Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 113, Khulafa’ur Rasyidin Seri 19)
Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 21 Mei 2021 (Hijrah 1400 Hijriyah Syamsiyah/Syawal 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Partisipasi Hadhrat ‘Umar (ra) dalam Pertempuran Badr. Kesalahpahaman para ahli Tafsir dan ahli Sirah tentang ayat yang menyebut Tawanan Perang.
Pernikahan Rasulullah (saw) dengan Hadhrat Hafsah (ra) dan maksud-maksudnya.
Peristiwa Selama Pertempuran Uhud: sekali waktu termakan hoaks (berita tak benar) yang dilontarkan pihak Quraisy berkenaan syahidnya Rasulullah (saw) sehingga beliau patah semangat dan melepaskan senjata serta berhenti berperang. Motivasi semangat berperang dari Sahabat Anas bin Nadhr ketika isu gugurnya Rasulullah (saw) merebak.
Pembahasan kejadian-kejadian dari kehidupan Hadhrat ‘Umar (ra) insya Allah dilanjut di Jumat-Jumat mendatang.
Seruan untuk Doa untuk Palestina & Ahmadi di Seluruh Dunia
Dzikr-e-khair para Almarhum/ah dan informasi shalat jenazah.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُأما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Partisipasi ‘Umar (ra) dalam Pertempuran Badr
Saat ini masih berlangsung pembahasan mengenai Hadhrat ‘Umar ra. Saya akan sampaikan Sebagian berkenaan dengan Ghazwah dan Sariyah yang beliau ikuti. Hadhrat ‘Umar ikut pada perang Badr, Uhud, Khandaq dan seluruh peperangan lainnya bersama dengan Rasulullah (saw). Selain itu, beliau (ra) ikut serta dalam banyak perang Sariyah yang diantaranya beliau bertindak sebagai komandan.
Ketika berangkat menuju perang Badr, unta yang dimiliki oleh para sahabat berjumlah 70 ekor sehingga terpaksa ditetapkan satu unta ditunggangi untuk 3 orang secara bergantian. Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf bergantian menaiki unta yang sama.
Ketika Rasulullah memberangkatkan pasukan ke Badr, berkenaan dengan itu diriwayatkan, “Rasulullah (saw) berangkat dari Madinah untuk mencegat kafilah Abu Sufyan yang datang dari arah Syam. Ketika kafilah Muslim tiba di Dzafiran (ذَفِرَان) – terletak di dekat lembah Safra (الصفراء), sekitar Madinah – , Rasulullah (saw) mendapatkan kabar bahwa pasukan Quraisy berangkat dari Mekah untuk melindungi kafilah dagangnya. Rasulullah (saw) mengabarkan kepada para sahabat bahwa lasykar pasukan Quraisy berangkat dari Mekah dengan cepatnya lalu beliau (saw) meminta musyawarah dari para sahabat berkenaan dengan ini, ‘Apakah dalam menghadapi musuh, Anda sekalian lebih memilih kafilah dagang?’
Para sahabat menjawab, ‘Ya.’
Satu kelompok mengatakan, ‘Dalam menghadapi lasykar musuh, kami lebih memilih untuk melawan kafilah dagang.’ [1]
Dalam Riwayat lain, dikatakan bahwa satu kelompok sahabat mengatakan kepada Rasulullah (saw), “Seandainya (dari awal tadi) tuan menyebutkan perihal perang kepada kami, maka kami akan melakukan persiapan untuk perang. Sementara kami berangkat dari rumah berencana untuk menghadapi kafilah dagang.”[2]
Dalam Riwayat lain dikatakan mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Sebaiknya tuan pergi untuk menghadapi kafilah dagang saja dan mohon biarkan saja lasykar musuh yang datang dari arah Mekah.”
Mendengar ucapan tersebut, rona wajah beberkat Rasulullah seketika berubah.
Hadhrat Abu Ayub meriwayatkan, “Peristiwa inilah yang menjadi penyebab turunnya ayat berikut, كَمَاۤ أَخۡرَجَكَ رَبُّكَ مِنۢ بَیۡتِكَ بِٱلۡحَقِّ وَإِنَّ فَرِیقࣰا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ لَكَـٰرِهُونَ ‘Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.’ [3]
Pada saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) berbicara sambil berdiri, beliau menyampaikan gagasannya dengan baik. Selanjutnya Hadhrat ‘Umar (ra) berbicara sambil berdiri, beliau menyampaikan gagasannya dengan baik. Kemudian, berdirilah al-Miqdad (ra) dan berkata, “Wahai Rasulullah! Silahkan tuan berangkat ke mana yang Tuhan perintahkan kepada tuan, kami akan menyertai tuan. Demi Tuhan, kami tidak akan mengatakan seperti yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Pergilah engkau dan Tuhan engkau berperang, kami akan duduk-duduk di sini. Kami tidak akan seperti itu, melainkan kami akan berperang bersama Anda dan Tuhan Anda, selama nyawa masih dikandung badan.”[4]
Kesalahpahaman para ahli Tafsir dan ahli Sejarah tentang Tawanan Perang
Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan ”Ketika pasukan Muslim menangkap para tawanan perang Badr, Hadhrat Rasulullah bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat ‘Umar, ‘Apa pendapat Anda mengenai para tawanan ini?’
Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Wahai Nabi Allah! Mereka adalah kerabat dan sepupu kita, menurut hemat saya, tuan lepaskan saja dengan terlebih dulu mengambil fidyah (tebusan) dari mereka, karena mereka akan memberikan kekuatan bagi kita dalam melawan kaum kuffar dan sudah dekat waktunya semoga Allah Ta’ala membimbing mereka kepada Islam.’
Rasulullah bersabda, Wahai putra al-Khaththab! Apa pendapat anda?
Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Tidak [seperti usulan Abu Bakr], wahai Rasulullah! Demi Tuhan, saya tidak sependapat dengan gagasan Abu Bakr. Menurut hemat saya, mohon tuan serahkan para tawanan kepada kami untuk kami penggal lehernya. Serahkan saja Uqail kepada Ali untuk dipenggal, serahkan si anu kepada saya untuk saya penggal (karena memiliki kekerabatan dengan Hadhrat ‘Umar), karena semua tawanan itu merupakan tokoh kuffar.’
Rasulullah (saw) lebih mengutamakan gagasan Hadhrat Abu Bakr.”
Hadhrat ‘Umar mengatakan, “Rasulullah tidak memilih gagasan saya. Ketika saya datang pada hari berikutnya, Rasulullah (saw) dan Abu Bakr tengah duduk menangis. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Mohon beritahukan kepada saya, apa yang membuat Anda dan sahabat Anda menangis? Jika saya sedih karenanya, maka saya pun akan menangis, jika tidak, saya akan membuat rona yang menangis seperti tuan berdua.’
Rasulullah (saw) bersabda, “Penyebab menangisnya saya adalah gagasan yang disampaikan oleh oleh kawan-kawan Anda di hadapan saya agar mengambil fidyah (tebusan) dari para tawanan yang disampaikan lebih dekat dari pohon ini.’ Pohon yang dekat dengan Nabi Allah saw. Allah Ta’ala telah menurunkan ayat berikut, “Tidaklah patut bagi seorang Nabi untuk menjadikan tawanan tanpa peperangan berdarah di muka bumi.” Kemudian setelah melewati dua ayat dikatakan, “Harta ghanimah yang kalian dapatkan, makanlah yang halal dan tayyib diantaranya.”’ Jadi, Allah Ta’ala telah membolehkan untuk memakan harta ganimah bagi mereka.” (Sahih Muslim) [5]
Kalimat permulaan hadits ini yakni Hadhrat Rasulullah dan Hadhrat Abu Bakr tengah menangis, kemudian topik yang diterangkan pada ayat Al Quran berikutnya, membuat Riwayat tersebut tidak jelas. Para ahli tafsir menganggap Riwayat ini sahih dalam banyak kitab sejarah dan sirat lalu menjelaskannya bahwa seolah-olah Allah Ta’ala memperlihatkan kemarahan-Nya atas keputusan untuk mengambil tebusan dari para tawanan perang Badr dan Rasul menyukai gagasan Hadhrat ‘Umar.
