Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 7)

Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pembacaan Al-Qur’an Surah al-Anfal, 8:6; Surah al-Maa-idah, 5:25; Surah al-Qamar, 54:46-47; Surah Ali Imran, 3:173 dan Surah al-Anfal, 08:10 dalam kaitannya dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad (saw) yang terkait Hadhrat Abu Bakr (ra).

Penjelasan Kitab-Kitab Hadits, Sirah dan Tarikh yang menyebutkan tentang peranan Hadhrat Abu Bakr (ra).

Pembacaan karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) yang menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin tentang Pekerjaan Pertama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah sampai di Madinah yaitu pembangunan Masjid.

Penjelasan Kitab-Kitab Sirah dan Tarikh mengenai pembangunan Masjid di Madinah.

Peranan Hadhrat Abu Bakr (ra).

Beberapa riwayat mengenai muwakhaat (jalinan persaudaraan) yang diumumkan Nabi Muhammad (saw) diantara para Sahabat beliau, termasuk Hadhrat Abu Bakr (ra).

Perang Badr yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriah bertepatan dengan bulan Maret 623 Masehi dan peranan Hadhrat Abu Bakr (ra). Penjelasan Kitab-Kitab Sirah dan Tarikh mengenai perang Badr.

Keberanian Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) dalam riwayat Hadhrat ‘Ali (ra).

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) membahas mengenai keberanian Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) dalam riwayat Hadhrat ‘Ali (ra).

Penjelasan Kitab-Kitab Hadits mengenai rintihan doa-doa Nabi Muhammad (saw) menjelang dan selama perang Badr dan dialog dengan Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra).

Penjelasan Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra), Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dan Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengenai doa-doa Nabi Muhammad (saw) menjelang dan selama perang Badr.

Penjelasan Kitab-Kitab Tarikh mengenai putra tertua Hadhrat Abu Bakr (ra) yang berada di pihak Kuffar Quraisy melawan kaum Muslim dalam perang Badr.

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) membahas mengenai hal ini.

Setelah kemenangan dalam perang Badr, musyawarah Rasulullah (saw) adakan berkenaan para tawanan perang Badr. Pendapat dari Hadhrat Abu Bakr dan implementasi keputusan sesuai dengan pendapat Hadhrat Abu Bakr (ra).

Suatu saat di Madinah, Hadhrat Abu Bakr (ra) dan beberapa sahabat menderita sakit. Doa Nabi (saw).

Perang Uhud yang terjadi pada tahun 624 Masehi antara kaum Muslim dan Quraisy Makkah.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin tentang perang Uhud. Peranan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam perang ini.

Pada perang Uhud, ketika orang-orang kafir berbalik menyerang setelah sebelumnya mundur dan umat Islam mengalami kekalahan.

Penjelasan Kitab-Kitab Tarikh mengenai hal ini.

Pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah (saw) mengambil baiat kesetiaan sampai mati dari sekelompok sahabat termasuk Hadhrat Abu Bakr (ra).

Luka-luka Nabi Muhammad (saw) dalam perang Uhud.

Penjelasan Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) mengenai peristiwa yang terjadi setelah selesainya perang Uhud.

Riwayat dalam Hadits mengenai 70 orang pasukan Muslim membuntuti pasukan kaum Musyrik Makkah untuk memastikan apakah mereka akan berbalik menyerang kembali warga Madinah atau pulang ke Makkah.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin tentang hal ini.

Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 21 Januari 2022 (21 Sulh 1401 Hijriyah Syamsiyah/ 19 Jumadil Akhir 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ * (آمين)

Saat ini masih berlangsung pembahasan mengenai Hadhrat Abu Bakr (ra). Sesampainya di Madinah, yang menjadi perhatian utama Rasulullah (saw) adalah membangun masjid. Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin sebagai berikut: “Pekerjaan pertama setelah bermukim di Madinah adalah pembangunan Masjid Nabawi. Pembangunan dilakukan di tempat di mana unta beliau (saw) berhenti. Tanah di situ adalah milik dua anak laki-laki Muslim Madinah yang bernama Sahl dan Suhail yang tinggal dalam pengawasan Hadhrat As’ad Bin Zararah. Ini adalah sebidang tanah yang kosong, yakni tanah yang tidak produktif dan sama sekali tidak berpenghuni. Di salah satu bagiannya terdapat satu-dua pohon kurma dan di bagian lainnya ada puing-puing reruntuhan bangunan. Hadhrat Rasulullah (saw) menyukai tempat tersebut untuk dibangun masjid dan hujrah beliau, dan beliau membeli tempat ini dengan harga 10 Dinar. Setelah tanahnya diratakan dan pohon-pohonnya ditebang, maka dimulailah pembangunan Masjid Nabawi. Hadhrat Rasulullah (saw) sendirilah yang meletakkan batu pertamanya sambil mendoakannya. Sebagaimana halnya yang terjadi di Masjid Quba, para sahabatlah yang mengerjakan pembangunannya. Terkadang Hadhrat Rasulullah (saw) sendiri ikut serta dalam pengerjaannya.”[1]

Seperti yang telah disampaikan bahwa Rasulullah (saw) membeli tanah untuk masjid dan untuk pembangan hujrah (ruangan kamar) tersebut seharga 10 dinar. Dalam riwayat dikatakan, dana tersebut dibayarkan dari uang Hadhrat Abu Bakr.[2]

Berkenaan dengan pembangunan masjid lebih lanjut disebutkan sebagai berikut, “Ketika dimulai pembangunan, Rasulullah (saw) meletakkan satu bata dengan tangan beberkat beliau. Kemudian beliau memanggil Hadhrat Abu Bakr lalu Hadhrat Abu Bakr meletakkan satu bata berdampingan dengan bata beliau (saw). Kemudian Rasulullah (saw) memanggil Hadhrat ‘Umar lalu Hadhrat ‘Umar meletakkan satu bata berdampingan dengan bata Abu Bakr. Kemudian Rasulullah (saw) memanggil Hadhrat Usman lalu Hadhrat ‘Utsman meletakkan satu bata berdampingan dengan bata Hadhrat ‘Umar.[3]

Dalam Riwayat lain dikatakan, عَنْ سَفِينَةَ ، قال : بَنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسْجِدَ قُبَاءَ ، فَوَضَعَ حَجَرًا ، ثُمَّ قَالَ لأَبِي بَكْرٍ : ” ضَعْ حَجَرَكَ إِلَى جَنْبِ حَجَرِي ” . وَقَالَ لِعُمَرَ : ” ضَعْ حَجَرَكَ إِلَى جَنْبِ حَجَرِ أَبِي بَكْرٍ ” . ثُمَّ قَالَ لِعُثْمَانَ : ” ضَعْ حَجَرَكَ إِلَى جَنْبِ حَجَرِ عُمَرَ ” . ثُمَّ قَالَ : ” هَؤُلاءِ الْخُلَفَاءُ مِنْ بَعْدِي“Ketika Rasulullah (saw) membangun masjid, beliau meletakkan batu untuk pondasi lalu bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr, ‘Letakkanlah batu Anda setelah batu saya.’ Kemudian bersabda kepada Hadhrat ‘Umar, ‘Letakkanlah batu Anda setelah batu Hadhrat Abu Bakr!’ Kemudian bersabda kepada Hadhrat Usman, ‘Letakkanlah batu Anda setelah batu Hadhrat ‘Umar.’”[4]

Pada bulan Muharram 7 Hijriah, Ketika Rasulullah (saw) kembali dari Khaibar dengan membawa kesuksesan, beliau memerintahkan untuk melakukan perluasan dan renovasi Masjid Nabawi. Kali ini pun Rasulullah (saw) bergotong-royong ambil bagian dalam pembangunan Bersama para sahabat.[5]

Ubaidullah Bin Abdullah meriwayatkan, “Ketika Rasulullah (saw) memberikan tanah untuk dibangun rumah-rumah di Madinah, beliau menetapkan letak rumah Hadhrat Abu Bakr di dekat masjid.”[6]

Terdapat beberapa riwayat mengenai muwakhaat (jalinan persaudaraan) Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat Abu Bakr dengan Hadhrat Kharijah Bin Zaid.[7] Di dalam satu riwayat [yaitu ‘Allamah Ibnu Asakir], Hadhrat Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat Abu Bakr dengan Hadhrat ‘Umar.[8] Persaudaraan dengan Hadhrat ‘Umar dilakukan di Makkah. Berkenaan dengan ini terdapat Riwayat mengenai mempersaudarakan beliau dengan Hadhrat ‘Umar terjadi di Makkah sebagaimana Allamah Ibnu Asakir menulis, “Di Makkah, Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat Abu Bakr dengan Hadhrat ‘Umar, namun setelah beliau (saw) hijrah ke Madinah, beliau memansukhkan (menggugurkan) ikatan persaudaraan tersebut, kecuali dua yakni persaudaraan antara beliau (saw) dengan Hadhrat Ali dan kedua antara Hadhrat Hamzah dengan Hadhrat Zaid Bin Haritsah.”[9]

Berkenaan dengan kapan terjalin persaudaraan, tertulis dalam sejarah bahwa, menjalinkan persaudaraan ini terjadi dua kali. ‘Allamah Qasthalani dalam syarh (komentar atas) Sahih Bukhari menjelaskan, وكانت المؤاخاة مرتين الأولى بين المهاجرين بعضهم وبعض قبل الهجرة على الحق والمواساة، آخى بينهم النبي صلى الله عليه وسلم، فآخى بين أبي بكر و عمر ، وبين حمزة و زيد بن حارثة ، وبين عثمان و عبد الرحمن بن عوف ، وبين الزبير و ابن مسعود ، وبين عبيدة بن الحارث و بلال ، وبين مصعب بن عمير و سعد بن أبي وقاص، وبين أبي عبيدة و سالم مولى أبي حذيفة ، وبين سعيد بن زيد و طلحة بن عبيد الله ، وبين علي ونفسه صلى الله عليه وسلم. “Persaudaraan terjadi dua kali. Pertama, di Makkah di antara kaum Muhajirin sebelum hijrah. Saat itu Rasulullah (saw) menetapkan persaudaraan antara Hadhrat Abu Bakr dengan Hadhrat ‘Umar, antara Hamzah dan Zaid bin Haritsah, Hadhrat Utsman dengan Hadhrat Abdurrahman bin Auf, Hadhrat Zubair dengan Hadhrat Abdullah bin Mas’ud,…. dan antara Hadhrat ‘Ali dengan diri beliau (saw) sendiri… فلما نزل عليه السلام المدينة آخى بين المهاجرين والأنصار على المواساة والحق في دار أنس بن مالك Kemudian ketika beliau (saw) sampai di Madinah, beliau (saw) menetapkan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di rumah Hadhrat Anas bin Malik.”[10]

Ibnu Sa’d menerangkan bahwa Rasulullah (saw) menetapkan persaudaraan antara 100 Sahabat, yaitu antara 50 orang Muhajirin dengan 50 orang Anshar.[11]

Perang Badr dan peranan Hadhrat Abu Bakr (ra): mengenai hal ini dijelaskan bahwa perang Badr terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriah bertepatan dengan bulan Maret 623 Masehi.[12] Ketika berangkat menuju perang Badr, unta yang dimiliki oleh para sahabat berjumlah 70 ekor. Untuk itu terpaksa ditetapkan satu unta ditunggangi untuk 3 orang secara bergantian. Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf bergantian menaiki unta yang sama.[13]

Disebutkan bahwa pada waktu Rasulullah (saw) memberangkatkan pasukan ke Badr yang berkenaan dengan itu diriwayatkan, “Rasulullah (saw) berangkat dari Madinah untuk mencegat kafilah Abu Sufyan yang datang dari arah Syam. Ketika kafilah Muslim tiba di Dzafiran (terletak di dekat lembah Safra, sekitar Madinah), Rasulullah (saw) mendapatkan kabar bahwa pasukan Quraisy berangkat dari Makkah untuk melindungi kafilah dagangnya. Rasulullah (saw) mengabarkan kepada para sahabat bahwa pasukan pasukan Quraisy berangkat dari Makkah dengan cepatnya lalu beliau (saw) meminta musyawarah dari para sahabat berkenaan dengan ini, ‘Apakah dalam menghadapi musuh, kalian lebih memilih kafilah dagang?’

