Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat-riwayat dalam Kitab-Kitab Tarikh dan Hadits terkait Hadhrat ‘Umar (ra). Aneka riwayat-riwayat mengenai kabar suka dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (ra) adalah ahli surga. Penjelasan singkat Hadits, “Seandainya ada Nabi sepeninggalku, maka itu pasti adalah ‘Umar ibn al-Khaththab (ra).” Riwayat sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Hadhrat ‘Umar (ra) ialah seorang Muhaddats. Penjelasan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (Pendiri Jemaat Ahmadiyah) tentang Hadhrat ‘Umar (ra) ialah seorang Muhaddats (sering mendapat wahyu dari Allah Ta’ala).
Penghargaan Khalifah Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu untuk saran dan usulan Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu terkait kompilasi mushhaf Al-Qur’an. Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu sebagai Hafizh al-Qur’an dalam penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Penjelasan berdasarkan Kitab-Kitab Tarikh dan Hadits terkait sebagian wahyu al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad (saw) memiliki keselarasan dengan gagasan Hadhrat ‘Umar (ra) atau pendapat Hadhrat ‘Umar (ra) diiyakan oleh Al-Qur’an. Jumlah keselarasan berdasarkan Shihah Sittah ialah 3 dan tujuh. Menurut imam as-Suyuthi ialah 20 buah keselarasan.
Penghargaan dan afirmasi (persetujuan) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk saran dan usulan Hadhrat ‘Umar (ra) dalam kesempatan perang Tabuk sesuai penjelasan berdasarkan Kitab-Kitab Tarikh dan Hadits. Beberapa riwayat perihal adab dan sopan santun Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [1] duduk berlutut di hadapan Nabi (saw) ketika beberapa Sahabat bertanya-tanya hal yang Nabi (saw) kurang sukai. [2] melarang putranya menunggang unta mendahului unta Nabi (saw). [3] Dialog dengan Nabi (saw) terkait kehidupan dunia.
Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (Pendiri Jemaat Ahmadiyah) menyebut mengenai dialog tersebut.
Kebahagiaan Hadhrat ‘Umar (ra) saat berpamitan ingin Umrah dan mendengar sabda Nabi (saw), ‘Wahai saudaraku, janganlah lupakan kami di dalam doamu.’
Kecintaan Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Nabi Muhammad (saw) yang tampak pada saat kewafatan beliau (saw). Semua Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah Ijma’ (bersepakat) bahwa semua Nabi dan Rasul telah wafat.
Uraian Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) terkait Hadhrat ‘Umar (ra) dan ijma para Sahabat tersebut.
ketaatan Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap Nabi Muhammad (saw) yang terbaca dalam riwayat Tarikh dan Hadits terkait pelaksanaan Haji beliau saat mencium Hajar Aswad. Uraian Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) terkait hal itu.
Uraian mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya kepada Nabi (saw) soal Nazar yang diucapkan saat belum menjadi Muslim (belum masuk Islam) apakah harus dilaksanakan.
Upaya Hadhrat ‘Umar (ra) dalam menyempurnakan nubuatan Nabi Muhammad (saw) secara lahiriah (apa adanya) dengan memakaikan gelang emas Raja Iran pada tangan seorang Sahabat Nabi (saw). Uraian Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) terkait hal itu.
Hadits-Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait rukya (mimpi) yang beliau lihat mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) terlihat menimba air dengan ember yang membesar, meminum susu dst.
Hadhrat Zainul ‘Abidin Waliullah Syah Sahib (Sahabat Pendiri Jemaat Ahmadiyah) menjelaskan Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat diri beliau (saw) meminum susu dan memberikan sisanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra).
Rukya (mimpi) seorang Sahabat Nabi (saw) tentang Hadhrat ‘Umar (ra) memakai baju panjang.
Uraian beberapa Sahabat Nabi (saw) tentang sifat-sifat Hadhrat ‘Umar (ra) dan sedikit kutipan sabda beliau (ra).
Hadhrat ‘Umar (ra) juga telah melihat mimpi tentang Azan [panggilan untuk sholat].
Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Khalifah ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
Informasi kewafatan yang terhormat Dokter Tatsir Mujtaba Sahib (Fadhl ‘Umar Hospital, Rabwah-Pakistan), dzikr-e-khair atas beliau dan shalat jenazah setelah Jumatan.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 29 Oktober 2021 (22 Ikha 1400 Hijriyah Syamsiyah/22 Rabi’ul Awwal 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Hadhrat ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu adalah salah satu diantara orang-orang yang diberikan kabar suka surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadhrat Abu Musa Al-Asy`ari radhiyAllahu ta’ala ‘anhu meriwayatkan, كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي حَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ “. فَفَتَحْتُ لَهُ، فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ، فَبَشَّرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ، ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَفْتَحَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ “. فَفَتَحْتُ لَهُ، فَإِذَا هُوَ عُمَرُ، فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ، ثُمَّ اسْتَفْتَحَ رَجُلٌ، فَقَالَ لِي ” افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ “. فَإِذَا عُثْمَانُ، فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ الْمُسْتَعَانُ “Tatkala saya tengah bersama Rasulullah (saw) di dalam salah satu kebun di Madinah, tiba-tiba datang seseorang dan meminta agar dibukakan pintu. Beliau (saw) bersabda, ‘Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira surga baginya.’
Saya pun membukakan pintu. Ternyata, orang tersebut adalah Abu Bakr. Saya pun menyampaikan kabar gembira sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi (saw). Beliau (ra) mengucapkan alhamdulillah.
Tidak lama kemudian datang lagi seseorang minta dibukakan pintu. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira kepadanya mengenai surga.’ Saya beranjak dan ternyata orang tersebut adalah Hadhrat ‘Umar (ra). Saya pun menyampaikan kabar gembira sebagaimana yang disabdakan oleh beliau. Beliau (ra) mengucapkan, ‘Alhamdulillah.’
Tidak lama kemudian datang lagi seseorang minta dibukakan pintu. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Bukakanlah pintu dan sampaikanlah kabar gembira tentang surga dengan musibah (kesusahan) yang akan menimpanya.’ Ternyata dia adalah Hadhrat Usman bin Affan. Saya menyampaikan kepadanya berita gembira sebagaimana yang disabdakan oleh beliau (saw). Hadhrat Usman lalu berkata, ‘Alhamdulillah’, kemudian berkata, ‘Untuk selamat (terjaga) dari kesulitan, hanya Allah-lah yang dapat dimintai pertolongan.’”[1]
Hadhrat Abdurrahman bin Auf meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ “Abu Bakr adalah calon penghuni surga, ‘Umar adalah calon penghuni surga, Usman adalah calon penghuni surga.” – Beliau (saw) bersabda berkenaan dengan 10 orang – , “Ali adalah calon penghuni surga, Talhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah adalah calon penghuni surga.”[2]
Hadhrat Abu Hurairah berkata, بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “Suatu ketika kami tengah duduk-duduk bersama Rasulullah (saw) saw, Rasulullah (saw) bersabda, بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الْجَنَّةِ، فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ، فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ فَقَالُوا لِعُمَرَ. فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا ‘Ketika tengah tertidur, saya melihat diri saya tengah berada dalam surga. Apa yang saya lihat? Ada seorang wanita yang tengah wudhu di sisi istana. Saya bertanya, “Milik siapa istana ini?” Orang-orang berkata, “Ini adalah milik ‘Umar ibn al-Khaththab.” Kemudian saya teringat dengan sifat pencemburu ‘Umar. Saya pun berbalik (pergi).’ فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ عَلَيْكَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغَارُ Mendengar hal ini serta-merta ‘Umar menangis dan berkata, ‘Apakah saya akan cemburu kepada tuan, wahai Rasulullah (saw)?’”[3] Maksudnya, “Mengapa tuan berbalik? Bukannya masuk ke dalam istana dan memberikan doa berkah kepadanya?”
Hadhrat Abu Said Khudriy meriwayatkan, Rasulullah (saw) pernah bersabda, إِنَّ الرَّجُلَ مِنْ أَهْلِ عِلِّيِّينَ لَيُشْرِفُ عَلَى أَهْلِ الْجَنَّةِ فَتُضِيءُ الْجَنَّةُ لِوَجْهِهِ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ “Diantara orang-orang ‘Illiyyin akan ada yang melihat kepada penduduk surga. Disebabkan wajah-wajah mereka maka surga menjadi berkilauan cahaya seolah-olah bintang yang berkilau. وَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لَمِنْهُمْ وَأَنْعَمَا Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar (ra) adalah salah satu diantaranya. Betapa istimewanya mereka berdua.”[4]
Hadhrat Abdullah bin Mas’ud (ra) meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” . فَاطَّلَعَ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” . فَاطَّلَعَ عُمَرُ “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ada seorang pria dari antara ahli surga datang menghampirimu.’ Kemudian, datang Hadhrat Abu Bakr (ra). Beliau (saw) bersabda, ‘Ada seorang pria dari antara ahli surga datang menghampirimu’, lalu datang Hadhrat ‘Umar (ra).”[5]
Di dalam riwayat lain, Hadhrat Anas meriwayatkan, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Rasulullah (saw) bersabda, هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ ‘Dua orang ini (Abu Bakr dan ‘Umar) adalah dua pemimpin para ahli surga dari kalangan awal dan akhir yang berusia tua, terkecuali para Nabi dan Rasul ‘alaihimus salaam.’”[6]
Hadhrat Abu Hurairah (ra) meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, عُمَرُ بن الخطاب سِرَاجُ أَهْلِ الْجَنَّةِ “‘Umar ibn al-Khaththab merupakan lentera bagi para ahli surga.” [7] Ini seolah-olah diriwayatkan dari Rasulullah (saw).
Hadhrat ‘Uqbah bin Amir (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) bersabda, لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – Lau kaana ba’di Nabiyyun la-kaana ‘Umar – “Seandainya ada Nabi sepeninggalku, maka itu pasti adalah ‘Umar ibn al-Khaththab (ra).”[8] Yang dimaksud adalah kenabian yang datang segera sepeninggal Rasulullah (saw). Karena berkenaan dengan al-Masih dan al-Mahdi yang dinubuatkan akan datang, Rasulullah (saw) sendiri menyebutnya dengan sebutan Nabiyullah (Nabi Allah).
Berkenaan dengan Rasulullah (saw) menyebut Hadhrat ‘Umar (ra) sebagai Muhaddats, Hadhrat ‘Aisyah (ra) meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الأُمَمِ مُحَدَّثُونَ ، فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ “Sesungguhnya diantara umat-umat terdahulu terdapat para Muhaddats. Jika dalam umatku ada Muhaddats, maka itu adalah ‘Umar ibn al-Khaththab.”[9]
Hadhrat Abu Hurairah (ra) meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ “Umat-umat yang berlalu sebelum kalian, diantara mereka terdapat para Muhaddats, jika di dalam umatku terdapat Muhaddats, maka itu adalah ‘Umar.” Muhaddats adalah orang yang menerima banyak sekali ilham dan kasyaf. Selanjutnya beliau (saw) bersabda, لَقَدْ كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ رِجَالٌ يُكَلَّمُونَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونُوا أَنْبِيَاءَ، فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَعُمَرُ “Bani Israil yang telah berlalu sebelum kalian, dari antara mereka terdapat orang yang kepadanya Allah biasa berbicara, padahal mereka bukan nabi. Jika diantara umatku ada yang demikian, maka itu adalah ‘Umar.”[10]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Allah Ta’ala sering menggunakan gaya bahasa isti’arah (metafora) dan mengistilahkan nama seseorang kepada yang lain yang memiliki kesamaan dari sisi tabiat, sifat dan kualitas. Orang yang memiliki kalbu serupa kalbu Ibrahim, maka dalam pandangan Allah Ta’ala orang itu Ibrahim. Orang yang memiliki kalbu serupa kalbu ‘Umar al-Faruq, maka dalam pandangan Allah Ta’ala orang itu ‘Umar al-Faruq.
Tidakkah kalian membaca hadis yang berbunyi, jika dalam umat ini ada muhaddats yang kepadanya Allah bercakap-cakap, maka itu adalah ‘Umar. Sekarang, apakah hadis ini bermakna bahwa muhadditsin telah berakhir pada Hadhrat ‘Umar (ra)? Tidak sama sekali. Melainkan maksudnya adalah, orang yang memiliki kualitas ruhani seperti Hadhrat ‘Umar (ra), maka ketika diperlukan ia merupakan muhaddats.”
