Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 171, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 37)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 18 November 2022 (Nubuwwah 1401 Hijriyah Syamsiyah/23 Rabi’ul Akhir/Rabi’uts Tsani tahun ke-1444 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Masih berlangsung pembahasan berkenaan dengan biografi dan berbagai peristiwa dalam kehidupan Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra). Sebelum ini telah saya jelaskan bagaimana status kedudukan beliau dalam pandangan Rasulullah (saw) dan juga telah saya jelaskan lebih lanjut yang dari itu menunjukkan bahwa Rasulullah (saw) ingin menetapkan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai penerus beliau, bahkan beliau (saw) memberikan petunjuk bahwa Allah Ta’ala akan menunjuk Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai khalifah sepeninggal beliau (saw). Hadhrat Aisyah meriwayatkan, قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَرَضِهِ ” ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ وَأَخَاكِ حَتَّى أَكْتُبَ كِتَابًا فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ وَيَقُولَ قَائِلٌ أَنَا أَوْلَى . وَيَأْبَى اللَّهُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ ” “Rasulullah (saw), dalam keadaan sakit menjelang kewafatan bersabda kepada saya, ‘Panggil Abu Bakr dan saudaramu kepada saya supaya saya dapat membuat satu tulisan. Saya takut seseorang pengharap [kedudukan Khalifah] akan berharap atau seorang pengucap akan mengatakan, “Saya lebih berhak”, tetapi Allah dan orang-orang beriman akan menolak siapa pun selain Abu Bakr.’”[1] Dengan kata lain, jika orang lain mengatakannya, itu akan ditolak dan Hadhrat Abu Bakr-lah akan menjadi pengganti beliau.
Lalu ada juga riwayat Hadhrat Hudzaifah bin Yaman. Beliau meriwayatkan, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ” إِنِّي لاَ أَدْرِي قَدْرَ بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي ” . وَأَشَارَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya tidak tahu berapa lama akan tinggal di antara kalian. Maka ikutilah saya dan orang-orang yang sesudah saya.’ Dan saat itu beliau (saw) mengarahkan pada Abu Bakr dan Umar.”[2]
Hadhrat Abu Hurairah mengatakan, سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ” بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي عَلَى قَلِيبٍ عَلَيْهَا دَلْوٌ، فَنَزَعْتُ مِنْهَا مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَخَذَهَا ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ، فَنَزَعَ بِهَا ذَنُوبًا أَوْ ذَنُوبَيْنِ، وَفِي نَزْعِهِ ضَعْفٌ، وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ ضَعْفَهُ، ثُمَّ اسْتَحَالَتْ غَرْبًا، فَأَخَذَهَا ابْنُ الْخَطَّابِ، فَلَمْ أَرَ عَبْقَرِيًّا مِنَ النَّاسِ يَنْزِعُ نَزْعَ عُمَرَ، حَتَّى ضَرَبَ النَّاسُ بِعَطَنٍ ” “Saya mendengar dari Nabi (saw). Beliau bersabda, ‘Suatu kali saya sedang tidur dan saya melihat diri saya sendiri (dalam mimpi) berada di sebuah sumur dengan sebuah ember di atasnya. Saya menimba air dari sumur tersebut sebanyak yang Allah kehendaki. Kemudian Ibnu Abi Qahafa (Abu Bakr) mengambil ember itu dan menimba satu atau dua ember air dengannya, namun ada kelemahan ketika menariknya, dan Allah akan mengampuni Abu Bakr dengan menutupi kelemahan ini. Kemudian ember itu menjadi charsa, yaitu ember kulit yang besar dan diambil oleh Ibnu Khattab. Saya belum pernah melihat kekuatan seperti itu pada orang yang mengeluarkan air seperti yang dilakukan oleh Umar. Umar mengambil begitu banyak air sehingga orang-orang dapat minum sampai kenyang lalu duduk di kediaman mereka.’”[3] Maksudnya, beliau menceritakan tentang Hadhrat Abu Bakr dan Umar bahwa mereka berdua akan menjadi penerus setelah beliau (saw).
Berkenaan dengan bagaimana peran Hadhrat Abu Bakr pada peristiwa Ifk (peristiwa penyebaran kabar bohong terhadap istri Nabi, Hadhrat ‘Aisyah [ra]) dan bagaimana keutamaan beliau, penjelasan lengkapnya telah disampaikan pada riwayat hidup seorang sahabat yang sebelumnya, saat ini sakan saya sampaikan sebagain kecilnya, yang akan memperjelas bahwa Hadhrat ‘Aisyah telah menjadi sasaran fitnah besar. Seolah-olah beliau tertimpa oleh gunung yang runtuh. Namun kecintaan orang tua Hadhrat ‘Aisyah dan rasa hormat beliau kepada Rasulullah (saw) lebih dari kecintaannya terhadap putri beliau sendiri. Keduanya membiarkan putri mereka dalam kondisi yang sama untuk waktu yang lama, dalam keadaan di mana Rasulullah (saw) menganggap pantas untuk itu hingga ketika Hadhrat ‘Aisyah mengunjungi rumah orang tuanya, Hadhrat Abu Bakr memulangkannya ke rumahnya pada waktu itu.
Demikian pula dalam Kitab Bukhari bahwa selama peristiwa Ifk, Hadhrat ‘Aisyah mengunjungi rumah orang tuanya bersama seorang pelayan atas seizin Rasulullah (saw). Hadhrat Aisyah meriwayatkan, فَدَخَلْتُ الدَّارَ فَوَجَدْتُ أُمَّ رُومَانَ فِي السُّفْلِ وَأَبَا بَكْرٍ فَوْقَ الْبَيْتِ يَقْرَأُ. فَقَالَتْ أُمِّي مَا جَاءَ بِكِ يَا بُنَيَّةُ فَأَخْبَرْتُهَا وَذَكَرْتُ لَهَا الْحَدِيثَ، وَإِذَا هُوَ لَمْ يَبْلُغْ مِنْهَا مِثْلَ مَا بَلَغَ مِنِّي، فَقَالَتْ يَا بُنَيَّةُ خَفِّضِي عَلَيْكِ الشَّأْنَ، فَإِنَّهُ وَاللَّهِ، لَقَلَّمَا كَانَتِ امْرَأَةٌ حَسْنَاءُ عِنْدَ رَجُلٍ يُحِبُّهَا، لَهَا ضَرَائِرُ، إِلاَّ حَسَدْنَهَا وَقِيلَ فِيهَا. وَإِذَا هُوَ لَمْ يَبْلُغْ مِنْهَا مَا بَلَغَ مِنِّي، قُلْتُ وَقَدْ عَلِمَ بِهِ أَبِي قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ نَعَمْ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَاسْتَعْبَرْتُ وَبَكَيْتُ، فَسَمِعَ أَبُو بَكْرٍ صَوْتِي وَهْوَ فَوْقَ الْبَيْتِ يَقْرَأُ، فَنَزَلَ فَقَالَ لأُمِّي مَا شَأْنُهَا قَالَتْ بَلَغَهَا الَّذِي ذُكِرَ مِنْ شَأْنِهَا. فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، قَالَ أَقْسَمْتُ عَلَيْكِ أَىْ بُنَيَّةُ إِلاَّ رَجَعْتِ إِلَى بَيْتِكِ، فَرَجَعْتُ “Saya memasuki rumah dan menemukan ibu saya Ummu Ruman tengah berada di belakang rumah dan Hadhrat Abu Bakr di ruang atas rumah, tengah membaca Al-Quran. Ibu berkata, ‘Wahai putriku sayang, bagaimana kabarmu?’
Saya memberi tahu beliau dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Apa yang saya lihat adalah Ibu tidak terkejut seperti yang saya alami, saya pikir ibu akan marah setelah mendengar kejadian itu. Ibunda beliau berkata: “Wahai putriku sayang, anggaplah kejadian yang menimpamu ini sebagai sesuatu yang tidak berarti, karena demi Allah, sangat jarang terjadi, seorang wanita cantik yang dicintai oleh suaminya namun tidak dicemburui oleh istri-istri suaminya yang lain lalu gosip dibuat-buat mengenainya.”
Hadhrat ‘Aisyah mengatakan, “Apa yang saya lihat itu tidak memiliki dampak yang sama pada ibu saya seperti yang saya rasakan.”
Hadhrat ‘Aisyah bertanya kepada ibunya: “Apakah ayah juga telah mengetahui hal ini?”
Ibunda menjawab: “Ya.”
Kemudian Hadhrat ‘Aisyah berkata: “Apakah Rasulullah (saw) juga?”
Ibunda berkata, “Ya, Rasulullah (saw) juga telah mengetahui.”
