Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam(Manusia-Manusia Istimewa seri 115, Khulafa’ur Rasyidin Seri 21)
Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 11 Juni 2021 (Ihsan 1400 Hijriyah Syamsiyah/30 Syawal 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Pembahasan mengenai salah seorang Khalifah dari Khulafa’ur Rasyidin (Para Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) yaitu Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab (عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
- Quraisy Melanggar Perjanjian Hudaibiyah & Peran ‘Umar (ra) dalam Penaklukan Makkah
- Hadhrat ‘Umar (ra) Diberikan Bendera Selama Pertempuran Khaibar
- Peran Umar (ra) di Perang Tabuk
- Sikap Hadhrat ‘Umar (ra) atas Wafatnya Nabi (saw)
- Dalil Semua Nabi Sebelum Rasulullah (as) telah Wafat, termasuk Nabi Isa
- Peristiwa-Peristiwa Setelah Kewafatan Rasulullah
- Peran Umar Dalam Mengusulkan Pengumpulan Naskah Al-Qur’an
Kompilasi Al-Qur’an Dimulai atas gagasan Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Khalifah Abu Bakr (ra) yang kemudian Khalifah memerintahkan Hadhrat Zaid bin Tsabit (ra) untuk melakukannya.
Pembahasan kejadian-kejadian dari kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) insya Allah dilanjutkan di Jumat-Jumat mendatang.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Quraisy Melanggar Perjanjian Hudaibiyah & Peran ‘Umar (ra) dalam Penaklukan Makkah
Pada khotbah yang lalu berkenaan dengan Hadhrat ‘Umar (ra) disebutkan juga mengenai perjanjian Hudaibiyah. Mengenai hal ini disebutkan juga bahwa ketika Banu Bakr, sekutu (konfederasi atau teman) kaum Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah dengan menyerang kabilah Banu Khuza’ah yang merupakan sekutu Muslim. Kaum Quraisy juga membantu Banu Bakr dengan persenjataan dan hewan-hewan tunggangan dan mengabaikan syarat-syarat perjanjian Hudaibiyah. Atas hal itu, pada waktu itu Abu Sufyan (Pemimpin Makkah) datang ke Madinah dan menghendaki untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Ia datang kepada Rasulullah (saw), namun beliau (saw) tidak menanggapi permintaannya.
Kemudian ia datang kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan meminta beliau (ra) supaya berbicara dengan Rasulullah (saw), namun beliau (ra) mengatakan, “Saya tidak akan melakukan itu.”
Kemudian Abu Sufyan datang kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dan berbicara dengan beliau (ra). Beliau (ra) menjawab, “Apakah saya harus merekomendasikan anda kepada Rasulullah (saw)? Demi Allah! Bahkan jika saya hanya memiliki satu ranting, saya akan memerangi kalian dengan itu.”
Dalam membahas mengenai Fatah Makkah (penaklukan kota Makkah oleh pasukan Muslim dari arah Madinah), Doktor Ali bin Salabi menulis, “Ketika Rasulullah (saw) telah sampai di Mar Al-Zhahran, maka Abu Sufyan mulai mengkhawatirkan dirinya sendiri. Paman Hadhrat Rasulullah (saw), Hadhrat Abbas (ra) memberikan saran kepadanya supaya memohon jaminan perlindungan kepada Rasulullah (saw).
Hadhrat Abbas (ra) meriwayatkan, ‘Saya mengatakan kepada Abu Sufyan, “Situasinya tidak baik untukmu. Lihatlah! Rasulullah (saw) ada di antara orang-orang.”’
Abu Sufyan berkata, ‘Ayah dan ibuku berkorban untukmu. Apa cara untuk terhindar dari ini?’
Saya mengatakan, ‘Demi Allah! Jika mereka menangkapmu, pasti mereka akan membunuhmu. Naiklah bagal (keledai) di belakangku, aku akan membawamu kepada Rasulullah (saw) dan kemudian aku akan memohon perlindungan untukmu.’
Hadhrat Abbas (ra) menuturkan, ‘Ia naik di belakang saya. Ketika saya melewati salah satu api unggun kaum Muslimin, mereka bertanya, “Siapa ini?” Waktu itu malam hari sehingga dinyalakan banyak api unggun. Ketika mereka melihat bagal Rasulullah (saw) dan saya menungganginya maka mereka mengatakan bahwa paman Rasulullah (saw) di atas bagal beliau (saw).
Hingga ketika saya melewati api unggun Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra), beliau (ra) bertanya, ‘Siapa ini?’ dan berdiri di samping saya. Ketika beliau (ra) melihat Abu Sufyan, beliau (ra) mengatakan, ‘Ini adalah Abu Sufyan, musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemenangan atasmu tanpa suatu perjanjian apa pun.’[1]
Kemudian Hadhrat Abbas (ra) datang ke hadapan Hadhrat Rasulullah (saw) sambil membawa Abu Sufyan dan Hadhrat ‘Umar (ra) pun ikut masuk menghadap Rasulullah (saw) dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah (saw)! Izinkanlah saya untuk menebas lehernya.’
Hadhrat Abbas (ra) berkata, “Ya Rasulullah (saw)! Saya telah memberikan perlindungan kepadanya.” Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) terus bersikeras atas permintaannya maka saya mengatakan, “Wahai ‘Umar! Hentikanlah! Demi Allah, jika ia berasal dari Bani ‘Adi maka engkau tidak akan berkata seperti itu dan engkau tahu ia berasal dari Bani Abdu Manaf.”
Atas hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) mengatakan, “Wahai Abbas! Hentikanlah! Demi Allah, aku sedemikian rupa merasa senang ketika engkau menerima Islam sehingga jika ayahku Al-Khaththab beriman pun aku tidak akan merasa sesenang itu dan aku mengetahui Rasulullah (saw) lebih menyukai berimannya engkau dibandingkan masuk Islamnya Al-Khaththab jika ia masuk Islam.”
Setelah itu Rasulullah (saw) bersabda, “Wahai Abbas (ra)! Bawalah Abu Sufyan bersamamu dan datanglah pada pagi hari.”[2]
Singkatnya, inilah perbincangan yang berlangsung antara Hadhrat ‘Umar (ra) dengan Hadhrat Abbas (ra) dan akhirnya Hadhrat Rasulullah (saw) memerintahkan Hadhrat Abbas (ra) untuk membawanya pergi, beliau (ra) telah memberikan perlindungan kepadanya, maka hendaknya ia dibawa dan jangan mengatakan sesuatu apa pun kepadanya.
Hadhrat ‘Umar (ra) Diberikan Bendera Selama Pertempuran Khaibar
Diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abdurrahman bahwa pada bulan Sya’ban 7 Hijriah, Rasulullah (saw) mengutus Hadhrat ‘Umar (ra) bersama 30 orang dalam satu ekspedisi ke satu cabang suku Hawazin di Turbah. Turbah adalah satu lembah yang berjarak dua hari perjalanan dari Makkah di mana Bani Hawazin tinggal.[3] Ketika disebutkan dua hari perjalanan, maksudnya adalah perjalanan zaman dahulu yang dilakukan dengan hewan tunggangan seperti kuda atau unta. Diriwayatkan dari Buraidah al-Aslami bahwa ketika Rasulullah (saw) turun ke dataran tempat pemukiman penduduk Khaibar, beliau (saw) menyerahkan bendera kepada Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra). Maksud saya berkenaan dengan dua hari tadi adalah konteks ini berlaku di manapun disebutkan referensi mengenai hari-hari.
Tertulis di dalam kitab Sirah bahwa dalam perang Khaibar untuk pertama kalinya disebutkan mengenai bendera, sebelumnya hanya panji (bendera yang lebih kecil). Sedang dikisahkan sebelumnya diriwayatkan dari Buraidah Aslami bahwa Rasulullah (saw) turun ke dataran tempat pemukiman penduduk Khaibar, beliau (saw) menyerahkan bendera kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Selanjutnya dijelaskan detailnya dari kitab Sirah bahwa untuk pertama kalinya dalam perang Khaibar disebutkan mengenai bendera yang besar (راية , ar-Raayah), sebelumnya yang ada bendera kecil (لواء , al-Liwa).
Panji yang mulia Nabi (saw) berwarna hitam yang dibuat dari kain cadar Ummul Mu’miniin, Hadhrat Aisyah (ra), namanya adalah ‘Uqab (العُقاب), dan satu bendera beliau (saw) yang berwarna putih yang beliau (saw) serahkan kepada Hadhrat Ali (ra). Yang pertama adalah bendera berwarna hitam yang terbuat dari kain cadar Ummul Mu’miniin, kemudian yang kedua adalah bendera berwarna putih yang beliau (saw) serahkan kepada Hadhrat Ali (ra). Satu panji beliau (saw) berikan kepada Hadhrat Hubab bin Mundzir (ra) dan satu lagi kepada Hadhrat Sa’d bin ‘Ubadah (ra).
Kemudian ketika Hadhrat Rasulullah (saw) tiba di Khaibar, beliau (saw) mengalami sakit kepala dan tidak bisa pergi keluar. Pada kesempatan itu pertama-tama beliau (ra) menyerahkan panji beliau (saw) kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), kemudian beliau (saw) menyerahkan panji tersebut kepada Hadhrat ‘Umar (ra), pada hari itu terjadi pertempuran yang sengit, meskipun demikian kaum Muslimin tidak dapat menaklukkan benteng. Maka beliau (saw) bersabda, “Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang dengan perantaraannya Allah Ta’ala akan memberikan kemenangan.” Maka pada keesokan harinya Hadhrat Rasulullah (saw) memberikan panji kepada Hadhrat Ali (ra) yang melalui tangan beliau (ra) Allah Ta’ala menganugerahkan kemenangan.[4]
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa, “Saya bertanya kepada Ibnu Syihab az-Zuhri, “Dengan syarat apa Hadhrat Rasulullah (saw) memberikan kebun-kebun kurma kepada orang-orang Yahudi?”