Beliau as bersabda, “Sebagaimana saya yang lemah pun suatu kali mendapatkan ilham, فيك مادة فاروقية ‘Fiika maadatun faruqiyyah.’”[11]
Ilham selengkapnya adalah sebagai berikut, أَنْتَ مُحَدَّثُ اللهِ. فِيْكَ مَادَّةٌ فَارُوْقِيَّةٌ ‘Anta muhaddatsullaahi fiika maadatun faaruuqiyyah.’ Artinya, ‘Engkau adalah Muhaddatsullah, di dalam dirimu terdapat sifat-sifat Al-Faruq.’”[12]
Sebagaimana pernah saya sampaikan pada khotbah yang lalu bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) menyampaikan gagasan untuk menjaga dan melakukan kompilasi Al Quran. Saya akan sampaikan pada kesempatan ini. Pada masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr, tujuh puluh (70) orang Hafiz Al-Quran syahid pada perang Yamamah. Berkenaan dengan hal ini, Hadhrat Zaid bin Tsabit meriwayatkan, “Ketika banyak orang (Muslim) disyahidkan dalam perang Yamamah, Hadhrat Abu Bakr memanggil saya. Saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) berada di dekat beliau. Hadhrat Abu Bakr bersabda, ‘‘Umar datang menemui saya dan melaporkan, “Pada perang Yamamah, banyak sekali orang yang syahid. Karena itu saya khawatir jangan sampai dalam peperangan lain pun para Qari (ahli Quran) terbunuh sehingga akan banyak sekali bagian ayat Al-Quran yang akan hilang, kecuali kalian mengumpulkan naskah ayat-ayat Al-Quran pada satu tempat. Saya mengusulkan agar tuan mengumpulkan seluruh naskah Al-Quran pada satu tempat.”
Saya (Hadhrat Abu Bakr) berkata kepada ‘Umar, “Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah (saw).” Umar berkata, “Demi Tuhan! Apa yang Anda lakukan ini adalah amalan yang baik.” ‘Umar berkali-kali mengatakan demikian kepada saya sehingga akhirnya Allah Ta’ala membuka dada saya untuk mengamalkannya. Saat ini saya sependapat dengan dengan apa ‘Umar usulkan.’” Artinya, untuk mengumpulkan naskah-naskah. Kemudian Zaid bin Tsabit memulai tugas tersebut. Rinciannya pernah saya jelaskan sebelum ini
Berkenaan dengan Hadhrat ‘Umar (ra) adalah Hafizh Quran, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Abu Ubaidah berkata, ‘Diantara sahabat Rasulullah (saw) dari kalangan Muhajirin yang Hafizh al-Qur’an adalah Abu Bakr, ‘Umar, Usman, Ali, Thalhah, Sa’d, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin Saib, Abdullah bin ‘Umar dan Abdulah bin Abbas.’”
Dikatakan pula bahwa sebagian wahyu yang turun kepada Rasulullah (saw) memiliki keselarasan dengan gagasan Hadhrat ‘Umar (ra) atau pendapat Hadhrat ‘Umar (ra) diiyakan oleh Al-Qur’an. Dalam Shihah Sittah (Enam Kitab Hadits Utama), dijelaskan perihal keselarasan tersebut. Diantara hadis tersebut disebutkan perihal keselarasan dalam tiga hal. Untuk itu, jika riwayat-riwayat Shihah Sittah (Enam Kitab Hadits Utama) tersebut dicermati secara keseluruhan, jumlahnya menjadi 7 (tujuh).
Di dalam Shahih Bukhari, Hadhrat ‘Umar (ra) meriwayatkan: وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اتَّخَذْنَا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى فَنَزَلَتْ { وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى } وَآيَةُ الْحِجَابِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمَرْتَ نِسَاءَكَ أَنْ يَحْتَجِبْنَ فَإِنَّهُ يُكَلِّمُهُنَّ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ فَنَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ وَاجْتَمَعَ نِسَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْغَيْرَةِ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُنَّ { عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبَدِّلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ } فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ “Dalam tiga hal, gagasan saya bersesuaian dengan kehendak Allah Ta’ala. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Jika kita menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.’ Setelah itu turun ayat, وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى Wattakhidzuu min maqaami ibraahima mushalla. Selanjutnya saya pernah mengatakan berkenaan dengan hukum Hijab (Pardah), kemudian turun ayat perihal hukum pardah. Saya katakan, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Mohon kiranya Hudhur memerintahkan para istri Tuan untuk berpardah, karena yang berkomunikasi dengan beliau-beliau ada orang yang shalih dan juga ada yang buruk.’ Lalu turunlah ayat mengenai hukum Pardah. Ketika istri-istri Nabi saling cemburu dan menjurus pada hal-hal yang tidak elok, melihat hal itu, saya (Hadhrat ‘Umar (ra)) katakan kepada para istri Rasul yang salah satunya adalah putri saya sendiri, ‘Jika Rasululah (saw) menceraikan kamu, saya berharap semoga Tuhan beliau memberikan ganti istri-istri yang lebih baik darimu untuk Rasulullah (saw). Setelah itu turun ayat, yang artinya, ‘Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu.’”[13]
Di dalam Shahih Muslim terdapat satu riwayat Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) yang meriwayatkan, “Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلاَثٍ فِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ وَفِي الْحِجَابِ وَفِي أُسَارَى بَدْرٍ ‘Dalam tiga kesempatan gagasan saya selaras dengan wahyu Allah Ta’ala yaitu mengenai Maqam Ibrahim, mengenai Pardah (Hijab) dan mengenai tawanan perang Badr.’”[14]
Namun, berkenaan dengan para tawanan Badr riwayatnya tidak benar. Perihal ini Hadhrat Mushlih Mau’ud pun telah membahasnya secara mendalam, begitupun Hadhrat Mirza Bashir Ahmad telah menulisnya dengan disertai bukti-bukti. Para ulama Salaf dan Mufassirin pun telah membahasnya dan membuktikan bahwa riwayat mengenai pemberian hukuman kepada para tawanan Badar tidak benar. Rinciannya pernah saya sampaikan pada khotbah terdahulu.
Dalam sahih muslim disebutkan keselarasan gagasan Hadhrat ‘Umar (ra) dengan wahyu Al Quran berkenaan dengan tidak menshalatkan jenazah orang Munafiq. Hadhrat Ibnu ‘Umar meriwayatkan, لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَىٍّ ابْنُ سَلُولَ جَاءَ ابْنُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ قَمِيصَهُ يُكَفِّنُ فِيهِ أَبَاهُ فَأَعْطَاهُ ثُمَّ سَأَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ فَقَامَ عُمَرُ فَأَخَذَ بِثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُصَلِّي عَلَيْهِ وَقَدْ نَهَاكَ اللَّهُ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal, anaknya yang bernama Abdullah bin Abdullah datang menghadap Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Mohon kiranya Hudhur berkenan memberikan kain Hudhur agar saya dapat mengafani jenazah ayah saya dengan kain tersebut.’ Rasululah (saw) memberikan kain beliau. Ia memohon lagi kepada Rasulullah (saw), ‘Mohon Hudhur berkenan menshalatkan jenazahnya.’ Rasulullah (saw) beranjak untuk menshalatkan jenazahnya. Hadhrat ‘Umar (ra) tengah berdiri dan memegang kain Rasulullah (saw) dan memohon, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Tuan akan mengimami shalat jenazah orang ini, padahal Allah Ta’ala telah melarang tuan untuk menshalatkan orang munafik.’ Rasulullah (saw) bersabda, ” إِنَّمَا خَيَّرَنِي اللَّهُ فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لاَ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً وَسَأَزِيدُهُ عَلَى سَبْعِينَ ” ‘Allah Ta’ala telah memberikan wewenang kepada saya dan berfirman, اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لاَ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً “istaghfir lahum au laa tastaghfir lahum sab’iina marrah” – “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja) kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali.” (Surah at-Taubah, 09:80) وَسَأَزِيدُهُ عَلَى سَبْعِينَ Saya akan memohon ampunan lebih dari 70 kali.’ قَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ini adalah jenazah orang munafik.’ Namun, Rasulullah (saw) tetap menshalatkan jenazahnya. Baru Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut, {وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ} ‘wa laa tushalli alaa ahadin minhum maata abadaa wa laa taqim ‘ala qabrihi – ‘Janganlah engkau menshalatkan jenazah salah seorang dari antara mereka (orang-orang munafik) dan jangan pernah berdiri di kuburan mereka untuk mendoakannya.’”[15]
Di dalam Sunan at-Tirmidzi disebutkan perihal keselarasan gagasan Hadhrat ‘Umar (ra) dengan wahyu Al Quran berkenaan dengan pengharaman minuman keras, عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانَ شِفَاءٍ فَنَزَلَتْ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ { يَسْأَلُونَكَ عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ } الْآيَةَ فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانَ شِفَاءٍ فَنَزَلَتْ الَّتِي فِي النِّسَاءِ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى } فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ بَيِّنَ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانَ شِفَاءٍ فَنَزَلَتْ الَّتِي فِي الْمَائِدَةِ { إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ إِلَى قَوْلِهِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ } فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا “Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab berdoa, ‘Ya Allah! Anugerahkanlah kepada kami hukum yang menentramkan berkenaan dengan arak, turunkanlah hukum Engkau.’ Setelah itu turunlah ayat yang tercantum dalam surat Al Baqarah, – ‘Yasaluunaka anil khamri wal maisir…’ (Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”)
Setelah ayat ini turun diperdengarkan kepada Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Ya Allah turunkanlah hukum yang jelas kepada kami perihal arak (minuman keras).’ Lalu turunlah ayat dari surat An Nisa, ‘laa taqrabush shalaata wa antum sukaaraa’ – (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat Ketika kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu dapat mengetahui apa yang kamu katakan.)
Hadhrat ‘Umar (ra) datang dan diperdengarkan ayat tersebut kepada beliau. Beliau (ra) berkata, ‘Ya Tuhan! jelaskanlah hukum arak yang sejelas-jelasnya kepada kami’, lalu turunlah ayat yang tercantum dalam surat Al Maidah, ‘Innamaa yuriidusy syaithaanu an yuuqi’a bainakumul ‘adaawata wal baghdhaa’a fil khamri wal maisiri hingga ayat ‘fahal antum muntahuun.’ (Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan perantaraan khamar dan judi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).) lalu datang Hadhrat ‘Umar (ra) dan diperdengarkan ayat tersebut kepada beliau, beliau berkata, ‘Kami berhenti. Kami berhenti.’”[16]
Dalam Shihah Sittah (Enam Kitab Hadits Utama) selain keselarasan yang disebutkan tadi, para penulis Sirah (Riwayat hidup) menyebutkan banyak keselarasan sebagaimana Allamah Suyuti menyebutkan keselarasan sekitar 20.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sadarkah Anda betapa derajat Hadhrat Umar (ra) ini sedemikian mulia di kalangan para sahabat? Hal demikian sehingga beberapa kali ayat-ayat Quran Syarif turun sesuai dengan cetusan pikiran beliau ketika itu. Hadits ini menjelaskan mengenai beliau ra, ‘Bahkan, setan pun lari dari bayangan Hadhrat Umar.’ Hadits lain meriwayatkan, ‘Jika ada lagi nabi sesudahku, itulah Umar, putra al-Khaththaab.’ Hadits ketiga meriwayatkan, ‘Sesungguhnya di dalam kaum terdahulu terdapat para Muhaddats, maka bila ada Muhaddats diantara umatku ini, tentulah Umar putra al-Khaththab orangnya.’”[17]
Gagasan-gagasan yang diberikan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dalam peperangan dan diterima oleh Hadhrat Rasulullah (saw), berkenaan dengan hal itu terdapat Riwayat, namun yang meriwayatkan ragu apakah diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Hurairah atau Hadhrat Abu Sa’id, diriwayatkan, لَمَّا كَانَ غَزْوَةُ تَبُوكَ أَصَابَ النَّاسَ مَجَاعَةٌ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَذِنْتَ لَنَا فَنَحَرْنَا نَوَاضِحَنَا فَأَكَلْنَا وَادَّهَنَّا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” افْعَلُوا ” . قَالَ فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ فَعَلْتَ قَلَّ الظَّهْرُ وَلَكِنِ ادْعُهُمْ بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ ثُمَّ ادْعُ اللَّهَ لَهُمْ عَلَيْهَا بِالْبَرَكَةِ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَ فِي ذَلِكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” نَعَمْ ” . قَالَ فَدَعَا بِنِطَعٍ فَبَسَطَهُ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ – قَالَ – فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَجِيءُ بِكَفِّ ذُرَةٍ – قَالَ – وَيَجِيءُ الآخَرُ بَكَفِّ تَمْرٍ – قَالَ – وَيَجِيءُ الآخَرُ بِكِسْرَةٍ حَتَّى اجْتَمَعَ عَلَى النِّطَعِ مِنْ ذَلِكَ شَىْءٌ يَسِيرٌ – قَالَ – فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ قَالَ ” خُذُوا فِي أَوْعِيَتِكُمْ ” . قَالَ فَأَخَذُوا فِي أَوْعِيَتِهِمْ حَتَّى مَا تَرَكُوا فِي الْعَسْكَرِ وِعَاءً إِلاَّ مَلأُوهُ – قَالَ – فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا وَفَضِلَتْ فَضْلَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ ” “Pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), izinkanlah kami menyembelih unta-unta pengambil air untuk disembelih untuk dimakan dan lemaknya untuk digunakan.’
