Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 126, Khulafa’ur Rasyidin Seri 03, Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu Seri 16)
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 17 September 2021 (17 Tabuk 1400 Hijriyah Syamsiyah/10 Shafar 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُأما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelumnya sedang berlangsung pembahasan dari saya mengenai peristiwa-peristiwa di masa Hadhrat ‘Umar (ra) dan hari ini saya akan menyampaikan mengenai perang Yarmuk. Dalam riwayat-riwayat didapati perbedaan pendapat mengenai kapan terjadinya perang Yarmuk. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa perang ini terjadi pada 15 Hijriah. Menurut sebagian lainnya ini terjadi pada 13 Hijriah sebelum penaklukkan Damaskus. Berdasarkan satu riwayat, kabar suka mengenai kemenangan dalam peperangan yang pertama kali sampai kepada Hadhrat ‘Umar (ra) adalah perang Yarmuk dan pada waktu itu kewafatan Hadhrat Abu Bakr (ra) telah berlalu 20 hari. Sementara itu, sebagian berpendapat, yang pertama sampai adalah kabar kemenangan atas Damaskus. Namun, yang tampaknya lebih sahih ialah berita penaklukkan Damaskus yang mana itu terjadi sebelum perang Yarmuk yang lebih dahulu sampai. Para saksi juga menyampaikan bahwa perang Yarmuk juga terjadi pada masa Hadhrat ‘Umar (ra).
“Setelah orang-orang Romawi mengalami kekalahan dari pasukan Muslim, mereka keluar dari Damaskus dan Homs lalu sampai di Antakiya. Antakiya merupakan kota perbatasan dari negeri Syam. Mereka mengadu kepada Heraklius bahwa orang-orang Arab telah menghancurkan seluruh Syam. Heraklius memanggil beberapa orang yang cerdas dan terhormat ke aula audiensi kerajaan dan mengatakan, ‘Orang-orang Arab lebih lemah dari kalian dalam kekuatan dan persenjataan, mengapa kalian tidak bisa melawan mereka? Mengapa tidak bisa bertahan dalam pertempuran?’
Semuanya tertunduk malu. Tidak ada seorang pun yang memberikan jawaban. Namun seorang sesepuh yang berpengalaman mengatakan, ‘Akhlak orang-orang Arab lebih baik dari akhlak kita. Mereka biasa beribadah pada malam hari, pada siang harinya mereka berpuasa, mereka tidak pernah berbuat zalim pada siapapun. Mereka bergaul satu sama lain dengan kesetaraan. Sedangkan keadaan kita, kita meminum minuman keras, melakukan keburukan-keburukan, tidak menepati janji, zalim terhadap orang lain. Hasilnya, ada antusiasme dalam apa yang mereka lakukan dan terdapat keteguhan. Sedangkan apa yang kita lakukan kosong dari semangat dan keteguhan.’
Kaisar sebenarnya ingin keluar dari Syam, namun datang begitu banyak pengaduan dari orang-orang Kristen dari setiap kota dan daerah. Kaisar merasa sangat malu dan dengan penuh emosi bersiap untuk mengerahkan seluruh kekuatan kerajaannya melawan Arab. Ia mengirimkan perintah ke Roma, Konstantiniyah, Anteniah, Jazirah, Armenia dan setiap tempat supaya seluruh pasukan datang ke Antakiya pada waktu yang ditentukan. Ia menulis kepada seluruh pemimpin daerah untuk memberangkatkan sebanyak mungkin orang.[1]
Sesampainya perintah tersebut, pasukan Romawi berdatangan secara masif. Di keempat penjuru Antakia, sejauh mata memandang tersebar kerumunan besar pasukan. Pasukan Romawi begitu banyak.
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) yang telah menaklukkan banyak daerah, para pemuka dan pemimpin di daerah-daerah tersebut sangat kagum dengan keadilan beliau, sehingga meskipun berbeda agama, mereka dari pihak mereka sendiri menugaskan mata-mata untuk mencari informasi mengenai musuh dan melalui perantaraan mereka Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mengetahui semua peristiwa tersebut. Beliau mengumpulkan seluruh komandan dan berdiri menyampaikan pidato yang sangat berkesan yang ringkasannya adalah sebagai berikut, ‘Wahai kaum Muslimin! Allah Ta’ala telah berulang kali menguji kalian dan kalian terjun sepenuhnya pada ujian itu. Sebagai imbalannya Allah Ta’ala senantiasa menolong kalian sehingga kalian selalu meraih kemenangan. Sekarang musuh kalian telah datang untuk menghadapi kalian dengan sumber daya yang membuat bumi bergetar. Sekarang beritahu apa saran dan musyawarah dari kalian?’
Yazid bin Abu Sufyan adalah saudara Amir Muawiyah, ia berdiri dan berkata, ‘Menurut saya, biarkan para wanita dan anak-anak tetap di kota dan kita sendiri menyiapkan pasukan di luar kota. Bersama itu, tulislah surat kepada Khalid (ra) dan Amru bin ‘Ash (ra) supaya berangkat dari Damaskus dan Palestina untuk memberikan bantuan.’” Dari sini pun terbukti penaklukkan Damaskus telah terjadi sebelumnya.
“Syurahbil bin Hasanah (ra) mengatakan, ‘Pada kesempatan ini setiap orang harus memberikan pendapat mereka secara bebas. Pendapat yang disampaikan Yazid tidak diragukan lagi disampaikan dengan niatan baik, namun saya tidak sependapat dengan itu. Penduduk kota adalah orang-orang Kristen. Mungkin saja mereka dikarenakan kefanatikan menangkap keluarga kita dan menyerahkannya kepada kaisar atau mereka sendiri membunuhnya. Yakni mereka sendiri yang melawan keluarga kita.’
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mengatakan, ‘Jalan pemecahan untuk itu adalah kita harus mengeluarkan orang-orang Kristen dari kota, maka anak istri kita akan aman.’
Syurahbil bangkit dan mengatakan, ‘Wahai Amirku! Anda sama sekali tidak memiliki hak untuk melakukan itu. Kita telah memberikan memberikan keamanan kepada orang-orang Kristen dengan syarat mereka harus tinggal di kota dengan tentram. Karena itu, bagaimana bisa kita melanggar perjanjian. Kita telah mengikrarkan suatu perjanjian, bagaimana kita melanggar perjanjian ini dengan mengeluarkan mereka dari kota.’
Hadhrat Abu Ubaidah (ra) mengakui kesalahannya.
Namun perundingan ini tidak mencapai kesepakatan akhir mengenai apa yang harus dilakukan. Mereka yang hadir secara umum memberikan pendapat supaya tinggal di Homs dan menunggu pasukan bantuan.
Abu Ubaidah (ra) mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk itu. Akhirnya, diambil pendapat bahwa hendaknya meninggalkan Homs dan berangkat menuju Damaskus. Di sana ada Khalid (ra) dan dekat dengan perbatasan Arab.
Niat ini telah diputuskan, maka Hahdrat Abu Ubaidah (ra) memanggil Habib bin Maslamah (ra), yang merupakan kepala perbendaharaan dan mengatakan, ‘Saat ini keadaan kita sangat genting sehingga kita tidak bisa mengemban tanggung jawab untuk melindungi mereka. Jizyah atau pajak yang kita pungut dari orang-orang Kristen tujuannya adalah digunakan untuk kebaikan mereka dan melindungi mereka. Namun kita tidak bisa melakukannya sehingga segala sesuatu yang telah kita terima dari mereka, kembalikanlah semuanya kepada mereka dan katakan kepada mereka bahwa hubungan yang telah terjalin antara kita dengan mereka, sekarang pun itu tetap ada. Namun, dikarenakan sekarang kita tidak bisa menjalankan tanggung jawab melindungi mereka, maka jizyah yang merupakan kompensasi untuk perlindungan tersebut akan dikembalikan kepada mereka.’ Maka keesokan harinya sejumlah besar uang yang telah diterima itu semuanya dikembalikan.