Az-Zuhri menjawab, “Setelah pertempuran, Hadhrat Rasulullah (saw) meraih kemenangan atas Khaibar dan seperlima dari antara harta Khaibar yang Allah Ta’ala berikan kepada Hadhrat Rasulullah (saw) adalah untuk beliau (saw) dan beliau (saw) memberikannya kepada orang-orang Islam. Ketika orang-orang Yahudi turun dari benteng mereka setelah pertempuran dan siap untuk diasingkan, Rasulullah (saw) memanggil mereka dan bersabda, ‘Jika kalian mau, harta ini dapat diserahkan kepada kalian, dengan syarat kalian bekerja di sana dan buahnya akan dibagi di antara kami dan kalian. Pada lahan ini akan diberlakukan sistem bagi hasil jika kalian mau. Dan saya akan menempatkan kalian di mana Allah Ta’ala menempatkan kalian.’ Maka orang-orang Yahudi menerima syarat ini. Orang-orang Yahudi bekerja di lahan tersebut.
Rasulullah (saw) biasa mengutus Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra) untuk membagikan buah-buahan dari kebun-kebun ini dan bersikap adil dalam menimbang buah-buahan bagi orang-orang Yahudi. Tidak mengambil buah yang berkualitas baik untuk diri sendiri, melainkan dibagikan secara adil. Kemudian ketika Allah Ta’ala mewafatkan Nabi-Nya (saw), Hadhrat Abu Bakr (ra) pun sepeninggal Hadhrat Rasulullah (saw) memperlakukan orang-orang Yahudi seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah (saw).
Hadhrat ‘Umar (ra) pun di masa-masa awal kekhalifahannya tetap memperlakukan demikian, kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui bahwa Rasulullah (saw) ketika sakit sebelum kewafatannya bersabda, لَا يَجْتَمِعَنَّ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ دِينَانِ ‘Dua agama tidak akan hidup berdampingan di Arab.’
Hadhrat ‘Umar (ra) melakukan penelitian atas hal ini dan ketika ini terbukti maka beliau (ra) menulis kepada orang-orang Yahudi Khaibar, ‘Allah Ta’ala memerintahkan mengenai pengasingan kalian. Saya telah menerima berita bahwa Rasulullah (saw) bersabda bahwa dua agama tidak akan hidup berdampingan di Arab. Alhasil, barangsiapa di antara orang Yahudi yang memiliki suatu perjanjian dengan Rasulullah (saw), maka datanglah kepada saya dengan membawanya supaya saya bisa melaksanakannya dan barangsiapa yang tidak memiliki suatu perjanjian dengan Rasulullah (saw), hendaknya ia bersiap untuk pengasingan. Jika terdapat perjanjian atau Rasulullah (saw) telah berjanji untuk memberi izin tinggal, baiklah saya akan memenuhinya. Namun jika tidak ada, maka kalian harus meninggalkan tempat ini.’
Hadhrat ‘Umar (ra) mengasingkan mereka yang tidak memiliki perjanjian dengan Rasulullah (saw).”[5]
Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) meriwayatkan, “Saya, Hadhrat Zubair bin ‘Awam (ra) dan Hadhrat Miqdad bin Aswad (ra) pergi untuk melihat harta kami di Khaibar dan sesampainya di sana kami berpencar menuju harta kami masing-masing. Saya diserang di malam hari ketika saya sedang tidur di tempat tidur saya. Sendi lengan saya bergeser dari siku saya. Ketika pagi tiba kedua teman saya datang menghampiri saya dengan berteriak dan keduanya bertanya, ‘Siapa yang telah melakukan ini kepadamu?’
Saya menjawab, ‘Saya tidak tahu.’
Beliau menuturkan, ‘Keduanya membetulkan lengan saya kemudian membawa saya kepada Hadhrat ‘Umar (ra).’
Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ini adalah perbuatan orang-orang Yahudi.’
Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) berdiri untuk berpidato di hadapan orang-orang dan bersabda, ‘Hai manusia! Rasulullah (saw) telah memperlakukan orang-orang Yahudi Khaibar dengan syarat bahwa kita akan mengusir mereka kapan pun kita mau. Sekarang orang Yahudi telah menyerang Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) dan telah melepaskan sendi lengannya. Sebagaimana berita yang telah sampai kepada kalian, sebelumnya pun mereka telah melakukan serangan kepada kaum Anshar. Kita tidak ragu bahwa para penyerangnya juga adalah kawan mereka. Di sana tidak ada musuh kita selain mereka. Jadi, siapa pun yang memiliki harta di Khaibar harus menjaganya karena saya akan mengusir orang-orang Yahudi.’ Lalu beliau (ra) mengusir mereka.”[6]
Abdullah bin Maknaf meriwayatkan, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) mengusir orang Yahudi dari Khaibar, beliau sendiri berkuda bersama dengan Anshor dan Muhajirin, dan Hadhrat Jabbar bin Shakhr serta Hadhrat Yazid bin Tsabit (ra) pun pergi menyertai beliau (ra). Hadhrat Jabbar (ra) menimbang buah-buahan untuk penduduk Madinah dan menghitungnya. Keduanya membagikan kepada para penduduk Khaibar sesuai dengan pembagian sebelumnya.”[7]
[Menjelang penaklukan Makkah,] terjadi peristiwa seorang Sahabat bernama Hadhrat Hathib (ra) menitipkan surat secara sembunyi-sembunyi kepada seorang wanita yang akan berangkat ke Makkah untuk memberi kabar kepada orang-orang Musyrik Makkah mengenai beberapa niatan Hadhrat Rasulullah (saw) dan Hadhrat Rasulullah (saw) mengetahuinya dari Allah Ta’ala lalu beliau (saw) mengutus Hadhrat Ali (ra) untuk mencegat wanita itu sehingga wanita tersebut ditangkap di jalan. Setelah itu ketika Hadhrat Rasulullah (saw) bertanya kepada Hathib, maka beliau (ra) mengemukakan alasannya dan menyampaikan mengenai keimanannya bahwa, “Saya tidak tergelincir dari keimanan saya, bahkan saya sepenuhnya beriman.” Hadhrat Hathib (ra) berusaha meyakinkan dan Rasulullah (saw) menerimanya.
Namun Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, “Ya Rasulullah (saw)! Izinkan saya untuk memenggal leher orang munafik ini.”
Beliau (saw) bersabda, “Lihatlah! Ia ikut serta dalam perang Badar dan Allah Ta’ala telah dengan diam-diam menyaksikan mereka yang ikut serta dalam perang Badar dan berfirman, ‘Apa pun yang kalian inginkan, lakukanlah. Aku telah menutupi dosa-dosa kalian dan mengampuni kalian.’”[8]
Satu lagi peristiwa yang tidak secara langsung berkaitan dengan Hadhrat ‘Umar (ra), namun secara tersirat disebutkan mengenai Hadhrat ‘Umar (ra). Oleh karena itu saya akan sampaikan. Hadhrat Abu Qatadah (ra) meriwayatkan, “Ketika terjadi peristiwa Hunain, saya melihat salah seorang dari antara kaum Muslimin bertempur dengan seorang Musyrik dan pada saat yang sama ada seorang Musyrik lainnya yang secara curang diam-diam ingin menyerang orang Muslim itu dari belakang untuk membunuhnya. Melihat itu saya bergegas menuju orang yang secara curang ingin merenggut seorang Muslim tadi. Ia mengangkat tangannya untuk menebas saya sedangkan saya menebas tangannya hingga putus. Setelah itu ia meraih saya dan merangkul saya dengan erat sehingga saya tidak berdaya melakukan sesuatu. Kemudian, pada akhirnya ia melepaskan saya dan menjadi lemah. Saya pun mendorongnya dan membunuhnya.
Ketika itu umat Islam mengalami kekalahan dan melarikan diri. Saya pun ikut melarikan diri bersama mereka. Kemudian apa yang saya lihat adalah Hadhrat ‘Umar bin Khatab (ra) bersama orang-orang. Saya bertanya kepada beliau (ra), ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang yang melarikan diri?’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘Ini sudah menjadi kehendak Allah.’
Kemudian orang-orang kembali menghampiri Rasulullah (saw) dan Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ ‘Siapa yang membuktikan mengenai seseorang musuh yang terbunuh bahwa ia yang telah membunuhnya, harta orang yang terbunuh itu akan menjadi milik orang yang membunuhnya.’
Saya bangkit untuk mencari saksi mengenai orang yang saya bunuh, namun tidak mendapati seorang pun yang menyaksikan saya lalu saya duduk. Kemudian saya berpikir dan saya menceritakan peristiwa orang yang terbunuh itu kepada Rasulullah (saw).
Salah seorang yang duduk bersama beliau (saw) mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, senjata orang yang terbunuh yang ia ceritakan itu ada pada saya. Mintalah supaya ia merelakan senjata ini untuk saya atau ada sesuatu harta lain untuk saya.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, لَاهَا اللّهِ إذًا لَا تَعْمِدْ إلَى أَسَدٍ مِنْ أُسْدِ اللّهِ يُقَاتِلُ عَنْ اللّهِ وَعَنْ رَسُولِهِ يُعْطِيك سَلَبَهُ ‘Sekali-kali tidak terjadi bahwa Rasulullah (saw) memberikan harta kepada seorang Quraisy biasa sembari meninggalkan salah satu di antara singa-singa Allah yang telah berperang untuk Allah dan Rasul-Nya (saw).’”