Para sahabat menjawab, ‘Ya.’

Satu kelompok mengatakan, ‘Dalam menghadapi pasukan musuh, kami lebih memilih untuk melawan kafilah dagang.’

Di dalam riwayat lain, dikatakan bahwa satu kelompok sahabat mengatakan kepada Rasulullah (saw), ‘Seandainya (di awal tadi) tuan menyebutkan perihal perang kepada kami, kami akan melakukan persiapan untuk perang. Sementara kami berangkat dari rumah berencana untuk menghadapi kafilah dagang.’

Dalam riwayat lain dikatakan, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Sebaiknya tuan pergi untuk menghadapi kafilah dagang saja dan mohon biarkan saja pasukan musuh yang datang dari arah Makkah.’

Mendengar ucapan tersebut, rona wajah penuh berkat Rasulullah (saw) seketika berubah. Hadhrat Abu Ayyub meriwayatkan, ‘Peristiwa inilah yang menjadi penyebab turunnya ayat berikut,كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ “Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi  dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Surah al-Anfal, 8:6)

Pada saat itu Hadhrat Abu Bakr berbicara sambil berdiri dan menyampaikan gagasannya dengan baik. Selanjutnya Hadhrat ‘Umar berbicara sambil berdiri danmenyampaikan gagasannya dengan baik.

Kemudian berdirilah Miqdad dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Silahkan tuan berangkat kemana yang Tuhan perintahkan kepada tuan, kami akan menyertai tuan. Demi Tuhan, kami tidak akan mengatakan seperti yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa,فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَfadzhab anta wa rabbuka faqqtilaa innaa haahunaa qaiduun’ – Artinya, ‘Pergilah engkau dan Tuhan engkau berperang, kami akan duduk duduk di sini.’ (Surah al-Maa-idah, 5:25)[14]

Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan seperti itu, melainkan kami akan berperang bersama tuan, selama nyawa masih di kandung badan. Demi Tuhan, yang telah mengutus tuan sebagai nabi disertai kebenaran, seandainya tuan mengajak kami ke Birkul Ghimaad (بِرْكُ الغِمَادِ) sekalipun, maka kami akan terus ikut bersama tuan untuk berperang dengan pedang, hingga tiba di sana.’

Birkul Ghimaad adalah sebuah kota yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Makkah, menyatu berbatasan dengan laut. [15]

Hadhrat Abdullah Bin Mas’ud meriwayatkan, ‘Saya memperhatikan wajah penuh berkat Rasulullah (saw) yang tampak cerah ceria setelah mendengar pernyataan tadi. Beliau sangat bahagia akan ucapan tersebut.’[16]

Kemudian Rasulullah (saw) berangkat dari Dzafiran (ذَفِرَانَ) dan berkemah di dekat Badr lalu Rasulullah (saw) dan salah seorang sahabat beliau menaiki kendaraan. Menurut Ibnu Hisyam, sahabat dimaksud adalah Abu Bakr. Menurut Riwayat lainnya bukan Abu Bakr melainkan Hadhrat Qatadah Bin Numan atau Hadhrat Muadz Bin Jabal. Rasulullah (saw) terhenti di tempat seorang tua. Beliau (saw) menanyakan kepadanya perihal Quraisy, mengenai Muhammad (saw) – diri beliau sendiri – dan kawan-kawannya serta apa perkembangan terbaru? [17]

Setelah berkumpul di lapangan Badr, dibuatkanlah tempat bernaung bagi Hadhrat Rasulullah (saw). Berkenaan dengan persiapan tersebut tertulis, atas usulan Sa’d Bin Muadz, ketua Aus, sahabat membuatkan tempat bernaung bagi Rasulullah (saw) dalam satu bagian lapangan. Sa’d mengikatkan kendaraan Rasulullah (saw) di dekat kemah lalu berkata, “Wahai Rasulullah (saw)! Silahkan Huzur masuk ke kemah ini dan kami akan menghadapi musuh dengan menyebut nama Allah.” Sa’d dan beberapa sahabat Anshar berdiri untuk melakukan penjagaan di sekitarnya. Hadhrat Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr melewati malam di dalam kemah tersebut.[18]

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) berdiri di dekat beliau dengan memegang pedang terhunus untuk menjaga beliau. Hadhrat Rasulullah (saw) memanjatkan banyak doa dengan merintih sepanjang malam.[19]

Tertulis bahwa diantara seluruh pasukan, hanya Rasulullah (saw) yang terjaga sepanjang malam, semuanya tidur secara bergiliran.[20]

Berkenaan dengan keberanian Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq terdapat satu riwayat, Hadhrat Ali meriwayatkan, “Saya pernah bertanya kepada sekelompok sahabat, أَيُّهَا النَّاسُ أَخْبِرُونِي بِأَشْجَعِ النَّاسِ ؟ ‘Wahai manusia! Siapakah diantara orang-orang yang paling pemberani?’

Orang-orang menjawab,أَنْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ‘Wahai Amirul Mukminin! Anda-lah orangnya.’ yakni Hadhrat Ali. Hadhrat Ali bersabda,أَمَا إِنِّي مَا بَارَزَنِي أَحَدٌ إِلَّا انْتَصَفْتُ مِنْهُ، وَلَكِنْ هُوَ أَبُو بَكْرٍ، إِنَّا جَعَلْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرِيشًا فقلنا مَنْ يَكُونُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِئَلَّا يَهْوِي إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنَ المشركين، فو الله مَا دَنَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ شَاهِرًا بِالسَّيْفِ عَلَى رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَهْوِي إِلَيْهِ أَحَدٌ إِلَّا أَهْوَى إِلَيْهِ فَهَذَا أَشْجَعُ النَّاسِ “Yang paling pemberani diantara orang-orang adalah Hadhrat Abu Bakr. Ketika perang Badr, kami mempersiapkan tempat bernaung untuk Hadhrat Rasulullah (saw) lalu kami mengatakan, ‘Siapa yang akan menjaga Rasulullah (saw) supaya tidak ada orang Musyrik yang dapat menyentuh beliau.’ Demi Tuhan! Tidak ada yang pergi mendekat Rasulullah (saw), namun Hadhrat Abu Bakr berdiri di dekat kepala Rasulullah (saw) sambil memegang pedang sehingga tidak akan ada orang Musyrik yang dapat menyentuh Rasulullah (saw) karena harus berhadapan dengan Hadhrat Abu Bakr terlebih dulu.”[21]

Berkenaan dengan hal ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Suatu kali Hadhrat ‘Ali (ra) bersabda, ‘Yang paling pemberani diantara para sahabat adalah Hadhrat Abu Bakr ra. Pada waktu perang Badr, ketika dibuatkan satu tempat bernaung terpisah bagi Rasulullah (saw), timbul pertanyaan, siapa yang bisa diserahi tugas untuk melindungi Rasulullah (saw)? Saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) segera berdiri dengan membawa pedang terhunus. Pada saat yang sangat genting itu, beliau memenuhi tugas untuk menjaga beliau (saw) dengan penuh keberanian.’”[22]

Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ فِي قُبَّةٍاللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ، اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ “. فَأَخَذَ أَبُو بَكْرٍ بِيَدِهِ فَقَالَ حَسْبُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَدْ أَلْحَحْتَ عَلَى رَبِّكَ، وَهْوَ فِي الدِّرْعِ، فَخَرَجَ وَهْوَ يَقُولُ “Nabi (saw) bersabda saat beliau tengah berada di dalam satu kemah yang besar, ‘Ya Tuhanku! Aku bersumpah demi janji Engkau. Wahai Tuhanku! Jika Engkau menghendaki kehancuran umat Islam, maka setelah hari ini tidak akan ada yang beribadah kepada Engkau. Tidak lama kemudian, Hadhrat Abu Bakr memegang tangan Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Mohon cukup. Anda begitu memelas berdoa kepada Tuhan anda.’

Beliau (saw) mengenakan pakaian besi, keluar dari kemah dan bersabda, سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ * بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرّ ‘Golongan itu segera akan dikalahkan dan mereka akan membalikkan punggung mereka. Bahkan saat itu telah dijanjikan kepada mereka, dan saat itu paling mengerikan dan paling pahit.’(Surah al-Qamar, 54:46-47)”[23]

Hadhrat Abdullah Bin Abbas meriwayatkan mengenai Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab yang mengatakan kepadanya bahwa pada hari Badr, لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلاَثُمِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلاً فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِاللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ ” . فَمَازَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَلْقَاهُ عَلَى مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ الْتَزَمَهُ مِنْ وَرَائِهِ . وَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَذَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ مُرْدِفِينَ} فَأَمَدَّهُ اللَّهُ بِالْمَلاَئِكَةِ . “Rasul Allah (saw) melihat orang-orang Musyrik yang jumlahnya 1.000 (seribu) orang sedangkan sahabat beliau berjumlah 319 (tiga ratus sembilan belas) orang lalu Nabi Allah (saw) itu mengarahkan pandangan ke arah kiblat dan mengangkat kedua tangan lalu menyeru dengan suara tinggi ke hadirat Tuhannya, ‘Ya Allah! Penuhilah janji yang telah Engkau sampaikan padaku. Ya Allah! Jika Engkau membiarkan umat Muslim ini binasa, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.’

Beliau sambil mengarahkan pandangan ke arah kiblat dan mengangkat kedua tangan lalu terus menerus menyeru dengan suara tinggi ke hadirat Tuhannya hingga kain terjatuh dari pundak beliau.

Hadhrat Abu Bakr (ra) datang menghampiri beliau, mengangkat kain beliau dan meletakkannya lagi diatas pundak beliau (saw) lalu mendekat kepada Rasulullah (saw) dari belakang dan berkata, ‘Wahai Nabi Allah! Cukuplah bagi tuan doa yang tua panjatkan dengan penuh ratapan ini, Dia pasti akan memenuhi janjiNya kepada tuan.’ Kemudian, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut, ‘Dan ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkan doamu, Sesungguhnya Aku akan membantumu dengan seribu malaikat berlapis-lapis.’ (Surah al-Anfal, 08:10) Alhasil, Allah Ta’ala telah membantu beliau dengan bantuan Malaikat.”[24]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad dalam menjelaskan peristiwa Badr, menjelaskan sebagai berikut, “Yang Mulia Rasulullah (saw) pun menyampaikan kepada sahabat, ‘Di dalam laskar kafir pun terdapat orang-orang yang tidak atas kerelaan hatinya ikut di dalam peperangan ini, melainkan karena tekanan para petinggi Quraisy. Padahal sesungguhnya mereka tidak memusuhi kita. Demikian pula ada sebagian orang di dalam laskar itu, dimana mereka telah memperlakukan kita dengan baik saat kita menghadapi cobaan di Makkah sehingga sekarang adalah kewajiban kita untuk membalas budi baik mereka itu. Alhasil, jika ada Muslim yang mendapat kemenangan atas orang-orang tersebut, janganlah menimpakan kesulitan dalam corak apapun kepada mereka.’ Secara khusus beliau (saw) menyebut jenis yang pertama yaitu Abbas bin Abdul Muthalib, dan jenis kedua adalah Abul Bakhtari, dan beliau melarang untuk membunuh keduanya.[25]

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 22)

Meski demikian, keadaan yang terjadi menjadi tidak dapat terhindari bahwa Abul Bakhtari tidak dapat terselamatkan dari pembunuhan. Meski demikian, sebelum terbunuh ia akhirnya mengetahui bahwa Rasulullah (saw) telah melarang untuk membunuhnya.

