Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Menjawab Tuduhan Terkait Hukuman Terhadap Bani Quraizhah
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 1 November 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Sebelumnya masih membahas rincian Perang Banu Quraizah. Rincian lebih lanjutnya adalah sebagai berikut. Mengenai para syuhada Muslim yang gugur dalam perang ini, tercatat bahwa ada dua Muslim yang menjadi syahid: Hz. Khallad bin Suwaid r.a. dan Hz. Mundzir bin Muhammad r.a.. Mengenai jumlah orang Yahudi Bani Quraizhah yang terbunuh, terdapat perbedaan pendapat. Ibnu Ishaq menulis bahwa jumlah mereka adalah 600 orang. Menurut salah satu riwayat, jumlah mereka ada 700 orang. Suhaili mengatakan bahwa jumlah mereka antara 800 hingga 900 orang. Imam Tirmidzi dan Imam Nasai menulis 400 prajurit. Ibnu Sa’d juga menyebutkan antara 600 hingga 700 orang.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a., berdasarkan penelitian beliau dari berbagai sumber sejarah, menulis bahwa sekitar 400 orang dihukum mati pada hari itu sesuai dengan keputusan Hz. Sa’ad r.a., dan Nabi Muhammad saw. memerintahkan para sahabat untuk mengatur pemakaman mereka yang dihukum mati. Para penentang Islam melebih-lebihkan jumlah korban dan kemudian menyatakan Islam sebagai agama yang zalim. Namun, jika kita melihat bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian, menurut sejarah yang terpercaya, jumlahnya adalah sekitar 400 orang, dan mereka adalah para prajurit. Itulah sebabnya mereka dikuburkan dalam satu lubang yang digali.
Seorang cendekiawan Ahmadi masa kini, Tn. Syed Waqas, juga telah melakukan penelitian mendalam tentang hal ini dan beliau telah menulis dengan sangat baik. Dalam bukunya “Rasul Akram Wujud Hijaz“, beliau menulis: Jika melihat perdebatan tentang jumlah korban dari Bani Quraizah – beliau mengangkat beberapa pertanyaan yang beberapa di antaranya memiliki sudut pandang yang masuk akal. Salah satu prinsip dasar yang beliau ambil yang merupakan prinsip yang sangat penting adalah bahwa baik hadits maupun sejarah, riwayat-riwayat mereka tidaklah bebas dari kelemahan dan unsur dibuat-buat. Oleh karena itu, menerima semua riwayat dengan mata tertutup bukanlah tindakan yang bijaksana.
Kemudian, mengenai jumlah 600 hingga 900 orang yang terbunuh, beserta jumlah wanita dan anak-anak mereka, yang menurut perkiraan kasar jumlahnya tidak kurang dari 5-6 ribu orang, berkenaan dengan ini, menyebutkan bahwa mereka dibawa ke Madinah dalam keadaan terikat tali dan ditempatkan di dua rumah, lalu tentang pengurusan makan dan minum mereka sementara kaum Muslimin sendiri saat itu tengah kelaparan dan kehausan, lalu mengatur sejumlah besar orang ini untuk kebutuhan buang hajat mereka dan keperluan lainnya, lalu tidak ada di antara mereka yang mencoba melarikan diri atau membuat keributan, lalu penggalian lubang di pasar Madinah dalam semalam untuk menghukum mati 600 orang, padahal sudah ada parit yang baru digali untuk perang ahzab, kemudian hanya dua atau tiga orang yaitu Hz. Ali r.a. dan Hz. Zubair r.a. yang menghukum mati mereka semua, dan kedua sahabat ini tidak pernah menyebutkan kejadian ini, serta tidak disebutkannya jumlah korban dalam Bukhari dan Muslim, beberapa hal seperti ini menunjukkan bahwa riwayat-riwayat ini perlu dikaji ulang dan dilihat apakah di dalamnya terkandung banyak hal-hal yang dilebih-lebihkan. Beliau menulis bahwa orang-orang kemudian telah menambahkan berbagai warna pada kejadian-kejadian ini untuk memicu permusuhan antara Nabi Muhammad saw. dan umat Islam terhadap Yahudi. Karena di dalam Shahih Bukhari kata yang digunakan adalah bahwa Hazrat Sa’d dalam keputusannya mengatakan,
تقتل المقاتلة
yakni para pejuang mereka harus dibunuh. Kini, para sejarawan secara umum, para ahli tafsir, dan penulis sejarah nabi telah menerjemahkan ini sebagai berikut, yakni setiap laki-laki yang mampu berperang harus dibunuh; bahkan, mereka telah memperluas kata ini sedemikian rupa sehingga “mampu berperang” diartikan sebagai setiap laki-laki dewasa, dan mereka bahkan membuat standar kedewasaan mereka sendiri dengan menetapkan beberapa orang untuk memeriksa tanda-tanda kedewasaan setiap laki-laki mereka dan mengumumkan apakah dia dewasa, dan dengan demikian jumlah ini terus bertambah. Ini adalah batasan yang berlebihan; sementara itu, mereka yang cenderung ke jumlah yang lebih kecil telah membatasi pemaknaan kata “muqātilah” dengan hanya mengartikannya sebagai para laki-laki yang ikut serta dalam perang ini, yang menurut penelitian mereka tidaklah lebih dari dua puluh orang. Mereka telah lebih menguranginya lagi, dan hingga batas tertentu apa yang mereka sebutkan mengandung hal yang masuk akal.