Nabi (saw) menjawab, ‘Lakukanlah!”
Tetapi, ‘Umar (ra) datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), kalau mereka menyembelih unta-unta itu niscaya kendaraan kita berkurang. Tetapi, perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian Tuan doakanlah semoga Allah memberkatinya.’
Lantas Nabi (saw) memerintahkan agar sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka, orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula yang membawa segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak, kemudian Nabi (saw) memohon doa bagi keberkahannya. Setelah itu Nabi (saw) berkata kepada mereka, ‘Ambillah dan penuhilah wadah-wadah makanan kalian!’
Kemudian mereka pun memenuhi wadah-wadah makanan mereka dengan makanan tersebut sampai tidak ada tempat makanan yang kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah makan hingga kenyang. Bahkan, makanan itu masih tersisa.
Kemudian, Nabi (saw) bersabda, ‘Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya saya adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan dihalangi masuk surga.’” (Riwayat Muslim)[18]
Di dalam Kitab al-Bukhari terdapat riwayat berikut, عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ –رضي الله عنه– قَالَ: “خَفَّتْ أَزْوَادُ الْقَوْمِ وَأَمْلَقُوا، فَأَتَوُا النَّبِيَّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– فِي نَحْرِ إِبِلِهِمْ فَأَذِنَ لَهُمْ، فَلَقِيَهُمْ عُمَرُ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ: مَا بَقَاؤُكُمْ بَعْدَ إِبِلِكُمْ؟ فَدَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَقَاؤُهُمْ بَعْدَ إِبِلِهِمْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: نَادِ فِي النَّاسِ فَيَأْتُونَ بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ، فَبُسِطَ لِذَلِكَ نِطَعٌ وَجَعَلُوهُ عَلَى النِّطَعِ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– فَدَعَا وَبَرَّكَ عَلَيْهِ، ثُمَّ دَعَاهُمْ بِأَوْعِيَتِهِمْ فَاحْتَثَى النَّاسُ حَتَّى فَرَغُوا، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ“. Yazid bin Abu Ubaid meriwayatkan dari Hadhrat Salamah bin Akwa (ra) yang berkata, “Dalam suatu perjalanan, perbekalan orang-orang telah berkurang dan tidak tersisa sedikitpun. Mereka memohon izin kepada Rasulullah (saw) untuk menyembelih unta. Beliau (saw) mengizinkannya. Hadhrat ‘Umar (ra) menjumpai mereka dan mereka mengabarkan hal itu kepadanya (Hadhrat ‘Umar (ra)). Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Setelah unta-unta kalian telah tiada, bagaimana kalian akan memenuhi kebutuhan?’
Hadhrat ‘Umar (ra) pun menemui Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Bagaimana keadaan mereka nanti jika unta-unta mereka telah disembelih?’
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Umumkan kepada orang-orang untuk membawa sisa-sisa perbekalan mereka, lalu Rasulullah (saw) berdoa memohon keberkatan dan meminta mereka untuk membawa wadah-wadah. Orang-orang mulai memenuhi wadah-wadah mereka hingga setelah selesai, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya adalah Rasul Allah.’”[19]
Berkenaan dengan awal mula adzan, Hadhrat ‘Umar (ra) melihat mimpi. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Wahyu Allah Ta’ala turun juga kepada para sahabat. Pada zaman Rasulullah (saw), Hadhrat Abdullah ibn Zaid adalah seorang sahabat. Allah Ta’ala mengajarkan adzan kepada beliau dengan perantaraan rukya. Rasulullah (saw) pun berpegang pada rukya tersebut dan membiasakan adzan tersebut di kalangan umat Islam. Di kemudian hari, wahyu Al-Qur’an pun membenarkan hal itu. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya pun diajarkan adzan yang sama oleh Allah Ta’ala dan saya merahasiakannya selama 20 hari dengan dasar pemikiran ada orang lain yang telah menyampaikan hal yang sama kepada Rasulullah (saw). Saya menganggap tidak perlu untuk menyampaikannya.’”[20]
Dalam satu riwayat dikatakan, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Seorang Malaikat mendatangi saya lalu mengajarkan adzan dan pada saat itu saya tidak sepenuhnya tidur.” Berikut ini adalah Riwayat Sunan Tirmidzi yang sebelum ini pernah saya sampaikan, namun akan saya sampaikan lagi saat ini. Saya sampaikan bagian akhirnya di sini, yaitu tentang mimpi Hadhrat ‘Umar (ra) dianggap berharga menurut Rasulullah (saw). Muhammad bin Abdullah bin Zaid meriwayatkan dari ayahnya: لَمَّا أَصْبَحْنَا أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالرُّؤْيَا فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ لَرُؤْيَا حَقٍّ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى وَأَمَدُّ صَوْتًا مِنْكَ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا قِيلَ لَكَ وَلْيُنَادِ بِذَلِكَ قَالَ فَلَمَّا سَمِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ نِدَاءَ بِلَالٍ بِالصَّلَاةِ خَرَجَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَجُرُّ إِزَارَهُ وَهُوَ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ الَّذِي قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ فَذَلِكَ أَثْبَتُ “Kami menghadap Rasulullah (saw) di waktu pagi, lalu saya menceritakan mimpi kepada beliau. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Sungguh mimpi ini adalah benar. Pergi dan temuilah Bilal. Ia memiliki suara yang lebih tinggi dan panjang darimu. Sampaikanlah kepadanya apa yang telah diperlihatkan kepadamu.’ Maka Hadhrat Bilal pun menyerukannya.”
Hadhrat Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab mendengar adzan Hadhrat Bilal untuk menunaikan shalat, Hadhrat ‘Umar (ra) lalu menghadap Rasulullah (saw) seraya membawa selimut beliau. Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), demi jiwa yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, sesungguhnya saya pun telah melihat mimpi itu sebagaimana yang telah ia sampaikan di dalam adzan.’” Perawi berkata, “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Jadi, segala puji sanjung hanyalah untuk Allah. Alhasil, hal ini pun semakin menguatkan.’”[21] (Yakni, kini hal ini telah semakin dikukuhkan).
Tentang bagaimana adab dan penghormatan beliau terhadap Rasulullah (saw) dan bagaimana maqom Rasulullah (saw) di mata Hadhrat ‘Umar (ra), terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Ibnu ‘Umar (r.anhuma): عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ فَكَانَ عَلَى بَكْرٍ لِعُمَرَ صَعْبٍ، فَكَانَ يَتَقَدَّمُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَيَقُولُ أَبُوهُ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ يَتَقَدَّمِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَحَدٌ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – «بِعْنِيهِ». فَقَالَ عُمَرُ هُوَ لَكَ. فَاشْتَرَاهُ ثُمَّ قَالَ «هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ، فَاصْنَعْ بِهِ مَا شِئْتَ» Hadhrat Ibnu ‘Umar sedang bersama Rasulullah (saw) dalam suatu perjalanan, dan beliau menunggangi seekor unta yang liar (susah dikendalikan) milik Hadhrat ‘Umar (ra) sehingga ia mendahului Nabi (saw). Ayahnya yaitu Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepadanya, “Wahai Abdullah, siapapun hendaknya tidak mendahului Nabi (saw)”. (yakni tunggangan engkau ini hendaknya tidak melampaui tunggangan Rasulullah (saw)). Nabi (saw) bersabda kepada Hadhrat ‘Umar (ra), “juallah tunggangan saya ini”. Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, “Ini kan milik Anda”. Rasulullah (saw) pun membelinya lalu bersabda, “Abdullah, unta ini sekarang milikmu, pakailah sesuai keinginanmu”. Nabi (saw) pun memberinya sebagai hadiah.[22]
Hadhrat Anas bin Malik menjelaskan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ حِينَ زَاغَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّى الظُّهْرَ فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَذَكَرَ السَّاعَةَ فَذَكَرَ أَنَّ فِيهَا أُمُورًا عِظَامًا ثُمَّ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَسْأَلَ عَنْ شَيْءٍ فَلْيَسْأَلْ فَلَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ إِلَّا أَخْبَرْتُكُمْ مَا دُمْتُ فِي مَقَامِي هَذَا فَأَكْثَرَ النَّاسُ فِي الْبُكَاءِ وَأَكْثَرَ أَنْ يَقُولَ سَلُونِي فَقَامَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُذَافَةَ السَّهْمِيُّ فَقَالَ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ ثُمَّ أَكْثَرَ أَنْ يَقُولَ سَلُونِي فَبَرَكَ عُمَرُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا فَسَكَتَ ثُمَّ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ آنِفًا فِي عُرْضِ هَذَا الْحَائِطِ “Rasulullah (saw) berkunjung ketika matahari telah condong. Beliau melaksanakan shalat Zhuhur lalu berdiri diatas mimbar dan menyampaikan perihal waktu yang dijanjikan. Beliau (saw) bersabda, ‘Akan ada peristiwa-peristiwa besar di masa itu.’ Beliau pun bersabda, ‘Siapa saja yang ingin bertanya, maka bertanyalah. Apa saja yang akan Anda tanyakan kepada saya, akan saya jawab selama saya ada di tempat ini.’ Orang-orang pun menangis. Rasulullah (saw) berulang kali bersabda agar orang-orang bertanya kepada beliau. Hadhrat Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi pun berdiri dan berkata, ‘Siapakah ayah saya?’ Beliau (saw) menjawab, ‘Hudzafah.’ Rasulullah (saw) lalu berulang kali bersabda agar orang-orang bertanya. Kemudian, Hadhrat ‘Umar (ra) berdiri di atas lututnya sembari berkata, ‘Kami rida bahwa Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai nabi kami.’ Rasulullah (saw) pun terdiam lalu bersabda, ‘Surga dan neraka telah ditampakkan di sepanjang dinding ini di hadapan saya dan tidak pernah saya lihat hal baik dan buruk seperti itu.’”[23]
Di dalam satu riwayat lain di Bukhari juga tertera: diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Musa. Beliau berkata: قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ قَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Nabi (saw) diberi pertanyaan tentang beberapa hal yang tidak beliau sukai. Ketika semakin banyak ditanyakan kepada beliau, Nabi (saw) pun kecewa dan berkata kepada segenap orang, ‘Tanyakan kepada saya apa saja yang Anda inginkan.’ Lantas seseorang berkata, ‘Siapakah ayah saya?”. Beliau menjawab, ‘Hudzafah.’ Kemudian seorang lain berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), siapakah ayah saya?’ Beliau menjawab, ‘Ayahmu adalah Salim, budak Syaibah yang telah dimerdekakan.’
Tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) melihat perubahan yang ada pada wajah Rasulullah (saw), beliau bersabda, ‘Wahai Rasulullah (saw), kami bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari kekhilafan kami.’”[24]
Kemudian pada riwayat lain di dalam al-Bukhari tertera: عن الزهري قَالَ: أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رضي الله تعالى عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ، فَقَامَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ حُذَافَةَ فَقَالَ: مَنْ أَبِي؟ فَقَالَ: أَبُوكَ حُذَافَةُ ثُمَّ أَكْثَرَ أَنْ يَقُولَ: سَلُونِي فَبَرَكَ عُمَرُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ: رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا، وبِالإِسْلاَمِ دِينًا، وبِمُحَمَّدٍ ﷺ نَبِيًّا. فَسَكَتَ Diriwayatkan dari az-Zuhri yang berkata bahwa Hadhrat Anas bin Malik menyampaikan kepadanya: “Ketika Rasulullah (saw) keluar, saat itu Hadhrat Abdullah bin Huzafah berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), siapakah ayah saya?’
