْ كَافَيْنَاهُ مَا خَلاَ أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا يَدًا يُكَافِئُهُ اللَّهُ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَا نَفَعَنِي مَالُ أَحَدٍ قَطُّ مَا نَفَعَنِي مَالُ أَبِي بَكْرٍ وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً أَلاَ وَإِنَّ صَاحِبَكُمْ خَلِيلُ اللَّهِ “Tidak ada suatu kebaikan pun melainkan kami telah merasakan balasannya, kecuali Abu Bakr. Ia telah berlaku ihsan kepada kami, namun balasannya akan ia dapat dari Allah Ta’ala di hari kiamat.”[5]
Nabi (saw) di masa penghujung sakit beliau, bersabda, إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَمَنَّ عَلَىَّ فِي نَفْسِهِ وَمَالِهِ مِنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي قُحَافَةَ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنَ النَّاسِ خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً، وَلَكِنْ خُلَّةُ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ، سُدُّوا عَنِّي كُلَّ خَوْخَةٍ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ غَيْرَ خَوْخَةِ أَبِي بَكْرٍ “Tidak ada seorangpun diantara manusia yang kebaikannya terhadap saya lebih unggul dalam segi jiwa dan hartanya, melebihi Abu Bakr bin Abu Qahafah. Jika saya harus menjadikan diantara manusia seseorang sebagai sahabat, maka pasti saya akan menjadikan Abu Bakr sebagai sahabat. Tetapi persaudaraan Islam lah yang paling utama. Tutuplah semua jendela masjid ini kecuali jendela Abu Bakr.” [6] Terdapat satu riwayat di dalam Sahih Bukhari.
Yang Mulia Nabi (saw) bersabda, أَبُوْ بَكْرٍ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ، وَأَبُوْ بَكْرٍ أَخِى فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ “Abu Bakr adalah dari saya dan saya adalah dari Abu Bakr. Abu Bakr adalah saudara saya baik di dunia maupun di akhirat.”[7]
Di dalam Kitab Sunan at-Tirmizi terdapat riwayat, عَنْ أَنَسٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “ هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلاَّ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ ” “Hadhrat Anas menjelaskan, ‘Rasulullah (saw) bersabda mengenai Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar, “Mereka berdua adalah sosok pemimpin dan ahli surga. Mereka merupakan Ahli surga yang berusia tinggi diantara orang-orang terdahulu dan akhir, selain para Nabi dan rasul.” [8] يَا عَلِيُّ لَا تُخْبِرْهُمَا Wahai Ali, janganlah sampaikan ini kepada keduanya.”[9] Rasulullah (saw) menuturkan kepada perawi, yaitu Hadhrat Ali untuk tidak menyampaikannya.
Perawi menuturkan: عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَانَ §يَخْرُجُ عَلَى أَصْحَابِهِ مِنَ المُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَهُمْ جُلُوسٌ وَفِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَلَا يَرْفَعُ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ بَصَرَهُ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنَّهُمَا كَانَا يَنْظُرَانِ إِلَيْهِ وَيَنْظُرُ إِلَيْهِمَا وَيَتَبَسَّمَانِ إِلَيْهِ وَيَتَبَسَّمُ إِلَيْهِمَا» Diriwayatkan dari Hadhrat Anas bahwa Rasulullah (saw) pergi keluar mengunjungi para sahabat beliau dari kaum Muhajirin dan Ansar. Beliau duduk bersama mereka dan diantaranya ada Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar. Mereka menunduk dan tidak ada diantara mereka yang memandang langsung ke arah beliau, kecuali Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra). Mereka keduanya memandang beliau, dan Rasulullah (saw) pun memandang mereka. Keduanya tersenyum memandang beliau, dan beliau pun tersenyum saat memandang mereka.[10]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Ibnu Umar bahwa Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr, أَنْتَ صَاحِبِي عَلَى الْحَوْضِ وَصَاحِبِي فِي الْغَارِ “Engkau adalah sahabatku di dalam al-haudh dan engkau adalah sahabatku di dalam gua.”[11]
Hadhrat Jubair bin Muth’im (جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ) menerangkan: أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَكَلَّمَتْهُ فِي شَىْءٍ، فَأَمَرَهَا بِأَمْرٍ فَقَالَتْ أَرَأَيْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ أَجِدْكَ قَالَ “ إِنْ لَمْ تَجِدِينِي فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ ”. “Seorang wanita datang menjumpai Rasulullah (saw) untuk menyampaikan suatu hal lalu Rasulullah (saw) memberikan petunjuk tentang hal itu. Kemudian wanita itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapat Hudhur – yang mulia – jika kelak saya tidak mendapati Hudhur?’ (maksudnya, tatkala ia nanti membutuhkan dan beliau (saw) tidak ada atau telah wafat). Beliau bersabda, ‘Jika Anda tidak mendapati saya, datanglah dan temui Abu Bakr. Ia akan memenuhi kebutuhanmu.’”[12]
Hadhrat Ibnu Umar meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ وَالآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ وَهُوَ آخِذٌ بِأَيْدِيهِمَا وَقَالَ ” هَكَذَا نُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ” . “Pada satu hari Rasulullah (saw) pergi ke luar lalu beliau masuk ke dalam masjid. Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar, salah satunya berada di sebelah kanan beliau dan satu lagi berada di kiri beliau, dan Rasulullah (saw) memegang tangan keduanya seraya bersabda, “Seperti inilah kita akan dibangkitkan di hari kiamat.”[13]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abdullah bin Hantab (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ), أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأَى أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقَالَ هَذَانِ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ “Nabi (saw) memandang ke Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Umar dan bersabda, ‘Mereka berdua adalah telinga dan mata.’” [14] Artinya, “Sahabat saya yang sangat erat.”
