Sifat-Sifat orang Beriman Sejati
Peresmian Masjid di Mahdiabad, Nahe, Jerman
Berbagai makna menegakkan shalat; shalat berjamaah; makna kejatuhan shalat; berbagai permisalan kelezatan dalam shalat.
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 25 Oktober 2019 (25 Ikha 1398 Hijriyah Syamsiyah/26 Shafar 1441 Hijriyah Qamariyah) di Jerman
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ () ‘Alladziina in makannaahum fil ardhi aqaamush shalaata wa atawuz zakaata wa amaru bil ma’ruufi wa nahau ‘anil mungkari. Wa lillaahi ‘aaqibatul umuur.’ – “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, membayar zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Surah al-Hajj, 22:42).
Di ayat ini Allah Ta’ala menarik perhatian orang-orang beriman kepada fakta bahwa orang-orang beriman hakiki ialah mereka yang ketika mendapatkan kekuatan setelah melewati kelemahan dan kegelisahan; ketika telah mendapatkan kedamaian dan keadaan telah lebih baik lalu dapat melaksanakan kegiatan agama dengan bebas; mereka tidak lantas menyibukkan diri untuk memenuhi hawa nafsu dan keuntungan pribadi melainkan mereka menegakkan shalat, menaruh perhatian terhadap shalat, memakmurkan masjid, mengkhidmati kemanusiaan dan membelanjakan hartanya untuk orang-orang yang memerlukan disertai rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Mereka memberikan berbagai pengorbanan untuk menyebarkan agama; mereka menyucikan hartanya dengan membelanjakan sebagian hartanya untuk menyebarkan agama Allah Ta’ala; mereka menaruh perhatian pada hal-hal yang baik dan mengajak orang lain juga untuk melakukan amalan saleh dan memenuhi hak Allah Ta’ala dan menunaikan hak-hak sesama manusia.
Mereka menghindarkan diri dari keburukan dan mencegah orang lain darinya. Mereka melakukan itu semua dengan didasari rasa takut kepada Allah Ta’ala dan mengamalkan perintah Allah Ta’ala sehingga Allah Ta’ala akan memastikan setiap amal perbuatan mereka memperoleh hasil terbaik. Penyebabnya, Allah Ta’ala-lah yang akan memutuskan hasil segala sesuatu. Maka dari itu, perbuatan apa saja yang dilakukan dengan petunjuk dan perintah Allah Ta’ala dan didasari rasa takut kepada Allah Ta’ala, tentunya akan memberikan hasil terbaik. Jadi, jika hal prinsip ini dipahami oleh kita semua maka kita akan terus menjadi peraih karunia-karunia-Nya.
Anda telah mendirikan masjid di sini, di Mahdiabad, begitu juga beberapa hari lalu kita telah meresmikan masjid di Fulda dan Giessen. Dengan karunia Allah Ta’ala, Jemaat Jerman tengah meraih taufik untuk membangun masjid di bawah proyek 100 mesjid dan tentunya para Ahmadi memberikan pengorbanan harta untuk membangun masjid atas dasar melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan keinginan untuk meninggikan mutu ibadah.
Setelah hijrah dari Pakistan ke negeri ini, keadaan ekonomi kita menjadi lebih baik. Hal ini hendaknya menjadi pengingat kita untuk membelanjakan harta di jalan Allah Ta’ala dan mendirikan rumah-Nya tempat mana kita dapat berkumpul, mendirikan shalat, dapat shalat secara berjamaah dan menciptakan keadaan dalam shalat-shalat kita hingga ke tingkat yang dapat timbul perhatian murni kepada Allah Ta’ala. Hal demikian terjadi ketika kita secara leluasa mampu memenuhi hak-hak ibadah kepada Allah Ta’ala.
Di Pakistan kita tidak mendapatkan kebebasan dalam menjalani kehidupan beragama. Hukum negara tidak mengizinkan kita membangun masjid-mesjid dan tidak mengizinkan kita melakukan aktifitas ibadah dengan bebas demi melaksanakan hak-hak Allah Ta’ala dan beribadah kepada-Nya.
Di sini kita tengah membangun masjid-masjid untuk memenuhi hak-hak Allah ta’ala dan dari sisi harta pun Allah ta’ala pun telah menganugerahkan karunia-Nya kepada kita. Setiap kita hendaknya memikirkan hal ini. Maka dari itu, kita juga akan berupaya melaksanakan hak-hak hamba-Nya dan kenyataannya kita tengah melakukan hal itu.
Kita telah baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) supaya dapat memperbaiki keadaan ruhani dan akhlaki. Maka dari itu, masjid-masjid ini hendaknya mengingatkan kita akan hal tersebut. Jadi, pemikiran dan upaya untuk mengamalkan ini semua harus terpatri di dalam benak dan hati setiap Ahmadi yang tinggal disini dan buktikanlah dengan amal perbuatan. Jika tidak, membangun masjid saja tanpa itu maka tidak ada faedahnya.
Setiap Ahmadi hendaknya ingat bahwa dengan hanya membangun masjid saja, tujuan mereka tidak lantas terpenuhi melainkan akan terpenuhi jika menaruh perhatian pada ibadah dengan tulus, menegakkan shalat-shalat, datang ke masjid untuk shalat berjamaah dan ketika dalam shalat mereka mencurahkan segala perhatiannya kepada Allah ta’ala. Jika perhatian mereka pecah kesana-kemari, segeralah alihkan perhatiannya kepada shalat dan Allah Ta’ala. Tujuan mereka ini akan terpenuhi ketika memahami hakikat bahwa ketika shalat kita tengah mendapatkan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala. Tidak hanya menggerakkan badan atau tidak hanya sujud saja atau tidak hanya mengulang-ulang kata-kata dalam bahasa Arab saja. Kita juga dapat berbicara dengan Tuhan dalam bahasa kita sendiri.
Hendaknya melaksanakan shalat dengan mengusahakan dalam corak bahwa kita akan meraih liqa Ilahi (perjumpaan atau penghadapan dengan Allah).