Ini memang penelitian beliau sendiri, tetapi beberapa poin beliau masuk akal dan bisa dijadikan dasar dalam penelitian.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a., dalam menanggapi kritik para sejarawan non-Muslim tentang jumlah orang Yahudi yang terbunuh dalam Perang Banu Quraizah, menjelaskan:
Para sejarawan non-Muslim telah melancarkan serangan yang sangat keji terhadap Rasulullah saw. dan menggambarkan beliau saw., na’ūdzubillāh, sebagai penguasa yang kejam dan haus darah karena hukuman mati terhadap sekitar 400 orang Yahudi ini. Kritik ini didasarkan pada kebencian mereka terhadap Islam, yang bahkan banyak sejarawan yang terdidik dalam pencerahan Barat pun tidak bisa bebas darinya, setidaknya dalam hal yang berkaitan dengan Islam dan sosok pendiri Islam. Bahkan beberapa orang Islam pun telah terpengaruh oleh mereka.
Dalam menjawab kritik ini, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:
Pertama, harus diingat bahwa keputusan tentang Bani Quraizhah yang dianggap kejam itu adalah keputusan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a., bukan keputusan Rasulullah saw.. Karena ini bukan keputusan beliau saw., maka beliau saw. tidak bisa dikritik karenanya.
Kedua, keputusan ini sama sekali tidaklah salah atau kejam berdasarkan keadaan yang ada, yang rinciannya telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga, karena adanya perjanjian yang Hz. Sa’ad r.a. buat dengan Rasulullah saw. sebelum mengumumkan keputusan, maka Rasulullah saw. terikat untuk bertindak sesuai dengan keputusan itu.
Keempat, ketika para terhukum sendiri sudah menerima keputusan ini dan mereka tidak mengajukan keberatan, dan bahkan mereka menganggapnya sebagai takdir Ilahi (seperti yang terlihat dari kata-kata Huyay bin Akhtab saat akan dihukum), maka bukanlah tugas beliau saw. untuk campur tangan tanpa alasan.
Setelah adanya keputusan Hz. Sa’ad r.a., hubungan beliau dengan perkara ini hanya sebatas memastikan keputusan itu dilaksanakan dengan baik di bawah pengaturan pemerintahan beliau saw., dan telah dijelaskan bahwa beliau saw. menjalankannya dengan cara yang bisa dianggap sebagai contoh terbaik bagi sikap kasih sayang dan belas kasihan. Selama mereka ditahan sebelum pelaksanaan hukuman, beliau saw. mengatur tempat tinggal dan makanan mereka dengan sebaik-baiknya, dan ketika keputusan Hz. Sa’ad r.a. dilaksanakan, beliau saw. melakukannya dengan cara yang meminimalkan penderitaan para terhukum.
Yakni pertama, Beliau saw. memerintahkan bahwa saat menghukum mati seorang terhukum, terhukum lain tidak boleh hadir. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang dibawa ke tempat hukuman tidak tahu ke mana mereka akan dibawa sampai mereka tiba di tempat tersebut. Selain itu, setiap permohonan pengampunan yang diajukan kepada beliau, semua itu dengan langsung beliau saw. terima, dan tidak hanya nyawa mereka yang diselamatkan, tetapi istri, anak-anak dan harta benda mereka juga diperintahkan untuk dikembalikan. Perlakuan kasih sayang apalagi yang bisa dilakukan terhadap seorang terhukum lebih dari ini?