Setelah bersabda demikian kepada para sahabat, beliau (saw) pergi ke kemah beliau dan sibuk dalam berdoa. Hadhrat Abu Bakr pun ada bersama beliau dan di sekeliling kemah terdapat segolongan Ansar di bawah pimpinan Sa’d bin Mu’adz yang ditugaskan untuk menjaga beliau.

Beberapa waktu kemudian, muncul kegaduhan di medan peperangan, dan diketahui bahwa kaum Quraisy memulai penyerangan. Saat itu Rasulullah (saw) dalam perasaan yang sangat pedih menengadahkan tangan ke hadapan Tuhan dan berdoa dengan penuh kegetiran, اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ ‘Wahai Tuhanku, sempurnakanlah janji-janji Engkau.’[26] اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ ‘Wahai Rajaku, jika jemaat Muslim ini hancur di medan pertempuran ini, maka tidak akan tersisa lagi orang yang menyembah Engkau dunia.’[27]

Beliau saat itu berada di keadaaan yang sangat pedih. Terkadang beliau jatuh bersujud, terkadang beliau berdiri seraya memohon kepada Tuhan, dan selendang beliau kerap terjatuh dari bahu beliau, dan Hadhrat Abu Bakr terus mengangkatnya dan meletakkannya kembali pada beliau.[28]

Hadhrat Ali berkata, لَمَّا كَانَ يَومُ بَدْرٍ قَاتَلْتُ شَيْئًا مِنْ قِتَالٍ ، ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْظُرُ مَا صَنَعَ ، فَجِئْتُ ، فَإِذَا هُوَ سَاجِدٌ يَقُولُ : ” يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى الْقِتَالِ ، ثُمَّ جِئْتُ ، فَإِذَا هُوَ سَاجِدٌ لَا يَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ ذَهَبْتُ إِلَى الْقِتَالِ ، ثُمَّ جِئْتُ ، فَإِذَا هُوَ سَاجِدٌ يَقُولُ ذَلِكَ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ ‘Di saat pertempuran, terpikir oleh saya keadaan Rasulullah (saw) sehingga saya berlari menuju kemah beliau. Namun kapan pun saya tiba, saya senantiasa mendapati beliau terus gelisah di dalam sujud beliau. Dan saya mendengar dari mulut beliau ucapan demikian, يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ  – “Yaa hayyu yaa qayyumu” –  “Wahai Tuhanku yang Maha Hidup, Wahai Tuhanku yang Maha memberi kehidupan.”[29]

Melihat keadaan beliau yang seperti demikian yaitu terus dalam kegelisahan, Hadhrat Abu Bakr (ra) secara spontan mengucapkan, يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَذَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ “Wahai Rasulullah (saw), ayah ibuku berkorban untukmu. Janganlah Anda khawatir, Allah pasti akan menyempurnakan janji-janji-Nya.”[30]

Namun sesuai dengan ungkapan (Persia), ہر کہ عارف تر اَست ترساں تر ‘Semakin seseorang mendapatkan makrifat, semakin ia takut kepada Tuhan.’ Rasulullah (saw) terus masygul di dalam doa dan pengharapan beliau.”[31]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Peristiwa yang tampak pada sosok Rasulullah (saw) di saat Perang Badr adalah cukup untuk membuat takjub bagi siapa saja yang memiliki pandangan mata rohani. Dan dengan ini diketahui betapa tinggi derajat rasa takut di dalam kalbu beliau terhadap Allah Ta’ala. Di peristiwa Perang Badr, tatkala Rasulullah (saw) berderap maju bersama para pemberani beliau yang rela berkorban, saat itu pertolongan Ilahi pun tampak tampak. Kaum kafir yang saat itu telah berada di tanah yang padat untuk mengukuhkan posisi mereka, menyisakan tanah berpasir bagi kaum Muslim. Tetapi, betapa Allah Ta’ala lantas menurunkan hujan yang menyebabkan kemah kaum kafir penuh dengan lumpur, sementara itu, tempat berdirinya pasukan Muslim menjadi kuat.

Demikianlah, masih ada lagi corak dukungan-dukungan samawi yang saat itu tengah tampak. Meski demikian, rasa takut yang ada di dalam kalbu beliau kepada Allah Ta’ala adalah sedemikian rupa tingginya hingga meski beliau dikuatkan oleh segenap janji-janji dan tanda-tanda, beliau terus gelisah dan bergejolak seraya memohon ke hadapan Tuhan agar kaum Muslim dianugerahkan kemenangan.

Maka dari itu, Hadhrat Ibnu Abbas bersabda, ‘Di perang Badr, Nabi yang mulia (saw) saat itu tengah berada di dalam kemah bundar seraya bersabda, “Wahai Tuhanku, Aku kini memohon janji-janji Engkau, dan memohon penyempurnaannya. Wahai Tuhanku, jika Engkau menghendaki kehancuran bagi orang-orang mukmin, maka setelah hari ini tidak akan tersisa orang-orang yang akan menyembah Engkau.” Atas hal ini, Hadhrat Abu Bakr memegang tangan beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah (saw), mohon cukuplah, Anda telah sedemikian banyak berdoa kepada Tuhan.”

Rasul yang mulia (saw) saat itu tengah mengenakan baju zirah. Beliau keluar dari kemah beliau dan bersabda, “Sekarang, laskar itu akan mengalami kekalahan dan mereka akan berbalik melarikan diri. Bahkan, ini merupakan waktu kesudahan mereka. Dan waktu ini akan sangat keras dan pahit bagi mereka.”’

Allah, Allah. Betapa tingginya rasa takut beliau kepada Tuhan, bahwa kendati adanya dukungan janji-janji Tuhan, dengan memikirkan sifat Ghina-Nya [sifat tidak memerlukan apa pun dari apa dan siapa pun serta tidak terikat oleh apa pun dan siapapun], namun beliau (saw) pun sedemikian rupa yakin, bahwa tatkala Hadhrat Abu Bakr berkata tadi, maka beliau (saw) dengan suara lantang menyeru, ‘Saya tidak takut. Bahkan, saya telah mengetahui dari Tuhan bahwa musuh akan mengalami kekalahan dan terhina dan para pemimpin kafir akan terbunuh.’ Alhasil, demikianlah yang telah terjadi.”[32]

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Di dalam Al-Quran, Rasulullah (saw) telah berkali-kali diberikan janji kemenangan atas kaum kafir. Namun tatkala perang Badr telah dimulai, yang merupakan peperangan pertama Islam, Rasulullah (saw) mulai menangis dan berdoa, dan seraya terus berdoa maka keluarlah lafaz ini dari mulut beliau, اللهم إن أهلكتَ هذه العصابة فلن تُعبَد في الأرض أبدا artinya, ‘Wahai Tuhanku, jika saat ini Engkau memusnahkan jemaat yang hanya berjumlah 313 orang ini, maka tidak akan ada lagi yang menyembah Engkau hingga hari kiamat.’

Tatkala Hadhrat Abu Bakr mendengar ucapan ini dari mulut Rasulullah (saw) maka beliau berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), mengapa Anda menjadi sedemikian gelisah? Tuhan telah memberi janji yang pasti kepada Anda bahwa Aku [Tuhan] akan memberi kemenangan.’

Beliau (saw) bersabda, ‘Ini adalah benar, namun saya melihat keberadaan-Nya Yang tidak membutuhkan apapun.’ Maksudnya, bukanlah suatu hak yang wajib bagi Tuhan untuk memenuhi suatu janji-Nya.”[33]

Tatkala pertempuran telah mulai sengit dan orang-orang berhamburan, Rasulullah (saw) turun dari kemah beliau dan menyerukan kepada segenap orang agar bertempur. Orang-orang pun berdiri di barisannya seraya berzikir kepada Allah. Nabi yang mulia (saw) sendiri turun untuk berperang dengan segenap kekuatan, dan di samping beliau ada Hadhrat Abu Bakr Siddiq yang juga terus bertempur. Tampak keberanian Hadhrat Abu Bakr yang tidak tertandingi. Beliau senantiasa siap untuk memerangi setiap orang kafir yang aniaya, meskipun itu adalah putra beliau sendiri. Di pertempuran itu, putra beliau, Abdurrahman ikut berperang untuk membela kaum kafir, dan ia dianggap sebagai salah satu yang paling berani diantara segenap pemberani Arab, dan merupakan sosok pemanah yang paling mahir di suku Quraisy. Tatkala beliau menerima Islam, beliau berkata kepada ayahandanya, “Di hari Badr, saat itu Anda telah ada di sasaran dan bidikan saya, namun saya menghindarinya dan tidak membunuh Anda”. Maka Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Jika kamu telah ada pada bidikan saya saat itu, maka Saya tidak akan melepaskanmu.”[34]

Dalam menyebut tentang hal ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Satu ketika Hadhrat Abu Bakr (ra) tengah makan bersama Rasulullah (saw) dan telah mulai perbincangan tentang berbagai hal.

Hadhrat Abdurrahman yang merupakan putra tertua Hadhrat Abu Bakr, dan yang kemudian memeluk Islam, pernah ikut di perang Badr dan Uhud untuk membela kaum kafir. Di saat makan, beliau berkata kepada ayahandanya, ‘Ayahanda, saya melihat Anda di suatu perang, maka saat itu saya pun bersembunyi di balik sebuah batu. Dan jika saya ingin, saat itu saya dapat menghabisi Anda. Namun saya berkata sendiri, mengapa saya harus membunuh ayah saya.’

Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Tuhan telah memilihmu untuk akan beriman sehingga kamu telah selamat. Jika tidak, demi Tuhan, jika saya melihat, saya pasti akan membunuhmu.’”[35]

Tentang bagaimana musyawarah yang Rasulullah (saw) adakan berkenaan para tawanan perang Badr dan apa pendapat dari Hadhrat Abu Bakr, implementasi keputusannya adalah sesuai dengan pendapat Hadhrat Abu Bakr (ra). Terkait hal ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menulis, “Setiba di kota Madinah, Rasulullah (saw) bermusyawarah tentang para tawanan yakni apa yang sebaiknya dilakukan. Adat kebiasaan di Arab adalah para tawanan umumnya dibunuh atau dijadikan budak seumur hidup. Namun tabiat Rasulullah (saw) sangat tidak menghendaki hal ini. Terkait hal ini pun belum ada perintah Ilahi yang turun. Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Saya berpendapat, mereka sebaiknya diminta membayar fidyah ‘tebusan’ lalu dibebaskan, karena mereka ini pun hanyalah saudara kita juga, dan tidak mengherankan jika dari mereka pun kelak terlahir para pembela Islam.’

Namun Hadhrat ‘Umar menolak pendapat ini dan berkata, ‘Hendaknya tidak ada silsilah kekerabatan dalam perkara agama. Dan orang-orang ini telah patut dibunuh akibat tindakan mereka. Jadi menurut saya hendaknya mereka semua dibunuh. Bahkan hendaknya diperintahkan kepada segenap Muslim agar membunuh keluarga mereka masing-masing dengan tangannya sendiri.’ Hadhrat Rasulullah (saw) telah tersentuh oleh fitrat kerahiman beliau, pada akhirnya Rasulullah (saw) memilih pendapat Hadhrat Abu Bakr dan menolak untuk membunuh mereka dan memerintahkan kaum musyrik agar membayar tebusan mereka lalu mereka akan dibebaskan. Alhasil perintah Ilahi yang kemudian turun pun adalah sesuai dengan ini.”[36]

Di suatu saat di Madinah, Hadhrat Abu Bakr (ra) dan beberapa sahabat menderita sakit. Di satu riwayat Hadhrat Aisyah menuturkan, “Ketika Rasulullah (saw) tiba di Madinah, Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Bilal menderita demam. Saya pergi menemui keduanya dan bertanya, ‘Ayahanda, bagaimana keadaan tubuh sekarang, dan Anda, Bilal, bagaimana Anda sekarang?’

