Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 127, Khulafa’ur Rasyidin Seri 03, Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu Seri 17)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binal-’Ashrihil ‘aziiz) pada 24 September 2021 (24 Tabuk 1400 Hijriyah Syamsiyah/17 Shafar 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Masih berlangsung pembahasan mengenai zaman kekhalifahan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Masih berkenaan dengan itu, pada hari ini akan saya sampaikan perihal penaklukan Baitul Maqdis pada tahun 15 Hijriah. Dibawah komando Hadhrat Amru Bin Al-’Ash radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, laskar Islam mengepung Baitul Maqdis. Laskar Abu Ubaidah (ra) pun bergabung dengan mereka. Setelah tidak tahan berada di balik benteng, umat Kristen datang dan menawarkan damai. Namun mereka menetapkan syarat Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri yang datang untuk membuat perjanjian. Hadhrat Abu Ubaidah radhiyAllahu ta’ala ‘anhu mengabarkan hal tersebut kepada Hadhrat ‘Umar (ra) (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) bermusyawarah dengan para sahabat. Hadhrat ‘Ali radhiyAllahu ta’ala ‘anhu memberikan pendapat agar Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat. Hadhrat ‘Umar (ra) menyetujui gagasan Hadhrat ‘Ali (ra) dan menetapkan Hadhrat ‘Ali (ra) sebagai Amir Madinah. Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Hadhrat ‘Utsman-lah yang ditetapkan sebagai Amir Madinah. Setelah itu beliau (ra) berangkat menuju Baitul Maqdis.[1]
Perjalanan beliau itu bukan perjalanan biasa karena yang menjadi tujuan adalah untuk menimbulkan ru’b Islam di dalam hati para musuh Islam, namun ketika beliau (ra) berangkat, dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa kedatangan Hadhrat ‘Umar (ra) tidaklah disertai tetabuhan dan tidak juga disertai laskar besar layaknya raja-raja duniawi. Sampai sampai kemah yang sederhana pun tidak ada. Saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) mengendarai kuda dan disertai beberapa sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar. Dalam satu Riwayat malah dikatakan bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) hanya disertai seorang budak belian, tepung jelai dan wadah dari kayu untuk makan. Namun meskipun demikian, kemanapun kabar keberangkatan beliau (ra) dari Madinah ke Baitul Maqdis sampai, menimbulkan kehebohan.
Dijelaskan perihal perjalanan singkat sebagai berikut. Eiliya adalah satu kota yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis. Siapa yang mengepung Baitul Maqdis dan siapa yang memohon melalui surat kepada Hadhrat ‘Umar (ra) untuk berangkat ke Baitul Maqdis?
Mengenai hal itu Ath-Thabari menulis, “Hadhrat Amru Bin Al-‘Al-’Ash menulis surat ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) yang isinya memohon agar dikirimkan bantuan. Di dalam surat itu Hadhrat Amru mengusulkan, ‘Saya tengah menghadapi peperangan yang dahsyat dan masih ada banyak kota lagi yang harus dihadapi. Saya menunggu petunjuk Hudhur.’
Setibanya surat tersebut ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra), beliau memahami bahwa Hadhrat Amru pasti menulis surat ini setelah memahami sepenuhnya keadaan. Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) memerintahkan untuk mengumumkan keberangkatannya kepada orang-orang lalu berangkat.”[2]
Dalam Ath-Thabari tertulis juga, berkenaan dengan kunjungan Hadhrat ‘Umar (ra) ke syam bahwa yang menjadi penyebabnya sebenarnya adalah ketika Hadhrat Abu Ubaidah (ra) telah tiba di Baitul Maqdis, penduduk di sana menginginkan adanya perdamaian dengan beliau sesuai dengan janji damai dengan kota-kota lainnya. Mereka juga berharap dalam perjanjian damai tersebut dihadiri oleh Hadhrat ‘Umar (ra) sebagai pemimpin dari pihak umat Islam. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menulis kepada Hadhrat ‘Umar (ra) lalu Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat dari Madinah.[3]
Namun, sebagian sejarawan tidak sepakat dengan Riwayat Abu Ubaidah (ra). Dalam hal ini Muhammad Husain Haikal menulis, “Penting bagi kita untuk meyakini riwayat ini jauh dari kebenaran yang keterangannya menyebutkan Hadhrat Khalid Bin Walid (ra) atau Hadhrat Abu Ubaidah (ra) Bin al-Jarrah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengepung Baitul Maqdis seperti yang dinukil oleh Ath-Thabari, Ibnu Atsir atau Ibnu Katsir dan lain-lain. Ath-Thabari meriwayatkan bahwa yang menjadi alasan keberangkatan Hadhrat ‘Umar (ra) ke Syam adalah Hadhrat Abu Ubaidah (ra) telah mengepung Baitul Maqdis, penduduk kota mengajukan perjanjian damai sebagaimana telah dilakukan dengan daerah daerah Syam lainnya dengan syarat. Namun di dalamnya diajukan lagi satu syarat lainnya yakni Hadhrat ‘Umar (ra) diharapkan hadir di dalamnya untuk membuat perjanjian. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mengabarkan hal tersebut kepada Khilafat lalu Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat dari Madinah.
Kita meyakini riwayat tersebut bertentangan dengan kebenaran karena pada saat pengepungan Baitul Maqdis, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan Hadhrat Khalid (ra) tengah sibuk dalam penaklukan kota Hims, Halb, Antakiyah dan juga kota-kota di sekitarnya. Sebaliknya, Heraklius tengah berada di daerah Rauhah tengah mengumpulkan laskar untuk memaksa mereka kembali mundur. Semua kejadian ini pun seperti halnya penaklukan Baitul Maqdis, terjadi pada 15 Hijriah. Bertepatan dengan 636 Masehi.”[4]
Menurutnya [menurut sejarawan Haikal], “Hal yang benar adalah pengepungan Baitul Maqdis berlangsung sampai berbulan-bulan dan terjadi pada tahun yang sama dengan bergeraknya kedua komandan (Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan Hadhrat Khalid (ra)) tersebut menuju Syam hingga mereka memaksa Heraklius untuk berlindung di ibukota. Dalam hal ini mereka berdua tengah sibuk di tempat lain sehingga tidak masuk akal jika dikatakan keduanya mengepung Baitul Maqdis pada saat itu. Dengan demikian kita terpaksa menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak dapat diterima.
Dalam hal ini masih satu Riwayat yang disampaikan, masih ada yang lainnya yaitu riwayat Hadhrat Amru Bin Al-’Ash-lah yang telah mengepung Baitul Maqdis dan berlangsung cukup lama. Ath-Thabari pun sebelumnya telah menulis mengenai hal ini bahwa penduduk Baitul Maqdis pun menghadapi pasukan Muslim dengan gencar dan semangat. Riwayat inilah yang sahih menurut kita karena sepakat dengan apa yang jelas kita ketahui bahwa penduduk Baitul Maqdis selalu gigih dalam menghadapi setiap serangan dalam waktu yang berbeda-beda.”[5]
Muhammad Husain Haikal lebih lanjut menulis, “Mengherankan jika dikatakan Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat bersama laskar hanya untuk memenuhi perjanjian damai. (yakni, untuk mengadakan perjanjian). Juga mengherankan jika dikatakan bahwa jika penduduk Baitul Maqdis mengajukan kepada Hadhrat ‘Umar (ra) supaya berangkat dari Madinah untuk memenuhi perjanjian damai, padahal mereka tahu jika ada kafilah yang berangkat dari Madinah tanpa henti menuju tempat mereka, akan memakan waktu tiga minggu penuh. Karena itu, yang lebih rajih (tepat) adalah ukuran kesabaran Hadhrat ‘Umar (ra) sudah penuh disebabkan lamanya pengepungan dan dari surat-surat Hadhrat Amru Bin Al-’Ash yang didalamnya disebutkan kekuatan musuh dan dimintakan bantuan sehingga ketika Hadhrat ‘Umar (ra) dimintai bantuan, Hadhrat ‘Umar (ra) pun ikut berangkat dan tinggal sementara di Jabiyah, area yang terdapat diantara gurun Syam dan tanah Urdun (Yordania). Pada saat itu Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan Hadhrat Khalid (ra) telah selesai dari penaklukan Syam. Hadhrat ‘Umar (ra) memerintahkan keduanya untuk menemui beliau di Jabiyah supaya Hadhrat ‘Umar (ra) dapat mencari jalan yang paling tepat untuk misi Baitul Maqdis setelah bermusyawarah dengan mereka dan para komandan pasukan. Atrabun dan Safarneus mengetahui kabar kedatangan Hadhrat ‘Umar (ra).” [6]
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam penyebutan nama nama. Dalam buku-buku Bahasa Arab tertulis namanya Artabun (Artavon). Sedangkan menurut Haikal itu tidaklah benar. Berdasarkan peneletiaannya namanya adalah Atrabun. Adapun nama Safarneus dalam buku-buku Bahasa Arab tertulis Safrunius.
“Ketika para pemimpin musuh mendapatkan kabar perihal apa yang terjadi dengan Syam di tangan Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan Hadhrat Khalid (ra), mereka memahami bahwa pertahanan Baitul Maqdis tidak akan berlangsung lebih lama lagi. (yakni pertempuran akan semakin sulit) Karena itu, Atrabun membawa pasukannya lalu diam-diam bergerak ke Mesir. Sementara itu, pendeta tua itu setelah yakin akan keselamatannya mulai melakukan perbincangan damai dengan pihak Muslim. Karena ia mengetahui bahwa Amirul Mu-minin tengah berada di Jabiyah sehingga itu ia memberikan persyaratan agar Hadhrat ‘Umar (ra) sendiri datang untuk menulis perjanjian damai. Diantara Jabiyah dan Baitul Maqdis jaraknya tidak begitu jauh sehingga harus beralasan untuk menjawab permohonan Safarneus.” Ia (Husain Haikal) mengatakan, “Inilah perkara yang saya anggap benar dan kaitannya dengan peristiwa peristiwa yang berkenaan dengan serangan terhadap Syam dan Palestina bersesuaian dengan konteks sejarah.” [7]
Alhasil, setelah menerima surat-surat tersebut bagaimana syura yang diadakan oleh Hadhrat ‘Umar (ra)? Berkenaan dengan ini tertulis, “Setelah menerima surat-surat Hadhrat ‘Umar (ra) mengumpulkan para sahabat terhormat dan mengadakan syura. Hadhrat ‘Utsman memberikan pandangan yakni pihak Kristen telah putus asa, untuk itu mohon Hudhur kiranya menolak permohonan mereka, dengan begitu mereka akan lebih terhina. Setelah itu mereka akan beranggapan bahwa pihak Muslim sama sekali menganggap mereka taka da artinya untuk itu mereka akan menurunkan senjata tanpa syarat.