Orang-orang Kristen sangat terkesan dengan peristiwa ini dan mereka menangis. Dengan emosional mereka mengatakan, ‘Semoga Tuhan membawa kalian kembali.’
Orang-orang Yahudi pun lebih terkesan dari itu, mereka mengatakan, ‘Demi Taurat! Selama kami hidup, Kaisar tidak akan bisa mengambil alih Homs.’ Setelah mengatakan ini mereka menutup pintu gerbang perlindungan kota dan membuat penjagaan serta pengawasan di banyak tempat.
Abu Ubaidah (ra) tidak hanya bersikap seperti ini pada orang-orang Homs, bahkan beliau menulis ke setiap daerah yang telah ditaklukkan bahwa seberapa banyak jizyah yang telah diterima, hendaknya itu dikembalikan. [2]
Singkatnya, Abu Ubaidah (ra) berangkat menuju Damaskus dan mengabarkan semua situasi tersebut kepada Hadhrat ‘Umar (ra).[3] Hadhrat ‘Umar (ra) sangat sedih mendengar kabar orang-orang Islam pergi dari Homs karena takut orang-orang Romawi, namun ketika beliau mengetahui keputusan ini diambil oleh seluruh pasukan dan komandan pasukan, maka beliau secara keseluruhan merasa senang dan bersabda, ‘Allah Ta’ala dengan suatu hikmah tertentu telah menjadikan semua kaum Muslimin sepakat pada pendapat ini.’
Terdapat juga rujukan bahwa sebelumnya ditanyakan kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dan beliau (ra) bersabda, ‘Jika kalian tidak bisa menjaga mereka, maka segala sesuatu yang telah kalian terima dari mereka, baik itu jizyah dan sebagainya, kembalikanlah.’
Hadhrat ‘Umar (ra) menulis jawaban kepada Hadhrat Abu Ubaidah (ra), ‘Saya akan mengutus Sa’id bin Amir (ra) untuk membantu. Tetapi kemenangan dan kekalahan tidaklah bergantung pada banyak atau sedikitnya pasukan.’
Setelah tiba di Damaskus, Abu Ubaidah (ra) mengumpulkan seluruh komandan pasukan dan bermusyawarah dengan mereka. Yazid bin Abu Sufyan, Syurahbil bin Hasanah (ra), Mu’adz bin Jabal (ra), semuanya memberikan pendapat berbeda.
Sementara itu, kurir (utusan pembawa pesan) dari Amru bin ‘Ash (ra) tiba membawa surat yang isinya adalah, ‘Di wilayah Yordania terjadi pemberontakan massal warganya dan kedatangan Romawi menyebabkan kepanikan luar biasa dan meninggalkan Homs telah menjadi penyebab hilangnya rasa segan mereka [terhadap pemerintah Muslim].’
Abu Ubaidah (ra) memberikan jawaban [tertulis lewat kurir], ‘Kami tidak meninggalkan Homs karena takut, melainkan tujuannya adalah supaya musuh keluar dari tempat-tempat yang aman dan pasukan Muslim yang tersebar di berbagai tempat bisa bersatu.’ Beliau juga menulis, ‘Janganlah meninggalkan tempat Anda, saya akan datang ke sana.’
Hari berikutnya Abu Ubaidah (ra) berangkat dari Damaskus. Sesampainya di perbatasan Yordania, beliau bermukim di Yarmuk. Di sekitar Yarmuk ada lembah landai yang mana di sana mengalir sungai Yordan. Amru bin ‘Ash (ra) datang ke tempat ini dan bertemu dengan mereka. Lokasi ini cocok untuk kebutuhan perang karena lebih dekat ke perbatasan Arab dibandingkan semua tempat lain dan di belakang terdapat medan terbuka hingga perbatasan Arab yang memberi kesempatan untuk mundur sejauh yang diperlukan.
Pasukan yang dikirimkan Hadhrat ‘Umar (ra) bersama Sa’id bin Amir (ra) belum sampai. Di sisi lain dengan mendengar kedatangan orang-orang Romawi dan keadaan persenjataan mereka, orang-orang Islam menjadi takut. Abu Ubaidah (ra) kembali mengutus seorang kurir ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra) dan menulis, ‘Orang-orang Romawi bermunculan dari daratan dan lautan, dan keadaan antusiasme ini sedemikian rupa sehingga di jalan-jalan yang dilewati pasukan Romawi, para rahib dan biarawan yang tidak pernah keluar dari khalwat (tempat menyepi atau menyendiri) mereka pun keluar dan bergabung dengan pasukan.’
Ketika surat ini sampai, Hadhrat ‘Umar (ra) mengumpulkan para Anshor dan Muhajirin dan membacakan surat tersebut. Para sahabat spontan menangis dan dengan penuh semangat berseru, ‘Wahai Amirul Mukminin! Demi Allah Ta’ala, izinkanlah kami untuk pergi kepada saudara-saudara kami dan melakukan pengorbanan. Na’udzubillah, sedikit saja mereka disakiti maka tidak ada gunanya hidup ini.’ Semangat para Anshar dan Muhajirin begitu meluap-luap sehingga Abdurrahman bin ‘Auf (ra) berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Jadilah komandan pasukan dan bawalah serta kami.’
Namun sahabat yang lain menentang pendapat ini dan sampai pada pendapat bahwa hendaknya dikirimkan pasukan bantuan yang lain. Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya kepada kurir mengenai sudah sejauh mana pasukan musuh sampai. Ia mengatakan, ‘Mereka telah sampai sejauh 3 atau 4 hari perjalanan dari Yarmuk.’
Hadhrat ‘Umar (ra) sangat sedih dan bersabda, ‘Sayang sekali! Sekarang apa yang bisa dilakukan. Dalam waktu sesingkat itu bagaimana bantuan bisa sampai.’
Beliau menulis surat kepada Abu Ubaidah (ra) dengan kata-kata yang begitu berkesan dan mengatakan kepada kurir, ‘Anda sendiri pergilah ke setiap barisan pasukan dan bacakan surat ini, dan sampaikanlah secara lisan kepada mereka bahwa ‘Umar menyampaikan salam pada kalian dan mengatakan, “Wahai kaum Muslimin! Bertempurlah dengan gagah berani dan seranglah musuh-musuh kalian seperti layaknya singa-singa. Penggallah kepala mereka dengan pedang dan kalian anggaplah mereka itu lebih hina dari semut. Banyaknya jumlah mereka janganlah membuat kalian ciut nyali dan janganlah kalian merasa khawatir karena saudara-saudara kalian belum sampai kepada kalian.”’
Sebuah kebetulan yang menakjubkan, pada hari kurir (utusan pembawa surat dari Khalifah ‘Umar) tersebut sampai ke Abu Ubaidah (ra) di medan perang, pada hari itu pula Sa’id bin Amir (ra) pun dari Madinah sampai bersama dengan 1000 pasukan di sana. Kaum Muslimin menjadi semakin kuat dan beliau mulai melakukan persiapan pertempuran dengan penuh keteguhan. Beliau menetapkan Mu’adz bin Jabal (ra) yang merupakan seorang sahabat terkemuka sebagai komandan pasukan sayap kanan, Qubats bin Asyim sebagai komandan pasukan sayap kiri dan Hasyim bin Utbah sebagai komandan pasukan infanteri. Beliau membagi pasukan berkudanya menjadi 4 bagian. Beliau menetapkan bagian pertama bersama beliau. Sisanya, beliau menetapkan Qais bin Habirah, Maisarah bin Masruq dan Amru bin Thufail sebagai komandan mereka. Ketiga orang pemberani ini dipilih dari seluruh Arab, yakni mereka dikenal sangat pemberani dan oleh karena itulah mereka disebut sebagai Fursaanul ‘Arab (kata bentuk tunggalnya ialah Faarisul ‘Arab).[4]
Romawi juga berangkat dengan sumber daya yang besar. Mereka berjumlah lebih dari 200 ribu pasukan dan terdiri dari 24 barisan yang di depan mereka para pemimpin keagamaan mereka membawa salib dan mengobarkan semangat. Pasukan telah saling berhadapan, maka seorang Batrik keluar membelah pasukan – pemuka agama orang-orang Kristen tersebut disebut Batrik – ia mengatakan, ‘Aku ingin bertarung satu lawan satu.’
