Meskipun Allah Yang Maha Kuasa telah menyatakan kalau benih keimanan pada Ketauhidan Ilahi sudah ada dalam setiap jiwa, Dia juga menjelaskan bahwa benih tersebut tidak sama kadar kekuatannya pada setiap orang karena nur tersebut pada sebagian orang nyatanya dikalahkan sampai hampir redup oleh nafsu mereka sendiri. Sebagaimana halnya fitrat bawaan hewaniah atau fitrat agresif, begitu juga keimanan kepada Tuhan yang Satu merupakan fitrat bawaan.
Betapa pun bebasnya seseorang mengumbar nafsunya dan betapa pun ia mengikuti dorongan keji dari dirinya sendiri, tetap saja ia sedikit banyak masih memiliki nur alamiah dalam dirinya. Sebagai contoh, bila karena dorongan nafsu atau amarah seseorang melakukan pembunuhan, pencurian atau pun zinah, maka meski tindakan tersebut merupakan tuntutan fitratnya namun nur kebaikan yang ada dalam dirinya selalu menegurnya saat ia melakukan ketidak-pantasan tersebut. Allah Yang Maha Agung menyatakan tentang hal ini dalam ayat:
فَأَلهَمَها فُجورَها وَتَقواها
“Dia mengilhamkan kepadanya jalan-jalan kejahatan dan jalan-jalan ketakwaan.” (QS. 91, Asy-Syams: 9).
Berarti bahwa Tuhan ada mengaruniakan suatu bentuk wahyu kepada setiap orang yang disebut sebagai cahaya hati yang merupakan fitrat guna membedakan di antara yang baik dan yang buruk. Sebagai contoh, ketika seorang pencuri melakukan tindak pencuriannya, atau seorang pembunuh melakukan pembunuhan, Tuhan akan menanamkan dalam batinnya rasa penyesalan karena telah melakukan suatu hal yang buruk. Hanya saja yang bersangkutan lalu tidak memperhatikannya karena cahaya hatinya amat lemah dan kalah di bawah pengaruh fitrat hewaniah serta egonya.
Kegalauan ego orang-orang seperti itu tidak mungkin diatasi oleh orang lain, namun Tuhan telah menyediakan obat penawarnya. Apakah
penawar tersebut? Penawar itu bernama pertobatan, memohonkan pengampunan dan rasa penyesalan. Berarti jika mereka melakukan suatu kekejian sejalan dengan tuntutan ego mereka atau muncul suatu pikiran jahat dalam benak mereka, lalu mereka mencari penawar melalui pertobatan dan memohonkan pengampunan, maka Tuhan akan mengampuni mereka. Bila mereka terantuk berulangkali tetapi menyesal setiap kali terjadi dan bertobat, maka rasa penyesalan dan pertobatan tersebut akan membasuh noda-noda dosa mereka. Hal inilah yang dikenal sebagai kafarah (penebusan) hakiki guna penawar bagi dosa alamiah. Allah Swt menyatakan mengenai hal ini dalam ayat:
وَمَن يَعمَل سوءًا أَو يَظلِم نَفسَهُ ثُمَّ يَستَغفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفورًا رَحيمًا
“Barangsiapa berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian ia meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosanya, akan didapati olehnya Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. 4, An-Nisa: 111).
Ayat yang bermakna demikian dalam dan penuh kebijakan tersebut mengandung arti bahwa sebagaimana keterperosokan dan laku dosa merupakan karakteristik dari kalbu yang cacat, tetapi tetap ada fitrat-fitrat abadi Ilahi dalam bentuk rahmat dan pengampunan karena Dia secara sifat adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sifat pengampunan-Nya tersebut bukan suatu hal yang kebetulan saja melainkan merupakan fitrat abadi Wujud-Nya yang memang disukai-Nya dan yang ingin diberlakukan- Nya terhadap orang-orang yang layak.
Tiap kali seseorang berpaling kepada Tuhan-nya dengan rasa penuh penyesalan dan pertobatan karena telah terperosok atau melakukan suatu tindakan dosa, ia menjadi layak memperoleh perlakuan bahwa Tuhan akan memandangnya dengan rahmat dan pengampunan. Hal ini tidak dibatasi pada satu atau dua kali kejadian saja karena sudah merupakan fitrat abadi Allah Yang Maha Agung bahwa Dia akan selalu berpaling kepada hamba-Nya yang telah menyesal dan telah bertobat. Dengan demikian sudah menjadi hukum alam kalau seorang yang lemah nuraninya akan sering terperosok dan alam tidak mengatur agar fitrat orang yang mengikuti nafsu hewaniahnya lalu harus diubah. Yang menjadi kaidah abadi-Nya adalah mereka yang melakukan dosa akan memperoleh pengampunan melalui laku pertobatan dan permohonan ampun.
(Barahin-i-Ahmadiyah, Safir Hind Press, Amritsar, 1882, Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 185-187, London, 1984).
Sumber: Inti Ajaran Islam Bagian Kedua, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, 2017, hlm. 219-221