Hadhrat Abu Qatadah (ra) meriwayatkan, “Rasulullah (saw) kemudian bangkit. Beliau (saw) memberikan kepada saya harta tersebut. Dengan itu saya membeli sebidang kebun kurma dan ini adalah harta pertama yang saya peroleh dalam Islam.”[9]
Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra), لَمَّا قَفَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ حُنَيْنٍ سَأَلَ عُمَرُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَذْرٍ كَانَ نَذَرَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ اعْتِكَافِ يَوْمٍ . ثُمَّ ذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ “Ketika kami pulang dari Hunain, Hadhrat ‘Umar (ra) menanyakan kepada Rasulullah (saw) mengenai nazar untuk itikaf yang beliau (ra) utarakan ketika masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah (saw) memerintahkan untuk memenuhi nazar tersebut.”[10] Artinya, meskipun itu diutarakan di masa jahiliyah tetap harus dipenuhi. Adalah penting untuk memenuhi persyaratan apa pun yang masih dalam ru ang lingkup ajaran Islam. Terdapat persyaratan ini juga menyertai.
Peran Umar (ra) di Perang Tabuk
Mengenai peran Hadhrat ‘Umar di Perang Tabuk, ketika Rasulullah (saw) pada kesempatan itu secara khusus menyeru untuk mengumpulkan candah (partisipasi pengorbanan harta), Hadhrat ‘Umar menjelaskan satu peristiwa tentang diri beliau, “Satu hari Rasulullah (saw) menganjurkan kepada kami untuk bersedekah. Saat itu saya memiliki kekayaan. Saya berkata bahwa jika bisa, saat ini saya akan melampaui Hadhrat Abu Bakr. Maka dari itu saya memberikan setengah harta kekayaan saya lalu Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’
Saya berkata, ‘Saya menyisakan sebanyak yang saya bawa ini.’Sementara itu, Hadhrat Abu Bakr pun datang memberikan seluruh harta yang beliau miliki. Saya memberikan setengah harta kekayaan, namun Hadhrat Abu Bakr memberikan semua harta miliknya.
Rasulullah (saw) pun bertanya kepada [Hadhrat Abu Bakr], ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluarga engkau?’
Beliau menjawab, ‘Saya [hanya] meninggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’”
Hadhrat ‘Umar berkata, “Saya berpikir bahwa kini saya tidak akan dapat melampaui [beliau] dalam hal apapun”.[11]
Tentang peristiwa ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan,
“Pada kesempatan salah satu jihad, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya pikir Hadhrat Abu Bakr (ra) senantiasa melampaui saya. Namun hari ini saya akan mengunggulinya. Setelah berpikir demikian, saya pulang ke rumah lalu membawa dan mempersembahkan setengah dari harta kekayaan saya ke hadapan Rasulullah (saw).
Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi Islam, tetapi Hadhrat Abu Bakr (ra) membawa seluruh harta beliau dan mempersembahkannya ke hadapan Rasulullah (saw).
Rasulullah (saw) bertanya, ‘Abu Bakr, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’
Beliau menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Mendengar ini, saya sangat tertunduk seraya berpikir bahwa [meskipun] saya sekuat tenaga kini ingin melampaui Abu Bakr, namun saat ini pun Abu Bakr telah melampaui saya.’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Itu adalah satu masa tatkala orang-orang [Islam] mengorbankan jiwa mereka demi agama Ilahi layaknya hewan kurban. Dalam hal harta kekayaan disebutkan bahwa Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra) lebih dari sekali telah mengorbankan seluruh perbendaharaannya.
Ini bukan sekali peristiwa saja, bahkan lebih dari satu kali. Hingga jarum pun tidak beliau tinggalkan di rumah beliau. Demikian pula Hadhrat ‘Umar, sesuai dengan kelapangan dan kerelaan beliau dan ‘Utsman sesuai dengan kemampuan dan kedudukan beliau. Seperti ini jugalah, seluruh sahabat telah siap sedia dalam mengurbankan jiwa beserta harta mereka demi agama Ilahi ini.”
Selanjutnya di sini Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyampaikan beberapa hal terkait jemaat yaitu,
“Ada orang yang baiat dan berikrar akan mendahulukan agama dari duniawi, namun ketika ada kesempatan untuk memberikan bantuan, lantas memberikan kekayaannya dengan berat hati. Ketahuilah, apakah tujuan-tujuan keagamaan dapat diraih dengan kecintaan yang seperti demikian terhadap dunia ini?
Dan apakah orang-orang seperti demikian dapat memberikan manfaat dalam keagamaan?
Tidak! Sama sekali tidak. Allah Ta’ala berfirman, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ yang artinya, ‘engkau tidak dapat meraih kebaikan selama engkau belum membelanjakan apa saja yang paling engkau cintai di jalan Allah Ta’ala.’”
Sikap Hadhrat ‘Umar (ra) atas Wafatnya Nabi (saw)
Tatkala Rasulullah (saw) wafat, bagaimanakah sikap Hadhrat ‘Umar (ra) saat itu. Diriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Abbas, “Ketika waktu kewafatan Rasulullah (saw) telah dekat, di rumah beliau pada saat itu ada beberapa sahabat termasuk Hadhrat ‘Umar. Nabi (saw) bersabda, ‘Kemarilah, saya akan menuliskan sesuatu untuk engkau sekalian, yang setelahnya engkau tidak akan tersesat.’ (ini adalah peristiwa di hari-hari akhir sakit beliau (saw)). Atas hal ini, Hadhrat ‘Umar berkata kepada para sahabat yang tengah duduk berkumpul di sana, ‘Rasulullah (saw) sedang sangat sakit, dan [telah] ada kitab suci Al-Quran bersama engkau semua, [sehingga] cukuplah Kitabullah untuk kita.’
Orang-orang yang ada di rumah itu saling berselisih. Terjadi perdebatan dimana sebagian kalangan berkata agar [tetap] mengambil pena dan kertas karena Rasulullah (saw) akan menuliskan sesuatu yang setelahnya mereka tidak akan tersesat, sementara sebagian lainnya berkata sebagaimana yang Hadhrat ‘Umar katakan agar tidak memberikan kesulitan kepada beliau (saw). Tatkala mereka telah banyak saling berujar di dekat Rasulullah (saw),(yakni mereka telah saling berselisih dan mulai berdebat), maka Rasulullah (saw) bersabda, “beranjaklah dari sini”. [12] Rincian ini terdapat di riwayat Muslim.
Tertera juga di dalam Shahih al-Bukhari. Di sana tertulis:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ لَمَّا اشْتَدَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَجَعُهُ قَالَ ” ائْتُونِي بِكِتَابٍ أَكْتُبُ لَكُمْ كِتَابًا لاَ تَضِلُّوا بَعْدَهُ “. قَالَ عُمَرُ إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَنَا كِتَابُ اللَّهِ حَسْبُنَا فَاخْتَلَفُوا وَكَثُرَ اللَّغَطُ. قَالَ ” قُومُوا عَنِّي، وَلاَ يَنْبَغِي عِنْدِي التَّنَازُعُ “. فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ إِنَّ الرَّزِيَّةَ كُلَّ الرَّزِيَّةِ مَا حَالَ بَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَبَيْنَ كِتَابِهِ
Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Abdullah bahwa ia meriwayatkan dari Hadhrat Ibnu Abbas yang berkata, “Tatkala Nabi (saw) telah sangat jatuh sakit, beliau (saw) bersabda, ‘Berikan alat tulis kepadaku supaya aku akan menuliskan sesuatu untuk engkau sekalian yang setelahnya engkau tidak akan lupa.’
Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Penyakit telah sangat menyerang Nabi (saw)’ – saat itu Hadhrat ‘Umar berkata kepada yang ada di sana – dan kita telah memiliki Kitab Allah yakni Al-Quran Karim, yang adalah cukup bagi kita sehingga tidaklah perlu menyusahkan beliau (saw).’
Atas hal ini mereka saling berselisih dan suara menjadi riuh. Nabi (saw) bersabda, ‘Bangkitlah dan beranjaklah dari sini. Hendaknya janganlah berselisih di dekat saya.’”
Atas hal ini Hadhrat Ibnu Abbas pun keluar dan beliau kerap berkata, “Sungguh sangat merugikan, karena beliau (saw) telah dilarang untuk menulis.”[13]
Dalam menjelaskan ini, Hadhrat Sayyid Zainal Abidin Waliyullah Shah Sahib (ra) menulis. “Saya akan sedikit menjelaskan tentang bagian kalimat ini, لاَ تَضِلُّوا بَعْدَهُ . Dari bunyi hadits ini telah jelas bahwa hingga akhir hayatnya pun, beliau (saw) sangat memikirkan hal ini hingga bersabda, لاَ تَضِلُّوا بَعْدَهُ yang artinya ‘supaya kalian tidak lupa setelahnya; oleh karena itu aku akan menulis sesuatu untuk kalian.’ Diantara makna الضلال ialah lupa dan juga berarti ‘menjadi hilang arah atau tersesat dari jalan yang benar dikarenakan lupa’.
Selanjutnya, kalimat غَلَبَهُ الْوَجَعُ berarti, penyakit telah sangat melemahkan beliau, dan jangan sampai kesulitan beliau bertambah.” Ini adalah kalimat yang disabdakan oleh Hadhrat ‘Umar.
Shah Sahib menulis tentang kewafatan beliau (saw), “Sama sekali tidaklah terlintas dalam pemikiran Hadhrat ‘Umar tentang akan wafatnya Nabi (saw) [beberapa hari setelah itu].
Hadhrat ‘Umar bersabda, وَعِنْدَنَا كِتَابُ اللَّهِ حَسْبُنَا (kita telah memiliki Kitab Allah yakni Al-Quran Karim, yang adalah cukup bagi kita). Ketika Hadhrat ‘Umar menyampaikan ini, beliau bersabda demikian karena Allah Ta’ala telah berfirman, مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (Surah Al-An’am:39, ‘Kami [Tuhan] tidak mengadakan suatu kekurangan di dalamnya’) dan Dia berfirman تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ yang artinya, ‘Kitab ini menjelaskan setiap hal dengan jelas.’”
