Oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad
Apakah terorisme Islam? Saya bertanya-tanya. Islam begitu erat sekali dihubung-hubungkan dengan terorisme seperti cahaya dengan kegelapan atau hidup dengan mati atau damai dan perang. Mereka saling berhubungan satu sama lain, tetapi tentu saja, dari arah yang sangat bertentangan. Mereka ditemukan bergulat satu sama lain tetapi tidak pernah berjalan bergandengan tangan dengan mesra.
Tetapi memang tidak dapat disangkal dalam banyak kejadian beberapa orang Islam terlibat dalam kegiatan terorisme, baik atas nama sebuah kelompok atau atas nama suatu negara yang penduduk mayoritasnya adalah Islam.
Apakah mereka tidak sama dengan kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam teorisme dan subversi di seluruh dunia? Tepatkah memberi label semua bentuk terorisme dengan menggunakan prinsip yang sama yang melahirkan istilah ‘terorisme Islam’, sehingga menciptakan daftar berupa terorisme Sikh, terorisme Hindu, terorisme Kristen, terorisme Yahudi, terorisme Ateis, terorisme Budha, terorisme animis dan terorisme pagan?
Tidaklah mudah menutup mata terhadap beragam bentuk terorisme yang sayangnya terus meningkat di seluruh dunia; sesungguhnya, mustahil seorang pengamat tidak menyadari bahwa persekusi, penumpahan darah, pembunuhan itu seringnya mengatasnamakan suatu tujuan mulia lagi suci. Terorisme adalah permasalahan global yang harus dicermati dalam perspektif yang lebih luas. Sebelum kita memahami kekuatan-kekuatan yang ada di belakang tindak kekerasan, kita tidak akan mampu memahami mengapa beberapa kelompok dan negara Muslim beralih pada tindakan terorisme untuk mencapai tujuan tertentu.
Saya sangat yakin bahwa hampir setiap kekerasan komunal yang terjadi di dunia ini, di mana pun dan apapun jubah yang dikenakannya, pada dasarnya bersifat politis. Agama bukanlah pelaku eksploitasi, tetapi agama sendiri ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik internal dan eksternal.
Misalnya kita mendapati terorisme yang disebabkan oleh rasialisme – tetapi hal ini, dalam analisis akhir, pada hakikatnya bersifat politis. Ada ekspresi kecil lainnya dari terorisme yang diakibatkan dari pemberontakan dan kebencian terhadap sistem dan budaya sosial yang ada. Semua ini secara umum dianggap sebagai tindakan yang tidak waras dan anarki. Terdapat juga semacam terorisme khusus yang terkait dengan perjuangan mafia untuk meraih supremasi; terorisme ini dikendalikan oleh faksi tertentu melawan faksi lainnya dalam organisasi mafia itu. Jelas, terorisme jenis ini murni perbuatan kekuasaan, jadi sifatnya politis.
Manakala kita memeriksa apa yang disebut ‘terorisme Islam’, kita menemukan kekuatan-kekuatan politik yang bekerja di balik wajah Islam. Lebih seringnya, biang manipulator yang mengeksplitasinya sebenarnya bukanlah orang-orang Islam sendiri. Marilah kita beralih kepada beberapa ilustrasi khusus terorisme untuk mendiagnosa penyakit yang mendasarinya. Kita mulai dengan Iran dan melihat bagaimana Khomeinisme lahir.
Iran dan Khomeneisme
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa Shah Iran terjadi kemakmuran yang besar. Rencana-rencana pengembangan industri dan ekonomi yang sangat ambisius menjanjikan masa depan yang cerah bagi negara tersebut. Tetapi dapatkah manusia hidup hanya dengan roti saja? Sejauh kaitannya dengan bangsa Iran di bawah pemerintahan Shah yang lalim, jawabannya secara meyakinkan adalah ‘tidak’. Mereka menghendaki untuk memiliki sebuah bagian tanggung-jawab dalam menjalankan urusan-urusan negeri mereka sendiri, mereka tidak lagi dapat dipuaskan hanya dengan perut kenyang. Kelaparan mereka terhadap harga diri dan kehormatan, serta kerinduan akan kemerdekaan dan kebebasan dari sistem penindasan yang ketat membuat mereka semakin resah dan tidak stabil. Situasi ini rentan dengan kekerasan dan revolusi berdarah.
Seandainya dasar revolusi yang segera terjadi ini tidak menggunakan Islam sebagai landasannya, tentu ia telah mengambil bentuk revolusi komunis yang bahkan dapat lebih berdarah-darah dan lebih ekstrim. Gejolak yang mengguncang Iran dari utara ke selatan dan timur dan barat merupakan konsekuensi alami yang tidak dapat dielakkan akibat dari penindasan panjang yang bersifat politis dan pengabaian hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dan juga subversi dan eksploitasi yang dilakukan oleh kekuatan besar. Iran menyadari bahwa rezim despotik Shah didukung penuh dan disetujui oleh pemerintah Amerika Serikat. Kebencian dan desakan masyarakat untuk membalas dendam tidak berhenti sebatas penggulingan rezim Shah Iran dan penghancuran semua kekuatan internal yang bagaimanapun juga bertanggung jawab atas kelestarian monarki.
Kesadaran akan adanya dukungan Amerika telah melahirkan tendensi kelaliman yang paling buruk dalam diri Shah. Mula-mula ia dibuat kagum, tetapi lambat laun rasa takut membuka jalan menuju teror. Kekhawatiran akan terjadinya pemberontakan membuat sikapnya bertambah keras seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan lahirlah sebuah kebijakan pemerintah dalam bentuk yang paling buruk di Iran. Seiring berjalannya waktu rakyat Iran menjadi sadar bahwa kebijakan pemerintah didukung sepenuhnya dan oleh pemerintah Amerika Serikat. Shah hanya memainkan peran wayang belaka yang tali temalinya diikatkan pada jari-jari Amerika yang halus dan manipulatif. Hal ini seperti disebutkan di atas, menyebabkan situasi yang siap untuk revolusi yang didorong oleh api kebencian.