Maisarah bin Masruq memajukan kudanya, namun melihat pihak lawan begitu kekar dan muda, Khalid (ra) menghentikan Maisarah bin Masruq dan melihat ke arah Qais bin Hubairah mengisyaratkannya untuk maju. Ia maju sambil membaca syair. Qais menyerang begitu cepat sehingga Batrik itu bahkan tidak sempat mengangkat senjatanya. Tebasan Qais mengenai sasaran. Pedang mengenai kepalanya dan memotong topi baja hingga tembus ke leher. Batrik itu menggelepar dan jatuh dari kudanya. Bersamaan dengan itu orang-orang Islam mengumandangkan takbir. Khalid (ra) mengatakan, ‘Ini pertanda yang bagus. Sekarang, insya Allah, kemenangan ada di tangan kita.’
Orang-orang Kristen mengerahkan lasykar terpisah untuk melawan komandan-komandan pasukan berkuda yang bersama Khalid, namun semuanya mengalami kekalahan dan pada hari itu pertempuran ditunda sampai di situ.
Ketika mengalami kekalahan ini, orang-orang Romawi melihat bahwa mereka terus mengalami kekalahan, maka pada malam hari, komandan pasukan Romawi, Bahan, mengumpulkan para pemimpin pasukan dan mengatakan, ‘Orang-orang Arab telah menikmati kekayaan Syam. Daripada berperang, lebih baik meminta mereka mundur dengan cara mengiming-imingi mereka dengan harta.’ Semuanya sepakat dengan pendapat ini. Pada hari kedua mereka mengirim kurir kepada Abu Ubaidah (ra). Ia menyampaikan, ‘Kirimlah kepada kami seorang petinggi yang terhormat. Kami ingin membicarakan mengenai perdamaian dengannya.’ Abu Ubaidah (ra) memilih Khalid (ra). Duta Romawi yang membawa pesan itu bernama George.”[5]
Para penulis buku Sirah berbahasa Urdu menulis George (جورج), tetapi dalam buku-buku berbahasa Arab namanya tertulis Jirji (جرجي). Saya sampaikan ini untuk mereka yang berbahasa Arab.
“Ketika ia (George, sang duta Kristen dari pihak Romawi) sampai ke perkemahan kaum Muslim, waktu itu sore hari. Tidak berapa lama kemudian dilaksanakan shalat Maghrib. Kaum Muslimin berdiri sambil mengucapkan takbir dengan sangat antusias dan mereka melaksanakan shalat dengan begitu khusyuk, tenang, khidmat dan penuh kerendahan. Kurir itu menyaksikan dengan pandangan takjub, hingga ketika selesai shalat ia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Ubaidah (ra), yang salah satu di antaranya adalah, ‘Apa akidah Anda mengenai Isa (as)?’
Abu Ubaidah (ra) membaca ayat Al-Qur’an berikut, إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُون ‘Ingatlah, sesungguhnya keadaan Isa di sisi Allah adalah seperti keadaan Adam. Dia telah menciptakannya (yaitu Adam) dari tanah kering [debu]. Lalu Dia berfirman tentangnya, “Jadilah!” maka terjadilah ia.’
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا () ‘Hai Ahlikitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu mengatakan mengenai Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Almasih Isa Ibnu Maryam hanyalah seorang rasul Allah dan penggenapan kalimat (kabar suka)-Nya yang telah Dia turunkan kepada Maryam dan sebagai rahmat dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, ‘Tuhan itu tiga.’ Berhentilah, itu akan lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Mahaesa. Mahasuci Dia dari memiliki anak. Kepunyaan-Nya apa pun yang ada di seluruh langit dan apa pun yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai Penjaga.’
لَّن يَسْتَنكِفَ الْمَسِيحُ أَن يَكُونَ عَبْدًا لِّلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا () ‘Almasih sama sekali tidak merasa enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak juga malaikat yang dekat kepada-Nya…’[6]
Alhasil, penerjemah lalu menerjemahkan ayat-ayat tersebut, lalu utusan bernama Jarj itu dengan sontak berseru, أَشْهَدُ أَنَّ هَذِهِ صِفَةُ عِيسَى بْنِ مَرْيَمَ وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَادِقٌ ‘Saya bersaksi bahwa inilah sifat-sifat Isa, dan saya bersaksi bahwa Nabi Anda adalah benar.’ [7] Seraya mengatakan ini, ia mengucapkan kalimat syahadat dan menjadi Muslim. Ia tidak ingin kembali kepada kaumnya. Namun Hadhrat Abu Ubaidah meyakinkannya [untuk kembali] agar jangan ada kesan tidak menepati janji pada orang-orang Romawi, dan berkata, ‘Kembalilah Anda kemari bersama dengan utusan kita yang akan pergi besok dari sini.’[8]
Di hari kedua, Hadhrat Khalid pergi ke tenda pasukan Romawi. Orang-orang Romawi telah sebelumnya mengatur segalanya untuk memperlihatkan kebesarannya, yaitu di sepanjang kedua sisi jalan telah berbaris pasukan berkuda yang mengenakan zirah [baju logam] lengkap di kepala hingga kakinya. Namun, Hadhrat Khalid tidak menghiraukannya dan memandangnya dengan rendah. Beliau memandang mereka seperti halnya singa yang tengah menyeruak di tengah sekawanan kambing. Tatkala Hadhrat Khalid tiba di kemah Bahan, ia [Bahan] menyambut dengan penuh hormat, dan meminta beliau duduk di dekatnya. Pembicaraan dimulai dengan perantaraan penerjemah.
Setelah perbincangan umum, Bahan lantas memulai pembicaraan dengan nada berpidato. Setelah memuji Hadhrat Isa (Yesus), ia menyebut nama Kaisar dan dengan bangga berkata bahwa rajanya adalah maharaja segala raja. Penerjemah belum selesai menerjemahkannya, lantas Khalid memerintahkan Bahan berhenti, lalu beliau berkata, ‘Sungguh demikianlah raja Anda. Namun, raja bagi kami adalah, jika untuk sekejap saja ia berpikir akan kerajaan, kami akan segera menurunkannya.’
Bahan lalu kembali kepada pidatonya dan menyampaikan kebanggaan akan kekayaan dan kedaulatannya. Ia berkata, ‘Bangsa Arab, yakni orang-orang kaummu, datang dan tinggal di negeri kami dan kami senantiasa berlaku baik terhadap mereka. Kami beranggapan mereka yang menjadi penduduk tersebut akan berterima kasih. Namun yang tidak diharapkan, Anda datang menyerang negeri kami dan ingin agar kami dikeluarkan dari negeri kami. Tidakkah Anda mengetahui banyak sekali kaum yang berkeinginan seperti itu namun tidak ada yang pernah berhasil. Kini, tidak ada kaum di dunia ini yang lebih jahiliyah, lebih terbelakang dan lebih tidak berpengalaman dari kaummu. Betapa tinggi semangat Anda untuk menyerang kaum kami. Namun demikian, kami pun akan tetap memaafkan. Bahkan, jika Anda pergi dari sini, ganjaran yang akan diterima sebagai panglima menerima 10.000 Dinar dan bagi setiap pemimpin pasukan adalah 1000 dinar lalu untuk prajurit biasa adalah masing-masing 100 dinar.’”[9]
(Hal yang sebenarnya mereka telah menyiapkan satu pasukan yang sangat besar untuk melawan dan menghancurkan umat Muslim. Namun, tatkala mereka melihat bahwa pertempuran ini tidak semudah yang dibayangkan, mereka lantas memberikan persyaratan-persyaratan [tawaran-tawaran menggiurkan]).