Beliau bersabda, ‘Ayahmu adalah Hudzafah.’ Kemudian Rasulullah (saw) berkali-kali bersabda agar mereka bertanya kepada beliau (saw) apa-apa yang mereka inginkan, namun Hadhrat ‘Umar (ra) dengan duduk berlutut berkata, ‘Kami rida bahwa Allah adalah Tuhan kami, dan Islam adalah agama kami, dan Muhammad (saw) adalah Nabi kami.’ Atas hal ini beliau pun terdiam.”[25]
Diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Qatadah Ansari (ra), أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِهِ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ عُمَرُ رضى الله عنه رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِبَيْعَتِنَا بَيْعَةً “Rasulullah (saw) ditanya tentang puasa beliau.” Perawi menuturkan, “Rasulullah (saw) lantas marah dan melihat hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Kami ridha bahwa Allah Ta’ala sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad (saw) sebagai rasul, dan baiat kami sebagai baiat yang hakiki.’”[26]
Ada satu riwayat lain di dalam Sahih Bukhari: Satu kali Hadhrat ‘Umar (ra) menghadap Rasulullah (saw). saat itu Rasulullah (saw) sedang berada di lantai atas. Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, فَدَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِذَا هُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى رِمَالِ حَصِيرٍ، لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ فِرَاشٌ، قَدْ أَثَّرَ الرِّمَالُ بِجَنْبِهِ مُتَّكِئًا عَلَى وِسَادَةٍ مِنْ أَدَمٍ حَشْوُهَا لِيفٌ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ “Saya menghadap beliau, lalu saya melihat bahwa beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar. Tidak ada kain penutup antara beliau dengan tikar itu sehingga tikar itu pun membekas pada punggung beliau. Beliau bersandar pada sebuah bantal dari kulit yang penuh dengan jerami daun kurma… فَجَلَسْتُ حِينَ رَأَيْتُهُ تَبَسَّمَ، فَرَفَعْتُ بَصَرِي فِي بَيْتِهِ، فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا يَرُدُّ الْبَصَرَ غَيْرَ أَهَبَةٍ ثَلاَثَةٍ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ، فَإِنَّ فَارِسًا وَالرُّومَ قَدْ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ، وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ. فَجَلَسَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ مُتَّكِئًا. فَقَالَ ” أَوَفِي هَذَا أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، إِنَّ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلُوا طَيِّبَاتِهِمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا “. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي. Tatkala saya menatap sekeliling rumah Rasulullah (saw), demi Allah saya tidak melihat benda apapun selain tiga kulit hewan yang telah disamak. Saya berkata kepada Rasulullah (saw), ‘Mohonkanlah doa kepada Allah agar umat Hudhur diberikan kelapangan, karena telah diturunkan harta melimpah atas bangsa Persia dan Romawi, dan mereka meraih dunia, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah.’
Saat itu beliau bersandar di atas bantal. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Putra Al-Khaththab, apakah sampai sekarang pun Anda ragu? Mereka adalah manusia yang di kehidupan dunia inilah telah diberikan secara cepat segala hal yang nikmat.’ Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), mohonkanlah doa ampunan untuk saya.’”[27]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Satu ketika Hadhrat ‘Umar (ra) pergi ke rumah Rasulullah (saw) dan melihat bahwa tidak ada sesuatu pun di dalam rumah beliau sementara Rasulullah (saw) tengah berbaring diatas tikar, dan tikar itu memberi bekas tanda pada punggung beliau. Melihat keadaan ini Hadhrat ‘Umar (ra) pun menangis. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Wahai ‘Umar, mengapa Anda menangis?’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘Saya menangis melihat kepedihan yang Hudhur alami. Kaisar Roma dan Kisra yang kafir, mereka tengah menjalani kehidupan yang nyaman, sementara Hudhur menempuh kesulitan seperti demikian.’
Atas hal ini Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apa urusan saya dengan dunia ini. Perumpamaan saya seperti pengembara yang menunggangi unta di tengah terik yang sangat panas, hingga ketika terik tengah hari telah teramat menyulitkannya, ia pun berteduh di bawah naungan sebuah pohon hanya untuk mengistirahatkan tunggangannya. Kemudian setelah berlalu beberapa menit, ia pun kembali melanjutkan perjalanannya.’”
Ada satu peristiwa yang di dalamnya Rasulullah (saw) meminta Hadhrat ‘Umar (ra) untuk berdoa. Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, “Saya memohon izin kepada Nabi (saw) untuk menjalankan umrah. Rasulullah (saw) pun memberikan izin kepada dan bersabda, لاَ تَنْسَنَا يَا أُخَىَّ مِنْ دُعَائِكَ ‘Wahai saudaraku, janganlah lupakan kami di dalam doamu.’ Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا ‘Ini adalah satu ucapan yang apabila saya mendapat dunia dan seisinya pun saya tidak akan sebahagia demikian.’”[28] Di dalam satu riwayat lain tertera seperti berikut, artinya, أَىْ أُخَىَّ أَشْرِكْنَا فِي دُعَائِكَ وَلاَ تَنْسَنَا “Wahai saudaraku, sertakanlah kami di dalam doamu.”[29]
Tentang sejauh mana hubungan kecintaan Hadhrat ‘Umar (ra) kepada Rasulullah (saw), dapat diketahui dari peristiwa berikut yang sebelumnya saya pun telah menyampaikannya dalam suatu khotbah. Terkait ini, diriwayatkan oleh Hadhrat Aisyah (r.anha), أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَاتَ … ـ .. ـ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “Tatkala Rasulullah (saw) telah wafat, mendengar kabar ini Hadhrat ‘Umar (ra) pun berdiri dan berkata, ‘Demi Allah, Rasulullah (saw) tidaklah wafat.’ Hadhrat Aisyah menuturkan, وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلاَّ ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ “Hadhrat ‘Umar (ra) terus menerus berkata, ‘Demi Allah, inilah yang terus tersirat di dalam hati saya bahwa Allah pasti akan mengangkat beliau.’ (yakni Tuhan pasti akan mengangkat Rasulullah (saw)) hingga Hadhrat ‘Umar (ra) pun siap hendak menebas tangan dan kaki orang-orang [yang mengatakan Nabi telah wafat].”[30] Singkatnya, tatkala Hadhrat Abu Bakr tiba, beliau membaca sebuah ayat (ayat 145) dari surah Ali Imran dan menyampaikan hakikat yang sebenarnya kepada Hadhrat ‘Umar (ra) hingga perkara pun terselesaikan.
Terkait hal ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Melalui kewafatan Rasulullah (saw), ijma’ yang telah terjadi antara para sahabat pun mengenai perkara ini yaitu seluruh Nabi telah wafat. Ijma’ ini pun terjadi karena pada saat kewafatan Rasulullah (saw), timbul anggapan pada Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa hingga kini beliau masih hidup dan akan datang kembali. Saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) sedemikian yakin akan anggapan tersebut hingga beliau bersedia menebas leher siapapun juga yang bertentangan dengan beliau.
Namun, tatkala Hadhrat As-Shiddiq datang, dan beliau menyampaikan ayat tersebut di hadapan seluruh sahabat yaitu, وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ lantas Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Kaki saya bergetar dan saya terjatuh karena kesedihan yang mendalam.’ Para sahabat berkata, ‘Kami seolah merasakan bahwa baru hari inilah ayat ini diturunkan dan di hari itu kami terus berkeliling di pasar dan keramaian seraya menilawatkan ayat ini.’
Alhasil, seandainya saat itu masih ada seorang Nabi yang hidup, maka kesimpulan berikut tidak benar, bahwa tatkala seluruh Nabi telah wafat, mengapa Rasulullah (saw) tidak wafat?
Saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) dapat mengatakan, ‘Mengapa Anda sekalian berdusta? Isa Almasih masih duduk di atas langit dan ia masih hidup lalu mengapa Nabi kita (saw) tidak masih hidup?’
Namun saat itu sikap diam yang diperlihatkan oleh semua Sahabat menjadi dalil bahwa keyakinan seluruh Sahabat saat itu adalah Isa Al-Masih telah wafat.” Hadhrat Masih Mau’ud (as) pun telah menjelaskan hal ini, yang rinciannya telah saya sampaikan sebelumnya di salah satu khotbah beberapa waktu yang telah lalu.
Tentang bagaimana ketaatan Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap Rasulullah (saw), [عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ] Hadhrat Ibnu (putra) ‘Umar menyampaikan, اسْتَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَرَ فَاسْتَلَمَهُ ، ثُمَّ وَضَعَ شَفَتَيْهِ عَلَيْهِ يَبْكِي طَوِيلًا ، فَالْتَفَتُّ ، فَإِذَا هُوَ بِعُمَرَ يَبْكِي ، فَقَالَ: “Hadhrat Rasulullah (saw) menuju ke Hajar Aswad lalu beliau menciumnya dan menangis hingga lama. Ketika Rasulullah (saw) menengok ke belakangnya, beliau mendapati Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab yang juga tengah menangis. Rasulullah (saw) bersabda, يَا عُمَرُ هَا هُنَا تُسْكَبُ الْعَبَرَاتُ ‘Wahai ‘Umar, ini adalah tempat dimana air mata dialirkan.’”[31]
[عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ عُمَرَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ، فَقَالَ] Dari ‘Aabis yang meriwayatkan dari Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa beliau (Hadhrat ‘Umar (ra)) pergi menuju Hajar Aswad lalu menciumnya dan berkata, إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ ‘Saya sungguh mengetahui bahwa engkau hanyalah sebuah batu, yang tidak akan merugikan dan memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah (saw) menciummu, maka saya sama sekali tidak akan menciummu.’”[32]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Satu ketika Hadhrat ‘Umar (ra) sedang bertawaf. Ketika beliau melewati Hajar Aswad, beliau menyentuhnya dengan tongkat beliau seraya bersabda, ‘Saya mengetahui bahwa engkau hanyalah sebuah batu. Tidak ada dan tidak pernah ada kekuatan di dalam dirimu. Namun saya menciummu atas dasar perintah Tuhan.’ Inilah gejolak tauhid yang mana Hadhrat ‘Umar (ra) telah berupaya untuk meninggikannya di dunia. Beliau adalah pecinta sejati dari tauhid Tuhan yang Maha Esa. Beliau tidak sanggup menerima jika ada wujud lain yang menjadi sekutu dari segenap kekuasaan-Nya (yakni di dalam kekuasaan-kekuasaan Allah Ta’ala). Tidak diragukan bahwa beliau telah menghormati Hajar Aswad, namun ini karena Allah Ta’ala telah berfirman untuk menghormatinya, dan bukan karena ada sesuatu yang khas di dalam Hajar Aswad tersebut.
Hadhrat ‘Umar (ra) memahami bahwa jika Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk mencium sesuatu yang serendah-rendahnya sekalipun, maka kita pun harus siap untuk menciumnya, karena kita hanyalah hamba Allah Ta’ala dan bukan hamba suatu batu atau bangunan. Alhasil, Hadhrat ‘Umar (ra) menghormatinya dan beliau pun tidak mengesampingkan tauhid, dan inilah kedudukan dari seorang mukmin yang sejati.
Seorang mukmin sejati memahami bahwa Baitullah hanyalah sebuah bangunan yang tersusun dari batu demi batu sebagaimana ribuan bangunan lain di dunia yang juga terbuat dari batu. Seorang mukmin sejati memahami Hajar Aswad hanya merupakan sebuah batu seperti halnya jutaan batu lainnya yang ada di dunia, namun demikian ia pun menghormati Baitullah. Ia [mukmin sejati] pun mencium Hajar Aswad karena ia mengetahui bahwa Tuhannya telah memerintahkan kepadanya untuk menghormati benda tersebut. Meskipun ia menghormati tempat tersebut, dan meskipun ia mencium Hajar Aswad, namun ia tetap berdiri teguh dalam keyakinannya bahwa dirinya adalah seorang hamba Tuhan yang Maha Esa, bukan hamba suatu batu.
Inilah hakikat yang ingin Hadhrat ‘Umar (ra) tampakkan. Beliau menyentuh Hajar Aswad dengan tongkatnya seraya berkata, ‘Aku menganggapmu bukanlah sesuatu. Kamu hanyalah batu sebagaimana jutaan batu lainnya di dunia ini; namun Tuhanku telah menyatakan agar kamu dihormati, dan atas hal inilah aku menghormatimu.’ Seraya mengucapkan demikian, beliau pun maju dan mencium batu tersebut.”
Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) menyampaikan, أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ بِالْجِعْرَانَةِ بَعْدَ أَنْ رَجَعَ مِنَ الطَّائِفِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ يَوْمًا فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَكَيْفَ تَرَى قَالَ ” اذْهَبْ فَاعْتَكِفْ يَوْمًا “ – “Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab bertanya kepada Rasulullah (saw) saat beliau berada di Ji’ranah setelah kembali dari Thaif. Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), saya pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beritikaf satu hari di Masjidil Haram. Bagaimanakah menurut Hudhur?’ Beliau (saw) bersabda, ‘Pergilah dan beritikaflah satu hari.’”
Sesuatu yang telah dinazarkan dan kapan pun waktunya, ia hendaknya dipenuhi. Inilah pelajaran yang Rasulullah (saw) berikan.
Kemudian perawi mengatakan, وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ أَعْطَاهُ جَارِيَةً مِنَ الْخُمْسِ فَلَمَّا أَعْتَقَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَبَايَا النَّاسِ سَمِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَصْوَاتَهُمْ يَقُولُونَ أَعْتَقَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم . فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا أَعْتَقَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَبَايَا النَّاسِ . فَقَالَ عُمَرُ يَا عَبْدَ اللَّهِ اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْجَارِيَةِ فَخَلِّ سَبِيلَهَا “Satu kali Rasulullah (saw) memberikan seorang jariyah (tawanan perempuan) dari khumus (seperlima bagian rampasan perang yang menjadi hak Rasul) dantatkala Rasulullah (saw) memerdekakan para tawanan, Hadhrat ‘Umar (ra) pun mendengar perihal mereka yang mana mereka berkata, ‘Rasulullah (saw) telah memerdekakan kami.’ Hadhrat ‘Umar (ra) pun bertanya, ‘Apa yang terjadi?’
Mereka menjawab, ‘Rasulullah (saw) telah memerdekakan tawanan kaum Muslim.’
Hadhrat ‘Umar (ra) lalu berkata kepada putranya, ‘Wahai Abdullah, pergilah kepada wanita itu, yaitu yang telah Rasulullah (saw) berikan, dan bebaskanlah ia.’”[33]
Hadhrat Hudzaifah disebut sebagai sosok penjaga rahasia Rasulullah (saw). Ada satu peristiwa di perang Tabuk. Hadhrat Hudzaifah menyampaikan, “Rasulullah (saw) tengah turun dari tunggangan beliau. Saat itu ada wahyu yang turun pada beliau. Saat itu Rasulullah (saw) yang tengah duduk lantas berdiri, dan ia mulai menarik tali kekangnya. Saya [Hadhrat Hudzaifah] memegang tali kekangnya lalu membawa dan mendudukkannya di dekat Rasulullah (saw). kamudian saya terus duduk di dekat unta tersebut hingga Rasulullah (saw) berdiri. Kemudian saya membawa unta tersebut ke dekat beliau.
Beliau (saw) bertanya, ‘Siapa Anda?’
Saya menjawab, ‘Hudzaifah.’
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya hendak menyampaikan satu rahasia kepadamu dan janganlah menyampaikannya kepada seorang pun. Saya telah dilarang untuk menshalatkan jenazah beberapa orang.’”[34]
Kemudian, Rasulullah (saw) menyebutkan nama-nama satu Jemaat (segolongan orang) munafik. Ketika Rasulullah (saw) telah wafat, di masa kekhalifahan Hadhrat ‘Umar (ra), kapan saja ada seorang yang wafat, tatkala Hadhrat ‘Umar (ra) menganggap bahwa orang tersebut termasuk dalam kaum munafik, maka beliau memegang tangan Hadhrat Hudzaifah dan membawa serta beliau dalam menshalatkan jenazahnya. Jika Hadhrat Hudzaifah ikut bersama beliau, Hadhrat ‘Umar (ra) pun menshalatkan jenazahnya dan tatkala Hadhrat Hudzaifah melepaskan tangannya dari tangan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) pun tidak pergi untuk menshalatkan jenazahnya.[35]
Tentang upaya Hadhrat ‘Umar (ra) dalam menyempurnakan nubuatan Rasulullah (saw) secara lahiriah (apa adanya), Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan, “Hadhrat ‘Umar (ra), sosok yang penuh dengan kebenaran dan ketulusan, mendapat karunia menjadi khalifah kedua setelah Rasulullah (saw). Melalui perantaraan beliau, setiap Sahabat mendapatkan kehormatan. Perbendaharaan Kaisar Romawi dan Raja Persia, serta para permaisurinya jatuh di tangan mereka.
Tertera bahwa ada seorang sahabat yang datang ke mahkamah Kisra. Para pembantu Kisra menghiasi singgasanannya dengan kursi kursi emas dan tembaga, serta memperlihatkan segala kebesarannya. Sahabat itu berkata, ‘Kami tidak lupa meski dengan harta ini. Kami pun telah dijanjikan bahwa gelang-gelang Kisra pun akan jatuh di tangan kami.’ Pendek kata, Hadhrat ‘Umar (ra) pun memakaikan gelang tersebut ke seorang sahabat untuk menyempurnakan nubuatan tersebut.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Kaum laki-laki tidak diizinkan untuk mengenakan emas. Namun, Hadhrat ‘Umar (ra) menyuruh mengenakan gelang-gelang emas Kisra (Raja Iran) ke seorang sahabat. Tatkala sahabat tersebut menolak untuk memakainya, Hadhrat ‘Umar (ra) pun memarahinya dan bersabda, ‘Rasulullah (saw) telah bersabda bahwa beliau (saw) melihat gelang-gelang Kisra di tanganmu.’ Maka dari itu tatkala mahkota dan jubah kebesaran Kisra masuk ke dalam harta-harta ghanimah, Hadhrat ‘Umar (ra) pun memerintahkan agar seseorang mengenakan jubah dan mahkota tersebut. Kemudian ketika ia telah mengenakannya, Hadhrat ‘Umar (ra) pun menangis dan bersabda, ‘Baru beberapa hari sebelumnya Kisra mengenakan jubah dan mahkota ini dan memerintah negeri Iran dengan semena-mena. Namun, kini ia melarikan diri di hutan belantara. Inilah kenyataan dunia.’ Mungkin yang dilakukan Hadhrat ‘Umar (ra) ini tidaklah benar dalam pandangan orang-orang yang melihat dengan pandangan lahiriah karena laki-laki tidak diizinkan untuk mengenakan kain sutra dan emas. Namun, demi memberi pemahaman dan nasihat akan suatu hal yang baik, saat itu untuk beberapa menit Hadhrat ‘Umar (ra) memakaikan emas dan jubah sutera pada seseorang. Jadi, hal yang mendasar adalah takwa kepada Allah. Segenap perintah adalah demi menumbuhkan takwa terhadap Allah. Jika demi meraih takwa kepada Allah, harus meninggalkan suatu yang secara lahiriah merupakan ibadah, maka amalan itulah yang akan menarik pahala Tuhan.”
Hadhrat Abdullah ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi (saw) bersabda, أُرِيتُ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَنْزِعُ بِدَلْوِ بَكْرَةٍ عَلَى قَلِيبٍ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَنَزَعَ ذَنُوبًا أَوْ ذَنُوبَيْنِ نَزْعًا ضَعِيفًا، وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ، ثُمَّ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَاسْتَحَالَتْ غَرْبًا، فَلَمْ أَرَ عَبْقَرِيًّا يَفْرِي فَرِيَّهُ حَتَّى رَوِيَ النَّاسُ وَضَرَبُوا بِعَطَنٍ “Saya telah diperlihatkan di dalam mimpi bahwa saat itu saya berdiri di sisi sumur dan saya sedang menimba air dengan tali yang ada di katrol. Seketika itu Abu Bakr datang dan beliau pun menimba satu atau dua ember, dimana ia tampak lemah dalam menariknya, namun Allah akan menutupi kelemahannya, dan akan mengampuninya. Kemudian datanglah Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab lalu ember tersebut berubah menjadi ember yang besar. Saya tidak pernah menyaksikan seorang yang sedemikian luar biasa dalam bekerja sebagaimana yang telah Hadhrat ‘Umar (ra) lakukan. Beliau telah sedemikian banyak menimba air hingga semua orang pun tampak puas dan kembali ke tempatnya masing-masing.”[36]
Hadhrat Ibnu ‘Umar berkata, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ “Saya mendengar dari Rasulullah (saw) bahwa beliau bersabda, بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِقَدَحِ لَبَنٍ، فَشَرِبْتُ مِنْهُ، حَتَّى إِنِّي لأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ مِنْ أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي “. يَعْنِي عُمَرَ ‘Satu kali saya tengah tertidur dan di waktu itu dibawakan ke hadapan saya satu wadah (mangkuk atau cawan atau gelas atau kendi) berisi air susu dan saya meminumnya sedemikian rupa hingga saya melihat kesegarannya tengah mengalir keluar dari jari-jemari saya. Kemudian saya memberikan sisa susu saya kepada Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab (ra).’ Sahabat bertanya, فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ‘Ya Rasulullah (saw)! Apa takwil (penjelasan) Anda atas mimpi ini?’ Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, الْعِلْمَ ‘Ilmu.’”[37]
Hadhrat Zainul ‘Abidin Waliullah Syah Sahib berkata dalam menjelaskan hadits ini, “Arti dari Fadhlul ‘ilm (فضل العلم) di tempat ini bukanlah keutamaan ilmu, melainkan bagian yang tersisa dari ilmu (بقية العلم). Berkenaan dengan keutamaan ilmu ditulis pada satu bab terpisah. Mimpi Hadhrat Rasulullah (saw) dan tafsirnya serta peristiwa-peristiwa yang menggenapi mimpi ini, adalah untuk membuktikan kemenangan dan kejayaan duniawi yang umat Islam raih melalui perantaraan Hadhrat ‘Umar (ra) adalah satu bagian yang tersisa dari ilmu kenabian yang didapatkan Hadhrat ‘Umar (ra) dari Hadhrat Rasulullah (saw).
Di dalam Al-Qur’an, dikarenakan Hadhrat Rasulullah (saw) memiliki status komprehensif ini, beliau (saw) disebut sebagai Majma’ul Bahrain, yakni yang menghimpun ilmu-ilmu kesejahteraan duniawi dan ukhrawi. Dengan memasukkan politik ke dalam bab Al-‘Ilmu, Imam Bukhari mengisyaratkan bahwa Hadhrat Rasulullah (saw) membawa kebenaran sempurna yang meliputi kebaikan-kebaikan di dua tempat kediaman[38] manusia, sebagaimana Nabi Isa (as) telah menubuatkan mengenai beliau (saw) bahwa ketika ruh kebenaran itu datang, maka ia akan membawa kebenaran yang sempurna (Yohanes, Pasal 16 ayat 12). Dengan menelaah peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) dapat diketahui hakikat susu yang tersisa yang beliau minum dari keberkatan Hadhrat Rasulullah (saw) tersebut.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Suatu kali Hadhrat ‘Umar (ra) menceritakan berkenaan dengan mimpi mendapatkan secangkir susu di hadapan Hadhrat Rasulullah (saw). Beliau (saw) bersabda, ‘Artinya adalah ilmu’.”
Hadhrat Abu Sa’id Khudri (ra) meriwayatkan, “Saya mendengar dari Hadhrat Rasulullah (saw), beliau (saw) bersabda, بَيْنَمَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ، وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ، مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثَّدْىَ، وَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ دُونَ ذَلِكَ، وَمَرَّ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ ‘Tatkala saya sedang tertidur, saya melihat orang-orang dihadapkan kepada saya dan mereka memakai baju-baju. Baju sebagian dari mereka sampai ke dada dan sebagian lagi sampai ke bawah dan ‘Umar (ra) pun dihadapkan kepada saya, beliau memakai baju yang beliau seret.’