Hadhrat Abu Sa’id Khudri (أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ) menerangkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَاىَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَاىَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ “Setiap Nabi memiliki dua orang pengawal dari golongan langit dan dua pengawal dari golongan bumi. Dua pengawal saya dari golongan langit adalah malaikat Jibril dan Mikail, sementara dua sosok pengawal saya dari golongan bumi adalah Abu Bakr dan Umar. Lalu beliau pun memberi kabar suka akan surga.”[15]
Saib bin Musayyab (عَنْ شَرِيكِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ) menuturkan: أَخْبَرَنِي أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ، أَنَّهُ تَوَضَّأَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ خَرَجَ، فَقُلْتُ لأَلْزَمَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَلأَكُونَنَّ مَعَهُ يَوْمِي هَذَا. قَالَ فَجَاءَ الْمَسْجِدَ، فَسَأَلَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا خَرَجَ وَوَجَّهَ هَا هُنَا، فَخَرَجْتُ عَلَى إِثْرِهِ أَسْأَلُ عَنْهُ، حَتَّى دَخَلَ بِئْرَ أَرِيسٍ، فَجَلَسْتُ عِنْدَ الْبَابِ، وَبَابُهَا مِنْ جَرِيدٍ حَتَّى قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَاجَتَهُ، فَتَوَضَّأَ فَقُمْتُ إِلَيْهِ، فَإِذَا هُوَ جَالِسٌ عَلَى بِئْرِ أَرِيسٍ، وَتَوَسَّطَ قُفَّهَا، وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ وَدَلاَّهُمَا فِي الْبِئْرِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ، فَجَلَسْتُ عِنْدَ الْبَابِ، فَقُلْتُ لأَكُونَنَّ بَوَّابَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْيَوْمَ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَدَفَعَ الْبَابَ. فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ. فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ. ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ. فَقَالَ ” ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ “. فَأَقْبَلْتُ حَتَّى قُلْتُ لأَبِي بَكْرٍ ادْخُلْ، وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُبَشِّرُكَ بِالْجَنَّةِ. فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَجَلَسَ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَعَهُ فِي الْقُفِّ، وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ، كَمَا صَنَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ، ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ وَقَدْ تَرَكْتُ أَخِي يَتَوَضَّأُ وَيَلْحَقُنِي، فَقُلْتُ إِنْ يُرِدِ اللَّهُ بِفُلاَنٍ خَيْرًا ـ يُرِيدُ أَخَاهُ ـ يَأْتِ بِهِ. فَإِذَا إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ الْبَابَ. فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ. فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ. ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ هَذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَسْتَأْذِنُ. فَقَالَ ” ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ “. فَجِئْتُ فَقُلْتُ ادْخُلْ وَبَشَّرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْجَنَّةِ. فَدَخَلَ، فَجَلَسَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْقُفِّ عَنْ يَسَارِهِ، وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ، ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ، فَقُلْتُ إِنْ يُرِدِ اللَّهُ بِفُلاَنٍ خَيْرًا يَأْتِ بِهِ. فَجَاءَ إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ الْبَابَ، فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ. فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ. فَجِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرْتُهُ. فَقَالَ ” ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ ” فَجِئْتُهُ فَقُلْتُ لَهُ ادْخُلْ وَبَشَّرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُكَ. فَدَخَلَ فَوَجَدَ الْقُفَّ قَدْ مُلِئَ، فَجَلَسَ وُجَاهَهُ مِنَ الشِّقِّ الآخَرِ “Hadhrat Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan kepada saya bahwa suatu saat ia berwudu di rumahnya lalu keluar dan berkata, ‘Saya akan bersama Rasulullah (saw) dan hari ini saya akan bersama Rasulullah (saw) sepanjang hari.’” Artinya, beliau mewakafkan seluruh harinya untuk mengkhidmati Rasulullah (saw). Perawi menuturkan bahwa dia (Abu Musa al-Asy’ari) lalu datang ke Masjid dan bertanya mengenai Nabi (saw).
Orang-orang menjawab, “Beliau sedang keluar. Beliau ke arah sana.”
Perawi (Abu Musa al-Asy’ari) menuturkan, “Saya pergi mencari keberadaan Rasulullah (saw). Saya terus bertanya mengenai dimana beliau (saw) hingga akhirnya beliau (saw) tengah mendatangi suatu sumur di dekat Masjid Quba yang bernama Bi’ru ‘Aris (sumur Aris).[16] Saya duduk di dekat pintunya. Pintu itu terbuat dari batang kurma. Tatkala Rasulullah (saw) selesai dari kesibukannya, beliau lantas berwudu.
Saya bangkit dan pergi menuju Rasulullah (saw). Saya melihat beliau (saw) duduk diatas sumur Aris. Beliau berada di dinding tepi sumur bagian tengah-tengah dan sedang menyingkirkan kain dari kedua betis beliau. Beliau meletakkan kedua lutut beliau ke sumur. Maksudnya, beliau menggantungkan kedua kaki beliau ke arah bawah sumur.
Saya mengucapkan salam kepada beliau (saw), lalu kembali lagi dan duduk di dekat pintu. Saya berkata, ‘Hari ini saya akan menjadi khadim Rasulullah (saw).’
Saat itu juga Hadhrat Abu Bakr datang, lalu beliau mendorong pintu. Saya bertanya, ‘Siapakah di sana?’
Beliau menjawab, ‘Abu Bakr.’
Saya berkata, ‘Mohon tunggu.’ Lalu saya menemui Hudhur dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), Abu Bakr meminta izin hendak bertemu.’
Beliau (saw) bersabda, ‘Izinkanlah ia, dan berilah kabar suka surga kepadanya.’
Saya kembali dan menyampaikan kepada Hadhrat Abu Bakr, ‘Masuklah, dan Rasulullah (saw) telah memberikan kabar suka surga kepada engkau.’ Hadhrat Abu Bakr masuk ke dalam dan duduk di samping kanan Rasulullah (saw) di atas dinding tepi sumur. Beliau pun menyandarkan kaki beliau pada sumur seperti yang dilakukan oleh Nabi (saw), dan mengangkat kain dari kedua betis beliau. Lalu saya kembali dan duduk [di tempat semula].
Sebelum kesini, saya bertemu saudara saya dan berpesan agar ia berwudu dan pergi kemari menemui saya. Di dalam hati saya berkata, ‘Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seseorang (yang ia maksud adalah saudaranya) maka Allah pasti akan membawanya kemari.’ Lalu yang saya lihat adalah seseorang tengah menggerakkan pintu. Lalu saya bertanya, ‘Siapa di sana?’
Ia menjawab, “Umar bin Khaththab.’
Saya berkata, ‘Mohon tunggu.’ Lalu saya menemui Rasulullah (saw) dan mengucapkan salam kepada beliau (saw) dan berkata, ‘Ada Umar bin Khattab yang hendak izin masuk.’
Nabi (saw) bersabda, ‘Berilah ia izin dan sampaikan kabar suka surga kepadanya.’
Saya kembali dan menyampaikan kepada beliau, ‘Masuklah, dan Rasulullah (saw) telah memberi kabar suka surga kepada engkau.’ Beliau masuk ke dalam dan duduk diatas dinding sumur bersama Rasulullah (saw) di samping kiri beliau (saw) seraya menggantungkan kedua kaki beliau ke dalam sumur.
Saya (Abu Musa) pun kembali dan duduk di tempat semula. Saya berkata, ‘Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka ia akan membawanya kemari.’ Saya kembali memikirkan saudara saya. Saat itu juga datang seseorang dan ia menggerakkan pintu. Saya bertanya, ‘Siapa di sana?’
Beliau menjawab, ‘Usman bin ‘Affan.’
Saya berkata, ‘Mohon tunggu.’ Saya menyampaikannya kepada Nabi (saw).
Beliau (saw) bersabda, ‘Berikan ia izin dan berilah kabar suka surga kepadanya.’ Beliau lebih lanjut pun bersabda tentang Hadhrat ‘Utsman, ‘Berilah kabar suka surga kepadanya, meskipun ia akan tertimpa suatu ujian yang sangat besar.’