Jadi, tidak hanya tidak ada lagi keberatan yang bisa diajukan terhadap Rasulullah saw. mengenai peristiwa Bani Quraizhah, tetapi sebenarnya peristiwa ini adalah bukti yang sangat jelas tentang akhlak mulia beliau saw., kemampuan pengaturan beliau saw. yang baik, dan sifat belas kasihan alami beliau saw.
Sekarang mengenai pertanyaan tentang keputusan itu sendiri. Kita bisa mengatakan dengan yakin bahwa tidak ada unsur kezaliman atau penindasan di dalamnya, melainkan ini didasarkan pada keadilan sejati. Untuk hal ini pertama-tama kita harus melihat apa kejahatan Bani Quraizhah dan dalam situasi apa kejahatan itu dilakukan. Sejarah menunjukkan bahwa ketika Rasulullah saw. pertama kali tiba di Madinah, ada tiga suku Yahudi yang menetap di sana: Banu Qainuqa, Banu Nadir dan Banu Quraizah. Tindakan politik pertama Rasulullah saw. setelah hijrah adalah mengadakan perjanjian perdamaian dengan para pemimpin ketiga suku ini. Syarat-syarat perjanjian ini adalah: Muslim dan Yahudi akan hidup damai di Madinah; mereka akan memelihara hubungan persahabatan satu sama lain; mereka tidak akan membantu musuh masing-masing atau tidak akan memiliki hubungan dengan musuh masing-masing; jika ada serangan dari suku luar terhadap Madinah, mereka akan bersatu melawannya; jika ada seseorang atau kelompok yang melanggar perjanjian ini atau yang menyebabkan kekacauan, maka pihak yang lain berhak mengambil tindakan terhadapnya; semua perselisihan dan sengketa akan dibawa ke hadapan Muhammad SAW. dan keputusannya akan wajib dijalankan oleh semua pihak. Namun, penting bahwa setiap orang atau kaum akan dihakimi sesuai dengan agama dan syariat mereka sendiri. Ini adalah suatu hal yang penting, yaitu keputusan akan dibuat sesuai dengan agama dan syariat mereka, meskipun pemerintahan Muslim telah berdiri.
Bagaimanakah orang-orang Yahudi dalam menjalankan perjanjian ini? Jawabannya adalah bahwa pertama-tama, suku Bani Qainuqa melanggar perjanjian, memutus hubungan persahabatan dan mengobarkan perang dengan kaum Muslimin, menempuh jalan keji dengan melecehkan para wanita Muslim, dan kemudian dengan cara memberontak, mereka menolak posisi kepemimpinan Rasulullah saw. yang diberikan kepada beliau saw. berdasarkan perjanjian antar kaum. Mereka menolaknya dengan sikap kesombongan. Namun, ketika akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin, Rasulullah saw. memaafkan mereka dan hanya mengambil tindakan pencegahan dengan meminta Bani Qainuqa untuk keluar dari Madinah ke tempat lain agar kedamaian kota tidak terganggu dan supaya umat Islam bisa terlindung dari bahaya adanya musuh tersembunyi. Akibatnya, orang-orang suku Bani Qainuqa pergi dari Madinah dengan damai bersama harta benda, istri dan anak-anak mereka, dan menetap di tempat lain.
Namun, dua suku Yahudi yang tersisa tidak mengambil pelajaran dari kejadian ini. Sebaliknya, sikap belas kasih dari Rasulullah saw. justru membuat mereka semakin berani tanpa alasan. Tidak lama kemudian, suku Yahudi kedua, yakni Bani Nadir, juga memberontak. Pertama-tama, salah satu pemimpin mereka, Ka’b bin Ashraf, melanggar perjanjian dan mulai melakukan rencana jahat dengan Quraisy dan suku-suku Arab lainnya melawan Islam. Dia menghasut para penjahat Arab yang buas ini melawan Rasulullah saw. dan para sahabat beliau saw. dengan cara yang berbahaya, dan menulis puisi-puisi yang sangat menghasut untuk melawan umat Islam yang mana ini menciptakan situasi yang sangat berbahaya bagi umat Islam di negeri ini.