Situasi ini dijadikan modal oleh Ayatullah Khomeini. Ideologi yang dikemukakannya untuk memberi warna dan corak bagi revolusinya adalah Islam Syiah. Tetapi apakah itu benar-benar bentuk kecintaan kepada Islam Syiah yang menimbulkan kebencian kepada Amerika Serikat, atau apakah nama Islam hanya sebagai topeng untuk menyembunyikan motif-motif tersembunyi? Seandainya Khomeini tidak mengangkat panji-panji Islam apakah tidak akan terjadi sebuah revolusi dengan menggunakan nama-nama yang lain? Tidakkah hal ini merupakan suatu fakta bahwa seandainya Khomeini tidak mengeksploitasi situasi dan memberinya warna dan corak Islam, situasi kebencian yang sama bisa saja dieksploitasi dengan baik oleh sebuah falsafah non-religius seperti nasionalisme atau sosialisme?
Sesungguhnya Khomeini selangkah lebih maju dari kekuatan-kekuatan yang datang dengan cepat ke arah tumitnya, yang jika diberi kesempatan mungkin telah mengambil alih dirinya dan segala sesuatu yang diperjuangkannya. Itulah sebabnya situasi di Iran menjadi sangat rumit dan membingungkan. Faktor utama pendorong revolusi bukanlah melawan komunisme atau falsafah sayap kiri melainkan ditujukan kepada Shah dan penasihat-penasihatnya. Namun karena adanya kemungkinan kelompok sayap kiri mengambil alih kendali revolusi dari tangan Khomeini, maka ia harus bertarung di tiga fron sekaligus. Setelah menggulingkan Shah, ia tidak saja berjuang untuk menghapuskan dan memusnahkan seluruh pendukung Shah, tetapi juga membasmi sampai ke akar-akarnya pengaruh Amerika dimanapun. Hal ini sendiri dapat saja memberi angin kepada ideologi kiri, yang jika diizinkan untuk berkembang tanpa pengawasan, ia mungkin dapat merebut kekuatan dari tangan Khomeini dan mengganti ideologi Islam dengan Marxisme-Leninisme.
Untungnya bagi Ayatullah Khomeini cerdas dan cukup kuat untuk mengayunkan pedang bermata dua dalam bentuk ideologi Islam, bukan saja melawan Amerika berhaluan kanan melainkan efektif pula menghadapi Rusia yang berhaluan kiri.
Namun pada akhirnya, jelas, apapun bentuknya, Islam tidak mengarahkan dan memerintahkan revolusi Iran. Paling tidak, jika mau, anda dapat menyebut apa yang telah terjadi dan sedang terjadi di Iran sebagai Khomeinisme. Kekuatan sesungguhnya yang sedang bekerja pada dasarnya tidak memiliki karakter religius. Kekuatan-kekuatan politik telah mengeksploitasi reaksi masyarakat Iran melawan Shah semata-mata untuk meraih kepentingan politik.
Ada sejarah panjang tumbuhnya kesadaran rakyat Iran atas eksploitasi dan perbudakan yang dilakukan oleh kekuatan asing dalam berbagai bentuk. Terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas penduduk Iran adalah Muslim, kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa bangsa Iran tidak pernah dapat melupakan atau memaafkan penaklukan yang telah dilakukan oleh bangsa Arab atas tanah air mereka. Meskipun nampaknya luka-luka itu sudah lama sembuh, dan banyak faktor-faktor yang kuat seperti kesamaan agama dan kebencian bersama terhadap negeri lain telah memainkan peran penting dalam merekatkan bangsa Iran dengan bahasa Arab, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tetap ada arus ketidakpuasan terhadap dominasi Arab atas Iran selama beberapa abad sebelumnya.
Kita juga harus mengingat bahwa selama era pra Islam, Iran dapat berbangga diri sebagai salah satu peradaban yang paling kuat dan terkenal yang pernah membuat pengaruh bagi manusia di belahan dunia. Pada masa permulaan Islam bangsa Arab hanya mengenal dua dunia – Barat, yang didominasi oleh Kekaisaran Romawi dan di Timur, yang dipimpin dan diperintah oleh Kisra Iran. Kenangan masa lalu yang jauh dan agung itu, meskipun teratasi dalam batas-batas tertentu oleh pengaruh kuat persaudaraan Islam, tidak dapat dihapuskan secara menyeluruh. Selalu ada sebuah bayang-bayang gelap dan abadi dari peradaban besar Iran di hati para cendikiawan Iran.
Sejarah panjang perseteruan Iran-Arab dan tindakan balasan Iran kepada Arabia juga meninggalkan bekas-bekas luka yang buruk dan menciptakan kepiluan di dalam benak bangsa Arab yang bahkan obat paling mujarab pun, tidak dapat melenyapkannya. Hal ini adalah manusiawi. Masyarakat di seluruh dunia kadang-kadang kesulitan untuk memisahkan diri dari masa lalu atau melupakan luka-luka dan penghinaan atas kehormatan mereka. Penggalan sejarah seperti ini tidak pernah selesai secara permanen tetapi terus dibuka lagi dan lagi.
Cukup mengenai perseteruan Iran-Arab di masa lalu. Marilah kita sekarang beralih ke masa yang lebih modern. Bukan hanya dengan Arab saja, Iran memendam kekecewaan mereka. Selama Perang Dunia Kedua, bangsa Iran ditundukkan oleh dominasi dalam bentuk yang paling buru, yaitu kekuatan Inggris yang mendominasi. Dalam kasus Arab paling tidak ada faktor penyelamat berupa ikatan budaya dan agama yang sama, tetapi dalam kasus dengan Inggris, jurang pemisah antara penguasa dan rakyat, bukan kian menyempit, bahkan bertambah melebar. Tidak pula dapat dijembatani oleh kesamaan sosial, budaya dan agama.
Setelah berkurangnya pengaruh Inggris menyusul sebuah era kendali tidak langsung dan penaklukan negara-negara Dunia Ketiga oleh kekuatan besar melalui rezim antek-antek dan boneka. Pada periode neo-imperialisme inilah bangsa Iran dipindahkan dari pangkuan Igggris ke pangkuan Amerika. Dengan demikian Shah Iran menjadi simbol imperialisme Amerika yang mendukung ideologi yang saling bertentangan seperti yang terjadi dewasa ini, misalnya di Polandia, Nikaragua, Israel dan Afrika Selatan.