Hadhrat ‘Aisyah berkata: “Mendengar itu, air mata saya mulai mengalir dan saya menangis. Hadhrat Abu Bakr yang tengah membaca Al Quran mendengar suara saya lalu turun dan bertanya pada ibu saya, ‘Apa yang terjadi padanya?’
Ibu mengatakan, ‘Ia telah mengetahui perkara yang tengah diperbincangkan mengenainya.’ Kemudian, air mata mengalir dari mata Hadhrat Abu Bakr.
Abu Bakr berkata, ‘Wahai putriku sayang! Ayah bersumpah kepadamu bahwa kamu harus kembali ke rumahmu.’” Hadhrat ‘Aisyah mengatakan, “Saya pun kembali.”[4]
Dalam menggambarkan konspirasi dan kekejian insiden Ifk, dan dalam menjelaskan keutamaan Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan pada satu kesempatan: “Kita harus merenungkan siapa saja orang munafik atau para pembesar yang diuntungkan dengan mencemarkan nama baik itu dan siapa saja yang menjadi target permusuhan orang-orang munafik dengan cara itu?”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Dengan sedikit merenungkannya, dapat diketahui bahwa dengan melontarkan tuduhan palsu kepada Hadhrat Aisyah, dua sosok dapat menjadi target permusuhan. Pertama adalah Rasulullah (saw) dan kedua adalah Hadhrat Abu Bakr (ra). Karena Hadhrat ‘Aisyah adalah istri dari Rasulullah (saw) dan putri dari Hadhrat Abu Bakr. Kedua wujud ini sedemikian rupa sehingga pencemaran nama baik mereka dapat menguntungkan bagi sebagian orang secara politik atau ekonomi atau dari sisi permusuhan atau maksud dan tujuan sebagian orang berkaitan erat dengan pencemaran nama baik mereka berdua. Karena tidak mungkin ada yang tertarik dengan tercemarnya nama baik Hadhrat ‘Aisyah sendiri. Paling-paling mungkin saja kaitannya dengan para istru Rasulullah (saw) lainnya.
Bisa juga timbul anggapan mungkin saja dalam rencana jahat ini ada andil istri Rasulullah (saw) lain dengan tujuan untuk menjatuhkan Hadhrat Aisyah dan untuk meraih nama baik dalam pandangan Rasulullah (saw). Namun sejarah menjadi saksi bahwa para istri Rasulullah (saw) yang lainnya tidak ada andil dalam rencana jahat tersebut bahkan Hadhrat Aisyah sendiri menuturkan, ‘Dari antara para istri Rasulullah (saw) yang dianggap sebagai saingan saya adalah Hadhrat Zainab. Selain Zainab tidak ada istri lainnya yang saya anggap sebagai pesaing, namun saya tidak akan pernah melupakan ihsan kebaikan Zainab yang mana ia paling gencar dalam membantah tuduhan yang dilontarkan kepada saya.’[5]
Jadi, jika ada yang dapat memendam permusuhan dengan Hadhrat ‘Aisyah, maka kemungkinan itu adalah para istri Rasulullah (saw) yang lainnya, dan jika mereka mau, mereka dapat memiliki andil didalamnya, untuk menjatuhkan martabat Hadhrat Aisyah dan mengangkat Namanya sendiri dimata Rasulullah (saw). Namun terbukti dari sejarah bahwa mereka tidak ikut campur dalam hal ini. jika ada yang dimintai kesaksian berkenaan dengan Hadhrat Aisyah, ia memujinya. Sebagaimana berkenaan dengan seorang istri Rasul lainnya dikatakan bahwa ketika Rasulullah (saw) menceritakan hal ini kepadanya, sang istri berkata, “Saya tidak melihat apa pun, kecuali kebaikan dalam diri Aisyah.” Alhasil, jika ada kemungkinan ada yang melampiaskan kebencian kepada Hadhrat Aisyah, maka bisa saja dari para istri Rasul lainnya, namun mereka tidak terbukti ada kaitan dalam hal ini.
Demikian pula, dalam hal ini tidak ada alasan bagi kalangan laki-laki (para penuduh) untuk bermusuhan dengan seorang wanita. Jadi, tuduhan itu dibuat terhadap Hadhrat Aisyah disebabkan oleh kedengkian terhadap Nabi (saw) atau terhadap Hadhrat Abu Bakr. Bagaimanapun, para penuduh tidak bisa merampas kedudukan yang dimiliki oleh Nabi (saw). Apa yang mereka yakini sebagai ancaman adalah jangan sampai mereka kehilangan mencapai maksud dan tujuan mereka sepeninggal Rasulullah (saw) nanti. Mereka melihat bahwa jika ada sosok yang layak untuk menjadi Khalifah sepeninggal Rasulullah (saw), sosok itu adalah Abu Bakr. Jadi, menyadari akan ancaman berbahaya ini, mereka melontarkan tuduhan terhadap Hadhrat Aisyah untuk menjatuhkan martabat Hadhrat Aisyah di mata Rasulullah (saw) dan jika itu terjadi maka kedudukan yang telah di raih oleh Hadhrat Abu Bakr pun dalam umat Islam, akan serta merta rusak. Kemudian umat Islam akan berpikiran negatif berkenaan dengan Hadhrat Abu Bakr dan akan menghilangkan kecintaan dalam diri mereka terhadap Abu Bakr. Dengan begitu pintu untuk menjadi Khalifah sepeninggal Rasulullah (saw) akan sama sekali tertutup bagi Abu Bakr.”[6]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Sebagaimana pada masa Khalifatul Masih Awwal kelompok Lahore terus melontarkan keberatan terhadap saya dan berusaha untuk mencemarkan nama baik saya. Alhasil, inilah alasan kenapa setelah menjelaskan perihal insiden fitnah tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan perihal Khilafat.
Dijelaskan dengan sangat terang dalam hadis, ‘Para sahabat sering membicarakan satu sama lain dan sering mengatakan bahwa jika ada yang berhak untuk mendapatkan maqom (kedudukan) sebagai penerus Rasulullah (saw) maka itu adalah maqom Abu Bakr.’[7]
Kemudian disebutkan dalam hadits-hadis, ‘Suatu ketika seseorang datang kepada Rasulullah (saw) dan dia berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), tolong penuhi kebutuhan saya ini dan itu.”
Beliau menjawab: “Tidak untuk saat ini, silahkan datang lagi nanti.”
Orang tersebut adalah seorang Badui dan tidak mengetahui adab (sopan santun). Orang itu berkata lagi: “Anda adalah manusia. Apa yang harus saya lakukan jika ketika saya datang lagi dan Anda sudah tiada saat itu?”
Beliau (saw) bersabda, “Jika saat itu saya sudah tiada, silahkan pergi menemui Abu Bakr, dia yang akan memenuhi kebutuhan anda.”’[8]
Demikian pula, disebutkan dalam satu hadits, ‘Nabi (saw) pernah berkata kepada Hadhrat Aisyah (ra), Wahai Aisyah, saya ingin mencalonkan Abu Bakr sepeninggal saya, tetapi saya tahu bahwa Allah dan orang-orang beriman tidak akan senang dengan siapa pun selain dia, jadi saya tidak akan mengatakan apa-apa.’ [9] Oleh karena itu, para sahabat tentu memahami bahwa setelah Rasulullah (saw)., jika ada di antara mereka yang memiliki maqom untuk itu, sosok itu adalah Abu Bakr dan beliau berhak untuk menjadi khalifah.
Kehidupan Mekkah sedemikian rupa sehingga tidak ada pertanyaan tentang pemerintahan dan pengelolaannya, tetapi setelah kedatangan Nabi (saw) di Madinah, pemerintahan pun didirikan dan secara alami pertanyaan ini mulai muncul di hati orang-orang munafik, karena banyak harapan mereka yang pupus dengan kedatangan beliau (saw) di Madinah.
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul melihat bahwa semua peluangnya untuk menjadi raja telah hilang, ia menjadi sangat marah dan meskipun pada zahirnya ia berada di tengah tengah umat Muslimin, tetapi ia selalu menimbulkan kerenggangan di dalam Islam. Dan karena ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, untuk itu jika ada keinginan yang muncul di hatinya, maka sepeninggal Muhammad Rasulullah (saw), ia berambisi untuk menjadi penguasa Madinah. Namun ketika berdiri pemerintahan baru di kalangan umat Islam dan mereka menyaksikan nizam baru, mereka mulai mengajukan berbagai pertanyaan kepada Nabi (saw) yakni bagaimana metode pemerintahan Islam, Apa yang akan terjadi pada Islam sepeninggal anda dan apa yang harus dilakukan oleh umat Muslim pada masa itu?