“Alhasil, tatkala Bahan mengakhiri ceramahnya, Hadhrat Khalid pun berdiri. Setelah mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Ilahi, Hadhrat Khalid berkata, ‘Tidak dipungkiri, Anda adalah kaum yang kaya-raya, berharta dan pemilik kekuasaan. Namun, perlakuan yang telah Anda berikan kepada tetangga Anda sendiri yaitu bangsa Arab pun kami mengetahuinya. Ini bukan suatu ihsan dari Anda, namun ini hanyalah suatu usaha dalam mewujudkan keinginan Anda untuk menyebarkan agama Anda. Yang hasilnya, bangsa Arab tersebut telah menjadi Kristen. Dan kali ini, mereka sendiri pun tengah berperang melawan kami di sisi Anda. Memang benar dahulu kami sangat membutuhkan, berkekurangan, dan hidup berpindah-pindah. Kezaliman dan kejahiliahan kami dahulu adalah sedemikian rupa, dimana yang kuat menindas yang lemah. Masing-masing kabilah saling berperang dan menghancurkan. Namun, Tuhan telah berbelas kasih kepada kami dan mengirimkan sesosok nabi atas kami, yang berasal dari kaum kami. Beliau adalah sosok yang paling terhormat, paling mulia, dan paling suci diantara kami. Ia telah mengajarkan tauhid kepada kami dan menyampaikan bahwa tidak ada sekutu bagi Tuhan. Tuhan tidak beristri dan beranak. Dia adalah wujud Yang Maha Esa. Ia pun memerintahkan kami untuk menyebarkan ajaran-ajaran ini ke segenap penjuru dunia. Mereka yang menerimanya menjadi Muslim dan saudara kami. Bagi yang tidak menerima, namun bersedia untuk memberi jizyah, kami akan menjadi penjaga dan pelindung mereka. Adapun mereka yang menolak keduanya, bagi mereka adalah pedang. Jika mereka tidak menerimanya, kami pun siap sedia untuk bertempur.’
Mendengar kata jizyah, Bahan lantas mengambil nafas dalam dan menunjuk para pasukannya, ‘Sekalipun mereka ini dibunuh, mereka tidak akan memberi jizyah. Kami-lah yang mengambil jizyah, bukan memberi.’ Alhasil, tidak ada kata sepakat. Hadhrat Khalid lalu beranjak dan kembali.
Kini dimulailah persiapan-persiapan untuk pertempuran terakhir dan setelah ini pihak Romawi tidak dapat lagi mengusahakannya. Setelah kepergian Hadhrat Khalid, Bahan mengumpulkan seluruh pimpinannya dan berkata, ‘Tidakkah Anda mendengar pernyataan orang-orang Arab, bahwa Anda tidak akan terlindungi dari serangan mereka selama Anda tidak menjadi bangsa yang didudukinya. Apakah Anda menerima menjadi budak mereka?’
Semua pembesar itu lantas menjawab dengan sangat berkobar, ‘Kami akan mati, namun kami tidak akan dapat menerima penghinaan ini.’
Di waktu pagi, pasukan Romawi lantas bergerak dengan segenap semangat dan persenjataan mereka, dimana kaum Muslim pun terheran-heran. Melihat ini, Hadhrat Khalid menyusun barisan pasukannya dengan cara terbaru tanpa berpegang pada aturan Arab yang umum.”[10]
(Tatkala Hadhrat Khalid melihat, bahwa bangsa Romawi bergerak dengan segenap semangat dan persenjataan mereka, maka beliau tidak berpegang pada aturan Arab yang umum, namun sebaliknya Hadhrat Khalid menyusun barisan pasukannya dengan cara yang baru).
“Barisan terdepan yang berjumlah 30 sampai 35 ribu, beliau bagi menjadi 36 bagian, lalu beliau mengatur barisan depan dan belakang dengan sangat terpadu.[11] [komando] Pasukan tengah diberikan kepada Abu Ubaidah. Pasukan sayap kanan diberikan kepada Amru bin ‘As dan Syurahbil. Komando sayap kiri diberikan kepada Yazid bin Abu Sufyan. Selain itu, di setiap barisan dipilih satu kepala regu, yaitu mereka yang pemberani dan berpengalaman di dalam taktik berperang.
Para juru pidato yang dengan kekuatan ucapannya mereka dapat menanamkan kekuatan di dalam diri segenap orang (mereka yang dapat membangkitkan semangat) diberi tugas untuk mengobarkan semangat kepada segenap tentara melalui pidato-pidato mereka. Diantara mereka ada Abu Sufyan, yang berjalan dan berseru di hadapan para prajurit, ‘Allah merupakan penjaga engkau, wahai bangsa Arab dan penolong bagi Islam. Sementara mereka adalah penjaga Romawi dan pelindung syirk. Wahai Allah, hari ini pun merupakan bagian dari hari-hari Engkau. Wahai Allah, turunkanlah pertolongan Engkau atas hamba-hamba-Mu ini.’
Amru bin al-‘Ash berseru, ‘Wahai orang-orang, turunkanlah pandangan-pandanganmu, duduklah berlutut, turunkanlah tombakmu, dan tetaplah berada di tempat dan barisanmu. Tatkala musuhmu menyerangmu, maka ulurlah waktu mereka. Hingga tatkala ujung tombak mereka mulai melukai, maka sergaplah mereka seperti halnya singa. Demi wujud Tuhan yang mencintai kebenaran dan memberi pahala atasnya, dan murka atas kedustaan dan memberi hukuman atasnya, dan memberi ganjaran atas perbuatan ihsan, Sesungguhnya saya telah menerima kabar bahwa sebagaimana kaum Muslim sebelum ini telah meraih kemenangan di desa demi desa, istana demi istana, maka ia pun akan menaklukkan negeri ini. Oleh karena itu, janganlah Anda sekalian menjadi takut akan jumlah dan banyaknya mereka. Jika Anda sekalian bertempur dengan penuh kegigihan, maka akan turun ketakutan pada diri mereka layaknya anak-anak burung tanah dan mereka akan tercerai-berai.’
Meskipun jumlah pasukan Muslim adalah lebih sedikit, yakni tidak lebih dari 30 sampai 35 ribu prajurit, namun mereka adalah prajurit pilihan dari penjuru Arab. Di antara mereka ada 1000 (seribu) orang Sahabat yang pernah menyaksikan wajah Rasulullah (saw) yang penuh berkat. Ada 100 (seratus) orang sahabat terkemuka yang pernah bertempur bersama Rasulullah (saw) di perang Badr. Diantara pasukan Muslim, ada lebih dari 10.000 Muslim yang hanya berasal dari satu kabilah Arab yang masyhur yaitu kabilah Azd. Ada juga sejumlah banyak prajurit yang merupakan anggota kabilah Humair. Dari kalangan Hamdan, Khaulan, Lahm, Judzam, dan lain sebagainya adalah para sosok pemberani mereka.