Kemudian, orang-orang yang malang ini mengejek para wanita-wanita Muslim terhormat dengan menyebut nama mereka dalam syair-syairnya, dan akhirnya bersekongkol untuk membunuh Rasulullah saw.. Lalu ketika atas perintah Rasulullah saw. orang-orang ini menerima hukuman atas perbuatannya, maka sukunya bangkit bersatu melawan kaum Muslimin. Sejak hari itu, Bani Nadir mengabaikan perjanjian dan mulai bersekongkol melawan umat Muslim, dan pada akhirnya seluruh suku bersekongkol untuk membunuh Rasulullah saw.; mereka memutuskan bahwa bagaimanapun caranya, mereka tidak akan membiarkan beliau saw. hidup. Padahal dalam perjanjian di awal, mereka semua setuju bahwa jika seseorang berbuat salah, mereka akan dengan senang hati menerima hukuman.
Bagaimanapun, ketika rencana berdarah mereka terungkap, dan Rasulullah saw. mengambil langkah untuk memperingatkan dan menghukum mereka, mereka dengan sangat sombong bersiap untuk berperang melawan kaum Muslimin. Dalam perang ini, Bani Quraizhah membantu mereka, sehingga mereka pun menjadi melanggar perjanjian. Namun, ketika Bani Nadir dikalahkan, Rasulullah saw. pun sepenuhnya memaafkan Bani Quraizhah. Meskipun mereka telah bergabung dengan Bani Nadir, beliau saw. tetap memaafkan Bani Quraizhah dan juga mengizinkan Bani Nadir untuk meninggalkan Madinah dengan aman. Satu-satunya pembatasan adalah bahwa Bani Nadir tidak diizinkan membawa senjata mereka. Namun, Bani Nadir membalas ihsan ini dengan cara bahwa setelah meninggalkan Madinah, para pemimpin mereka berkeliling ke seluruh Arab dan menghasut berbagai suku Arab dengan cara yang berbahaya, yaitu membawa pasukan yang besar untuk menyerang Madinah. Mereka datang dengan pasukan yang sangat besar dan mengambil janji tegas dari semuanya bahwa mereka tidak akan kembali sampai mereka menghancurkan Islam sepenuhnya.
Dalam keadaan yang berbahaya seperti ini, yang telah digambarkan sebelumnya secara singkat, apa yang dilakukan oleh suku Yahudi ketiga, yakni Bani Quraizah? Ini adalah suku yang telah menerima perlakuan khusus yakni ihsan dari Rasulullah saw., dengan memaafkan pengkhianatan mereka pada saat Perang Bani Nadir.
Jadi, Rasulullah saw. telah memperlakukan Bani Quraizhah dengan sikap ihsan, dan kebaikan kedua Rasulullah saw. kepada mereka adalah bahwa meskipun sebelum hijrah, mereka dianggap lebih rendah dalam status dan hak-hak mereka dibandingkan dengan Bani Nadir, – jadi Di antara kedua suku ini, Banu Quraizah dan Banu Nadir, ada perbedaan derajat; Bani Quraizah dianggap lebih rendah dari Banu Nadir. Jika seseorang dari Banu Nadir dibunuh oleh seseorang dari Banu Quraizah, pembunuhnya akan dihukum mati sebagai qisas, ini adalah aturan mereka. Akan tetapi jika seseorang dari Banu Quraizah dibunuh oleh seseorang dari Bani Nadir, maka pembayaran diyat (uang darah) sudah dianggap cukup oleh mereka – namun Rasulullah saw. memberikan hak-hak yang setara kepada Bani Quraizhah sebagaimana para penduduk Madinah lainnya. Tetapi meskipun telah mendapat kebaikan yang luar biasa ini, Banu Quraizah tetap berkhianat, dan pengkhianatan mereka terjadi pada saat yang sangat kritis yang belum pernah dialami oleh kaum Muslimin sebelumnya. Contoh Bani Qainuqa ada di hadapan mereka, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran darinya.
Kejadian Bani Nadir terjadi di depan mata mereka tetapi mereka tidak mengambil pelajaran darinya. Kemudian apa yang mereka lakukan? Mereka mengabaikan perjanjian mereka dan melupakan kebaikan-kebaikan Hz. Rasulullah saw. tepat pada saat 3.000 Muslim dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya dikepung oleh 10-15 ribu pasukan kafir yang kuat dan haus darah selama Perang Ahzab. Saat kaum Muslimin ada dalam keadaan yang sangat tidak berdaya dan merasa putus asa, yakni di saat perang Ahzab, dan kematian tampak di hadapan mereka, Bani Quraizhah keluar dari benteng mereka dan menyerang para wanita dan anak-anak Muslim dari belakang. Mereka berpaling dari janji persatuan dengan umat Islam dan bergabung dengan persekutuan berdarah itu yang tujuan utamanya adalah menghancurkan Islam dan sang pendirinya.