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul melihat situasi ini, dia mulai khawatir bahwa sekarang pemerintahan Islam akan berdiri sedemikian rupa dimana ia tidak akan mendapat bagian apa apa di dalamnya. Dia ingin menghentikan situasi ini. Ketika dia memikirkannya, dia melihat bahwa jika ada yang dapat mendirikan pemerintahan Islam berdasarkan prinsip-prinsip Islam, maka orang itu adalah Abu Bakr, dan sepeninggal Rasulullah (saw), mata umat Islam akan tertuju padanya, yaitu Abu Bakr dan umat Islam menganggap beliau yang paling terhormat dari yang lainnya. Oleh karena itu, Abdullah Bin Ubay melihat peluang baik dalam fakta bahwa Abu Bakr harus dicemarkan Namanya Abu Bakr harus dijatuhkan kehormatannya di mata orang-orang, bahkan harus dijatuhkan juga dalam pandangan Rasulullah (saw) sendiri, dan Abdullah mendapatkan peluang emas untuk melampiaskan niat jahatnya itu dengan tertinggalnya Hadhrat Aisyah sepulang dari pertempuran lalu orang jahat ini melontarkan tuduhan kotor terhadapnya, yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam hadits.
Motif Abdullah bin Ubay bin Salul adalah supaya Hadhrat Abu Bakr dipermalukan di mata orang-orang ini dan hubungannya dengan Rasulullah (saw) juga akan rusak sehingga akan timbul hambatan dalam pembentukan nizam, pembentukan yang tampaknya tak terelakkan baginya. Sepertinya tak terhindarkan. Dan jika nizam itu berdiri maka akan menghancurkan harapannya.
Abdullah bin Abi bin Salul bukanlah satu-satunya yang bermimpi dapat memerintah setelah Rasulullah (saw), ada sebagian orang lain juga yang menderita penyakit tersebut…Karena orang munafik menganggap kematiannya sendiri masih jauh sembari terus menyangka tentang dekatnya kematian orang lain. Itu sebabnya Abdullah bin Ubay bin Salul juga menganggap kematiannya masih jauh dan dia tidak tahu bahwa dia akan mati menggelepar-gelepar dalam masa kehidupan Nabi (saw). Dia biasa mengira, ‘Jika Rasulullah (saw) meninggal, akulah yang akan menjadi raja Arab.’
Tapi sekarang dia melihat bahwa kebaikan, kesalehan, dan kemurahan hati Abu Bakr diakui di kalangan umat Islam. Ketika Rasulullah (saw) tidak datang untuk memimpin shalat, maka Abu Bakr memimpin shalat menggantikan beliau. Jika Umat Islam tidak mendapat kesempatan untuk meminta fatwa dari Rasulullah (saw) maka mereka meminta fatwa kepada Abu Bakr. Melihat hal tersebut, Abdullah bin Ubay bin Salul yang berharap mendapatkan kerajaan di masa depan sangat khawatir dan ingin mengatasinya. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah ini dan untuk menjatuhkan kemasyhuran Hadhrat Abu Bakr (ra) dan kebesarannya di mata umat Islam, dia menuduh Hadhrat ‘Aisyah, sehingga dengan tuduhan tersebut, diharapkan timbul kebencian dalam diri Rasulullah (saw) terhadap Hadhrat Aisyah. Kemudian, kebencian Rasulullah (saw) terhadap Hadhrat Aisyah akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat dalam diri Rasulullah (saw) dan umat Islam terhadap Hadhrat Abu Bakr dan kemungkinan untuk menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah (saw) akan tidak ada. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam Al-Qur’an, إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ Sesungguhnya orang-orang yang melontarkan fitnahan itu adalah dari golongan kamu juga’, bahkan Allah Ta’ala berfirman: لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ Janganlah kalian menganggap bahwa tuduhan ini akan menimbulkan hasil yang buruk, tetapi tuduhan ini justru akan menjadi sarana perbaikan dan kemajuan kalian.
Maka dari itu, Dia berfirman: ‘Perhatikanlah, kini [di ayat ini] Kami pun menjelaskan tentang pokok-pokok berdirinya Khilafat. (Allah Ta’ala berfirman). Hal ini pun Kami telah sampaikan kepada kalian bahwa orang-orang munafik akan berupaya keras [menghancurkan Khilafat] namun mereka akan terus mengalami kegagalan, sementara Kami akan menegakkan khilafat, karena Khilafat merupakan suatu bagian dari kenabian dan adalah suatu jalan untuk menjaga Nur Ilahi.’” [10]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Kini, lihatlah bahwa bagaimana dari permulaan hingga akhir surah An-Nur, hanya diterangkan satu pembahasan saja. Pertama, disampaikan tuduhan ini terhadap Hadhrat Aisyah (r.anha). Karena maksud utama dari melontarkan keberatan kepada Hadhrat Aisyah adalah untuk mencemarkan nama baik Hadhrat Abu Bakr (ra), dan supaya hubungan beliau dengan Rasulullah (saw) menjadi rusak, sehingga pandangan hormat kaum muslim kepada beliau menjadi kurang, dan beliau tidak akan menjadi khalifah setelah kewafatan Rasulullah (saw), (Hal ini karena Abdullah bin Ubai bin Salul telah geram bahwa mengapa pandangan umat muslim saat itu setelah Rasulullah (saw) adalah kepada Abu Bakr, sehingga jika kelak khilafat akan berdiri melalui Abu Bakr, maka angan-angan Abdullah bin Ubai bin Salul menjadi Raja pun tidak akan pernah terpenuhi) Maka dari itulah Allah Ta’ala setelah menyebut tentang tuduhan ini, langsung menerangkan tentang khilafat dan berfirman bahwa khilafat bukanlah suatu kerajaan. Ia adalah suatu sarana untuk menegakkan Nur Ilahi, dan karena itulah Allah Ta’ala telah meletakkan tegaknya khilafat ini pada tangan-Nya.
Ketiadaan Khilafat akan menjadi ketiadaan Nur Kenabian dan Nur Ketuhanan. Jadi, Dia pasti akan menegakkan Nur itu, dan Dia sama sekali tidak akan membiarkan suatu kerajaan tegak setelah adanya kenabian, dan Dia akan menjadikan khalifah bagi siapa yang Dia kehendaki. Bahkan Dia berjanji akan menjadikan tidak hanya satu orang, bahkan banyak orang dari antara kaum muslim untuk berada diatas khilafat demi memperpanjang era Nur itu.
Ini adalah suatu tema yang mana Hadhrat Khalifatul Masih Awwal seringkali bersabda, ‘Khilafat bukanlah seperti air soda yang dijual di toko minuman mana saja yang seseorang dapat meneguknya kapan pun ia menghendaki.’
Demikian pula beliau lalu bersabda, “Jika ingin memberi tuduhan, maka berilah. Kamu tidaklah sanggup menghapus khilafat, dan kamu tidaklah dapat memahrumkan Abu Bakr dari khilafat, karena khilafat merupakan satu Nur. Ia adalah suatu sarana untuk turunnya nur Allah, sehingga bagaimana bisa manusia menghapusnya dengan usaha-usahanya?.” Kemudian bersabda, “Demikianlah Nur Khilafat ini pun menyebar di banyak rumah dan tidak ada manusia yang dengan upaya dan makarnya dapat menghentikan datangnya nur ini.”[11]
Jadi, ini adalah satu pembahasan tentang khilafat yang beliau (ra) sampaikan dalam khutbah beliau. Di dalam khotbah itu, sebagaimana sabda Rasulullah (saw), yaitu tentang bagaimana kedudukan Hadhrat Abu Bakr, dan telah terbukti juga bagaimana kesaksian nyata dari Allah Ta’ala bahwa silsilah kekhalifahan (yang mana sesuai dengan nubuatan Rasulullah (saw) akan ada segera setelah kenabian), silsilah ini pun ada. Lalu jika setelahnya lantas datang suatu kerajaan, maka ini adalah pembahasan terpisah. Lalu kemudian sesuai dengan janji Allah Ta’ala, nizam ini kemudian tegak melalui perantaraan Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Mengenai kerendahan hati dan sikap tawadhu’ Hadhrat Abu Bakr, tertera bahwa Hadhrat Sa’id bin Musayyab meriwayatkan, بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ وَمَعَهُ أَصْحَابُهُ وَقَعَ رَجُلٌ بِأَبِي بَكْرٍ فَآذَاهُ فَصَمَتَ عنه أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ آذَاهُ الثَّانِيَةَ فَصَمَتَ عَنْهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ آذَاهُ الثَّالِثَةَ فَانْتَصَرَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ انْتَصَرَ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَوَجَدْتَ عَلَىَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” نَزَلَ مَلَكٌ مِنَ السَّمَاءِ يُكَذِّبُهُ بِمَا قَالَ لَكَ فَلَمَّا انْتَصَرْتَ وَقَعَ الشَّيْطَانُ فَلَمْ أَكُنْ لأَجْلِسَ إِذْ وَقَعَ الشَّيْطَانُ ” “Satu kali Nabi (saw) tengah duduk dalam suatu majlis bersama beberapa sahabat beliau, lalu ada seseorang yang berseteru dengan Hadhrat Abu Bakr dan orang itu menimpakan penderitaan kepada beliau. Meski demikian, Hadhrat Abu Bakr tetap diam. Lalu orang itu kembali mengganggu beliau namun Hadhrat Abu Bakr tetap diam. Orang itu lalu mengganggu beliau untuk ketiga kali, dan Hadhrat Abu Bakr membalasnya. Ketika Hadhrat Abu Bakr membalasnya, Nabi yang mulia (saw) lalu berdiri. Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), apakah Hudhur marah kepada saya?’