Api kebencian yang akhirnya dibangkitkan oleh revolusi Khomeini, tidak hanya merupakan hasil penindasan Amerika tetapi telah terakumulasi selama berabad-abad, seperti kandungan minyak dan gas bawah tanah. Yang perlu dicatat adalah bahwa kebencian ini pada dasarnya bukanlah berasal dari agama. Seandainya pada waktu itu Khomeini tidak mengekploitasi kebencian atas nama Islam, beberapa pemimpin komunis tentu telah memanfaatkannya atas nama keadilan sosial. Apapun namanya, religius atau non-religius yang disematkan pada revolusi itu, kekuatan dan faktor yang mendasarinya akan tetap sama.
Saya telah menjelaskan berulang kali kepada orang-orang yang menganggap ekses yang dilakukan oleh Khomeini terhadap sebagian bangsanya sendiri, dan tindakan balas dendam yang di lakukan di negara lain, sebagai sifat Islam, saya katakan bahwa Islam sebagai sebuah agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan ekspresi ketidakpuasan bangsa Iran. Boleh dikatakan, Barat harusnya memperlakukan Khomeini sebagai pendukung mereka ketimabang sebagai musuh. Saya mengatakan ini karena saya sangat yakin bahwa jika seandainya pada waktu itu Khomeini tidak memanfaatkan situasi dan mendandaninya dengan wajah Islam untuk mendukung dan melanggengkan junta ‘ulama’ Islam, situasi itu pasti dimanfaatkan oleh pemimpin Iran yang cenderung beraliran kiri. Iran yang sama yang kita saksikan hijau berbintik merah dewasa ini sebaliknya akan nampak sepenuhnya merah kepada kita. Akan naif mengatakan bahwa kepemimpinan komunis yang diciptakan dan dilatih oleh Dr Mosaddiq telah sedemikian lemahnya dan tertatih-semenjak penggulingan Shah sehingga mereka tidak dapat memainkan peran efektif dan revolusioner pada masa penting pembentukan sejarah Iran ini. Sejatinya, kepemimpinan komunis didukung penuh dan dilatih sangat baik. Mereka sepenuhnya siap untuk merebut sebuah kesempatan. Tetapi bagi Ayatullah Khomeini, Iran bisa saja berakhir sebagai rezim radikal Marxis. Peristiwa semacam itu tentu akan menimbulkan konsekuensi yang buruk bagi Timur Tengah yang kaya minyak tetapi lemah secara militer. Jadi Islam gaya Khomeini sekalipun – betapapun berdarah dan menjengkelkan di mata Barat – dapat dipandang sebagai sebuah berkah tersembunyi. Peran Ayatullah Khomeini hendaklah dipandang dari perspektif ini.
Perang Irak-Iran
Perang Irak-Iran mungkin tidak relevan untuk topik yang dibahas, tetapi ia memberikan sebuah titik terang pada karakter peristiwa eksplosif di bagian dunia Islam. Kedua negara mengklaim sebagai Muslim dan bermaksud menarik inspirasi mereka untuk membenci, menghancurkan dan memusnahkan satu sama lain atas nama Islam yang suci.
Semua tentara yang tewas di medan perang dari pihak Irak, dielu-elukan sebagai syuhada besar oleh media Irak. Seluruh tentara Iran yang tewas di tangan Irak dicap sebagai kafir yang langsung dikirim ke neraka oleh media Irak. Kisah yang sama dapat dibalik secara beulang-ulang setiap harinya di sisi perbatasan Iran. Kapan saja serdadu Irak tewas, di medan perang bergema teriakan “Allahu Akbar”. Di sisi manakah Islam? orang bertanya-tanya! Kesemua ini membuktikan betapa hampanya slogan-slogan ini. Satu-satunya hal yang dapat dibuktikan tanpa ragu-ragu adalah tentara Irak dan Iran yang mengorbankan nyawa mereka untuk tujuan yang nampaknya mulia itu telah dikelabui oleh pemimpin mereka. Islam tidak ada disini, tidak dimana mana.
Al-Quran menyatakan:
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah tidak mencintai setiap orang yang berkhianat, lagi ingkar. Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah dianiaya. Dan sesunngguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa. (QS 22: 39-41)
“Setiap kali mereka menyalakan api untuk perang, Allah memadamkannya. Dan, mereka berusaha membuat kerusuhan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai perusuh-perusuh. (QS 5: 65)
“Dan, jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya, maka jika salah satu dari kedua mereka menyerang yang lain, maka perangilah pihak yang menyerang, hingga ia kembali kepada perintah Allah, kemudian jika ia kembali, damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berbuat adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya, orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah di antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dikasihani.” (QS 49: 10-11)
Selama peperangan, ajaran-ajaran di atas telah diabaikan oleh negara-negara yang sedang berperang. Di Mekkah selama musim haji beberapa upaya dilakukan oleh Iran untuk menyebarluaskan pesan Revolusi Khomeini ke seluruh dunia Islam melalui para jamaah haji yang datang ke sana. Sayangnya, upaya ini kadang-kadang mengakibatkan situasi yang sangat buruk sampai pada taraf sangat memalukan kaum Muslimin. Misalnya, peristiwa yang terjadi di Mekkah pada musim haji 1987 dan tindakan pencegahan berlebihan yang dilakukan oleh Saudi Arabia menjadi buah bibir media Barat. Al-Quran suci mengajarkan kepada seluruh umat Islam:
“Dan, janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidilharam sebelum mereka memerangimu disana. Tetapi, jika mereka memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS 2: 192)
Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh semua kekuatan besar (yang secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi mendukung Israel), pemimpin di kalangan mereka adalah Amerika Serikat, telah menarik diri dari Khomeini dan Khomeinisme adalah Khomeini yang tidak memiliki pilihan lain selain memperpanjang perang Irak-Iran. Hal itu mengalihkan perhatian dunia Islam dari duri yang paling menjengkelkan mereka, Israel, kepada isu yang sama sekali berbeda. Kesadaran akan ancaman musuh eksternal memberi jalan ketidakpercayaan yang terus berkembang antara satu Muslim dengan yang lainnya.