Dalam menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa dan sifat-sifat seorang beriman hakiki, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda bahwa mereka ialah yang melaksanakan shalat dan menegakkannya. Seorang Muttaqi sedapat mungkin menegakkan shalatnya. Artinya, ketika keadaan shalatnya mengalami kejatuhan, ia tegakkan lagi.
Beliau (as) bersabda, “Seorang Muttaqi selalu takut kepada Allah Ta’ala dan menegakkan shalat. Dalam keadaan demikian terdapat berbagai macam waswas dan rintangan yang menganggunya ketika berhadapan dengan Allah Ta’ala.”
Waswas dan khayalan mengalihkan pusat perhatian kita dari Allah Ta’ala. Inilah yang dimaksud dengan jatuhnya shalat. Yang dimaksud dengan menegakkannya kembali adalah memusatkan lagi perhatian kepada Allah ta’ala.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan, “Akan tetapi, jika di dalam hati tersebut terdapat ketakwaan maka seorang muttaqi yang merupakan seorang beriman hakiki tetap menegakkan shalatnya dalam keadaan dilema diri seperti itu.”
Artinya, memang shalat kadang mengalami kejatuhan dan perhatian pecah kesana-kemari namun ketakwaan menuntutnya berusaha untuk menegakkan kembali shalatnya dan memfokuskan lagi segenap perhatiannya pada menegakkan shalat dan Allah Ta’ala. Inilah yang dinamakan mendirikan shalat.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Ia berkali-kali menegakkan shalatnya dengan gigih. Jika manusia dapat menegakkan shalatnya secara istiqamah dan terus berusaha meraih standar tinggi dalam shalatnya makan akan tiba suatu masa ketika Allah Ta’ala menganugerahkan hidayah kepadanya dengan perantaraan kalam-Nya.”
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan perihal petunjuk. Apa itu hidayah (hidayah)? Beliau (as) bersabda, “Itu merupakan keadaan tatkala seseorang tidak mendapatkan kendala lagi dalam upaya untuk menegakkan shalat. Shalatnya tidak mengalami kejatuhan. Tidak juga perhatiannya hilang lalu fokus lagi. Ia tidak mengalami hal itu bahkan setelah meraih hidayah, shalat baginya merupakan makanan. Asupan makanan adalah perlu untuk keberlangsungan tubuh manusia. Begitu juga untuk perkembangan ruhani, shalat menjadi asupannya.
Sebagaimana manusia tidak dapat hidup tanpa makanan jasmani, (ini saya jelaskan) seperti itu jugalah tanpa shalat kehidupan tidak dapat berlangsung. Tidak juga kita makan hanya demi kelangsungan hidup, bahkan makanan juga memberikan kelezatan.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Seseorang diberikan kelezatan sedemikian rupa selama shalat yang mana mempunyai persamaan dengan seseorang yang tengah haus berat terobati dengan meminum air sejuk. Sebab, ia akan meminumnya dengan penuh semangat lalu merasa kenyang dan lezat. Jika seseorang mengalami haus nan sangat dan dalam keadaan tidak mampu menemukan air maka kesenangan yang dialaminya ialah ketika suatu saat ia menemukan air, dan air sejuk tersebut yang untuk ia minum ialah sama seperti kelezatan yang dirasakan seseorang yang telah mendapatkan hidayah hakiki dalam shalat mereka.”
Permisalan lain yang Hadhrat Masih Mau’ud (as) berikan ialah jika ada orang yang tengah kelaparan lalu mendapatkan makanan yang lezat maka ia akan memakannya dan bahagia karenanya. Demikian pula pada hakikatnya kebahagiaan yang didapatkan oleh orang yang melakukan shalat secara hakiki. Jadi, shalat hakiki adalah shalat yang dilakukan dengan kecintaan, bukan menganggapnya sebagai beban. Bahkan, Hadhrat Masih Mau’ud (as) memberikan contoh bahwa bagi seorang beriman hakiki, shalat membuatnya seperti pemabuk. Jika tidak meminum minuman keras maka itu akan membuatnya sangat menderita. Sebagaimana seorang pemabuk, jika tidak mabuk maka ia akan menderita, gelisah dan tidak tenang.
Namun demikian, sebagai hasil mendirikan shalat maka hatinya akan bahagia dan merasakan kesejukan.
Beliau (as) bersabda, “Kelezatan yang diraih oleh orang yang shalat secara hakiki tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.“
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan bahwa seorang yang beriman lagi muttaqi mengalami kelezatan dalam shalat. Maka dari itu, lakukanlah shalat dengan sebaik-baiknya. Shalat merupakan akar dan tangga untuk meraih setiap kemajuan. Dikatakan, الصلاة معراج المؤمن “Ash-shalaatu mi’rajul Mu-min” – “Shalat merupakan miraj (tangga) bagi orang beriman yang dengan perantaraannya ia dapat sampai kepada Allah Ta’ala.”1
Dengan demikian, kita membangun masjid bertujuan untuk melaksanakan shalat-shalat yang seperti itu. Jika kita menaruh perhatian untuk membangun masjid maka kita melakukannnya demi meraih mi’raj (tangga) ini yang mana diperlukan sebagai sarana yang dapat membawa kita kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala. Jadi, janganlah berputus asa dalam meraih maqam (kedudukan) ini. Dengan upaya yang berkesinambungan, Allah Ta’ala akan memberikan maqam (kedudukan) tersebut.
Banyak sekali orang yang bertanya bahkan sampai sekarang menulis kepada saya menanyakan mengenai ketika shalat mereka tidak dapat fokus. Inilah obatnya, yaitu berusahalah terus untuk menegakkan kembali tawajjuh (memusatkan perhatian).
Dalam suatu acara seseorang pernah bertanya kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), “Akhir-akhir ini saya tidak merasakan kelezatan dan kekhusyu’an ketika shalat, saya sangat menderita karenanya, karena saya pernah merasakan lezatnya shalat. Selalu timbul keraguan tanpa sebab padahal saya selalu menghindarinya. Tetapi, waswas itu tidak lepas dari benak saya. Apa yang harus saya lakukan saat ini?”