Namun Hadhrat ‘Ali (ra) memberikan pandangan yang bertentangan dengan itu dan mengusulkan agar Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat ke Eiliya (nama kuno Yerusalem). Beliau (ra) berkata, ‘Pihak Muslim telah bertahan dari cuaca dingin, menghadapi peperangan dan kesulitan luar biasa ketika tinggal dalam waktu yang lama. Jika Hudhur berangkat, maka akan memberikan kebaikan dan kedamaian bagi Hudhur dan umat Islam. Namun jika sebaliknya, hal ini akan berdampak tidak baik bagi Hudhur. Pihak musuh akan menutup benteng dan diam di dalam dan akan mendapatkan bantuan dari raja Romawi, karena secara khusus dalam pandangan mereka, Baitul Maqdis merupakan tempat suci dan tempat berziarah.’ Hadhrat ‘Umar (ra) menyukai dan menerima gagasan Hadhrat ‘Ali (ra).”[8]
Dalam safar tersebut, selain Muhajirin dan Anshar, ikut juga Hadhrat Abbas Bin Abdul Muthalib.[9]
Berkenaan dengan safar tersebut terdapat satu Riwayat. Abu Sa’id al-Maqburi (أبى سعيد المقبرى) meriwayatkan dalam safarnya Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat bersama para sahabat bada shalat subuh. Beliau menghadap kepada para sahabat lalu mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kehormatan kepada kita dengan perantaraan Islam dan iman dan memberikan kehormatan kepada kita dengan perantaraan Muhammad (saw). Dia telah memberikan hidayah kepada kita dari kesesatan dengan perantaraan beliau saw. Dia telah mengumpulkan kita sehingga tidak terbagi dalam grup-grup, telah menyemaikan kecintaan dalam hati kita dan menolong kita dengan perantaraan beliau dalam menghadapi musuh, telah memberikan tempat kepada kita di berbagai kota. Dengan perantaraan beliau (saw) juga menjadikan kita bersaudara yang saling mencintai. Untuk itu panjatkanlah puji sanjung ke hadirat Ilahi atas nikmat-nikmat ini dan mintalah pertolongan yang lebih banyak dari ini dan mintalah juga taufik untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat ini dan nikmat-nikmat yang di dalamnya kalian dapat berjalan-jalan. Berkenaan dengan itu, berdoalah kepada Allah semoga Allah memenuhinya bagimu, karena Allah Ta’ala menghendaki adanya perhatian kepada-Nya dan Dia menyempurnakan nikmat-nikmatnya atas hamba-hamba yang bersyukur.”[10] Hadhrat ‘Umar (ra) terus mengulangi ucapan tersebut setiap pagi selama perjalanan dari awal hingga kembali, beliau tidak menghentikannya. Yakni beliau terus menyampaikan pesan tunggal tersebut.
Telah diinformasikan kepada para komandan untuk datang ke Jabiyah dan menemui beliau sesuai dengan informasi, Yazid Bin Abi Sufyan (ra) dan Khalid bin Walid (ra) dan lain-lain menyambut di sana. Setelah menetap di Syam kesederhanaan bangsa Arab tidak tampak lagi dalam diri para pemimpin Muslim itu. Kemudian mereka hadir ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) dengan penampilan dimana mereka mengenakan kain sutera halus dan mewah. Dengan mengenakan pakaian yang bagus dan mewah mereka tampak seperti bukan orang Arab.[11]
Melihat keadaan itu, Hadhrat ‘Umar (ra) sangat marah lalu beliau turun dari kuda dan melemparkan kerikil kearah mereka yakni begitu cepatnya kalian meniru kebiasaan orang asing. Para pemimpin itu berkata, “Dibalik pakaian ini terdapat senjata.” Artinya, mereka tidak meninggalkan status sebagai prajurit. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Jika memang demikian, baiklah.”[12] Artinya, “Kalian mengenakan pakaian ini hanya untuk memperlihatkan penampilan lahiriah saja sedangkan di bagian dalam penampilan kalian masih penampilan Arab.”
Terdapat dalam riwayat bahwa Yazid Bin Abi Sufyan berkata, “Wahai Amirul Mu-minin, kami memiliki banyak sekali pakaian dan kendaraan. Kehidupan kami sangat baik, barang dagangan bernilai murah dan orang Islam dapat hidup seperti yang tuan harapkan. Jika tuan berkenan mengenakan kain putih ini dan mengendarai kendaraan yang baik ini lalu memberikan diantara biji-bijian yang banyak ini kepada umat Islam untuk dimakan, maka melakukan demikian akan memberikan kemasyhuran dan dalam melaksanakan urusan pemerintahan akan lebih tampak elegan bagi tuan sehingga dalam pandangan orang-orang bukan Arab tuan akan lebih terpandang.”[13]
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Wahai Yazid, tidak! Demi Tuhan! Saya tidak akan meninggalkan keadaan seperti keadaan dua sahabat saya.” (Artinya, beliau akan berpenampilan seperti Hadhrat Rasulullah (saw) dan Abu Bakar) “Saya tidak akan memilih untuk berpenampilan mewah di hadapan mereka karena saya takut jangan sampai dengan melakukan demikian dalam pandangan Allah Ta’ala ternoda. Saya juga tidak ingin dalam pandangan manusia saya dipandang terhormat sedangkan di hadapan Allah Ta’ala tidak berarti.”
Alhasil, Hadhrat ‘Umar (ra) tetap pada keadaan yang dicontohkan oleh Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakar hingga akhir hayat.[14]
Bagaimana perjanjian damai terjadi diantara Muslim dan Kristen? Dimanakah terjadi perdamaian menurut penduduk Elia? Berkenaan dengan itu mayoritas sejarawan menulis, perjanjian damai antara Muslim dan Kristen dideklarasikan di daerah Jabiyah. Tertulis, “Ketika berada di Jabiyah, Hadhrat ‘Umar (ra) tengah duduk di sekitar prajurit, tiba-tiba tampak beberapa pengendara yang tengah datang mengendarai kuda dan pedang mereka berkilauan. Melihat itu, pihak Muslim langsung memegang pedang. Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, ‘Ada apa?’ Para sahabat menunjukkan ke arah para pengendara kuda. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Tidak perlu khawatir, mereka datang untuk meminta kedamaian. Mereka adalah penduduk Elia.’ Setelah itu Hadhrat ‘Umar (ra) menulis surat perjanjian dan memberikannya kepada mereka.”[15]
Kemudian dalam satu Riwayat, Allamah Baladuri dan Muhammad Husain Haikal menulis bahwa perjanjian damai bukan terjadi di Jabiyah melainkan di Elia. Namun demikian, Muhammad Husain Haikal dalam kitabnya pada tempat lain menulis bahwa perjanjian terjadi di Jabiyah.
Surat perjanjian diantara umat Muslim dan umat Kristen isinya sebagai berikut dalam Tarikh ath-Thabari: “Bismillaahir rahmaanirrahiim – dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang – , ini adalah keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Amirul Mu-minin (Pemimpin orang-orang beriman) ‘Umar (ra) kepada penduduk Eiliya bahwa jiwa-jiwa mereka, harta-harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang mereka yang lemah, orang-orang mereka yang merdeka dan seluruh kaumnya diberikan keamanan. Rumah-rumah dan gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak juga akan dihancurkan dan tidak juga akan dikurangi dari apa yang ada didalamnya.
Tanah di sekeliling gereja mereka tidak akan dikurangi, salib mereka tidak akan diganggu, dan harta mereka tidak akan diusik; tidak akan ada pemaksaan untuk mereka dalam hal agama mereka, tidak ada satu pun diantara mereka yang akan disakiti, tidak akan ada satu pun orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Eiliya [Yerusalem], dan penduduk Eiliya berkewajiban agar memberi jizyah seperti halnya kota-kota lainnya.
Mereka hendaknya mengeluarkan orang-orang Romawi dan para pemberontak dari Eiliya. Alhasil, mereka yang keluar [dari Yerussalem], maka jiwa dan harta mereka akan terlindungi hingga mereka sampai di tempat aman mereka. Siapa saja diantara mereka yang ingin tinggal di Eiliya, maka mereka akan aman dan mereka harus memberi jizyah seperti halnya penduduk Eiliya yang lain. Jika ada diantara penduduk Eiliya yang ingin pergi menuju daerah Romawi bersama jiwa dan harta bendanya, dan mereka pergi meninggalkan tempat peribadatan dan salib mereka, maka jiwa mereka, tempat peribadatan mereka dan salib mereka akan terlindungi (seandainya ada yang ingin keluar darinya, ia pun tidak akan ditindak) hingga mereka tiba di tempat aman mereka.
Para petani yang bercocok tanam di Eiliya sebelum perang, jika ada diantara mereka yang ingin tetap tinggal di tanah mereka, maka mereka pun harus memberi jizyah seperti halnya penduduk Eiliya. Adapun mereka yang ingin pergi bersama bangsa Romawi, mereka dapat pergi; dan mereka yang ingin kembali ke kerabatnya, mereka dapat kembali; tidak akan ada jizyah yang diambil dari para petani itu hingga tiba masa panen mereka; jika ada pendapatan yang mereka terima semenjak perjanjian ini, maka itu akan terkena jizyah. Diatas segenap perjanjian ini, ada janji Allah atasnya, ada tanggung jawab Rasul-Nya, tanggung jawab para khalifah, dan tanggung jawab orang-orang mukmin, selama mereka terus memberi jizyah yang merupakan tanggung-jawabnya.”[16]
Perjanjian ini dikuatkan oleh persaksian Hadhrat Khalid bin Walid (ra), Hadhrat Amru bin a-Al-’Ash, Hadhrat Abdurrahman bin Auf dan Hadhrat Muawiyah bin Abu Sufyan.[17]
Di dalam Kitab Tarikh Ibnu Khaldun tertulis, “Ada beberapa hal yang telah terbukti dari perjanjian tersebut. Pertama, kaum Muslim tidak menyebarkan agama mereka dengan kekuatan pedang. Dua, di bawah pemerintahan Muslim, para pemeluk agama lain mendapatkan kebebasan beragama yang sangat besar. Tiga, jizyah yang diterima dari kaum agama lain tidak diambil dengan paksaan; mereka memiliki kebebasan, baik untuk tinggal dan memberi jizyah atau pergi ke tempat lain; dalam kedua corak tersebut mereka tetap diberi perlindungan.”