Salah satu kelebihan pertempuran ini adalah, kaum perempuan pun ikut serta di dalamnya, dan mereka bertempur dengan sangat berani. Ibunda Amir Mu’awiyah yang juga istri Abu Sufyan, Hindun yang sudah memeluk Islam, maju bertempur seraya berseru, ‘Tebaslah dan singkirkanlah orang-orang kafir tersebut dengan pedang-pedangmu.’[12] Demikian pula, putri Abu Sufyan dan saudari Amir Mu’awiyah (Juwairiyah) pun maju bersama pasukan mereka dan memerangi pasukan Romawi bersama suami-suami masing, dan beliau pun mati syahid setelah menempuh pertempuran yang sengit.
Miqdad, yang memiliki suara sangat indah, beliau maju ke depan seraya terus menilawatkan surah Al-Anfal yang di dalamnya ditekankan tentang jihad.
Sementara itu gelora yang diperlihatkan oleh tentara Romawi adalah sedemikian rupa, dimana sebanyak 30.000 prajurit memasang rantai di kakinya sehingga tidak ada lagi pikiran untuk mundur. (mereka satu dengan yang lain dikaitkan dengan rantai di kakinya). Pertempuran diawali dengan pergerakan pasukan Romawi. Sejumlah 200.000 pasukan Romawi bergerak maju bersama-sama laksana kawanan belalang. Ribuan pendeta dan uskup pun maju seraya memegang salib di tangan mereka, dan memekikkan kata ‘hidup’ pada wujud Hadhrat Isa (Yesus).
Melihat pergerakan yang besar ini, dalam sekejap keluar ucapan dari mulut seseorang, ‘Allahu Akbar, betapa laskar yang tak terhingga.’ Hadhrat Khalid dengan penuh gelora menjawab, ‘Diamlah. Demi Tuhan, jika derap kaki kuda saya masih baik, saya akan berkata, tambahkanlah laskar sebanyak ini lagi.’[13]
Alhasil, kaum Kristen menyerang dengan sangat dahsyat dan maju seraya menghujankan anak panah. Kaum Muslim berusaha bertahan hingga sedapat mungkin. Namun serbuan mereka sedemikian dahsyat hingga barisan sayap kanan Muslim pun terpisah dari pasukan induknya dan mundur dengan sangat tercerai-berai.
Mereka yang menanggung kekalahan tersebut mundur hingga tiba di kemah para wanita. Melihat keadaan prajurit Muslim seperti demikian, mereka menjadi sangat marah dan mencabut kayu-kayu kemah mereka seraya berseru, ‘Wahai kaum kafir, kemarilah! kami akan menebas kalian dengan kayu-kayu ini.’ Hindun, istri Abu Sufyan maju seraya memegang tongkat di tangannya. Para wanita yang lain pun maju mengikutinya. Hindun melihat Abu Sufyan (suaminya) yang mundur, maka ia pun menampar muka kudanya dan berkata, ‘Kemana akan pergi? Kembalilah, dan pergilah ke medan juang!’
Ada satu riwayat lain seperti demikian dimana Hindun mencabut kayu lalu bergegas menuju Abu Sufyan dan berkata, ‘Demi Tuhan, dahulu Anda sungguh keras dalam melawan agama yang hakiki dan mendustakan rasul Tuhan yang sejati. Sekarang adalah kesempatan untuk mengorbankan jiwa di medan pertempuran demi meninggikan agama yang hakiki dan demi [meraih] keridaan rasul Tuhan.’
Timbul semangat membara di diri Abu Sufyan dan dalam sekejap dengan pedang terhunus ia maju menyeruak di lautan pasukan musuh.
Seorang wanita Muslim pemberani lain bernama Khaulah, membacakan syair seraya membangkitkan gelora di dalam diri segenap orang, يَا هَارِبًا عَنْ نِسْوَةٍ تَقِيَّاتْ * فَعَنْ قَلِيلٍ مَا تَرَى سبيات * ولا حصيات وَلَا رَضِيَّاتْ * artinya, ‘Hai, para lelaki kabur dari melindungi para wanita bertakwa! Jika kalian tetap demikian, dalam waktu dekat ‘kan kau saksikan mereka tertawan, bukan sebagai pemenang dan yang disukai.’
Melihat keadaan ini, Mu’az bin Jabal yang merupakan salah satu pemimpin di barisan sayap kiri, beliau lantas melompat dari kudanya dan berkata, ‘Saya akan bertempur dengan kedua kaki saya [maksudnya jalan kaki]. jika ada sosok pemberani yang sanggup menunggangi kuda, kuda ini bersedia.’
Putra beliau berkata, “Ya, saya bersedia menggantikannya. Dengan menungganginya, saya akan berperang lebih baik.’ Alhasil, kedua ayah dan anak pun masuk di tengah pasukan seraya bertempur dengan penuh keberanian, hingga kaki kaum Muslim yang tengah terjatuh pun dapat tegak kembali.
Bersamaan dengan itu, Hajjaj (الحجاج بن عبد يغوث بن عمرو بن الحجاج الزبيدي) yang adalah pemimpin kabilah Zubaidi (az-Zabidi), maju bersama 500 prajuritnya dan mampu menahan laskar Kristen yang terus mengejar pasukan Muslim.[14] Di bagian sayap kanan, kabilah Azd terus bertahan semenjak awal pertempuran. Laskar Kristen mengerahkan segenap kekuatan untuk menyerang mereka namun mereka terus bertahan laksana gunung. Peperangan yang sedemikian rupa sengit ini hingga kepala dan tangan pun berjatuhan, tidak membuat mereka bergeming dan terus bertahan. Amru bin Tufail, pemimpin kabilah, terus menebaskan pedangnya seraya berseru, ‘Wahai kabilah Azd, janganlah sedikitpun Anda jadikan kaum Muslim tercacat akibat kecerobohan Anda sekalian.’ Sembilan ksatria musuh tumbang di tangannya hingga pada akhirnya pun beliau mati syahid.
Hadhrat Khalid memposisikan pasukannya di belakang, secara seketika menerobos barisan musuh dan menggempur dengan dahsyatnya hingga membolak balikkan barisan pasukan romawi.
Ikrimah bin Abu Jahal memposisikan kudanya di depan dan berkata kepada pasukan Kristen, ‘Pada suatu masa, dalam keadaan kafir aku pernah bertempur melawan Rasulullah, lantas apakah pada hari ini kakiku akan mundur dalam menghadapi kalian?’ Setelah mengatakan demikian, ia melihat ke arah pasukan dan berkata, ‘Siapa diantara kalian yang siap mati?’ Keempat ratus orang yang mana diantaranya adalah Dhirar Bin Azwar menyatakan siap untuk mati dan bertempur dengan tanpa gentar sehingga lebih kurang semuanya syahid. Tubuh Ikrimah yang masih menyisakan sedikit nafas, didapati tergeletak diantara tumpukan mayat.
Khalid meletakkan kepala Ikrimah diatas pahanya lalu menyipratkan air pada leher dan berkata, ‘Demi Tuhan! Anggapan ‘Umar bahwa kita tidak akan mati syahid, telah keliru.’
Alhasil, meskipun Ikrimah dan kawan-kawannya telah wafat namun mereka telah terlebih dulu menghancurkan ribuan laskar Romawi.