Saya datang menemui beliau dan berkata, ‘Masuklah ke dalam dan Rasulullah (saw) telah memberi kabar suka surga kepada Anda, meskipun ada satu ujian sangat besar yang akan menimpa Anda.’ Ia datang ke dalam dan melihat bahwa salah satu tepi dinding sumur telah penuh. Beliau (ra) lalu duduk di sisi lain menghadap Rasulullah (saw).”[17]
Hadhrat Anas (ra) menerangkan, صَعِدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أُحُدًا، وَمَعَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ، فَرَجَفَ وَقَالَ “ اسْكُنْ أُحُدُ ـ أَظُنُّهُ ضَرَبَهُ بِرِجْلِهِ ـ فَلَيْسَ عَلَيْكَ إِلاَّ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ ” “[Suatu saat] Nabi (saw) naik di bukit Uhud. Bersama beliau ada Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar, dan Hadhrat Usman. Lalu bukit Uhud terasa bergerak. Beliau (saw) bersabda, ‘Uhud, tenanglah.’ Saya berpikir bahwa Rasulullah (saw) pun menggerakkan kaki beliau, dan [bersama ini beliau bersabda], ‘Tenanglah, wahai Uhud! Di atasmu tidak ada lagi selain seorang Nabi, seorang Siddiq, dan dua orang Syahid.’”[18]
Hadhrat Sa’id bin Zaid (عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ) menerangkan, أَشْهَدُ عَلَى التِّسْعَةِ أَنَّهُمْ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شَهِدْتُ عَلَى الْعَاشِرِ لَمْ آثَمْ . قِيلَ وَكَيْفَ ذَلِكَ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِحِرَاءَ فَقَالَ ” اثْبُتْ حِرَاءُ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلاَّ نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ ” . قِيلَ وَمَنْ هُمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَسَعْدٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ . قِيلَ فَمَنِ الْعَاشِرُ قَالَ أَنَا “Saya bersaksi tentang 9 (sembilan) orang bahwa mereka adalah penghuni surga dan jika saya menyampaikan tentang orang yang kesepuluh, saya tidak akan berdosa. Mereka bertanya, ‘Bagaimana?’”
Beliau menjawab, “Saat itu kami berada di gua Hira bersama Rasulullah (saw). Saat itu gua pun bergoyang. Atas keadaan ini (riwayat sebelumnya adalah dari Bukhari dan ini dari Tirmizi. Di sini dijelaskan tentang peristiwa di gua Hira).
Atas keadaan ini beliau (saw) bersabda, ‘Hira, diamlah. Sesungguhnya diatas engkau ada seorang Nabi, ada Shiddiq, dan ada Syahid.’”
Lalu seseorang bertanya, “Siapakah 10 penghuni surga itu?”
Hadhrat Sa’id bin Zaid berkata, “Rasulullah (saw), Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, Talhah, Zubair, Sa’ad, dan Abdurrahman bin Auf.” Lalu ditanyakan tentang siapakah yang kesepuluh, maka Said bin Zaid menjawab, “Itu adalah saya.”[19]
Hal yang perlu diterangkan disini pun adalah bahwa 10 sahabat agung yang dijelaskan di riwayat ini adalah para sahabat yang mana Nabi yang mulia (saw) di masa kehidupan beliau telah menurunkan kabar suka surga ini kepada mereka. Namun yang perlu diterangkan juga adalah Rasulullah (saw) tidak hanya memberi kabar suka surga hanya terkait 10 sosok ini, tetapi selain itu ada juga para sahabat dan sahabiyah (Sahabat kaum perempuan) yang mana Rasulullah (saw) pun memberi kabar suka surga untuk mereka. Maka dari itu, selain 10 sosok itu, terdapat riwayat tentang sekitar kurang lebih 50 nama sahabat dan sahabiyah.
Selain itu, kaum muslimin yang ikut di dalam perang Badr yang berjumlah sekitar 313 orang, lalu mereka yang ikut di dalam perang uhud, dan mereka yang hadir di peristiwa Baiat Ridwan serta Perjanjian Hudaibiah, mereka pun telah diberi kabar suka akan surga.
Hadhrat Abu Hurairah menyatakan, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا ” . قَالَ أَبُو بَكْرٍ رضى الله عنه أَنَا . قَالَ ” فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً ” . قَالَ أَبُو بَكْرٍ رضى الله عنه أَنَا . قَالَ ” فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِينًا ” . قَالَ أَبُو بَكْرٍ رضى الله عنه أَنَا . قَالَ ” فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيضًا ” . قَالَ أَبُو بَكْرٍ رضى الله عنه أَنَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ ” “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Siapakah diantara Anda sekalian yang hari ini berpuasa?’
Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Saya.’
Beliau (saw) bersabda, ‘Siapakah diantara Anda sekalian yang hari ini pergi menghantarkan jenazah?’
Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Saya.’
Hudhur (saw) bersabda, ‘Siapakah diantara Anda sekalian yang hari ini memberi makan orang miskin?’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Saya.’
Hudhur (saw) bersabda, ‘Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk yang sakit?’
Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Saya.’
Mendengar ini Rasulullah (saw) bersabda, ‘Siapa saja yang di dalam dirinya terkandung segenap hal-hal ini, maka ia masuk ke dalam surga.’”[20] Ini dikutip dari Sahih Muslim.
Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Hurairah, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَرَانِي بَابَ الْجَنَّةِ الَّذِي تَدْخُلُ مِنْهُ أُمَّتِي ” . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ مَعَكَ حَتَّى أَنْظُرَ إِلَيْهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَمَا إِنَّكَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي ” “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Jibril datang kepadaku, ia memegang tanganku dan memperlihatkan pintu surga kepadaku dimana umatku akan masuk melaluinya.’
Hadhrat Abu Bakr menyampaikan, ‘Seandainya saja saya pun ada bersama Hudhur supaya saya pun dapat melihatnya.’
Maka beliau (saw) bersabda, ‘Wahai Abu Bakr, Engkau adalah yang paling pertama di antara umatku yang akan masuk ke dalam surga.’”[21]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam menerangkan lebih lanjut tentang hal ini bersabda, “Satu ketika Yang Mulia Rasulullah (saw) hadir di dalam majlis dan di sekitar beliau duduk hadir para sahabat beliau. Beliau lantas menyampaikan tentang keadaan surga yang begini dan begitu serta menyebutkan tentang ni’mat ni’mat surga yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk beliau.
Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) mendengar hal ini, beliau lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, Doakanlah agar saya pun ada bersama Hudhur di surga.’ Di dalam beberapa riwayat terdapat juga nama satu sahabat dan dalam riwayat lainnya disebutkan nama Hadhrat Abu Bakr.
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya berharap engkau bersama saya dan saya berdoa kepada Allah Ta’ala semoga itu terjadi.’
Ketika Rasulullah (saw) menyampaikan ini, tentu saja secara alami di dalam hati para sahabat yang lainnya juga timbul pemikiran bahwa mereka pun harus memohon kepada Rasulullah Saw supaya beliau (saw) pun berdoa untuk mereka. Pada awalnya mereka berpikir bahwa bagaimana mungkin mereka dapat bersama Rasulullah (saw) di surga, namun ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) atau menurut riwayat lain, seorang sahabat lain menyampaikan hal ini dan Rasulullah (saw) juga mendoakannya, maka sekarang mereka mendapatkan contoh dan mereka mengetahui amalan ini bukan tidak mungkin, melainkan mungkin. Maka seorang sahabat lain berdiri dan berkata, ‘Ya Rasulullah (saw)! Doakanlah saya juga, semoga Allah Ta’ala menempatkan saya bersama Engkau di surga.’ Beliau (saw) bersabda, ‘Semoga Allah Ta’ala memberikan karunia kepadamu juga, namun orang yang mengucapkannya sebelumnya kini dia telah mengambil doa itu.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Suatu kali Rasulullah (saw) bersabda, “Barangsiapa yang banyak melakukan ibadah ini akan dipersilahkan melewati pintu surga ini, dan orang yang banyak melaksanakan ibadah itu akan dipersilahkan melewati pintu surga itu.” Demikianlah, beliau (saw) menyebutkan nama berbagai macam ibadah dan bersabda bahwa orang-orang akan dipersilahkan melewati salah satu dari antara tujuh pintu surga sesuai dengan amal-amal kebaikan yang lebih mereka utamakan. Hadhrat Abu Bakr (ra) juga hadir dalam majlis tersebut. Beliau berkata, “Ya Rasulullah (saw)! Mereka akan melewati pintu yang berbeda-beda karena masing-masing mereka menekankan pada satu ibadah tertentu. Namun, ya Rasulullah (saw)! Jika ada seseorang yang memberikan penekanan pada semua jenis ibadah, maka bagaimana dia akan diperlakukan?.” Beliau (saw) bersabda, “Dia akan dipersilahkan melewati ketujuh pintu surga, dan wahai Abu Bakr! Aku berharap engkau pun termasuk di antara mereka.”