Tatkala penduduk Ramalah menerima berita perdamaian ini, maka mereka pun sangat mengharapkan perjanjian seperti demikian dengan Amirul Mu-minin. Demikian pulalah keadaan penduduk yang lain di wilayah Palestina. Ada surat yang dikirim dari Hadhrat ‘Umar (ra) kepada penduduk di Lud (yang dibawahnya pun melingkupi juga beberapa kota yang pada akhirnya menerima kesetiaan dengan kaum Muslim) bahwa di dalam surat ini, Hadhrat ‘Umar (ra) memberi perlindungan kepada seluruh jiwa, harta, gereja dan salib mereka, mereka yang sehat maupun sakit dan pemeluk seluruh agama, dan bersabda, “Jika mereka memberi jizyah seperti halnya kota-kota di Syam, maka akan tidak ada paksaan dalam agama mereka dan mereka tidak akan diganggu atas dasar perselisihan ajaran agama.”
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan tersebut, Hadhrat Amirul Mu-minin mengangkat dua Pemimpin di wilayah Palestina dan membagi dua wilayah negeri tersebut pada mereka berdua. Maka dari itu, pemerintahan Alqamah bin Hakim (علقمة بن حكيم) terletak di Ramallah, sementara Alqamah bin Mujazziz (علقمة بن مجزز) terletak di Eiliya.[18]
Hadhrat ‘Umar (ra) berkunjung di Baitul Maqdis. Berkenaan dengan ini tertulis, “Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) telah memberi perlindungan dan keamanan kepada penduduk Eiliya dan beliau memukimkan pasukan di Eiliya maka beliau lantas pergi dari Jabiyah ke dekat Baitul Maqdis.” Kemudian tertulis, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menunggangi kuda beliau, beliau lalu merasakan kuda beliau tidak dapat berjalan lurus karena sakit di kaki kuda beliau lalu dibawakan seekor kuda peranakan Turki untuk Hadhrat ‘Umar (ra) dan beliau pun menungganginya. Kuda itu mengelak sehingga beliau turun darinya. Beberapa hari kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) mencari kuda beliau yang telah beliau tinggalkan tersebut (kuda itu tengah dirawat). Beliau lalu menungganginya hingga akhirnya berangkat ke Baitul Maqdis.
Setelah tiba di dekat Baitul Maqdis, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) datang bersama para pemimpin tentara untuk menyambut beliau. Pakaian dan peralatan Hadhrat ‘Umar (ra) sangat sederhana. Karena beranggapan tentang apa yang kelak dikatakan oleh orang-orang Kristen mengenai beliau, beliau pun diberikan jubah yang sangat mewah, namun beliau bersabda, “Kehormatan yang telah Tuhan beri kepada Anda sekalian adalah kehormatan Islam dan hal ini adalah cukup bagi kita.”
Para pendeta Kristen sendiri pun mengamanatkan kunci-kunci kota kepada Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) pertama mengunjungi Masjid Aqsa. [19] Kemudian, beliau datang ke sebuah gereja umat Kristen dan terus mengamatinya. Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) tengah berkeliling di gereja Kristen itu, waktu shalat pun telah tiba. Kaum Kristen memberi izin kepada Hadhrat ‘Umar (ra) untuk shalat di dalam gerejanya. Namun Hadhrat ‘Umar (ra) yang berpikir bahwa dengan ini generasi selanjutnya akan menjadikannya dalil untuk mengambil alih tempat peribadatan Kristen, maka beliau pun shalat di luar.[20]
Ketika bermukim di Eiliya, para pemimpin pasukan Muslim mulai mengundang Hadhrat ‘Umar (ra) untuk jamuan. Mereka menyiapkan hidangan dan memohon Hadhrat ‘Umar (ra) agar datang ke kemah mereka. Untuk menghormati mereka, Hadhrat ‘Umar (ra) menerima undangan mereka. Tampak Hadhrat Abu Ubaidah (ra) tidak mengundang Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada Hadhrat Abu Ubaidah (ra), “Selain Anda, tidak ada lagi satu pun pemimpin pasukan yang tidak mengundang saya.”
Atas hal ini Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menjawab, “Wahai Amirul Mu-minin, saya takut jika saya mengundang Hudhur, Hudhur tidak akan dapat menguasai diri.” (yakni beliau akan terharu).
Hadhrat ‘Umar (ra) lalu pergi ke kemah Hadhrat Abu Ubaidah (ra). Ketika tiba, beliau melihat tidak ada apapun di sana kecuali kain alas pelana kuda beliau; di sana jugalah tempat tidur, dan pelana kuda Hadhrat Abu Ubaidah (ra) yang beliau fungsikan sebagai bantal. (pelana dijadikan sebagai bantal dan alas pelana dijadikan sebagai alas tidur). Ada roti kering di salah satu sudut kemah beliau. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mengambilnya dan meletakkannya di atas tanah di hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) lalu beliau membawa garam dan wadah gerabah dari tanah yang berisi air.
Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) melihat pemandangan ini, beliau pun menangis lalu Hadhrat ‘Umar (ra) mendekap erat Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan bersabda, أنت أخى ، وما من أحد من أصحابى إلا وقد نال من الدنيا ونالت منه ، غيرك؟ “Engkau adalah saudaraku. Tidak ada seorang pun diantara sahabatku dimana ia telah mengambil sesuatu dari dunia dan dunia pun telah mengambil sesuatu darinya, kecuali Engkau.” Atas hal ini Hadhrat Abu Ubaidah (ra) berkata, ألم أخبرك أنك ستعصر فى بيتى عينيك “Bukankah telah kusampaikan sebelumnya ke hadapan Hudhur bahwa Hudhur tidak akan sanggup menguasai diri.”[21]
Hadhrat ‘Umar (ra) keluar dari kemah itu lalu berdiri dari antara orang-orang dan seraya menyeru puji sanjung ke hadirat Allah Ta’ala, yang merupakan hak-Nya, lalu setelah menyampaikan shalawat kepada Nabi Suci (saw), beliau bersabda, “Wahai segenap kaum Muslim, Sungguh Allah telah menyempurnakan janji-Nya atasmu, dan Dia telah menolongmu sekalian atas segenap musuh, dan Dia telah menjadikanmu sebagai pewaris negeri-negeri itu, dan Dia telah menganugerahkan keteguhan padamu di atas bumi. Oleh karena itu, Anda sekalian hendaknya bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhanmu. Menjauhlah Anda sekalian dari amalan-amalan yang dibenci, karena pekerjaan yang dibenci adalah tidak mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Dan sangat sedikit terjadi, dimana tatkala Allah menganugerahkan nikmat pada suatu kaum lalu kaum itu tidak mensyukurinya dan dia tidak segera melakukan taubat, kecuali pasti Allah akan menjatuhkan kehormatan mereka. Yakni, jika setelah luput dari mensyukuri nikmat, ia tidak segera bertobat, maka kehormatan mereka akan terputus dan akan habis. Kenikmatan-kenikmatan mereka akan dicabut, dan mereka akan dikuasai oleh musuh-musuh mereka.”[22]
Karena di Eiliya, kebanyakan para panglima pasukan dan para pembesar berkumpul, maka dari itu Hadhrat ‘Umar (ra) bermukim hingga beberapa hari lamanya dan menyampaikan beberapa perintah-perintah penting.
Satu hari Hadhrat Bilal datang dan mengadu, “Wahai Amirul Mu-minin, panglima pasukan kami memakan daging burung dan roti dari tepung. Sementara itu kaum Muslim pada umumnya tidak sanggup untuk menyantap makanan yang sederhana sekalipun.”
Hadhrat ‘Umar (ra) lalu bertanya kepada para pemimpin tersebut terkait itu, dan mereka menjawab, “Segala sesuatu di sini sangat murah. Harga yang didapat di Hijaz untuk roti dan kurma, di sini bahkan daging burung dan tepung terigu dapat dibeli dengan harga sama.”[23]
Hadhrat ‘Umar (ra) tidak memaksakan juga kepada para petinggi tersebut agar tidak memakannya, namun beliau memerintahkan bahwa dari harta ghanimah hendaknya ditetapkan subsidi makanan untuk setiap prajurit selain dari tunjangan mereka (yakni bagi prajurit, selain tunjangan uang, mereka juga diberi tunjangan bahan makanan).
Di tempat lain, ada tertera penjelasan tambahan terkait hal ini, bahwa Hadhrat Yazid bin Abu Sufyan berkata, “Harga-harga di kota kami cukup murah. Sedemikian murahnya hingga dengannya kami sanggup menjalaninya untuk waktu lama”. (Perkara ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Hadhrat Bilal).