Begitu juga gempuran Khalid telah semakin menghancurkan kekuatan Romawi hingga akhirnya mereka terpaksa mundur. Khalid terus menekan mereka hingga mendapati Jenderal mereka Daranjar (درنجار). Para pasukan Romawi menutupi mata mereka dengan kain sapu tangan supaya jika mereka tidak dapat memperoleh kemenangan, mata mereka tidak melihat kekalahan. Pada saat itu juga, ketika pada pasukan sayap kanan terlibat pertempuran, Ibnu Qanathir (ابن قناطير), pemimpin pasukan sayap kanan Romawi melancarkan serangan pada pasukan Muslim yang terdapat pada bagian kiri. Namun, sayangnya pada bagian kiri pasukan Muslim tersebut terdiri dari kebanyakan prajurit dari kabilah Lakham dan Ghasaan (بني لخم وغسان) yang menghuni berbagai penjuru Syam dan sudah sejak lama menjadi pembayar pajak [taklukan] bagi bangsa Romawi. Rasa takut (segan) terhadap bangsa Romawi yang terdapat dalam diri mereka menimbulkan dampak dimana pada serangan pertama saja, mereka sudah melarikan diri. Meskipun mereka sudah Muslim namun rasa takut pada bangsa Romawi masih melekat dalam diri mereka. Namun, para komandan mereka memperlihatkan keberanian. Jika para komandan memperlihatkan rasa ciut, maka peperangan akan berakhir.
Pasukan Romawi mengejar pasukan Muslim yang melarikan diri hingga ke perkemahan. Melihat keadaan demikian, para wanita Muslim spontan keluar dan keberanian mereka menghalangi pasukan Kristen itu. Meskipun pasukan Muslim sudah kacau balau, namun diantara para komandannya Qabats bin Asy-yama (قَبَاثُ بْنُ أَشْيَمَ), Said Bin Zaid, Yazid Bin Abi Sufyan, Amru Bin al-‘Ash, Syarjil (Syurahbil) bin Hatsanah memberikan pujian atas keberanian mereka.
Pedang dan pisau terjatuh dari tangan Qabats, namun tidak membuatnya gentar sedikit pun. Ketika pisau terjatuh, lalu berkata: Apakah ada yang dapat memberikan senjata pada orang yang telah berikrar kepada Tuhan yakni jika harus mundur dari perang, penyebabnya adalah kematian. Orang-orang langsung memberikan pedang atau pisau kepadanya, lalu layaknya seekor singa ia langsung merangsek kearah musuh.
Abul A’war melompat dari atas kuda lalu berbcara kepada prajurit yang tengah berkendara: Dalam kesabaran dan keteguhan didunia terdapat kehormatan dan diakhirat terdapat rahmat. Jangan biarkan hart aini lepas dari genggaman. Said Bin Zaid berdiri pada lutut dengan marah. Pasukan Romawi datang menghampirinya, lalu ia merangsek layaknya singa lalu menumbangkan komandan musuh dan membunuhnya. Yazid Bin Abi Sufyan, saudara Muawiyah tengah bertempur dengan penuh semangat.
Secara kebetulan ayahnya, Abu Sufyan yang biasa menyemangati pasukan datang mendekatinya. Ketika melihat sang putra, berkata, ‘Wahai anakku! Saat ini di medan perang satu per satu prajurit menampilkan keberanian, engkau adalah komandan dan engkau harus menampilkan keberanian yang lebih dibandingkan prajurit. Jika ada satu saja prajurit yang terpencar darimu di medan perang, maka itu sangat memalukan bagimu.’
Keadaan Syarjil (Syurahbil bin Hatsanah) saat itu tengah berdiri bagaikan gunung berada di tengah-tengah kepungan pasukan Romawi sambil membaca ayat Al Quran berikut, إنَّ اللّه اشْتّرّى مِنَ المـُؤمِنِيْنَ أنْفُسَهُمْ وَأموالَهم بِأنَّ لَهُم الجنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقتُلونَ ويُقْتَلون ‘Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin jiwa mereka dan harta mereka dan sebagai gantinya bagi mereka tersedia surga; sebab mereka berperang pada jalan Allah, dan mereka membunuh atau terbunuh.’ (Surah at-Taubah, 9:111) Lalu meneriakkan yel-yel, ‘Dimanakah orang-orang yang berjual beli dengan Allah Ta’ala dan manakah orang-orang yang berada dalam naungan Tuhan?’
Para prajurit yang mendengar suara tersebut, spontan kembali hingga pasukan yang telah berhamburan menyatu lagi dan Syarjil mengajak mereka untuk bertempur dengan penuh keberanian sehingga pasukan Romawi yang tengah bertempur terhenti untuk maju.
Di sisi lain, para wanita Muslim keluar dari kemahnya lalu berdiri menghalangi pasukan Muslim yang mundur kemudian berkata dengan suara tinggi, ‘Jika kalian mundur dari medan perang, kalian tidak akan melihat wajah kami lagi.’
Kedua belah pihak yang berperang sampai saat itu masih berimbang, namun peluang kemenangan cenderung berada di pihak pasukan Romawi.
Khalid menugaskan Qais Bin Hubairah (قيس بن هبيرة) dengan memberikan satu bagian pasukannya dan menetapkannya pada bagian belakang kiri pasukan. Qais pun muncul secara tiba-tiba dari belakang lalu merangsek menyerang pasukan Romawi sehingga meskipun para komandan musuh berusaha untuk mengatur pertahanan namun pasukan mereka tidak bisa diatur lagi. Semua barisan mereka telah bercerai-berai, ketakutan lalu mundur. Bersamaan dengan itu, Said Bin Zaid menyerang dari arah tengah. Pasukan Romawi terus mundur hingga sampai di ujung medan perang yang merupakan sungai kecil. Tidak lama kemudian sungai tersebut dipenuhi dengan jasad-jasad dan medan perang menjadi kosong. Dengan demikian Allah Ta’ala telah menganugerahkan kemenangan kepada pasukan Muslim dalam peperangan yang sangat penting itu.
Salah satu kejadian yang perlu diingat dalam perang tersebut adalah sebagai berikut. Ketika terjadi pertempuran yang sengit dan ganas, Hubasy Bin Qais (حباش بن قيس), seorang serdadu pemberani bertempur dengan gagah berani. Ketika itu ada seseorang yang menebaskan pedang kekakinya Hubas, sehingga satu kaki beliau terputus. Sampai saat itu Hubas sendiri belum menyadari hal itu. Selang beberapa saat ia mulai menyadari dan mencari cari, apa yang terjadi dengan kakinya. Ketika terpikir untuk mencari kaki, beliau melihat ke arah kaki dan baru menyadari bahwa kakinya lepas. Orang-orang dari kabilah beliau selalu merasa bangga akan kejadian tersebut.
Berkenaan dengan jumlah korban dari pihak pasukan Romawi terdapat beda pendapat. Azdi menulis korbannya lebih dari 100 ribu orang. Baladari menulis 70 ribu. Sementara korban dari pihak Muslim 3 ribu diantaranya Ikrimah, Dhirar Bin Azwar (ضرار بن الأزور), Hisyam Bin al-Ash, Aban Bin Said dan lain-lain.
Kaisar Romawi saat itu tengah berada di Antakiyah (Antiokhia, Turki sekarang) ketika ia mendapatkan kabar kekalahan pasukannya sehingga saat itu juga bersiap untuk berangkat pulang ke Kostantinopel (Bizantium). Ketika berjalan mengarah ke Syam ia berkata, ‘Selamat tinggal Syam (Suriah)!’