Ya, Rasulullah saw. adalah pendiri Islam yang tindakan pertama beliau saw. setelah tiba di Madinah adalah menjadikan orang-orang Yahudi ini sebagai teman dan sekutu. Ini adalah suatu hal yang patut direnungkan. Setelah tiba di Madinah, Hz. Rasulullah saw. menjadikan orang Yahudi sebagai teman dan sekutu. Dan tindakan pertama orang-orang Yahudi tersebut saat itu adalah menerima beliau saw. sebagai teman dan sekutu; mereka saat itu telah menerima beliau saw., dan juga telah mengakui beliau sebagai pemimpin pemerintahan.
Jadi, dalam keadaan ini, tindakan Bani Quraizhah ini bukan hanya merupakan suatu pengkhianatan dan ketidaksetiaan, tetapi juga merupakan pemberontakan yang berbahaya. Jika rencana mereka berhasil, maka sesungguhnya ini pasti akan mengakhiri nyawa, menghabisi kehormatan dan agama segenap orang Islam. Jadi, Bani Quraizhah tidak hanya melakukan satu kejahatan, tetapi mereka telah bersalah atas ketidaksetiaan, sikap lupa akan kebaikan, pelanggaran perjanjian dan pengkhianatan, pemberontakan serta upaya pembunuhan. Mereka melakukan kejahatan-kejahatan ini pada suatu kesempatan yang dapat membuat satu kejahatan menjadi sangat mengerikan, dan tidak ada satu pun pengadilan yang adil di dunia ini yang bisa mendapati unsur keringanan dalam kasus mereka ini.
Dalam keadaan-keadaan seperti ini, hukuman apa lagi yang bisa diberikan selain yang telah diputuskan itu? Jelas bahwa tampaknya hanya ada tiga kemungkinan hukuman yang dapat diberikan:
Pertama, menjalankan penahanan atau pengawasan di Madinah. Kedua, pengasingan, seperti yang terjadi dalam peristiwa Bani Qainuqa dan Bani Nadir. Ketiga, menghukum mati para tentara mereka dan menahan atau mengawasi sisanya.
Sekarang, pertimbangkanlah dengan adil, pilihan mana yang terbuka bagi umat Muslim dalam keadaan pada masa itu? Pertama, menahan suku yang melakukan permusuhan di dalam kota umat islam sama sekali tidak mungkin pada masa itu karena: Pertama, penahanan mereka akan membebani umat Islam dengan tanggung jawab untuk memberikan akomodasi dan makanan bagi para tahanan, yang mana ini sama sekali tidak mampu mereka tanggung. Kedua, Pada masa itu masih belum ada penjara, dan yang biasa dilakukan terkait tahanan adalah mereka dibagi di antara orang-orang dari pihak pemenang, di mana mereka nyatanya menghirup udara yang bebas. Dalam keadaan seperti itu, keberadaan suatu kelompok yang memusuhi dan berencana jahat di tengah umat Islam di Madinah menyimpan kemungkinan yang sangat berbahaya. Jika keputusan ini diterapkan pada Bani Quraizhah, maka ini sesungguhnya berarti mereka akan tetap memiliki kebebasan yang sama untuk menghasut kekacauan, membuat kerusakan, kejahatan dan rencana buruk rahasia seperti sebelumnya, padahal tanggung jawab untuk biaya pengurusan mereka akan jatuh kepada umat Islam. Artinya, jika sebelumnya mereka makan dari hasil mereka sendiri sambil berusaha membunuh orang Islam, maka ke depannya, jika mereka diberi kebebasan seperti itu, mereka akan makan makanan hasil umat Islam (yang bahkan umat Islam tidak punya uang untuk memberi makan diri mereka sendiri), sambil tetap melakukan rencana jahat melawan umat Islam, dan juga bahaya tambahan yang mungkin timbul dari hidup bercampur dengan orang-orang Islam di rumah-rumah mereka akan memperburuk lagi keadaannya.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:
Dalam keadaan seperti ini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang yang berakal sehat bisa berpendapat bahwa Bani Quraizhah saat itu dapat dihukum dengan cara menahan mereka di sana. Mengenai hukuman kedua, yaitu pengasingan, meskipun pada masa itu, hal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk melindungi diri dari kejahatan musuh, namun pengalaman dari pengasingan Bani Nadir menunjukkan bahwa secara khusus berkenaan dengan orang-orang Yahudi, cara ini sungguh tidak kurang bahayanya dibandingkan dengan cara pertama. Mengizinkan orang-orang Yahudi meninggalkan Madinah berarti tidak hanya menambah jumlah musuh Islam yang aktif dan keras, tetapi juga menambahkan ke barisan musuh-musuh Islam, orang-orang baru yang tidak sabar untuk menjadi pemimpin setiap gerakan anti-Islam melalui propaganda-propaganda mereka yang berbahaya, penuh hasutan dan permusuhan, serta kegiatan rahasia dan rencana jahat mereka.