Hadhrat ‘Umar (ra) al-Faruq (ra) bersabda, “Jika demikian halnya, makanlah dengan sebaik-baiknya. Saya tidak akan kembali dari tempat ini selama Anda tidak menyampaikan di hadapan saya rincian bahan-bahan [pokok pangan] beserta harga-harganya. Saya akan menuliskan pengeluaran untuk para Muslim yang berkekurangan baik yang tinggal di kota maupun desa; dan dari anggaran pengeluaran tersebut, penuhilah kebutuhan baik gandum, kacang, madu dan zaitun kepada setiap rumah tangga Muslim yang membutuhkan.”[24]
Hadhrat ‘Umar (ra) al-Faruq (ra) lalu bersabda kepada umat Muslim yang lemah dan tidak berdaya tersebut, “Rincian yang telah saya buat untuk Anda sekalian, akan diberikan seluruhnya oleh pemimpin kalian. Dan ini adalah diluar tunjangan rutin saya kirim kepada Anda dari Baitul Mal. Jika ada pemimpin yang tidak memberikan benda-benda ini kepada Anda, sampaikanlah kepada saya. Saya akan segera memakzulkannya (memecatnya).”[25]
Selama bermukim di Eiliya, satu saat ketika waktu shalat telah tiba, beberapa orang terus meminta kepada Hadhrat ‘Umar (ra) agar memerintahkan Hadhrat Bilal untuk mengumandangkan azan.[26] Hadhrat Bilal berkata, “Saya telah berketetapan hati bahwa saya tidak akan memberi azan setelah kepergian Rasulullah (saw), namun saya akan menjalankan perintah Hudhur.”[27] Alhasil, atas perintah Hadhrat ‘Umar (ra), ketika Hadhrat Bilal mengumandangkan azan, maka seluruh sahabat teringat masa-masa bersama Rasulullah (saw). Mereka sedemikian rupa larut tenggelam hingga menangis tersedu-sedu. Hadhrat ‘Umar (ra) pun sedemikian terenyuh hingga menangis terisak-isak dan pengaruh ini terus ada hingga waktu lama.[28]
Hadhrat ‘Umar (ra) berkeliling ke penjuru negeri sebelum kepulangan dari Baitul Maqdis. Setelah melawat hingga ke daerah perbatasan, beliau lantas mengatur perbatasan dan memperkuat pertahanan untuk seluruh negeri. Alhasil, maksud kunjungan Hadhrat ‘Umar (ra) ke Baitul Maqdis ini pun telah terpenuhi, dan beliau pun kembali ke Madinah dengan mengambil jalan semula yang beliau tempuh saat pergi. Sesampainya di Jabiyah, Faruq A’zam (Hadhrat ‘Umar (ra)) bermukim untuk beberapa hari di sana. Kemudian beliau kembali berangkat dengan kuda beliau [menuju Madinah].
Kegiatan apa saja yang beliau telah lakukan di wilayah Palestina diketahui kabarnya oleh Hadhrat ‘Ali (ra) dan umat Muslim lainnya [di Madinah]. Oleh karena itu, dari luar kota Madinah, mereka menyambut Hadhrat ‘Umar (ra) dengan sangat luar biasa.[29] Hadhrat ‘Umar (ra) masuk ke dalam Masjid Nabawi dan menunaikan shalat dua rakaat di dekat mimbar lalu beliau naik ke mimbar dan orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau. Beliau berdiri, memanjatkan puji sanjung kepada Allah Ta’ala, dan setelah bershalawat kepada Nabi (saw), beliau bersabda, “Wahai manusia, Allah sungguh telah menurunkan kebaikan demi kebaikan atas umat ini supaya mereka menyampaikan puji sanjung dan memanjatkan syukur kepada-Nya. Allah telah memberi kemuliaan pada ajaran umat ini, Dia telah mempersatukannya dan menampakkan kemenangan umat Muslim; Dia telah menurunkan bantuan dalam melawan segenap musuh dan menurunkan kehormatan atas umat-Nya, dan Dia telah meneguhkan mereka di muka bumi, dan Dia telah menjadikan mereka pewaris dari daerah-daerah kaum musyrik, baik rumah mereka dan perbendaharaan mereka. Oleh karena itu, teruslah bersyukur setiap saat ke hadirat Allah Ta’ala karena Dia akan menganugerahkan yang lebih banyak kepadamu sekalian. Panjatkanlah puji sanjung kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Dia turunkan atasmu ini. Maka Dia akan senantiasa mengukuhkan nikmat-nikmat ini atas Anda semua. Semoga Allah menjadikan kami dan Anda semua diantara hamba-hamba-Nya yang bersyukur.” Setelah itu Hadhrat ‘Umar (ra) beranjak turun dari mimbar.[30]
Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (ra) menjelaskan, “Di pengepungan Yerusalem, para pendeta berkata, ‘Jika Khalifah Anda datang, maka kami akan membiarkannya masuk.’ Hadhrat ‘Umar (ra) berangkat dengan sedemikian sederhananya yakni bergantian menunggangi unta bersama para khadimnya. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menyampaikan, ‘Hudhur, mohon kenakanlah pakaian lain dan menunggang kuda.’
Hadhrat ‘Umar (ra) menerima usulan ini, namun setelah sedikit jauh, beliau turun dari kuda dan bersabda, ‘Bawalah pakaian dan unta saya yang biasa.’
Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) tiba, Batriq (Patrik, pemimpin agama Kristen) dan yang lain pun tunduk akan karisma beliau dan menjatuhkan kunci-kunci mereka. Ia berkata, ‘Kami tidak sanggup berhadapan dengan panglima ini.’”[31] Hadhrat Khalifatul Masih Awwal menjelaskannya dengan corak demikian.
Hadhrat Masih Mau’ud menjelaskan, “Terkait dengan satu masjid di Yerusalem yang bagi umat Yahudi pun merupakan tempat yang penuh berkat seperti halnya Ka’bah bagi kita, di masa kaum Muslim, tatkala Yerusalem telah ditaklukkan, kaum Kristen menghendaki agar Hadhrat ‘Umar (ra) melakukan shalat di dalam tempat tersebut (gereja), namun Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya khawatir, jika saya melakukan shalat di dalam, kaum Muslim akan menjadikan tempat ini sebagai tempat peribadatan mereka’, sehingga beliau pun shalat di luar.”
Kemudian, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Di masa Hadhrat ‘Umar (ra) (ra), wilayah Palestina ditaklukkan, di waktu beliau berkunjung ke Yerusalem, para pendeta di Yerusalem keluar dan memberikan kunci-kunci kota kepada beliau dan berkata, ‘Kini Tuan adalah Raja kami. Karena itu, datanglah Tuan ke tempat beribadah (kami) dan lakukanlah shalat nafal dua rakaat supaya Tuan pun merasa tenang telah shalat di tempat suci kami yang juga merupakan tempat suci bagi Tuan.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya tidak dapat melakukan shalat di tempat beribadah Anda karena saya adalah sosok Khalifah bagi mereka, sehingga jangan sampai kaum Muslim kelak mengambil tempat beribadah ini seraya berkata bahwa ini adalah tempat suci umat Muslim, oleh karena itu saya akan melakukan shalat di luar, supaya tempat beribadah Anda kelak jangan terganggu.’”
Sementara itu di tahun 17 Hijriah, ada upaya penyerbuan terakhir dari pasukan Romawi, yang sebagai akibat dari upaya mereka ini, kaum Muslim malahan mendapat kemenangan penuh di seluruh wilayah Syam. Karena sebelumnya kemenangan yang diraih kaum Muslim terus meluas hari demi hari dan batas pemerintahan Islam pun terus-menerus meluas, para penguasa di wilayah sekitar pun dengan sendirinya menjadi cemas suatu hari kelak tiba giliran mereka [ditaklukkan pasukan Muslim]. Maka dari itu, para penduduk Jazirah – yaitu mereka yang tinggal diantara Syam dan Iraq – setelah Yazdegerd (Raja Persia) melarikan diri dari wilayah itu, mereka lantas berputus asa (tidak mengharap lagi) terhadapnya [bangsa Persia], sehingga mereka pun menulis kepada Heraklius (Kaisar Romawi waktu itu) bahwa seandainya mereka (Kaisar Romawi dan pasukan) memerangi kaum Muslim dan Heraklius berkenan mengirimkan laskar melalui jalan laut untuk mengeluarkan mereka dari genggaman kaum Muslim, maka penduduk Jazirah kelak akan membantunya.[32] Heraklius memikirkan perkara ini, dan berkesimpulan bahwa tidak ada segi yang dirugikan di dalamnya. Penduduk Jazirah kembali mengirimkan surat kepada Heraklius yang darinya Heraklius memahami bahwa tidak ada kegoyahan dalam keinginan mereka. Ia melihat kebanyakan mereka, para Arab Kristen, memeluk dengan teguh agama mereka, dan menganggap kematian para pemuda mereka di jalan ini adalah lebih baik bagi mereka. Telah berlalu 1 tahun lebih lamanya bagi Heraklius dari medan pertempuran Syam, sehingga tidak tersisa lagi sedikit pun takut seperti dahulu. Heraklius pun melihat masih banyak wilayah perbatasan yang cukup tangguh yang sanggup menandingi serangan kaum Muslim dan sanggup bertahan darinya serta armada perang laut mereka pun masih terjaga. Heraklius pun mengetahui kaum Muslim takut akan laut dan apapun yang datang dari laut. Dari hal ini, keinginannya pun menguat dan menerima permintaan penduduk Jazirah. Heraklius di dalam surat (balasannya) memberikan semangat kepada segenap kabilah [di Jazirah] dan meninggikan moral mereka, serta menuliskan bahwa ia telah memerintahkan armada laut Romawi untuk membawa tentara dan peralatan perang dan berangkat dari Iskandariah (Alexandria, Mesir) menuju Antakiyah (Antiokhia, Turki). Setelah menerima surat jawaban dari Heraklius, segenap kabilah pun bergerak dari Jazirah menuju Hims dengan membawa 30.000 tentara.
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mendapatkan berita mengenai semua yang terjadi itu. Beliau lalu mengutus orang untuk memanggil Hadhrat Khalid bin Walid (ra) agar datang dari Qinnasrin untuk bermusyawarah dan kedua komandan pasukan ini bersama-sama memutuskan seluruh pasukan Muslim harus berkumpul di Syam bagian utara untuk menghadapi musuh. Atas hal itu, pasukan Muslim dari seluruh kamp militer di Antakia, Hamat, Halb dan daerah terdekat dikumpulkan di Hims.
Di sisi lain tersiar kabar di seluruh negeri bahwa pasukan Heraklius datang melalui jalur laut dan suku-suku [Arab Kristen] di Jazirah telah berangkat untuk menyerang [pasukan Muslim di] Hims. Atas hal itu, orang-orang Muslim bertanya satu sama lain mengenai bagaimana cara mencegah serangan baru Kaisar dan para sekutunya tersebut.
Ketika kapal Heraklius sampai di Antakia, gerbang kota dibuka untuk pasukan Romawi. Orang-orang telah berbalik melawan Islam dan di seluruh Syam bagian utara telah menyala api pemberontakan.
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mendapati dirinya terjebak di Hims yang dikepung dari empat penjuru oleh para pemberontak dan beliau melihat musuh datang dari arah laut dan gurun. Beliau mengumpulkan kawan-kawannya dan mengatakan, “Saya telah mengirimkan sepucuk surat ke hadapan Amirul Mu-minin yang di dalamnya saya memohon bantuan dari beliau atas keadaan genting ini.”