Timur Tengah terpecah belah. ‘Ketakutan’ kepada Israel ditangguhkan sebagai bahaya kecil dan laten yang bisa ditangani belakangan. Ketakutan satu Islam terhadap yang lain adalah faktor yang lebih mendesak yang menimbulkan kekhawatiran nyata atau ketakutan khayali tentang musuh eksternal. Tentu saja, untuk mengibuli serdadu yang awam, slogan bahwa Islam sedang berada dalam bahaya seringkali didengungkan oleh kedua belah pihak. Pada kenyataannya, apa yang sedang terjadi adalah bangkitnya persaingan dan kecemburuan sejarah antara orang Arab dan Iran a’jam. Sama sekali bukan persoalan kekuatan Islam versus kekuatan non-Islam atau Syiah versus Sunni, melainkan bangkitnya kembali perseteruan yang mudah dan sederhana yang telah bertahan lebih dari ribuan tahun. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Arab yang pada mulanya bersikap kritis sekalipun terhadap Irak dan Saudi Arabia pasti akan berpihak pada Irak. Ini hanya persoalan kelangsungan hidup Arab melawan tantangan dan ancaman yang berkembang dari Iran.
Bangsa Arab terlibat dalam perseteruan antar suku yang berkepanjangan terhadap persoalan-persoalan kecil sebelum kedatangan Islam. Islam menghentikan hal ini. Islam mempersatukan mereka ke dalam satu persaudaraan, bebas dari saling bermusuhan dan diskriminasi dalam bentuk apapun. Namun ketika kaum muslimin tidak lagi hidup dengan tuntutan ajaran Islam, saudara menjadi musuh dan persaingan antar suku kembali muncul ke permukaan. Jadi apa yang kita saksikan dalam dunia Islam sama sekali bukan karakter Islami. Ini merupakan kasus lain tentang bangkitnya kembali tendensi-tendensi feodalistik lama.
Negara-negara adidaya mengecam dengan suara bulat peperangan itu dan berulang kali menuntut dihentikannya kekerasan, tetapi mereka sendiri bertanggung jawab atas suplai senjata yang terus menerus, baik kepada Irak maupun Iran. Begitu juga pesawat tempur, roket, misil, meriam, tank, kendaraan artileri dan senjata perusak lainnya yang dipergunakan secara bebas oleh kedua faksi yang berperang bukan dibuat di tanah air mereka sendiri. Secara terbuka dan sembunyi-sembunyi, minyak Timur Tengah dan senjata-senjata Barat berpindah tangan. Hasil analisa akhir menunjukkan bahwa api peperangan dinyalakan dengan minyak yang diproduksi oleh Irak dan Iran dan diubah menjadi senjata oleh kekuatan non-Muslim Barat dan Timur. Namun bagi Barat, hal ini sama sekali bukanlah tawar menawar yang merugikan. Minyak Timur Tengah dibeli dengan senjata-senjata yang usang dan relatif tua. Jual beli apalagi yang lebih menguntungkan daripada ini?
Sebagaimana telah kita saksikan, Israel si musuh besar pun sama sekali terlupakan. Muslim membunuh Muslim. Minyak dunia Islam digunakan untuk membakar dan menghancurkan ekonomi dunia Muslim. Keberhasilan ekonomi dekade yang lalu yang berhasil diperoleh dengan susah payah dihanguskan. Sejauh hubungannya dengan kemajuan dan kemakmuran, bukannya bertambah maju, Irak dan Iran berjalan mundur ke belakang.
Tentu saja, semua perang memiliki dampak yang buruk bagi perkembangan ekonomi, sumber daya materi dan manusia, kemajuan budaya dan industri. Namun bagi negara-negara maju, industri perang dapat disokong dari sumber daya mereka sendiri dan dari sekutu-sekutu mereka. Tuntutan dan tekanan perang serta perjuangan untuk mempertahankan diri sama sekali tidak menggerus sumber daya mereka; malah memperkaya pengetahuan ilmiah mereka dan pengetahuan teknis pada tingkat yang luar biasa dalam rentang waktu yang singkat. Pengetahuan dan keahlian yang diperoleh selama masa peperangan langsung dapat diterapkan, bukan hanya untuk merehabilitasi ekonomi tetapi juga memberikan dorongan kemajuan yang luar biasa. Peperangan desktruktif membangkikan ide-ide baru yang konstruktif serta terobosan dalam kemajuan teknologi dan industri. Oleh karena itu, meskipun secara material mereka dibuat menjadi miskin sebagai akibat berlarut-larutnya peperangan, mereka dapat memperoleh kekayaan besar untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, hal seperti itu tidak terjadi pada negara-negara terbelakang dalam teknologi dan ekonomi yang melibatkan diri dalam kemewahan perang. Satu-satunya pilihan mereka hanyalah menjual apapun yang mereka miliki bahkan menggadaikan masa depan mereka dengan mengatur perjanjian-perjanjian dengan negeri-negeri yang lebih maju dalam teknologi dan industri untuk memperlengkapi mereka dengan peralatan perang. Tanpa melakukan hal itu, tidak mungkin perang di Dunia Ketiga akan berlangsung lama dan dengan dampak yang menghancurkan seperti yang terjadi dalam perang Irak-Iran. Tanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh negara-negara ini antara satu sama lain, dan kadang-kadang melawan negara lain, dalam batas tertentu, harus dibebankan juga kepada mereka yang memasok senjata dan amunisi kepada mereka.
Ketika semuanya telah terjadi, semua hutang telah dilunasi, dan pertukaran komoditas telah diperhitungkan, mungkin penting untuk merenungkan pertanyaan tentang siapa yang akhirnya mendapatkan manfaat dari permusuhan ini?
Kita telah menyaksikan bagaimana Islam dikecam sebagai agama barbar yang membenarkan terorisme, mengajarkan kebencian dan intoleransi dan memecah belah pengikutnya menjadi kelompok-kelompok haus darah yang saling bermusuhan, hal ini sangat mengejutkan. Ada keuntungan tambahan yang didapat oleh mereka yang merancang, merencanakan, menerapkan dan menyediakan alat-alat penghancur kepada kelompok-kelompok umat Islam yang saling berperang.