Mendengar ini Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ada satu malaikat turun dari langit, ia membantah perkataan yang diucapkan mengenai engkau. Namun ketika engkau membalasnya, maka setan pun datang, dan saya tidak akan duduk di majlis yang ada setan di dalamnya.’”[12]
Selanjutnya, Rasulullah (saw) bersabda, يَا أَبَا بَكْرٍ ثَلَاثٌ كُلُّهُنَّ حَقٌّ : مَا مِنْ عَبْدٍ ظُلِمَ بِمَظْلَمَةٍ فَيُغْضِي عَنْهَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، إِلَّا أَعَزَّ اللَّهُ بِهَا نَصْرَهُ ، وَمَا فَتَحَ رَجُلٌ بَابَ عَطِيَّةٍ ، يُرِيدُ بِهَا صِلَةً ، إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ بِهَا كَثْرَةً ، وَمَا فَتَحَ رَجُلٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ ، يُرِيدُ بِهَا كَثْرَةً ، إِلَّا زَادَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا قِلَّةً “Wahai Abu Bakr, ada 3 (tiga) hal yang ketiganya adalah benar. Jika seorang hamba dianiaya melalui suatu hal, dan ia menutupinya semata demi Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan menjadikannya mulia dengan pertolongan-Nya. Seseorang yang membuka jalan demi memberi hadiah, yang dengannya ia beriradah untuk menjalin silaturahmi, maka melalui itu Allah akan menambah banyak hartanya. Hal ketiga adalah, siapa saja yang membuka pintu untuk meminta, yang dengan itu ia beriradah untuk memperbanyak hartanya, maka melalui itu Allah akan menambahkan kekurangan dan kesulitan kepadanya.”[13]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam menjelaskan sifat-sifat mulia Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau (as) bersabda: “كان عارفًا تامَّ المعرفةِ، حليمَ الخُلقِ رحيمَ الفطرةِ، وكان يعيشُ في زيِّ الانكسارِ والغربةِ، وكان كثيرَ العفوِ والشفقةِ والرحمةِ، وكان يُعرف بنورِ الجبهةِ. وكانَ شديدَ التَّعَلُّقِ بِالمُصطفَى، واِلْتَصَقَتْ روحُهُ بروحِ خيرِ الوَرَى، وَغَشِيَهُ مِنَ النورِ ما غَشَّى مُقْتَدَاهُ محبوبُ المولَى، وَاخْتَفَى تحتَ شَعْشَعَانِ نورِ الرسولِ وَفُيُوضِهِ الْعُظْمَى. وكان ممتازًا من سائرِ الناسِ فِي فَهمِ القرآنِ وفي محبةِ سيدِ الرسلِ وفخرِ نوعِ الإنسانِ. ولما تَجَلَّى لهُ النشأةُ الأخرويةُ والأسرارُ الإلهيةُ، نفَض التعلقاتِ الدنيويةِ، ونبَذ العُلقَ الجسمانيةَ، وانصبغَ بصبغِ المحبوبِ، وتركَ كلَّ مُرادٍ للواحدِ المطلوبِ، وتَجَرَّدَتْ نفسُهُ عنْ كدوراتِ الجسدِ، وَتَلَوَّنَتْ بِلونِ الحقِ الأحدِ، وغابَتْ في مرضاةِ ربِّ العالمينَ. وإذا تمكنَ الحبُّ الصادقُ الإلهِي من جميعِ عروقِ نفسهِ، وَجَذَرَ قلبُهُ وَذراتُ وجودِهِ، وظهرتْ أنوارُهُ في أفعالِهِ وأقوالِهِ وقيامِهِ وقعودِهِ، سُمِّيَ صِدِّيقًا” “Beliau seorang arif bermakrifat sempurna; berakhlak santun (sabar) berfitrat penuh kasih sayang; menjalani hidup dengan sikap merendah hati dan rendah hati; sangat pemaaf dan menutup aib, sosok penuh kasih dan penyayang; ciri khas beliau (ra) dapat dikenali dengan cahaya yang senantiasa bersinar di wajahnya. Beliau (ra) memiliki hubungan yang sangat dekat dengan al-Mushthafa (yang terpilih, Nabi Muhammad [saw]); jiwa beliau pun telah bersatu padu dengan jiwa Khairul Wara’ (sebaik-baik ciptaan, Nabi Muhammad saw).
Cahaya yang telah menyelimuti pembimbing beliau, mahbuub al-Maula (kekasih Allah Yang Maha Pelindung yakni Nabi Muhammad [saw]), cahaya itu jugalah yang telah menyelimuti beliau. Beliau berada di bawah naungan cahaya lembut sang Rasul (saw) dan senantiasa bernaung di bawah karunia-karunia luar biasa beliau (saw).
Beliau (ra) mumtaaz (sangat baik, istimewa) diantara manusia dalam hal memahami Alqur’an dan menyintai Sayyid ar-Rusul (pemimpin para rasul) dan Fakhri nau’il insaan (kebanggaan umat manusia). Tatkala benda-benda ukhrawi dan rahasia-rahasia Ilahiyyah tersingkap pada beliau (ra) maka beliau memutuskan semua hubungan-hubungan duniawi dan meninggalkan semua hubungan-hubungan jasmaniah lalu mewarnai diri dengan corak warna al-Mahbub (Sang Kekasih beliau); meninggalkan semua maksud dan tujuan untuk memilih satu tujuan sejati beliau; jiwanya telah suci dari lumpur kekotoran (segala kebencian lahiriah) dan beliau telah terwarnai dalam corak warna al-Haqq al-Ahad (Tuhan yang sejati dan Maha Esa); dan hilang sirna dalam keridhaan Rabbul ‘Aalamiin (Tuhan sekalian alam).
Lantas, manakala kecintaan yang benar kepada Ilahi telah menetap kuat di dalam seluruh urat dirinya, di dalam kepingan-kepingan sanubarinya dan di dalam dzarrah-dzarrah wujudnya; maka tampak pula segenap cahayanya dalam setiap perbuatan, perkataan, bangun dan berbaringnya, maka dengan inilah beliau diberi nama ash-Shiddiiq.”[14]
وإذا تمكن الحبُّ الصادق الإلهي من جميع عروق نفسه، وجذر قلبه وذرات وجوده، وظهرت أنواره في أفعاله وأقواله وقيامه وقعوده، سُمّي صدّيقًا وأُعطي علمًا غضا طريّا وعميقا، من حضرة خير الواهبين. فكان الصدق له ملكة مستقرة وعادة طبعية، وبدت فيه آثاره وأنواره في كل قول وفعل، وحركة وسكون، وحواس وأنفاس، وأُدخل في المنعمين عليهم من رب السماوات والأرضين. وإنه كان نُسخة إجمالية من كتاب النبوة، وكان إمام أرباب الفضل والفتوة، ومن بقية طين النبيين “Beliau memiliki jiwa yang sangat hidup dan ilmu yang sangat mendalam, dimana hal ini telah beliau raih dari singgasana Wujud yang Maha Pemberi, yang terbaik dari semua yang memberi. Sifat Ash-Shiddiq adalah tabiat beliau yang istimewa dan telah tertanam dalam diri beliau; dan pengaruh serta nur dari sifat ash-Shiddiq inilah yang telah zahir dalam setiap ucapan, perbuatan, gerakan, diam, perasaan, dan jiwa beliau. Beliau telah dimasukkan oleh Tuhan pemilik langit dan bumi ke dalam golongan yang telah diberi nikmat. Beliau adalah satu misal terbaik dari kitab suci kenabian. Beliau adalah imam dalam segala keutamaan dan keberanian, dan beliau termasuk diantara beberapa orang terpilih yang memiliki fitrat kenabian.”