Ketika penulis Riwayat hidup Hadhrat ‘Umar mengikatkan satu bab terpisah bahwa hukum Al Quran apa saja yang turun yang berkaitan dengan gagasan Hadhrat ‘Umar, diantaranya salah satunya yang dicantumkan adalah berkenaan dengan tawanan perang Badr, Allah Ta’ala lebih mengutamakan gagasan Hadhrat ‘Umar, namun seperti yang saya katakan, menjadi tidak jelas. Padahal tampaknya, para penulis sirat dan ahli tafsir keliru dalam memahaminya.
Alhasil, apa yang dijelaskan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) didapatkan dari salah satu di antara catatan tafsir yang tidak dicetak yang mana membantah riwayat-riwayat itu. Apa yang dijelaskan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra)-lah yang tampak benar. Tampaknya mereka telah membuat buat Riwayat tersebut dengan tujuan untuk meninggikan kedudukan Hadhrat ‘Umar atau Riwayat tersebut difahami keliru.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Dalam menafsirkan surat al Anfal ayat 68 bahwa terdapat tradisi bangsa Arab sebelum lahirnya Islam. Sangat disayangkan, di beberapa belahan dunia sampai saat ini masih berlangsung yakni, walaupun tidak ada perang dan walaupun tidak ada pertempuran, kebiasaan bangsa Arab adalah tetap saja menangkap para tawanan dan menjadikannya budak belian. Ayat tersebut memansukhkan tradisi tercela tersebut dan memerintahkan dalam kalimat yang jelas bahwa hanya dalam kondisi perang saja dan setelah melalui pertempuranlah pasukan musuh bisa dijadikan tawanan. Jika tidak terjadi pertempuran, maka tidak dibenarkan untuk menawan siapapun. Ayat tersebut telah ditafsirkan keliru.
Dikatakan bahwa ketika pasukan Muslim menangkap tawanan pasukan Quraisy pada perang Badr, Rasulullah (saw) meminta musyawarah dari para sahabat, apa yang harus dilakukan. Hadhrat ‘Umar menyampaikan gagasan untuk membunuh para tawanan itu sementara Hadhrat Abu Bakr menyampaikan gagasan untuk mengambil fidyah tebusan dari mereka lalu dilepaskan. Hadhrat Rasulullah menyukai gagasan Hadhrat Abu Bakr. Pada surat al Anfal ayat 68 didalamnya difirmankan bahwa tidaklah dibenarkan bagi seorang Nabi untuk menjadikan tawanan tanpa peperangan berdarah di muka bumi
Dalam menjelaskan hal itu, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Gagasan yang diberikan oleh Hadhrat Abu Bakr berbeda dengan Hadhrat ‘Umar. Hadhrat Rasulullah (saw) lebih memilih gagasan Hadhrat Abu Bakr yakni mengambil tebusan dari para tawanan lalu melepaskannya. Namun dikatakan, ‘Ketika ayat ini turun, seolah-olah Rasulullah tidak menyukai tindakan tersebut. Artinya, lebih baik membunuh para tawanan bukan mengambil tebusan dari mereka.’ Hal ini tercantum dalam Tafsir ath-Thabari.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Tafsir seperti itu adalah keliru. Pertama, sampai saat itu Allah Ta’ala tidak menurunkan suatu hukum agar mengambil tebusan lalu melepaskan tawanan sehingga tidak bisa tuduhan mengambil tebusan itu dilontarkan kepada Rasulullah. Kedua, sebelum itu, Rasulullah pernah mengambil fidyah dari dua tawanan lalu melepaskannya di daerah Nakhlah dan Allah Ta’ala tidak menyatakan ketidaksukaan atas amalan tersebut. Ketiga, setelah melewati dua ayat selanjutnya Allah Ta’ala memberikan izin kepada umat Muslim untuk memakan dari antara harta ghanimah yang halal dan tayyib yang didapatkan. Tidak bisa timbul keraguan dibenak siapapun bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai amalan Rasulullah yang mengambil tebusan dari para tawanan dan menghalalkan harta ghanimah yang diperoleh, untuk itu tafsir tersebut adalah keliru. Adapun tafsir yang benar adalah, dalam ayat tersebut ditetapkan prinsip umum bahwa tawanan dapat ditangkap dalam keadaan jika terjadi peperangan dan pihak musuh ditaklukan dengan pertempuran.”
Diantara para ahli tafsir Al Quran, Allamah Imam ar-Razi dan penulis Sirah terkenal Allamah Syibli Numani memiliki pandangan yang sama seperti yang disampaikan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra).[6]
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib menulis, “Sesampainya di Madinah, Hadhrat Rasulullah meminta musyawarah berkenaan dengan para tawanan. Tradisi di Arab pada masa itu, pada umumnya para tawanan dibunuh atau dijadikan budak belian. Namun tabiat Rasulullah tidak tidak tega melakukan hal itu. Terlebih pada saat itu masih belum turun hukum dari Tuhan berkenaan dengan itu.
Hadhrat Abu Bakr bertanya, ‘Menurut hemat saya hendaknya diambil tebusan dari para tawanan lalu dibebaskan, karena bagaimanapun mereka adalah saudara dan kerabat kita juga dan tidaklah mengherankan jika diantara mereka suatu hari nanti ada yang baiat masuk Islam.’
Namun Hadhrat ‘Umar tidak sepakat dengan gagasan tersebut dan berkata, ‘Janganlah menghiraukan kekerabatan dalam urusan agama dan para tawanan ini sudah layak untuk dibunuh disebabkan oleh ulahnya sendiri. Menurut hemat saya, para tawanan ini hendaknya dibunuh semuanya bahkan perintahkanlah agar setiap umat Muslim membunuh kerabatnya sendiri dengan tangan mereka masing masing.’
Rasulullah (saw) terpengaruh oleh kerahiman fitrat beliau sendiri sehingga menyukai gagasan Hadhrat Abu Bakr ra dan memberikan keputusan yang bertentangan dengan pembunuhan para tawanan dan memerintahkan untuk melepaskan orang-orang musyrik setelah mereka membayar fidyah (tebusan) dan lain-lain.”[7]
Kemudian, turunlah perintah Ilahi terkait ini. Ketika perintah Ilahi pun turun agar mereka membayar fidyah – sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih kedua pun telah tuliskan – maka menjadikan hadits ini sebagai dasar kekecewaan Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah tidak masuk akal.
Alhasil, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menuliskan, “(Saat itu), fidyah yang ditetapkan, sesuai dengan kemampuan setiap orang adalah antara 1.000 hingga 4.000 dirham lalu semua tawanan pun dilepaskan.”[8]
Pernikahan Rasulullah (saw) dengan Hafsah (ra) dan Maksud-maksudnya
Terkait pernikahan putri Hadhrat ‘Umar (Hadhrat Hafshah) dengan Rasulullah (saw), dimana dijelaskan bahwa suami Hadhrat Hafshah sakit lalu meninggal sekembali dari perang Badru, maka kemudian Rasulullah (saw) menikahi Hadhrat Hafshah, rinciannya seperti tertera di dalam Shahih al-Bukhari sebagai berikut:
Hadhrat Abdullah bin ‘Umar menjelaskan, “Ketika Hafshah binti ‘Umar menjanda dari Khunais bin Hudzaifah as-Sahmi (beliau seorang sahabat Rasulullah (saw) yang ikut perang Badr lalu wafat di Madinah), maka Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Saya bertemu ‘Utsman bin Affan seraya menyampaikan tentang Hafshah, “Jika Anda berkenan maka saya akan menikahkan Hafshah binti ‘Umar dengan Anda.” Beliau menjawab, “Saya akan memikirkannya.”
Karena saya (Hadhrat ‘Umar) menunggunya hingga beberapa hari maka beberapa hari kemudian Hadhrat ‘Utsman berkata, “Saya merasa lebih tepat agar tidak menikah di hari-hari ini.”