Riwayat ini masih akan berlanjut pada kesempatan mendatang, insya Allah.
Sekarang saya ingin menyampaikan riwayat beberapa Almarhum dan saya juga akan memimpin shalat jenazah mereka setelah ini. Jenazah yang pertama adalah yang terhormat Abdul Basith Sahib, Amir Jemaat Indonesia (مکرم عبد الباسط صاحب امیر جماعت انڈونیشیا), yang wafat pada 8 Oktober di usia 71 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah putra dari Maulwi Abdul Wahid Sumatri Sahib. Setelah menempuh pendidikan hingga FA, beliau masuk Jamiah Ahmadiyah Rabwah pada tanggal 20 September 1972 di usia 21 tahun. Pada awal tahun 1981, beliau lulus ujian Syahid dari Jamiah Ahmadiyah Rabwah. Beliau kembali ke negaranya Indonesia sebagai mubaligh pada tahun 1981.
Pada tahun 1987, atas saran Majlis Amilah Indonesia, diusulkan agar dalam rangka pertablighan di Thailand, seorang Muballigh Indonesia harus mendapatkan kewarganegaraan Kuala Lumpur, Malaysia dan dikirim untuk bertabligh di Thailand, maka nama beliau diusulkan. Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) memberikan persetujuan dan beliau berangkat ke Thailand. Kemudian beliau ditugaskan kembali di Indonesia dan menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya dan mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir dalam waktu yang lama. Masa pengkhidmatan beliau hingga empat puluh tahun.
Selain istri, beliau meninggalkan tiga putra dan dua putri. Istri beliau, Musliwati Sahibah, menuturkan, “Almarhum sangat mencintai Jemaat dan selalu mengutamakan Jemaat di atas segalanya. Sebagai seorang istri, saya mengakui dedikasi dan pengkhidmatan beliau terhadap Jemaat.”
Keponakan beliau, Tahir Sahib menuturkan, “Almarhum sepenuhnya mematuhi arahan dari pusat. Almarhum pernah menyampaikan bahwa ada rencana pergi ke Malaysia untuk bertemu dengan keluarga, beliau juga telah membeli tiket pesawat untuk itu, tapi setelah sekitar seminggu ketika saya bertemu lagi, saya menanyakan mengapa tidak pergi ke Malaysia? Beliau menjawab bahwa surat yang diterima dari pusat tidak mengizinkan saya untuk pergi, jadi saya mengurungkan niat saya untuk pergi ke Malaysia,” dan bahkan beliau tidak mempedulikan tiketnya.
Seorang pengurus yang bekerja bersama beliau menuturkan, “Beliau mengajarkan dan memberikan pemahaman kepada kami dengan penuh kasih sayang. Meskipun berkedudukan sebagai Amir Jemaat, beliau tidak meminta sarana-sarana kemudahan dari Jemaat. Apa pun yang beliau dapatkan dari Jemaat, beliau menggunakannya dengan senang hati. Beliau lebih mengutamakan kesederhanaan. Selama jam kantor, beliau sering menghampiri dan duduk di dekat kami dan membaca-baca surat-surat serta menulis catatan. Beliau sangat menghormati mubaligh dan memiliki pengetahuan yang dalam dan luas. Setiap kali hendak membuat keputusan, beliau selalu meminta saran dari para anggota amilah. Sosok yang karismatik, namun penuh kerendahan hati. Beliau sangat pandai bergaul dan memperlakukan setiap orang, baik kecil maupun besar dengan sikap yang baik. Beliau sangat mencintai Khilafat. Beliau biasa menasihati kami supaya segera mengamalkan perintah Khalifah-e-waqt dan meninggalkan semua pendapat kami sendiri. Beliau mengutamakan nizam Jemaat. Beliau mengawasi dan melindungi sepenuhnya harta Jemaat. Beliau menindak tegas setiap pelanggaran. Beliau sering datang ke kantor lebih dahulu dari karyawan-karyawan lainnya. Jika karena suatu sebab beliau tidak bisa datang atau terlambat datang, maka beliau pasti mengabarkan kepada staf. Bahkan ketika beliau keluar dari kantor untuk suatu hal, sekalipun sebentar, beliau selalu memberi tahu staf kantor. Almarhum sangat berhati-hati saat memeriksa laporan atau surat. Beliau memperhatikan segala sesuatu dengan seksama dan jika ada pekerjaan mendesak, beliau biasa sibuk hingga larut malam. Ketika pergi untuk menemui para Ahmadi, beliau selalu membawa hadiah untuk para anak Ahmadi. Beliau senantiasa bersikap penuh cinta dan kasih sayang. Beliau adalah seorang pembimbing yang senantiasa berusaha menyenangkan orang lain.
Bagi kami dan para Ahmadi di Indonesia, Pak Amir seolah-olah Bapak rohani. Beliau selalu mengutamakan Nizam dan tradisi Jemaat dan inilah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang Amir. Ketika beliau marah, beliau menjaga kehormatan setiap orang, bukan mengatakan apa pun yang diinginkan dalam kemarahan. Beliau selalu memperhatikan aspek islah dalam memberikan hukuman. Tidak ada permusuhan, tidak ada kebencian, melainkan islah/perbaikanlah yang menjadi tujuannya.
Banyak Ahmadi biasa meminta bimbingan dari beliau dalam masalah properti Jemaat mereka. Beliau memperhatikan para anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan kerja keras dan kecintaan yang luar biasa. Beliau sakit sejak satu tahun lalu, bahkan pada hari-hari sakitnya pun beliau mengkhidmati Jemaat seperti biasa dengan melaksanakan berbagai rapat, rabtah dan kunjungan, dan tidak membiarkannya berkurang.”
Mahmud Wardi Sahib, yang berkhidmat di Indonesian Desk di sini (محمود وردی صاحب جو یہاں انڈونیشین ڈیسک), di London, menuturkan, “Ada beberapa aspek dari karakter beliau yang sangat menonjol. Di antaranya yang paling nampak adalah keluasan ilmu beliau. Beliau adalah seorang yang sangat mencintai ilmu. Beliau memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan berbagai topik. Beliau mahir melakukan perbincangan yang hidup mengenai topik apa pun yang dibahas. Selain ilmu-ilmu berdasarkan buku-buku Jemaat, beliau juga menguasai pengetahuan umum lainnya. Beliau secara rutin membaca surat kabar-surat kabar. Beliau biasa membaca surat kabar-surat kabar nasional maupun internasional, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Ketika berpidato, beliau tidak berpidato panjang lebar, beliau selalu memberikan pidato yang singkat dan komprehensif dan senantiasa menyampaikan pidato beliau dalam bahasa sederhana kepada orang-orang. Orang-orang dari setiap kalangan dapat dengan mudah memahami apa yang beliau sampaikan.” Kemudian menuturkan, “Pakaian sehari-hari beliau sangat sederhana, namun beliau adalah sosok yang berwibawa. Tidak ada suatu kepuraan-puraan atau dibuat-buat. Orang-orang dari setiap kalangan biasa duduk bersama beliau dan berbincang-bincang tanpa merasa canggung, tetapi mereka semua selalu berbicara dengan beliau seraya mengingat kehormatan dan kedudukan beliau.”