Hadhrat Aisyah menuturkan, “Ketika Hadhrat Abu Bakr demam, beliau membaca syair berikut, كُلُّ امْرِئٍ مُصَبَّحٌ فِي أَهْلِهِ وَالْمَوْتُ أَدْنَى مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ ‘Kullu mri-in mushabbahun fii ahlihi wal mautu adnaa min syiraaki na’lihi.’ – ‘Setiap orang yang bangun di pagi hari di tengah keluarganya, maka doa-doa keselamatan dianugerahkan untuknya, dan keadaannya adalah bahwa kematian semakin dekat dari tali ikat sepatunya.’

Tatkala Hadhrat Bilal pulih dari demam, beliau seraya menangis mengumandangkan beberapa syair dengan suara tinggi, yang sebagiannya bermakna, ‘Saya tengah menyebut nama-nama permukiman di sekeliling Makkah, dan saya tengah mengingatnya.’

Hadhrat Aisyah berkata, “Saya datang ke dekat Rasulullah (saw) dan menyampaikan semuanya, yakni apa yang telah Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Bilal ucapkan. Atas hal ini Rasulullah (saw) berdoa, اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا وَانْقُلْ حُمَّاهَا فَاجْعَلْهَا بِالْجُحْفَةِ ‘Allahumma habbib ilainal madinata kahubbina makkata aw asyadda, wa shahih-ha wa baarik lana fi sha‘iha wa muddiha wa hawwil hummaha ilal juhfah.’ Artinya, ‘Wahai Allah, jadikanlah juga Madinah ini kami cintai seperti halnya Makkah yang kami cintai, atau bahkan lebih dari itu. Jadikanlah Madinah bagi kami sebagai kota yang sehat, dan berikanlah keberkahan pada takaran sha’-nya dan takaran mudd-nya, serta pindahkan penyakitnya ke Juhfah.”[37] Mud dan Sha’ keduanya adalah ukuran untuk berat dan Juhfah adalah nama tempat yang berada sejauh 82 mil dari Makkah ke arah Madinah.  

Tentang Perang Uhud terdapat riwayat: Pertempuran ini terjadi pada tahun 624 Masehi antara kaum Muslim dan Quraisy Makkah. Pada akhir tahun ke-3 Hijriah, didapat berita tentang laskar kaum Quraisy Makkah dan beberapa kabilah setia mereka yang akan menyerang Madinah.

Nabi yang mulia (saw) mengumpulkan kaum Muslim dan menyampaikan tentang serangan kaum Quraisy serta meminta pendapat mereka bahwa apakah tetap di Madinah dan melawan mereka disini atau keluar dari sini.[38]

Terkait hal ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib (ra) menulis, “Rasulullah (saw) mengumpulkan kaum Muslim dan meminta musyawarah mereka tentang rencana serangan Quraisy bahwa apakah tetap bertahan di Madinah atau keluar dari Madinah dan melawan mereka. Sebelum bermusyawarah, RasuluLlah (saw) menjelaskan perihal penyerangan Quraisy dan rencana mereka untuk mengalirkan darah (menyerang). Beliau (saw) bersabda, إنّي قَدْ رَأَيْت وَاَللّهِ خَيْرًا، رَأَيْتُ بَقَرًا، وَرَأَيْتُ فِي ذُبَابِ سَيْفِي ثَلْمًا، وَرَأَيْتُ أَنّي أَدْخَلْتُ يَدِي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ ‘Pada malam tadi dalam mimpi saya melihat seekor sapi. Saya juga melihat ujung pedang saya patah lalu saya memasukkan tangan saya ke dalam zirah (baju besi khusus untuk berperang) yang kokoh.’[39]

Di dalam riwayat lain dikatakan, رَأَيْت بَقَرًا لِي تُذْبَحُ ‘Saya melihat sapi saya tersebut disembelih.’[40]

Dalam riwayat lain lagi dijelaskan, رَأَيْت فِيمَا يرى النَّائِم كَأَنِّي مردف كَبْشًا وَكَأن ظبة سَيفي انْكَسَرت فأولت أَنِّي أقت كَبْشا لقوم وأولت كسر ظبة سَيفي قتل رجل من عِتْرَتِي ‘Saya bermimpi melihat diri saya tengah berkendara di atas seekor domba jantan…’[41]

Sahabat bertanya: يَا رَسُولَ اللهِ، مَاذَا أَوَّلْتَ رُؤْيَاكَ؟ ‘Yaa RasulaLlahi! Maa dza awwalta ru-yaak?’ – ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Apa penjelasan (takwil) Anda atas mimpi Anda tersebut?’

Beliau bersabda, فَأَمّا الْبَقَرُ فَهِيَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِي يُقْتَلُونَ وَأَمّا الثّلْمُ الّذِي رَأَيْتُ فِي ذُبَابِ سَيْفِي، فَهُوَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُقْتَلُ ‘Disembelihnya sapi menurut saya maksudnya adalah akan syahidnya sebagian sahabat saya. Sementara itu, makna patahnya ujung pedang saya maksudnya adalah tampaknya mengisyaratkan syahidnya salah satu kerabat saya.’[42] Atau, وَكَرِهْتُ مَا رَأَيْتُ بِسَيْفِيَ ‘Mungkin saya sendiri akan mengalami penderitaan pada peristiwa ini.’[43] إِنِّي رَأَيْت أَنِّي فِي درع حَصِينَة فَأَوَّلتهَا الْمَدِينَة وَإِنِّي مردف كَبْشًا فَأَوَّلْته كَبْش الكتيبة وَرَأَيْت ان سَيفي ذَا الفقار فل فَأَوَّلْته فَلَا فِيكُم وَرَأَيْت بقرًا تذبح فبقر وَالله خير Perihal saya memasukkan tangan ke dalam baju besi menurut hemat saya adalah untuk menghadapi serangan ini lebih tepat bagi kita jika tetap berada di dalam Madinah. Mengenai mimpi mengendarai domba jantan saya takwilkan bahwa pemimpin pasukan kuffar yakni tokoh yang memegang bendera, insya Allah, akan mati di tangan pasukan Muslim.’[44]

Setelah itu beliau (saw) meminta pendapat dari para sahabat mengenai apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti itu. Beberapa sahabat terkemuka, setelah memikirkan kebaikan dan kekurangan dari keadaan-keadaan yang ada dan mungkin karena terkesan oleh mimpi Hadhrat RasuluLlah (saw), mereka memberikan pendapat bahwa akan lebih baik menghadapi musuh dengan tetap tinggal di Madinah. Hadhrat RasuluLlah (saw) sendiri pun menyukai pendapat ini dan bersabda, ‘Tampaknya memang lebih baik kita menghadapi musuh dengan tetap berada di Madinah.’

Namun, kebanyakan para sahabat dan khususnya para pemuda yang tidak ikut perang Badr serta menginginkan untuk mendapat kesempatan mengkhidmati agama dengan kesyahidan mereka dan sangat tidak sabar untuk melakukannya, mereka memohon dengan sangat supaya keluar dari kota dan menghadapi musuh di medan terbuka. Mereka sedemikian rupa memaksa dan mengutarakan pendapat mereka sehingga Hadhrat RasuluLlah (saw) setelah melihat semangat mereka itu pun menerima pendapat mereka tersebut, serta memutuskan, ‘Kita akan menghadapi musuh dengan keluar ke medan terbuka.’ [45]

Selanjutnya, setelah shalat Jumat, beliau (saw) mengumumkan ke segenap kaum Muslim agar ikut serta di peperangan ini dengan tujuan berjihad fi sabilillah dan meraih pahala dari-Nya.

Setelah itu, beliau kembali ke dalam sebuah ruangan, dimana beliau dengan dibantu oleh Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar, mengikat turban dan mengenakan pakaian perang lalu mengambil senjata seraya mengucapkan nama Allah, kemudian beliau beranjak keluar.

Namun tidak lama kemudian, setelah mendengar ungkapan dari beberapa sahabat, para pemuda tadi mulai menyadari kekeliruan mereka bahwa seharusnya mereka tidak memaksakan pendapat mereka tersadar diatas pendapat Rasulullah (saw). Ketika mereka menyadari hal ini, kebanyakan dari mereka cenderung menyesal.

Ketika mereka melihat RasuluLlah (saw) keluar dengan membawa senjata, mengenakan dua lapis baju zirah (baju besi) dan lain-lain, maka mereka semakin menyesal dan gelisah, dan kurang lebih mereka sepakat satu kata memohon, ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Kami telah keliru memaksakan pendapat kami untuk menentang pendapat Anda. Cara mana yang Anda anggap lebih baik, lakukanlah cara itu. Insya Allah akan ada keberkatan di dalamnya.’[46]

Beliau (as) bersabda, مَا يَنْبَغِي لِنَبِيَ إِذَا لَبِسَ لَأْمَتَهُ أَنْ يَرْجِعَ حَتَّى يَحْكُمَ اللهُ لَه ‘maa yambaghi li-Nabiyyin idza labisa la-matahu ay yarji’a hatta yahkumaLlahu lahu.’ – ‘Jauh dari keagungan seorang Nabi Allah Ta’ala, jika ia telah mengangkat senjata, kemudian meletakkan kembali senjata tersebut sebelum Allah Ta’ala memberikan suatu keputusan. [47] Oleh karena itu, sekarang berangkatlah dengan menyebut nama Allah. Jika kalian menjalaninya dengan sabar, yakinlah pertolongan Allah Ta’ala akan bersama kalian.’[48]

Rasulullah (saw) pada perang Uhud bersabda seraya membawa pedang di tangannya, “Siapa yang akan menunaikan haknya?”

Pada kesempatan tersebut, di antara para sahabat yang mengungkapkan keinginannya untuk diberikan pedang tersebut, salah satunya adalah Hadhrat Abu Bakr (ra).

Namun, beliau (saw) memberikannya kepada Hadhrat Abu Dujanah al-Anshori (ra).[49]

Dalam Siirat Khaatamun Nabiyyiin Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) mengisahkannya sebagai berikut: “Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda sambil membawa pedang di tangannya, ‘Siapa yang akan membawanya dan menunaikan haknya?’

Banyak sahabat yang mengulurkan tangan mereka dengan mengidamkan kebanggaan ini, yang mana Hadhrat ‘Umar (ra) dan Hadhrat Zubair (ra), bahkan menurut sebagian riwayat Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Ali (ra) juga termasuk di antara mereka. Namun, beliau (saw) tidak memberikannya dan bersabda lagi, “Apakah ada yang akan menunaikan haknya?”. Akhirnya Hadhrat Abu Dujanah al-Anshori (ra) mengulurkan tangannya dan menyampaikan, “Ya Rasulullah (saw)! Berikanlah kepada saya.” Beliau (saw) lalu memberikan pedang itu kepada beliau.”[50]

Pada perang Uhud, ketika orang-orang kafir berbalik menyerang setelah sebelumnya mundur dan umat Islam mengalami kekalahan. Pada saat itu tersiar kabar mengenai Rasulullah (saw) bahwa beliau (saw) telah syahid. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa setelah tersiar kabar mengenai kesyahidan Rasulullah (saw) dan sebagian orang tercerai berai, yang pertama melihat Hadhrat Rasulullah (saw) adalah Hadhrat Ka’b bin Malik (ra). Beliau meriwayatkan, “Saya melihat mata beliau (saw) yang bersinar dari celah topi baja, kemudian saya menyeru dengan suara keras, “Wahai orang-orang Islam! Bersukacitalah! Rasulullah (saw) masih hidup.” Mendengar ini, Hadhrat Rasulullah (saw) memberikan isyarat dengan tangan supaya beliau diam.