Kemudian, [Shah Sahib] menulis:
“وَلاَ يَنْبَغِي عِنْدِي التَّنَازُعُ – ‘Hendaknya janganlah berselisih di dekat saya.’ Maksudnya, sebagian orang [di sana] yang berperasaan halus seperti Hadhrat ‘Umar, mereka berkata, ‘Janganlah hendaknya memberi kesulitan di waktu seperti ini’, sementara sebagian berkata, ‘Perintah hendaknya dilaksanakan dan apa yang disabdakan oleh beliau (saw) maka ambillah, yaitu pena dan kertas.’ Ketika semua telah saling berselisih, Rasulullah (saw) memerintahkan mereka untuk beranjak pergi dan bersabda, ‘Janganlah riuh di dekat saya.’ Dari hal ini dipahami bahwa di dalam keadaan yang sangat menderita sekalipun, ketinggian martabat Kitabullah sangat melekat pada diri beliau (saw) sehingga dengan mendengar ucapan Hadhrat ‘Umar, beliau (saw) tidak lagi meminta didatangkan pena dan kertas, sebagaimana diketahui juga di riwayat lain dalam Bukhari, yaitu setelah peristiwa ini, [Rasulullah (saw)] masih hidup untuk beberapa hari, dan di hari-hari itu, beliau pun memberikan wasiat-wasiat lainnya, dan tidak lagi kembali ke arah hal itu, (yaitu beliau tidak lagi bersabda tentang hal itu). Dari hal ini dipahami bahwa petunjuk yang sangat penting untuk ditulis saat itu adalah ada di dalam Kitabullah. Artinya, saat itu [Rasulullah (saw)] ingin bersabda agar senantiasa menautkan diri dengan Al-Quran Suci. Kemudian Rasulullah (saw) mendukung [apa yang disabdakan] oleh Hadhrat ‘Umar kemudian beliau diam. Inilah adab yang pada masa ini tidak lagi dihiraukan oleh mereka yang menamakan dirinya Ulama.”
Syah Sahib lalu menulis, “Inilah adab Rasulullah (saw), dimana mereka yang menamakan dirinya Ulama tidak menghiraukannya. Pendapat tertentu yang mereka yakini lantas mereka anggap seumpama wahyu Ilahi.”
Lalu [Syah Sahib] menulis, “Kita hendaknya jangan pernah melupakan contoh suci ini, contoh suci Rasulullah (saw), [yaitu], di hadapan Kitabullah, semua hal lain tidaklah berarti apa-apa.”
‘Urwah bin Zubair meriwayatkan dari istri suci Nabi (saw), Hadhrat Aisyah, “Ketika Rasulullah (saw) wafat, saat itu Hadhrat Abu Bakr tengah berada di Sunh.” Sunh adalah tempat yang berjarak dua mil dari Madinah. Ismail (perawi Hadits ini) berkata, “Ia (Sunh) ada di perbatasan kota, di dataran tinggi. Mendengar berita ini, Hadhrat ‘Umar lalu berdiri.”
Pada waktu kewafatan Nabi (saw), beliau (Hadhrat Abu Bakr) tengah pergi dan beliau ada di perbatasan kota.
“Ketika mendengar berita kewafatan ini, Hadhrat ‘Umar lantas berdiri dan berkata, ‘Demi Allah, Rasulullah (saw) tidaklah wafat.’”
Hadhrat Aisyah berkata, “Hadhrat ‘Umar terus berkata, ‘Demi Tuhan, saat itu inilah hal yang ada dalam pikiran saya. Allah pasti akan membangkitakan Nabi (saw) dan pasti akan menyingkirkan tangan dan kaki mereka (kaum munafik) sampai terputus.’
Seketika itu Hadhrat Abu Bakr datang.” (Saat itu Hadhrat ‘Umar tidak bersedia menerima bahwa Rasulullah (saw) telah wafat). Ia [Hadhrat ‘Umar] berkata, ‘beliau akan hidup kembali.’ Seketika itu Hadhrat Abu Bakr tiba. Beliau mengangkat kain dari wajah Rasulullah (saw) lalu mencium beliau, dan bersabda, ‘Ayah dan Ibuku berkurban demi Anda. Rasulullah (saw) adalah suci baik di masa beliau hidup dan di waktu beliau wafat. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Allah tidak akan memberikan dua kali kematian kepada Anda.’
Setelah mengucapkan ini, Hadhrat Abu Bakr pun keluar (yakni menghadap semua orang) dan bersabda, ‘Wahai mereka yang bersumpah. Perhatikanlah!’ (yakni beliau mengatakan kepada Hadhrat ‘Umar).
Ketika Hadhrat Abu Bakr mulai berbicara, Hadhrat ‘Umar pun duduk. Hadhrat Abu Bakr lalu mengucapkan tahmid, beliau bersabda, أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوت ‘Ketahuilah, siapa saja yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan siapa saja yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup dan tidak akan pernah mati.’
Hadhrat Abu Bakr menilawatkan ayat ini, إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ yakni, engkau pun akan meninggal dan mereka pun akan meninggal. Kemudian beliau menilawatkan ayat ini:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
‘Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau. Apakah jika ia mati atau terbunuh, kamu akan berbalik atas tumitmu? Dan barangsiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudaratkan Allah sedikitpun. Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.’ (Al-Qur’an, Surah Ali Imran, 3:145)”
Sulaiman (perawi Hadits ini) berkata, “Setelah mendengar ini, orang-orang pun sedemikian rupa menangis hingga tersedu-sedu”. [14]
Hadhrat Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, hingga Hadhrat Abu Bakr menilawatkan ayat tersebut, orang-orang saat itu seolah-olah tidak mengetahui dan baru menyadari bahwa Allah Ta’ala pun pernah menurunkan ayat ini. Seolah, saat itu semua orang lantas menyadari ayat ini dari beliau dan saat itu saya mendengar semua orang menilawatkan ayat ini.”[15]
Az-Zuhri berkata, “Sa’d bin Musayyab berkata kepada saya bahwa Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Demi Allah, ketika saya mendengar Abu Bakr menilawatkan ayat ini, seketika itu saya sedemikian gemetar dan sangat takut hingga kaki saya menjadi lemas dan saya pun terjatuh. Ketika saya mendengar Hadhrat Abu Bakr menilawatkan ayat ini, pada akhirnya saya menyadari bahwa Nabi (saw) memang telah wafat.’”[16]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan yang mana beliau (as) pun mencantumkan teks haditsnya dalam Bahasa Arab. Di kesempatan ini saya sampaikan terjemahannya. Lafaz asli Arabnya akan disertakan ketika khotbah ini diterbitkan. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Diriwayatkan, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Bakr pergi keluar (yakni di hari kewafatan Rasulullah (saw)), dan ‘Umar tengah berbicara dengan orang-orang (yakni menyatakan bahwa Rasulullah (saw) belum wafat dan masih hidup) lalu Abu Bakr bersabda, ‘Wahai ‘Umar, duduklah!’ Namun ‘Umar menolak untuk duduk. Maka orang-orang pun menghampiri Abu Bakr dan meninggalkan ‘Umar. Lalu Abu Bakr bersabda, ‘(setelah mengucapkan tahmid dan shalawat) jelaslah, siapa saja diantara Anda sekalian yang menyembah Muhammad (saw), ketahuilah, Muhammad (saw) telah wafat, dan siapa saja diantaramu yang menyembah Tuhan, maka Tuhan adalah hidup dan Dia tidak akan mati.
Dan dalil kewafatan Rasulullah (saw) adalah, Tuhan telah berfirman: “Muhammad hanyalah seorang Rasul dan telah berlalu semua Rasul sebelum beliau di dunia ini (yakni, mereka telah wafat) Dan barangsiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudaratkan Allah sedikitpun. Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.” dan Hadhrat Abu Bakr menilawatkan ayat ini hingga {الشَّاكِرِينَ}.”
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis,
“Perawi berkata, ‘Demi Allah, saat itu semua orang seolah tak mengetahui dan baru menyadari bahwa Allah pun pernah menurunkan ayat ini. Dengan Abu Bakr menilawatkan ayat ini, mereka semua akhirnya mengetahui. Alhasil, seluruh sahabat menyadari ayat ini dari Abu Bakr. Dan tidak ada satu pun sahabat atau lainnya yang sama sekali tidak mengetahuinya. ‘Umar kemudian berkata, ‘Demi Tuhan, saya hanyalah mendengar ayat ini dari Abu Bakr. Dan tatkala beliau menilawatkannya, ketika mendengarnya saya sedemikian rupa bersedih dan terluka hingga kaki saya pun tak sanggup lagi menopang diri saya dan saat itu saya pun terjatuh. Yaitu seketika saat saya mendengarkan ayat ini ditilawatkan, dan mendengarkan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat.’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Di sini ada satu ungkapan dari al-Qasthalani penulis Kitab syarh (komentar) atas Shahih al-Bukhari: ‘Pada kesempatan itu Hadhrat ‘Umar (ra) tengah berbicara kepada orang-orang dan berkata, “Rasulullah (saw) tidaklah wafat dan sebelum beliau memerangi orang-orang munafik, beliau tidak akan wafat.”’”[17]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Kemudian tentang peristiwa ini tertera penjelasan di buku Al-Milal wan Nihal karya Asy-Syahrastani sebagai berikut: ‘Umar Al-Khaththab berkata, ‘Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, saya akan membunuhnya dengan pedang ini. Tetapi, beliau telah diangkat ke langit sebagaimana Isa Ibnu Maryam telah diangkat.’