Sahabat berkata, مَا أَوَّلْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ‘Apa arti hal ini?’ Beliau (saw), الدِّينَ ‘Diin (agama)’.”[39]
Pada satu kesempatan Hadhrat Rasulullah (saw) menjelaskan keistimewaan-keistimewaan beberapa orang sahabat. Mengenai Hadhrat ‘Umar (ra), beliau (saw) bersabda, أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ “Di antara umat saya, yang paling tegas dalam agama Allah adalah ‘Umar (ra).”[40]
Terdapat riwayat dari Hadhrat Malik bin Mighwal (مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ) bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, حَاسِبُوا أنفُسَكم قبل أن تحاسَبُوا فإنَّه أهْونُ أو أيْسَرُ لحسابِكم، وَزِنُوا أنفسَكم قبل أن تُوزَنُوا، وتجهَّزُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لاَ تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ ‘haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu fa-innahu ahwanu au aysaru lihisaabikum, waazinuu anfusakum qabla an tuuzanuu, wa tajahhazuu lil-‘ardhil akbar’ “Hendaklah kalian menghisab (menghitung-hitung atau menilai-nilai) diri kalian sendiri sebelum kalian dinilai, karena ini lebih mudah”, atau beliau bersabda, “lebih mudah untuk penghisaban kalian. Dan hendaklah kalian menimbang-nimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang dan bersiap-siaplah untuk hari penghadapan yang besar. يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ Yaumaidzin tu’rodhuuna laa takhfaa minkum khaafiyah. Yakni, pada hari ketika kalian dihadapkan, tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (Surah al-Haaqqah, 69:19).[41]
Suatu kali Hadhrat Hasan (ra) berkata mengenai Hadhrat ‘Umar (ra), والله ما كان بأولهم إسلاما ولا بأفضلهم نفقة في سبيل الله، ولكنه غلب الناس بالزهد في الدنيا والصرامة في أمر الله، ولا يخاف في الله لومة لائم “Demi Allah! Meskipun beliau bukanlah termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam dan bukan pula yang paling menonjol dalam membelanjakan harta di jalan Allah, namun dalam hal ketidaktertarikan pada duniawi dan ketegasan dalam perkara hukum-hukum Allah Ta’ala, beliau mengungguli orang-orang dan beliau tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela berkenaan dengan Allah Ta’ala.”[42]
Hadhrat Sa’d bin Abi Waqqash (ra) meriwayatkan, وَاللَّهِ مَا كَانَ عُمَرُ بِأَقْدَمِنَا هِجْرَةً، وَقَدْ عَرَفْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ فَضَلَنَا، كَانَ أَزْهَدَنَا فِي الدُّنْيَا “Demi Allah! Meskipun Hadhrat ‘Umar (ra) ibn al-Khaththab (ra) bukanlah yang paling awal di antara kami dalam menerima Islam, namun saya mengetahui dalam hal apa beliau lebih unggul dari kami. Beliau adalah yang paling zuhud (tidak memiliki ketertarikan pada hal-hal duniawi) dibandingkan kami.”[43]
(هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ) Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwa beliau mengatakan, لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ الشَّامَ كَانَ قَمِيصُهُ قَدْ تَجَوَّب عَنْ مَقْعَدَتهِ ، قَمِيصٌ سُنْبُلاَنِيٌّ غَلِيظٌ ، فَأَرْسَلَ بِهِ إِلَى صَاحِبِ أَذَرِعَاتٍ ، أَوْ أَيْلَةٍ ، قَالَ : فَغَسَلَهُ وَرَقَّعَهُ وَخَيَّطَ لَهُ قَمِيصَ قُبْطرِي ، فَجَاءَ بِهِمَا جَمِيعًا فَأَلْقَى إلَيْهِ الْقُبْطرِي ، فَأَخَذَهُ عُمَرُ فَمَسَّهُ ، فَقَالَ : هَذَا أَلْيَنُ ، فَرَمَى بِهِ إلَيْهِ ، وَقَالَ : أَلْقِ إلَيَّ قَمِيصِي ، فَإِنَّهُ أَنْشَفُهُمَا لِلْعِرَقِ “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) datang ke Syam, baju beliau robek dari belakang. Baju tersebut adalah baju yang besar dan berjenis Sumbulani.” – Sumbulani adalah baju yang panjangnya sampai menyentuh tanah dan baju seperti itu adalah khas Romawi – “Beliau mengirimkan baju tersebut kepada penguasa Adzri’aat atau Ailah.” Ini juga merupakan satu kota di arah menuju Syam dan terletak di pantai Laut Merah. Perawi mengatakan, “Ia mencuci baju tersebut dan menambalnya. Ia juga menyiapkan baju model Qubthari untuk Hadhrat ‘Umar (ra).” – Qubthari adalah pakaian berwarna putih halus terbuat dari katun – “Kemudian ia membawa kedua baju tersebut ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) lalu memberikan baju Qubthari kepada beliau (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) memegang baju itu dan menyentuhnya dan bersabda bahwa itu lebih lembut. Beliau lalu melemparkannya kepada orang tersebut dan bersabda, ‘Berikan baju saya, karena itu yang paling menyerap keringat dari antara baju-baju yang lainnya.’” [44] Maknanya, “Baju sobek yang telah kamu perbaiki itu lebih baik.”
Hadhrat Anas bin Malik (ra) meriwayatkan, “Saya melihat Hadhrat ‘Umar (ra) ketika beliau sebagai Amiirul Mu’miniin, di antara bahu beliau terdapat tiga tambalan dari kulit pada baju beliau.” Dalam riwayat yang lain, Hadhrat Anas (ra) meriwayatkan, “Saya melihat empat tambalan dari kulit pada baju di antara pundak Hadhrat ‘Umar (ra).”[45]
Pembahasan mengenai riwayat Hadhrat ‘Umar (ra) ini masih akan berlangsung pada kesempatan yang akan datang insya Allah.
Sekarang saya akan menyampaikan riwayat seorang Almarhum dan akan menyalatkan juga jenazahnya setelah shalat Jumat ini, insya Allah. Beliau adalah Dokter Tatsir Mujtaba Sahib, Dokter di Fazli ‘Umar Hospital. Beliau wafat beberapa hari yang lalu di usia 70 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau memiliki berbagai penyakit, tetapi bagaimanapun kesehatan beliau tiba-tiba memburuk, lalu semakian parah, kemudian beliau wafat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga Dokter Sahib melalui sepupu ayahanda beliau, Sayyid Fakhrussalam Sahib, Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), namun ayahanda Dokter Tatsir Mujtaba Sahib baru baiat dan menjadi Ahmadi pada tahun 1938 semasa menempuh pendidikan. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) menghimbau gerakan Waqaf di bawah skema Nusrat Jahan, ayahanda Dokter Tatsir Sahib, Ghulam Mujtaba Sahib sedang bekerja di Karachi sebagai ahli bedah sipil. Pada tanggal itu beliau mengambil pensiun dari sana dan setelah mewaqafkan diri beliau pergi ke Afrika pada tahun 1970 dan berkhidmat di sana hingga tahun 1999, yaitu di Ghana, Nigeria dan Sierra Leone.
Dokter Tatsir Mujtaba Sahib juga setelah menyelesaikan pendidikan kedokterannya bekerja kurang lebih dua tahun di ketentaraan. Kemudian beliau bekerja di Rumah Sakit Umum di Karachi. Kemudian bekerja di Jinnah Hospitasl, Karachi dan pada 1982 beliau mewaqafkan diri untuk tiga tahun. Selanjutnya, beliau dikirim ke Ghana. Di sana beliau berkhidmat di Rumah sakit Techiman. Kemudian beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Rumah Sakit Hausakore yang dimulai oleh ayah beliau sendiri. Beliau bekerja bersama ayahanda beliau selama tiga tahun dan mempelajari ilmu bedah dari ayahanda beliau. Ayah beliau seorang dokter bedah yang baik.
Dokter Tatsir Sahib berkhidmat di Ghana kurang lebih 23 tahun. Setelah itu selama 17 tahun beliau berkhidmat di Fazli ‘Umar Hospital, Rabwah. Dengan demikian beliau mendapatkan taufik berkhidmat selama 40 tahun. Beliau menikah dengan Amatur Rauf, putri Sayyid Daud Muzaffar Shah Sahib dan Sahibzadi Amatul Hakim Sahibah, putri dari Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra). Dokter Sahib mempunyai satu putera dan satu puteri.
Istri beliau, Amatur Rauf menuturkan, “Ketika saya pergi menemui beliau di hari-hari sakitnya, beliau mengatakan, ‘Sampaikan salam kepada Hudhur’” – Yakni Almarhum mengirimkan salam kepada saya (Hudhur). Istri beliau menuturkan, “Pada saat itu saya merasa seperti beliau mengucapkan salam perpisahan.”
Kemudian istri Almarhum menulis, “Suatu kali di Ghana Almarhum sakit keras. Beliau melewati malam dengan penuh penderitaan dan keadaannya sangat mengkhawatirkan. Pada waktu subuh beliau mengatakan, ‘Ada seseorang mengucapkan salam. Coba lihat ada siapa?’
Saya katakan bahwa pintu tertutup, tidak ada yang bisa masuk ke dalam. Satu jam kemudian beliau mengatakan kepada saya, ‘Saya mendengar suara ucapan salam. Seseorang mengucapkan salam.’ Setelah itu dengan karunia Allah Ta’ala keadaan beliau mulai membaik dan sehat. Saya (istri Almarhum) juga mendoakan beliau (Almarhum) dan beliau mengatakan kepada saya bahwa beliau akan panjang umur.”
Istri beliau menuturkan, “Beliau seorang yang rendah hati, tanpa pamrih dan tidak pernah menyakiti orang lain. Tidak pernah berghibat atau melaporkan keburukan orang lain. Bahkan jika ada seseorang yang melakukan keburukan, beliau akan tetap diam.”
Saudara laki-laki beliau yang merupakan Dokter juga menulis, “Kami melihat bahwa pada waktu cuti pun beliau biasa mengecek para pasien dan mengatakan, ‘Karena Dokter yang lain jarang mengecek para pasien sedangkan pasien terus berdatangan ke rumah sakit, maka daripada para pasiem pulang kembali tanpa pengobatan, untuk itu saya melihat mereka dan saya menanggung beban Dokter-dokter yang lain.’
Beliau seorang yang sangat baik dan pendiam. Petugas keamanan dan para karyawan rumah sakit mengatakan, ‘Beliau selalu tersenyum sambil menanyakan kabar ketika lewat.’ Beliau bersikap sangat baik kepada para pasien secara umum, khususnya kepada para pasien Ahmadi dan beliau biasanya memeriksa pasien tanpa meminta biaya jika ada pasien yang datang di luar jam-jam rumah sakit.”
Principal Jamiah Ahmadiyah Rabwah, Mubashir Sahib menulis, “Saya mendapatkan taufik duduk bersama Almarhum pada beberapa kesempatan dan beliau seorang yang sangat jarang bicara. Beliau berbicara dengan lembut, penuh keceriaan, kecintaan dan kerendahan hati. Saya tidak melihat kerendahan hati, kebersahajaan dan kesederhanaan seperti itu pada orang lain.”
Beliau menuturkan, “Di rumah sakit saya mendengar cerita dari orang-orang mengenai beliau yang menimbulkan kecemburuan dan sekaligus merasa senang bahwa di rumah sakit ada Dokter yang seperti itu.” Beliau kemudian menuturkan, “Dokter Sahib biasa memeriksa para pasien bahkan ketika jam rumah sakit telah habis. Dokter Sahib telah bangkit dan sedang berjalan ke luar dari ruangannya, lalu seorang pasien datang, maka beliau kembali membawa pasien tersebut ke ruangannya seolah tadi sedang menunggunya. Beliau sangat menyayangi orang-orang miskin.”
Athar Zubair Sahib, Chairman Humanity First Jerman menuturkan, “Ketika saya melakukan lawatan ke Afrika pada 2004, Dokter Sahib juga menyertai saya di Ghana dan di beberapa tempat lainnya. Kami juga pergi ke Benin.”
Athar Zubair Sahib menuturkan, “Pandangan Dokter Sahib tertuju pada seorang wanita yang tampak sedang gelisah. Dokter Sahib berkata kepada saya, ‘Coba tanyakan kepada wanita itu, mengapa ia gelisah?’ Lalu wanita itu mengatakan, ‘Saya datang untuk berjumpa dengan Khalifah. Uang saya telah habis. Saya tidak punya uang untuk ongkos pulang.’ Lalu Dokter Sahib mengatakan, ‘Beri dia 30.000 Franc CFA.’ Saat itu uang yang diberikan Dokter Sahib tersebut besarnya sama dengan satu bulan gaji yang biasa didapatkan seseorang.”
Hanif Mahmud Sahib menulis, “Almarhum seorang yang sangat sederhana dan rendah hati. Beliau bersikap penuh kecintaan dan kasih sayang kepada para Waqifin. Suatu kali istri saya (Hanif Sahib) sakit, maka beliau mengobatinya.” Saya (Hanif Sahib) mengatakan, ‘Kami datang untuk konsultasi, bukan untuk diperiksa.’
Beliau mengatakan, ‘Mana catatan medisnya.’
Kami mengatakan, ‘Kami tidak punya catatan medis.’ Beliau pun segera memanggil asistennya dan mengeluarkan 100 rupee dari sakunya dan memberikannya kepadanya untuk biaya membuat catatan medis dan meskipun kami bersikeras, beliau tidak mau menerima uang dari kami.”