Terkait:   Jalsah Salanah Belanda

Ketika orang-orang Islam mengenali Hadhrat Rasulullah (saw), maka beliau (saw) bersama mereka pergi menuju ke arah ngarai. Hadhrat Abu Bakr Shiddiq (ra), Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Ali (ra), Hadhrat Thalhah bin Ubaidullah (ra), Hadhrat Zubair bin Awwam (ra) dan Hadhrat Haritsah bin Sima dan para sahabat yang mulia yang lainnya menyertai beliau (saw).[51]

Pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah (saw) mengambil baiat kesetiaan sampai mati dari sekelompok sahabat. Ketika orang-orang Islam nampak mundur, mereka tetap teguh dan bermain dengan nyawa mereka demi menjaga Rasulullah (saw) hingga mereka siap menjadi syahid. Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Thalhah (ra), Hadhrat Zubair (ra), Hadhrat Sa’d (ra), Hadhrat Sahl bin Hunaif (ra) dan Hadhrat Abu Dujanah (ra) termasuk di antara orang-orang yang beruntung ikut serta dalam baiat tersebut.[52]

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) lebih lanjut mengisahkan mengenai keadaan perang Uhud: “Para sahabat yang berkumpul di sekitar Rasulullah (saw), mereka memperlihatkan pengorbanan jiwa yang sejarah tidak mampu menyajikan bandingannya. Mereka layaknya laron-laron yang berputar di sekeliling Rasulullah (saw) dan bermain dengan nyawa mereka demi beliau (saw). Setiap kali datang serangan, para sahabat menangkisnya dan menyelamatkan Hadhrat Rasulullah (saw) dan bersama dengan itu mereka pun melancarkan serangan terhadap musuh.

Hadhrat Ali (ra) dan Hadhrat Zubair (ra) menyerang musuh dengan gencar dan menerobos barisan-barisan mereka. Hadhrat Abu Thalhah Anshori (ra) terus-menerus melontarkan anak panah hingga mematahkan tiga buah busurnya dan melindungi tubuh Hadhrat Rasulullah (saw) dari panah-panah musuh dengan tamengnya sendiri.[53]

Hadhrat Rasulullah (saw) sendiri menyerahkan panah kepada Hadhrat Sa’d bin Waqqash (ra) lalu Hadhrat Sa’d (ra) melontarkan panah tersebut ke arah musuh dengan gencar. Suatu kali beliau (saw) bersabda kepada Hadhrat Sa’d (ra), ‘Ayah dan ibuku berkorban untukmu juga, lepaskanlah anak panahmu.’[54] Hadhrat Sa’d (ra) hingga akhir hayat beliau sering menceritakan sabda Rasulullah (saw) tersebut dengan sangat bangga.

Hadhrat Abu Dujanah (ra) menutupi tubuh Hadhrat Rasulullah (saw) dengan tubuh beliau untuk waktu yang lama dan menangkis setiap serangan panah maupun batu yang datang dengan badan beliau, hingga tubuh beliau penuh dengan panah. Namun beliau mengaduh pun tidak, supaya jangan sampai dikarenakan adanya gerakan dari tubuh beliau, suatu bagian dari tubuh Hadhrat Rasulullah (saw) menjadi tidak tertutupi dan beliau (saw) bisa terkena suatu anak panah.[55]

Hadhrat Thalhah (ra) menangkis serangan-serangan dengan tubuh beliau untuk menyelamatkan Hadhrat Rasulullah (saw) dan dalam upaya tersebut tangan beliau menjadi lumpuh untuk selamanya.[56]

Namun, sampai kapan segelintir sahabat yang setia ini bisa menahan banjir besar tersebut yang setiap saat datang dari segala arah bagaikan gelombang yang mengerikan. Setiap gelombang serangan musuh menerjang kaum Muslimin dan membuat jarak mereka menjadi jauh [dari Nabi (saw)], namun ketika serangan itu sedikit mereda, orang-orang Islam yang tidak berdaya itu maju untuk melawan, kemudian berkumpul di sekeliling junjungan mereka tercinta (saw).

Terkadang serangan sedemikian rupa berbahaya sehingga Hadhrat Rasulullah (saw) benar-benar sendirian. Suatu kali terjadi, di sekitar beliau (saw) hanya tersisa 12 orang dan pada kesempatan lain yang bersama beliau (saw) hanya tinggal dua orang.[57] Di antara mereka yang siap mengorbankan jiwa di dekat beliau (saw) tersebut, nama Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Ali, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Zubair, Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash, Hadhrat Abu Dujanah al-Anshori, Hadhrat Sa’d bin Mu’adz dan Hadhrat Abu Thalhah al-Anshori (ra) disebutkan secara khusus.”[58]

Pada kesempatan perang Uhud, ketika gigi yang penuh berkat Rasulullah (saw) patah, gambaran situasi saat itu disampaikan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) yang tentang itu Hadhrat Aisyah (ra) bersabda, “Ketika mengisahkan mengenai hari perang Uhud, Hadhrat Abu Bakr (ra) menuturkan, ‘Hari itu seluruhnya milik Thalhah (ra).’”

Kemudian beliau menyampaikan rinciannya, “Saya termasuk di antara mereka yang pada hari itu kembali kepada Rasulullah (saw). Maka saya melihat seseorang bersama Rasulullah (saw), bertempur sambil melindungi beliau (saw).”

Perawi mengatakan, “Menurut saya, beliau (Hadhrat Abu Bakr [ra]) mengatakan, “Ia sedang menyelamatkan beliau (saw).” Hadhrat Abu Bakr (ra) menuturkan, “Saya mengatakan, semoga itu adalah Thalhah (ra). Saya telah melewatkan kesempatan itu dan saya berkata di dalam hati bahwa, jika di antara kaum saya ada seseorang yang paling saya sukai, maka itu adalah beliau.”

Beliau menuturkan, “Dan di antara saya dan Rasulullah (saw) ada seseorang yang tidak saya kenal, padahal saya lebih dekat dengannya daripada Rasulullah (saw) dan ia berjalan dengan begitu cepat sehingga saya tidak bisa berjalan secepat itu lalu saya melihat bahwa orang itu adalah Abu Ubaidah bin Jarrah (ra). Kemudian saya sampai kepada Rasulullah (saw). Dua gigi depan dan gigi di antara gigi taring beliau (saw) patah dan wajah beliau (saw) terluka. Mata rantai pengikat topi baja [semacam helm penutup kepala] menembus pipi beliau (saw) yang penuh berkat.

Rasulullah (saw) bersabda, “Kalian berdua tolonglah sahabat kalian.” Maksud beliau adalah Hadhrat Thalhah (ra) dan beliau banyak mengeluarkan darah. Hadhrat Rasulullah (saw) bukannya meminta untuk memeriksa diri beliau (saw) sendiri, beliau (saw) justru memerintahkan untuk memeriksa Hadhrat Thalhah (ra).

Kami mengesampingkan Hadhrat Thalhah (ra) dan saya maju hendak mengeluarkan mata rantai pengikat topi baja dari wajah berberkat Rasulullah (saw). Atas hal itu, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) berkata, “Saya bersumpah kepada Anda demi hak saya. Biarlah saya yang melakukannya.” Maka saya membiarkannya dan Abu Ubaidah (ra) tidak menyukai bahwa mata rantai tersebut dikeluarkan dengan tangan sehingga membuat Hadhrat Rasulullah (saw) kesakitan karenanya, maka beliau berusaha mengeluarkan mata rantai tersebut dengan mulut beliau dan ketika satu mata rantai berhasil dikeluarkan, maka bersama mata rantai tersebut gigi seri beliau pun patah. Kemudian saya maju untuk mengeluarkan mata rantai yang kedua. Saya hendak melakukannya sebagaimana yang beliau telah lakukan.”

Hadhrat Abu Bakr (ra) menuturkan, “Saya mengatakan bahwa saya juga akan berusaha untuk mengeluarkan mata rantai yang kedua dengan cara seperti itu. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) kembali mengatakan, “Saya bersumpah kepada Anda demi hak saya. Biarlah saya yang melakukannya.”

Beliau mengatakan ini kepada Hadhrat Abu Bakr (ra). Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) mundur, maka beliau melakukan dengan cara yang sama seperti yang beliau lakukan sebelumnya. Maka gigi seri beliau yang kedua pun patah bersama dengan mata rantai tersebut. Alhasil, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) adalah yang paling tampan di antara orang-orang yang tanggal gigi depannya.

Kemudian setelah selesai mengobati Hadhrat Rasulullah (saw), kami menghampiri Hadhrat Thalhah (ra). Beliau berada dalam sebuah lubang. Kami melihat bahwa kurang lebih terdapat 70 luka pada tubuh beliau akibat serangan tombak, pedang dan panah dan jari beliau pun putus. Maka kami merawat beliau.”[59]

Selain Hadhrat Abu Ubaidah (ra), terdapat juga riwayat mengenai Hadhrat Uqbah bin Wahab (ra) dan Hadhrat Abu Bakr (ra), bahwa merekalah yang mengeluarkan mata rantai-mata rantai tersebut, namun riwayat yang pertama lebih sahih.[60]

Pada hari perang Uhud, ketika Hadhrat Rasulullah (saw) bersama para sahabat naik ke atas bukit, orang-orang kafir juga mengikuti beliau (saw). Terdapat riwayat dalam Shahiih Bukhaari, “Kemudian, Abu Sufyan berteriak tiga kali pada perang Uhud dengan mengatakan,أَفِي الْقَوْمِ مُحَمَّدٌ ؟ ‘Apakah Muhammad masih hidup diantara kalian?’

Rasulullah (saw) melarang para sahabat untuk menjawabnya.

Saat itu Abu Sufyan berkata, ‘Apakah Muhammad masih hidup diantara kalian?’

Kemudian, Abu Sufyan meneriakkan sebanyak tiga kali,أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ أَبِي قُحَافَةَ ؟  ‘Apakah putra Abu Quhafah berada diantara kalian (Maksudnya Hadhrat Abu Bakr)?’ Lalu bertanya sebanyak tiga kali,أَفِي الْقَوْمِ ابْنُ الْخَطَّابِ ؟  ‘Apakah putra Khaththab (Umar putra Khaththab) berada di tengah tengah kalian?’

Abu Sufyan lalu kembali kepada pasukannya.

Setiap ditanyakan, Rasulullah (saw) memerintahkan untuk tidak menjawabnya. Abu Sufyan kemudian kembali kepada kawan-kawannya dan mengatakan,أَمَّا هَؤُلاءِ فَقَدْ قُتِلُوا ‘Ketiga orang itu (pimpinan pasukan Muslim) telah terbunuh.’

Mendengar perkataan itu, Hadhrat ‘Umar tidak bisa mengendalikan diri lagi. Ia mengatakan,كَذَبْتَ وَاللَّهِ يَا عَدُوَّ اللَّهِ ، إِنَّ الَّذِينَ عَدَدْتَ لأَحْيَاءٌ كُلُّهُمْ ، وَقَدْ بَقِيَ لَكَ مَا يَسُوءُكُ ‘Wahai musuh Allah! Demi Allah, kalian telah berdusta, nama-nama yang kamu sebutkan tadi semuanya masih hidup, masih banyak yang tersisa untukmu.’” [61]

Dalam mengisahkan mengenai peristiwa terlukanya Hadhrat Rasulullah (saw) dan tidak sadarkan diri, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Tidak lama kemudian Rasulullah (saw) sadarkan diri lalu para sahabat mengutus orang keempat penjuru pertempuran untuk memerintahkan kaum Muslimin berkumpul kembali. Pasukan yang tadi meninggalkan pos pun mulai berdatangan dan berkumpul lagi kemudian Rasulullah (saw) mengajak mereka ke lereng bukit.

Ketika pasukan Muslim berdiri di lereng bukit, Abu Sufyan berteriak mengatakan, ‘Kami telah membunuh Muhammad.’ Rasulullah (saw) tidak menanggapi perkataan Abu Sufyan, dengan tujuan supaya pihak musuh jangan sampai mengetahui keadaan sesungguhnya lalu menyerang lagi karena pasukan Muslim keadaannya sudah lemah supaya pihak musuh tidak menyerang pasukan Muslim yang sudah terluka-luka. Ketika mengetahui tidak adanya jawaban dari pasukan Muslim, Abu Sufyan merasa yakin dengan anggapannya lalu ia berteriak lagi mengatakan, ‘Kami pun telah membunuh Abu Bakr.’ Lalu Rasulullah (saw) memerintahkan Abu Bakr untuk tidak menanggapinya.