Kemudian, Abu Bakr berkata, ‘Siapa saja yang menyembah Muhammad (saw), yakinlah bahwa beliau telah wafat, dan siapa saja yang menyembah Allah, maka Dia adalah hidup dan tidak akan mati.’ Artinya, hanya Allah lah yang memiliki sifat bahwa Dia hidup selama-lamanya. Dan seluruh insan dan hewan sebelumnya telah meninggal dan tidak mungkin ada yang abadi. Jika ada yang berpikir hidup selamanya, ia pun telah mati. Lalu Hadhrat Abu Bakr menilawatkan ayat ini: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ yang terjemahnya adalah ‘Muhammad (saw) adalah seorang rasul dan telah berlalu semua rasul di dunia. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, maka kamu semua akan murtad?’ Seketika mendengar ayat ini, semua orang memperbaiki kekeliruan mereka.”[18]
Dalil Semua Nabi Sebelum Rasulullah (as) telah Wafat, termasuk Nabi Isa
Sekarang silahkan renungkan, jika pengutipan dalil yang dilakukan oleh Hadhrat Abu Bakr ini bukan untuk membuktikan bahwa segenap para Nabi telah wafat dan jika dalil yang beliau sampaikan ini tidak qath’iy (jelas), maka sahabat yang menurut anda jumlahnya lebih dari seratus ribu orang…” (Hadhrat Masih Mauud mengatakan kepada lawan bicara beliau) “Lantas sahabat yang menurut anda jumlahnya lebih dari seratus ribu orang pada saat itu, bagaimana mungkin mereka akan serta-merta membenarkan sesuatu yang hanya berdasar pada praduga dan keraguan?” (Jika memang dalil yang dikutip oleh Hadhrat Abu Bakr tidak benar) lantas kenapa para sahabat tidak membantah dengan mengatakan, ‘Wahai tuan! Dalil yang anda sampaikan ini tidaklah utuh dan tidak ada nash qat’iy yang mendukung dalil yang anda sampaikan ini?’ Apakah sampai saat itu Hadhrat Abu Bakr tidak mengetahui bahwa ayat Al Quran, رَافِعُكَ إِلَيَّ raafi’uka ilayya menyatakan Nabi Isa as naik ke langit beserta tubuh kasarnya? Apakah Hadhrat Abu Bakr belum pernah mendengar ayat, بَلْ رَفَعَهُ اللهُ إِلَيْهِ Bar rafa’ahullaahu ilaihi?
Begitu juga, kenapa kepergian Rasulullah (saw) ke langit, menurut Hadhrat Abu Bakr, tidak mungkin terjadi? Bahkan, para sahabat yang memahami Al Quran, seketika mendengar ayat Al Quran (yang dibacakan oleh Hadhrat Abu Bakr) dan setelah mendengar penjelasan kata “khalat” (telah berlalu) dalam kalimat أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ afa-im maata au qutila (kematian secara wajar alami atau kematian karena pembunuhan), para sahabat langsung meninggalkan anggapan lamanya. Memang hati mereka tersayat-sayat disebabkan oleh kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), jiwa mereka terasa luluh lantah. Setelah itu Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Setelah mendengar ayat tersebut, keadaan saya sedemikian rupa sehingga kaki tidak dapat menanggung beban tubuh lalu jatuh ke tanah.’
Subhanallah, betapa beruntung dan memiliki pemahaman yang dalam akan Al Quran yakni Ketika merenungkan suatu ayat lalu memahami bahwa segenap para Nabi terdahulu telah wafat, tidak ada yang lain yang beliau lakukan selain menangis dan diliputi kesedihan.”
Selanjutnya, pada suatu kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
“Perkataan Hadhrat ‘Umar yang menyatakan, ‘Siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, maka aku akan memenggalnya dengan pedangku’, dari ucapan itu dapat diketahui bahwa Hadhrat ‘Umar telah sedemikian rupa berlebihan dalam memahami Rasulullah (saw) masih hidup dan menganggap ucapan yang menyatakan Rasulullah (saw) telah wafat – sebagai suatu kekufuran dan kemurtadan.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan ribuan ganjaran atas Hadhrat Abu Bakr yang mana beliau segera mengatasi kekacauan itu lalu menjelaskan dengan m enyampaikan dalil yang jelas bahwa segenap para Nabi terdahulu telah wafat. Sebenarnya, beliau telah membunuh (menghentikan) para pendakwa dusta pada masa kegelapan dan kesesatan dengan penjelasan beliau (ra) ini dan juga berkat ijma’ (kesepakatan) segenap Sahabat.
Ya, sebagai contohnya beliau telah mengakhiri Musailamah Al-Kadzdzab dan Aswad Ansi (penda’wa palsu kenabian) serta pendusta lainnya. Beliau juga menyelesaikan banyak para pendakwa dusta pada masa kegelapan yang telah terbunuh (terpatahkan) berkat ijma’ segenap para sahabat.” (Yakni sebagaimana para pendusta itu telah dibunuh begitu juga pandangan keliru berkenaan dengan hal itu telah terhapus). Dengan demikian, bukan empat pendakwa dusta yang telah dibunuh, melainkan lima.” Selanjutnya beliau as bersabda, “Ya Tuhan, limpahkanlah jutaan rahmat kepada jiwa beliau (ra) (Hadhrat Abu Bakr).”
Jika kata ‘khalat’ (telah berlalu) di sini diartikan sebagian Nabi ada yang masih hidup di langit, maka Hadhrat ‘Umar berada di pihak yang benar dan ayat tersebut tidak akan merugikan beliau melainkan mendukung. Namun, hal itu akan berarti bahwa kalimat selanjutnya ayat tersebut yang memperjelas yakni أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ afa-im maata au qutila yang dijadikan dalil oleh Hadhrat Abu Bakr untuk mengartikan ayat itu bahwa semua para Nabi terdahulu telah berlalu apakah berlalu karena mati atau pun hidup merupakan tipuan, tahrif dan suatu kedustaan besar yang bertentangan dengan kehendak Allah. Adapun orang yang melakukan kebohongan secara sengaja yang tidak takut dengan hari penghisaban bahkan memberikan makna yang berlawanan dengan penjelasan Tuhan, tidak diragukan lagi orang seperti itu akan mendapatkan laknat selama-lamanya.
Namun, Hadhrat ‘Umar (ra) sampai saat itu masih belum memahami ayat itu. Begitu pun para sahabat lainnya terjerumus dalam kesalahpahaman itu dan terperangkap dalam kelupaan yang sifatnya manusiawi. Yang ada di benak mereka adalah ada beberapa Nabi yang sampai saat itu masih hidup dan akan turun lagi ke dunia ini, lantas kenapa Rasulullah (saw) tidak seperti Nabi-Nabi tersebut. Namun Hadhrat Abu Bakr membacakan keseluruhan ayat أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ afa-im maata au qutila dan meyakinkan di dalam hati para sahabat bahwa kata khalat memiliki dua jenis makna yakni kematian alami atau wajar dan kematian karena terbunuh.
Setelah itu para penentang mengakui kekeliruan mereka dan segenap para sahabat sepakat dengan makna ayat tersebut bahwa para Nabi terdahulu kesemuanya telah wafat. Kalimat أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ afa-im maata au qutila telah memberikan pengaruh yang sangat besar sehingga mereka semua memperbaiki pemahaman yang keliru, falhamdulillaah alaa dzaalik.” Kalimat ini tercantum dalam buku beliau (as) yang berjudul Tuhfah Ghaznawiyah.
Di tempat lain beliau (as) bersabda,
“Kesaksian segenap para sahabat ketika wafatnya Rasulullah (saw) adalah semua Nabi telah wafat. (Pada awalnya) Hadhrat ‘Umar mengatakan berkenaan dengan Rasulullah (saw) bahwa beliau (saw) belum wafat. Hadhrat ‘Umar mengatakan itu sambil mengangkat pedang. Namun Hadhrat Abu Bakr Siddiq berdiri lalu menyampaikan pidato, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ wa maa muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qabilihir rusul. Suasana pada saat itu yang mencekam bagaikan kiamat.
Ketika wafatnya Rasulullah (saw) dan semua sahabat tengah berkumpul, hingga lasykar Usamah pun tidak berangkat. Untuk menanggapi perkataan Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Abu Bakr berkata dengan suara lantang bahwa Muhammad (saw) telah wafat dengan mengutip dalil وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ maa muhammadun illaa rasuulun qad khalat min qabilihir rusul. Jika para sahabat beranggapan Nabi Isa masih hidup, pasti mereka akan membantahnya. Namun, para sahabat terdiam. Setelah itu orang-orang membaca ayat tersebut bahkan di pasar-pasar, seakan akan ayat itu baru turun pada hari itu. Na’udzubillah, para sahabat tidaklah munafik dengan bersikap diam karena segan kepada Hadhrat Abu Bakr dan tidak membantahnya. Bukan itu masalahnya. Masalahnya seperti yang dijelaskan oleh Hadhrat Abu Bakr. Untuk itu semua sahabat menundukan kepala dan sepakat. Inilah ijma’ para sahabat.
Sebelumnya Hadhrat ‘Umar pun beranggapan bahwa Rasulullah (saw) belum wafat dan akan datang lagi. Jika pengambilan dalil yang Hadhrat Abu Bakr lakukan tidak sempurna. Pengambilan dalil dapat dikatakan sempurna jika di dalamnya tidak ada istitsna atau pengecualian apapun [semua Nabi terdahulu telah wafat tanpa kecuali]. Karena jika Hadhrat Isa hidup di langit dan beliau akan turun lagi ke bumi maka dengan begitu (pengambilan dalil Hadhrat Abu Bakr) bukan menjadi dalil, justru malah menjadi olok-olokan. Jika memang demikian, Hadhrat ‘Umar sendiri pasti akan membantahnya.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) berkali-kali menjelaskan peristiwa yang saya sampaikan baru saja dalam berbagai kesempatan. Untuk itu, orang-orang yang beranggapan Nabi Isa masih hidup di langit, hendaknya mengeluarkan pemikiran tersebut dari benak mereka, karena tidak ada manusia yang naik ke langit hidup-hidup, tidak juga dapat melakukannya. Dengan demikian, Hadhrat Isa (as) telah wafat.
Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan, “Pada masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar, suatu ketika saya tengah pergi untuk suatu urusan Bersama dengan Hadhrat ‘Umar ra. Di tangan beliau terdapat cambuk. Saat itu, tidak ada orang lain selain saya yang menyertai beliau. Saat itu Hadhrat ‘Umar berbicara kepada beliau sendiri sambil mencambuki kaki sendiri bagian belakang. Tiba-tiba beliau berbalik kepada saya dan bersabda, ‘Wahai Abbas , tahukah kamu bahwa pada hari kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), kenapa saya mengatakan bahwa Rasulullah (saw) belum wafat lalu mengancam akan membunuh orang yang mengatakan bahwa beliau telah wafat?’