Sambil lalu, istilah ‘terorisme Islam’ mengarah pada istilah lain yang menarik yang diciptakan oleh media Barat dalam dekade terakhir, ‘bom nuklir Islam’. Pakistan dituduh memilikinya. Tentu saja harus ada bom nuklir Islam jika ada yang namanya terorisme Islam. Mungkin beberapa istilah peperangan yang ada dapat disematkan dengan awalan ‘Islam’. Mengapa kita tidak mendengar tentang bom nuklir Kristen, bom nuklir Yahudi, bom nuklir Hindu, bom aparteid atau bom Shinto? Adalah hal yang aneh, dengan banyak kemungkinan merujuk kepada ribuan bom-bom ‘agama’ lain, media barat hanya memilih, mengidentifikasi dan mencela bom Islam, yang keberadaannya diragukan.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, kekuatan nyata yang bekerja pada dasarnya bukanlah bersifat agama. Mengapa hanya memunculkan sebutan ‘Islam’ kapan saja kelompok teroris beraksi dalam kelompok-kelompok atau negara Muslim? Kekuatan-kekuatan yang menyebabkan berkepanjangannya perang Irak-Iran dengan suplai senjata mereka, tidak dapat melepaskan mereka dari tanggung jawab atas kehilangan jiwa dan harta yang luar biasa dan penderitaan manusia yang tak terhingga yang diakibatkannya. Apapun motifnya, mereka hanya ingin menolong Khomeneisme bertahan lebih lama. Seandainya negeri-negeri yang melemah dibiarkan sendiri dengan sumber-sumber daya yang menyusut, Khomeneisme mungkin sudah mengalami kemunduran.
Diantara hal-hal yang lain, perang ini membangkitkan kembali dan memperkuat semangat nasionalisme yang mengalihkan perhatian orang Iran dari persoalan internal kepada ancaman musuh eksternal. Sungguh mengherankan jika kekecewaan besar tidak muncul dalam negara Iran, kemungkinan akan menimbulkan tantangan dan bahkan pemberontakan melawan Khomeneisme. Di dalam negeri Iran, ada tendensi yang kuat yang menakar nilai-nilai revolusi dan menimbang pro dan kontranya. Meskipun sebagian besar orang-orang elit telah digusur, para intelektual yang selamat pasti akan menghitung kembali kerugian dan keuntungan mereka selama revolusi Khomeini. Sebuah langkah menuju pencarian tatanan baru bagi Iran bisa saja terjadi.
Selama peperangan, kebutuhan untuk tetap menjaga semangat juang rakyat di Iran cukup dipenuhi dengan rangsangan konflik. Manakala Iran kehabisan semangat, maka itu akan menjadi hari ketidakpastian yang besar. Apakah rezim sekarang digantikan oleh kekuatan sayap kiri atau kanan, atau oleh apapun yang tersisa dari kaum moderat, pasti akan ada pertempuran besar untuk mendapatkan supremasi dan mengambil alih pemerintahan. Semuanya akan kembali ke dalam panci peleburan dan tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti apa yang akan terjadi pada Iran. hanya Allah yang mengetahui. Saya hanya dapat berdoa untuk rakyat Iran semoga masa-masa sulit mereka akan berubah menjadi akhir yang damai dan penuh kebahagiaan. Mereka sungguh orang-orang yang berani dan berbakat. Mereka telah telah banyak menderita di masa lalu dan sekarangpun masih menderita, baik di tangan non-Iran maupun bangsa sendiri – dan ironisnya, mereka juga telah mendapat nama buruk dari tawar menawar ini. Semoga Allah mengasihani mereka dan membebaskan mereka dari kesulitan ini.
Sekarang kita beralih kepada aspek lain dari revolusi Khomeneisme di Iran. Segera setelah memegang kekuasan, Ayatullah Khomeini tidak hanya merencanakan untuk mengubah gaya hidup Muslim Iran dari dominasi kekuatan asing baik dari dalam maupun luar, tetapi ia juga bertekad untuk menghasilkan revolusi serupa di negara-negara tetangga Muslim lainnya. Ia juga menyatakan kepada dunia Islam bahwa ia akan memainkan peran yang lebih kuat dalam menolong rakyat Palestina dan mengalahkan kekuatan Zionis. Tentu saja, baik negara-negara Muslim maupun Israel tidak bersedia menerima pesan-pesan revolusi Iran dengan tangan terbuka, sehingga ekspor ini tidak dapat diterapkan melalui cara-cara legal dan damai. Iran gagal memperluas ide revolusi ke negara-negara tetangga Muslim. Namun, tidak diragukan bahwa ia memperoleh sedikit kesuksesan di sektor Palestina – Israel. Sebagaimana telah saya jelaskan, tindakan teroris yang dilakukan di wilayah ini, baik yang ditujukan kepada Israel atau terhadap representasi kekuatan Barat, tidak mendapat pembenaran dari Islam melainkan hanya dari falsafah revolusi Iran saja.
Militansi Arab
Pembicaraan yang berkembang tentang militansi dan penggunaan kekuatan yang kita dengar, perlu dianalisa dengan cermat sebelum kita dapat memahami pentingnya fenomena yang ganjil ini. Sikap sempit, non-toleran menjadi lebih populer dalam diri ‘ulama-ulama’ Islam, hampir di seluruh negeri Islam. Tanggung jawab akan hal ini terutama terletak di pundak Saudi Arabia, yang berupaya untuk menarik perhatian seluruh dunia Islam dan nampak bertekad menyebarkan pengaruh politiknya dengan kedok agama. Karena mendapat keuntungan khusus sebagai penjaga dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, Arab Saudi tentu dalam posisi untuk memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan yang besar.
Falsafah beragama Saudi Arabia bersumber dari Wahabisme, yang mendapat inspirasi dari dunia Islam abad pertengahan yang tidak toleran ketimbang pemahaman Islam di zaman Rasulullah saw yang lebih ramah dan mudah dimengerti. Penyebaran pengaruh Saudi didukung oleh petro dollar Saudi dan jumlah tabungan bank Saudi yang besar di seluruh dunia. Merupakan pengakuan Arab Saudi bahwa bagian dari bunga yang diperoleh dari investasi besar ini digunakan untuk membentuk saluran-saluran bantuan dari pundi-pundi Saudi Arabia ke negera-negara Muslim yang miskin dengan populasi Muslim yang cukup besar. Pada umumnya, bantuan ini diberikan bukan untuk meningkatkan ekonomi mereka yang sedang sakit, tetapi untuk membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang menghasilkan sarjana-sarjana dengan cap Saudi.
Oleh karena itu, dimanapun anda mengikuti arus bantuan Saudi, anda juga akan menyaksikan peningkatan yang cepat pandangan-pandangan ulama Islam yang sempit dan intoleran. Tidak diragukan lagi, ketika dunia Kristen mendengar suara-suara yang mengecam semua nilai-nilai yang tidak Islami, dan mengajarkan jihad, melawan pemerintahan non-Muslim, mereka diarahkan untuk mempercayai bahwa pembicaraan tentang perang suci ini akan segera diterjemahkan ke dalam bentuk peperangan yang nyata. Padahal faktanya sebenarnya sama sekali berbeda.