Lalu beliau (as) bersabda, ولا تحسب قولنا هذا نوعًا من المبالغة ولا من قبيل المسامحة والتجوز، ولا من فور عين المحبة، بل هو الحقيقة التي ظهرت عليَّ من حضرة العزة “Maka janganlah mencari gambaran perbandingan dari ungkapan kami ini, dan janganlah menganggap ini secara sederhana dan sebelah mata, dan janganlah menganggap ini sekedar lahir dari suatu sumber kasih sayang, namun ini sesungguhnya adalah suatu hakikat dari singgasana Tuhan Maha Mulia yang telah muncul dalam diri saya.”
Kedudukan Hadhrat Abu Bakr yang telah dijelaskan oleh beliau (as) dengan penuh pujian ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: Ini adalah perkara yang Allah Ta’ala sendiri telah tampakkan secara langsung kepada saya.
Lebih lanjut tentang keistimewaan Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau (as) bersabda: وكان مشربه التوكل على رب الأرباب، وقلة الالتفات إلى الأسباب، وكان كظلٍ لرسولنا وسيدنا في جميع الآداب، وكانت له مناسبة أزلية بحضرة خير البرية، ولذلك حصل له من الفيض في الساعة الواحدة ما لم يحصل للآخرين في الأزمنة المتطاولة والأقطار المتباعدة “Sumber keyakinan beliau (ra) adalah tawakkal kepada Rabb segala sesuatu, dan tidak banyak menaruh perhatian pada sarana-sarana duniawi. Dalam hal adab, beliau adalah bayangan dari Rasul dan Junjungan kita (saw); dan beliau memiliki keserupaan azali dengan Sang khairul bariyyah (saw). Inilah sebabnya beliau telah meraup karunia sebanyak-banyaknya dari Hudhur (saw), dimana tidak ada orang lain dalam sepanjang zaman dan di tempat jauh manapun yang sanggup meraihnya.”[15]
Tentang masuknya beliau dalam 14 (empat belas) Naqib (sahabat dekat) Nabi Muhammad (saw), tertera satu riwayat dari Hadhrat Ali. Hadhrat Ali meriwayatkan, قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّ كُلَّ نَبِيٍّ أُعْطِيَ سَبْعَةَ نُجَبَاءَ أَوْ نُقَبَاءَ وَأُعْطِيتُ أَنَا أَرْبَعَةَ عَشَرَ ” . قُلْنَا مَنْ هُمَ قَالَ أَنَا وَابْنَاىَ وَجَعْفَرٌ وَحَمْزَةُ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَمُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَبِلاَلٌ وَسَلْمَانُ وَعَمَّارٌ وَالْمِقْدَادُ وَ حُذَيْفَةُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ “Nabi (saw) bersabda, ‘Setiap Nabi dianugerahi tujuh sahabat mulia.’ Beliau (saw) bersabda, ‘Namun, saya diberi 14 (empat belas).’
Kami bertanya kepada Hadhrat Ali, ‘Siapa gerangan mereka (14 orang) itu?’
Hadhrat Ali berkata: “Ke-14 orang itu adalah saya (Ali), dua putra saya (Hasan dan Husain), Ja’far, Hamzah, Abu Bakr, Umar, Mush’ab bin Umair, Bilal, Salman, Ammar, Al-Miqdaad, Hudzaifah, Abu Dzar dan Abdullah bin Mas’ud.” (Riwayat Sunan Tirmidzi)[16]
Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) pun pernah ditugasi oleh Rasulullah (saw) untuk menjadi Amir Haji. Tentang hal ini tertera bahwa pada tahun 9 Hijriah, Baginda Rasulullah (saw) telah mengangkat Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq sebagai Amir Haji dan memberangkatkan beliau ke Mekkah. Tatkala Rasulullah (saw) kembali dari Tabuk, beliau (saw) berkeinginan untuk menunaikan haji. Kemudian disampaikan kepada beliau bahwa kaum musyrikin pergi untuk haji bersama golongan lainnya; mereka mengucapkan hal-hal syirik, dan mengelilingi Ka’bah dengan tanpa busana.
Atas hal ini Rasulullah (saw) meninggalkan keinginan untuk menunaikan haji pada tahun itu, dan mengangkat Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) sebagai Amir Haji dan memberangkatkan beliau. Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq berangkat dari Madinah bersama 300 sahabat; Yang Mulia Rasulullah (saw) mengirim 20 (dua puluh) ekor hewan kurban bersama mereka, dimana sebagai tanda pengorbanan, beliau (saw) dengan tangan beliau sendiri memakaikan kalung tanda ke leher hewan itu serta memberinya tanda. Hadhrat Abu Bakr membawa 5 (lima) hewan kurban bersamanya.
Di dalam suatu riwayat tertera bahwa Hadhrat Ali mengumumkan bagian awal surah Taubah di kesempatan Haji ini. Rincian hal ini pernah saya sampaikan di bagian tentang Hadhrat Ali, kemudian satu kali di khutbah awal pembahasan tentang Hadhrat Abu Bakr. Meski demikian, dalam hal ini saya jelaskan secara singkat, “Ketika surat Baraah (Surat At Taubah) turun kepada Rasulullah (saw), beliau (saw) telah mengutus Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai Amir Haji. Disampaikan kepada Rasulullah (saw), ‘Wahai Rasulullah (saw)! Alangkah baiknya Tuan mengirimkan Surat At-Taubah ini kepada Hadhrat Abu Bakr supaya beliau membacakannya di sana.’
Beliau (saw) bersabda, ‘Tidak ada seseorang pun yang dapat melaksanakan tugas ini atas namaku, kecuali seseorang dari antara ahli bait (keluarga) saya.’ Kemudian beliau (saw) memanggil Hadhrat Ali (ra) dan bersabda kepada beliau, ‘Bawalah keluar apa yang dijelaskan pada permulaan Surat At-Taubah lalu umumkanlah pada orang-orang yang tengah berkumpul pada saat Qurban di Mina bahwa seorang yang dalam keadaan kafir tidak akan masuk ke surga. Dan setelah tahun ini, tidak ada lagi orang musyrik yang diizinkan untuk menunaikan haji. Tidak akan ada lagi yang diizinkan untuk berthawaf (mengitari) Baitullah dengan tanpa busana; adapun bagi siapa saja yang telah memiliki perjanjian dengan Rasulullah (saw), masa perjanjiannya akan tetap dipenuhi.”
Hadhrat Ali berangkat dengan membawa sabda beliau ini. Di perjalanan ia bertemu dengan Hadhrat Abu Bakr. Tatkala Hadhrat Abu Bakr melihat (atau bertemu) Hadhrat Ali di perjalanan, Hadhrat Abu Bakr bertanya kepada Hadhrat Ali, “Apakah Anda diangkat sebagai Amir atau akan berada di bawah saya?” Hadhrat Ali menjawab, “Ada di bawah Anda.” Lalu keduanya bergerak bersama. Hadhrat Ali berkata, “Saya di bawah Anda, namun saya akan membacakan ayat-ayat ini kepada Anda.”
Alhasil, Hadhrat Abu Bakr (ra) menjadi pengawas semua orang dalam perkara haji dan pada tahun itu masyarakat Arab berkemah di di tempat masing-masing di mana mereka biasa berkemah di zaman jahiliah. Ketika hari pengorbanan tiba, Hadhrat Ali (ra) berdiri dan mengumumkan di antara orang-orang hal yang disabdakan oleh Hadhrat Rasulullah (saw). [17]
Sebagaimana telah saya sampaikan, rincian hal ini telah saya jelaskan sebelumnya. Hal ini, yakni tentang Hadhrat Abu Bakr Insya Allah akan dilanjutkan kemudian.
Saat ini saya akan menyampaikan perihal beberapa almarhum. Yang pertama adalah yang terhormat Muhammad Daud Zafar Sahib, seorang mubaligh yang bertugas di sini, di Raqim Press, UK, putra Choudry Muhammad Yusuf Sahib. Beliau wafat pada 16 November 2022 di usia 48 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Jenazah beliau juga hadir. Insya Allah, setelah jumat saya akan menyalatkan jenazahnya. Pada 1988, beliau menyelesaikan kursus Syahid dari Jamiah Ahmadiyah Rabwah. Kemudian beliau bertugas sebagai mubaligh di berbagai tempat. Kemudian pada 2001, beliau datang ke Inggris dan ditugaskan di sini, di Raqim Press, Islamabad.
Beliau melakukan pengkhidmatan dengan penuh antusias. Beliau memiliki jalinan kecintaan yang mendalam dengan Khilafat. Ketika tinggal di Islamabad, beliau menjabat sebagai ketua Jemaat Islamabadselama beberapa waktu. Beliau juga mendapatkan karunia untuk melaksanakan umroh. Almarhum adalah seorang mushi. Di antara yang ditinggalkan, selain istri, juga tiga orang putra dan satu orang putri.