Hadhrat Ibnu Abbas berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, saya tidak tahu, tentunya tuanlah yang mengetahuinya.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Demi Tuhan! Saya mengatakan demikian karena sebelumnya saya selalu membaca ayat, وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً “Dan demikianlah kami menjadikan kamu satu umat yang mulia supaya kamu menjadi penjaga manusia dan supaya rasul itu menjadi penjaga kamu.” (Surah al-Baqarah, 2:144)
Demi Tuhan, saya beranggapan Rasulullah (saw) akan hidup di tengah-tengah umat dan menjadi saksi atas amalan amalan umatnya. Untuk itulah saya mengatakan seperti apa yang telah saya katakan.’”[19]
Peristiwa-Peristiwa Setelah Kewafatan Rasulullah
Berkenaan dengan masa Khilafah (Kekhalifahan) Hadhrat Abu Bakr, diperoleh keterangan dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan sebelum ini pun pernah saya sampaikan, namun akan saya sampaikan lagi. Setelah kewafatan Rasulullah (saw), kaum Anshar Madinah berkumpul di rumah Hadhrat Sa’d bin Ubadah. Mereka berkata, ‘Hendaknya ditetapkan satu Amir dari antara kami dan satu lagi dari antara kalian yakni kaum Muhajirin.’ Kemudian, Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah pergi menemui mereka. Hadhrat Umar mulai menyampaikan pidato, namun Hadhrat Abu Bakr menghentikannya.
Hadhrat Umar meriwayatkan, “Saya ingin berbicara pada saat itu hanya semata-mata saya karena telah mempersiapkan satu pidato yang sangat saya sukai dan saya khawatir jangan sampai Hadhrat Abu Bakr tidak mampu mengutarakan poin tersebut. Namun ketika Hadhrat Abu Bakr berpidato, beliau menyampaikan pidato yang luar biasa dan fasih yang mana paling unggul diantara seluruh pidato. Hadhrat Abu Bakr bersabda: ‘Kami Muhajirin adalah pemimpin sedangkan kalian Anshar merupakan pendukung.’
Mendengar hal itu Hadhrat Hubab Bin Mundzir al-Khazraji berkata, ‘Sama sekali tidak, demi Tuhan! Sama sekali tidak. Demi Tuhan! Kami tidak akan berbuat demikian. minnaa Amiirun wa minkum Amiirun – Namun, jika Anda tetap bertahan pada pendapat itu, hendaknya satu Amir dari kalangan kami dan satu Amir dari kalangan kalian.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda dalam pidatonya, ‘Tidak! Dari kami-lah para pemimpin, sedangkan kalian adalah para waziir (menteri, pendukung). Sebab, dari segi tempat tinggal, orang-orang Quraisy berkedudukan sebagai pusat [lebih kuno atau lebih dahulu ada dan menjadi pusat ziarah, juga terletak agak di tengah-tengah wilayah] bangsa Arab. Sedangkan dari sisi garis keturunan, Quraisy adalah yang termulia diantara bangsa Arab.’”
Hadhrat Abu Bakr kemudian mengusulkan dua nama yakni Hadhrat Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarrah. Beliau bersabda, “Baiatlah kalian kepada salah seorang diantara mereka berdua, Umar atau Abu Ubaidah.” Hadhrat Umar berkata: Tidak, kamilah yang akan baiat kepada Anda karena Anda adalah pemimpin kami dan Anda adalah yang terbaik diantara kami dan Anda adalah yang paling dicintai oleh Rasulullah (saw).” Setelah mengatakan demikian Hadhrat Umar memegang tangan Hadhrat Abu Bakr lalu baiat di tangan Hadhrat Abu Bakr setelah itu diikuti oleh yang lainnya untuk baiat.[20]
Ketika Hadhrat Umar (ra) berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), beliau menyampaikan, “Wahai Abu Bakr! Rasulullah (saw) telah memerintahkan Anda untuk mengimami shalat. Anda lebih berhak dalam hal ini. Anda adalah Khalifatullah. Kami berbaiat kepada Anda karena Anda-lah yang paling dicintai Rasulullah (saw) diantara kami.”[21]
Berkenaan dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang telah murtad, tertulis dalam Sirah Ibnu Hisyam, “Setelah kewafatan Rasulullah (saw), musibah yang diderita umat Islam semakin bertambah. Riwayat Hadhrat Aisyah sampai kepada saya, beliau (ra) mengatakan bahwa paska kewafatan Rasulullah (saw), Arab menjadi murtad, sedangkan Yahudi dan Kristen bangkit dan kemunafikan menjadi tampak.” Inilah yang dituliskan oleh Ibnu Ishaq.[22]
Hadhrat Abu Hurairah menuturkan, “Setelah kewafatan Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr terpilih sebagai Khalifah, orang-orang yang telah memendam keinginan untuk keluar dari Islam pun mereka murtad. Dalam keadaan demikian, Hadhrat ‘Umar berkata kepada Hadhrat Abu Bakr, ‘Bagaimana anda akan menghadapi orang-orang padahal Rasulullah (saw) pernah bersabda, “Telah diperintahkan padaku untuk berperang melawan mereka hingga mereka mengikrarkan Laa ilaaha illallaah.” Artinya, tidak akan berperang melawan orang-orang yang menyatakan Laa ilaaha illallaah. “Siapa yang mengikrarkan Laa ilaaha illallaah ia akan aman harta dan jiwanya dariku kecuali atas dasar kebenaran dan penghisabannya tanggung jawab Allah Ta’ala.”
Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Demi Tuhan! Siapa yang membedakan di antara shalat dan zakat, aku akan berperang melawannya, karena zakat merupakan hak maal. Demi Tuhan! Jika mereka menolak untuk memberikan tali pengikat lutut yang mana biasa mereka berikan kepada Rasulullah (saw), maka saya akan berperang melawan mereka karena hal itu.’
Hadhrat ‘Umar Bin Khatab mengatakan, ‘Demi Allah! Saya melihat Allah Ta’ala telah membuka dada Abu Bakr untuk berperang sehingga saya paham bahwa ini semata-mata merupakan kebenaran.’”[23]
Pada saat keberangkatan lasykar Hadhrat Usamah Bin Zaid, Hadhrat Abu Bakr memberikan beberapa petunjuk kepada Hadhrat Usamah. Saat itu Hadhrat usamah mengendarai kendaraan sedangkan Hadhrat Abu Bakr menyertai sambil berjalan kaki. Hadhrat Usamah memohon, يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ، وَاللَّهِ لَتَرْكَبَنَّ أَوْ لأَنْزِلَنَّ “Silahkan tuan menaiki kendaraan, jika tidak, saya akan turun.”
Hadhrat Abu Bakr bersabda, “Kamu jangan turun, demi Tuhan saya tidak akan naik kendaraan. Memangnya kenapa, tidak bolehkah saya mengotori kaki saya dengan debu di jalan Allah untuk beberapa saat? Karena balasan bagi setiap Langkah seorang pejuang akan tertulis 10 kebaikan dan bersamaan dengan itu akan mendapatkan ketinggian 700 derajat dan dimaafkannya 700 kesalahan.”
Setelah memberikan instruksi, Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada Hadhrat Usamah, “Jika kamu setuju, bantulah saya melalui ‘Umar!” [24] Itu artinya, Hadhrat Abu Bakr meminta izin kepada Usamah agar ‘Umar menyertainya, karena Rasulullah (saw) telah mengikutsertakan Hadhrat ‘Umar dalam lasykar ini. Hadhrat Usamah mengizinkan hal itu.
Peran Umar Dalam Mengusulkan Pengumpulan Naskah Al-Qur’an
Pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr, tujuh puluh (70) orang Hafiz Al Quran syahid pada perang Yamamah. Berkenaan dengan hal ini, Hadhrat Zaid Bin Tsabit meriwayatkan, “Ketika banyak orang (Muslim) disyahidkan dalam perang Yamamah, Hadhrat Abu Bakr memanggil saya. Saat itu Hadhrat ‘Umar berada di dekat beliau. Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘‘Umar datang menemui saya dan melaporkan, “Pada perang Yamamah, banyak sekali orang yang syahid. Karena itu saya khawatir jangan sampai dalam peperangan lain pun para Qari (ahli Quran) terbunuh sehingga akan banyak sekali bagian ayat Al-Quran yang akan hilang, kecuali kalian mengumpulkan naskah ayat-ayat Al-Quran pada satu tempat. Saya mengusulkan agar tuan mengumpulkan seluruh naskah Al Quran pada satu tempat.”
Saya (Hadhrat Abu Bakr) berkata kepada ‘Umar, “Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah (saw).”
Umar berkata, “Demi Tuhan! Apa yang Anda lakukan ini adalah amalan yang baik.”
‘Umar berkali-kali mengatakan demikian kepada saya sehingga akhirnya Allah Ta’ala membuka dada saya untuk mengamalkannya. Saat ini saya sependapat dengan dengan apa ‘Umar usulkan.’
Pada saat itu Hadhrat ‘Umar tengah duduk terdiam di dekat beliau. Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘Anda adalah seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak berpikiran buruk mengenai Anda. Anda biasa mencatat wahyu yang turun kepada Rasulullah (saw). Karena itu, dimanapun Anda menjumpai naskah Al Quran, kumpulkanlah di satu tempat.’
Saya (Hadhrat Zaid Bin Tsabit (ra)) mengatakan, ‘Demi Tuhan! Jika kepada saya diperintahkan untuk memindahkan salah satu gunung di antara sekian gunung ke tempat lain, maka tugas tersebut tidak akan lebih berat bagi saya dibandingkan dengan tugas yang beliau berikan ini kepada saya, yakni tugas untuk mengumpulkan Al-Quran.’