Setelah itu beliau bertanya kepada mereka, “Apakah kaum Muslimin harus keluar menghadapi musuh atau berperang dengan menutup benteng sambil menunggu bala bantuan tiba dari Madinah?”
Hanya Hadhrat Khalid bin Walid (ra) yang menyarankan untuk keluar berperang, selebihnya seluruh komandan pasukan berpendapat supaya menutup benteng dan secepatnya memohon bala bantuan. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menerima pendapat mereka yang menyarankan untuk menutup benteng dan tidak menyetujui saran Hadhrat Khalid (ra) untuk keluar berperang. Beliau memperkuat garis depan pasukan dan menyampaikan pendapat rekan-rekannya tersebut ke singgasana Khilafat melalui surat.
Hadhrat ‘Umar (ra) tidak pernah mengabaikan hal ini bahwa jika pasukan Muslim di Irak dan Syam menghadapi ancaman bahaya seperti itu, maka penaklukkan-penaklukkan Islam akan menghadapi kesulitan yang sama seperti yang tengah dihadapi yang mana itu dihadapi sejak awal masa kekhalifahan beliau. Artinya, keadaan yang dulu pernah terjadi di masa-masa awal, bisa juga terjadi saat ini. Oleh karena itulah, Hadhrat ‘Umar (ra) memerintahkan pasukan Muslim untuk membuat pemukiman di Basrah dan di Kufah dan di kedua kota tersebut telah dibuat kamp-kamp tentara Muslim di mana tidak ada non-Muslim yang tinggal. Selain itu, di tujuh kota lainnya masing-masing ditempatkan 4000 pasukan berkuda yang untuk keperluan darurat selalu siap setiap saat dengan persenjataan mereka.
Maka dari itu, ketika surat Hadhrat Abu Ubaidah (ra) sampai di singgasana Khilafat dan Hadhrat ‘Umar (ra) merasa panglima pasukan Muslim yang hebat ini berada dalam bahaya besar, maka beliau segera mengirimkan perintah kepada Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqal-’Ash (ra) [di Kufah, Iraq], “Pada hari surat ini sampai kepadamu, di hari itu juga kirimkanlah Qa’qaa’ bin Amru (ra) bersama pasukan bantuan kepada Abu Ubaidah (ra) yang tengah terkepung di sana. Secepat dan sesegera mungkin bala bantuan sampai kepadanya.”
Hadhrat Sa’d (ra) pada hari itu juga melaksanakan perintah Amirul Mu-minin dan empat ribu pasukan berkuda berpengalaman, dipimpin Hadhrat Qa’qaa’ (ra), berangkat dari Kufah menuju Hims. Keadaan saat itu begitu berbahaya, sehingga, empat ribu pasukan yang dibawa oleh Hadhrat Qa’qaa’ (ra) untuk menghadapinya tidak cukup, karena jumlah musuh yang datang dari Jazirah ke Hims sebanyak 30 ribu pasukan dan pasukan itu di luar pasukan yang dikirimkan oleh Heraklius melalui jalur laut.
Hadhrat ‘Umar (ra) mengetahui orang-orang beliau di setiap kota di Syam sedang berurusan dengan para penduduk setempat. Jika mereka meninggalkan kota-kota tersebut dan pergi ke Hims, maka seluruh tatanan pemerintahan Muslim di Syam akan berantakan. Oleh karena itu setelah memerintahkan Hadhrat Qa’qaa’ (ra) berangkat dari Kufah, beliau memberikan perintah lainnya yang mencerminkan pemikiran yang cermat dan pandangan beliau yang jauh. Suku-suku yang datang ke Hims dari Jazirah itu berani melakukannya karena mereka mengetahui bahwa kampung-kampung mereka berada di luar jangkauan serangan pasukan Muslim. Jadi, jika kampung-kampung mereka diserang, maka suku-suku ini akan berbalik langkah untuk kembali pulang dan dengan demikian tekanan yang sedang meningkat pada pasukan Abu Ubaidah (ra) akan berkurang.
Oleh karena itu, Hadhrat ‘Umar (ra) menulis dalam surat kepada Hadhrat Sa’d bin Abi Waqas (ra), “Utuslah satu pasukan di bawah kepemimpinan Hadhrat Suhail bin Adi (ra) ke kota Raqqah di Jazirah. Orang-orang Jazirah-lah yang menghasut orang-orang Romawi untuk menyerang Hims dan hal inilah yang dilakukan oleh orang-orang Qirqisiyah sebelum mereka. Utuslah pasukan kedua di bawah kepemimpinan Hadhrat Abdullah bin ‘Itban (ra) untuk menyerang Nasibain, orang-orang di sini pun telah menghasut para penduduk Qirqisiyah untuk melakukan serangan. Kemudian pergilah ke Harran – ibu kota Jazirah – dan ke Ruha lalu usirlah musuh dari sana. Kirimkanlah pasukan ketiga di bawah komando Walid bin Uqbah ke Rabiah dan Tanukh, yang merupakan suku-suku Kristen Arab di Jazirah dan kirimlah Iyadh bin Ghanam untuk menghadapi Jazirah. Jika terjadi peperangan, komandan pasukan lainnya akan berada di bawah pimpinan Iyadh bin Ghanam.” Ketika seluruh pemimpin pasukan ini berangkat menuju tempat yang dituju, orang-orang Jazirah meninggalkan pengepungan Hims dan kembali ke Jazirah.
Inilah kebijaksanaan, siasat dan strategi Hadhrat ‘Umar (ra) (ra), bukannya berkumpul di sana (Hims), beliau memerintahkan untuk mengirimkan sebagian pasukan ke berbagai kota dan daerah dari mana pasukan-pasukan yang tengah bersatu tersebut berasal. Yang hasilnya, ketika mereka melihat orang-orang Islam berdatangan ke daerah-daerah, pulau-pulau dan kota-kota mereka, maka kemudian orang-orang ini pergi ke sana meninggalkan pengepungan.
Namun tidak cukup sampai di situ, Hadhrat ‘Umar (ra) telah memperkirakan bahwa setelah mengalami kekalahan berkali-kali, Heraklius mengirimkan pasukannya melalui jalur laut dengan alasan ia percaya diri dengan kekuatannya dan merasa yakin bahwa ia memiliki kemampuan untuk menghadapi kaum Muslimin sendirian. Bukti terkuat dari hal ini adalah, ia (Herklius) menetapkan putranya sendiri, Konstantin sebagai komandan pasukan yang datang menggunakan kapal-kapal dari Iskandariah (Alexandria).
Sesuai dengan rencana Hadhrat ‘Umar (ra) (ra), Hadhrat Qa’qaa’ (ra) berangkat ke Hims dengan membawa 4000 pasukan berkuda. Suhail bin ‘Adi (ra), Abdullah bin ‘Itban (ra), Walid bin Uqbah dan Iyadh bin Ghanam pergi ke kota-kota di Jazirah untuk menghukum mereka. Sedangkan Hadhrat ‘Umar (ra) meninggalkan Madinah dengan tujuan menuju Hims dan singgah dulu di Jabiyah.
Orang-orang Jazirah tengah menyertai orang-orang Romawi untuk mengepung Hims. Pada awalnya mereka telah mendapatkan kabar kedatangan pasukan Islam dari Irak [dibawah Qa’qa’], namun tidak mengetahui pasukan ini akan menyerang kota mereka Jazirah atau Hims. Oleh karena itu, [setelah diketahui ternyata pasukan itu menuju Jazirah] mereka segera pergi untuk melindungi kota dan saudara-saudara mereka [di Jazirah] dan meninggalkan orang-orang Romawi [yang tengah mengepung Hims].
Suatu hari, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) bangun dari tidur dan mendapatkan kabar bahwa suku-suku Jazirah telah kembali ke negeri mereka dan yang tersisa berhadapan dengan beliau tinggal laskar Heraklius. Beliau memanggil para pemimpin pasukannya dan mengatakan bahwa beliau ingin keluar ke medan pertempuran untuk menghadapi orang-orang Romawi. Mendengar hal ini Hadhrat Khalid bin Walid (ra) sangat senang dan mengatakan, “Kita harus menyerang orang-orang Romawi sebelum mereka membuat pengaturan untuk situasi baru ini.”
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) menyampaikan sebuah pidato yang membakar semangat para laskar dan berkata, “Wahai orang-orang Muslim! Orang yang tetap teguh hari ini dan jika dia bertahan, dia akan mendapatkan negara dan kekayaan. Jika dia terbunuh, dia akan mendapatkan kekayaan syahid dan saya bersaksi bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda, ‘Siapa pun yang mati sementara dia bukan seorang Musyrik, dia pasti akan masuk surga.’”[33]
Sebelumnya pun pasukan sudah tidak sabar untuk melakukan serangan. Kini pidato dari Hadhrat Abu Ubaidah (ra) semakin mengobarkan semangat mereka dan mereka serentak mengambil senjata. Hadhrat Abu Ubaidah (ra) maju dengan membawa pasukan tengah, Hadhrat Khalid (ra) membawa pasukan sayap kanan dan Hadhrat Abbas (ra) membawa pasukan sayap kiri. Terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam waktu sekejap orang-orang Romawi mengalami kekalahan menghadapi kaum Muslimin.
Ketika Hadhrat Qa’qaa’ bin Amru (ra) beserta pasukan sampai ke Hims, pertempuran telah berakhir dan telah tiga hari berlalu. Di sisi lain, baru saja Hadhrat ‘Umar (ra) tiba di Jabiyah dalam perjalanan menuju Syam, beliau bertemu dengan utusan dari Hadhrat Abu Ubaidah (ra) dan ia menjelaskan bahwa, tiga hari sebelum Hadhrat Qa’qaa’ (ra) tiba di Hims, Allah Ta’ala telah memberikan kemenangan kepada orang-orang Islam atas orang-orang Romawi dan meminta pendapat apakah Hadhrat Qa’qaa’ (ra) beserta pasukannya diberikan bagian dari harta rampasan perang.
Hadhrat ‘Umar (ra) merasa tenang dan setelah mendapat kabar ini beliau merasa tidak perlu melanjutkan perjalanan. Dari sana Hadhrat ‘Umar (ra) menulis surat kepada Amiinul Ummat, Hadhrat Abu Ubaidah (ra) supaya penduduk Kufah diikutsertakan dalam pembagian harta ghanimah, karena kabar kedatangan merekalah yang telah menggentarkan hati musuh yang karenanya mereka mengalami kekalahan. Beliau mendoakan semoga Allah Ta’ala memberikan ganjaran terbaik kepada orang-orang Kufah karena mereka telah menjaga wilayahnya sendiri dan membantu penduduk kota-kota lainnya. Setelah itu beliau berangkat pulang menuju Madinah.