Seorang Mubaligh dan juga Dosen di Jamiah Ahmadiyah Indonesia, Fazli Umar Faruq Sahib (فضل عمر فاروق صاحب) menuturkan, “Saya dekat dengan Pak Amir sejak masa kecil. Ketika Jemaat Indonesia berada dalam masa yang sangat sulit, beliau menyemangati seluruh anggota Jemaat dengan kerja keras, kesabaran dan ketabahan. Beliau menasihatkan kepada mereka untuk bersabar dan berdoa. Ketika berdoa, beliau melakukannya dengan penuh rintihan dan kekhusyuan. Beliau selalu tepat waktu datang ke masjid untuk salat. Beliau sangat memperhatikan para Waqifin Zindegi. Ketika ada mubaligh yang akan berangkat ke medan pengkhidmatan, beliau biasa memberikan kepadanya semacam hadiah dari beliau.”
Saifullah Mubarak Sahib (سیف اللہ مبارک صاحب), beliau juga adalah Dosen Jamiah, menuturkan, “Maulana Abdul Basith Sahib adalah seorang suri teladan luhur bagi para Waqifin Zindegi. Beliau selalu hadir dalam setiap program Jemaat. Beliau berbicara dengan lembut dan hormat kepada setiap orang. Jika beliau hadir dalam acara apa pun, maka acara itu menjadi hidup dengan kedatangan beliau. Beliau senantiasa tersenyum. Ketika saya belajar di Jamiah Indonesia, setelah maghrib beliau biasa duduk bersama kami, menanyakan kabar kami dan mengobrol ringan.”
Kemudian Nuruddin Sahib, seorang Murabbi silsilah – mubaligh – (نورالدین صاحب مربی سلسلہ), juga menulis, “Beliau merupakan seorang Amir yang memberikan contoh teladannya. Pada 2018 beliau hadir dalam peletakan batu pertama masjid kami. Waktu itu kami hanya memiliki uang 60 juta rupiah.”[22]
Nilai rupiah Indonesia sangat rendah, sehingga ada pembicaraan dalam nominal puluhan juta dan miliaran di sana. Dalam konteks ini dikatakan, telah ada uang sebesar 60 juta rupiah, sedangkan anggaran untuk masjid dibutuhkan sekitar 1,5 miliar rupiah.
“Pak Amir menasihatkan, ‘Untuk membangun masjid, kita biasa memulai pembangunan dengan anggaran berapa pun yang tersedia, tetapi setelah itu kita akan melihat suatu bentuk pertolongan Allah Ta’ala. Jangan takut. Dari 1,5 miliar anggaran, kalian memiliki 60 juta rupiah, maka mulailah pembangunan.’ Jumlah ini 1/10 nya pun tidak. Hanya sebesar tiga atau empat persen.
Setelah memberikan nasihat ini, beliau mengeluarkan dompet dari saku beliau dan memberi kami sejumlah uang untuk pembangunan masjid. Dari sini, para anggota Jemaat berlomba-lomba mempersembahkan pengorbanan terbaik mereka, hingga dalam waktu dua tahun, delapan puluh persen pembangunan masjid telah selesai.
Kemudian tibalah masa pandemi, Pendapatan para anggota menurun dan kemudian pembangunan masjid dihentikan. Lalu kami menghadap kepada beliau dan menyampaikan bahwa kami ingin menyelesaikan pembangunan masjid, tetapi dibutuhkan sekitar 150 juta rupiah.
Kami berharap pusat akan membantu kami, tetapi Pak Amir mengatakan, ‘Pusat tidak akan membantu. Kalian mampu memenuhi jumlah ini tanpa meminta kepada siapapun.’ Beliau bertanya, ‘Ada berapa jumlah anggota di sana?’
Saya sampaikan, ‘160 orang.’
Mendengar ini, seraya tersenyum beliau berkata dengan tenang, ‘Sampaikan kepada setiap orang, supaya masing-masing memberikan sepuluh juta rupiah, maka jumlah ini akan terpenuhi.’”
Nuruddin Sahib menuturkan, “Pada awalnya kami tidak yakin bahwa pekerjaan tersebut akan dapat dilakukan semudah itu, namun ketika kami mulai mengamalkan nasihat ini, Allah Ta’ala meresapkan suatu kecintaan dan semangat ke dalam hati para anggota Jemaat untuk mempersembahkan harta terbaik mereka untuk pembangunan masjid.
Selain itu, Almarhum juga kembali memberikan sejumlah uang yang jumlahnya tidak sedikit. Maka dalam jangka waktu 3 tahun, pembangunan masjid telah selesai pada bulan Februari.”
Kemudian tidak hanya dengan pihak internal, dengan eksternal pun beliau memiliki hubungan. Luqman Hakim Saifuddin Sahib, mantan Menteri urusan keagamaan (لقمان حکیم سیف الدین صاحب سابق وزیر مذہبی امور) – beliau ini bukan Ahmadi – menuturkan, “Saya mengenang almarhum sebagai sosok tokoh nasional yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dimana pun beliau berada, selalu mengedepankan bagaimana kita semua tetap dan senantiasa menjaga harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita, menjaga toleransi serta senantiasa membangun kemaslahatan bersama.” Beliau menuturkan, “Saya pikir inilah nilai-nilai yang menjadi kewajiban kita semua, tidak hanya keluarga besar Ahmadiyah, tapi juga seluruh warga bangsa Indonesia untuk senantiasa bisa meneladani dan mengamalkan apa yang selama ini beliau pesankan. Hilangkanlah segala perbedaan dan pertentangan di antara kita yang berujung pada penyebaran kebencian dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, Zuhairi Sahib (زہیری صاحب) menuturkan, “Saya belajar dari Pak Amir bagaimana kita harus mencintai Rasulullah (saw) dan Ahlul Bait beliau (saw) serta para ulama dan mengikuti ajaran luhur mereka. Meskipun para Ahmadi ditindas dan dicaci maki – banyak terjadi kezaliman di Indonesia dan beliau melewati masa-masa itu dengan keberanian besar dan menjaga semua Ahmadi dengan cara yang luar biasa – bagaimanapun, Zuhairi Sahib menuturkan, “Meskipun para Ahmadi ditindas dan dicaci maki serta diperlakukan tidak adil, namun Pak Amir mengajarkan kepada kami bahwa dalam situasi apapun kita harus mengabdi pada agama dan kemanusiaan dengan ketulusan dan kesetiaan, karena itikad para Ahmadi di seluruh dunia adalah, ‘Love for all, Hatred for none’ – ‘kecintaan buat semua dan kebencian tidak untuk seorang pun’. Saya menjadi saksi bahwa Pak Amir adalah kekasih Allah, sosok yang alim, sederhana dan berakhlak mulia.”