Beliau menulis, “Almarhum dengan parasnya yang ma’shum (polos tanpa dosa) adalah bagaikan malaikat yang berjalan dalam wujud manusia dan beliau biasa datang ke Masjid Mubarak untuk shalat. Beliau datang tanpa banyak bicara dan melaksanakan shalat yang panjang.”
Dokter Muzaffar Choudry Sahib, Ahli Geologi yang tinggal di UK, beliau juga sering pergi ke sana untuk Waqaf Arzi, menuturkan, “Beliau seorang yang pendiam, sosok yang penuh kasih sayang dan rasa simpati. Beliau gemar mempelajari hal-hal yang baru supaya bisa menolong orang lain. Ketika saya pergi untuk Waqaf Arzi, saya duduk di kantor beliau dan beliau mempersilahkan saya duduk di kursi beliau sedangkan beliau duduk di kursi lain, meskipun saya bersikeras supaya beliau tetap duduk di tempatnya.”
Wakilul Maal Awwal Tahrik Jadid, Luqman Sahib menuturkan, “Beliau seorang yang memiliki banyak keistimewaan. Beliau memiliki semangat pengorbanan harta yang istimewa. Sejak beliau datang ke Pakistan, setiap tahun beliau biasa membayar candah Tahrik Jadid di kantor Maal Awwal segera setelah pengumuman. Beliau kemudian menulis, “Dokter memang profesi beliau, namun tampaknya senantiasa mengkhidmati kemanusiaan adalah menjadi tujuan beliau.”
Selain allopathic, jika diperlukan, bukan berarti tidak ada pengobatan lain yang bisa diterima, pengobatan homeopati juga dilakukan. Dokter Naim Sahib yang sekarang ini sebagai In Charge di rumah sakit Hausakore menuturkan, “Beliau berkhidmat sebagai dokter di Hausakore selama 21 tahun. Hari ini, setelah mendengar kabar kewafatan beliau banyak orang dari daerah tersebut yang mengenal Dokter Sahib datang, mereka sangat bersedih dan secara khusus menyatakan turut berduka cita.”
Beliau menuturkan, “Dokter Sahib sosok yang sangat sederhana, tidak banyak bicara, bekerja dengan senang hati, menyayangi orang miskin dan ramah terhadap tamu.” Kemudian menulis, “Dokter sahib tidak diragukan lagi telah memberikan pengkhidmatan yang terbaik di bidang bedah di rumah sakit Hausakore yang buahnya hari ini pun kita melihat dalam corak para pasien yang berdatangan ke rumah sakit ini dari berbagai negara di Afrika Barat untuk berobat dan menceritakan tentang Mujtaba dalam bahasa Afrika mereka yang sederhana. Tatsir Mujtaba adalah nama beliau, beliau dikenal dengan nama Dokter Mujtaba. Ayah beliau pun tinggal di sini untuk beberapa tahun. Kemudian nama yang sama berlanjut. Beliau membangun sebuah masjid yang indah di lingkungan rumah sakit.
Singkatnya, Dokter Sahib adalah seorang yang tulus dan pengkhidmat kemanusiaan, dan beliau menggunakan profesi beliau untuk tujuan ini. Saya juga melihat sendiri keistimewaan dalam diri ayahanda Almarhum dan dalam diri Almarhum bahwa selain memberikan obat gratis bagi para pasien yang miskin, beliau juga memberikan uang untuk makanan, bahkan menyediakan telur dan susu untuk diberikan kepada pasien yang penting untuk kesehatan mereka. Mereka memberikan obat-obatan gratis, memberikan makanan gratis juga dan mengatakan, ‘Gunakanlah ini supaya Anda sehat.’”
Dokter Ghulam Mujtaba Sahib juga banyak melakukan pengkhidmatan di Ghana, namun Dokter Tatsir Mujtaba Sahib lebih memajukan lagi pekerjaan ini dan saya sendiri mengetahui hal ini dari beberapa orang Ghana yang sangat memuji beliau. Singkatnya, beliau menunaikan pengkhidmatan dengan corak waqaf yang hakiki dan khususnya ketika para Waqifin Zindegi datang, beliau secara khusus memeriksa mereka, mengobati mereka dan menganggap mereka sebagai tamu di rumah beliau. Ketika Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ (rh) melakukan lawatan, beliau (rh) pun menginap di rumah Almarhum dan keramahan terhadap tamu adalah salah satu sifat istimewa beliau.
Hanif Sahib menulis, “Almarhum seorang malaikat. Sungguh seorang malaikat yang berjalan.”
Semoga Allah Ta’ala mengasihi beliau, meninggikan derajat beliau. Mengenai keramahan terhadap tamu, saya harus sampaikan bahwa keramahan terhadap tamu baru bisa dilakukan oleh seorang laki-laki apabila kaum wanita di rumahnya melakukannya. Jadi istri beliau juga sangat ramah terhadap tamu dan pengkhidmat tamu. Doakanlah juga untuk kesehatan beliau. Semoga Allah Ta’ala memberikan keberkatan pada umur dan kesehatan beliau dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau dan menunaikan kewajiban mengkhidmati ibu mereka. [aamiin]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] Shahih al-Bukhari 3693, Kitab keutamaan Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ).
[2] Sumber : Tirmidzi, Kitab : Budi pekerti yang terpuji, Bab : Biografi Abdurrahman bin Auf azzuhri Radhiyallahu’anhu, No. Hadist : 3680.
[3] Sahih al-Bukhari 7025, bab berwudhu dalam mimpi (باب الْوُضُوءِ فِي الْمَنَامِ)
[4] Sunan Abi Dawud 3987, Kitab : Huruf dan Bacaan (كتاب الحروف والقراءات), Bab : Bab, No. Hadist : 3473
[5] Jami` at-Tirmidhi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), 90.
[6] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ١٧٠). Tercantum juga dalam Kitab ats-Tsaani min Fadhail ‘Umar bin al-Khaththab (كتاب الثاني من فضائل عمر بن الخطاب) Abdul Ghani bin ‘Abdul Wahid bin ‘Ali bin Surur al-Maqdisi al-Jama’ili ad-Dimasyqi al-Hambali, Abu Muhammad, Taqiyuddin (عبد الغني بن عبد الواحد بن علي بن سرور المقدسي الجماعيلي الدمشقي الحنبلي، أبو محمد، تقي الدين). Ada juga riwayat menurut Hadhrat ‘Ali (ra): عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ § (( هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لا تُخْبِرْهُمَا )) .
[7] Nuzhatul Majalis Wa Muntakhabun Nafais (كتاب نزهة المجالس ومنتخب النفائس) karya Al-Imam Abdurrahman bin Abdus Salam Ash-Shafuriy Asy-Syafi’i (wafat tahun 894 Hijriyah/1489 Masehi) Rahimahullahu, bab (مناقب سراج أهل الجنة عمر بن الخطاب رضي الله عنه). Riyadhun Nadhirah, pasal ke-8 (الفصل الثامن: في شهادة النبي -صلى الله عليه وسلم- له بالجنة). Majma’uz Zawaid (كتاب مجمع الزوائد ومنبع الفوائد) karya (نور الدين الهيثمي), nomor 14461. Mausu-ah al-Ahadits wal Atsar adh-dha’ifah wal Maudhu’ah – Ensiklopedia Hadits-Hadits dan Atsar-Atsar Dha’if dan Maudhu’ (موسوعة الأحاديث والآثار الضعيفة والموضوعة – ج 14).
[8] Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), 4050: عَنْ مِشْرَحِ بْنِ هَاعَانَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ .
[9] Jami at-Tirmidzi (جامع الترمذي أبواب المناقب باب حديث رقم 3784): عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
[10] Sahih al-Bukhari 3689, (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ)
[11] Fatah Islam (Kemenangan Islam) halaman 11, Ruhani Khazain jilid 3 (روحانی خزائن جلد 3) oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[12] Barahin Ahmadiyah jilid ceharam (IV), Ruhani Khazain jilid 1 (روحانی خزائن جلد 1) oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).
[13] Hadits Bukhari Nomor 387.
[14] Sahih Muslim 2399, Kitab al-Fadhail atau Keutamaan (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), Keutamaan ‘Umar (باب مِنْ فَضَائِلِ عُمَرَ رضى الله تعالى عنه).
[15] Shahih Muslim 2774a, Kitab Sifat orang munafik (كتاب صفات المنافقين وأحكامهم).
[16] Jami` at-Tirmidhi 3049, Kitab Tafsir al-Qur’an (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), Bab Surah al-Maaidah (باب وَمِنْ سُورَةِ الْمَائِدَةِ).
[17] Izaalah Auham, Ruhani Khazaain jilid 3 halaman 219. Hadits ini, إن الشيطان يهرب من ظل عمر ‘innasy syaithaana yahrubu min zhilli ‘Umar’ – “Bahkan setan pun lari dari bayangan Hadhrat Umar.” Hadits, لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ‘Lau kaana ba’dii nabiyyun lakaana ‘Umara bn al-Khaththaab’ – “Jika ada lagi nabi sesudahku, itulah Umar, putra al-Khaththaab.” Hadits ketiga meriwayatkan,إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الْأُمَمِ مُحَدَّثُونَ وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ‘innahu qad kaana fiimaa madha qablakum minal umami muhaddatsuuna wa innahu in kaana fii umatii haadzihi minhum fa innahu ‘Umar ubnul Khaththaabi’ – Hadits pertama tercantum dalam karya al-Haitsami, Majma az-Zawaid, 9/51 dan Fadhail Shahabah karya al-Imam Ahmad; hadits ke-2 terdapat dalam Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/619 no 3686, Ahmad dalam Fadhail Shahabah no 519 dan no 694; hadits ke-3 diriwayatkan Muslim dan Bukhari.
[18] Sahih Muslim 27b, Kitab tentang Iman (كتاب الإيمان), (باب مَنْ لَقِيَ اللَّهَ بِالإِيمَانِ وَهُوَ غَيْرُ شَاكٍّ فِيهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَحَرُمَ عَلَى النَّارِ): عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَوْ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، – شَكَّ الأَعْمَشُ Perawi bernama al-A’masy ragu soal perawi pertama yang mendengar langsung dari Nabi (saw) apakah namanya Abu Sa’id al-Khudhri atau Abu Hurairah.
[19] Sahih al-Bukhari 2982, Kitab tentang Jihad (كتاب الجهاد والسير), bab soal perbekalan (باب حَمْلِ الزَّادِ فِي الْغَزْوِ).
[20] Tafsir-e-Kabir, Vol. 9, pp. 624-625 (تفسیر کبیر جلد7 صفحہ624-625).
[21] Jami’ at-Tirmidzi, Kitab Shalat, No.174, Sejarah adzan: عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ .
[22] Sahih al-Bukhari 2610, Kitab tentang Hibah atau Pemberian (كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها), orang yang mendapatkan hadiah adalah yang lebih berhak memperlakukan benda hadiahnya (باب مَنْ أُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةٌ وَعِنْدَهُ جُلَسَاؤُهُ فَهْوَ أَحَقُّ)
[23] Sahih al-Bukhari 540, (كتاب مواقيت الصلاة), (باب وَقْتِ الظُّهْرِ عِنْدَ الزَّوَالِ); Sahih al-Bukhari 7294 (كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة), (باب مَا يُكْرَهُ مِنْ كَثْرَةِ السُّؤَالِ وَتَكَلُّفِ مَا لاَ يَعْنِيهِ).
[24] Sahih al-Bukhari 93, Kitab tentang ilmu pengetahuan (كتاب العلم), bab seseorang marah saat memberikan ta’lim karena menyaksikan sesuatu yang tidak disukainya (باب الْغَضَبِ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالتَّعْلِيمِ إِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ).
[25] Sahih al-Bukhari 93, Kitab tentang ilmu pengetahuan (كتاب العلم), bab seseorang berlutut di depan seorang Imam atau penceramah agama (بَاب مَنْ بَرَكَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ عِنْدَ الإِمَامِ أو المُحَدِّثِ).
[26] Sahih Muslim 1162b, Kitab tentang puasa (كتاب الصيام), bab dianjurkan berpuasa tiga hari sebulan, puasa Arafah dan Asyura dan puasa Senin-Kamis (باب اسْتِحْبَابِ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَالِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ). Pada Hadits sebelumnya disebutkan, dari Abu Qatadah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Bagaimanakah Anda berpuasa?” Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah. Dan ketika Umar menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah, ia berkata, “Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah, dari murka Allah dan Rasul-Nya.” Umar mengulang ucapan tersebut hingga kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam reda. Kemudian ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang tahun?” Beliau menjawab: “Dia tidak berpuasa dan tidak juga berbuka.” -atau beliau katakan dengan redaksi ‘Selamanya ia tak dianggap berpuasa dan tidak pula dianggap berbuka– Umar bertanya lagi, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari?” beliau menjawab: “Itu adalah puasa Dawud ‘Alaihis Salam.” Umar bertanya lagi, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka dua hari?” beliau menjawab: “Aku senang, jika diberi kekuatan untuk itu.” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa tiga hari setiap bulan, puasa dari Ramadlan ke Ramadlan sama dengan puasa setahun penuh. Sedangkan puasa pada hari Arafah, aku memohon pula kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya. Adapun puasa pada hari ‘Asyura`, aku memohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.”