Saya (Hadhrat ‘Umar) pun menemui Hadhrat Abu Bakr dan berkata, “Jika Anda menghendaki, saya akan menikahkan Anda dengan Hafshah binti ‘Umar.” Hadhrat Abu Bakr pun diam dan beliau pun tidak memberikan jawaban. Dibanding ‘Utsman, saya lebih merasa bahwa beliau pun akan menolaknya. Saya pun menunggu beberapa hari dan Rasulullah (saw) pun mengirimkan lamaran pernikahan kepada Hadhrat Hafshah hingga saya pun menikahkannya dengan beliau.
Ketika sudah menikah, Hadhrat Abu Bakr menemuiku dan berkata, “Mungkin sebelumnya Anda pun telah merasakan sesuatu ini tentang saya (penolakan beliau dulu). Ketika saat itu Anda menyebut Hafshah, dan saya tak menjawab apapun.” Maka saya berkata, “Ya, saya merasakannya.” Beliau berkata, “Sebenarnya, tentang hal yang Anda sampaikan itu, tidak ada halangan dari saya untuk tidak menjawabnya; namun saya mengetahui Rasulullah (saw) pernah menyebut-nyebut tentang Hafshah, dan saya tidak akan menampakkan rahasia tentang Rasulullah (saw) ini.” (saat itu Hadhrat Abu Bakr telah tahu bahwa Rasulullah (saw) telah menyatakan ingin meminang Hadhrat Hafshah dan beliau tidak dapat menyampaikan rahasia Rasulullah (saw) ini) dan apabila Rasulullah (saw) meninggalkannya, saya pasti akan menerima tawaran Anda ini.”’”[9] Inilah jawaban yang telah diberikan Hadhrat Abu Bakr.
Rincian peristiwa ini pun terdapat di buku “Sirat Khatamun Nabiyyin” karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib. Dikatakan: Hadhrat ‘Umar memiliki seorang putri yang bernama Hafshah yang dulu dinikahkan dengan Hadhrat Khunais, seorang sahabat tulus yang ikut serta pada perang Badr. Setelah sampai di Madinah dari Badr, Hadhrat Khunais jatuh sakit dan tidak dapat sembuh lagi akhirnya beliau wafat.
Beberapa masa kemudian, Hadhrat ‘Umar sangat memikirkan pernikahan kedua Hadhrat Hafshah. Saat itu usia Hadhrat Hafshah lebih dari 20 tahun. Dengan segala kesederhanaannya, Hadhrat ‘Umar menemui Hadhrat Utsman bin Affan dan menceritakan, “Saat ini putri saya menjanda, jika tuan berkenan silahkan nikahi dia.”
Namun Hadhrat Utsman (ra) menyampaikan ketidakbersediaannya. Setelah itu Hadhrat ‘Umar menawarkannya kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), namun Hadhrat Abu Bakr (ra) memilih untuk diam, yakni tidak menjawabnya.
Atas hal itu Hadhrat ‘Umar (ra) diliputi kesedihan lalu menjumpai Hadhrat Rasulullah (saw) dan menceritakan segala sesuatunya kepada beliau. Rasulullah (saw) bersabda, “‘Umar, tidak perlu khawatir, jika Tuhan merestui, Hafshah akan mendapatkan suami yang lebih baik dari Utsman dan Abu Bakr begitu juga Utsman akan mendapatkan istri yang lebih baik dari Hafshah.”
Rasul bersabda demikian karena Rasulullah (saw) telah berniat untuk menikahi Hadhrat Hafshah dan menjodohkan putri beliau Ummi Kultsum dengan Hadhrat Utsman dan dalam hal ini Hadhrat Abu Bakr dan Hadhrat Utsman (ra) telah mengetahui hal itu. Untuk itulah Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Utsman (ra) menolak tawaran Hadhrat ‘Umar (ra) tadi.
Beberapa waktu setelah itu Hadhrat Rasulullah (saw) menikahkan putrinya Ummi Kultsum (ra) dengan Hadhrat Utsman (ra) dan mengenai hal ini telah disampaikan. Setelah itu beliau (saw) sendiri menyampaikan pesan lamaran kepada Hadhrat ‘Umar (ra) untuk Hadhrat Hafshah (ra). Apalagi yang diharapkan Hadhrat ‘Umar lebih dari itu! Beliau menerima lamaran tersebut dengan penuh suka cita.
Pada bulan Sya’ban tahun 3 Hijriyah Hadhrat Hafshah dinikahi oleh Rasulullah (saw) dan menjadi istri suci Nabi. Setelah berjodoh, Hadhrat Abu Bakr mengabarkan kepada Hadhrat ‘Umar, “Mungkin saja Anda tersinggung karena sikap saya. Permasalahannya adalah saya mengetahui iradah Rasul, namun saya tidak bisa menyatakan rahasia beliau tanpa seizin Rasul. Jika Rasulullah (saw) tidak beriradah demikian, tentu dengan senang hati saya akan menikahi Hafshah.[10]
Keistimewaan menikahi Hafshah adalah beliau putri Hadhrat ‘Umar yang dianggap Sahabat paling utama setelah Hadhrat Abu Bakr (ra) di kalangan para sahabat dan beliau juga merupakan orang-orang yang dekat dengan Rasul. Dalam hal ini untuk lebih mempererat jalinan dan untuk mengobati kedukaan Hafshah atas kewafatan Khunais bin Huzafah, Rasulullah (saw) memandang perlu untuk menikahi Hafshah.”[11]
Di pernikahan Hafshah ada satu maksud khusus; yaitu, [sebagaimana] beliau [Hafshah] adalah putri Hadhrat ‘Umar, yang dianggap sebagai wujud yang sangat mulia setelah Hadhrat Abu Bakr dan termasuk diantara para sahabat terdekat Rasulullah (saw), lantas demi semakin menguatkan hubungan dan demi menjauhkan Hadhrat ‘Umar dan Hafshah dari kesedihan itu (yaitu dari kewafatan Khunais bin Huzafah yang tidak pada waktunya), Rasulullah (saw) mengganggap tepat agar beliau menikahi Hafshah. Maksud lain secara umum adalah, dengan sedemikian banyaknya jumlah istri Rasulullah (saw), penyampaian tablig dan talim kepada kaum wanita yang meliputi setengah umat manusia (bahkan di beberapa tempat lebih dari ini) akan menjadi dapat semakin luas, semakin mudah, dan semakin baik.
Hadhrat Umar (ra) di Perang Uhud
Terkait perang Uhud tertera melalui riwayat dari Hadhrat ‘Umar: di waktu perang Uhud, Khalid bin Walid menyerang umat Islam, dan saat itu umat Islam tak sanggup melawan serangan tiba-tiba tersebut. Mengenai ini, secara rinci Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis:
“Lasykar Quraisy mengepung umat Muslim hampir dari segala penjuru dan terus menekan dan mendesak dengan serangannya yang bertubi-tubi terhadap umat Muslim. Memang, meskipun umat Muslim tidak lama setelah itu masih dapat bertahan, namun seorang pasukan pemberani Quraisy bernama Abdullah bin Qami-ah [atau Qum-ah] dengan pedangnya menyerang pemegang bendera Muslim bernama Mush’ab bin Umair dengan menebas tangan kanannya. Mush’ab segera menahan bendera itu dengan pegangan tangan yang satu lagi lalu maju untuk menghadapi Ibnu Qami-ah, namun Ibnu Qami-ah menebas lagi tangan beliau yang kedua sampai putus. Setelah itu Mush’ab berusaha untuk mendekap bendera Islam dengan menggabungkan kedua tangan beliau yang telah terputus ke dadanya. Ibnu Qami-ah menyerang untuk yang ketiga kalinya sehingga menyebabkan syahidnya beliau dan beliau pun terjatuh.[12]
Bendera langsung ditahan oleh pasukan Muslim lainnya, namun karena perawakan Mush’ab bin Umair mirip dengan Rasulullah (saw) sehingga Ibnu Qami-ah beranggapan telah berhasil membunuh Rasulullah (saw) atau mungkin juga itu hanya sebagai kejahatan dan tipu muslihatnya saja sehingga seketika ia berhasil mensyahidkan Mush’ab lalu ia ribut mengatakan, ‘Telah kubunuh Muhammad (saw).[13] Mendengar itu seketika ketenangan pasukan Muslim pun menjadi hilang sehingga mereka sama sekali cerai-berai. Banyak para Sahabat yang mengundurkan diri dari medan perang.