Saya bertanya, ‘Bagaimana Anda berdua mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah (saw)?’
Hadhrat Abu Bakr bersabda, هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ ‘Demi Tuhan! Ini adalah tugas yang baik.’
Saya (Hadhrat Zaid Bin Tsabit (ra)) berkata, “Saya katakan berkali-kali kepada beliau hingga akhirnya Allah Ta’ala membuka dada saya untuk suatu urusan yang mana Allah telah membuka dada Hadhrat Abu Bakr dan ‘Umar untuk itu. Saya pun bangkit dan mulai mencari naskah naskah Al Quran. Saya mengumpulkan naskah-naskah yang tertulis pada kulit-kulit, tulang, pelepah kurma dan yang ada dalam dada orang-orang. Akhirnya saya mendapati dua ayat surat At-Taubah yang disimpan oleh Hadhrat Huzaimah Anshari. Selain itu saya tidak menemukan yang lainnya pada orang lain. Ayatnya sebagai berikut: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari antaramu; berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, ia sangat mendambakan kesejahteraan bagimu dan terutama terhadap orang-orang mukmin ia sangat penyantun dan penyayang.’ (Al-Qur’an, at-Taubah, 9:128)”[25]
Dalam riwayat hadits tersebut disebutkan beliau menemukan dua ayat, namun yang disebutkan di sini hanya satu ayat saja, mungkin yang dimaksud satu ayat lagi ialah ayat berikutnya dari ayat diatas.
Kemudian terdapat Riwayat, “Mushhaf Al Quran yang berisi kumpulan ayat Al-Quran itu disimpan oleh Hadhrat Abu Bakr hingga Allah Ta’ala mewafatkan beliau ra. Setelah itu berpindah ke tangan Hadhrat ‘Umar (ra) hingga Allah Ta’ala mewafatkan beliau ra. Kemudian berpindah ke tangan Hadhrat Hafshah putri ‘Umar ra.”[26]
Kemudian Mushhaf itu berpindah ke tangan Hadhrat ‘Utsman seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya.
Insya Allah mengenai hal ini akan berlangsung pada kesempatan yang akan datang.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Fashlul Khithab fi Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar ibnil Khaththab, syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu karya Ali Muhammad Muhammad Ash Shalabi (فصل الخطاب في سيرة امير المؤمنين عمر بن الخطاب شخصيته وعصره بقلم علي محمد محمد الصلابي), (عمر رضي الله عنه في ميادين الجهاد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ مساهمة فعالة في الغزوات والفتوحات), (فتح مكَّة، وغزوة حنين، وتبوك), (الحلقة الثامنة). Nama yang sering tertulis di buku dan media adalah Ali Muhammad Ash Shalabi, Ali Ash Shalabi, Ali Sallaby, Ali Salabi, atau Muhammad Ash Shalabi. Dalam ejaan Bahasa Inggris, biasa ditulis Ali Salaby. Tokoh pergerakan dan ulama Islam ini dilahirkan di Benghazi, Libiya pada tahun 1963 Masehi. Benghazi adalah kota kedua terbesar di Libya setelah Tripoli. Sekarang ia tinggal di Qatar. Bersumber dari Sirah Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bab (ذِكْرُ الْأَسْبَابِ الْمُوجِبَةِ الْمَسِيرَ إلَى مَكَّةَ وَذِكْرُ فَتْحِ مَكَّةَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَنَةَ ثَمَانٍ), di Marr azh-Zhahran (مرّ الظهران), (قِصَّةُ إسْلَامِ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى يَدِ الْعَبَّاسِ), Ramadhan tahun ke-8 Hijriyyah (630 Masehi): قَالَ: يَقُولُ أَبُو سُفْيَانَ: خُزَاعَةُ أَذَلُّ وَأَقَلُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ هَذِهِ نِيرَانَهَا وَعَسْكَرَهَا، قَالَ: فَعَرَفْتُ صَوْتَهُ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا حَنْظَلَةَ، فَعَرَفَ صَوْتِي، فَقَالَ: أَبُو الْفَضْلِ؟ قَالَ: قُلْتُ: نعم، قَالَ: مَا لَك؟ فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، قَالَ: قُلْتُ: وَيْحَكَ يَا أَبَا سُفْيَانَ، هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ، وَاصَبَاحَ قُرَيْشٍ وَاَللَّهِ. قَالَ: فَمَا الْحِيلَةُ؟ فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، قَالَ: قُلْتُ: وَاَللَّهِ لَئِنْ ظَفِرَ بِكَ لَيَضْرِبَنَّ عُنُقَكَ، فَارْكَبْ فِي عَجُزِ هَذِهِ الْبَغْلَةِ حَتَّى آتِيَ بِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَأْمِنَهُ لَكَ، قَالَ: فَرَكِبَ خَلْفِي وَرَجَعَ صَاحِبَاهُ، قَالَ: فَجِئْتُ بِهِ، كُلَّمَا مَرَرْتُ بِنَارِ مِنْ نِيرَانِ الْمُسْلِمِينَ قَالُوا: مَنْ هَذَا؟ فَإِذَا رَأَوْا بَغْلَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا عَلَيْهَا، قَالُوا عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَغْلَتِهِ، حَتَّى مَرَرْتُ بِنَارِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟
وَقَامَ إلَيَّ، فَلَمَّا رَأَى أَبَا سُفْيَانَ عَلَى عَجُزِ الدَّابَّةِ، قَالَ: أَبُو سُفْيَانَ عَدُوُّ اللَّهِ! الْحَمْدُ للَّه الَّذِي أَمْكَنَ مِنْكَ بِغَيْرِ عَقْدٍ وَلَا عَهْدٍ، ثُمَّ خَرَجَ يَشْتَدُّ نَحْوَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَكَضْتُ الْبَغْلَةَ، فَسَبَقَتْهُ بِمَا تَسْبِقُ الدَّابَّةُ الْبَطِيئَةُ الرَّجُلَ الْبَطِيءَ. .
[2] Bersumber dari Sirah Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bab (ذِكْرُ الْأَسْبَابِ الْمُوجِبَةِ الْمَسِيرَ إلَى مَكَّةَ وَذِكْرُ فَتْحِ مَكَّةَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سَنَةَ ثَمَانٍ), di Marr azh-Zhahran (مرّ الظهران), (قِصَّةُ إسْلَامِ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى يَدِ الْعَبَّاسِ), Ramadhan tahun ke-8 Hijriyyah (630 Masehi): قَالَ: فَاقْتَحَمْتُ عَنْ الْبَغْلَةِ، فَدَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَدَخَلَ عَلَيْهِ عُمَرُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَبُو سُفْيَانَ قَدْ أَمْكَنَ اللَّهُ مِنْهُ بِغَيْرِ عَقْدٍ وَلَا عَهْدٍ، فَدَعْنِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنِّي قَدْ أَجَرْتُهُ، ثُمَّ جَلَسْتُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذْتُ بِرَأْسِهِ، فَقُلْتُ: وَاَللَّهِ لَا يُنَاجِيهِ اللَّيْلَةَ دُونِي رَجُلٌ، فَلَمَّا أَكْثَرَ عُمَرُ فِي شَأْنِهِ، قَالَ: قُلْتُ: مَهْلًا يَا عمر، فو الله أَن لَو كَانَ مِنْ بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ مَا قُلْتُ هَذَا، وَلَكِنَّكَ قَدْ عَرَفْتُ أَنَّهُ مِنْ رِجَالِ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، فَقَالَ: مَهْلًا يَا عبّاس، فو الله لَإِسْلَامُكَ يَوْمَ أَسْلَمْتُ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ مِنْ إسْلَامِ الْخَطَّابِ لَوْ أَسْلَمَ، وَمَا بِي إلَّا أَنِّي قَدْ عَرَفْتُ أَنَّ إسْلَامَكَ كَانَ أَحَبَّ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إسْلَامِ الْخَطَّابِ لَوْ أَسْلَمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اذْهَبْ بِهِ يَا عَبَّاسُ إلَى رَحْلِكَ، فَإِذَا أَصْبَحْتَ فَأْتِنِي بِهِ“، .
[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى – محمد بن سعد – ج ٣ – الصفحة ٢٧٢): عن أبي بكر بن عبد الرحمن قال بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم عمر بن الخطاب سرية في ثلاثين رجلا إلى عجز هوازن بتربة في شعبان سنة سبع من الهجرة . Kitab al-Maghazi karya al-Waqidi (كتاب مغازي الواقدي), (سَرِيّةُ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إلَى تُرَبَةَ فِي شَعْبَانَ سَنَةَ سَبْع).
[4] Ar-Raudh al-Unuf karya Imam as-Suhaili (الروض الأنف في شرح السيرة النبوية لابن هشام (للسهيلي)), bab perjalanan ke Khaibar di bulan Muharram tahun ke-7 (ذِكْرُ الْمَسِيرِ إلَى خَيْبَرَ فِي الْمُحَرّمِ سنة سبع), sub bab keadaan ‘Ali saat Khaibar (شَأْنُ عَلِيّ يَوْمَ خَيْبَرَ): قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ: وَحَدّثَنِي بُرَيْدَةُ بْنُ سُفْيَانَ بْنِ فَرْوَةَ الْأَسْلَمِيّ عَنْ أَبِيهِ سُفْيَانَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَكْوَعِ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ الصّدّيقَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِرَايَتِهِ وَكَانَتْ بَيْضَاءَ فِيمَا قَالَ ابْنُ هِشَامٍ، إلَى بَعْضِ حُصُونِ خَيْبَرَ، فَقَاتَلَ فَرَجَعَ وَلَمْ يَكُ فَتْحٌ وَقَدْ جُهِدَ ثُمّ بَعَثَ الْغَدَ عُمَرَ بْنَ الْخَطّابِ، فَقَاتَلَ ثُمّ رَجَعَ وَلَمْ يَكُ فَتْحٌ وَقَدْ جُهِدَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأُعْطِيَنّ الرّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ لَيْسَ بِفَرّارِ.قَالَ يَقُولُ سَلَمَةُ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيّا رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِ وَهُوَ أَرْمَدُ فَتَفَلَ فِي عَيْنِهِ ثُمّ قَالَ «خُذْ هَذِهِ الرّايَةَ فَامْضِ بِهَا حَتّى يَفْتَحَ اللهُ عَلَيْك». .