Beliau (as) menjawab, “Ini pun merupakan karunia dan kebaikan dari Allah Ta’ala sehingga manusia tidak dikuasai sepenuhnya oleh waswas tersebut. Meskipun waswas keraguan itu dapat berkembang, namun begitu seseorang menyadarinya, ia membiarkannya menguasainya.
Ketika tercipta keadaan tatkala seseorang tidak membiarkan waswas itu menguasainya, ini pun merupakan keadaan berpahala. Dia adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sehingga Dia juga memberikan ganjaran-Nya atas amal perbuatan orang tersebut.”
Beliau bersabda: “Orang yang berada pada tingkatan nafsu amarah tidak menyadari apa itu keburukan sehingga terus melakukan keburukan. Sesesorang yang berada pada tingkatan Nafsu Lawwamah setelah melakukan keburukan ia merasa takut lalu menyesalinya. Dalam keadaan demikian Allah Ta’ala pun memberikan ganjaran kepadanya. Ia merasa malu dan menyesali lalu bertaubat. Orang yang seperti itu bukanlah hamba hawa nafsu.”
Beliau (as) bersabda, “Tidak perlu khawatir jika timbul waswas dan khayalan. Jika seseorang mengalaminya lalu berusaha menjauhkannya maka ia akan mendapatkan ganjaran. Allah Ta’ala memberikan ganjaran-Nya. Keadaan demikian sampai batas tertentu diperlukan juga. Tidak perlu khawatir, karena dalam keadaan demikian terdapat ganjaran yang besar sampai-sampai Allah Ta’ala sendiri akan menurunkan nur dan ketentraman kepadanya.
Ketika waktu datangnya rahmat Ilahi itu turun, seseorang akan merasakan kesejukan dan kepuasan. Ia tidak akan lagi dalam keadaan seperti yang tadi. Hendaknya seseorang yang seperti itu tidak kenal lelah dan ketika shalat biasakanlah banyak-banyak membaca doa, يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ‘Ya Hayyu Ya Qayyum ubi-Rahmatika astaghits’ (Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak memerlukan segala sesuatu, dengan rahmat Engkau, hamba minta pertolongan).2
Namun ingatlah, ketergesa-gesaan adalah suatu hal yang merugikan. Islam mengajarkan untuk tidak tergesa-gesa. Jadilah pemberani. Siapa saja yang memperlihatkan ketergesa-gesaan, dia bukanlah pemberani melainkan pengecut. Setelah bekerja keras selama bertahun-tahun akhirnya serangan setan melemah lalu membuat setan itu melarikan diri.”
Dengan demikian, prinsip ini hendaknya selalu diingat bahwa seseorang hendaknya tidak tergesa-gesa dan berpeganglah terus pada Allah Ta’ala dan tunduklah kepada-Nya. Pada akhirnya syaitan akan menyerah dan kabur. Namun, jika tergesa-gesa dan tidak berupaya keras untuk menegakkan shalat maka manusia akan berada dalam cengkeraman setan. Yang tampak biasanya manusia tergesa-gesa jika tidak mendapatkan hasil yang cepat lalu mengatakan bahwa doa-doa yang ia panjatkan itu tidak membuahkan hasil.
Hendaknya diingat, jika manusia melulu meminta hal-hal duniawi saja, Allah Ta’ala tidaklah mengabulkan doa-doa seperti itu. Namun jika meminta kemajuan ruhani dan jasmani dan Qurb (kedekatan) Ilahi maka Allah akan mendekat padanya lalu memenuhi segala kebutuhan duniawinya.
Untuk meminta kepada Allah Ta’ala ada metode dan prinsip yang harus kita tempuh. Jika tidak bagaimana mungkin di satu sisi Allah Ta’ala berfirman, ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ud’uunii astajiblakum, artinya, ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku pasti akan mengabulkannya.’ Di sisi lain, seorang hamba menyeru, namun Tuhan tidak mendengarnya. Dalam menjelaskan topik ini Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Di dalam shalat terdapat doa-doa dan shalawat. Itu semua dalam Bahasa Arab. Akan tetapi, tidaklah diharamkan bagi kalian jika berdoa dalam bahasa sendiri. Adalah perintah Tuhan supaya shalat dilakukan dengan tadharru’ (merendahkan hati) dan khusyu. Ciptakanlah kerendahan hati dan lembutkanlah hati sehingga tercipta rasa takut dalam hati yaitu, ‘Aku tengah berdiri di hadapan Allah dan memohon kepada–Nya.’
Shalat yang dilakukan dengan penuh kerendahan hati akan menjauhkan dosa-dosa sebagaimana Allah berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ‘Innal hasanaati yudzhibnas sayyiaat’- Artinya, kebaikan menjauhkan keburukan. Yang dimaksud kebaikan di sini adalah shalat. Khusyu’ dan kerendahan hati dapat diraih dengan meminta dalam bahasa sendiri.
Artinya, jika timbul kerendahan hati maka hati manusia menjadi meleleh. Jika ia meminta dalam bahasanya baru akan tercipta keadaan itu yaitu manusia paham apa yang sedang dimintanya. Jadi, biasakan juga untuk berdoa dalam Bahasa sendiri.”
Beliau (as) lebih lanjut bersabda, “Doa-doa yang telah Allah Ta’ala ajarkan sangatlah penting. Ucapkanlah doa-doa itu. Doa terbaik diantaranya adalah Al–Fatihah karena Al–Fatihah adalah doa yang lengkap. Di dalam surah Al–Fatihah, Allah Ta’ala mengajarkan suatu doa kepada kita, ‘Ihdinash shiraatal mustaqiim’. Maknanya sangatlah luas.”
Dalam menjelaskan hal itu beliau (as) bersabda, “Ketika seorang petani menguasai bidang pekerjaannya berarti petani tersebut telah sampai pada shiraatal mustaqiim dalam bidang pertanian. Ketika seorang petani mengetahui cara-cara bertani, membajak, menabur benih, cara memberi pupuk dan pengairan maka ketika ia menguasai itu semua berarti ia telah sampai pada shiraatal mustaqiim dalam bidangnya.