Kemudian Nia Syarifuddin Sahibah (نیا شریف الدین صاحبہ), pemimpin sebuah organisasi di tingkat nasional, menulis, “Gaya bicara Pak Amir sangat meninggalkan kesan mendalam. Meskipun beliau berbicara dengan lembut dan sopan, di dalamnya tetap nampak gejolak kecintaan pada tanah air, seolah-olah Love for all, Hatred for none zahir dari kata-kata beliau.
Kami menjadi saksi bahwa Almarhum adalah orang baik dan merupakan seorang pemimpin yang senantiasa berjuang dengan iman dan berbicara dengan kasih sayang kepada setiap orang.”
Mirajudin Sahib Syahid (معراج الدین شاہد صاحب) menulis, “Selama kepemimpinan beliau sebagai Amir, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi banyak penentangan dan di beberapa tempat di Indonesia para Ahmadi diserang. Beliau menghadapinya dengan keberanian dan ketenangan yang luar biasa. Para pejabat pemerintah juga menghormati beliau. Ini berkat jaringan rabtah beliau yang baik.”
Prinsipal Jamiah Ahmadiyah Indonesia, Ma’shum Sahib, menulis, “Pak Amir sangat mencintai Khilafat. Sebagai tetangga, beliau sering bersama saya pergi ke masjid untuk salat. Setiap kali beliau pergi untuk lawatan, beliau selalu menceritakan bahwa beliau akan pergi ke Jemaat ini dan selalu meminta saya untuk melakukan kunjungan juga. Beliau memperhatikan Jamiah Ahmadiyah secara khusus.
Sebagai anggota Board Member Jamia Ahmadiyah, ketika mewawancarai para calon mahasiswa, Almarhum selalu berpesan, ‘Kalian akan menjadi muballigh, untuk itu berusahalah untuk menjadi panutan bagi jemaat dalam segala hal dan beliau pun membimbing saya memberirahukan kepada saya berkenaan dengan setiap individu mahasiswa yakni apa saja kekurangan yang ada pada siswa ini dan itu dan menginstruksikan kami untuk untuk mengatasinya.’
Alhasil, beliau menaruh rasa ketertarikan mendalam terhadap para mahasiswa jamiah.
Bapak Irshad Malhi (ارشاد ملہی صاحب) adalah seorang Muballigh di Amerika. Menuturkan, “Basit Sahib adalah teman sekelas saya di Jamia dan bahkan teman sekamar. Saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan beliau sangat dekat. Beliau adalah sosok yang sangat cerdas dan brilian, ceria, ramah, dan juga humoris.
Beliau juga adalah pemain bulutangkis yang sangat handal. Selalu menang ketika bermain di Rabwah. Almarhum pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika beliau datang dari Indonesia ke Jamiah Rabwah, pada masa itu beliau menerima tawaran besar sebagai atlit dari sebuah perusahaan, hal itu membuat ayahanda beliau, Maulana Abdul Wahid Sahib sangat khawatir, jangan sampai Abdul Basit mengubah iradahnya untuk kuliah di jamiah karena godaan tawaran besar ini. Almarhum menuturkan, ketika beliau melihat kekhawatiran ayahnya, beliau meyakinkan sang ayah dan berjanji bahwa beliau tidak akan pernah meninggalkan agama untuk keuntungan duniawi, kemudian beliau menolak untuk menerima tawaran untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar. Seluruh kehidupan beliau menjadi saksi bahwa beliau selalu mengutamakan agama di atas dunia dan memenuhi janjinya. Beliau sangat mencintai Khilafat dan merupakan sosok yang setia dan patuh. Beliau sangat dekat dengan Hazrat Khalifah Al-Masih III rh bahkan ketika masa pendidikan di Rabwah. Kami kadang suka menggoda beliau dengan mengatakan bahwa Anda adalah kesayangan Hazrat Khalifatul Masih III. Demikian pula, beliau selalu menunjukkan contoh ketulusan dan kesetiaan pada setiap era Khalifah.”
Semoga Allah memberikan beliau magfirah dan rahmat kepada beliau, mengangkat derajat beliau dan semoga Allah senantiasa memberikan para muballigh dan pekerja seperti beliau kepada Jemaat. Saya juga selalu melihat beliau, seperti yang saya katakan, sebagai sosok yang sangat patuh dan tidak mementingkan diri sendiri. Semoga Allah Ta’ala terus memenuhi kekurangan yang disebabkan oleh kepergiannya.
Para Murabbi dan para Muballigh di Indonesia hendaknya meneladani sosok beliau, khususnya para Muballigh yang ada di belahan dunia lainnya juga. Ini bukan sesuatu yang sudah usang. Pada zaman ini mereka yang mendahulukan agama di atas duniawi dan memenuhi hak waqafnya.
Jenazah selanjutnya adalah Zainab Ramadan, beliau adalah istri Yusuf Usman Kambala, seorang guru di Tanzania. Beliau meninggal baru-baru ini pada usia tujuh puluh tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn.
Suami beliau, Yusuf Usman Kambala mengatakan, “Istri saya sangat tulus dan berpartisipasi dalam setiap tugas jemaat. Memiliki hubungan yang sangat baik dengan tetangga. Biasa menyantuni orang miskin dan anak yatim. Beliau banyak mengkhidmati dan menghormati para Muballigh. Selalu terdepan dalam pembayaran candah. Di mana pun kami tinggal, ia selalu giat untuk melaksanakan tugas jemaat. Dia memperlakukan semua Ahmadi dengan penuh keikhlasan. Beliau terjangkit penyakit kanker selama dua setengah tahun. Melakukan pengobatan ke dokter dokter terbaik namun takdir Allah Ta’ala lebih unggul dan beliau wafat beberapa hari yang lalu.”
Ia menulis, “Ada sekitar 1.000 orang dari Tapura dan berbagai daerah yang menghadiri pemakaman beliau, yang diantaranya adalah ghair yang bukan kerabat juga. Beliau meninggalkan tiga putri dan tiga putra yang kini telah menikah.”
Semoga Allah memberikan beliau magfirah dan rahmat-Nya.
Jenazah berikutnya adalah, Ny Halimah Begum, istri Syekh Abdul Qadeer Sahib Darwish Qadian. Beliau meninggal bulan lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Almarhumah adalah sosok yang rajib berpuasa dan shalat, penyabar, bersyukur, rendah hati dan baik hati. Beliau juga bekerja keras untuk membuat anak-anak rajin sholat dan membaca Al-Qur’an. Selama kesehatan memungkinkan, beliau terus mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak Qadian. Memiliki kecintaan yang besar terhadap khilafat dan senantiasa patuh pada setiap gerakan yang dicanangkan oleh Khalifah. Beliau lalui masa darwishnya dengan penuh kesabaran dan rasa syukur dan meskipun dalam kondisi serba kekurangan beliau tidak pernah membiarkan seseorang yang membutuhkan pergi dengan tangan kosong. Karena rumah beliau dekat dengan Darul Masih, sehingga pada hari hari Jalsah selalu dipenuhi dengan tamu. Beliau biasa menyambut para tamu dengan sangat ramah dan mengkhidmati mereka dengan sebaik baiknya.
Almarhumah adalah seorang Musiah dan putra beliau, Syekh Nasir Waheed Sahib, mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai pelaksana tugas administrator Rumah Sakit Noor, Qadian. Beliau memiliki tiga puteri yang berada di luar negeri. Semoga Allah memberikan rahmat dan ampunan kepada almarhumah.