Abu Sufan kemudian meneriakkan, ‘Kami pun telah membunuh ‘Umar.’

Hadhrat ‘Umar yang bertabiat pemberani ingin menjawab dengan mengatakan, ‘Kami semua dengan karunia Allah masih hidup dan siap untuk menghadapi kalian.’

Namun Rasulullah (saw) melarang beliau supaya tanggapannya itu tidak membuat pasukan Muslim menderita. Karena itu, beliau (saw) menyuruhnya diam.

Sekarang kaum kuffar semakin yakin bahwa mereka telah berhasil membunuh pendiri Islam dan orang-orang kepercayaannya. Abu Sufyan dan kawan kawannya kemudian sambil berbahagia berteriak, ‘Ulu Hubal!’ Artinya, ‘Maha agung berhala kami Hubal, karena hari ini ia telah memusnahkan Islam.’”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menuturkan, “Rasulullah (saw) telah berkali-kali memerintahkan untuk tetap diam ketika Abu Sufyan meneriakkan, ‘Muhammad (saw) telah wafat’, ‘Abu Bakr telah wafat’ dan ‘Umar telah wafat’ supaya pasukan kuffar tidak menyerang lagi pasukan Muslim yang sudah terluka parah sehingga segelintir pasukan Muslim yang tersisa itu tidak disyahidkan. Namun, ketika berkaitan dengan kehormatan Tuhan Yang maha Esa dan yel-yel syirk diteriakkan di lapangan, seketika itu juga ruh beliau (saw) gelisah lalu dengan penuh gejolak Rasulullah (saw) bersabda kepada para sahabat, ‘Kenapa kalian tidak menjawabnya?’

Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah (saw), apa yang harus kami katakan?’

Beliau (saw) bersabda, ‘Katakanlah, “Allahu a’la wa ajall! Allahu a’la wa ajall! Kalian telah berdusta dengan mengatakan keagungan Hubal semakin menjulang. Allah wahdahu laa syariika lahu – Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya-lah yang Maha Mulia. Keagungan-Nya-lah yang Maha unggul.”’

Dengan demikian, beliau (saw) pun mengabarkan kepada musuh bahwa beliau masih hidup. Jawaban yang tegas dan berani ini begitu memberikan dampak dahsyat terhadap pasukan musuh sehingga meskipun dengan jawaban dari pihak Muslim tersebut membuat harapan mereka telah luluh lantak dan di hadapan mereka pasukan Muslim yang tinggal segelintir dan terluka masih berdiri di dekat mereka, namun mereka tidak berani untuk menyerang lagi pasukan Muslim untuk menghabisi pasukan Muslim padahal jika mereka menyerang pasukan Muslim untuk menghabisi mereka sangatlah mungkin dari sisi duniawi. Puas dengan kemenangan yang telah mereka raih, mereka pulang ke Makkah sambil meluapkan kegembiraan mereka.”[62]

Diriwayatkan dari Hadhrat Aisyah (ra) bahwa ayat berikut ini, الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ adalah berkenaan dengan para sahabat. Ayat tersebut artinya, “Orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat luka. Orang-orang yang berbuat kebajikan dan bertakwa di antara mereka, bagi mereka ada ganjaran yang besar.” (Al-Qur’an, Surah Ali Imran, 3:173) Hadhrat Aisyah (ra) berkata kepada Urwah putra Zubair,يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ أَبُوكَ مِنْهُمُ الزُّبَيْرُ وَأَبُو بَكْرٍ، لَمَّا أَصَابَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا أَصَابَ يَوْمَ أُحُدٍ، وَانْصَرَفَ عَنْهُ الْمُشْرِكُونَ خَافَ أَنْ يَرْجِعُوا قَالَمَنْ يَذْهَبُ فِي إِثْرِهِمْ “. فَانْتَدَبَ مِنْهُمْ سَبْعُونَ رَجُلاً، قَالَ كَانَ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَالزُّبَيْرُ “Wahai putra saudariku (keponakanku)! Ayahmu Zubair (ra) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) juga termasuk di antara orang-orang yang ketika Rasulullah (saw) terluka di perang Uhud dan orang-orang Musyrik mundur, maka beliau (saw) merasa khawatir bahwa mereka akan datang kembali.”

Beliau (saw) bersabda, “Siapa yang akan mengejar mereka?”

Atas hal itu, 70 orang di antara mereka mengajukan diri. Urwah menuturkan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Zubair (ra) juga termasuk di antara mereka.[63]

Mengenai hal ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menulis, “Ini adalah suatu hal yang menakjubkan, bahwa meskipun pada kesempatan tersebut Quraisy meraih kemenangan atas orang-orang Islam dan dari sisi sarana-sarana lahiriah, jika mereka mau, mereka bisa memanfaatkan kemenangan tersebut dan terbuka jalan bagi mereka untuk menyerang Madinah. Namun dengan kekuasaan Allah Ta’ala, meskipun dalam posisi meraih kemenangan, hati orang-orang Quraisy diliputi ketakutan dan dengan menganggap kemenangan yang mereka raih di medan Uhud itu sebagai ghanimah, mereka merasa lebih tepat untuk kembali ke Makkah sesegera mungkin.[64]

Meskipun demikian, sebagai tindakan kewaspadaan, Hadhrat Rasulullah (saw) segera menyiapkan sekelompok sahabat yang berjumlah 70 orang, yang di dalamnya termasuk Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Zubair (ra), dan mengirimkan mereka untuk mengikuti laskar Quraisy. Ini adalah riwayat Bukhari.[65]

Para sejarawan secara umum meriwayatkan bahwa beliau (saw) mengutus Hadhrat Ali (ra) dan menurut sebagian riwayat Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) untuk mengikuti mereka dan bersabda kepada beliau, ‘Dapatkanlah informasi, apakah mereka berniat menyerang Madinah atau tidak.’

Beliau (saw) bersabda kepadanya, ‘Jika Quraisy menunggangi unta dan membiarkan kuda-kuda tanpa muatan, hendaknya ini dipahami bahwa mereka sedang kembali ke Makkah dan tidak memiliki niatan untuk menyerang Madinah. Jika mereka menunggangi kuda, hendaknya dipahami bahwa niat mereka tidak baik.’ Beliau (saw) menekankan bahwa jika kaum Quraisy mengarah ke Madinah, maka segera beritahu beliau (saw) dan dengan penuh ghairat beliau (saw) bersabda, ‘Jika Quraisy saat ini telah menyerang Madinah, maka demi Allah! Kita akan menghadapi mereka dan membuat mereka merasakan serangan ini.’

Bagaimanapun, delegasi yang pergi tersebut segera pulang kembali dengan membawa kabar bahwa laskar Quraisy tengah berjalan menuju Makkah. ”[66]

Kisah ini masih akan berlanjut pada kesempatan yang akan datang.[67]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُوَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُعِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَأُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin (ماخوذ از سیرت خاتم النبیین ؐ صفحہ269) atau Seal of the Prophets – Volume II, Construction of Masjid-e-Nabawī.

[2] Al-Mawaahib al-Laduniyyah, Penerbit al-Maktab al-Islami, 2004 (المواہب اللدنیہ جلد1 صفحہ316، بناء المسجد النبوی، مطبوعہ المکتب الاسلامی2004ء)

[3] Subulul Huda war Rasyaad (سبل الهدى والرشاد، في سيرة خير العباد، وذكر فضائله وأعلام نبوته وأفعاله وأحواله في المبدأ والمعاد) karya Muhammad bin Yusuf ash-Shaalih asy-Syaami (محمد بن يوسف الصالحي الشامي) berasal dari ath-Thabrani dalam al-Kabir (أخرجه الطبراني في الكبير 1 / 163 وذكره الهيثمي في المجمع 9 / 76). Tercantum dalam as-Sirah al-Halbiyah (نام کتاب : السيرة الحلبية نویسنده : أبو الفرج الحلبي الشافعي جلد : 2 صفحه : 90), bab (الهجرة إلى المدينة): ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر باتخاذ اللبن فاتخذ وبنى المسجد» وجاء «أنه صلى الله عليه وسلم عند الشروع في البناء وضع لبنة، ثم دعا أبا بكر فوضع لبنة أي بجانب لبنته صلى الله عليه وسلم، ثم دعا عمر فوضع لبنة بجانب لبنة أبي بكر، ثم جاء عثمان فوضع لبنة بجانب لبنة عمر .

[4] as-Sirah al-Halbiyah (السیرۃ الحلبیہ جلد2۔ باب الہجرۃ صفحہ 90 دارالکتب العلمیۃ بیروت2002); Al-Mu’jamul Kabir (المعجم الكبير » باب الألف » من اسمه أسامة » أسامة بن عمير الهذلي » باب ما جاء في لبس العمائم والدعاء وغير ذلك). tercantum juga dalam Majma’uz Zawaid (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد); (كتاب وفاء الوفاء بأخبار دار المصطفى) karya as-Samhudi (السمهودي), (باب ما عمل من الخير من الزيادة في المسجد وغير ذلك), (أبواب ما جاء في مناقب عثمان بن عفان رضي الله عنه)
 
الباب الرابع فيما يتعلق بأمور مسجدها الأعظم النبوي الفصل الأول في أخذه صلى الله عليه وسلم لموضع مسجده الشريف، وكيفية بنائه زيادة النبي في مسجده

[5] Justeju Madinah ماخوذ از جستجوئے مدینہ صفحہ 446اورینٹل پبلی کیشنز پاکستان

[6] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d الطبقات الکبریٰ لابن سعد الجزء الثالث صفحہ 93 ’ابوبکر الصدیق‘ومن بنی تیم بن مرَّۃ بن کعب۔داراحیاء التراث العربی بیروت 1996ء)

[7] Al-Ishabah (الاصابۃ فی معرفۃ الصحابۃ جلد 2صفحہ190، خارجہ بن زید، دار الکتب العلمیۃ بیروت 2005ء)

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الکبریٰ لابن سعد الجزء الثالث صفحہ 93 ’ابوبکر الصدیق‘ومن بنی تیم بن مرَّۃ بن کعب۔داراحیاء التراث العربی بیروت 1996ء).

[9] Tarikh Dimasyq al-Kabir karya Ibnu Asakir (تاریخ دمشق الکبیر لابن عساکر جلد 16 جزء 32 صفحہ 63 عبد اللّٰہ بن عثمان بن قحافہ۔ دار احیاء التراث العربی بیروت 2001ء) karya Abul Qasim ‘Ali bin Hasan ibnu Asakir ad-Dimasyqi (أبي القاسم علي بن الحسن/ابن عساكر الدمشقي): عن محمد بن عمر بن علي: آخى رسول الله صلى الله عليه وسلم بمكة بين أبي بكر الصديق وعمر بن الخطاب، فلما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة نقض تلك المؤاخاة إلا اثنتين: المؤاخاة التي بينه وبين علي بن أبي طالب، والتي بين حمزة بن عبد المطلب، وزيد بن حارثة .