Para ‘ulama’ Islam berteriak lantang tentang perang suci dan penghancuran kekuatan non-Muslim. Apa yang sebenarnya mereka maksudkan tidak ada lagi kekuatan non-Muslim bukanlah kekuatan Yahudi, Kristen, Budha, atau kekuatan ateis. Menurut pandangan mereka, semua aliran Islam selain aliran mereka adalah non-muslim dalam karakternya atau berpegang kepada doktrin yang menyebabkan mereka layak ditimpa kemurkaan Allah dan hamba-hamba-Nya yang benar. Musuh sejati Islam, sebagaimana mereka pahami, bukanlah non-Muslim melainkan beberapa aliran Islam dalam dunia Islam. Kebangkitan militannsi Islam lebih banyak ditujukan kepada antar aliran dalam Islam dibandingkan melawan non-Muslim. Inilah sebabnya mengapa mereka begitu keras menekankan persoalan hukuman mati bagi orang yang murtad. Itulah senjata mereka melawan umat Islam yang berbeda dalam beberapa keyakinan dengan mayoritas Islam di sebuah negara. Aliran-aliran ini, sesungguhnya menghadapi pukulan mematikan dalam dua langkah – pertama, akidah mereka dinyatakan tidak Islami, sehingga mereka mereka dicap murtad; dan kedua, dari doktrin hukuman mati bagi kemurtadan, mereka dipandang layak untuk dikenai hukuman itu.
Seorang pengamat bersikap netral tentu akan sependapat bahwa kecenderungan sikap militan yang semakin meningkat ini menciptakan kekacauah di kalangan umat Islam sendiri dan ia berperan dalam menanamkan rasa kebencian yang hebat di hati para penganut satu aliran kepada aliran yang lain.
Sejauh menyangkut kekuatan non-Muslim, mereka benar-benar merasa aman dan yakin bahwa tidak ada bahaya apapun yang menimpa mereka dari kecenderungan militansi dunia Islam. Untuk menunjukkan hal ini, kita cukup mempertimbangkan hubungan antara Saudi Arabia dengan Barat, khususnya dengan Amerika Serikat. Tidak dapat dibayangkan Saudi Arabia atau negeri-negeri yang ada di bawah pengaruhnya walau mimpi sekalipun untuk mengangkat pedang melawan Amerika atau sekutunya. Rezim Saudi seratus persen bergantung pada Amerika Serikat. Hampir seluruh kekayaan dari keluarga penguasa disimpan di bank-bank Amerika dan Barat. Diatas semua ini, ketergantungannya kepada Barat bagi keamanan internal dan eksternal sangat menyakinkan sehingga tidak perlu dibahas di sini. Dua faktor ini saja menjamin, bahwa tidak ada satupun, baik Saudi Arabia maupun negeri-negeri Muslim di bawah pengaruhnya yang dapat menimbulkan ancaman bagi non-Muslim Barat. Lagipula, kenyataan bahwa tak satupun negara Muslim saat ini yang mandiri dalam memproduksi peralatan perangnya, dan harus bergantung pada Barat atau Timur untuk kebutuhan defensif dan ofensifnya, menyediakan jaminan yang lebih dari cukup dari sebuah hubungan yang aman dan damai dengan kekuatan non-Muslim. Prinsip yang sama dapat pula diterapkan kepada negara seperti Libya dan Suriah, yang menikmati hubungan yang lebih hangat dengan kekuatan Timur daripada kekuatan Barat.
Tak seorangpun meskipun ia hanya memiliki pemahaman terbatas tentang peperangan modern dapat membayangkan adanya ancaman nyata dari militansi Islam. Tentu saja ada bahaya dalam kencederungan yang tumbuh ini, dan orang pasti akan terganggu olehnya. Bahaya dari militansi Islam adalah ancaman bagi dunia Islam sendiri; ini merupakan ancaman ke dalam yang menghancurkan kaum Muslim di mana-mana. Seluruh sikap intoleran, pikiran yang sempit dan kefanatikan yang kita saksikan di dunia Islam saat ini sedang bermain api dengan kedamaian dunia Islam. Sungguh amat disayangkan!
Terorisme yang Dilakukan Negara kepada Warganya
Saya menyadari akan fakta yang menegaskan bahwa kata terorisme ‘berlaku untuk segala tindakan teror’, upaya yang menyebabkan ledakan bom dan yang sejenisnya. Tetapi saya tidak percaya bahwa ini merupakan satu-satunya jenis terorisme yang terjadi di dunia. Saya yakin bahwa setiap upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya yang memberangus suara-suara yang berbeda, maka tindakan tersebut juga dapat dimasukkan dalam istilah ‘terorisme’ dan patut untuk dikecam sebagaimana bentuk terorisme lainnya. Saya menganggap semua tindakan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap golongan kiri ataupun kanan di negara mereka adalah bentuk terorisme yang sangat buruk.
Ketika tindakan terorisme ditujukan terhadap pemerintah asing dan dalam bentuk adanya penggunaan bahan peledak disana sini, atau pembajakan pesawat terbang, kejadian semacam itu mendapat banyak atensi. Dunia bersimpati kepada korban tindakan terorisme tersebut, sebagaimana seharusnya. Simpati semacam itu tidak hanya digaungkan, namun pada umumnya diikuti dengan langkah konstruktif untuk mencegah dan mengantisipasi upaya serupa di masa depan.
Namun, bagaimana dengan ratusan ribu orang yang menderita di tangan pemerintah mereka sendiri? Jeritan kesedihan mereka jarang terdengar di luar. Teriakan protes mereka selalu diredam dengan tindakan sensor yang ketat. Bahkan kalaupun lembaga kemanusiaan seperti Amnesti Internasional menarik perhatian dunia atas tindakan penyiksaan, persekusi, dan perampasan hak asasi manusia yang kejam, peristiwa semacam itu hanya sedikit sekali dikecam, kalaupun itu dilakukan oleh pemerintahan dunia, lebih seringnya tidak. Hal ini dianggap sebagai permasalahan internal bagi negara-negara yang bersangkutan. Alih-alih digambarkan sebagai tindakan terorisme, hal itu disebut secara luas sebagai upaya pemerintah menekan terorisme di negara-negara tersebut; untuk mewujudkan perdamaian, hukum dan ketertiban.