Demikian juga carilah shiraatal mustaqiim untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dan berdoalah, ‘Ya Tuhan! Hamba adalah hamba Engkau yang penuh dosa dan tidak berdaya. Bimbinglah hamba.’
Mintalah apapun yang diperlukan kepada Allah Ta’ala tanpa rasa segan segan apakah itu untuk hal kecil ataupun besar, karena pemberi sejati adalah Dia. Yang sangat baik adalah mereka yang berdoa karena jika pengemis meminta terus-menerus di rumah orang yang kikir sekalipun maka pada akhirnya orang yang kikir itu akan merasa malu. Lantas jika kita meminta kepada Tuhan yang tiada bandingannya dalam sifat Pengasih dan Penyayang bagaimana mungkin kita akan kembali dengan tangan kosong? Orang yang memohon kepada–Nya pasti suatu saat akan mendapatkannya. Doa merupakan nama lain dari shalat sebagaimana Dia firmankan, ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ud’uunii astajiblakum, artinya, ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku pasti akan mengabulkannya.’ Dia berfirman juga, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ‘Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, katakanlah, “Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku supaya mereka mendapat petunjuk.”’ [Al-Baqarah, 2:187]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sebagian orang meragukan eksistensi (keberadaan) Allah Ta’ala, namun Allah Ta’ala berfirman, ‘Tanda keberadaan-Ku adalah jika kalian menyeru kepada-Ku dan meminta pada-Ku maka Aku akan menjawabnya dan mengingat kalian.’
Kadang orang-orang mengatakan, ‘Kami telah banyak berdoa namun belum mendapatkan jawaban juga.’”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda menanggapi pernyataan ini, “Cobalah perhatikan, jika kamu menyeru seseorang yang berada jauh darimu, pertama disebabkan jauhnya jarak dan juga pendengaranmu bermasalah sehingga kamu tidak mampu mendengarnya.”
Orang yang kamu seru dari kejauhan itu dapat mendengar seruanmu dan menjawabnya, namun ketika ia menjawab, kamu tidak dapat mendengarnya karena pendengaranmu bermasalah.
Bersabda: “Akan tetapi, semakin banyak tabir penghalang yang merintangimu itu disingkirkan, pasti kamu akan dapat mendengarnya.”
Jika kamu berusaha untuk semakin dekat dengan Allah Ta’ala, kamu akan dapat mendengar suara-Nya.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) melanjutkan, “Semenjak dunia diciptakan, senantiasa terbukti bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan para hamba-Nya yang dipilih-Nya. Jika tidak demikian maka secara perlahan konsep mengenai keberadaan-Nya akan musnah dari muka bumi. Dengan demikian, bukti tertinggi keberadaan Allah Ta’ala adalah kita dapat menyaksikan-Nya dan bercakap-cakap dengan-Nya.
Mampu bercakap-cakap dengan-Nya merupakan hal yang sama dengan menyaksikan-Nya. Selama terdapat tabir penghalang antara si pemohon dengan Tuhan, sampai saat itu si pemohon tidak akan dapat mendengar-Nya.”3
Ketika tabir itu hilang maka suara Tuhan akan dia dengar.
Walhasil, perlu untuk menghilangkan tabir penghalang itu [diantara manusia dan Tuhan]. Merupakan janji Allah Ta’ala bahwa siapa saja yang datang pada-Nya dengan sebenar-benarnya dan melangkah pada-Nya sembari mencari pemahaman hakiki perihal keberadaan-Nya maka Allah Ta’ala pun akan melangkah pada seseorang yang seperti itu. Nabi Muhammad (saw) telah menjelaskan hal ini, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Jika hamba lebih dulu berusaha datang kepada-Ku maka Aku akan datang kepadanya.” Berikut ini yang beliau (saw) sabdakan dalam sebuah Hadits, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً ‘Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi wa Ana ma’ahu idza dzakarani fa-in dzakarani fi nafsihi dzakartuhu fi nafsi wa in dzakarani fi mala-in dzakartuhu fi mala-in khairin minhum wa in taqarraba ilayya bisyibrin taqarrabtu ilaihi dziraa’an wa in taqarraba ilayya dziraa’an taqarrabtu ilaihi baa’an wa in atani yamsyi ataituhu harwalatan.’ – “…Jika hamba-Ku mendekat pada-Ku sehasta maka Aku akan mendekat padanya sedepa. Jika hamba-Ku datang pada-Ku dengan berjalan maka Aku akan berlari pada-Nya...”4
Maka dari itu, jika ada keperluab mencari sasaran kesalahan maka itu terletak pada kita. Karena itu, satu hal yang esensial bagi kita untuk melangkah pada-Nya. Demi mencari jalan-jalan yang membimbing kepada-Nya dan untuk berjumpa dengan–Nya pun diperlukan bantuan-Nya.
Ketika kita menyatakan diri baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as), perlu agar berusaha dengan kemampuan terbaik kita demi meraih Allah. Dengan hanya mengamalkan satu saja perintah Hadhrat Masih Mau’ud (as) yakni membangun masjid dengan tujuan supaya Islam dikenal tidaklah cukup melainkan diperlukan adanya amal perbuatan nyata dan juga memerlukan pertolongan Allah Ta’ala. Ketika mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala disertai upaya, baru seseorang akan meraih kesuksesan.
Dalam menjelaskan hal tersebut, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Ingatlah! Ketika seseorang berbaiat, dalam ikrar baiatnya timbul keberkatan jika bersamaan dengan itu ia berjanji mendahulukan agama diatas duniawi. Hal itu akan membuatnya mengalami kemajuan pesat.
Namun demikian, sikap mendahulukan itu tidak dalam kendali tanganmu melainkan sangat memerlukan pertolongan Ilahi. Seseorang memerlukan pertolongan Ilahi demi meraih ini sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ‘Walladziina jaahaduu fiina lanahdiyannahum subulana.’ – ‘Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami.’ (29:70).”
Lebih lanjut Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Benih yang tidak diairi dan dirawat, tidak akan tumbuh.”