[10] Irsyadus Saari li Syarh Shahih al-Bukhari (إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري 1-15 ج8) karya Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani (شهاب الدين أبي العباس أحمد بن محمد/القسطلاني), bab bagaimana Nabi mempersaudarakan (بَابُ كَيْفَ آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ), Vol. 8, pp. 410-411, Hadith 3937, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996; tercantum juga dalam ‘Uyuunul Atsar (السيرة النبوية كما في عيون الأثر), persaudaraan antara Muhajir dan Anshar (المؤاخاة بين المهاجرين والأنصار),

[11] Irsyadus Saari syarh Shahih al-Bukhari (ماخوذ از ارشاد الساری شرح صحیح بخاری جزء7صفحہ133حدیث نمبر3937دار الفکر 2010ء); Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, bab persaudaraan Muhajirin dan Anshar (ذِكْرِ مُؤَاخَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ): عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَحْيَى بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ (ح) وَحَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالُوا : لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم الْمَدِينَةَ آخَى بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ بَعْضَهُمْ لِبَعْضٍ ، وَآخَى بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ آخَى بَيْنَهُمْ عَلَى الْحَقِّ وَالْمُؤَاسَاةِ وَيَتَوَارَثُونَ بَعْدَ الْمَمَاتِ دُونَ ذَوِي الأَرْحَامِ ، وَكَانُوا تِسْعِينَ رَجُلاَّ : خَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينِ ، وَخَمْسَةٌ وَأَرْبَعُونَ مِنَ الأَنْصَارِ ، وَيُقَالُ : كَانُوا مائَةً ؛ خَمْسُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينِ ، وَخَمْسُونَ مِنَ الأَنْصَارِ ، وَكَانَ ذَلِكَ قَبْلَ بَدْرٍ ، فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ بَدْرٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : { وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} فَنَسَخَتْ هَذِهِ الآيَةُ مَا كَانَ قَبْلَهَا ، وَانْقَطَعَتِ الْمُؤَاخَاةُ فِي الْمِيرَاثِ ، وَرَجَعَ كُلُّ إِنْسَانٍ إِلَى نَسَبِهِ وَوَرِثَهُ ذَوُو رَحِمِهِ. .

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 20)

[12] Sirat Khataman Nabiyyin (سیرت خاتم النبیینؐ صفحہ 349)

[13] as-Sirah al-Halbiyah, (السيرة الحلبية = إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون), Ghazwah Badr (غزوة بدر الكبرى), jilid 2, h. 204, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002 (ماخوذ از السیرة الحلبیہ باب ذکر مغازیہ جلد2صفحہ204دارالکتب العلمیۃ بیروت2002ء): وكان أبو بكر وعمر وعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنهم يعتقبون بعيرا .

[14] Imta’ul Asma (إمتاع الأسماع بما للنبي (ص) من الأحوال والأموال والحفدة والمتاع 1-15 ج1) karya al-Maqrizi (أبي العباس تقي الدين أحمد بن علي/المقريزي). Tercantum juga dalam al-Jawaab ash-Shahih li-man baddala dinal Masih (الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح 1-2 ج2) karya Ibnu Taimiyah (تقي الدين أبي العباس أحمد الحراني/ابن تيمية); Subulul Huda (نام کتاب : سبل الهدى والرشاد نویسنده : الصالحي الشامي    جلد : 4  صفحه : 26); Al-Bidayah wan Nihayah bagian ketiga (البداية والنهاية – الجزء الثالث) karya Ibnu katsir (ابن كثير), bab ghazwah Badr al-‘Uzhma (غزوة بدر العظمى يوم الفرقان يوم التقى الجمعان).

[15] Syarh Nahjil Balaghah karya Ibnu Abil Hadid (شرح نهج البلاغة – ابن أبي الحديد – ج ١٤ – الصفحة ١١٢): قال الواقدي: برك الغماد من وراء مكة بخمس ليال من وراء الساحل مما يلي البحر، وهو على ثمان ليال من مكة إلى اليمن . Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان), (بِرْكُ الغِمَادِ): بكسر الغين المعجمة، وقال ابن دريد: بالضم، والكسر أشهر، وهو موضع وراء مكة بخمس ليال مما يلي البحر .

[16] as-Sirah al-Halbiyah (نام کتاب : السيرة الحلبية نویسنده : أبو الفرج الحلبي الشافعي جلد : 2 صفحه : 206), bab dzikr Maghazi, jilid 2, h. 205-206, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah (السیرة الحلبیہ باب ذکر مغازیہ جلد2صفحہ205-206دارالکتب العلمیۃ بیروت2002ء): النبي (صلى اللّه عليه و سلم) أصحابه و أخبرهم الخبر: أي قال لهم إن القوم قد خرجوا من مكة على كل صعب و ذلول أي مسرعين، فما تقولون؟ العير أحب إليكم من النفير؟ فقالوا: بلى، أي قالت ذلك طائفة منهم العير أحب إلينا من لقاء العدو. و في رواية هلا ذكرت لنا القتال حتى نتأهب له، إنا خرجنا للعير و في رواية «يا رسول اللّه عليك بالعير ودع العدو، فعند ذلك تغير وجه رسول اللّه (صلى اللّه عليه و سلم)» و قد روي ذلك عن أبي أيوب رضي اللّه عنه في سبب نزول قوله تعالى‌ كَما أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَ إِنَّ فَرِيقاً مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكارِهُونَ. Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان جلد اول صفحہ 475 دار الکتب العلمیۃ بیروت)

[17] as-Sirah al-Halbiyah (نام کتاب : السيرة الحلبية نویسنده : أبو الفرج الحلبي الشافعي جلد : 2 صفحه : 207), Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002 (السیرة الحلبیة جلد 2 صفحہ 207، ذکر مغازیہ۔ دار الکتب العلمیة بیروت 2002ء): ثم ارتحل رسول اللّه (صلى اللّه عليه و سلم) من ذفران حتى نزل قريبا من بدر، فركب (صلى اللّه عليه و سلم) هو و أبو بكر رضي اللّه عنه، أي و قيل بدل أبي بكر قتادة بن النعمان، و قيل معاذ بن جبل حتى وقفا على شيخ من العرب . As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام) pada bab (الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ يَتَعَرَّفَانِ أَخْبَارَ قُرَيْشٍ), (السیرۃ النبویۃ لابن ہشام صفحہ 421، غزوۃ بدر الکبریٰ، ذکر الرسولؐ وابوبکر یتعرفان اخبار قریش، دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001ء): ثُمَّ ارْتَحَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَفِرَانَ، فَسَلَكَ عَلَى ثَنَايَاقَالَ ابْنُ هِشَامٍ: الرَّجُلُ هُوَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ.

[18] Tarikh Makkah (تاريخ مكة المكرمة والدعوة الإسلامية فيها), (هاشم يحيى الملاح ،الأستاذ الدكتور); Sirah an-Nabawiyah (اسم الکتاب : السيرة النبوية – ط دار المعرفة المؤلف : ابن هشام الحميري الجزء : 1 صفحة : 628), (رَمْيُ الرَّسُولِ لِلْمُشْرِكِينَ بِالْحَصْبَاءِ): فَلَمَّا وَضَعَ الْقَوْمُ أَيْدِيَهُمْ يَأْسِرُونَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعَرِيشِ، وَسَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ قَائِمٌ عَلَى بَابِ الْعَرِيشِ، الَّذِي فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مُتَوَشِّحَ السَّيْفِ، فِي نَفَرٍ مِنْ الْأَنْصَارِ يَحْرُسُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخَافُونَ عَلَيْهِ كَرَّةَ الْعَدُوِّ .

[19] Tarikh al-Khulafa karya as-Suyuthi (تاريخ الخلفاء للسيوطي ص36 و 37، ومجمع الزوائد ج9 ص47 وقال: فيه من لم أعرفه، والبداية والنهاية ج3 ص271 و 272 عن البزار وحياة الصحابة ج1 ص261 عنهما، والسيرة الحلبية ج2 ص156 والفتح المبين لدحلان بهامش سيرته النبوية ج1 ص122، وعن الرياض النضرة ج1 ص92). Tercantum dalam as-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية/باب يذكر فيه حراسه قبل أن ينزل عليه قوله تعالى والله يعصمك من الناس), bab (باب يذكر فيه حراسه قبل أن ينزل عليه قوله تعالى والله يعصمك من الناس): وفي كلام بعضهم أن سعد بن معاذ رضي الله تعالى عنه كان مع أبي بكر رضي الله عنه في العريش يحرسانه في بدر .

[20] Sirat Khatamun Nabiyyin (سیرت خاتم النبیین ﷺ صفحہ 357); Subulul Huda (سبل الھدیٰ جلد11 صفحہ398 دار الکتب العلمیۃ بیروت 1993ء).

[21] as-Sirah al-Halbiyah (السیرۃ الحلبیہ جلد2 صفحہ214 باب ذکر مغازیہﷺ دارالکتب العلمیۃ بیروت2002ء); Ash-Shiddiq karya Doktor ‘Ali Muhammad ash-Shalabi (أبوبکر الصديق شخصيته وعصره للدکتور علي محمد الصلابي ص38 دار ابن کثير بيروت 2003ء). al-Bidayah (البداية والنهاية) dan as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Katsir (السيرة النبوية – ابن كثير – ج ٢ – الصفحة ٤١١) dan Tarikhul Khulafa karya Imam As-Suyuthi (تاريخ الخلفاء، جلال الدين السيوطي). tercantum juga dalam Musnad al-Bazzaar (مسند البزار), Musnad ‘Ali bin Abi Thalib (مسند علي بن أبي طالب رضي الله عنه ), Riwayat Rabi’ah bin Najid nomor 689 (ومما روى ربيعة بن ناجد عن علي بن أبي طالب حديث رقم 689). Fadhail Khulafa-ir Rasyidin karya Abu Nu’aim (فَضَائِلُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ لِأَبِي نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيِّ برقم(237 )); Mausu’ah Fiqhil Ibtila (موسوعة فقه الابتلاء) karya Ali bin Nayif asy-Syuhud (علي بن نايف الشحود). Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi dalam kitabnya “Hayatush Shahabah” menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib, dari ‘Ali (ra) riwayat serupa. Tercantum dalam kitab al-Bidayah (Juz 3, hal. 271). Al-Haitsami (Juz 9, hal 47). Sumber terjemahan: Tarikh Khulafa: Sejarah Para Khalifah/ Penulis: Imam As-Suyuthi/ Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, 2000. http://www.jalansirah.com/ali-beritahukan-kepadaku-siapa-manusia-yang-paling-berani.html dan https://republika.co.id/berita/qdthy0320/sosok-sahabat-paling-pemberani-menurut-ali-bin-abi-thalib

[22] Tafsir Kabir jilid 7 halaman 364-364 (تفسیر کبیر جلد 7صفحہ364-365)

[23] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Jihād Was-Siyar (كتاب الجهاد والسير), Bābu Mā Qīla Fī Dir‘in-Nabiyyi sa Wal-Qamīṣi Fil-Ḥarb (باب مَا قِيلَ فِي دِرْعِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَالْقَمِيصِ فِي الْحَرْبِ), Ḥadīth No. 2915: عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ـ رضى الله عنهما ـ قَالَ .

[24] Shahih Muslim, Kitabul Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), babul Imdādi Bil-Malā’ikati Fī Ghazwati Badr (باب الإِمْدَادِ بِالْمَلاَئِكَةِ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ وَإِبَاحَةِ الْغَنَائِمِ).

[25] Tārīkhur-Rusuli Wal-Mulūk (Tārīkhuṭ-Ṭabarī), By Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Volume 3, pp. 34-35, Thumma Dakhalatis-Sanatuth-Thāniyatu Minal-Hijrah / Dhikru Waq‘ati Badril-Kubrā, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002); * Al-Mustadraku ‘Alaṣ-Ṣaḥīḥaini, By Ḥafiẓ Muḥammad bin ‘Abdillāh, Volume 3, p. 433, Kitābu Ma‘rifatiṣ-Ṣaḥābatisa Dhikru Manāqibi Abī Ḥudhaifah, Ḥadīth 5057, Dārul-Fikr Beirut (2002); (اسم الکتاب : السيرة النبوية – ط دار المعرفة المؤلف : ابن هشام الحميري الجزء : 1 صفحة : 629), (نَهْيُ النَّبِيِّ أَصْحَابَهُ عَنْ قَتْلِ نَاسٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ): عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ يَوْمَئِذٍ: إنِّي قَدْ عَرَفْتُ أَنَّ رِجَالًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَغَيْرِهِمْ قَدْ أَخْرَجُوا كُرْهًا، لَا حَاجَةَ لَهُمْ بِقِتَالِنَا، فَمَنْ لَقِيَ مِنْكُمْ أَحَدًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَلَا يَقْتُلْهُ، وَمَنْ لَقِيَ أَبَا الْبَخْتَرِيِّ بْنَ هِشَامِ بْنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَسَدٍ فَلَا يَقْتُلْهُ، وَمَنْ لَقِيَ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا يَقْتُلْهُ، فَإِنَّهُ إنَّمَا أُخْرِجَ مُسْتَكْرَهًا .