Saya cukup yakin bahwa pada dasarnya semua tindakan restriktif dan penghukuman yang diambil oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri adalah untuk menekan pergerakan populer atau kelompok oposisi yang dicurigai, lebih seringnya melampaui batas-batas tindakan hukum yang seharusnya dan berakhir pada tindakan kekerasan yang brutal, yang dirancang untuk menebar teror di hati warga mereka yang tidak puas. Kemanusiaan telah menderita lebih banyak melalui tindakan terorisme yang dilakukan oleh negara ketimbang melalui semua tindakan sabotase atau pembajakan.
Islam Menolak Setiap Bentuk Terorisme
Sejauh kaitannya dengan Islam, ia dengan tegas menolak dan mengecam setiap bentuk terorisme. Islam tidak memberikan perlindungan atau pembenaran untuk setiap tindakan kekerasan apapun, apakah itu dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun pemerintah.
Tentu saja terdapat ruang kegelisahan di dunia Islam, karena adanya kelompok, organisasi, dan kadang-kadang pemerintah, yang nampak melakukan tindakan terorisme, kekerasan dan sabotase. Palestina, Lebanon, Libya, Suriah sering menghiasi pemberitaan. Dalam sebagian besar kasus, mereka yang terkait adalah Islam, namun ada beberapa pengecualian. Diantara orang-orang Palestina, misalnya, banyak orang yang bertekad untuk melakukan tindakan terorisme terhadap Israel, yang kebetulan memiliki keyakinan sebagai Kristen. Untuk memudahkan atau karena kurangnya pengetahuan mereka disebut sebagai terorisme Islam oleh media-media barat. Di Libanon, ada teroris Muslim dan teroris Kristen, dan ada juga agen dan tentara Israel yang satu sama lain terlibat dalam kegiatan terorisme yang mengejutkan rasa kemanusiaan. Tetapi Anda tidak akan mendengar terorisme Yahudi atau Kristen dengan apa yang terjadi di Lebanon. Semua tindak kekerasan disatukan dan dibungkus dalam paket ‘terorisme Islam’.
Hukuman Mati Bagi Pelaku Penistaan Agama
Sejauh menyangkut Salman Rushdie, tidak ada orang yang waras yang memiliki pengetahuan hakiki tentang Al-Quran, yang setuju dengan Imam Khomeini bahwa hukuman mati yang diumumkannya itu berdasarkan pada perintah Islam. Tidak ada hukuman bagi penistaan agama (blasphemy) di dalam Al-Quran atau hadits Rasulullah saw. Penistaan terhadap Allah disebutkan dalam Al-Quran dengan kalimat berikut:
“Dan, janganlah kalian memaki apa yang diseru mereka selain Allah, maka mereka memaki Allah. karena rasa permusuhan, tanpa ilmu.” (QS 6: 109)
Tidak ada otorisasi yang diberikan kepada siapapun untuk menjatuhkan hukuman penistaan terhadap Tuhan. Penghujatan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap Maryam, ibunda Nabi Isa, telah disebutkan dalam Al-Quran:
“Dan disebabkan kekufuran mereka dan ucapan mereka terhadap Maryam berupa tuduhan palsu yang besar”. (QS 4: 157)
Sekali lagi tidak ada hukuman selain apa yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Sungguh disayangkan dan menyedihkan sehingga Imam Khomeini karena kurang hati-hati telah merusak Islam, bukannya membelanya, dan telah menyebabkan kerusakan besar pada citra Islam di dunia yang bebas ini.
Imam Masjid Al-Azhar, Kairo telah menentang perintah Khomeini tersebut, dan saya yakin bahwa ada banyak Muslim Syiah yang tidak setuju dengan Imam Khomeini dalam permasalahan ini.
Terlepas dari itu semua, tidak adil jika seseorang mengabaikan permasalahan yang sebenarnya. Saya merasa ini ketidakadilan, seperti yang dilakukan oleh beberapa politisi dan cendekiawan yang mengutuk Khomeini, bukannya Salman Rushdie, yang telah membuat sebuah buku dengan bahasanya yang sangat kasar, yang sengaja menyinggung jutaan umat Islam di seluruh dunia. Semua ini tidak benar. Buku ini telah membantu merusak kedamaian antara Muslim dan Kristen dan jika seseorang dapat menilai dari beberapa komentar di surat kabar nasional, telah melepaskan kekuatan intoleransi rasial.
Tetapi perlu diketahui, saya tidak membenarkan bentuk terorisme apapun, ras, agama, sentimen atau objek yang dinyatakan oleh teroris. Islam adalah keyakinan dan agama saya, dan Islam tidak menyetujui kekacauan jenis apapun. Islam sangat jauh dari ajaran terorisme.
Apakah agama terorisme diorganisasi dan disokong oleh petro dollar Kolonel Qaddafi? orang mungkin bertanya. Apa juga agama dari aktifitas teroris yang dilakukan oleh Syiria di masa lalu, Apakah Islam? Jika demikian apakah perbedaan antara Islam dan sosialisme ilmiah? Bukankah ini sebuah fakta bahwa ‘Buku Hijau’ Kolonel Qaddafi hanya berwarna hijau? tetapi isi buku itu benar-benar berwarna merah.
Jika aktifitas teroris fundamentalis Muslim Iran atau Libya disebut sebagai ‘terorisme Islam’, warna Islam mereka akan nampak hijau gelap. Bagaimana Islam dapat bertentangan secara diametral dengan dirinya sendiri dan bagaimana mungkin ada Islam ‘hijau dan ‘merah’ pada saat yang sama? orang mungkin bertanya-tanya. Jika ada, terorisme Libya hanya dapat dilihat sebagai terorisme nasionalis yang menyamar. Sambil lalu, ini mengingatkan kita kepada Fidel Castro dari Kuba. Dia bertindak lebih jauh dibanding Kolonel Qaddafi dalam selera kekerasan dan terorismenya. Namun tidak ada seorangpun yang pernah mendengar perbuatannya tersbut digambarkan sebagai terorisme Kristen.