Almarhum selanjutnya adalah Ny Mele Anisa Episai Sahib Keni Baska. Kondisi kehidupan beliau menakjubkan dan peristiwa baiat beliau juga unik. Beliau adalah wanita yang sangat tulus dan setia. Beliau meninggal baru-baru ini. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau berusia tujuh puluh tiga tahun.
Khawaja Faiz Sahib Muballig Karibas mengatakan bahwa Mele Anisa Epsi Sai Sahiba Karibas adalah Muslimah dan Ahmadi pertama di Jemaat Karibas. Entah bagaimana beliau menemukan naskah Al-Qur’an di penjuru dunia sana. Tempat di mana, seperti di tempat-tempat lain, buku hampir tidak terlihat. Ketika beliau mendapatkan naskah Al-Qur’an tersebut, beliau mulai membacanya sendiri. AlQuran yang ada terjemahannya. Setelah membacanya Ny Mele Anisa Episai Sahib sangat terkesan oleh Al-Qur’an sehingga beliau sendiri menyatakan beriman didalam hati dan mulai berjilbab sejak saat itu.
Ketika Muballigh Jemaat Ahmadiyah, Almarhum Hafiz Jibril Syed, pertama datang ke Karibas, beliau bertanya kepada orang-orang, apakah ada Muslim di negara ini, lalu semua orang mengisyarahkan kepada Ny. Mele Anisa Episai Sahib bahwa hanya ada satu orang di negara ini. Merupakan karunia Allah Ta’ala semata bahwa ketika Ibu Mele Anisa Epsi Sai Sahiba menerima Islam di dalam hatinya, dalam waktu satu tahun, Muballigh jemaat sampai di sana atas instruksi Hazrat Khalifah Al-Masih IV rh.
Wanita muda pemberani tersebut telah mulai mendakwahkan Islam kepada keluarga dan teman-temannya pada waktu itu sebelum Muballigh Jemaat dapat sampai di sana dan karena itulah telah menjadi buah bibir di negara kecil yang berpenduduk 100.000 jiwa itu bahwa seorang wanita telah menjadi Muslimah. Untuk itu ketika Muballigh jemaat Almarhum Hafiz Jibril Said tiba di negeri Karibas, Allah telah memberinya seorang Sultan Naseer (penolong) yang telah dipersiapkan bagi jemaat. Beliau terkenal sebagai satu-satunya Muslimah yang berjilbab dan bertabligh kepada orang-orang.
Ketika Muballigh pertama, Jibril Sahib datang ke Karibas, Ny Mele Anisa baiat dan bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah. Beliau mengatur tempat untuk akomodasi pa Muballigh. Menyediakan fasilitas dan kemudian menyibukkan diri bertabligh. Banyak orang masuk jemaah karena tabligh beliau. Beliau sangat mencintai jemaat dan sangat menghormati para Muballigh. Meskipun ditentang keras oleh orang-orang, keimanan beliau tidak pernah melemah. Ke mana pun pergi, beliau berjilbab dan pakaian muslimnya juga menjadi sarana tabligh. Meskipun orang-orang biasa mengolok-olok dan kadang-kadang melecehkan beliau dan mendebat dan mengganggu beliau, namun beliau tidak pernah membiarkan iman dan jilbab beliau terjatuh. Beliau meninggalkan teladan yang baik bahwa pardah semata mata karena Allah Ta’ala sehingga beliau tidak memperdulikan apapun yang orang-orang katakan.
Pada awalnya, ketika beliau menerima Islam di dalam hatinya, beliau tidak tahu bagaimana cara shalat, lalu beliau mulai beribadah sendiri tanpa sujud. Ketika ayah beliau melihat beliau beribadah dengan cara baru, ayah beliau mengungkapkan kemarahan yang besar dan mengancam akan merobek Al-Qur’an.
Sebagai tanggapannya, beliau berkata kepada ayahnya bahwa kalau begitu halaman-halaman Alkitab yang menyebutkan berkenaan sujudnya Nabi Isa di hadapan Tuhan, juga harus dirobek.
Beliau tetap teguh dalam keimanannya dengan penuh keberanian, kemudian dengan karunia Allah Ta’ala, setelah datangnya Muballigh, beliau sendiri belajar shalat dan kemudian mengajarkannya kepada orang-orang. Di sudut dunia sana, semua orang memandang rendah Islam. Pada saat itu, Wanita Mujahidah ini berdiri tegak menghadapi semua orang dan menyampaikan ajaran Islam tanpa rasa takut, beliau tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah.
Karena kualitas ini, banyak orang dan bahkan para politisi juga segan kepada beliau, dan sedemikian besarnya karunia Allah Ta’ala sehingga disebabkan oleh besarnya charisma dan keimanan beliau yang teguh, telah memberikan satu tekanan dan pengaruh besar bagi para politisi sehingga para politisi itu berkontribusi ketika jemaat didaftarkan secara resmi diakui (di negara itu) padahal sebelumnya sempat tidak disetujui karena adanya penentangan. Banyak juga orang yang mengenal dan hormat kepada beliau sehingga meskipun menentang Islam namun mereka tidak bisa berbicara sesuatu yang negatif mengenai Islam ditengah keberadaan beliau.
Beliau selalu membuka rumah agar orang-orang datang dan menanyakan pertanyaan apa pun yang mereka inginkan. Beliau biasa menasihati semua orang di rumahnya untuk shalat secara teratur. Sejak lama, rumahnya juga dijadikan sebagai shalat center.
Ketika putra beliau, Ahmed Apisai mencapai usia dewasa, beliau mewakafkannya untuk Jemaat dan mengirimnya ke Jamia Ahmadiyah Ghana. Orang-orang sangat ingin untuk menghentikan beliau agar tidak mengirimkan putranya itu, karena menurut mereka putra beliau akan dibunuh, tetapi beliau tetap mengirimkan putranya dengan bangga, tetapi sudah takdir Ilahi bahwa ketika di Afrika Ahmad Apisai jatuh sakit terjangkit penyakit Malaria dan akhirnya meninggal di sana.
Saat itu, mereka yang melarang itu datang lagi dan berkata, “Lihatlah, Islam itu sesat, karena itu putramu telah meninggal, namun Ny Mele Anisa Epsi Sai tidak mempedulikan ucapan mereka dan tidak memperhatikannya, beliau tetap teguh pada Islam dan kuat demi Islam.”
Beliau mulai bekerja lagi demi Islam lebih dahsyat dari sebelumnya. Tidak ada perbedaan dalam keimanan beliau maupun dalam pardah. Anak-anak beliau yang lain juga tetap teguh dalam Islam dan tabligh terus berlanjut. Beliau meninggalkan tiga putri dan satu putra.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan memberikan taufik kepada mereka untuk dapat mengkhidmati Islam dan Ahmadiyah seperti ibunya. Semoga Allah memberkati benih yang beliau tanam di sana dan semoga pulau kecil ini masuk kedalam pangkuan Ahmadiyah sesuai keinginan beliau. Semoga Allah Ta’ala terus menganugerahkan jemaat ini Wanita-wanita yang tak kenal takut, yang menegakkan teladan, yang bersemangat untuk bertabligh dan yang teguh dalam keimanan mereka, dan semoga Allah Ta’ala terus menganugerahkan para ibu seperti ini yang telah memenuhi haknya untuk bertabligh lebih dari para muballighin. Semoga Allah memberikan beliau maghfirah dan kasih sayangNya dan meninggikan derajat-Nya.[23]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Sahih al-Bukhari 3662, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab sabda Nabi lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً “). Sahih Muslim 2384, Kitab Fadhailush Shahabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Abu Bakr (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).