Saat itu umat Islam terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang lari dari pertempuran setelah mendengar kabar syahidnya Rasulullah (saw) namun jumlah mereka adalah yang paling sedikit. Tetapi sebagaimana tertera dalam Al-Quran yang mulia bahwa disebabkan keadaan saat itu, dan melihat keadaan keimanan dan keikhlasan orang-orang pada saat itu, maka Allah Ta’ala telah memaafkan mereka. (Surah Ali Imran, 3: 156)
Kelompok kedua adalah orang-orang yang memang tidak melarikan diri, namun setelah mendengar kabar syahidnya Rasulullah (saw) mereka kehilangan ketetapan hati dan beranggapan sudah tidak ada gunanya lagi bertempur. Untuk itu mereka menyingkir ke suatu sisi lalu duduk sembari menundukkan kepala.
Sedangkan kelompok Muslim ketiga adalah mereka yang terus bertempur. Diantara mereka sebagiannya berkumpul di sekeliling Rasulullah (saw) sambil menampilkan keberanian untuk mengorbankan jiwa yang mana tidak ada bandingannya; dan kebanyakan dari antara mereka sedang bertempur melawan musuh secara menyebar satu demi satu. Seketika mereka dan kelompok kedua mengetahui kabar masih hidupnya Rasulullah (saw) lantas mereka bertempur layaknya orang yang tergila-gila dan mengelilingi Rasulullah (saw). [14]
Walhasil, saat itu terjadi peperangan yang amat berbahaya dan merupakan ujian yang berat bagi orang-orang Islam. Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat para Sahabat mendengar kabar syahidnya Rasulullah (saw), banyak dari antara mereka yang patah semangat lalu menjatuhkan senjata mereka dan menyingkir dari medan pertempuran. Diantara mereka pun ada Hadhrat ‘Umar yang tertunduk seraya duduk di satu sisi. Jadi, mereka itu terduduk di satu sisi medan pertempuran, lalu datang seorang sahabat yaitu Anas bin Nadhr al-Ansari dan berkata kepada mereka, ‘Apa yang kalian lakukan di sini?’
Mereka menjawab, ‘Rasulullah (saw) telah syahid. Sekarang apa gunanya bertempur?’
Anas berkata, ‘Inilah saatnya kita bertempur agar kita pun mendapatkan kewafatan sebagaimana yang didapatkan oleh Rasulullah (saw) karena lantas apakah lezatnya hidup setelah [ketiadaan] beliau?’[15]
Di hadapan mereka pun datang Sa’ad bin Mu’adz. Lalu beliau (yakni Hadhrat Anas) berkata, “Sa’d, saya merasakan wangi surga dari pegunungan itu”. Mendengar itu Anas pun menyelinap di barisan musuh dan bertempur hingga mati syahid. Setelah pertempuran diketahui bahwa di tubuh beliau terdapat lebih dari 80 luka dan tak dapat dikenali bahwa jasad siapakah ini. Hingga akhirnya saudara perempuan beliau melihat jari beliau dan mengenalinya.”[16]
Pada waktu Rasulullah (saw) sampai di lembah Uhud, sekelompok kafir menyerang ke arah lembah dan diantara mereka ada Khalid bin Walid. Saat itu Nabi yang mulia (saw) berdoa, اللَّهُمَّ إِنَّهُ لاَ يَنْبَغِي لَهُمْ أَنْ يَعْلُونَا Ya Allah, janganlah mereka sampai kepada kami. Melihat ini Hadhrat ‘Umar bin Khattab bersama beberapa orang muhajirin bertempur melawan mereka dan mengusir mereka.”[17]
Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib (ra) menulis, “Abu Sufyan bersama beberapa temannya maju ke arah kelompok itu dimana orang-orang Islam berkumpul lalu menyeru kepada mereka dari dekat, أَفِي الْقَوْمِ مُحَمَّدٌ ؟ ‘Wahai orang-orang Islam, apakah ada Muhammad diantara kalian?’
Rasulullah (saw) memerintahkan agar tidak menjawabnya sehingga semua sahabat pun diam.
Lalu ia bertanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar. Sesuai perintah beliau, mereka pun tidak menjawabnya. Sehingga ia dengan lantang dan nada bangga berkata, أَمَّا هَؤُلاءِ فَقَدْ قُتِلُوا ‘Semua mereka telah dibunuh karena jika mereka hidup, mereka akan menjawab.’
Saat itu Hadhrat ‘Umar sudah tidak tahan dan sontak menyeru, كَذَبْتَ وَاللَّهِ يَا عَدُوَّ اللَّهِ ، إِنَّ الَّذِينَ عَدَدْتَ لأَحْيَاءٌ كُلُّهُمْ ، وَقَدْ بَقِيَ لَكَ مَا يَسُوءُكُ ‘Wahai musuh Allah, engkau telah berkata dusta. Kami semua hidup, dan Tuhan akan menghinakan engkau dengan tangan kami.’[18]
Abu Sufyan mengenali suara Hadhrat ‘Umar dan berkata, “‘Umar katakan dengan benar, apakah Muhammad hidup?”
Hadhrat ‘Umar berkata, “Ya, dengan karunia Allah beliau masih hidup dan tengah mendengar perkataan ini”. Lalu Abu Sufyan dengan suara rendah berkata, “kalau begitu, dustalah apa yang Ibnu Qam`ah telah katakan, karena aku menganggap engkau lebih jujur daripadanya”.[19]
Setelah itu Abu Sufyan meneriakkan dengan suara yang sangat lantang kalimat, اعْلُ هُبَلُ اعْلُ هُبَلُ ‘U’luu Hubal! U’luu Hubal!’ (Agunglah Hubal! Hidup Hubal!). [20]
Para sahabat terdiam karena mengingat perintah Rasulullah (saw) sebelumnya. Namun Rasulullah (saw) yang saat itu hanya memerintahkan diam untuk nama beliau saja, beliau kini tidak tahan mendengar nama berhala diunggulkan atas Allah Ta’ala, lantas beliau bersabda, أَلا تُجِيبُوهُ ؟ ‘Apakah kalian tidak akan menjawabnya?’
Para sahabat bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا نَقُولُ ؟ ‘Ya Rasulullah, apa yang harus kami katakan?’
Beliau bersabda, قُولُوا : اللَّهُ أَعْلَى وَأَجَلُّ ‘Katakanlah, Allahu A’la wa Ajallu.’ (Allah-lah yang Maha Agung dan Maha Perkasa.)
Abu Sufyan berkata, إِنَّ لَنَا الْعُزَّى وَلا عُزَّى لَكُمْ ‘Bersama kami ada Uzza, sedangkan bersama kalian tidak ada kemuliaan.’ [21]
Rasulullah (saw) bersabda kepada para sahabat, ‘Katakanlah, اللَّهُ مَوْلانَا وَلا مَوْلَى لَكُمْ “Allahu Maulana wa laa maulaa lakum.” – “Apakah [kedudukan] Uzza itu? Kami memiliki Allah, Allah adalah penolong kami, sedangkan kalian tidak punya penolong.”’”[22]
Setelah itu Abu Sufyan berkata, ‘Peperangan adalah laksana periuk, yang terkadang satu pihak berada di atas (menang) dan terkadang berada di bawah. Jadi, anggaplah ini sebagai balasan hari Badr, dan kalian akan mendapatkan sedemikian banyak jasad pihak kalian yang terpotong. Aku tidak memerintahkannya namun ketika aku mengetahuinya, aku tidak mempermasalahkan perlakuan orang-orangku itu.[23] Dan antara kami dan kalian akan akan ada peperangan di tahun depan di hari-hari yang sama di tempat Badr.’