Sejarah membuktikan bahwa di antara semua suku Yahudi, Bani Quraizhah adalah yang paling keras dalam sikap permusuhan mereka. Jadi, pengasingan Bani Quraizhah pasti akan menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh Bani Nazir ketika mereka memicu Perang Ahzab. Jika orang-orang Islam memilih melakukan ini dalam keadaan pada saat itu, maka tindakan mereka tidaklah kurang dari melakukan bunuh diri. Apakah ada suatu bangsa di dunia ini yang bersedia memilih untuk bunuh diri dengan membiarkan musuhnya hidup? Jika tidak, tentu kaum Muslimin juga tidak bisa disalahkan jika tidak melakukan bunuh diri dengan membiarkan Bani Quraizhah hidup.
Jadi, kedua hukuman ini tidaklah mungkin, dan memilih salah satunya berarti menempatkan diri dalam kehancuran yang pasti. Dengan meninggalkan kedua hukuman ini, maka hanya ada satu jalan yang terbuka, yaitu jalan yang diambil. Memang, keputusan Hz. Sa’ad r.a. pada dasarnya adalah keputusan yang keras dan secara lahiriah sifat manusiawi akan menjadi sedih karenanya. Akan tetapi pertanyaannya adalah, apakah ada jalan lain yang bisa diambil? Ketika seorang ahli bedah merasa perlu untuk mengamputasi tangan atau kaki pasiennya, atau terpaksa memisahkan organ tubuh lain yang ia anggap perlu, maka kalbu setiap manusia yang berakal sehat akan merasakan kesedihan – yakni betapa baiknya jika ini tidak perlu terjadi, tetapi kita harus tunduk pada keadaan yang mengharuskan. Bahkan dalam keadaan-keadaan seperti itu, tindakan ahli bedah dianggap terpuji karena ia menyelamatkan sesuatu yang lebih berharga dengan mengorbankan bagian yang lebih kecil atau kurang berharga.
Jadi, Demikianlah, keputusan Sa’ad mengenai Bani Quraizhah, meskipun kenyataannya adalah keras, namun ini adalah akibat yang tak terhindarkan dari keadaan saat itu yang sudah tidak ada jalan lain. Inilah sebabnya mengapa bahkan sejarawan seperti Margoliouth, yang sama sekali bukanlah termasuk orang yang bersimpati pada Islam, terpaksa mengakui bahwa keputusan Sa’ad didasarkan pada keharusan keadaan yang sudah tidak ada jalan lain. Sebagaimana Mr. Margoliouth menulis:
Serangan Perang Ahzab, yang menurut Muhammad saw., musuh mundur hanya karena berkat pertolongan Ilahi, perang ini adalah hasil dari upaya hasutan Bani Nadir, atau setidaknya dianggap demikian. Banu Nadir adalah mereka yang hanya diberi hukuman pengasingan oleh Muhammad saw.. Sekarang pertanyaannya adalah, haruskah Muhammad saw. juga akan mengasingkan kembali Bani Quraizhah, dan dengan demikian akan menambah jumlah dan kekuatan orang-orang yang melakukan upaya penghasutan melawan beliau saw.? Di sisi lain, suku yang secara terbuka mendukung para penyerang juga tidak bisa dibiarkan tinggal di Madinah. Mengasingkan mereka tidaklah memberi keamanan. Demikian juga membiarkan mereka tinggal di Madinah juga tidak kurang berbahayanya. Jadi, tidak ada pilihan selain keputusan untuk menghukum mati mereka.
Inilah yang dikatakan oleh Mr.Margoliouth.