[2] al-‘Ajluni dalam Kasyaful Khafa (كشف الخفاء – العجلوني – ج ١ – الصفحة ٣٣); al-Haitsami (الهيثمي) dalam karyanya Majma’uz Zawaid wa manba’ul Fawaid (كتاب: مجمع الزوائد ومنبع الفوائد), jilid ke-9 (المجلد التاسع), Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب), bab-bab Manaqib Abi Bakr (أبواب في مناقب أبي بكر رضي الله عنه); Ibnu Hajar al-Haitami (أبي العباس أحمد بن محمد/ابن حجر الهيتمي) dalam ash-Shawa’iqul Muhriqah (الصواعق المحرقة في الرد على أهل البدع والزندقة ويليه كتاب تطهير الجنان واللسان); (الموسوعة الكبرى لأطراف الحديث النبوي الشريف 1-50 ج1) karya Muhammad Sa’id ibn Basuni Zaghlul (محمد السعيد بن بسيوني زغلول); Imam As-Suyuthi (السيوطي) dalam karyanya (كتاب الروض الأنيق في فضل الصديق), (فهرس الكتاب بسم الله الرحمن الرحيم). (السراج المنير شرح الجامع الصغير – ج 1)
وعن سلمة بن الأكوع قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر الصديق خير الناس إلا أن يكون نبي. رواه الطبراني وفيه إسماعيل بن زياد وهو ضعيف
[3] Sunan Ibn Majah 154, Kitab tentang Sunnah (كتاب المقدمة), bab keutamaan Khabbab (باب فَضَائِلِ خَبَّابٍ).
[4] Jami` at-Tirmidhi 3658, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), (باب مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه واسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق).
[5] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab (باب فِي وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنَ النَّاسِ خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً), nomor 3661.
[6] Sahih al-Bukhari 467, Kitab Shalat (كتاب الصلاة), bab Khaukhan atau pintu kecil dan jalan menuju ke dalam Masjid (باب الْخَوْخَةِ وَالْمَمَرِّ فِي الْمَسْجِدِ): عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ عَاصِبٌ رَأْسَهُ بِخِرْقَةٍ، فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ .
[7] Imam Suyuthi. 2016. Jami’us Shaghir fi Ahadits al-Basyir an-Nadzir. Kairo: Darul Hadits. hlm.17. hadits nomor 00072
http://rumah-tasikmalaya.blogspot.com/2018/09/kitab-al-jami-ash-shaghir-hadits-nomor_47.html
[8] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab Manaqib Abu Bakr dan ‘Umar radhiyaLlahu ‘anhuma keduanya (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا), nomor 3664.
[9] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab Manaqib Abu Bakr dan ‘Umar radhiyaLlahu ‘anhuma keduanya (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا), nomor 3665-3666. Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ١٧٠). Tercantum juga dalam Kitab ats-Tsaani min Fadhail ‘Umar bin al-Khaththab (كتاب الثاني من فضائل عمر بن الخطاب) karya Abdul Ghani bin ‘Abdul Wahid bin ‘Ali bin Surur al-Maqdisi al-Jama’ili ad-Dimasyqi al-Hambali, Abu Muhammad, Taqiyuddin (عبد الغني بن عبد الواحد بن علي بن سرور المقدسي الجماعيلي الدمشقي الحنبلي، أبو محمد، تقي الدين). Ada juga riwayat menurut Hadhrat ‘Ali (ra): عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ § (( هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لا تُخْبِرْهُمَا )) .
[10] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3668 atau 4031.
[11] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا), nomor 3670.
[12] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab berpegang teguh pada Abu Bakr dan ‘Umar radhiyaLlahu ‘anhuma keduanya, nomor 3676. Sahih al-Bukhari 7360, Holding Fast to the Qur’an and Sunnah (كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة), Chapter: The laws inferred from certain evidences; and the meaning of an evidence (باب الأَحْكَامِ الَّتِي تُعْرَفُ بِالدَّلاَئِلِ، وَكَيْفَ مَعْنَى الدِّلاَلَةِ وَتَفْسِيرِهَا).
[13] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab Manaqib Abu Bakr dan ‘Umar radhiyaLlahu ‘anhuma keduanya (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا), nomor 3669.
[14] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab Manaqib Abu Bakr dan ‘Umar radhiyaLlahu ‘anhuma keduanya (باب فِي مَنَاقِبِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رضى الله عنهما كِلَيْهِمَا), nomor 3671.
[15] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib dari Rasulullah (saw) (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab berpegang teguh mengikuti dua orang setelahku atau Chapter [“Stick To The Two After Me, Abu Bakr and ‘Umar”] nomor 3680 atau 4044.
[16] Sumur di Arab biasanya identik dengan kebun atau ladang di sekelilingnya dan terkadang kebun itu dikelilingi pagar dan berpintu.
[17] Sahih al-Bukhari 3674, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab sabda Nabi lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً “). Sahih Muslim 2403c, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Keutamaan ‘Utsman (باب مِنْ فَضَائِلِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضى الله عنه).
[18] Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab Manaqib Uthman (ra) bin Affan (باب مَنَاقِبُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَبِي عَمْرٍو الْقُرَشِيِّ رضى الله عنه), Hadith 3699; Sahih al-Bukhari 3675, Kitab tentang keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), keutamaan Hadhrat ‘Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ): أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَقَالَ ” اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ ” ..
[19] Jami` at-Tirmidhi 3757, bab keutamaan Abul A’war Sa’id bin Zaid – Chapter: The Virtues Of Abu Al-A’war, And His Name Is: Sa’eed Bin Zaid Bin ‘Amr Bin Nufail, May Allah Be Pleased With Him (باب مَنَاقِبِ أَبِي الأعور اسمه سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وأبي عبيدة رضي الله عنه); Sunan Abi Dawud 4648, Kitab as-Sunnah (كتاب السنة), bab tentang para Khalifah (باب فِي الْخُلَفَاءِ).
[20] Sahih Muslim 1028, Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة), bab kebaikan seseorang yang melakukan jenis lain kebaikan sebagai tambahan melakukan derma – Chapter: The virtue of the one who does other kinds of good deeds in addition to giving charity (باب مَنْ جَمَعَ الصَّدَقَةَ وَأَعْمَالَ الْبِرِّ); Sahih Muslim 1028b, (فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه); Imam al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad 515, Kitab menengok orang sakit (كتاب عيادة المرضى), bab menengok orang sakit (بَابُ عِيَادَةِ الْمَرْضَى); Mishkat al-Masabih 1891, Kitab tentang Zakat (كتاب الزكاة), bab keutamaan sedekah (باب فضل الصدقة – الفصل الأول).
[21] Sunan Abi Dawud 4652, Kitab as-Sunnah (كتاب السنة), bab tentang para Khalifah (باب فِي الْخُلَفَاءِ).
[22] Nuruddin yang dimaksud di dalam dzikr-e-khair ini ialah Mln. Muhammad Nurdin yang saat terjadinya peristiwa ini bertugas di Jakarta Utara. Sudah dikonfirmasi kepada yang bersangkutan. Editor.
[23] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar (ra) Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.