Seorang Sahabat menjawab sesuai perintah Rasulullah (saw) bahwa ini menjadi janji yang sangat baik.[24] Walhasil, setelah mengatakan ini Abu Sufyan membawa sahabatnya menuruni bukit lalu laskar Quraisy pun kembali ke Mekkah.”[25]
Ketika Rasulullah (saw) tiba di Madinah dari perang Uhud, kaum munafik dan orang-orang Yahudi merayakan kegemibiraannya dan mencemooh umat Islam seraya berkata, “Muhammad (saw) mencari kedudukan, namun hingga kini tak ada seorang Nabi pun yang tertimpa kerugian demikian besar kecuali yang terhadapnya. Ia sendiri telah terluka, para sahabatnya pun terluka.” Mereka lalu berkata, “Jika orang yang telah terbunuh itu ada bersama kami, niscaya mereka tidak akan terbunuh.”
Hadhrat ‘Umar (ra) meminta izin kepada Rasulullah (saw) untuk membunuh orang-orang munafik itu karena ucapan-ucapan [keji] mereka. Rasulullah (saw) bersabda, “Bukankah mereka telah bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah dan saya adalah rasul Allah? Bukankah mereka telah mengucapkan syahadat?”
Atas hal ini Hadhrat ‘Umar berkata, “Ya, tentu. Mereka mengatakannya namun juga berujar kemunafikan.” Hadhrat ‘Umar berkata, “Mereka mengatakannya karena takut pedang sehingga telah tampaklah [maksud] mereka. Jadi, maksud mereka telah jelas. Kini, tatkala maksud hati mereka telah jelas dan Allah telah menampakkan kedengkian mereka. Hendaknya membalas mereka. Hendaknya menghukum mereka.”
Rasulullah (saw) bersabda, “Saya melarang untuk membunuh mereka yang telah melafalkan syahadat. Siapa saja yang telah mengucapkan syahadat, saya melarang untuk membunuhnya.”
Terkait ini akan dilanjutkan nanti. Pembahasan ini saya cukupkan di sini karena ada beberapa Almarhum yang ingin saya sampaikan.
Doa Untuk Palestina
Tapi sebelumnya saya ingin menyampaikan permohonan doa. Pada minggu yang lalu pun saya telah sampaikan, berdoalah untuk warga Palestina yang terzalimi. Meskipun telah terjadi gencatan senjata namun sejarah memberitahu kita bahwa setelah beberapa lama kemudian, dengan satu dan lain cara, dengan satu dan lain alasan, pihak yang memusuhi [dalam hal ini pemerintah Israel] akan terus menjadikan warga Palestina sasaran kezaliman dan itu dilakukan dengan berbagai dalih. Semoga Allah Ta’ala menurunkan kasih sayangnya dan memberikan kemerdekaan yang hakiki kepada warga Palestina. Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada mereka (bangsa Palestina) seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan, berfirasat peka, berpandangan ke depan (visioner) dan juga kekuatan serta yang berani mengutarakan pandangan mereka secara benar dan memperoleh hak mereka.
Demikian juga untuk para Ahmadi yang terus menjadi sasaran kezaliman, khususnya di Pakistan, semoga mereka senantiasa dalam perlindungan-Nya.
Jenazah yang pertama pada hari ini adalah Qureshi Muhammad Fazlullah Sahib, Naib Nazir Isya’at Qadian yang wafat pada 27 April. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Kakek dari ayahanda dan ibunda beliau adalah Hadhrat Munshi Mehr Din Sahib (ra) yang merupakan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang melaluinya Ahmadiyah masuk dalam keluarga beliau dan namanya tertulis dalam daftar pembayar candah pembangunan Minaratul Masih.
Qureshi Sahib setelah lulus dari Jamiah berkhidmat mengajar di Jamiah Ahmadiyah selama 31 tahun 5 bulan dan mengajar pelajaran Al-Qur’an, Urdu Kalaam, Sharaf Nahwu, gramatikal bahasa Arab dan sebagainya dan total masa pengkhidmatan beliau adalah selama 37 tahun.
Dengan karunia Allah Ta’ala Almarhum adalah seorang Mushi. Beliau meninggalkan seorang istri, seorang putra dan 2 putri. Makhdum Sahib, Nazir Isya’at menulis mengenai beliau bahwa, ketika di Jamiah beliau adalah seorang dosen yang penuh kasih sayang, beliau memperlakukan para mahasiswa dengan penuh cinta, keakraban dan persahabatan serta selalu bekerja dengan kejujuran dan ruh waqaf. Beliau seorang yang tepat waktu. Beliau juga mengajarkan kepada para mahasiswa untuk tepat waktu. Sebagian besar muballigh di India adalah murid beliau dan mereka mendapatkan faedah dari beliau dan beliau sosok yang sangat sederhana.
Beliau tidak banyak berbicara namun pembicaraan beliau berbobot dan syarat ilmu. Beliau pernah mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Sadr Khuddamul Ahmadiyah India. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Naib Editor Surat Kabar Al-Badr selama 34 tahun. Beliau juga sebagai editor majalah Misyqat. Beliau juga anggota Komite Sejarah Ahmadiyah India.
Beliau juga meninjau kembali Rohani Khazain edisi yang sudah dikomputerisasi, mencari kekeliruan-kekeliruan di dalamnya dan memperbaikinya di bawah arahan beliau. Beliau melakukan pengecekan dan peninjauan kembali atas semuanya dengan sangat teliti. Beliau melakukan peninjauan kembali secara keseluruhan beberapa buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang dicetak terpisah, khususnya Barahin Ahmadiyah, Ariyah Dharm dan Sat Bacan, dsb. Beliau mengecek dengan teliti referensi-referensi yang diberikan Hadhrat Masih Mau’ud (as) di buku-buku tersebut dari kutipan aslinya dan dari Granth serta Weda. Satu per satu perbedaan yang tampak dalam pelafalan kata dan penerjemahan beliau tandai. Melakukan penelitian dengan sempurna mengenai segala permasalahan adalah merupakan keistimewaan beliau dan beliau melakukan pencarian, tinjauan dan pengecekan referensi-referensi di buku Arya Dharm dan Sat Bacan dengan penuh kerja keras. Beliau selalu mengatakan bahwa buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) ini telah disajikan sebagai sanad untuk umat Hindu dan Sikh dan kedua buku tersebut sangat penting dalam menghadapi kedua agama ini, oleh karena itu harus dicek dengan teliti dan referensi-referensinya harus diperbaiki.
Beliau juga banyak berkhidmat dalam mempersiapkan software untuk Al-Qur’an yang diterbitkan Jemaat dengan gaya penulisan Khatt-e-Manzoor dan dibuat di perusahaan Bombai dan beliau banyak berperan di dalamnya. Siang malam beliau bekerja untuk perbaikan, akurasi dan kesahihannya. Demikianlah Al-Qur’an sederhana dengan gaya tulisan khatt-e-manzuur telah dicetak. Beliau juga banyak bekerja dalam mempersiapkan Al-Qur’an terjemahan bahasa Inggris oleh Hadhrat Maulwi Sher Ali Sahib, ini juga Insya Allah dalam waktu dekat akan siap. Beliau banyak berperan dalam hal ini. Demikian juga karya terjemahan Hadhrat Mir Ishaq Sahib, beliau pun mengerjakan beberapa juz darinya. Beliau banyak bekerja keras dalam penerbitan Al-Qur’an, khususnya dalam penerbitan Al-Qur’an dengan Khatt-e-Manzuur.
Nazir Isya’at menulis, “Beliau adalah dosen saya dan paman saya juga. Meskipun demikian, dengan posisi beliau sebagai Naib, beliau selalu berbicara dengan sikap ketaatan dan kerendahan hati. Tidak pernah mengatakan, ‘Saya adalah dosen kamu atau dari sisi hubungan keluarga saya lebih tua dari kamu.’ Seorang dari antara mahasiswa beliau menulis bahwa semasa sebagai mahasiswa beliau tidak pernah mengambil cuti dari Jamiah dan setelah itu semasa mengajar di Jamiah pun beliau tidak pernah mengambil cuti. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan kasih sayangnya kepada Almarhum.