Jika seorang petani menyemaikan benih dan benih itu tidak dirawat dengan kerja keras dan tidak diairi maka tidak akan tumbuh atau tumbuh namun dalam keadaan lemah bahkan akan mati dengan sendirinya.
“Begitu juga, jika kalian tidak mengingat ikrar itu setiap hari yaitu ikrar untuk mendahulukan agama diatas duniawi dan juga tidak berdoa untuk meminta pertolongan Allah Ta’ala maka karunia apa pun tidak akan turun.”
Beliau (as) bersabda, “Tanpa bantuan Ilahi, mustahil akan terjadi perubahan.”
Untuk memperoleh pertolongan Ilahi, seseorang harus berdoa kepada Allah memohon karunia dan pertolongan-Nya. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Pencuri, penjahat, pezina, atau pelaku keburukan lainnya tidak setiap saat sama keadaan mereka. Terkadang mereka merasakan penyesalan. Demikianlah keadaan seorang pendosa. Dari hal itu terbukti bahwa dalam diri manusia pasti terdapat pemikiran baik. Oleh karena itu, sebuah hal yang penting bagi seseorang untuk memohon bantuan Ilahi demi meraih pemikiran tersebut. Karena itu diperintahkan untuk membaca Al-Fatihah pada shalat lima waktu yang di dalamnya dibacakan إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ‘iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’ – ‘Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.’
Di dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, dalam setiap perbuatan baik lakukanlah dengan upaya gigih dan mujahadah (bersungguh-sungguh). Artinya, untuk melakukan perbuatan baik, lakukan tadbir dan upaya sedapat mungkin dengan potensi manusiawi yang Allah berikan. Ini merupakan isyarat kepada na’budu (kami menyembah) atau kepada ibadah. Sebab, orang yang hanya berdoa namun tidak berusaha tidak akan mengalami kemajuan. Dengan hanya berdoa saja tidak cukup, perlu adanya upaya. Sebagaimana petani jika setelah menyemaikan benih namun tidak bekerja keras untuk merawatnya, bagaimana ia berharap dapat memanen hasilnya. Ini merupakan sunnatullah. Jika setelah menyemai benih hanya mengandalkan doa saja, pasti akan luput dari buah panennya. Jika tanah pertanian tidak diairi, dirawat dan diberi pupuk (penyubur tanah) maka akan luput dari hasil. Misalnya ada dua petani, yang pertama gigih bekerja membajak tanahnya dan memberikan pupuk maka pastinya petani tersebut akan berhasil. Sedangkan petani kedua tidak merawatnya atau kurang maka hasilnya akan selalu ada kekurangan sehingga mungkin tidak dapat membayar pajak penghasilan kepada pemerintah yakni sama sekali kurang dan ia akan tetap dalam keadaan memerlukan.
Demikian juga urusan agama. Diantara orang-orang ada yang muncul sebagai orang munafik, pemalas, saleh dan juga ada yang Waliyullah dan mendapatkan kedudukan dalam pandangan Allah Ta’ala.”
Dalam kata lain, mereka semua sama-sama manusia namun sebagian kalangan dari mereka ialah munafik dan tidak punya kemampuan. Sementara itu, di sebagian kalangan mereka ialah orang-orang yang bertakwa dan meraih status wali, cendekiawan, para imam (terkemuka dalam kerohanian) dan dikaruniai keluhuran derajat oleh Allah Ta’ala.
Beliau (as) bersabda, “Sebagian orang ada juga melakukan shalat sampai 40 tahun lamanya namun tidak mendapatkan kemajuan dan perubahan. Demikian pula, mereka pun tidak mendapatkan manfaat apa-apa setelah berpuasa 30 hari di bulan Ramadhan.”
Mereka berpuasa Ramadhan sebulan penuh tetapi tidak mendapatkan kemajuan dan manfaat apa-apa dan setelah Ramadhan kembali lagi seperti semula.
“Banyak orang yang mengatakan, ‘Kami adalah orang yang bertakwa dan terus teratur shalat, namun kami tidak mendapatkan pertolongan Ilahi.’ Penyebabnya adalah orang tersebut melakukan ibadah semata-mata sebagai rutinitas dan formalitas saja dan tidak pernah terpikirkan untuk meraih kemajuan. Tidak ada perhatian di dalam dirinya akan dosa-dosa. Ia tidak berusaha untuk mencari dosa apa saja yang ada di dalam dirinya dan tidak ada keinginan untuk melakukan taubat hakiki.”
Seseorang dapat disebut mencari taubat hakiki jika ia mampu untuk menilik dosa apa saja yang ada di dalam dirinya. Jika ia ada perhatian terhadap kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa apa yang telah dia lakukan maka hanya dengan demikianlah taubatnya dapat diterima.
“Orang tersebut [yaitu yang melakukan ibadah semata-mata sebagai rutinitas dan formalitas saja] berhenti pada langkah pertama. Ia berdiri di tempat. Orang yang keadaannya seperti itu tidak ada perbedaannya antara keadaannya dengan keadaan hewan. Shalat-shalat mereka yang seperti itu memancing laknat dari Allah Ta’ala dan tidak akan diterima. Kenyataannya, shalat-shalat mereka itu akan dilemparkan mengenai wajah mereka sendiri. Shalat hakiki adalah yang membawa serta kemajuan. Perumpamaannya, jika ada pasien yang tengah berobat kepada tabib dan pasien itu mengamalkan resep dari tabib selama 10 hari. Ketika hari demi hari tidak mengalami perbaikan dalam kesehatannya maka setelah berlalu 10 hari si pasien merasa curiga jangan-jangan resep tersebut tidaklah sesuai dengan tabiatnya sehingga itu perlu dia ganti. Jadi, ibadah yang sifatnya tradisi atau formalitas, tidaklah benar.”5
Harus diganti dan harus dipikirkan apa sebabnya kenapa doanya tidak dikabulkan padahal Allah ta’ala menyatakan akan mengabulkan doa-doa. Jadi, ibadah adalah yang dengan perantaraannya dapat tercipta qurb (kedekatan) Ilahi.