Abu Ubaidah menulis surat kepada Hadhrat ‘Umar untuk mengirimkan kabar kemenangan dan mengirimkan beberapa orang yang diantaranya adalah Hudzaifah Bin Yaman. Hadhrat ‘Umar telah berhari-hari tidak bisa tidur karena menunggu kabar Yarmuk. Ketika mendengar kabar kemenangan, beliau serta-merta tersungkur sujud dan memanjatkan syukur ke hadirat Allah Ta’ala.”[15]
Dalam menjelaskan mengenai pasukan Islam dari Hims terpaksa pindah untuk sementara ke Yarmuk sehingga pajak yang diambil pasukan Muslim dari mereka dikembalikan lagi kepada mereka, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Pada saat umat Muslim bertempur dengan bangsa Romawi, semakin luas capaian taklukannya sehingga dapat menaklukan Yerusalem yang merupakan basis Kristen. Kemudian area kekuasan semakin meluas. Setelah orang-orang Kristen mengetahui bahwa pusat agama mereka beralih ke tangan pasukan Muslim, mereka bermaksud untuk melakukan upaya terakhir guna mengusir pasukan Muslim dari sana. Mereka mengumumkan keempat penjuru untuk melakukan jihad agama dan membangkitkan semangat orang-orang Kristen. Setelah itu mereka mengumpulkan laskar dalam jumlah besar dan melakukan persiapan untuk menyerang Islam. Setelah melihat serangan dahsyat tersebut, pasukan Muslim yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mereka, memutuskan untuk mundur.
Komandan laskar Islami menulis kepada Hadhrat ‘Umar menyampaikan, ‘Jumlah pasukan musuh sangat banyak. Sedangkan pasukan Muslim sedikit. Untuk itu menghadapi mereka dalam keadaan demikian, sama saja dengan menghancurkan laskar sendiri. Jika tuan (Hadhrat ‘Umar) mengizinkan, untuk mengatur lagi barisan pasukan Musim dan memperkecil medan perang, laskar Islam mundur supaya dapat menghadapi musuh dengan menyatukan seluruh kekuatan.’[16]
Seiring dengan itu beliau pun menulis, ‘Kami pun telah menarik pajak dari orang-orang yang telah ditaklukan. Jika tuan mengizinkan untuk meninggalkan daerah-daerah itu, mohon petunjuk tuan berkenaan dengan pajak yang telah ditarik ini?’
Hadhrat ‘Umar menjawab, ‘Mempersempit medan perang dan menyatukan seluruh kekuatan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun perlu diingat bahwa pajak ditarik dari penduduk dengan syarat laskar Islami akan memberikan perlindungan kepada mereka. Jika laskar Islam mundur, berarti laskar tidak akan bisa lagi memberikan perlindungannya di daerah-daerah itu. Karena itu, perlu agar mengembalikan apa-apa yang telah ditarik dari mereka.’
Ketika perintah Hadhrat ‘Umar tersebut sampai, para komandan Islam memanggil para tokoh, pedagang dan orang-orang penduduk di sana lalu mengembalikan harta yang telah ditarik dari mereka.
Para Amir (komandan) Muslim lalu berkata kepada mereka, ‘Uang ini telah ditarik dari Anda dengan syarat bahwa laskar Islam akan memberikan perlindungan kepada Anda. Namun, ketika saat ini kami mendapati diri kami lemah dalam menghadapi lawan, dan untuk sementara kami mundur, untuk itu kami tidak dapat memberikan perlindungan lagi kepada Anda dan tidak dibenarkan jika kami tetap menyimpan uang uang ini.’
Ini merupakan teladan yang tidak pernah ditampilkan oleh sejarah atau oleh raja manapun. Ketika seorang raja meninggalkan suatu daerah kekuasaannya, biasanya, daripada mengembalikan pajak dan lain-lain yang telah mereka tarik, justru semakin banyak merampas dari daerah-daerah tersebut. Karena para raja berfikir bahwa sekarang daerah kekuasaannya ini akan beralih tangan ke orang lain sehingga sebisa mungkin merampas segala sesuatu yang bisa diambil dari daerah ini. Karena memang mereka tidak akan tinggal lagi di daerah kekuasaan itu untuk itu sudah tidak peduli lagi jika nama baiknya rusak. Adapun jika hal itu menimpa suatu pemerintahan yang sudah sangat mapan, yang akan dilakukan paling banter memerintahkan laskar untuk mundur secara diam diam dan tidak membiarkan untuk merampas lebih banyak lagi.
Namun teladan yang ditampilkan oleh laskar Islam, semenjak dunia ini diciptakan, contoh demikian hanya Nampak pada zaman Hadhrat ‘Umar ra. Bahkan sangat disayangkan, jika zaman di kemudian hari diikutsertakan, tidak dijumpai contoh semisal di dunia ini yaitu ketika seorang penakluk meninggalkan daerah taklukannya, mengembalikan semua pajak atau jizyah yang telah ditarik dari daerah taklukan itu.
Teladan tersebut sedemikian rupa memberikan kesan sangat baik di hati para penduduknya yang beragama Kristen bahwa meskipun para pasukan yang seagama dengan mereka tengah melakukan serangan kepada pasukan Muslim; meskipun para jenderal, kolonel, komandan dan prajurit yang notabene saudara sebangsa mereka; meskipun bagi orang Kristen peperangan tersebut diyakini sebagai perang agama; meskipun markas agama Kristen terlepas dari tangan mereka dan beralih ke tangan pasukan Muslim dan mereka tengah bermimpi untuk meraih kemerdekaan; meskipun adanya semua fakta tersebut, namun para pria dan para wanita mereka keluar dari rumah rumah mereka, sambil menangis dan terus mendoakan agar pasukan Muslim pulang lagi ke daerah mereka.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam mengenai sejarah menyampaikan bahwa pasukan-pasukan Muslim berpindah tempat kembali menuju ke posisi lebih awal setelah terlebih dahulu memohon izin dari Hadhrat ‘Umar, kemudian pajak yang telah mereka pungut dari wilayah-wilayah taklukan mereka pun dikembalikan lagi kepada penduduk tersebut.
Berkenaan dengan Ikrimah, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Pada zaman Hadhrat ‘Umar ra ketika nyawa pasukan Muslim dalam bahaya dan banyak sekali dari antara mereka yang syahid, saat itu komandan tertinggi laskar Islam, Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarrah berkata, ‘Saya ingin agar tampil beberapa pemberani yang meskipun jumlahnya tidak banyak namun dapat berjuang mati-matian untuk memberikan shock therapy (terapi mengejutkan) kepada pasukan Romawi.’
Kemudian Hadhrat Ikrimah tampil dan memohon kepada Hadhrat Ubaidah dengan berkata, ‘Mohon kiranya berikan saya kesempatan untuk memilih orang-orang yang saya kehendaki yang dapat saya bawa untuk menyerang jantung pertahanan musuh dan saya akan berupaya untuk membunuh Jenderalnya juga.’
Pada saat itu jenderal laskar musuh tengah melakukan gempuran dahsyat. Rajanya berjanji pada sang jenderal, jika ia dapat memenangkan pertempuran melawan pasukan Muslim, maka raja akan menikahkan sang jenderal dengan putrinya dan akan menyerahkan setengah dari kekuasaannya kepadanya. Disebabkan oleh iming-imingan tersebut, sang jenderal sangat menggebu-gebu dan langsung turun ke medan tempur dengan membawa pasukan pribadi dan juga kerajaan. Ia juga telah menjanjikan hadiah uang yang besar kepada para pasukan. Untuk itu para laskar Romawi pun bertempur dengan sekuat tenaga. Ketika laskar Romawi, menggempur pasukan Muslim, sang jenderal tengah berdiri di jantung pertahanan.
Hadhrat Ikrimah dengan membawa 400 pasukan menggempur jantung (pusat atau pimpinan) pertahanan musuh dan salah satu diantara pasukannya menyerang sang Jenderal lalu menumbangkannya. Pasukan musuh yang bertempur saat itu jumlahnya ratusan ribu sedangkan pasukan Muslim hanya berjumlah 400 orang saja, untuk itu pertempuran tidaklah mudah. Mereka dapat membunuh jenderal musuh dan disebabkan oleh matinya sang jenderal, laskar pun bercerai berai, namun pasukan musuh menggempur pasukan Muslim sehingga menyebabkan syahidnya sebagian besar dan hanya menyisakan beberapa diantaranya. Diantara orang-orang tersebut 12 orang diantaranya mengalami luka parah.