Jenazah yang kedua Mubaligh Jemaat, Sayyid Basyiruddin Ahmad Sahib. Beliau juga dari Qadian. Beliau wafat pada usia 83 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau adalah cucu dari Sayyid Sayyiduddin Sahib (ra), seorang sahabat. Beliau seorang ahli ibadah, rajin tahajud, rajin berdoa, sosok yang sederhana. Almarhum seorang Mushi. Beliau meninggalkan 3 orang putra dan ketiganya berkhidmat di kantor-kantor anjuman.
Jenazah selanjutnya, seorang Waqif Zindegi, Basharat Ahmad Sahib Haidar dari Qadian, putra dari Faiz Ahmad Sahib Shanah. Beliau wafat pada usia 71 tahun. Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum adalah cucu Hadhrat Abdul Karim Sahib yang menjadi tanda kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan kesembuhannya dari gigitan anjing. Almarhum mewaqafkan diri dan pindah dari Karnatak ke Qadian. Kemudian setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ahmadiyah beliau berkhidmat di berbagai kantor lalu beliau ditetapkan sebagai In Charge Departemen Rishtanata dan berkhidmat di sana. Beliau berkhidmat selama 46 tahun. Meskipun berpenghasilan kecil namun beliau biasa memakai pakaian yang rapi dan menjalani hidup dengan sangat sederhana. Beliau seorang yang berakhlak luhur dan baik hati. Almarhum seorang Mushi. Selain seorang istri, beliau meninggalkan tiga orang putri yang ketiganya beliau berikan pendidikan dengan baik dan ketiganya menikah dengan Waqafin zindegi.
Jenazah selanjutnya yang terhormat Dokter Muhammad Ali Khan Sahib, Amir Jemaat Ahmadiyah Daerah Peshawar yang wafat pada bulan lalu di usia 67 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau baiat di masa sebagai mahasiswa FSC di sana. Beliau mengatakan, “Saya sedang duduk di toko paman saya ketika seseorang yang sangat terhormat datang dan ketika beliau pergi paman saya mengatakan, ‘Tahukah kamu bahwa yang tadi itu adalah seorang Qadiani, beliau seorang yang sangat baik.’” Beliau mengatakan, “Ini adalah perkenalan pertama dengan Jemaat.”
Kemudian di Medical College ada seorang teman sekelasnya yang Ahmadi. Almarhum menanyakan bagaimana pandangannya mengenai Hadhrat Isa (as). Teman Almarhum menjawab, “Telah wafat.” Maka Dokter Muhammad Ali Sahib mengatakan, “Saya juga mempercayai beliau (as) sudah wafat.” Atas hal ini pelajar Ahmadi tersebut berpemikiran bahwa Almarhum harus ditablighi. Singkatnya Almarhum dibawa ke Rumah Misi dan di sana diperkenalkan mengenai Jemaat. Mubaligh di Jemaat tersebut adalah Basharat Bashir Sindhi Sahib. Almarhum melihat beliau mengenakan kemeja dan celana. Ini membuat Almarhum terkesan karena beliau seorang Maulwi juga dan seorang Maulwi yang sangat modern.[26] Singkatnya, Basharat Bashir Sahib memberikan buku Da’watul Amir untuk Almarhum baca. Almarhum mengatakan, “Hari itu juga ketika saya selesai membacanya saya merasa yakin bahwa Ahmadiyah adalah benar.”
Beliau baiat pada 1973 dan pada 1974 Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. merestui bai’at beliau. Ketika pada 1974 beliau menjadi Ahmadi terjadi kerusuhan di kampus dan dalam bentuk pertemuan, anak-anak dari kampus beliau itu menangkap beliau dan menyuruh untuk mengingkari Ahmadiyah. Mereka telah mengetahui bahwa beliau sekarang seorang Ahmadi. Mereka mengancam akan membunuh beliau. Singkatnya, pihak adiministrasi kampus tidak bisa berbuat apa-apa. Pada saat itu rektor dari Universitas adalah Ali Khan, putra dari Bacha Khan. Ia datang ke sana dan melepaskan Almarhum dari orang-orang itu lalu membawanya dan dengan kendaraannya ia membawa Almarhum keluar kota lalu meninggalkannya.
Almarhum mengatakan, “Dari sana saya berjalan ke kampung saya dengan telanjang kaki dan ayah saya mengatakan, “Kamu telah menjerumuskan dirimu sendiri dalam kesulitan dan telah merusak nama baik kami. Mengapa tidak tinggalkan saja Ahmadiyah.”
Beliau menjawab, “Saya tidak bisa meninggalkan Ahmadiyah.”
Selanjutnya terus terjadi perdebatan dengan ayah Almarhum dan dikarenakan kondisi yang memburuk Almarhum tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Kondisinya sangat buruk waktu itu namun Almarhum tetap teguh dalam Jemaat.
Suatu hari ayah Almarhum mengatakan, “Mari kita selesaikan masalah ini, tinggalkanlah Ahmadiyah.”
Almarhum mengatakan, “Bagi saya hanya ada satu cara untuk menyelesaikan ini, yaitu ketika Anda mengirim makanan untuk saya, campurkanlah racun di dalamnya supaya saya mati dan masalah Anda akan terselesaikan.”
Almarhum mengatakan kepada ayahnya, “Karena saya tidak bisa meninggalkan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Jemaat beliau (as)”
Setelah peristiwa itu ayahanda beliau tidak pernah meminta beliau meninggalkan Ahmadiyah. Ketika ayahanda beliau wafat, beliau pergi untuk melihat jenazah ayahnya namun tidak melaksanakan shalat jenazah. Orang-orang mengatakan ini sangat bertentangan dengan tradisi kesukuan dan mereka mengungkapkan kebencian mereka. Anak macam apa tidak mau menyalatkan jenazah ayahnya.
Maka beliau mengatakan, “Bagi saya Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih penting, hal lainnya urusan belakangan.” Demikian juga ibunda beliau memperlakukan beliau dengan sangat buruk. Ia mengatakan, “Kamu bukan anakku”, dan mengeluarkan Almarhum dari hak atas harta kekayaan dan sebagainya.
Maka setelah itu Almarhum tidak pernah kembali ke kampungnya, namun terus membantu ibundannya dan biasa datang ke rumah pamannya, dari sana beliau merawat ibunya dan memberikan bantuan secara finansial. Ketika ibundanya meninggalpun beliau tidak menyalatkan jenazahnya. Demikian juga beliau membaiatkan seorang adik laki-lakinya, adiknya ini pun tidak ikut menyalatkan jenazah ibunya. Atas hal ini orang-orang melontarkan tuduhan, anak macam apa mereka ini.
Kemudian beliau mengatakan bahwa, “Sejauh menyangkut persoalan gairat keJemaatan, karena orang ini terus menerus mencaci maki Hadhrat Masih Mau’ud (as), maka kami tidak bisa menyalatkan jenazahnya.” Beliau memperlihatkan ghairat yang luar biasa.
Beliau berkhidmat selama 37 tahun di ketentaraan dan pensiun dengan pangkat sebagai Letnan. Beliau seorang Dokter. Pada saat pensiun beliau juga mendapatkan medali penghargaan militer dari Presiden. Setelah itu beliau bekerja sebagai asisten profesor di Nasir Teaching Hospital, Peshawar dan menjabat sebagai Kepala Departemen Psikologi.
Pada usia tiga puluh dua tahun Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ menetapkan beliau sebagai Amir Jemaat di Provinsi Perbatasan dan Daerah Peshawar serta Ketua Jemaat Peshawar. Pada 1985 beliau ditetapkan sebagai Dewan Direksi Waqfi Jadid dan hingga akhir hayatnya beliau masih tetap pada jabatan ini. Demikian juga beliau adalah anggota Fazl-e-’’Umar Foundation, Tahir Foundation serta anggota tetap syura.
Adik laki-laki beliau, Kolonel Ayyub Sahib yang telah menerima Ahmadiyah – sebagaimana telah saya sampaikan – menikah dengan putri dari Shamsuddin Khan Sahib, Amir Provinsi Perbatasan. Almarhum meninggalkan seorang istri, seorang putra dan tiga orang putri.