Setelah kekalahan itu Kaisar dirundung kekecewaan yang amat sangat sehingga ia tidak pernah berpaling ke Syam lagi. Di sisi lain, ketika para pemberontak mengetahui pasukan Romawi telah melarikan diri dengan kapal-kapal mereka, pemberontakan mereka juga mati dengan sendirinya. Peristiwa ini terjadi pada 17 Hijriah. Tiga tahun setelah itu, Heraklius meninggal dunia pada 20 Hijirah, bertepatan dengan 641 Masehi.
Kisah ini masih akan terus berlanjut di kesempatan yang akan datang. Insya Allah.
Sekarang saya juga ingin menyampaikan riwayat beberapa almarhum. Di antaranya yang pertama adalah yang terhormat Choudry Sa’id Ahmad Lakhn Sahib, seorang pensiunan kepala stasiun yang belakangan ini tinggal di Kanada. Beliau wafat pada usia 86 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Beliau adalah cucu dari Hadhrat Choudry Sikandar ‘Ali Sahib dan Hadhrat Gujar Bibi Sahibah yang merupakan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Hadhrat Choudry Sikandar ‘Ali Sahib (ra) baiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud (as) pada 30 Maret 1902, dan dari 1904 hingga 1928 beliau mendapatkan taufik untuk mengajar di Madrasah Ta’limul Islam. Beliau termasuk salah seorang yang Hadhrat Masih Mau’ud (as) semasa hidupnya tetapkan sebagai guru di Madrasah Ta’limul Islam, yang mana Almarhum Choudry Sa’id Sahib adalah cucu beliau.
Choudry Said sahib juga dengan karunia Allah Ta’ala melakukan pengkhidmatan-pengkhidmatan agama. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang mushi. Di antara yang ditinggalkan, selain istri juga 6 putra dan 3 putri. Dikarenakan tarbiyat yang baik yang beliau berikan, semua putra-putri beliau mendapatkan taufik mengkhidmati Jema’at dengan satu dan lain cara. Seorang putra beliau, Fahim Ahmad Lakhn adalah Muballigh Jema’at yang mendapatkan taufik berkhidmat di Kenya, dan dikarenakan sedang berada di lapangan pengkhidmatan tidak bisa hadir dalam prosesi jenazah ayahanda beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan ketabahan kepada beliau dan memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada Almarhum.
Almarhum adalah sosok yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi. Pada masa pendidikannya di tahun 1953, Almarhum bersama para pelajar ghair Ahmadi hadir dalam pertemuan Majlis Ahrar yang diselenggarakan di SMA Kelautan. Ketika Athaullah Shah Bukhari (seorang Ulama) melontarkan tuduhan kotor terhadap Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh berkenaan dengan beliau (as), maka Almarhum seketika berdiri dan memperingatkan maulwi tersebut dan ketika maulwi ini masih sedang menyampaikan pidatonya beliau mengatakan kepadanya, “Kamu hanyalah berbohong”, dan menyuruhnya untuk diam. Atas hal ini maulwi tersebut mengatakan, “Tangkap mirzai ini dan pukuli dia!”. Beliau dianiaya dengan kejam, namun kemudian terjadi kericuhan dalam pertemuan tersebut dan pertemuan itu bubar.
Beliau selalu menasihati anak-anaknya supaya dalam urusan Ahmadiyah janganlah tunduk dan takut kepada siapapun.
Jenazah kedua, yang terhormat Muhammad Syihabuddin Sahib, Naib Amir Nasional Bangladesh. Beliau wafat pada 12 Juli. Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau baiat di usia 18 tahun pada tahun 1964 karena melihat sebuah mimpi. Almarhum seorang mushi. Beliau termasuk di antara khadim Jema’at yang telah berkhidmat dalam kurun waktu yang lama. Beliau memiliki begitu banyak keistimewaan. Beliau sangat mencintai Khilafat, jujur, amanah, tidak banyak bicara dan memahami kepentingan Jema’at dengan baik. Sebelum kewafatannya beliau menghitung candah wasiyat dan sebagainya lalu melunasinya. Putra sulung beliau, Syamsuddin Ahmad Ma’shum Sahib adalah seorang Muballigh. Di antara anak keturunan beliau, selain 4 orang putra juga 3 orang putri.
Almarhum menjadi Ahmadi karena terkesan dengan tabligh paman beliau dan harus menghadapi penentangan keras di rumah beliau dan pada 1963 dengan sabar dan tabah beliau menanggung semua penentangan ini beberapa bulan. Kemudian beliau meninggalkan rumah dan tinggal di Brahmanbaria lalu di Dhaka. Kemudian beliau menikah dengan keluarga Ahmadi awalin. Salah satu keistimewaan beliau adalah sikap qona’ah. Merasa cukup dengan yang sedikit dan menjalani hidup dengan kesabaran dan rasa syukur. Dikarenakan kejujuran beliau, para pedagang ghair Ahmadi pun menghormati beliau dan semuanya menaruh kepercayaan kepada beliau sebagai seorang yang baik dan berbisnis dengan jujur. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum.
Jenazah selanjutnya yang terhormat Raul Abdullah Sahib, seorang berkebangsaan Argentina. Beliau wafat pada 6 september. Innaalilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Mubaligh di sana menulis bahwa beliau termasuk Ahmadi awalin di Argentina. Jema’at Argentina adalah Jema’at yang masih sangat baru. Baru berdiri beberapa tahun yang lalu. Perkenalan pertamanya dengan Jema’at Ahmadiyah terjadi di sebuah pameran buku pada 2018. Ketika beliau menjalin hubungan dengan Jema’at maka teman-teman Muslim non-Ahmadi beliau ingin menjauhkan beliau dari Jema’at, namun meskipun demikian beliau tetap terus ikut serta secara rutin dalam kegiatan-kegiatan Jema’at.
Bagaimanapun, disebabkan pengaruh kawan-kawannya tersebut timbul sedikit keraguan dan kebimbangan dalam hati beliau. Untuk menjauhkan keraguan tersebut beliau ikut serta dalam Jalsah Salanah UK. Beliau datang ke sini dengan biaya pribadi. Di sini beliau bermulaqat dengan saya (Hudhur) dan setelah mulaqat itu kemudian keraguan dan kebimbangan itu hilang dan sepenuhnya yakin. Lalu beliau baiat dan sebelum baiat pun sebetulnya beliau telah menjadi Ahmadi, beliau biasa bertabligh kepada orang-orang, namun baiat secara resmi beliau lakukan di sini.
Beliau satu-satunya Muslim dalam keluarga beliau. Kawan-kawan beliau hingga akhir hayatnya berusaha untuk menjauhkan beliau dari Jema’at. Namun beliau dengan istiqomah tetap teguh dalam Jema’at. Beliau memiliki ghairat tinggi terhadap Jema’at dan selalu dengan bangga memperkenalkan diri sebagai Ahmadi kepada sesama Ahmadi maupun non-Ahmadi. Beliau biasa ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Jema’at dengan penuh semangat dan keikhlasan.
Semoga Allah Ta’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau dan memberikan taufik kepada kerabat serta orang-orang terkasih beliau untuk menerima Ahmadiyah. Setelah salat saya akan melaksanakan shalat jenazah gaib mereka.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء). Di buku ini disebutkan bahwa dalam musyawarah antara Hadhrat ‘Umar (ra) dengan para Sahabat Nabi (saw), Hadhrat ‘Utsman (ra) berpandangan kaum Kristen Yerussalem yang tengah dikepung pasukan Muslim saat itu telah terteror dan kehilangan semangat berperang. Bila permintaan mereka ditolak maka akan merasa terhinakan dan menganggap kaum Muslim memandang mereka hina. Karena itu, beliau menyarankan Khalifah ‘Umar (ra) agar menolak permintaan kaum Kristen Yerussalem tersebut untuk membuat mereka menyerah tanpa syarat karena merasa terhinakan hebat. Saran ini ditolak oleh Khalifah ‘Umar (ra) dan beliau lebih menyukai saran Hadhrat ‘Ali (ra). Menurut Tarikh ath-Thabari, Amir Maqami di Madinah ialah Hadhrat ‘Ali (ra). Menurut Tarikh al-Ya’qubi, Amir Maqami di Madinah ialah Hadhrat ‘Utsman (ra).
[2] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٣ – الصفحة ١٠٣): إِنِّي أُعَالِجُ حَرْبًا كؤداً صَدُومًا، وَبِلَادًا ادُّخِرَتْ لَكَ، فَرَأْيَكَ. Tercantum juga dalam Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (نام کتاب : البداية والنهاية – ط إحياء التراث نویسنده : ابن كثير جلد : 7 صفحه : 64): فَلَمَّا وَصَلَ الْكِتَابُ إِلَى عُمَرَ عِلْمَ أَنَّ عَمْرًا لَمْ يَقُلْ ذَلِكَ إِلَّا لِأَمْرٍ عَلِمَهُ، فَعَزَمَ عُمَرُ عَلَى الدُّخُولِ إِلَى الشَّامِ لِفَتْحِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ كَمَا سَنَذْكُرُ تَفْصِيلَهُ. .