Dalam menjelaskan hakikat shalat beliau (as) bersabda: “Shalat pada hakikatnya adalah doa. Setiap kata yang dibacakan ketika shalat merupakan doa. Jika tidak ada ketertarikan untuk shalat, maka bersiaplah untuk mendapatkan azab, karena siapa saja yang tidak berdoa, apalagi selain dari dirinya sendiri mendekat pada kehancuran.
Sebagai permisalan, ada seorang penguasa yang terus mengumumkan, ‘Akan saya jauhkan kesusahan orang-orang. Siapa saja yang membutuhkan, akan saya bantu dan memberikan solusi untuk masalahnya. Saya akan mengasihinya dan membantu mereka yang tak berdaya.’
Namun demikian, ketika ada orang yang sedang kesulitan lalu lewat di hadapan sang penguasa itu namun tidak memperdulikan tawaran bantuan dari si penguasa itu dan tidak juga meminta bantuan kepadanya, maka apalagi yang akan ia alami selain kehancuran.
Demikian pula keadaan Allah Ta’ala, setiap saat Dia siap untuk memberikan segala ketentraman kepada manusia dengan syarat seseorang memohon kepada-Nya. Demi pengabulan doa adalah perlu untuk menghentikan pembangkangan. Panjatkanlah doa dengan sekuat-kuatnya, karena jika batu dibenturkan keras dengan batu lain lagi akan menghasilkan api.”6
Walhasil, ketika kita menciptakan di dalam diri kita keadaan dimana shalat-shalat kita dan amalan-amalan kita ditujukan semata-mata untuk meraih keridhoan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan senantiasa menggantikan ketakutan-ketakutan kita dengan rasa aman. Ingatlah selalu! Apa pun yang kita dapatkan setelah datang ke sini, semua itu kita dapatkan berkat karunia Allah Ta’ala, dan nikmat-nikmat itu akan bertambah berkat karunia Allah Ta’ala juga. Oleh karena itu adalah penting untuk berusaha memberikan perhatian terhadap ibadah dan memenuhi hak-hak hamba-Nya, serta meraih karunia-karunia-Nya.”
Anda sekalian bisa memeriksa diri sendiri, sudah sejauh mana anda menegakkan shalat-shalat kita? Sudah sejauh mana anda menegakkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala atau berusaha untuk meraih itu? Sudah sejauh mana pekerjaan-pekerjaan duniawi menghalangi anda terhadap shalat-shalat kita?
Kita hendaknya selalu berusaha mengedepankan sabda Rasulullah (saw) ini, bahwa perkara yang membedakan antara kekufuran dan keimanan adalah meninggalkan shalat. Hal apa yang akan menjadi pembeda antara kekufuran dan keimanan? بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيمَانِ تَرْكُ الصَّلاَةِ Yang menjadi pembedanya adalah meninggalkan shalat.7 Walhasil, sabda ini hendaknya menggetarkan kita bahwa seorang beriman adalah yang dawam dalam shalat-shalatnya, jika tidak apa bedanya ia dengan seorang kafir.
Berkenaan dengan ganjaran orang-orang yang shalat berjama’ah Allah Ta’ala tidak hanya memerintahkan untuk melaksanakan shalat saja, melainkan laksanakanlah shalat secara berjamaah dan tunaikanlah hak-haknya, maka pahalanya adalah sebanyak 25 kali lipat, di tempat lain dikatakan 27 kali lipat.8
Meskipun demikian, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan, kita tidak memberikan perhatian terhadap hal ini, maka betapa meruginya kita. Walhasil, jika kita telah membangun mesjid-mesjid, maka perlu untuk memenuhi hak-hak mesjid tersebut. Perlu juga untuk meninggikan tolok ukur kualitas ibadah-ibadah kita. perlu juga untuk memberikan perhatian terhadap pengorbanan-pengorbanan harta kita.
Kita sendiri perlu melakukan kebaikan-kebaikan dan memperbaiki akhlak-akhlak kita serta menasihati orang lain utnuk melakukan kebaikan-kebaikan. Kita perlu untuk menyelamatkan diri kita sendiri dan orang lain dari keburukan-keburukan di lingkungan ini. Jika tidak, maka janji baiat kita hanyalah janji baiat yang sekedar kata-kata saja. Kita harus senantiasa mengedepankan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) berikut ini, “Kalian hendaknya memperbaiki diri kalian sampai-sampai kehendak Allah Ta’ala menjadi kehendak kalian. Di dalam keridhoan-Nya terdapat keridhoan kalian. Kalian tidak memiliki apa pun, segala sesuatu adalah milik-Nya. Arti kesucian adalah mengeluarkan dari dalam hati kita berupa penentangan terhadap Allah Ta’ala secara amal perbuatan dan akidah. Allah Ta’ala tidak akan menolong seseorang sehingga mereka menjamin bahwa niat mereka itu menjadi satu dengan keridhaan-Nya dan mereka sepenuhnya menundukkan diri pada kehendak-Nya. Saya tidak merasa takut (mencemaskan) perihal bertambah tidaknya jumlah anggota Jemaat saya.”
Pada saat beliau (as) menyampaikan hal ini jumlah Ahmadi 400 ribu orang atau lebih.
“Pengertian sebuah Jemaat hakiki bukanlah yang hanya meletakkan tangan di atas tangan saja melainkan suatu Jemaat baru bisa dikatakan sebagai Jemaat hakiki ketika mereka membawa hakikat dari baiat tersebut ke dalam bentuk amal perbuatan. Tercipta suatu perubahan suci yang hakiki di dalam diri mereka, dan kehidupan mereka benar-benar bersih dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka telah keluar dari cengkeraman hawa nafsu dan setan dan larut dalam ridha Allah Ta’ala. Dengan lapang dada mereka menunaikan hak Allah dan hak hamba-hamba secara penuh dan sempurna. Di dalam diri mereka timbul suatu gejolak untuk agama dan penyebaran agama. Mereka memfanakan keinginan-keinginan, kehendak-kehendak dan angan-angan mereka dan menjadi milik Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, ‘Kalian semua tersesat kecuali ia yang Aku berikan hidayah kepadanya. Kalian semua buta kecuali ia yang kepadanya Aku anugerahkan nur. Kalian semua mati, kecuali ia yang Aku berikan kepadanya air kehidupan rohani. Dia-lah yang hidup.’9
Sifat Sattar Allah Ta’ala menutupi manusia. Jika keadaan batin manusia dibukakan kepada dunia maka orang-orang tidak akan mau dekat dengan orang-orang yang lainnya.”