Seorang putra beliau adalah Waqafenou yang saat ini tengah berkhidmat di Tanzania di bawah Humanity First. Beliau menulis, “Dokter Khan Sahib memiliki satu keistimewaan yang menonjol dalam hal kebenaran, kejujuran, tidak mementingkan diri sendiri dan integritas. Beliau tidak pernah membahas kekayaan, pengeluaran, harta duniawi atau semacamnya. Semua putra beliau menulis mengenai hal ini dan beliau selalu menjalani hidup dengan sangat tentram dan bahagia. Dalam setiap keadaan, ketika Peshawar dalam kondisi yang sangat sulit, beliau memimpin Jemaat di Peshawar dengan sangat baik dan sepenuhnya berserah diri pada bantuan dan pertolongan Allah Ta’ala.”
Jemaat Peshawar sangat berduka atas kewafatan beliau. Beliau memiliki hubungan yang erat dengan Khilafat dan ketaatan beliau pun patut diteladani. Beliau memiliki hubungan kecintaan dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan Hadhrat Rasulullah saw., seorang yang senantiasa siap melakukan segala pengorbanan untuk ketauhidan Allah Ta’ala, seorang yang memiliki banyak keistimewaan.
Jenazah selanjutnya, yang terhormat Muhammad Rafi’uddin Khan Shahzadah Sahib dari Rabwah yang wafat pada 30 Maret. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau berusia 81 tahun. Almarhum adalah cucu sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as), Hadhrat Ghulam Rasul Sahib Afghan dan Aisyah Pathani Sahibah serta cicit Hadhrat Abdussatar Khan Sahib Al-Ma’ruf Buzrug Sahib.
Beliau seorang ahli ibadah dan sejak masih muda beliau rajin tahajud, seorang yang memiliki ghairat keagamaan dan penuh semangat. Seorang yang memiliki kepribadian suci. Pada saat sakitnya yang terakhir di rumah sakit, meskipun beliau menderita gangguan pernafasan namun tetap membaca Al-Qur’an dengan suara lantang.
Ketika bertugas di angkatan udara beliau pergi ke Abu Dhabi. Di sana dalam pertemuan angkatan udara seorang Maulwi mengatakan bahwa orang Qadiani wajib dibunuh. Maka beliau dengan berani berdiri dan mengatakan, “Saya seorang Ahmadi, bunuhlah saya.”
Namun singkat kata beliau kemudian mengundurkan diri dari sana dan datang ke Pakistan. Di sini beliau membuka toko obat dan pada masa itu beliau juga sebagai ketua kelompok Darurrahmat Syarqi Rajiki. Demikian juga beliau ikut serta dalam program Pushto Muzakarah di MTA kurang lebih 50 episode. Beliau memperlakukan setiap orang di kelompok tersebut dengan penuh kasih sayang layaknya seorang ayah. Beliau biasa membantu perekonomian orang lain secara diam-diam. Beliau seorang Mushi. Selain seorang istri beliau meninggalkan dua putra dan empat putri.
Jenazah selanjutnya, Ayaz Yunus Sahib dari Australia. Pada 24 Maret beliau wafat dikarenakan tenggelam dalam musibah banjir di New South Wales, Negara Bagian Australia. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau seorang Khadim yang banyak melakukan pengkhidmatan dan beliau mengatakan kepada Pak Sadr, “Jika Anda memerlukan sesuatu, kapan pun Anda memerintahkan saya, saya akan datang.” Beliau senantiasa hadir untuk berkhidmat dan mengatakan kepada setiap orang bahwa pintu rumah saya terbuka, kapanpun memerlukan bantuan datanglah. Beliau dengan bersemangat membantu setiap orang. Beliau masih muda, belum menikah. Pihak pemerintah memberikan visa kepada kedua orang tua Almarhum untuk datang dari Pakistan dan pemakaman beliau dihadiri utusan dari pihak pemerintah.
Jenazah berikutnya, Mian Tahir Ahmad Sahib Bin Mia Qurban Husein Sahib, mantan karyawan Wakalat Maal Tsalits Rabwah dan juga ayah Idris Sahib Ahmad, Engineer Proyek di Islamabad, di sini. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Beliau berkhidmat sebagai sekretaris Tarbiyat di Jemaat Lokal dan juga sebagai Naib Sadr dan Zaim Ansharullah. Beliau dawam tahajjud, nafal dawam membaca Al Quran, beliau juga adalah Musi. Beliau meninggalkan istri, dua putri dan tiga putra.
Jenazah berikutnya adalah Rafiq Aftab Sahib dari UK, ayahanda Faruq Aftab Sahib yang wafat pada bulan April lalu, pada usia 63 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Faruq Sahib menulis, “Ayah saya memiliki banyak sekali keistimewaan, rendah hati, saleh, dapat bergaul dengan siapapun, periang dan berkepribadian mulia. Beliau periang dan menghormati orang lain, pengkhidmat tamu, banyak sekali orang yang menelepon kami dan menyampaikan kelebihan tersebut.”
Beliau sangat tulus dan pecinta serta selalu menekankan kepada anak-anak untuk menjalinkan hubungan dengan Khilafat, berkat itulah putra-putra beliau saat ini berkhidmat di jemaat.
Jenazah berikutnya, Yth. Zarinah Akhtar Sahibah istri Mirza Nasir Ahmad Sahib Chatti Masih. Mirza Nasir Ahmad Sahib adalah dosen jamiah Ahmadiyah UK. Almarhumah wafat pada bulan lalu. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Almarhumah juga adalah keturunan sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau memenuhi hak untuk mengkhidmati orang tua dan mertua dengan penuh kesabaran dan rasa syukur. Beliau juga melewati hidup dengan waqif zindegi dengan penuh kesetiaan dan qonaah. Beliau juga tinggal di Ghana. Meskipun kondisi ekonomi yang sangat sulit namun beliau melewatinya dengan penuh kesabaran dan rasa syukur. Tidak pernah mengeluh. Beliau adalah Musiah. Satu putra beliau adalah Waqif Zindegi bernama Mirza Tauqir Ahmad saat ini berkhidmat di MTA.
Jenazah berikutnya, Hafiz Muhammad Akram Sahib wafat di bulan ini di Tahir Heart pada usia 80 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga melalui Hadhrat Khalifatul Masih pertama ra. Setelah itu kakek beliau melakukan baiat secara tertulis pada zaman Hadhrat Masih Mauud (as). (Bukan baiat diatas tangan, tapi secara tertulis) Satu cucu beliau saat ini berkhidmat di kantor Private Secretary UK. Beliau juga mempersembahkan diri untuk berkhidmat di jemaat. Ketika beliau pergi menemui Muhammad Ahmad Sahib Mazhar, mantan Amir Daerah Faisalabad untuk mendapatkan pengesahan, Amir Daerah mengatakan, “Jika Anda ingin mengkhidmati agama, datanglah kemari.” Kemudian beliau berkhirmat di sana sebagai karyawan. Beliau melewati seumur hidup untuk berkhidmat di Jemaat Faisalabad dan senantiasa mendahulukan agama diatas dunia. Beliau seorang Musi, beliau telah melunasi Hissah Jaidad semasa hidup. Beliau dawam tahajjud dan tidak bolong bolong. Beliau mendapatkan taufik untuk mengajar Al-Quran kepada anak-anak dan mengajarkan hapalan. Putra tertua beliau pun menjadi Hafiz Al-Quran berkat beliau.
Jenazah berikutnya adalah Yth. Choudry Nur Ahmad Nasir Sahib wafat beberapa hari lalu pada usia 82 tahun. Beliau adalah putra sulung dari Choudry Muhammad Abdullah Sahib Darweisy Qadian. Dua putra beliau dengan karunia Allah Ta’ala adalah Waqif Zindegi. Pertama berkhidmat sebagai Principal sekolah kita di Liberia. Kedua, Mansur Ahmad Nasir yang juga merupakan Principal dan Mansur Ahmad Muzaffar mendapatkan taufik berkhidmat di Ghana sebagai Muballig. Keduanya tidak dapat menghadiri prosesi jenazah almarhum karena tengah berkhidmat dirantau. Almarhum adalah Musi.