Kemudian, harus diingat secara khusus bahwa Bani Quraizhah sebelumnya bukan hanya merupakan sekutu dan telah berjanji dengan Rasulullah saw., namun berdasarkan perjanjian awal mereka, mereka telah menerima pemerintahan beliau saw. di Madinah, atau setidaknya mereka telah menerima kepemimpinan beliau saw.. Jadi keberadaan mereka tidak hanya sebagai sekutu yang telah berkhianat atau menjadi musuh, tetapi mereka jelas juga merupakan para pemberontak, yaitu pemberontak yang sangat berbahaya, dan hukuman untuk pemberontakan, terutama di masa perang, tidak ada yang lain selain hukuman mati. Jika pemberontak tidak diberikan hukuman yang maksimal, maka sistem pemerintahan akan menjadi benar-benar hancur, dan orang-orang jahat dan para pengacau akan mendapatkan keberanian, yang mana ini sangatlah berbahaya bagi kedamaian dan kesejahteraan umum. Dalam keadaan seperti itu, mengasihani pemberontak sesungguhnya sama dengan menindas negara dan rakyatnya yang cinta damai.
Oleh sebab itulah, semua pemerintahan yang beradab sampai saat ini telah memberikan hukuman mati kepada para pemberontak semacam itu, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada orang yang berakal sehat yang melontarkan keberatan atasnya. Jadi, keputusan Hz. Sa’ad r.a. adalah sungguh adil dan sepenuhnya sesuai dengan asas keadilan; dan Rasulullah saw., karena janji itu, beliau saw. tidak bisa menjalankan sikap belas kasihan atas keputusan ini kecuali bagi orang-orang tertentu, dan untuk ini beliau saw. melakukan setiap upaya yang mungkin.
Namun, diketahui bahwa orang-orang Yahudi, yaitu beberapa orang di antara mereka, bisa saja meminta pengampunan jika mereka mau; akan tetapi, sebagai satu suku, Bani Quraizhah tidak bisa diampuni, karena mereka telah membuat perjanjian dengan Hz. Sa’ad r.a. sebelumnya. Namun tampaknya, orang-orang Yahudi, karena malu telah menolak menerima beliau saw. sebagai hakim, mereka tidak banyak mengajukan permohonan pengampunan kepada beliau saw.., dan jelas bahwa tanpa adanya permohonan, beliau saw. tidak bisa memberikan pengampunan, karena membebaskan pemberontak yang bahkan tidak menunjukkan penyesalan atas kejahatannya, hal ini dari segi politik bisa menimbulkan akibat yang sangat berbahaya.
Hal penting lain yang harus diingat adalah bahwa dalam perjanjian awal antara Rasulullah saw. dan orang-orang Yahudi, salah satu syaratnya adalah bahwa jika ada suatu masalah yang perlu diselesaikan mengenai orang Yahudi, maka itu akan diputuskan sesuai dengan syariat mereka sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa di bawah perjanjian ini, Rasulullah saw. senantiasa membuat keputusan berkenaan dengan orang-orang Yahudi sesuai dengan syariat Nabi Musa a.s.. Ketika kita melihat Taurat, kita menemukan bahwa hukuman untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh Bani Quraizah adalah persis sama dengan yang dijatuhkan oleh Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a. kepada mereka.
Dalam Alkitab, ada perintah Ilahi yang tertera:
“Ketika engkau mendekati sebuah kota untuk berperang melawannya, pertama-tama sampaikanlah tawaran damai. Jika mereka menjawabmu dan membuka pintu gerbang untukmu, maka semua orang yang ditemukan di kota itu akan menjadi pembayar upeti dan akan melayanimu. Tetapi jika mereka tidak membuat janji perdamaian denganmu dan malah berperang melawanmu, kepunglah mereka. Dan ketika Tuhan Allahmu menyerahkan mereka ke tanganmu, bunuhlah setiap laki-laki di dalamnya dengan mata pedang. Tetapi perempuan, anak-anak, ternak, dan semua yang ada di kota itu, semua jarahan itu boleh kamu ambil untuk dirimu sendiri.” (Kitab Ulangan pasal 20 ayat 10-15)
Perintah syariat Yahudi ini bukanlah suatu perintah di atas kertas yang tidak pernah dilaksanakan; Bani Israil senantiasa menjalankannya dan perkara-perkara Yahudi selalu diselesaikan berdasarkan prinsip ini. Sebagai contoh, cermatilah:
“Dan mereka yakni Bani Israil berperang melawan orang-orang Midian, sebagaimana Tuhan telah perintahkan kepada Musa, dan mereka membunuh semua laki-laki. Dan selain orang-orang yang terbunuh itu, mereka membunuh raja-raja Midian yakni Evi, Rekem, Zur, Hur dan Reba; mereka juga membunuh Bal’am putra Ba’ur dengan pedang. Orang-orang Bani Israil menawan perempuan-perempuan Midian dan anak-anak mereka; dan mereka merampas semua hewan mereka, semua ternak mereka, dan semua harta benda mereka. Dan mereka membawa semua jarahan dan tawanan, baik manusia maupun binatang, kepada Musa dan Imam Eleazar dan kepada jemaat Israel di perkemahan di dataran Moab di tepi sungai Yordan dekat Yerikho.” (Kitab Bilangan pasal 31 ayat 7-12)
Sementara itu, Hz. Isa a.s. dari Nazaret, yang juga berasal dari Bani Israil, meskipun beliau a.s. tidak memperoleh kekuasaan selama hidup beliau a.s., dan beliau a.s. tidak pernah menghadapi situasi perang, yang darinya bisa terlihat bagaimana cara bertindak beliau a.s., tapi dari beberapa ucapan beliau a.s. kita bisa memperkirakan bagaimana pandangan beliau a.s. tentang musuh-musuh yang jahat dan berniat buruk. Ketika berbicara kepada para musuh, Hz. Isa a.s. bersabda:
“Wahai ular-ular, wahai keturunan ular-ular! Bagaimana mungkin kalian dapat selamat dari hukuman neraka?” Artinya, “Wahai manusia, kalian telah menjadi seperti ular berbisa yang layak dibinasakan, tetapi aku tidak memiliki kekuatan untuk menghukum kalian, namun takutlah kalian kepada Allah dan hentikanlah kejahatan dan keburukan kalian dengan mengingat hukuman neraka jahanam.”
Mungkin inilah sebabnya ketika para pengikut Yesus memperoleh kekuasaan di dunia, berdasarkan ajaran Yesus bahwa musuh yang jahat dan berbuat buruk adalah layak dibinasakan seperti ular dan kalajengking, maka mereka menjadi tidak ragu untuk membinasakan siapa pun yang mereka anggap jahat dan mengganggu tujuan mereka. Inilah yang kita lihat, dan sejarah bangsa-bangsa Kristen penuh dengan contoh-contoh seperti ini.
Kesimpulannya, meskipun keputusan Hz. Sa’ad r.a. bisa dianggap keras, namun ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan keadilan, dan tentu saja sifat kejahatan orang-orang Yahudi dan masalah berkenaan dengan perlindungan bagi kaum Muslimin, keduanya menuntut keputusan seperti itu. Terlebih, keputusan ini sepenuhnya sesuai dengan syariat Yahudi; bahkan berdasarkan perjanjian awal, hal ini diharuskan, karena umat Islam telah terikat untuk membuat keputusan berkaitan dengan umat Yahudi, sesuai dengan syariat mereka sendiri. Namun, apa pun itu, ini adalah keputusan Hz. Sa’ad bin Mu’adz r.a., bukan keputusan Rasulullah saw., dan Hz. Sa’ad r.a. lah yang memikul tanggung jawab pertama dan terakhir atasnya. Hubungan Rasulullah saw. dengan hal ini, sebagai sosok kepala pemerintahan, hanyalah sebatas melaksanakan keputusan ini di bawah pengaturan pemerintahan beliau saw., dan telah dijelaskan bahwa beliau saw. melaksanakannya dengan cara yang bisa dianggap sebagai suatu suri teladan yang terbaik bahkan bagi pemerintahan yang paling beradab dan paling belas kasih di zaman modern ini.
Jadi inilah jawaban untuk para pengkritik di masa kini yang mengkritik Islam, yang karenanya beberapa orang dari Jemaat kita sendiri juga terpengaruh. Pertanyaan muncul di kalangan pemuda tentang mengapa Bani Quraizhah dibunuh. Beberapa orang yang mengajukan pertanyaan sekarang mulai mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap orang Palestina juga dapat dibenarkan dalam hal ini. Padahal keadaan yang mereka hadapi saat ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan keadaan saat itu. Saat ini, bahkan perempuan dan anak-anak pun dibunuh.
Bagaimanapun, umat Islam sendirilah yang bertanggung jawab atas semua ini yang telah mengorbankan Islam demi kepentingan pribadinya. Semoga Allah Taala memberikan pemahaman kepada orang-orang ini.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd. dan Mln. Fazli Umar Faruq, Shd.. Editor: Mln. Muhammad Hasyim