[26] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Jihād Was-Siyar (كتاب الجهاد والسير), Bābu Mā Qīla Fī Dir‘in-Nabiyyi sa Wal-Qamīṣi Fil-Ḥarb (باب مَا قِيلَ فِي دِرْعِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَالْقَمِيصِ فِي الْحَرْبِ), Ḥadīth No. 2915.

[27] Shahih Muslim, Kitabul Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), babul Imdādi Bil-Malā’ikati Fī Ghazwati Badr (باب الإِمْدَادِ بِالْمَلاَئِكَةِ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ وَإِبَاحَةِ الْغَنَائِمِ).

[28] Shahih Muslim, Kitabul Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), babul Imdādi Bil-Malā’ikati Fī Ghazwati Badr (باب الإِمْدَادِ بِالْمَلاَئِكَةِ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ وَإِبَاحَةِ الْغَنَائِمِ). Sunanut-Tirmidhī, Kitābu Tafsīril-Qur’ān, Bābu Wa Min Sūratil-Anfāl, Ḥadīth No. 3081

[29] Sunan al-Kubra karya an-Nasai (السنن الكبرى للنسائي كتاب عمل اليوم والليلة الاستنصار عند اللقاء)

[30] Shahih Muslim, Kitabul Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), babul Imdādi Bil-Malā’ikati Fī Ghazwati Badr (باب الإِمْدَادِ بِالْمَلاَئِكَةِ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ وَإِبَاحَةِ الْغَنَائِمِ). Doa lengkapnya ialah, اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ “Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam ini dibinasakan, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini.”

اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ “Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam ini dibinasakan, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini.”

[31] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A. dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, h.360-361 (سیرت خاتم النبیین ﷺ صفحہ 360-361)

[32] Siratun Nabi (saw), Anwarul ‘Uluum 1, h. 466-467 (سیرة النبیﷺ، انوار العلوم جلد 1 صفحہ 466-467)

[33] Barahin Ahmadiyah bagian ke-5, Ruhani Khazain jilid 21, halaman 256 (براہین احمدیہ حصہ پنجم، روحانی خزائن جلد21صفحہ 255-256)

[34] Sayyidina Abu Bakr Shiddiq karya ‘Ali Muhammad Shalabi, terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Urdu, (سیدنا ابوبکر صدیقؓ، شخصیت اور کارنامے از علی محمد صلابی، صفحہ 108-109مکتبہ الفرقان پاکستان)

[35] Tafsir Kabir jilid ke-9 (تفسیر کبیر جلد نہم صفحہ 588)

[36] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A. dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, h. 367-368 (سیرت خاتم النبیین ﷺ صفحہ 367-368)

[37] Shahih al-Bukhari (صحیح البخاری كتاب مناقب الأنصار بَابُ مَقْدَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ الْمَدِيْنَةَ،حدیث: 3926); Syarh az-Zurqani (شَرْحُ الزَّرْقَانِیْ جلد 2 صفحہ 172 دار الکتب العلمیۃ بیروت 1996ء). Tercantum juga dalam Al-Adab Al-Mufrad Lil Bukhari, bab Maa Yaquulu Lil Maridh (bab tentang apa yang hendaknya dibicarakan dengan orang sakit).

[38] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A. dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, h. 483-484 (ماخوذ از سیرت خاتم النبیین ؐ صفحہ 483-484)

[39] Sirah Ibn Hisyam atau as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (سيرة ابن هشام المسمى بـ «السيرة النبوية), bahasan erang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ), bab ru-ya RasuluLlah (saw) (رُؤْيَا رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ).

[40] Ar-Raudh al-Unuf atau Taman nan Indah mengenai penjelasan Sirah ibn Hisyam (الروض الأنف في شرح السيرة النبوية لابن هشام) karya Imam as-Suhaili (عبد الرحمن بن عبد الله بن أحمد بن أبي الحسن الخثعمي السهيلي – عبد الملك بن هشام), bahasan mengenai perang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ).

[41] Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab al-Khashaish al-Kubra (الخصائص الكبرى للسيوطي), bab Tanda-Tanda dan Mukjizat yang terjadi di Perang Uhud (بَاب مَا وَقع فِي غَزْوَة أحد من الْآيَات والمعجزات)

[42] Sirah Ibn Hisyam atau as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (سيرة ابن هشام المسمى بـ «السيرة النبوية), bahasan perang Uhud (غَزْوَةُ أُحُدٍ), bab ru-ya RasuluLlah (saw) (رُؤْيَا رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ).

[43] Dalailun Nubuwwah (دلائل النبوة ومعرفة أحوال صاحب الشريعة) karya al-Baihaqi (أحمد بن الحسين بن علي بن موسى الخُسْرَوْجِردي الخراساني، أبو بكر البيهقي (المتوفى: 458هـ)), kumpulan bab perang Uhud (جُمَّاعُ أَبْوَابِ غَزْوَةِ أُحُدٍ), yang Rasulullah (saw) lihat dalam mimpinya (بَابُ ذِكْرِ مَا أُرِيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَنَامِهِ مِنْ شَأْنِ الْهِجْرَةِ وَأُحُدٍ، وَمَا جَاءَ اللهُ بِهِ مِنَ الْفَتْحِ بَعْدُ).

[44] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 2, pp. 392-393, Ghazwatu Uḥudin, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 268, Ghazwatu Rasūlillāhisa Uḥudan, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996). Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab al-Khashaish al-Kubra.

[45] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 523, Ghazwatu Uḥudin, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001); Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 268, Ghazwatu Rasūlillāhi sa Uḥudan, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[46] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 268, Ghazwatu Rasūlillāhisa Uḥudan, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 2, pp. 395-397, Ghazwatu Uḥudin, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[47] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-I‘tiṣāmi Bil-Kitābi Was-Sunnati, Bābu Qaulillāhi Ta‘ālā Wa Amruhum Shūrā Bainahum…..

[48] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A. dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, h. 484-486 (ماخوذ از سیرت خاتم النبیین ؐ صفحہ 484تا486). Rujukan berdasarkan Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 268, Ghazwatu Rasūlillāhi sa Uḥudan, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996). Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim (تفسير القرآن العظيم) atau Tafsir Ibnu Katsir bahasan Surah Ali Imran ayat 121. Tercantum juga dalam as-Sirah an-Nabawiyyah minal Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir (السيرة النبوية من البداية والنهاية لابن كثير), bab (سنة ثَلَاث من الْهِجْرَة فِي أَوَّلِهَا كَانَتْ غَزْوَةُ نَجْدٍ وَيُقَالُ لَهَا غَزْوَةُ ذِي أَمَرَّ).

[49] Syarh az-Zurqani ‘alal Mawahib (شرح زرقانی علی المواہب اللدنیہ جلد 2 صفحہ 404 غزوۃ احد دارالکتب العلمیۃ بیروت 1996ء)

[50] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A. dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, h. 489 (سیرت خاتم النبیین ؐ صفحہ489)

[51] Tarikh ath-Thabari (ماخوذ از تاریخ الطبری لابی جعفر محمد بن جریر طبری غزوہ احد جلد 3 صفحہ 70دار الفکر بیروت 2002ء)

[52] Al-Ishabah (الاصابہ جزء 3 صفحہ 431دارالکتب العلمیۃ بیروت 2005ء)

[53] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Idh Hammat Ṭā’ifatāni Minkum….., Ḥadīth No. 4064.

[54] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Idh Hammat Ṭā’ifatāni Minkum….., Ḥadīth No. 4055.

[55] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, pp. 534-535, Sha’nu ‘Āṣim ibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001); * Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 2, p. 431, Ghazwatu Uḥud, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[56] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Idh Hammat Ṭā’ifatāni Minkum….., Ḥadīth No. 4063.

[57] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Idh Hammat Ṭā’ifatāni Minkum….., Ḥadīth No. 4060, 4061.

[58] Sirat Khataman Nabiyyin (سیرت خاتم النبیین ؐ صفحہ495-496) karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra).

[59] Subulul Huda war Rasyaad (سبل الہدیٰ جلد 4 صفحہ 199-200 غزوہ احد۔ دارالکتب العلمیۃ بیروت1993ء); Lughatul Hadits (لغات الحدیث زیر لفظ رباعی نعمانی کتب خانہ لاہور 2005ء);  Kitab Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال), (غزوة أحد), 30025: {مسند الصديق} عن عائشة قالت: كان أبو بكر إذا ذكر يوم أحد بكى ثم قال: ذاك كان كله يوم طلحة ثم أنشأ يحدث قال: كنت أول من فاء يوم أحد فرأيت رجلا يقاتل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم دونه وأراه قال يحميه فقلت كن طلحة حيث فاتني ما فاتني، فقلت يكون رجلا من قومي أحب إلي وبيني وبين المشرق رجل لا أعرفه وأنا أقرب إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم منه، وهو يخطف المشي خطفا لا أعرفه فإذا هو أبو عبيدة بن الجراح فانتهينا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد كسرت رباعيته وشج في وجهه وقد دخل في وجنته حلقتان من حلق المغفر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عليكما صاحبكما يريد طلحة.  (ط) وابن سعد وابن السني والشاشي والبزار، (طس، طب، قط) في الأفراد وأبو نعيم في المعرفة، (كر، ض).

[60] Syarh az-Zurqani (شرح زرقانی جلد 2صفحہ 425غزوہ احد۔ دارالکتب العلمیۃ بیروت 1996ء)

[61] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), Bab perang Uhud (باب غزوة أحد); Sahih Al-Bukhari, Kitab-ul-Jihad Was Sair (كتاب الجهاد والسير), bab hal yang makruh (dibenci) terjadi pertengkaran dan pertentangan pendapat dalam peperangan serta hukuman bagi yang memecahkan tongkat komando kepemimpinan (باب مَا يُكْرَهُ مِنَ التَّنَازُعِ وَالاِخْتِلاَفِ فِي الْحَرْبِ وَعُقُوبَةِ مَنْ عَصَى إِمَامَهُ), Hadith no. 3039; Fathul Bari syarh atau uraian atas Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري) karya Ibn Hajar al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر العسقلاني).).

[62] Debacha Tafsirul Quran ([دیباچہ تفسیرالقرآن، انوارالعلوم جلد20صفحہ 52تا 253], Pengantar Mempelajari Al-Qur’an), Anwarul Ulum, Vol 20, pp. 252-253. Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), Bab perang Uhud (باب غزوة أحد); Sahih Al-Bukhari, Kitab-ul-Jihad Was Sair, Hadith no. 3039; Fathul Bari syarh atau uraian atas Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري) karya Ibn Hajar al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر العسقلاني).).

[63] Sahih al-Bukhari 4077, Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab tentang mereka yang menanggapi seruan Allah dan Rasul (باب {الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ})

[64] Tārīkhur-Rusuli Wal-Mulūk (Tārīkhuṭ-Ṭabarī), By Abū Ja‘far Muḥammad bin Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Volume 3, p. 76, Thumma Dakhalatis-Sanatuth-Thālithatu Minal-Hijrah / Ghazwatu Uḥud, Dārul-Fikr, Beirut, Lebanon, Second Edition (2002) * As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 542, Sha’nu ‘Āṣim ibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001).

[65] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Alladhīnastajābū Lillāhi Warrasūli, Ḥadīth No. 4077.

[66] Seal of the Prophets – Volume II (سیرت خاتم النبیین ﷺ صفحہ 499-500)

[67] Al-Fadhl International 11 Februari 2022 (الفضل انٹرنیشنل 11؍فروری 2022ء صفحہ5تا10) (https://www.alfazl.com/2022/02/06/40674/)

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.