Sifat Maha Menutupi Allah Ta’ala lah yang menutupi kelemahan kita. Jika aib itu terlihat dan terbuka dari satu orang terhadap yang lain maka orang-orang tidak akan mau mendekat kepada orang-orang yang lainnya.
Beliau (as) bersabda, “Allah Ta’ala itu as-Sattaar (Maha Menutupi). Dia tidak memberitahukan aib-aib manusia kepada setiap orang. Jadi, manusia hendaknya berusaha keras dalam kebaikan dan setiap saat sibuk dalam berdoa. Ketahuilah dengan sesungguhnya, jika tidak ada perbedaan antara para anggota Jemaat dengan orang-orang ghair maka Allah Ta’ala bukanlah kerabat siapapun.
Meski kita telah menjadi Ahmadi dan telah baiat, jika tidak ada perbedaan antara kita dengan orang-orang lainnya maka Allah Ta’ala bukanlah kerabat siapapun. Apa alasannya Allah Ta’ala memberikan kehormatan kepadanya dan melindunginya dengan segala cara. Jika tidak ada bedanya maka Allah Ta’ala bukanlah kerabat kita yang mengharuskan Dia memberikan kehormatan kepada kita lalu menghinakan orang lain dan menghukum mereka [yang memusuhi kita].”
Beliau (as) bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ‘innamaa yataqabbalullahu minal muttaqiin. ‘Artinya, Pasti Allah ta’ala akan mengabulkan ibadah orang-orang yang bertakwa.’ (Surah al-Maaidah:28) Orang mutaqi adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Ilahi. Ia menganggap keinginan hawa nafsu dan duniawi berserta segala isinya tidak ada artinya di hadapan Allah Ta’ala.
Tanda keimanan akan terlihat ketika diperbandingkan. Sebagian orang ada yang mendengar dengan tangan satu telinga lalu keluar lagi dari telinga lainnya. Ia tidak ingin perkara-perkara itu turun ke dalam hatinya. Seberapa pun banyaknya nasihat yang diberikan, tidak akan berkesan kepada mereka.
Ingatlah! Allah Ta’ala Maha Berkecukupan, selama kita tidak berdoa dengan sebanyak-banyaknya dan berulang-ulang dengan penuh kegelisahan, Dia tidak akan peduli. Coba lihat! Jika istri atau anak seseorang sakit, atau mendapatkan suatu musibah, bagaimana seseorang begitu menderita dikarenakan hal-hal tersebut. Walhasil, sebelum keperihan yang sejati dan keadaan kegelisahan tadi belum tercipta, maka doa itu akan tidak memberikan pengaruh dan sia-sia. Sangat penting bahwa doa dipanjatkan dengan hati pedih supaya dikabulkan, seperti dinyatakan,أمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأَرْضِ أَإلَهٌ مَعَ اللهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ ‘Atau, siapa yang mendengar doa orang yang tidak berdaya ketika memohon kepada Allah Ta’ala lalu Dia menjauhkan kesulitannya.’ (Surah an-Naml, 27:63).”10
Hadhrat Masih Mau’ud (as) selanjutnya bersabda bahwa mereka yang memperbaiki dirinya, hendaknya memastikan juga perbaikan keluarganya. Memperbaiki anak dan istri juga merupakan kewajiban setiap orang, “Pertolongan Allah Ta’ala menyertai mereka yang senantiasa maju dalam kebaikan setiap hari. Mereka tidak stagnan (tetap seperti itu saja). Dalam kemajuan yang berkelanjutan ini, mengarah pada akhir yang baik. Allah Ta’ala telah mengajarkan doa berikut ini dalam Al-Qur’an رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ‘Rabbi auzi’ni an asykura ni’matakallati an’amta ‘alayya wa ‘ala waalidayya wa an a’mala shaalihan tardhaahu wa ashlih lii fii dzurriyatii. Inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin.’ – ‘Ya Tuhanku, berilah taufik kepadaku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memperbaiki) anak cucu dan istriku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’ (al-Ahqaf, 46:16).
Hendaknya terus-menerus dalam memanjatkan doa ini supaya tercipta perubahan suci di dalam diri anak keturunan dan istri seiring dengan membuat perubahan suci di dalam keadaan kalian sendiri. Sebab, seringkali seseorang mendapatkan ujian akibat anak-anaknya dan terkadang karena istrinya.
Perhatikanlah! Ujian pertama yang dialami Hadhrat Adam ialah karena seorang perempuan (istrinya). Dalam Taurat dapat kita ketahui hancurnya iman Bal’am saat menentang Hadhrat Musa. Penyebabnya, istri Bal’am menjadi tamak setelah disuap dengan perhiasan oleh seorang Raja lalu mendesak suaminya (Bal’am) agar berdoa buruk kepada Hadhrat Musa. Demikianlah, banyak masalah dan kesulitan kaum pria adalah karena anak-anak dan istri. Oleh karena itu, kalian harus memberikan perhatian penuh pada ishlaah (perbaikan) mereka dan seiring dengan itu terus berdoa untuk mereka.”11
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk menciptakan perubahan suci dalam diri, menegakkan shalat dan membawanya sampai pada standar yang tinggi, menyucikan harta, eninggikan akhlak, mengamalkan kebaikan dan menyebarkannya, menghindarkan diri dari keburukan dan menghindarkan anak keturunan dari keburukan dan keburukan lingkungan juga. Seiring dengan pembangunan masjid ini semoga kita dapat menyampaikan pesan hakiki Islam kepada penduduk kota dan menjadikan mereka orang orang yang beribadah kepada Tuhan yang Esa. Ini semua dapat terpenuhi jika kita menciptakan perubahan suci lagi luhur dalam diri. Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua.