Jenazah berikutnya adalah Yth. Mahmud Ahmad Minhas Sahib bin Hakim Abdullah Minhas Sahib, wafat pada bulan lalu, di usia 75 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Salah satu putra beliau adalah Muballig bernama Rashid Mahmud Minhas yang menuturkan, “Almarhum adalah sosok yang memiliki sifat sederhana dan banyak keistimewaan lainnya. Dawam melaksanakan tahajjud, pecinta Khilafat dan senantiasa bersedia untuk menolong orang-orang miskin dan membutuhkan. Sehubungan putra beliau tersebut saat ini tengah berkhidmat di Ghana, sehingga tidak bisa menghadiri dalam pengurusan jenazah almarhum. Begitu juga saudara beliau lainnya yang saat ini tengah berada di Malaysia.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan ketabahan kepada anak keturunan dan keluarga yang dtinggalkan oleh para almarhum dan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan derajat yang tinggi kepada para almarhum dan memberikan magfirah dan kasih sayang-Nya. Setelah shalat jumat nanti, saya akan memimpin shalat jenazah ghaib untuk mereka. Insha Allah.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq.
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Tafsir Faidhul Qadir karya Imam asy-Syaukani (فتح القدير للشوكاني — الشوكاني (١٢٥٠ هـ)).
[2] Tafsir Ibnu Katsir (تفسير ابن كثير — ابن كثير (٧٧٤ هـ))
[3] Tafsir Faidhul Qadir karya Imam asy-Syaukani (فتح القدير للشوكاني — الشوكاني (١٢٥٠ هـ)).
[4] Tafsir ath-Thabari (تفسير الطبري), Surah al-Anfal (سورة الأنفال), ayat ke-8 (وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَن يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ).
[5] Hadits Shahih Muslim Nomor 3309, Kitab: Jihad dan ekspedisi, Bab: Malaikat diutus untuk membantu dalam perang Badr
[6] Tafsir ar-Razi (تفسير الرازي — فخر الدين الرازي (٦٠٦ هـ)) atau at-Tafsir al-Kabir dan Mafatihul Ghaib (التفسير الكبير أو مفاتيح الغيب), bahasan Surah al-Anfal ayat, مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ : والجَوابُ عَنِ الوَجْهِ الَّذِي ذَكَرُوهُ أوَّلًا: أنَّ قَوْلَهُ: ﴿ما كانَ لِنَبِيٍّ أنْ يَكُونَ لَهُ أسْرى حَتّى يُثْخِنَ في الأرْضِ﴾ يَدُلُّ عَلى أنَّهُ كانَ الأسْرُ مَشْرُوعًا، ولَكِنْ بِشَرْطِ سَبْقِ الإثْخانِ في الأرْضِ، والمُرادُ بِالإثْخانِ هو القَتْلُ والتَّخْوِيفُ الشَّدِيدُ، ولا شَكَّ أنَّ الصَّحابَةَ قَتَلُوا يَوْمَ بَدْرٍ خَلْقًا عَظِيمًا، ولَيْسَ مِن شَرْطِ الإثْخانِ في الأرْضِ قَتْلُ جَمِيعِ النّاسِ، ثُمَّ إنَّهم بَعْدَ القَتْلِ الكَثِيرِ أسَرُوا جَماعَةً، والآيَةُ تَدُلُّ عَلى أنَّ بَعْدَ الإثْخانِ يَجُوزُ الأسْرُ فَصارَتْ هَذِهِ الآيَةُ دالَّةً دَلالَةً بَيِّنَةً عَلى أنَّ ذَلِكَ الأسْرَ كانَ جائِزًا بِحُكْمِ هَذِهِ الآيَةِ، فَكَيْفَ يُمْكِنُ التَّمَسُّكُ بِهَذِهِ الآيَةِ في أنَّ ذَلِكَ الأسْرَ كانَ ذَنْبًا ومَعْصِيَةً ؟ . Fakhruddin Ar-Razi (bahasa Persia: فخر الدين رازي) (lahir di Ray, Iran, 26 Januari 1150 – meninggal di Herat, Afganistan, 29 Maret 1210 pada umur 60 tahun) sering dikenal dengan julukan Sultanul Mutakallimin adalah seorang ilmuwan muslim berkebangsaan Persia. Shibli Nomani ( Urdu : علّامہ شِبلی نُعمانی – Allāmah Syiblī Noʿmānī ; 3 Juni 1857 – 18 November 1914) adalah seorang sarjana Islam dari anak benua India pada masa Raj Inggris . Ia lahir di Bindwal di distrik Azamgarh sekarang Uttar Pradesh. Ia dikenal atas pendirian Perguruan Tinggi Nasional Shibli pada tahun 1883 dan Darul Mussanifin (Rumah Penulis) di Azamgarh. Nomani adalah seorang sarjana dalam bahasa Arab, Persia, Turki dan Urdu. Dia juga seorang penyair. Dia mengumpulkan banyak materi tentang kehidupan Nabi Islam, Muhammad , tetapi hanya bisa menulis dua jilid pertama dari karya yang direncanakan Sirat-un-Nabi . Muridnya, Sulaiman Nadvi , menggunakan bahan ini dan menambahkannya dan juga menulis sisa lima jilid karyanya, Sirat-un-Nabi setelah kematian mentornya.
[7] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin. Ṣaḥīḥu Muslim, Kitābul-Jihād Was-Siyar, Bābul-Imdādi Bil-Malā’ikati Fī Ghazwati Badrin, Ḥadīth No. 4588; Sunanut-Tirmidhī, Kitābu Tafsīril-Qur’ān, Bābu Wa Min Sūratil-Anfāl, Ḥadīth No. 3084; Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By ‘Allāmah Shihābuddīn Qusṭalānī,
Volume 2, pp. 320-321, Bābu Ghazwati Badril-Kubrā, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[8] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin.
[9] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), (بَاب شُهُودِ الْمَلَائِكَةِ بَدْرًا) no. 4005.
[10] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), (بَاب شُهُودِ الْمَلَائِكَةِ بَدْرًا) no. 3814.
[11] Sirat Khatamun-Nabiyyin, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 477-478
[12] Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusthalānī, Volume 2, p. 414, Ghazwatu Uhud, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).
[13] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muhammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 529, Maqtalu Mush‘ab ubnu ‘Umair, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001).
[14] Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume III), pp. 493-494. Rujukan tercantum dalam Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusthalānī, Volume 2, p. 416, Ghazwatu Uhud, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).
[15] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 535, Sha’nu ‘Āṣimibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
[16] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Ghazwati Uḥud, Ḥadīth No. 4048.
[17] Hadhrat Shahibzadah Mirza Basyir Ahmad Shb (ra) dalam Sirat Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume II), VIII – Blow of a Misfortune, Law of Inheritance, Prohibition of Alcohol, Treachery of the Disbelievers and Two Tragic Incidents. Rujukan diambil dari As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 537, Sha’nu ‘Āṣim ibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
[18] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Ghazwati Uḥud, Ḥadīth No. 4043; Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Jihād Was-Siyar, Bābu Mā Yukrahu Minat-Tanāzu‘, Ḥadīth No. 3039.
[19] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 542, Sha’nu ‘Āṣim ibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
[20] Hubal ialah nama sebuah berhala utama Quraisy.
[21] Nama salah satu berhala Quraisy lainnya.
[22] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازي), Bab perang Uhud (باب غزوة أحد); Sahih Al-Bukhari, Kitab-ul-Jihad Was Sair, Hadith no. 3039; Fathul Bari syarh atau uraian atas Shahih al-Bukhari (فتح الباري شرح صحيح البخاري) karya Ibn Hajar al-Asqalani (أحمد بن علي بن حجر العسقلاني).).
[23] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-Maghāzī, Bābu Ghazwati Uḥud, Ḥadīth No. 4043
[24] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 542, Sha’nu ‘Āṣim ibni Thābit, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001)
[25] Hadhrat Shahibzadah Mirza Basyir Ahmad Shb (ra) dalam Sirat Khataman Nabiyyin (Seal of the Prophets – Volume II), VIII – Blow of a Misfortune, Law of Inheritance, Prohibition of Alcohol, Treachery of the Disbelievers and Two Tragic Incidents.
[26] Kebanyakan Ulama di sana memakai pakaian tradisional khas Ulama.