[5] As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bab (إجْلَاءُ الْيَهُودِ عَنْ خَيْبَرَ أَيَّامَ عُمَرَ) pada tahun ke-7 Hijriyyah atau 628 Masehi, (تَسْمِيَةُ النَّفَرِ الدَّارِيِّينَ الَّذِينَ أَوْصَى لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ): قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ: وَسَأَلْتُ ابْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِيَّ: كَيْفَ كَانَ إعْطَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودَ خَيْبَرَ نَخْلَهُمْ، حِينَ أَعْطَاهُمْ النَّخْلَ عَلَى خَرْجِهَا، أَبَتَّ ذَلِكَ لَهُمْ حَتَّى قُبِضَ، أَمْ أَعْطَاهُمْ إيَّاهَا لِلضَّرُورَةِ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ؟ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ خَيْبَرَ عَنْوَةً بَعْدَ الْقِتَالِ، وَكَانَتْ خَيْبَرُ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، خَمَّسَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَسَمَهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، وَنَزَلَ مَنْ نَزَلَ مِنْ أَهْلِهَا عَلَى الْجَلَاءِ بَعْدَ الْقِتَالِ، فَدَعَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: “إنْ شِئْتُمْ دَفَعْتُ إلَيْكُمْ هَذِهِ الْأَمْوَالَ عَلَى أَنْ تُعْمِلُوهَا، وَتَكُونَ ثِمَارُهَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ، وَأُقِرُّكُمْ مَا أَقَرَّكُمْ اللَّهُ“، فَقَبِلُوا، فَكَانُوا عَلَى ذَلِكَ يُعْمِلُونَهَا: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ، فَيَقْسِمُ ثَمَرَهَا، وَيَعْدِلُ عَلَيْهِمْ فِي الْخَرْصِ، فَلَمَّا تَوَفَّى اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَقَرَّهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَيْدِيهِمْ، عَلَى الْمُعَامَلَةِ الَّتِي عَامَلَهُمْ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَتَّى تُوُفِّيَ، ثُمَّ أَقَرَّهَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَدْرًا مِنْ إمَارَتِهِ. ثُمَّ بَلَغَ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي قَبَضَهُ اللَّهُ فِيهِ: “لَا يَجْتَمِعَنَّ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ دِينَانِ“، فَفَحَصَ عُمَرُ ذَلِكَ، حَتَّى بَلَغَهُ الثَّبْتُ، فَأَرْسَلَ إلىَ يَهُودَ، فَقَالَ: إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَذِنَ فِي جَلَائِكُمْ، قَدْ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا يَجْتَمِعَنَّ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ دِينَانِ“، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ عَهْدٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَهُودِ فَلْيَأْتِنِي بِهِ، أُنْفِذُهُ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عَهْدٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَهُود، فليتجهّز الْجلاء، فَأَجْلَى عُمَرُ مَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عَهْدٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ. . Tercantum juga dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٣٠٧).
[6] Musnad Ahmad, Musnad ‘Umar (مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), 90: عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ، مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ .
[7] Sirah ibnu Hisyam (سيرة ابن هشام), bab (تَسْمِيَةُ النَّفَرِ الدَّارِيِّينَ الَّذِينَ أَوْصَى لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خَيْبَرَ), sub bab (قِسْمَةُ عُمَرَ لِوَادِي الْقُرَى بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ): عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَكْنَفٍ، أَخِي بَنِي حَارِثَةَ، قَالَ: لَمَّا أَخْرَجَ عُمَرُ يَهُودَ مِنْ خَيْبَرَ رَكِبَ فِي الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، وَخَرَجَ مَعَهُ جَبَّارُ بْنُ صَخْرِ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ خَنْسَاءَ، أَخُو بَنِي سَلَمَةَ، وَكَانَ خَارِصَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَحَاسِبَهُمْ- وَيَزِيدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَهُمَا قَسَمَا خَيْبَرَ بَيْنَ أَهْلِهَا، عَلَى أَصْلِ جَمَاعَةِ السُّهْمَانِ، الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا. .
[8] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab tentang Jihad dan ekspedisi (كتاب الجهاد والسير), bab mata-mata (باب الْجَاسُوسِ , al-Jasus), no. 3007, syarh oleh Sayyid Zainul Abidin. Beliau (saw) bersabda, إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ ‘Dia (Hathib) ikut serta dalam perang Badr dan siapa yang tahu bahwa Allah Ta’ala pernah berfirman mengenai para sahabat Badr, “Apapun yang kalian inginkan silahkan lakukan, Aku telah mengampuni segala dosa kalian.”’ Maknanya bukan berarti mereka bebas berbuat apa saja dan akan diampuni melainkan para Sahabat Badr diberikan anugerah kema’shuman (perlindungan dan penjagaan dari sengaja berbuat dosa). Shahih Muslim (صحیح مسلم), Kitab Fadhailush Shahaabah (کتاب فضائل الصحابہ), bab keutamaan peserta Badr (باب من فضائل اہل بدر رضی اللہ عنہم وقصۃ حاطب بن ابی بلتعہ), nomor 2494: Surat tersebut berisi informasi rahasia. Allah Ta’ala mengabarkan hal itu kepada Rasulullah dan surat tersebut kembali kepada Rasulullah (saw).
[9] As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), Ghazwah Hunain setelah penaklukan Makkah (غَزْوَةُ حُنَيْنٍ فِي سَنَةِ ثَمَانٍ بَعْدَ الْفَتْحِ), peri keadaan Abu Qatadah (شَأْنُ أَبِي قَتَادَةَ وَسَلَبُهُ), tahun ke-8 Hijriyyah (630)
[10] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab (بَابُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ} إِلَى قَوْلِهِ: {غَفُورٌ رَحِيمٌ}), nomor 4320: عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ قَالَ لَمَّا قَفَلْنَا مِنْ حُنَيْنٍ سَأَلَ عُمَرُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَذْرٍ كَانَ نَذَرَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ اعْتِكَافٍ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِوَفَائِهِ .
[11] Jami` at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم)
[12] Shahih Muslim, Kitab al-Washiyyat (كتاب الوصية), bab tarkul washiyyah (باب تَرْكِ الْوَصِيَّةِ لِمَنْ لَيْسَ لَهُ شَىْءٌ يُوصِي فِيهِ), 1637c.
[13] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Mardha (كتاب العلم), bab (باب كِتَابَةِ الْعِلْمِ) nomor 114.
[14] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab Fadhail Ash-haabin Nabiyyi (saw) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab Qaulin Nabiyyi saw, lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ”), 3668.
[15] Tafsir Ibnu al-Mundzir (تفسير ابن المنذر)
[16] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab sakitnya Nabi dan kewafatan beliau (saw) (بَابُ مَرَضِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَفَاتِهِ ), 4452-4453.
[17] Al-Qasthalani dalam Kitabnya Irsyaadus Saari (شرح القسطلاني ارشاد الساري لشرح صحيح البخاري (صفحة 2813)): (قال الزهري) محمد بن مسلم بن شهاب بالسند المذكور (وحدثني) بالإفراد (أبو سلمة) بن عبد الرحمن (عن عبد الله بن عباس) سقط قوله قال: الزهري وقوله عبد الله لأبي ذر (أن أبا بكر) الصديق (خرج) أي من عند النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- .
[18] Al-Milal wan Nihal karya Imam asy-Syahrastani (الملل والنحل – الشهرستاني – ج ١ – الصفحة ٢٣)
[19] Ar-Raudh al-Unuf karya Imam as-Suhaili (الروض الأنف في شرح السيرة النبوية لابن هشام (للسهيلي)), bab Saqifah Bani Sa’idah (أَمْرُ سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ). Tercantum juga dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٤٥٠) dan as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية – ابن هشام الحميري – ج ٤ – الصفحة ١٠٧٥).
[20] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Fadhail Ash-haabin Nabiyyi (saw) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab Qaulin Nabiyyi saw, lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ”), 3667.
[21] Ash-Shiddiiq Abu Bakr karya Muhammad Husain Haikal (الصديق أبو بكر لمحمد حسين هيكل), bab Umar dan Abu Ubaidah berbaiat kepada Abu Bakr. Doktor Muhammad Husain Haikal lahir pada 20 Agustus 1888 dan wafat pada 8 Desember 1956. Beliau kuliah Fakultas Hukum dan meraih doktor bidang ekonomi dan politik di Prancis; di Mesir sebagai pengacara, jurnalis, sastrawan dan politisi (ketua partai Liberal Konstitusi) serta pernah menjadi menteri negara beberapa kali bahkan ketua Senat (Parlemen).
[22] As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), bab (جَهَازُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَفْنُهُ), sub bab (افْتِتَانُ الْمُسْلِمِينَ بَعْدَ مَوْتِ الرَّسُولِ).
[23] Shahih al-Bukhari, Kitab al-I’tisham bil Kitaab was Sunnah, bab mengikut Sunnah-Sunnah Rasulullah (saw) (باب الاِقْتِدَاءِ بِسُنَنِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم), nomor 7284-7285.
[24] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري), dzikr ma qala dzalika (ذكر من قال ذلك), nomor Hadits 963.
[25] Shahih al-Bukhari hadis nomor 4311: عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ { لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ } إِلَى آخِرِهِمَا .
[26] Shahih al-Bukhari hadis nomor 4311.