[3] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري):كان سبب قدوم عمر إلى الشام، أن أبا عبيدة حضر بيت المقدس، فطلب أهله منه أن يصالحهم على صلح أهل مدن الشام، وأن يكون المتولي للعقد عمر بْن الخطاب، فكتب إليه بذلك، فسار عن المدينة . Tercantum juga dalam Syarh Tarikh Tsanawi (شرح تاريخ 2 ثانوي), bahasan penaklukan-penaklukan di masa para Khalifah Rasyidin (الفتوحات الإسلامية في عصر الخلفاء الراشدين), Fath Dimasyq dan Fath Ajnadain (فتح دمشق 4 – فتح أجنادين), (محاصرة عمرو بن العاص لهم واستمر الحصار قرابة 4 شهور), (هروب الأرطبون إلي مصر لصد هجمات المسلمين)
[4] Al-Faruq ‘Umar (ra) karya Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر لمحمد حسين هيكل)
[5] Al-Faruq ‘Umar (ra) karya Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر لمحمد حسين هيكل)
[6] Al-Faruq ‘Umar (ra) karya Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر لمحمد حسين هيكل)
[7] Al-Faruq ‘Umar (ra) karya Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر لمحمد حسين هيكل)
[8] Al-Faruq ‘Umar (ra) karya Muhammad Husain Haikal (الفاروق عمر لمحمد حسين هيكل). Tercantum dalam Kitab al-Futuh karya Ahmad bin A’tsam al-Kufi (كتاب الفتوح – أحمد بن أعثم الكوفي – ج ١ – الصفحة ٢٢٥) sebagai berikut: فقال عمر رضي الله عنه: أما أنت يا أبا عمرو! فقد أحسنت النظر في مكيدة العدو، وأما أنت يا أبا الحسن! فقد أحسنت النظر لأهل الاسلام، وأنا سائر إلى الشام إن شاء الله ولا قوة إلا بالله. قال: ثم دعا عمر بن الخطاب رضي الله عنه بالعباس بن عبد المطلب رضي الله عنه فأمره أن يعسكر بالناس. قال: فعسكر العباس خارج المدينة، واجتمع المسلمون من وجوه المهاجرين والأنصار وسادات العرب. فلما تكامل العسكر وعزم عمر على المسير إلى الشام قام في الناس خطيبا، فحمد الله وأثنى عليه ثم قال: أيها الناس! إني خارج إلى الشام للامر الذي قد علمتم، ولولا أني أخاف على المسلمين لما خرجت، وهذا علي بن أبي طالب رضي الله عنه بالمدينة، فانظروا إلى حزبكم أمر عليكم به، واحتكموا إليه في أموركم واسمعوا له وأطيعوا، أفهمتم ما أمرتكم به؟ فقالوا: نعم، سمعا وطاعة. Setelah mendengar dua pendapat yang berbeda dari Hadhrat ‘Utsman (ra) dan Hadhrat ‘Ali (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) memuji keduanya meskipun pada faktanya melakukan apa yang disarankan Hadhrat ‘Ali (ra), “Wahai Abu ‘Amru (‘Utsman, ayahnya ‘Amru)! Anda telah sangat baik dalam taktik menghadapi musuh. Adapun Anda, wahai Abul Hasan (‘Ali, ayahnya Hasan)! Pendapat Anda sangat baik untuk para pemeluk Islam. Saya akan mengadakan perjalanan ke Syam, insya Allah. Tiada kekuatan selain dari Allah.” Kemudian, Hadhrat ‘Umar (ra) berpidato di hadapan umat Islam Madinah dan dalam kepergiannya ke Syam menyerahkan kepengurusan ibukota Madinah kepada Hadhrat ‘Ali (ra) serta meminta jamaah menaati Hadhrat ‘Ali (ra) terkait hal itu. Hadhrat ‘Umar (ra) juga memerintahkan Hadhrat ‘Abbas (ra) untuk menyiapkan dan memimpin sejumlah laskar berisi beberapa orang Muhajirin dan orang Anshar untuk menemani perjalanan ke Syam.
[9] Tercantum juga dalam Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i (الاكتفاء في مغازي المصطفى والثلاثة الخلفاء) bahasan kisah perdamaian di Eiliya dan kedatangan ‘Umar (ra) di Syam (قصة صلح إيلياء وقدوم عمر رضياللهعنه الشام) karya tulis Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Musa al-Kalaa’i (سليمان بن موسى الكلاعي، أبو الرّبيع)
[10] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i (الاكتفاء في مغازي المصطفى والثلاثة الخلفاء) bahasan kisah perdamaian di Eiliya dan kedatangan ‘Umar (ra) di Syam (قصة صلح إيلياء وقدوم عمر رضياللهعنه الشام) karya tulis Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Musa al-Kalaa’i (سليمان بن موسى الكلاعي، أبو الرّبيع): الحمد لله الذي أعزنا بالإسلام والإيمان ، وأكرمنا بمحمد صلى الله عليه وسلم فهدانا به من الضلالة ، وجمعنا من الفرقة ، وألف بين قلوبنا ، ونصرنا به على الأعداء ، ومكن لنا فى البلاد ، وجعلنا به إخوانا متحابين ، فاحمدوا الله على هذه النعم وسلوه المزيد فيها ، والشكر عليها ، وتمام ما أصبحتم تتقلبون فيه منها ، فإن الله عزوجل ، يريد الرغبة إليه ، ويتم نعمته على الشاكرين. Tercantum juga dalam Kitab Futuhusy Syam (فتوح الشام), pembahasan kemenangan atas Kota Baitul Maqdis (ذكر فتح مدينة بيت المقدس). Juga dalam (فن الخطابة) karya (عمر محيي الدين حوري). Pidato mirp serupa tercantum dalam Kitab al-Iqdul Farid (العقد الفريد – ج 4). Dalam Kitab ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab al-Faruq (عمر بن الخطاب الفاروق) karya Muhammad Ridha (محمد رضا) disebutkan bahwa setelah bermusyawarah dan menyetujui saran Hadhrat ‘Ali (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) mengumumkan keputusan kepergiannya ke Syam. Beliau lalu memerintahkan mereka yang menyertai agar bersiap-siap dan menyediakan bekal masing-masing. Beliau datang ke Masjid dan shalat lalu ke berziarah ke kuburan Nabi Muhammad (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau lalu memutuskan dan mengumumkan bahwa Hadhrat ‘Ali (ra) yang berwenang menggantikan pekerjaan beliau di ibukota Madinah. Setelah mengalami perjalanan cukup lama, beliau berpidato yang teksnya dibacakan Hudhur (atba) tersebut di khotbah ini.
[11] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i. Mereka menjadi tampak seperti orang Romawi.
[12] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i.
[13] Tarikh Futuhusy Syam (تاريخ فتوح الشام (٢٥٣)): وفى حديث أبى سعيد الخدرى ، فقال يزيد بن أبى سفيان : يا أمير المؤمنين ، إن الثياب والدواب عندنا كثيرة ، والعيش عندنا رفيع ، والسعر رخيص ، وحال المسلمين كما تحب ، فلو أنك لبست من هذه الثياب البيض وركبت من هذه الدواب الفرة ، وأطعمت المسلمين من هذا الطعام الكثير ، كان أبعد الصوت ، وأزين لك فى هذا الأمر ، وأعظم لك فى الأعاجم .
[14] Futuhusy Syam oleh al-Azdi: يا يزيد لا والله لا أدع الهيئة التي فارقت عليها صاحبى ، ولا أتزين للناس بما أخاف أن يشيننى عند ربى ، ولا أريد أن يعظم أمرى عند الناس ويصغر عند الله.
[15] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i: وعن سالم بن عبد الله : أن أهل إيلياء أشجوا عمر وأشجاهم ، ولم يقدر عليها ولا على الرملة ، قال : فبينا عمر معسكرا بالجابية ، فزع الناس إلى السلاح ، فقال : ما شأنكم؟فقالوا : ألا ترى الخيل والسيوف؟ فنظر ، فإذا كردوس يلمعون بالسيوف ، فقال عمر : مستأمنة فلا تراعوا وأمنوهم ، وإذا هم أهل إيلياء ، فصالحوه على الجزية ، وفتحوا له إيلياء ، واكتتبوا منه عليها ، وعلى حيزها ، والرملة وحيزها فصارت فلسطين نصفين ، نصفا مع أهل إيلياء ونصفا مع أهل الرملة ، وفلسطين تعدل الشام كله ، وهى عشر كور من غير هذا الحديث المتقدم.
[16] Tarikh ath-Thabari: بسم الله الرحمن الرحيم، هذا ما أعطى عبدُ الله عمرُ أميرُ المؤمنين أهلَ إيلياء من الأمان؛ أعطاهم أمانًا لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقيمها وبريئها وسائر ملتها: أنه لا تُسكَنُ كنائسُهم ولا تُهدَمُ ولا يُنتَقَصُ منها ولا مِن حَيِّزها ولا من صَلِيبهم ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرَهون على دينهم، ولا يُضَارَّ أحد منهم، ولا يسكن بإيلياء معهم أحد من اليهود، وعلى أهل إيلياء أن يعطوا الجزية كما يعطي أهل المدائن، وعليهم أن يخرجوا منها الروم واللصوص، فمن خرج منهم فإنه آمن على نفسه وماله حتى يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو آمن وعليه مثل ما على أهل إيلياء من الجزية، ومن أحب من أهل إيلياء أن يسير بنفسه وماله مع الروم ويخلي بيعهم وصُلبهم فإنهم على أنفسهم وعلى بيعهم وصلبهم أن يبلغوا مأمنهم، ومن كان بها من أهل الأرض فمن شاء منهم قعد وعليه مثل ما على أهل إيلياء من الجزية، ومن شاء سار مع الروم، ومن شاء رجع إلى أهله، وإنه لا يؤخذ منهم شيء حتى يُحصَد حصادهم، وعلى ما في هذا الكتاب عهد الله وذمة رسوله صلى الله عليه وآله وسلم وذمة الخلفاء وذمة المؤمنين إذا أعطوا الذي عليهم من الجزية. .
[17] Tarikh ath-Thabari: شهد على ذلك: خالد بن الوليد، وعمرو بن العاص، وعبد الرحمن بن عوف، ومعاوية بن أبي سفيان وكتب وحضر سنة خمس عشرة .
[18] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i: وهو مما ذكره سيف أيضا أن عمر رضياللهعنه ، فرق فلسطين على رجلين فجعل علقمة بن حكيم على نصفها وأنزله الرملة ، وعلقمة بن مجزز على نصفها وأنزله إيلياء. Tercantum juga dalam Tarikh ath-Thabari.