Sekarang saya akan sampaikan data mengenai masjid. Kami menamai daerah ini “Mahdiabad” dan Nahe adalah nama dari warga setempat desa ini. Ahmadi setempat di sini jumlahnya tidak banyak. Tanahnya adalah tanah pertanian yang dibeli pada tahun 1989. Sebagiannya digunakan untuk bercocok tanam dan Jemaat mempekerjakan orang untuk tugas tersebut. Ketika tempat ini dibeli, saat itu terdapat peternakan dan bangunan juga. Kita telah mendapatkan izin untuk menggunakannya sebagai rumah misi dan mendapatkan izin untuk membangun masjid dalam bagian hall yang besar. Semua ini dikerjakan dengan wikari amal.
Ini adalah bangunan dua tingkat. Di dalamnya terdapat rumah muballigh. Pada tahun 2010 pemerintah daerah menetapkan satu bagian tanah peternakan ini sebagai area huni. Di sini telah dibangun rumah–rumah diatas area 12 titik dan sebagai hasilnya izin resmi telah didapatkan untuk membangun masjid diatasnya. Diantara 12 rumah itu, dua telah didapat oleh Jemaat dan sebagiannya lagi dijual kepada orang lain. Uang yang dihasilkan darinya yang mana Pemerintah Daerah telah mengambilnya kembali, faktanya, sejumlah uang yang lebih dari itu telah diperoleh yang kemudian digunakan untuk membeli tanah ini.
Enam atau tujuh tahun lalu bahkan 8 tahun lalu saya telah meletakkan pondasi masjid ini dan ia tengah disempurnakan. Mesjid ini dua tingkat. Bagian bangunan yang beratap memiliki luas 385 m2 dapat menampung 210 jamaah shalat. Lantai atas untuk kaum bapak. Sedangkan lantai bawah masjid untuk kaum ibu. Terdapat fasilitas untuk wudhu, membasuh dan lain-lain. Lebih kurang menghabiskan biaya 507.000 euro. Dana sejumlah 200.000 lebih diantaranya diperoleh dari para Ahmadi lokal di sini sedangkan sisanya dari dana proyek 100 mesjid. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan keberkatan pada harta dan jiwa orang-orang yang telah memberikan pengorbanan dan semoga setelah mendirikan masjid ini dapat memenuhi hak ibadah lebih dari sebelumnya.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono.
1 Malfuzat, Vol. 8, pp. 309-310. Hadits tercantum dalam Tafsir Ruhul Bayaan oleh Syaikh Isma’il Haqqi Parwezi jilid 8 halaman 109 Tafsir Surah Az-Zumar (39) ayat 24, ‘Allahu nazala ahsanal hadiits..’ Terbitan Beirut, 2003
2 Kitab Asma wash Shifat karya al-Baihaqi dan Kitab Sunan al-Kubra karya an-Nasai. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fatimah (puterinya),(( مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِي مَا أُوصِيكِ بِهِ أَنْ تَقُولِي إِذَا أَصْبَحْتِ وَأَمْسَيْتِ: “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah, ((يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ))“Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin” (artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak memerlukan segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya).”
3 Malfuzat, Vol. 7, pp. 226-227.
4 Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab at-Tauhid (كتاب التوحيد), bab firman Allah (بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَيُحَذِّرُكُمْ اللَّهُ نَفْسَهُ} وَقَوْلِهِ جَلَّ ذِكْرُهُ {تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ}), no. 7405; Sahih al-Bukhari, Kitab-ul-Tauhid, Hadith no. 7536.
5 Malfuzat, Vol. 7, pp. 225-226
6 Malfuzat, Vol. 7, p. 70.
7 Jami’ at-Tirmidzi, Kitab tentang keimanan (كتاب الإيمان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab (باب مَا جَاءَ فِي تَرْكِ الصَّلاَةِ) riwayat dari Jabir (عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “). Sahih Muslim, Kitab-ul-Iman, bab (باب بيان إطلاق اسم الكفر على من ترك الصلاة), Hadith no. 82: عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا، يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ “ ..
8 Sahih al-Bukhari, Kitab-ul-Adzan, bab (بَاب فَضْلِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ وَكَانَ الْأَسْوَدُ إِذَا فَاتَتْهُ الْجَمَاعَةُ ذَهَبَ إِلَى مَسْجِدٍ آخَرَ وَجَاءَ أَنَسٌ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جَمَاعَةً) Hadith no. 645: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. Di hadits nomor 647 pada bab yang sama disebutkan: صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
9 Di dalam Shahih Muslim no. 6737 terdapat Hadits yang mirip sebagai berikut: Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman: يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ “…Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian…”
10Tafsir:.. Hadhrat Masih Mau’ud, vol III, hal 574
11Malfuzhaat, jilid 10, h. 138-139, edisi 1985, UK;
Riwayat Bal’am bin Baura disebut dalam Kitab-Kitab Tafsir oleh Fakhruddin ar-Razi, Abu Ja’far Jarir ath-Thabari dan ibnu Katsir saat membahas Surah Al-A’raf ayat 176-178. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyebutnya Bileam bin Beor, Bilangan 22, Yosua 6:20-22, Yosua 13:22, II Petrus 2:15 dan Wahyu 2:14. Bal’am awalnya menolak berdoa buruk kepada Bani Israil. Pintu bujukan para pemuka kaum penentang Bani Israil ialah lewat hadiah-hadiah kepada istri Bal’am. Bal’am akhirnya menuruti mereka. Meski doa-doa kutukan Bal’am tidak mempan kepada Nabi Musa (as) dan kaumnya, bahkan berbalik, Bal’am tidak kurang akal. Ia menyarankan ide menjatuhkan akhlak Bani Israil. Para wanita kaum musuh Bani Israil disuruh mendatangi Bani Israil. Godaan ini cukup berhasil. Banyak kaum pria Bani Israil yang ikut cara hidup penentang mereka dalam menyembah berhala. Kaum Bani Israil mengalami degradasi. Tanah yang dijanjikan tertunda didapatkan.