[27] Shahih al-Bukhari 5191, Kitab tentang pernikahan (كتاب النكاح), nasihat seorang bapak kepada putrinya perihal suaminya (باب مَوْعِظَةِ الرَّجُلِ ابْنَتَهُ لِحَالِ زَوْجِهَا). Shahih al-Bukhari 2468, Kitab al-Mazhalim (كتاب المظالم), bab (باب الْغُرْفَةِ وَالْعُلِّيَّةِ الْمُشْرِفَةِ وَغَيْرِ الْمُشْرِفَةِ فِي السُّطُوحِ وَغَيْرِهَا).
[28] Sunan Abi Dawud 1498, Kitab rincian mengenai Witr (كتاب الوتر), bab doa (باب الدُّعَاءِ). Musnad Ahmad, Musnad `Umar b. al-Khattab (ra) (مُسْنَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ »), Hadith 195.
[29] Jami` at-Tirmidhi 3562, Kitab tentang doa-doa (كتاب الدعوات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم)
[30] Sahih al-Bukhari 3667, 3668; (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم); (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ” قَالَهُ أَبُو سَعِيدٍ)
[31] Shahih Ibnu Khuzaimah (صحيح ابن خزيمة), Kitab tentang Manasik Haji (كتاب المناسك), bab mengenai menangis tatkala mencium batu hitam di Ka’bah Suci (باب البكاء عند تقبيل الحجر الأسود). Tercantum juga dalam Shafwatut Tashawwuf (صفوة التصوف يشتمل على اقوال وافعال ائمة التصوف) karya Ibnu Thahir al-Qaisarani (ابن القيسراني/أبو الفضل محمد بن طاهر المقدسي) atau lengkapnya (محمد بن طاهر بن علي بن أحمد، أبو الفضل ابن القيسراني الشيباني، المقدسي الأثري، الظاهري) Abu Al Fadhl bin Abu Al Husain bin Al Qaisarani Al Maqdisi Al Atsari Azh-Zhahiri Ash-Shufi. Dia lahir di Baitul Maqdis pada tahun 408 H. Ibnu Thahir meninggal setibanya dari haji pada tahun 507 H.
[32] Sahih al-Bukhari 1597, Kitab tentang Haji (كتاب الحج), bab kisah Hajar Aswad atau Batu Hitam (باب مَا ذُكِرَ فِي الْحَجَرِ الأَسْوَدِ). al-Mu’jam al-Ausath karya Ath-Thabrani (المعجم الأوسط للطبراني باب الألف من اسمه أحمد حديث رقم 2094)
[33] Sahih Muslim 1656c, Kitab al-Aymaan atau Persumpahan (كتاب الأيمان), bab bila seseorang saat masih kafir bernazar dan apa yang harus ia lakukan setelah menjadi Muslim (باب نَذْرِ الْكَافِرِ وَمَا يَفْعَلُ فِيهِ إِذَا أَسْلَمَ). Sahih al-Bukhari 2032, (كتاب الاعتكاف), bab (باب الاِعْتِكَافِ لَيْلاً).
[34] Ibnu Katsir (إبن كثير – السيرة النبوية – الجزء : ( 4 ) – رقم الصفحة : 34)
[35] Al-Iman al-Ausath (كتاب: الإيمان الأوسط) karya Ibnu Taimiyah (شيخ الإسلام ابن تيمية).
: إذْ ذَاكَ بِالْحُجَّةِ وَالسَّيْفِ تَحْقِيقًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى { هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ } وَلِهَذَا قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ : – وَكَانَ مِنْ أَعْلَمِ الصَّحَابَةِ بِصِفَاتِ الْمُنَافِقِينَ وَأَعْيَانِهِمْ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَسَرَّ إلَيْهِ عَامَ تَبُوكَ أَسْمَاءَ جَمَاعَةٍ مِنْ الْمُنَافِقِينَ بِأَعْيَانِهِمْ فَلِهَذَا كَانَ يُقَالُ : هُوَ صَاحِبُ السِّرِّ الَّذِي لَا يَعْلَمُهُ غَيْرُهُ . وَيُرْوَى أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ حُذَيْفَةُ ؛ لِئَلَّا يَكُونَ مِنْ الْمُنَافِقِينَ الَّذِينَ نُهِيَ عَنْ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ . قَالَ حُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – النِّفَاقُ الْيَوْمَ أَكْثَرُ مِنْهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . وَفِي رِوَايَةٍ : كَانُوا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّونَهُ وَالْيَوْمَ يُظْهِرُونَهُ – وَذَكَرَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ عَنْ ابْن أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ : أَدْرَكْت ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ وَقَدْ أَخْبَرَ اللَّهُ عَنْ الْمُنَافِقِينَ أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ وَيُزَكُّونَ . Tercantum juga dalam A’yanusy Syi’ah karya Sayyid Muhsin al-Amin (نام کتاب : أعيان الشيعة نویسنده : الأمين، السيد محسن جلد : 4 صفحه : 601): حذيفة يسمى صاحب السر وكان عمر لا يصلي على جنازة لا يحضرها حذيفة اه. وفي تاريخ دمشق: أخرج ابن سعد عن جبير بن مطعم أنه قال : لم يخبر رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم بأسماء المنافقين الذين حضروا ليلة العقبة الا حذيفة وهم اثنا عشر رجلا من الأنصار أو من حلفائهم اه .
[36] Shahih al-Bukhari 3682, Kitab keutamaan Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bab keutamaan Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ).
[37] Shahih al-Bukhari, Kitab Penjelasan tentang mimpi (كتاب التعبير), Bab makna minum susu dalam mimpi (باب اللَّبَنِ).
[38] Hasanaatud daarain.
[39] Shahih al-Bukhari 7008, Kitab Penjelasan tentang mimpi (كتاب التعبير), Bab makna baju dalam mimpi (باب الْقَمِيصِ فِي الْمَنَامِ):عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم .
[40] Sunan Ibn Majah 154, Kitab tentang Sunnah (كتاب المقدمة), bab keutamaan Khabbab (باب فَضَائِلِ خَبَّابٍ).
[41] HR. Ibnu Abi Dunya di dalam karyanya Muhasabatun Nafsi, hal. 22. Ahmad di dalam karyanya az-Zuhd, hal. 120. Abu Nu’aim di dalam karyanya ‘Hilyah, (1/52). Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ٣١٤); Tafsiruts Tsa’labi atau Jawahirul Hasan fi Tafsiril Qur’an (نام کتاب : تفسير الثعالبي (الجواهر الحسان في تفسير القران) نویسنده : الثعالبي، أبو زيد جلد : 5 صفحه : 477); Kitab Zuhd war Raqaiq (كتاب: الزهد والرقائق), bab perenungan dan pemikiran (باب الاعتبار والتفكر) karya ‘Abdullah ibn Mubarak (عبد الله بن المبارك): حدثنا الحسين قال: أخبرنا ابن المبارك قال: أخبرنا مالك بن مغول أنه بلغه، أن عمر بن الخطاب قال: حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، فإنه أهون- أو قال: أيسر- لحسابكم، وزنوا أنفسكم قبل أن توزنوا، وتجهزوا للعرض الأكبر: {يومئذ تعرضون لا تخفى منكم خافية} . Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi (عبد الله بن المبارك بن واضح الحنظلي بالولاء، التميمي، المروزي أبو عبد الرحمن، الحافظ، شيخ الإسلام) lahir pada tahun 118 H/736 M. Ayahnya seorang Turki dan ibunya seorang Persia. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang zahid termasyhur. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M. ia mengembara ke banyak negeri Muslim demi mencari ilmu. Ia juga seorang Mujahid dan Saudagar.
[42] Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah al-Kufi (المصنف – ابن أبي شيبة الكوفي – ج ٨ – الصفحة ١٤٩): محمد بن مروان عن يونس قال: كان الحسن ربما ذكر عمر فيقول: .
[43] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ٢٨٧); Riyadhun Nadhirah (الرياض النضرة في مناقب العشرة – ج 2). Tercantum juga dalam Usdul Ghabah (أسد الغابة ط العلمية) karya Ali bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar Izzuddin Ibnu al-Atsir (أبو الحسن علي بن أبي الكرم محمد بن محمد بن عبد الكريم بن عبد الواحد الشيباني الجزري، عز الدين ابن الأثير).. Beliau adalah seorang pakar sejarah yang lahir pada tahun 555 H/1160 M dan wafat pada bulan Sya’ban 630 H/1233 M di Mosul, Irak; al-Mukhtar min Manaqibil Akhyar (المختار من مناقب الأخيار يحتوي على تراجم وأخبار وأقوال ومناقب من أخيار) karya al-Mubarak bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar Majduddin dan Abu as-Sa’adat ibnu Al-Atsir al-Jazari (مجد الدين المبارك بن محمد/ابن الأثير الجزري) sebagai pengakuan keahlian beliau di bidang hadis dan bahasa. Beliau lahir pada tahun 544 H/1150 M dan wafat pada akhir bulan Dzulhijjah 606 H/1210 M di Mosul, Irak. Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. ‘Izzudin Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI hadits. Jadi, keduanya memakai nama Ibnu al-Atsir tapi beda orang meski kakak-beradik. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid. Tercantum juga dalam al-Balaghatul ‘Umariyah (البلاغة العمرية) karya Muhammad Salim al-Khudhor (محمد سالم الخضر); Fashlul Khithab fiz Zuhd war Raqaiq wal Adab (فصل الخطاب في الزهد والرقائق والآداب) karya Muhammad Nashruddin Muhawmmad ‘Uwaidhah (محمد نصر الدين محمد عويضة). Di kedua kitab yang disebut terakhir ini tercantum juga ucapan Hadhrat Thalhah yang bermakna serupa yaitu: مَا كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِأَوَّلِنَا إِسْلامًا، وَلا أَقْدَمِنَا هِجْرَةً، وَلَكِنَّهُ كَانَ أَزْهَدَنَا فِي الدُّنْيَا، وَأَرْغَبَنَا فِي الآخِرَةِ .
[44] Kitab al-Mushannaf Ibni Abi Syaibah (كتاب: مصنف ابن أبي شيبة); kebersahajaan para Shahabat Nabi (زهد الصحابة رَضِيَ الله عَنْهُم); perkataan ‘Umar (كلام عمر بنِ الخطّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ), nomor: 35613: riwayat dari Abu Usamah, dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ:. Tercantum juga dalam Kitab az-Zuhd karya Ahmad ibn Hanbal (الزهد لأحمد بن حنبل), bab kebersahajaan ‘Umar (زهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه): حدثنا هشام عن أبيه قال : حدثني صاحب أيلة أو أذرعات قال : « لما قدم عمر الشام ؛ بعث إلي بقميصه ؛ لأرقعه له وأغسله ، وكان قد تجوب عن مقعده قميص شقائق فغسلته ثم رقعته وخطت له قميصا قبطريا فبعثت بهما إليه ، فلما أتي بهما عمر رضي الله عنه مس القبطري فقال : » هذا ألين ، ثم رمى به وأخذ قميصه قال : هذا أنشفهما للعرق « . Tercantum juga dalam Kitab Al-‘Adalah al-Umariyah min Sirah Amiril Mu-minin ‘Umar ibnil Khaththab (العدالة العمرية من سيرة أمير المؤمنين عمر بن الخطاب) dan Tahdhīb al-nufūs lil-qurb min al-Malik al-Quddūs (تهذيب النفوس للقرب من الملك القدوس) karya ‘Alī Sa‘d ‘Alī al-Ḥijāzī (علي سعد علي حجازي ،لواء مهندس), Edition: al-Ṭab‘ah al-ūlá, Published/Created: Bayrūt : Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2018.
[45] Ittihaafus Saadah (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين 1-14 ج10) karya Murtadha az-Zubaidi (أبي الفيض محمد بن محمد الحسيني/مرتضى الزبيدي); Hayatush Shahabah (حياة الصحابة) karya al-Kandahlawi (محمد يوسف/الكاندهلوي).