Ayahanda beliau, Choudry Yusuf Sahib menuturkan bahwa, “Ketika saya memotivasi Daud untuk menjadi seorang Mubaligh, maka ia memenuhi keinginan saya. Beberapa orang mengatakan kepadanya, ‘Jika anda berusaha keras untuk meraih pendidikan duniawi daripada menjadi mubaligh, maka anda akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan bisa membuat kondisi keuangan keluarga menjadi lebih baik.’ Namun, Daud Sahib sama sekali menolak saran semacam itu. Sejak meraih syahid dari Jamiah dan menjadi mubaligh hingga kewafatannya, beliau menunaikan waqafnya dengan penuh kesetiaan. Beliau seorang putra yang sangat taat.”
Ayahanda beliau menuturkan, “Beliau selalu mematuhi perkataan saya dan tidak pernah membantah. Beliau selalu berusaha membahagiakan saya. Meskipun mengalami kesulitan keuangan, beliau tidak pernah berpikir untuk meninggalkan waqafnya.” Beliau menuturkan, “Ketika menempuh pendidikan di Jamiah, dikarenakan kesulitan keuangan, jika sepeda beliau bocor, maka tidak ada uang untuk menambalnya. Beliau biasa pergi ke Jamiah dengan terlebih dahulu memompa sepedanya dan melakukan hal yang sama ketika hendak pulang. Beliau tidak pernah mengeluh. Beliau sosok yang menaati Khalifah-e-Waqt dan seorang mubaligh yang memahami tujuannya.”
Istri beliau, Mubarikah Sahibah menuturkan, “Dalam kebersamaan dengan beliau selama 21 tahun, saya mendapati beliau sangat berhati lembut, pekerja keras, sangat bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mengkhidmati setiap orang dengan penuh ketulusan. Sering kali terjadi momen dalam kehidupan di mana segala sesuatunya tampak tidak mungkin, maka saya mengatakan, ‘Bagaimana ini?’ Lalu beliau menasihatkan, ‘Bertawakallah kepada Allah. Semuanya akan baik-baik saja’, dan dengan karunia Allah Ta’ala, demikianlah yang terjadi.
Beliau senantiasa memberikan nasihat kepada anak-anaknya, ‘Jadilah orang baik, jangan pernah menyakiti orang lain.’”
Istri beliau menuturkan, “Beliau biasa mendudukan anak-anaknya dan sering kali menyampaikan, ‘Apa yang saya raih hari ini, ini adalah berkat hubungan dengan Khilafat dan berkat Jemaat. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada saya untuk dapat melaksanakan waqaf saya dengan baik.’ Inilah yang senantiasa menjadi keinginan beliau.”
Putri sulung beliau, Darmanah Sahibah menuturkan, “Beliau hanya menuntut satu hal dari kami supaya kami menjadi Muslim Ahmadi yang baik dan memperhatikan orang-orang di sekitar kami dan jangan sampai ada orang lain yang menderita kesulitan dikarenakan kami.”
Putra beliau yang tertua, Rauhan menuturkan, “Ayahanda kami senantiasa memikirkan tarbiyat kerohanian kami. Kapanpun kami mengajukan pertanyaan, maka dikarenakan beliau adalah seorang mubaligh, beliau senantiasa berusaha memberikan jawaban berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan dari sudut pandang agama.”
Fuad Daud, putra beliau yang berusia 15 tahun menuturkan, “Di hari-hari terakhir, ketika beliau sakit, beliau mengidap kanker dan pada hari-hari terakhirnya sangat kesakitan, pada hari-hari terakhir pun beliau mengatakan kepada saya, ‘Aku ingin melihatmu menjalani kehidupan yang indah, tetapi Allah Ta’ala berkehendak lain dan aku ridho dengan kehendak-Nya.’”
Singkatnya, beliau senantiasa menasihatkan anak-anaknya kepada kebaikan dan menjalin hubungan dengan Jemaat dan Khilafat. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada mereka untuk dapat mengamalkan nasihat-nasihat beliau dan mengabulkan doa-doa beliau untuk mereka. Para Waqifin, para mubaligh, semua orang secara umum menulis bahwa beliau adalah sosok yang periang, meramaikan pembicaraan, memiliki daya tarik dan kepribadian yang menawan dan beliau memiliki keahlian dalam bidang komputer dan karya seni di profesinya.
Beliau seorang mubaligh, namun dengan kecerdasannya, beliau sangat terampil dalam pekerjaan-pekerjaan teknis, pengeditan, dll. Beliau melakukan pekerjaan dengan baik di Raqim Press. Beliau mendapatkan kesempatan yang baik untuk menggunakan keahliannya. Beliau senantiasa menganggap pengkhidmatan kepada Jemaat sebagai karunia Allah Ta’ala dan kehormatan bagi dirinya.
Kemudian seorang kerabat juga menulis, “Beliau biasa membantu pekerjaan orang lain secara diam-diam. Beliau secara diam-diam biasa memberikan bantuan finansial kepada orang-orang yang membutuhkan dan kaum kerabat.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada beliau, memberikan kesabaran dan ketabahan kepada anak-anak beliau, memberikan taufik kepada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau dan juga menganugerahkan kesabaran dan ketabahan kepada kedua orang tua beliau.
Selanjutnya, ada dua jenazah gaib [maksudnya, jenazah tidak ada di tempat Khalifah berada, namun di negara lain], di antaranya yang pertama adalah Ruqayah Shamim Bushra Sahibah yang merupakan istri Almarhum Sabiq Mubaligh Spanyol, yang terhormat Karam Ilahi Zafar Sahib. Beliau juga wafat beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir di Qadian pada 1932. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Musiyah.
Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sadr Lajnah Spanyol hingga beberapa tahun. Beliau memiliki tiga putra dan tiga putri. Seorang cucu beliau adalah Waqif Nou sekaligus Waqif Zindegi, yakni Ataul Mun’im Thariq, yang merupakan In Charge Central Spain Desk. Seorang cucu perempuan juga menikah dengan seorang mubaligh.
Kedua putra beliau juga adalah para pengkhidmat agama, dengan karunia Allah Ta’ala. Putra tertua beliau juga merupakan Naib Amir. Kakek Ruqayah Sahibah adalah Maulwi Fakhrudin Sahib dan nenek beliau adalah Bibi Sahibah yang berasal dari Bhera. Di zaman Hadhrat Masih Mau’ud (as), setelah baiat, mereka pindah ke Qadian. Kakek beliau dari pihak ibu adalah Abdurrahman Sahib yang berasal dari Ajmer. Awalnya beliau beragama Sikh, kemudian mendapatkan kehormatan baiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud (as). Setelah baiat, beliau juga datang ke Qadian untuk belajar . Oleh karena itu, beliau berasal dari kalangan sahabat, baik dari pihak ibu maupun ayah.
Berkenaan dengan Ruqayah Begum Sahibah, putra beliau menulis, “Beliau memiliki keterikatan khusus dengan buku Da’watul Amir. Beliau membacanya berkali-kali dan sering mengatakan bahwa, “Setelah membaca buku ini banyak keraguan di benak saya terjawab.” Sejak usia dua belas tahun, beliau memiliki kecintaan yang besar dalam hatinya terhadap salat. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala supaya Dia membimbing beliau di jalan keimanan dan Shiratal Mustaqim. Beliau sangat memperhatikan pardah. Beliau merupakan contoh bagi para wanita lainnya di Jemaat ini. Beliau memiliki rasa simpati terhadap orang-orang yang sakit dan membutuhkan. Beliau selalu siap untuk membantu mereka dengan segala cara yang memungkinkan.
Di masa awal ketika beliau datang ke Spanyol, beliau bersama dengan Maulana Sahib harus menghadapi banyak kesulitan. Polisi kerap menahan Maulana Sahib karena pertablighan yang beliau lakukan atau melakukan penggerebekan ke rumah beliau. Polisi mencari bukti aktifitas tabligh, namun dengan karunia Allah Ta’ala, seperti halnya suami beliau, beliau teguh pada keyakinan bahwa Allah Ta’ala pasti menolong beliau dan menghilangkan semua kesulitan. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsalits (rh) memberikan petunjuk kepada Maulana Sahib untuk mencari tempat untuk membangun masjid di Cordoba, maka kaitannya dengan hal ini almarhumah pun memberikan bantuan dengan segala cara.