[19] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i : وعن أبى مريم مولى سلامة قال : شهدت فتح إيلياء مع عمر رضياللهعنه ، فسار من الجابية فاصلا حتى يقدم إيلياء ، ثم مضى حتى يدخل المسجد ، ثم مضى نحو محراب داود ، ونحن معه ، فدخله ، ثم قرأ سجدة داود فسجد وسجدنا معه . Hadhrat ‘Umar (ra) masuk ke sebuah tempat yang dianggap pernah menjadi ruangan Mihrab Daud (Di tempat Nabi Daud (as) biasa berdoa). Hadhrat ‘Umar (ra) membaca sajdah Daud lalu bersujud. Mereka yang menyaksikan ikut bersujud. Namun, di kitab ini tidak disebutkan Hadhrat ‘Umar (ra) melakukan hal serupa di dalam Gereja Kristen. Masjid Aqsha dimaksud dalam hal ini ialah area tempat yang dimuliakan umat Yahudi dan dianggap sebagai tempat ibadah di zaman Nabi Daud (as) dan Nabi Sulaiman (as). Ia juga dikenal sebagai Bait Suci dan Solomon Temple (Haikal Sulaiman atau Kuil Sulaiman). Saat itu tinggal sisa-sia dan kebanyakan sudah hancur dimakan usia dan berkali-kali penghancuran dari penaklukan bangsa-bangsa luar sebelum Islam.
[20] Tarikh Ibnu Khaldun, 2/225: أنَّ عمر بن الخطاب رضي الله عنه لمّا دخل بيتَ المقدس حان وقت الصلاة وهو في إحدى الكنائس، فقال لأسقفها: أريد الصلاة، فقال له: صلِّ موضعَك، فامتنع وصلّى على الدرجة التي على باب الكنيسة منفردًا، فلما قضى صلاته قال: “لو صلَّيْتُ داخلَ الكنيسة أخذها المسلمون بعدى وقالوا: هنا صلَّى عمر Artinya: Saat sahabat Umar masuk ke Baitul Maqdis, tetiba waktu shalat datang, dan beliau berada di salah satu gereja. “Aku mau shalat,” kata Umar pada uskup gereja tersebut. “Shalat saja di sini,” uskup mempersilakan Umar. Umar tidak mau, dan shalat di loteng gereja sendirian. Usai shalat, Umar bilang, “Kalau aku shalat di dalam gereja, nanti orang Muslim setelahku akan meniruku, dan mereka akan bilang, ‘Oh, Umar dulu pernah shalat di sini’.”
[21] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i.
[22] Futuhusy Syam oleh al-Azdi. Tercantum juga dalam Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i : ثم إن عمر قام فى الناس ، فحمد الله وأثنى عليه بما هو أهله ، وصلى على النبيّ صلى الله عليه وسلم ثم قال . Hadhrat ‘Umar (ra) berpidato dengan memulai mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta’ala selanjutnya beliau bershalawat kepada Nabi (saw), يا أهل الإسلام ، إن الله قد صدقكم الوعد ، ونصركم على الأعداء ، وأورثكم البلاد ، ومكن لكم فى الأرض ، فلا يكن جزاء ربكم إلا الشكر ، وإياكم والعمل بالمعاصى ، فإن العمل بالمعاصى كفر للنعم ، وقل ما كفر قوم بما أنعم الله عليهم ، ثم لم يفزعوا إلى التوبة إلا سلبوا عزهم وسلط عليهم عدوهم . Tercantum juga dalam al-Khulafa ar-Rasyiduna Muwaqif wa ‘abr (الخلفاء الراشدون مواقف وعبر)
[23] As-Suluk al-Mutsanna an-Nizham bima lish Shahaabatil Kiram minal Karaamati wal Mukarramaat (السلك المثنى النظام بما للصحابة الكرام من الكرامات والمكرمات) karya Abu Muhammad ibnu Qathan al-Marakisyi (أبي محمد/ابن قطان المراكشي).
[24] Kitab Futuhusy Syam (فتوح الشام), pembahasan kemenangan atas Kota Baitul Maqdis (ذكر فتح مدينة بيت المقدس): فلما فرغ بلال من أذانه وجلس قال بلال: يا أمير المؤمنين أن أمراء المسلمين وأجناد الشام يأكلون لحوم الطيور والخبز النقي وما لا يلحق ضعفاء الناس وما لاتناله أيديهم وأن الكل يفني وما له إلى التراب ومصيرنا إليه فقال له يزيد بن أبي سفيان: إن سعر بلادنا هذه رخيص وأنا لنصيب ما قاله بلال ههنا مثل ما كنا نقوت به أنفسنا مدة من الزمان في الحجاز فقال عمران الأمر كما ذكرت فكلوا هنيئا مريئا ولست أبرح من مكاني حتى تجمعوا الي من في المنازل وأن تكتبوا إلى فقراء المسلمين ممن في المدن والقرى فأفرض لكل أهل بيت ما يجزيهم من البر والشعير والعسل والزيت وما يحتاجون إليه ولا بد لهم منه .
[25] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i: ثم قال : يا معشر المسلمين ، هذا لكم سوى أعطياتكم ، فإن وفا لكم أمراؤكم بهذا الذي فرضته لكم وأعطوكموه فى كل شهر ، فذلك ما أحب ، وإن هم لم يفعلوا ، فأعلمونى حتى أعزلهم عنكم ، وأولى أمركم غيرهم ، فلم يزل ذلك جاريا دهرا حتى قطع بعد ذلك .
[26] Kitab Futuhusy Syam (فتوح الشام), pembahasan kemenangan atas Kota Baitul Maqdis (ذكر فتح مدينة بيت المقدس) : فلم يزل كذلك إلى أن حضرت صلاة الظهر فقال الناس يا أمير المؤمنين اسأل بلالا أن يؤذن لنا وكان بلال مقيما ببلد فلما بلغه أن عمر قد وصل سار مع أبي عبيدة حتى سلم على عمر فعظم قدره فلما حضرت صلاة الظهر وسأل المسلمون عمر أن يسأل بلالا فقال له: يا بلال أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يسالون أن تؤذن لهم وتذكرهم اوقات نبيهم صلى الله عليه وسلم .
[27] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i: ثم نزل ، وحضرت الصلاة ، فقال عمر رضي الله عنه : يا بلال ، ألا تؤذن لنا رحمك الله ، فقال بلال : يا أمير المؤمنين ، أما والله ما أردت أن أؤذن لأحد بعد رسول الله صلىاللهعليهوسلم ولكن سأطيعك اليوم إذ أمرتنى فى هذه الصلاة وحدها .
[28] Futuhusy Syam oleh al-Azdi. Tercantum juga dalam al-Khulafa ar-Rasyiduna Muwaqif wa ‘abr (الخلفاء الراشدون مواقف وعبر)
[29] Sambutan luar biasa penduduk Madinah atas kepulangan Hadhrat ‘Umar (ra) tercantum juga dalam karya al-Waqidi, Kitab Futuhusy Syam (فتوح الشام) – The Conquest of Syria -, pembahasan kemenangan atas Kota Baitul Maqdis (ذكر فتح مدينة بيت المقدس): ثم سار عمر رضي الله عنه يريد مدينة الرسول صلى الله عليه وسلم وأخذ كعب الأحبار معه وكان أهل المدينة يظنون أن عمر يقيم بالشام لما يرون من كثرة خيرها وطيب فواكهها ورخص أسعارها ولما يخبرون عنها إنها بلاد الأنبياء وهي الأرض المقدسة وفيها المحشر فبقى الناس يتطاولون نحوه ويخرجون في كل يوم ينظرونه حتى قدم عمر رضي الله عنه فارتجت المدينة يوم قدومه واستبشر أصحاب رسول الله صلى الله عليه برؤيته وسلموا ورحبوا به وهنئوه بما فتح الله على يديه فأول ما بدأ بالمسجد سلم على قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى ابي بكر الصديق رضي الله عنه ثم صلى ركعتين وعاد بكعب الأحبار وقال حدث المسلمين بما رايت في الوقتين فازداد الناس إيمانا. Penduduk Madinah setiap hari menunggu kepulangan beliau di perbatasan kota dan karena lamanya beliau meninggalkan Madinah, mereka sampai menyangka Hadhrat ‘Umar (ra) pindah tinggal di Syam. Hadhrat ‘Umar (ra) sempat mengatur penempatan lagi para Amir di wilayah Syam sebelum pulang. Hal pertama yang Hadhrat ‘Umar (ra) lakukan setelah sampai di Madinah ialah pergi ke Masjid Nabawi lalu berziarah ke kuburan Nabi Muhammad (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra). Setelanjutnya, beliau shalat nafal dua rakaat di Masjid kemudian pulang.
[30] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i: إن عمر رضياللهعنه ، خرج من الشام مقبلا إلى المدينة ، فلما دنا منها استقبله الناس يهنئونه بالنصر والفتح ، فجاء حتى دخل مسجد رسول الله صلىاللهعليهوسلم فصلى ركعتين عند المنبر ، ثم صعد المنبر ، واجتمع الناس إليه ، فقام ، فحمد الله وأثنى عليه ، وصلى على النبيّ محمد صلى الله عليه وسلم وقال يا أيها الناس ، إن الله قد اصطنع عند هذه الأمة أن يحمدوه ويشكروه ، وقد أعز دعوتها وجمع كلمتها ، وأظهر فلجها ، ونصرها على الأعداء ، وشرفها ومكن لها فى الأرض ، وأورثها بلاد المشركين وديارهم وأموالهم ، فأحدثوا لله عزوجل شكرا يزدكم ، واحمدوه على نعمه عليكم يدمها لكم ، جعلنا الله وإياكم من الشاكرين. Tercantum juga dalam Tarikh Futuhusy Syam (تاريخ فتوح الشام (٢٦٦ ـ ٢٦٧)).
[31] Haqaiqul Furqaan juz 2 (حقائق الفرقان ج2)
[32] Al-Jazirah terletak diantara atau dikelilingi dua sungai Dajlah (Tigris) dan Eufrat. Ia berada di Iraq utara, selatan Turki dan timur Syria.
[33] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i (الاكتفاء في مغازي المصطفى والثلاثة الخلفاء) karya tulis Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Musa al-Kalaa’i (سليمان بن موسى الكلاعي، أبو الرّبيع): أيها الناس إن هذا يوم له ما بعده أما من حي منكم فإنه يصفوا له ملكه وقراره وأما من مات منكم فإنها الشهادة فأحسنوا بالله الظن ولا يكرهن إليكم الموت أمر اقترفه أحدكم دون الشرك توبوا إلى الله وتعرضوا للشهادة فإني أشهد وليس أوان الكذب أني سمعت رسول الله {صلى الله عليه وسلم} يقول من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة . Faidhul Khathir karya Ahmad Amin juz ke-9 (فيض الخاطر (الجزء العاشر))