Terorisme Islam dan Standar Ganda Barat
Satu keadaan mengarah pada keadaan yang lain; diskusi tentang terorisme memunculkan pandangan seseorang dalam berbagai tahap sejarah. Dunia Kristen telah diakui terlibat dalam tindakan-tindakan persekusi dan penyiksaan yang buruk, dan beberapa raja Kristen terlibat dalam tindak kekerasan dan penganiayaan yang brutal dengan pandangan yang keliru bahwa mereka melayani agama Kristus. Selama tahun-tahun Black Death, 1348-1349, bukankah banyak orang Yahudi yang dibakar hidup-hidup di rumah mereka? Di zaman inkuisisi Spanyol, masa teror yang panjang terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk beberapa pendeta Kristen. Banyak wanita yang tak berdaya, di berbagai bentang waktu, dihukum mati karena mereka dinyatakan sebagai penyihir dan adanya pandangan yang menyimpang bahwa inilah cara Kristen dalam menangani sihir.
Bagaimanapun, banyak dari tindakan ini terkait langsung dengan agama Kristen, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah produk dari zaman kegelapan saat kejahilan menjadi pengendali tertinggi. Kapankah manusia mulai dapat mengerti perbedaan antara tindakan individu dan ajaran agamanya? Jika orang bingung membedakan dua hal ini dan mencoba memahami agama dengan mempelajari perilaku para penganutnya, maka akan muncul banyak pertanyaan. Perilaku dari penganut masing-masing agama berbeda-beda dari satu negara dengan negara yang lain, dari satu sekte dengan sekte yang lain, dari waktu yang berbeda dan dari orang perorang.
Betapa berbedanya perilaku para murid Yesus pengikut Pinochet di Chile, atau di Afrika Selatan, yang mencanangkan untuk menengakkan nilai-nilai Kristen. Manakah yang menjadi representasi agama Kristen? Dapatkan kita menyebut Perang Dunia Pertama dan Kedua, dimana jutaan orang kehilangan nyawa mereka[1], sebagai peperangan Kristen melawan kemanusiaan? Dalam Perang Dunia Kedua, untuk Rusia saja diperkirakan kehilangan lebih dari 6,1 juta orang. Tiga perempat dari seluruh penduduk Bosnia terbunuh. Kehilangan harta benda dan materi begitu besarnya sampai tidak mungkin untuk menakarnya.[2] Akankah kekejaman ini dapat digambarkan sebagai tindakan agama Kristen atau apakah kita memahami kekristenan dari para pengikut Kristen awal, yang setelah ditampar pipi kiri, diberi pipi kanan, dan mereka yang dijadikan santapan binatang dan dibakar hidup-hidup di rumah mereka, daripada menjawab kekerasan dengan kekerasan? Saya lebih suka memilih yang terakhir.
Setiap peperangan yang terjadi di negara Muslim dirasakan Barat sebagai perpanjangan ‘terorisme Islam’, namun di negara lain tindakan semacam itu hanya dipandang sebagai sengketa politik. Mengapa standar ganda keadilan seperti ini masih berlaku di zaman sekarang ini? Seseorang menjadi bertanya-tanya apakah ada arus kebencian terhadap Islam di balik permukaan peradaban Kristen yang tampaknya tenang? Mungkinkah karena kemabukan dari berabad-abad Perang Salib melawan kekuatan Islam? Ataukah anggur tua kebencian orientalis terhadap Islam telah dituang kembali di gelas yang baru? Pandangan bahwa Islam disebarkan oleh pedang sangat dipertanyakan. Peperangan yang dilakukan pemerintahan Islam harus dinilai menurut prinsip-prinsip politik dan hubungan internasional yang berlaku, bukan dinilai berdasarkan agama.
Ekspresi kekerasan adalah gejala dari banyak penyakit di masyarakat. Dunia Islam saat ini tidak tahu kemana harus berpaling. Orang-orang merasa tidak puas dengan banyak hal yang tidak dapat mereka kendalikan sama sekali. Mereka laksana daging mati yang dieksploitasi oleh para pemimpin atau wakil-wakil mereka yang korup dan oleh antek-antek kekuatan asing. Sayangnya, banyak pemimpin di negara-negara Muslim sendiri yang meminta pembenaran dari Islam atas tindakan kekerasan dan penindasan mereka, seperti yang terjadi pada masa Jenderal Ziaul Haq di Pakistan. Revolusi berdarah benar-benar barang asing bagi filsafat Islam dan tidak memiliki tempat di negara-negara Islam.
Sebagai seorang pengikut suatu agama, dan pemimpin komunitas rohani yang telah menghadapi satu abad penganiayaan, teror dan kekejaman, saya sangat mengecam semua tindakan dan bentuk-bentuk terorisme karena hal ini merupakan keyakinan mendasar saya bahwa tidak hanya Islam tetapi juga semua agama yang benar, apapun namanya, tidak ada yang membenarkan kekerasan dan pertumpahan darah kepada pria, wanita dan anak-anak tak berdosa yang mengatasnamakan Tuhan.
Tuhan adalah cinta, Tuhan itu damai!
Cinta tidak pernah menimbulkan kebencian
dan perdamaian tidak akan pernah mengarahkan pada perang.
[1] Dalam Perang Dunia Pertama, kekuatan yang digerakkan Sekutu berjumlah 42, 6 juta dan Kekuatan Sentral memiliki 22.85 juta orang. Total korban di kedua belah pihak adalah 57,85 persen. Dalam perang Dunia Kedua, kekuatan bersenjata berjumlah 72.581.566, darinya 16.829.758 terbunuh atau hilang (diduga terbunuh) dan 26.698.339 orang luka-luka. (Source: Arthur Guy Enock, This War Business, London: Bodley Head, 1951, and US Department of Defense.) The Carnegie Endowment for International Peace memperkirakan bahwa Perang Dunia Pertama bernilai $ 400.000.000.000, belum termasuk kerusakan harta benda sipil dan biaya kehilangan nyawa. Menurut perkiraan, biaya langsung Perang Dunia Kedua untuk negara-negara peserta jumlah keseluruhan mengejutkan yaitu $1,098,938,000,000
[2] William J. Roehrenbeck, Collins Encyclopaedia , vol. 23, article headed ‘War Costs and Casualties’
Sumber : Islamic Terrorism? – Alislam.org
Penejemah : Khaeruddin Ahmad Jusmansyah