Putra beliau menulis, “Ketika pembangunan masjid Basyarat dimulai, hampir setiap hari beliau datang bersama suami beliau dengan bus dsb. dari Cordoba ke Pedroabad untuk mengawasi kemajuan pekerjaan kontruksi. Beliau mencatat semua pengeluaran. Beliau bekerja sebagai akuntan dalam pembangunan masjid tersebut.”
Putra beliau, Fazl Ilahi Qomar menuturkan, “Ibunda senantiasa mengingat nasihat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra). Beliau (ra) bersabda, “Ingatlah selalu tugas anda dan berikanlah saran kepada suami anda. Anda akan pergi ke negara di mana anda harus membuat suami anda lebih giat dan tidak malas dalam bertabligh. Setelah meninggal nanti akan ada banyak waktu untuk bersama. Dengan memperhatikan prinsip ini, hendaknya anda berusaha untuk memanfaatkan secara maksimal waktu bekerja anda di kehidupan ini.” Dan beliau selalu mengamalkan nasihat-nasihat tersebut, apa pun kondisinya beliau selalu berkhidmat dengan kesabaran dan keberanian dengan tetap mengedepankan keridhoan Allah Ta’ala. Di masa-masa awal sangat sulit, namun beliau menjalaninya dengan penuh semangat dan senantiasa mengutamakan agama di atas dunia.
Dengan mengikuti nasihat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra), beliau menegakkan suatu teladan Islam di sebuah negara di mana pada suatu waktu bahkan menyebut nama Islam dianggap sebagai kejahatan. Beliau memainkan peranan penting dalam penyebaran Tabligh Ahmadiyah di Spanyol. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada beliau dan meninggikan derajat beliau, serta memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.
Jenazah yang ketiga adalah yang terhormat Tahirah Hanif Sahibah yang merupakan putri dari Sayyid Zainul ‘Abidin Waliullah Syah Sahib dan istri dari Almarhum Mirza Hanif Ahmad Sahib, yang merupakan putra dari Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsani (ra). Beliau juga wafat beberapa hari yang lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Sebagaimana telah saya sampaikan, beliau adalah menantu dari Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dan bibi saya dari pihak ibu. Beliau lahir di Qadian pada 1936.
Sebagaimana telah saya sampaikan, ayahanda beliau adalah Sayyid Zainul ‘Abidin Waliyullah Syah Sahib yang menulis beberapa jilid Syarah Bukhari. Beliau seorang cendikiawan besar. Beliau juga tinggal di Arab.
Ibunda almarhumah bernama Sayyidah Sayyarah Sahibah yang berasal dari Damaskus. Beliau berkebangsaan Arab. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga beliau melalui kakek beliau, Hadhrat Dokter Sayyid Abdussatar Syah Sahib yang baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) pada 1901 dan Allah Ta’ala sedemikian rupa membimbing seluruh keluarga ini untuk baiat, sehingga Dia memberikan petunjuk kepada anak-anak maupun orang-orang dewasa melalui mimpi-mimpi dan semakin memperkuat keimanan mereka. Hadhrat Dokter Sayyid Abdussatar Syah Sahib adalah kakek dari pihak ibu Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh). Dengan demikian almarhumah adalah saudara sepupu dari Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh).
Yang terhormat Tahirah Sahibah mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Islah-o-Irshad di Lajnah Imaillah Rabwah dari tahun 1972 hingga 1990. Kemudian beliau menghabiskan waktu beberapa tahun di Sierra Leone bersama suami beliau yang merupakan seorang Waqif Zindegi. Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau tiga putri dan satu putra.
Putri sulung beliau, Amatul Mu’min menuturkan, “Selain salat lima waktu, kami selalu melihat ibunda secara dawam melaksanakan salat tahajud, puasa dan tilawat Al-Qur’an, bahkan salat Israq dsb. pun beliau laksanakan. Kami tidak pernah melihat beliau terlepas dari rutinitas tersebut. Beliau melakukan semua itu dengan cinta dan antusiasme. Ibadah juga dilakukan dengan penuh cinta dan antusiasme.”
Beliau menuturkan, “Saya sangat heran bahwa bagaimana beliau bersamaan dengan itu bisa melaksanakan aktifitas-aktifitas duniawi lainnya. Memperhatikan hak-hak mertua, hak-hak tetangga, merawat ayah, memperhatikan makan dan minum kami, semua itu beliau lakukan dengan penuh keceriaan. Beliau memiliki kecintaan terhadap Jemaat dan ikatan yang tulus dengan para Khalifah yang hadir dalam kehidupan beliau. Beliau selalu memikirkan wasiyat. Beliau biasa menasihatkan untuk menulis surat kepada Khalifah-e-Waqt dan biasa mengatakan bahwa setelah menulis surat hati menjadi tentram. Kepada saya pun beliau menulis surat secara rutin dan bahkan setelah setiap khutbah, surat-surat beliau sering kali datang dan di dalamnya terdapat berbagai macam ulasan. Beberapa hal yang beliau sukai, di antaranya secara khusus beliau sebutkan. Beliau tidak pernah membicarakan hal-hal yang bersifat keberatan, bahkan ketika ada suatu hal yang mengenainya kami sepakat, maka beliau mengatakan bahwa tidak perlu terjebak dalam hal-hal yang bersifat keberatan. Selalunya saya melihat kerugian dalam perkara-perkara tersebut, saya tidak pernah melihat faedahnya.”
Sebagaimana telah saya katakan, beliau memiliki jalinan yang luar biasa dengan Khilafat. Beliau sangat peduli kepada orang-orang miskin. Seseorang bernama Akhtar Sahib menulis kepada saya bahwa, “Ayahanda kami meninggalkan kami dan ibunda kami, maka beliau memberikan tempat kepada kami di rumah beliau dan memperhatikan kami layaknya anak-anaknya sendiri. Beliau memperhatikan makan minum kami dan pakaian kami, dan tidak pernah membiarkan kami merasakan perbedaan.”
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada beliau. Semoga Allah Ta’ala menempatkan beliau bersama orang-orang suci dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.[18]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا –
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ –
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Sahih Muslim 2387, The Book of the Merits of the Companions (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Chapter: The Virtues Of Abu Bakr As-Ash-Shiddiq (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).
[2] Sunan Ibn Majah 97, The Book of the Sunnah (كتاب المقدمة), Chapter: The Virtue of Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) (باب فَضْلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).
[3] Sahih al-Bukhari 3664, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab sabda Nabi lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً “); Sahih al-Bukhari 7021, Kitab at-Ta’bir atau Interpretation of Dreams (كتاب التعبير), bab menimba air dari sumur sekali atau dua kali timba – Chapter: Drawing one or two buckets of water from a well (باب نَزْعِ الذَّنُوبِ وَالذَّنُوبَيْنِ مِنَ الْبِئْرِ بِضَعْفٍ); Sahih Muslim 2392a, Kitab keutamaan Sahabat Nabi – the Book of the Merits of the Companions (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Bab keutamaan Umar – Chapter: The Virtues Of ‘Umar (RA) (باب مِنْ فَضَائِلِ عُمَرَ رضى الله تعالى عنه); Shahih al-Bukhari 3682, Kitab keutamaan Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ).
[4] Sahih al-Bukhari 4757, Kitab Tafsir Nabi (saw) terhadap al-Qur’an – Prophetic Commentary on the Qur’an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) (كتاب التفسير), bab ayat “Sesungguhnya orang-orang yang suka, supaya kekejian tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka itu azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidak ada karunia Allah atasmu dan rahmat-Nya, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Surah an-Nur, 24:20-21) Dan janganlah bersumpah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelimpahan di antara mu untuk tidak memberikan kepada kaum kerabat dan kepada orang-orang miskin dan kepada orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu suka agar Allah mengampuni kamu ? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (24:23) (باب قَوْلِهِ {إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ * وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ} {وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ})
[5] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi – ekspedisi militer (كتاب المغازى), bab mengenai berita bohong atau Hadits al-Ifki (باب حَدِيثُ الإِفْكِ), Hadith 4141, Vol. 8, p. 325, Nazarat Isha’at, Rabwah; Sahih Bukhari, Kitab al-Shahadat, Bab Ta’dil al-Nisa…, Hadith 2661, Vol. 4, pp. 721-731, Nazarat Isha’at, Rabwah. Aisyah (ra) melanjutkan, ‘Rasulullah (saw) bertanya kepada Zainab binti Jahsy (ra), istri Rasulullah (saw) lainnya mengenai persoalan saya. Beliau berkata, مَاذَا عَلِمْتِ أَوْ رَأَيْتِ ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’
Ia menjawab, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحْمِي سَمْعِي وَبَصَرِي وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِلَّا خَيْرًا ‘ ‘Wahai Rasulullah (saw)! Saya menjaga pendengaran dan penglihatan saya. Demi Allah, yang saya tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah (ra) mengatakan, وَهِيَ الَّتِي كَانَتْ تُسَامِينِي مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَهَا اللَّهُ بِالْوَرَعِ ‘Dia (Zainab)-lah di antara istri-istri Nabi (saw) yang saya anggap sebagai pesaing saya, tetapi Allah Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’.”