Ketika lasykar Muslim mengalami kemenangan, mereka mulai mencari para pejuang Muslim yang luka. Diantara 12 orang yang terluka parah itu salah satunya adalah Ikrimah. Ada seorang prajurit yang datang menghampiri pasukan yang terluka itu, melihat keadaan Ikrimah yang luka parah, prajurit itu berkata: Wahai Ikrimah, saya membawa air, silahkan kamu minum darinya.
Ada seorang prajurit yang datang menghampiri pasukan yang terluka itu. Melihat keadaan Ikrimah yang luka parah, prajurit itu berkata, ‘Wahai Ikrimah, saya membawa air, silahkan kamu minum darinya.’
Ikrimah mengarahkan pandangan ke arah lain dan melihat ada putra Hadhrat Abbas yang tengah tergeletak dalam keadaan terluka parah juga. Ikrimah berkata kepada prajurit yang membawa air itu, ‘Bagaimana mungkin saya tega membiarkan beliau gugur disebabkan oleh kehausan – beliau anak keturunan dari orang-orang yang dahulu selalu menolong Hadhrat Rasulullah (saw) padahal saya dulunya adalah penentang keras Rasulullah (saw) – sementara saya masih hidup karena meminum air.’
Hadhrat Ikrimah berkata, ‘Silahkan terlebih dahulu berikan air ini kepada Hadhrat Fadhl Bin Abbas, jika nanti air masih tersisa, silahkan bawa lagi ke sini.’
Prajurit yang membawa air itu pergi menuju Hadhrat Fadhl Bin Abbas (الفَضْلُ بنُ العَبَّاسِ بنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ), namun Hadhrat Fadhl pun menolaknya dan meminta supaya air itu diberikan kepada sahabat lain yang terluka dengan berkata, ‘Orang itu lebih memerlukan air daripada saya.’
Prajurit tersebut kemudian pergi kepada orang yang ketiga namun jawaban yang diterima sama seperti sebelumnya dan tidak ada yang mau meminumnya. Setelah sampai pada orang yang terakhir, ia telah wafat lalu kembali lagi pada orang-orang sebelumnya sampai pada yang pertama yakni Ikrimah, namun semuanya ditemukan sudah wafat.”[17]
Demikianlah buah dari perang tersebut, Allah Ta’ala menganugerahkan kemenagan kepada pasukan Muslim. Ini masih akan berlanjut kedepannya, insya Allah.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (Arab).
[1] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi), rincian dialog merujuk dari Kitab Tarikh al-Kamil karya Ibnu al-Atsir.
[2] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi), rincian jalannya peristiwa merujuk dari uraian dalam Kitab Futuhul Buldaan karya al-Baladzuri, Kitab al-Kharaj karya Qadhi Abi Yusuf, Kitab Futuhusy Syam karya al-Azdi.
[3] Kitab Futuhusy Syam karya al-Azdi. Rincian peristiwa ini disebutkan Ibnu al-Wadhih al-‘Abbasi dan penulis sejarah lainnya.
[4] Tarikh ath-Thabari.
[5] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama (Matahari para Ulama) Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi).
[6] Surah an-Nisaa, 4:172-173 dengan basmalah menjadi ayat pertama.
[7] Al-Khashaish Kubra (الخصائص الكبرى) karya As-Suyuthi (السيوطي). Tercantum juga dalam Dalailun Nubuwwah karya al-Ashbahani (دلائل النبوة لإسماعيل لأصبهاني), Pasal nomor 343 menyebutkan bahwa George mengatakan, ذلك من الشاهدين فإن عيسى صلوات الله عليه قد بشرنا براكب الجمل وما أظنه إلا صاحبكم فأخبرني هل قال صاحبكم في عيسى شيئا وما قولكم أنتم فيه “Isa (Yesus) telah mengabarkan kedatangan seseorang penunggang unta (Nabi dari Arab). Beritahukanlah padaku apa kata Sahabat kalian (Nabi Muhammad saw) mengenai Isa.” Setelah mendengar penjelasan Abu Ubaidah, George kemudian bersaksi, أشهد أن هذه صفة عيسى بن مريم وأشهد أن نبيكم ﷺ صادق وأنه الذي بشرنا به عيسى عليه السلام وأنكم قوم صدق . George lalu meminta didatangkan dua orang terbaik dan terawal dari kalangan orang yang pernah berjumpa dan menemani Nabi (saw), Abu Ubaidah lalu memanggil Mu’adz bin Jabal dan Sa’id bin Zaid. George meminta perkataan jaminan surga dari mereka bila ia masuk Islam dan berjuang bersama mereka. Mereka menjawab, نعم إن أنت أسلمت واستقمت ولم تغير حتى تموت وأنت على ذلك “Iya, jika anda masuk Islam, teguh, tidak berubah hingga wafat dan Anda tetap demikian.” فأسلم وفرح المسلمون بإسلامه وصافحوه ودعوا له بخير George pun masuk Islam dan kaum Muslimin gembira akan hal itu dan mendoakannya dengan kebaikan. Menurut kedua Kitab tersebut, perbincangan George dan Abu Ubaidah dilakukan melalui penerjemah. Kemungkinan George berbicara dalam bahasa yang dominan di kekaisaran Romawi, secara berurut yaitu Latin, Yunani, lalu Armaya (Aramik). George sendiri seorang Armenia.
[8] Al-Iktifa fi Maghazi al-Mushthafa wats Tsalatah al-Khulafa-i (الاكتفاء في مغازي المصطفى والثلاثة الخلفاء): إنا إن أرسلنا رسولنا إلى صاحبكم وأنت عندنا ظنوا أنا حبسناك عنهم فنتخوف أن يحبسوا صاحبنا فإن شئت أن تأتيهم الليلة وتكتم إسلامك حتى نبعث إليهم رسولنا غدا وننظر علام ينصرم الأمر بيننا وبينهم فإذا رجع رسولنا إلينا أتيتنا عند ذلك فما أعزك علينا وأرغبنا فيك وأكرمك “Jika Anda tidak mau kembali ke mereka, pasukan Romawi akan menganggap kami telah melakukan pelanggaran janji. Karena itu, Anda harus kembali ke pasukan Romawi. Anda dapat datang lagi kemari bersama dengan duta yang akan berangkat dari pihak Muslim nanti ke pihak Romawi.”
[9] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama (Matahari para Ulama) Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi).
[10] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi).
[11] Tarikh ath-Thabari.
[12] Futuhul Buldaan.
[13] Tarikh ath-Thabari.
[14] Tarikh Madinah Dimasyq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ١٢ – الصفحة ١٠٠).
[15] Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan perang Yarmuk pada bulan Rajab tahun ke-15 Hijriyyah (636 Masehi).
[16] Memperkecil atau mempersempit medan perang maksudnya kemungkinan karena saat itu pasukan Islam tersebar di berbagai kota seperti Damaskus, Hims, Palestina dan lain-lain sementara pasukan Romawi menyatu di satu tempat dengan jumlah jauh lebih banyak dan ingin menyerang satu per satu pasukan Muslim. Dalam keadaan demikian, diambil keputusan peluang menang akan lebih besar jika dengan menyatukan kekuatan di satu tempat dan medan perang tidak berpencar. Atas hal itu pasukan Muslim dari berbagai tempat bersatu di Yarmuk. Kedua, peluang mundur dengan selamat pun besar bila pasukan Muslim mengalami kekalahan.
[17] Har Ahmadi Aurat Ahmadiyyat ki Sadaqat ka ik Zinda Nishan hai (Setiap Wanita Ahmadi adalah sebuah tanda hidup kebenaran Ahmadiyah), Anwar al-Ulum, Vol. 26, pp. 230-231.