[6] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu yang merupakan Mushlih Mau’ud dan Khalifatul Masih II (حضرت مرزا بشیرالدین محمود احمد، المصلح موعود خلیفۃ المسیح الثانیؓ) dalam karyanya Khuthbaat-e-Mahmud (خطبات محمود) jilid 18 halaman 451-457 (ج18ص451تا457), khotbah Jumat tahun 1938 (خطبات جمعہ ۱۹۳۷ء), bulan September tanggal 17 dengan judul “dunia dapat menyaksikan Nur Tuhan hanya dengan perantaraan para Nabi dan para Khalifah” (17-Sep .. دنیا انبیاء اور خلفاء کے ذریعہ ہی خداتعالیٰ کے نور کا مشاہدہ کرتی ہے). https://www.alislam.org/urdu/sermon/FST19370917-UR.pdf
[7] Sahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab (بَاب فَضْلِ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), 3655: عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ Nafi’ meriwayatkan dari Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) bahwa beliau berkata, “Di masa Nabi (saw), kami kerap menganggap satu sama lain sebagai lebih mulia, dan beranggapan Hadhrat Abu Bakr adalah yang terbaik lalu Hadhrat ‘Umar bin Khaththab lalu Hadhrat ‘Utsman bin Affan (r.anhum).”
[8] Sahih al-Bukhari 3659, Kitab keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab sabda Nabi lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً “): عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ قَالَتْ أَرَأَيْتَ إِنْ جِئْتُ وَلَمْ أَجِدْكَ كَأَنَّهَا تَقُولُ الْمَوْتَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ تَجِدِينِي فَأْتِي أَبَا بَكْرٍ .
[9] Sahih al-Bukhari 7217, Buku Penghakiman (Kita al-Ahkaam) (كتاب الأحكام), Chapter: The appointment of a caliph (باب الاِسْتِخْلاَفِ): حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ ـ رضى الله عنها ـ وَارَأْسَاهْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” ذَاكِ لَوْ كَانَ وَأَنَا حَىٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَأَدْعُو لَكِ “. فَقَالَتْ عَائِشَةُ وَاثُكْلِيَاهْ وَاللَّهِ إِنِّي لأَظُنُّكَ تُحِبُّ مَوْتِي وَلَوْ كَانَ ذَاكَ لَظَلِلْتَ آخِرَ يَوْمِكَ مُعَرِّسًا بِبَعْضِ أَزْوَاجِكَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهْ لَقَدْ هَمَمْتُ ـ أَوْ أَرَدْتُ ـ أَنْ أُرْسِلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَابْنِهِ فَأَعْهَدَ أَنْ يَقُولَ الْقَائِلُونَ أَوْ يَتَمَنَّى الْمُتَمَنُّونَ “. ثُمَّ قُلْتُ يَأْبَى اللَّهُ وَيَدْفَعُ الْمُؤْمِنُونَ، أَوْ يَدْفَعُ اللَّهُ وَيَأْبَى الْمُؤْمِنُونَ Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Muhammad: Aisyah berkata, “Wahai kepalaku!” Rasulullah (saw) (ﷺ), “Sekiranya itu berlaku (semasa kematianmu) semasa aku masih hidup, aku akan meminta kepada Allah untuk mengampunimu dan meminta Allah untukmu. “Aisyah berkata, “Wahai nyawa saya yang akan hilang! Demi Allah, saya fikir anda menginginkan kematian saya dan jika itu berlaku maka anda akan sibuk menikmati pertemanan salah seorang isteri anda di bahagian terakhir hari itu. “Nabi berkata, “Tetapi saya harus berkata, ‘Wahai kepalaku!’Saya merasa seperti memanggil Abu Bakar dan anaknya dan melantik (yang terdahulu sebagai pengganti saya agar orang tidak mengatakan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Allah akan mendesak (agar Abu Bakar menjadi khalifah) dan orang-orang yang beriman akan menghalang (orang lain daripada menuntut Khilafah)), “atau” . . Allah akan mencegah (orang lain dari menuntut khalifah) dan orang-orang yang beriman akan mendesak (agar Abu Bakar menjadi khalifah). https://bacalah.org/hadis/bukhari/93 dan https://sunnah.com/bukhari/93.
[10] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu yang merupakan Mushlih Mau’ud dan Khalifatul Masih II (حضرت مرزا بشیرالدین محمود احمد، المصلح موعود خلیفۃ المسیح الثانیؓ) dalam karyanya Khuthbaat-e-Mahmud (خطبات محمود) jilid 18 halaman 451-457 (ج18ص451تا457), khotbah Jumat tahun 1938 (خطبات جمعہ ۱۹۳۷ء), bulan September tanggal 17 dengan judul “dunia dapat menyaksikan Nur Tuhan hanya dengan perantaraan para Nabi dan para Khalifah” (17-Sep .. دنیا انبیاء اور خلفاء کے ذریعہ ہی خداتعالیٰ کے نور کا مشاہدہ کرتی ہے). https://www.alislam.org/urdu/sermon/FST19370917-UR.pdf
[11] Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu yang merupakan Mushlih Mau’ud dan Khalifatul Masih II (حضرت مرزا بشیرالدین محمود احمد، المصلح موعود خلیفۃ المسیح الثانیؓ) dalam karyanya Khuthbaat-e-Mahmud (خطبات محمود) jilid 18 halaman 451-457 (ج18ص451تا457), khotbah Jumat tahun 1938 (خطبات جمعہ ۱۹۳۷ء), bulan September tanggal 17 dengan judul “dunia dapat menyaksikan Nur Tuhan hanya dengan perantaraan para Nabi dan para Khalifah” (17-Sep .. دنیا انبیاء اور خلفاء کے ذریعہ ہی خداتعالیٰ کے نور کا مشاہدہ کرتی ہے). https://www.alislam.org/urdu/sermon/FST19370917-UR.pdf
[12] Sunan Abi Dawud 4896, General Behavior (Kitab Al-Adab) (كتاب الأدب), bab tentang membuat sebuah pembalasan – Chapter: Regarding taking revenge (باب فِي الاِنْتِصَارِ).
[13] Musnad Ahmad (مسند أحمد ابن حنبل مسند أبي هريرة رضي الله عنه حديث رقم 9460).
[14] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam karya tulis berbahasa Arab berjudul Sirrul Khilaafah (Rahasia Khilafat), Ruhani Khazaain jilid 8.
[15] Sirrul Khilaafah, Ruhani Khazaain jilid 8 halaman 355 (سرالخلافة، الخزائن الروحانية ج8 ص355-356).
[16] Sunan at-Tirmidzi atau Jami` at-Tirmidhi, Kitab Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), Bab Manaqib Ahlu Bait (باب في مناقب أَهْلِ بَيْتِ النبيّ صلى الله عليه وسلم). Pada kitab yang sama pada bab (باب مَنَاقِبِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رضي الله عنهما) di nomor 3785: عَنِ الْمُسَيَّبِ بْنِ نَجْبَةَ، قَالَ قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ .
Najib dan rafiq bentuk jamaknya ialah Nujaba dan Rufaqa.
[17] As-Sirah an-Nabawiyah (السيرة النبوية لابن هشام) karya Ibnu Hisyam, Hajj Abi Bakr bi al-Nas (حَجُّ أَبِي بَكْرٍ بِالنَّاسِ سَنَةَ تِسْعٍ اخْتِصَاصُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ), pengistimewaan ‘Ali oleh Rasulullah (saw) (saw) terkait bara-ah (اخْتِصَاصُ الرَّسُولِ عَلِيًّا بِتَأْدِيَةِ بَرَاءَةٌ عَنْهُ), Dzulhijjah tahun ke-9 Hijriyyah (631), [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001], 832. Tafsir ath-Thabari Surah at-Taubah (تفسير الطبري – ج 14 – 48 الأنفال – التوبة): Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali (أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ) meriwayatkan, لَمَّا نَزَلَتْ بَرَاءَةٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ كَانَ بَعَثَ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ لِيُقِيمَ لِلنَّاسِ الْحَجَّ، قِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ بَعَثْتُ بِهَا إلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: “لَا يُؤَدِّي عَنِّي إلَّا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي“
[18] Referensi: https://islamahmadiyya.net/cat.asp?id=116 (website resmi Ahmadiyah dalam bahasa Arab)
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.